Selasa

BUYA HAMKA DAN SOEKARNO (SEBUAH KISAH PERSAHABATAN SEJATI DI NKRI).

SAMBUTAN SEBAGAI KETUA MAJELIS ULAMA INDONESIA 27 JULI 1975

Tidak Saudara! Ulama sejati tidaklah dapat dibeli, sebab sayang sekali ulama telah lama terjual, pembelinya ialah Allah, "Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang yang beriman harta bendanya dan jiwa raganya dan akan dibayar dengan surga." Di sekeliling dirinya telah ditempelkan kertas putih bertuliskan: "Telah Terjual". Barang yang telah terjual, tidak dapat dijual dua kali.

(Rusydi Hamka, Pribadi Dan Martabat Buya HAMKA, Penerbit Noura, Cet.I, 2017).

DISERANG

Selama masa penahanannya yang panjang, Hamka menghibur diri dengan cerita riwayat Ibnu Taimiyah (1263-1328), ahli fiqih Madzhab Hambali yang dipenjara bertahun-tahun di Damsyik di bawah kekuasaan Mamluk karena pandangan anti-pemerintahnya -- sebagaimana Hamka katakan, "jiwanya tidak bisa dibeli."

GESTAPU

Dengan ikhlas saya berkata di dekat peti matinya, "Aku maafkan engkau, saudaraku."

-Abdul Karim Oei berkata bahwa ketika Hamka menerima kabar kematian Sukarno (di tengah khotbah di masjidnya Oei) dia bersedih dan menangis (wawancara).

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

PAKAIAN TAKWA

Beberapa orang polisi pemeriksa lagi berbisik-bisik ke muka kamar saya minta diajarkan doa-doa. Rupanya mereka salah paham. Mereka tidak jadi menganiaya saya karena mereka sendiri yang mundur, menjadi teka-teki bagi diri mereka sendiri. Kemudian, mereka menyangka bahwa saya ada mempunyai "penaruhan". Padahal soalnya biasa saja, yaitu penyerahan yang bulat kepada Allah. Kalau Allah belum mengizinkan, tidak ada aniaya makhluk yang akan mempan. Dan, kalau aniaya itu terjadi, asal kita tawakal kepada Allah dan teguh pada takwa maka jika kita tidak ragu menerima segala ketentuan. Sebab, nabi-nabi dan orang-orang utama pun tidak kurang yang mati karena dianiaya.

Allah telah menentukan bahwa Setan-setan adalah pemimpin-pemimpin dari orang-orang yang tidak beriman.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 397, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Tahanan lebih dua tahun ini adalah menjadi salah satu mata rantai kalung keemasan yang ditatahkan pada leher sejarah hidup saya. Ia menjadi lebih indah lagi karena kezaliman dan fitnah ini baru menimpa saya setelah tanah air saya merdeka!

-Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar.

Bung Karno berdiri melepas saya di perron. Kelihatan perjuangan batin yang hebat pada wajah beliau, demikian pun saya.

Seketika telah dekat benar akan berangkat, saya jabat tangan beliau, saya ciumi mukanya dan lehernya, air matanya berlinang.

PRIBADI DAN MARTABAT BUYA HAMKA


Selanjutnya seperti telah kita ketahui, Soekarno kemudian membungkam dan menangkap Ayah selama hampir 3 Tahun.

Namun mendengar Soekarno sakit dalam situasi kritis, Ayah menangis.

Bahkan dia mengimami shalat jenazah Soekarno.

Dia tak peduli kritik dan celaan orang banyak atas perbuatannya itu.

Setelah meninggalnya Soekarno, tidak pernah saya dengar Ayah mencela kehidupan Soekarno.

Seolah-olah dia benar-benar telah lupa bahwa Soekarnolah yang menangkapnya berdasarkan undang-undang anti subversi yang terkenal dengan nama Penpres No. 11 itu.

Dan bukan cuma kepada Soekarno, terhadap pendukung Soekarno yang menjebloskannya ke dalam tahanan, dia bisa bersikap baik sampai akhir hayatnya.

(Rusydi HAMKA, Pribadi Dan Martabat Buya HAMKA, Hal. 84, Penerbit Noura, Cet.I, Januari 2017).

KENANG-KENANGAN HIDUP

Karangannya jugalah yang menyebabkan persahabatannya dengan Ir. Sukarno, ketika pemimpin ini diasingkan di Bengkulen.

Ketika membaca pahamnya tentang politik atau sosial dan agama dalam Pedoman Masyarakat Bung Karno ingin hendak berhadapan muka dengan dia.

Sampai beliau bertanya kepada salah seorang teman, dimanakah dia bersekolah.

Ketika orang jawab dia hanya mengaji saja, dan tidak pula tamat, bertambahlah keinginannya hendak bertemu.

Di Tahun 1941 disampaikannyalah keinginan itu.

Bung Haji sendiri yang datang menziarahi pemimpin besar itu ke Bengkulen.

Persahabatan yang timbul di zaman bintang masih gelap, di tanah pengasingan,

Jauh lebih murni daripada persahabatan yang didapat setelah Presiden Sukarno duduk di Istana Merdeka!

(Buya HAMKA, Kenang-kenangan Hidup: Buku Dua, Hal. 69, Penerbit Balai Pustaka, Cet.1, 2015).

PRESIDEN SOEKARNO KE SUMATRA

Memanglah Bung Karno seorang ahli pidato yang paling besar di Indonesia dan yang termasuk besar di Asia atau di dunia. Memang kekuasaan lidahnya yang telah menyatukan 70 juta rakyat terjajah menjadi satu bangsa.

Sifat-sifat yang dikehendaki menjadi orator sangat cukup pada diri beliau.

Pertama sekali wajahnya yang menarik hati, matanya yang jeli lucu, menunjukkan kejujuran, seperti mata seorang anak-anak. Orang tentu maklum bahwasanya mata adalah cermin hati. Orang munafik tidak dapat menjernihkan matanya sehingga walau bagaimana manis mulutnya, matanya membuka kepalsuan hatinya.

Yang kedua ialah kuasa telunjuknya. Bagaimanapun ribut dan riuhnya hadirin, ombak manusia yang beribu-ribu sehingga tidak dapat didiamkan, apabila dia telah naik ke atas podium dengan langkah yang tenang, dan menyambut penghormatan dengan penuh sikap, demi dilihatnya manusia itu dengan matanya yang penuh perhatian, dan disuruhnya diam dengan telunjuknya yang "bertuah" itu, dalam beberapa saat saja orang rela berhenti, rela tunduk dan diam sebab ingin mendengarkan butir-butir pembicaraan raksasa yang akan keluar dari mulutnya.

Dalam pidato di Maninjau, Bung Karno berpantun:

Jika adik memakan pinang, makanlah dengan sirih yang hijau,

Jika adik datang ke Minang, jangan lupa datang ke Maninjau.

Maninjau yang indah permai, kata Bung Karno. Dengan danaunya yang dahsyat, dengan sawahnya bersusun, dengan jalannya berkelok, terlukis dalam sanubari Bung Karno sebagai negeri sendiri. Tahukah Saudara-Saudara bahwa Bung Karno ini adalah anak Maninjau? Orang heran! Bung Karno tidak main-main, katanya pula. Bung Karno adalah anak emasnya orang Maninjau, eere burgernya orang Maninjau. Ketika almarhum Haji Rasul, Dr. A. Karim Amrullah hidup di Jakarta, dia telah berkata kepadaku, "Engkau adalah anakku, hai Karno!" Sebab itu pandanglah Bung Karno sebagai memandang orang Maninjau sendiri!

(Buya HAMKA, KENANG-KENANGAN HIDUP, Hal. 560-563, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2018).

BUNG KARNO ADALAH "SAUDARA ANGKAT" BUYA HAMKA

AYAHKU

Seketika diundang makan ke rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur,

Dengan terus terang beliau memberikan nasihat kepada Bung Karno:

"Janganlah terlalu mewah, Karno! Kalau hidup pemimpin terlalu mewah, segan rakyat mendekati!"

Dan ketika itulah Bung Karno diangkatnya menjadi anaknya!

Ketika Bung Karno datang ke Maninjau pada Tahun 1948, beliau berkata di hadapan beribu-ribu rakyat:

"Saya adalah anak kehormatan orang Maninjau! Saya adalah anak angkatnya Dr. H. Abdulkarim Amrullah!"

SAYA AMAT TERHARU!

Saat yang sedih itu pun datang, Kereta Api telah bersiap hendak bertolak.

Bung Karno berdiri melepas saya di perron. Kelihatan perjuangan batin yang hebat pada wajah beliau, demikian pun saya.

Seketika telah dekat benar akan berangkat, saya jabat tangan beliau, saya ciumi mukanya dan lehernya, air matanya berlinang.

Dan saya katakan kepada Bung Karno:

Ayah kita, Bung!

"Jangan khuatir saudara."

Kondektur melambaikan kipasnya, Pluit berbunyi, dan saya pun berangkat.

Sejak itu saya tidak bertemu dengan beliau lagi.

(Buya HAMKA, Ayahku, 312, 323, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

HAMBA KAMI AYYUB

Ayyub pahlawan Ilahi dalam kesabaran,

Sulaiman pahlawan Ilahi dalam kesyukuran.

Sehubungan dengan kesabaran Nabi Ayyub menderita percobaan berat ini dan kesetiaan istri beliau mendampinginya dalam kedukaannya sama dengan mendampingi di waktu sukanya, teringatlah saya kepada percobaan yang saya derita meskipun hanya sejemput kecil jika dibandingkan dengan penderitaan Nabi Ayyub.

Ingatan saya segar kembali kepada kesetiaan almarhumah istri saya, Siti Raham, yang kebetulan sama namanya dengan nama istri Nabi Ayyub, Siti Rahmah. Apabila saya telah ditangkap dan mulai diasingkan dari tengah masyarakat mulailah keadaan menapis kesetiaan dan persahabatan. Kesetiaan istri saya di saat genting itu tidak akan dapat saya lupakan selama-lamanya. Dalam saat gelap sebagaimana demikian dia tetap menjaga muruah (harga diri). Undangan jamuan orang senantiasa didatanginya dan dia tidak pernah mengeluh kepada siapa pun; Dia lebih suka menjual secara diam-diam barang perhiasannya daripada mengadukan hal kekurangannya kepada orang lain.

Satu kali dengan rahasia dia memberitahukan bahwa ada seorang teman menganjurkan agar dia menulis surat permohonan langsung kepada Presiden Soekarno memohon minta dikasihani karena anak kami banyak, agar saya, suaminya, diberi ampun dan dipulangkan. Tetapi dia tidak mau menuruti nasihat itu, karena dia tahu benar tabiat saya. Dia berjanji akan mencari kontak dengan saya terlebih dahulu. Kalau saya izinkan, dia akan mencoba membuat surat permohonan itu. Setelah berita rahasia itu saya terima maka saya tulis pula surat rahasia melarangnya memenuhi anjuran kawan itu.

Saya beri keterangan kepadanya bahwa tahanan ini adalah soal politik.

Tidak ada permusuhan pribadi di antara saya dengan Presiden Soekarno.

Saya ditahan karena Presiden tidak menyetujui aliran politik saya.

Bagaimana saya akan mengubah suatu keyakinan hidup?

Bahkan Soekarno pun tidak akan percaya bahwa saya akan berubah. Saya jelaskan kepada istri saya dengan penuh rasa cinta bahwa anjuran kawan itu, entah disengajanya entah tidak, akan mengakibatkan jatuhnya nama saya. Saya suruh saja dia sabar dan saya peringatkan jika anjuran orang itu dipenuhinya, berarti orang tersebut merusak cinta kasih yang telah kita bina 35 Tahun. (Kami kawin 5 April 1929, saya ditangkap dan ditahan Januari 1964). Sampai saya keluar dari tahanan Mei 1966 istri saya itu menunggu dengan hati tabah, tetapi sangat memundurkan bagi kesehatannya sehingga pada 1 Januari 1972 (15 Dzulqa'dah 1391) Allah memanggilnya.

Di samping kesabaran istri saya itu saya ingat lagi usaha 3 orang sahabat dan murid saya yang memasuki kantor-kantor dan pejabat berusaha agar saya dapat segera dikeluarkan, namun usaha mereka percuma. Sebab hal ini sudah diatur dari atas oleh politik pemerintah waktu itu yang sudah sangat condong ke kiri (Komunis).

Ketiga orang itu sekarang sudah mendahului kita;

1) Rangkayo H. Rasuna Said,

2) Ibnu Haji Rafi'ah dan

3) Saudara H. Muhammad Saleh Su'aidi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 571-572, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JAKARTA CHARTER (PIAGAM JAKARTA)

Telah lama ahli-ahli bahasa berpendapat sejak dari Melayu lama (klasik), Kristen, dengan Front Islam yang memohon agar ditambahkan dalam Pasal 29 UUD '45 kalimat, "Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", yang membawa kegagalan, sehingga Konstituante gagal total.

Presiden Soekarno menyebutkan bahwa "Jakarta Charter" itu memang menjiwai UUD '45.

Namun, akibat datangnya Orde Baru membuat Dekrit ke seluruh tanah air, bahwa hal itu tidak boleh dibicarakan.

Seorang ahli hukum Indonesia yang terkenal, Prof. Dr. Mr. Huzairin pernah menyatakan berdasarkan pengetahuannya yang dalam terhadap hukum, bahwasanya Jakarta Charter 1945, adalah sebab utama dari timbulnya Proklamasi 17 Agustus 1945.

Ia adalah laksana suatu "social contract" dari wakil-wakil tiga golongan Indonesia yang akan menciptakan kemerdekaan kelak, yaitu golongan Nasionalis yang diwakili oleh Soekarno, Hatta, Mohammad Yamin, dan Mr. Soebardjo.

Golongan Islam yang diwakili oleh H. A. Salim, A. Wahid Hasyim, Abikusno Tjokrosuyoso, dan Abdulkahar Muzakir.

Dan, golongan Kristen yang diwakili oleh A.A. Maramis.

Menurut Hazairin, dasar hukum dari Jakarta Charter itu kuat sekali.

Sehingga sesudah ada Charter itu, barulah Proklamasi dapat dilancarkan.

Namun, dengan kekuasaan saja golongan Islam disuruh mengunci mulutnya, tidak boleh menyebut-nyebut Jakarta Charter itu bertahun-tahun lamanya.

Bahkan, berbisik-bisik pun bisa ditangkap.

Akan tetapi, kami pun sadar bahwa banyak mubaligh-mubaligh kami yang membicarakan hal itu tanpa memperhatikan kondisi dan situasi, sehingga menjerat leher sendiri.

Ternyata, sebagian besar dari penantang "Ideologi Islam" di zaman hebatnya pertentangan ideologi itu, ialah penganut agama Islam sendiri.

(Disampaikan oleh Prof. DR. HAMKA sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dalam Pertemuan dengan Wanhankamnas pada 25 Agustus 1976).

(Rusydi HAMKA, Pribadi Dan Martabat Buya HAMKA, Hal. 344-362, Penerbit Noura, Cet.I, Januari 2017).

Ayah adalah seseorang yang gampang sekali terharu dan menitikkan air mata.

Terutama kalau sudah mengingat kebesaran dan kekuasaan Tuhan.

Hampir setiap shalat Maghrib di akhir bulan Sya'ban atau sehari sebelum tibanya puasa, dia menangis saat shalat ketika membaca ayat, suaranya tertahan-tahan menyambut tibanya bulan suci itu.

Setiap hari dia membaca Al-Qur'an, adakalanya dia menangis seorang diri.

Ketika sampai pada satu ayat yang menggugah hatinya, dia berhenti untuk menghapus air matanya.

Begitu pun tatkala berkhutbah, pidato di atas mimbar.

Gampang benar air matanya keluar, berkali-kali dia mengulang sabda Nabi saw. yang berbunyi:

"Bahagialah orang yang beriman kepadaku dan melihat wajahku. Tapi tujuh kali lebih bahagia orang yang beriman kepadaku, meskipun dia tidak melihat wajahku."

Biasanya jika dia mengulang hadis itu, dilanjutkan dengan riwayat pertanyaan sahabat Nabi saw.:

"Bagaimana engkau mengetahui umatku yang tak pernah engkau kenal itu?"

Lalu Ayah membaca ayat,

"Simahum fi wujuhihim min astaris sujud." (tampak bekas sujud di wajah mereka).

Ayah menangis setiap menceritakan hadis dan riwayat itu.

Pada waktu umrah 1976 di bulan Ramadhan, tatkala kami sedang berdoa di makam Nabi Ibrahim, kami melihat Almarhum K.H. Bisri Samsuri Rais Aam NU, tawaf seorang diri, dengan langkah-langkah tuanya.

Ayah memperhatikan orang tua yang saleh itu.

Dia patut menjadi contoh dari ulama-ulama muda.

"Ayah ingin menjadi orang sesaleh kiai itu," kata Ayah dengan air mata yang berlinang.

Ayah juga kerap menangis bila teringat ayahandanya, Syaikh Abdul Karim Amrullah.

"Sayang Ayah tak sempat bergaul intim dengannya," ceritanya.

"Dia adalah orang besar di kalangan umat, sehingga perhatian kepada anak-anaknya kurang."

Kadang-kadang, Ayah didatangi oleh kakak perempuannya, Ummi Fathimah, istri Buya Sutan Mansur yang sudah mendekati umur 80 Tahun, atau adiknya, Asma yang sepanjang hidupnya selalu kekurangan. Kedua saudara perempuannya itu diciumnya sambil meneteskan air mata.

Sahabatnya, Buya Zainal Abidin Syu'aib, yang kami panggil Buya Zas, kerap datang dari Padang, singgah dan makan di rumah.

Mereka membicarakan keadaan negeri asal mereka Minangkabau, tentang ulama-ulama yang sudah makin menipis, pergaulan pemuda-pemudi yang sudah sangat bebas, adat yang tak dihiraukan lagi dan berita-berita kejahatan yang memenuhi koran-koran setiap hari.

Cerita-cerita sambil lalu itu pun bisa membuat Ayah menitikkan air mata.

Terkadang saya merasa Ayah berlebihan dalam rasa harunya, cepat sekali mengeluarkan air mata.

Saya teringat tatkala mantan Presiden Soekarno meninggal.

Ayah tentu belum melupakan bahwa Soekarno dipuncak kekuasaannya sangat membenci dan menaruh dendam kepadanya.

Pidato Ayah di dalam Sidang Konstituante yang menolak konsepsi Soekarno, pasti sangat menyakitkan hatinya.

Satu kali Soekarno bicara, "Kapan kita mulai menggali api Islam?"

Ayah dalam kesempatan lain menjawab, "Tunggu tanggal mainnya!"

Tentang konsepsi Demokrasi Terpimpin, Kabinet Kaki Empat yang menjadi gagasan Soekarno, dikatakan olehnya sendiri: "Itulah jalan lurus, assirathal mustaqim." 

Tapi Ayah menjawab, "Itulah Assirat ilal jahim", alias jalan menuju neraka.

Selanjutnya seperti telah kita ketahui, Soekarno kemudian membungkam dan menangkap Ayah selama hampir 3 Tahun.

Namun mendengar Soekarno sakit dalam situasi kritis, Ayah menangis.

Bahkan dia mengimami shalat jenazah Soekarno.

Dia tak peduli kritik dan celaan orang banyak atas perbuatannya itu.

Setelah meninggalnya Soekarno, tidak pernah saya dengar Ayah mencela kehidupan Soekarno.

Seolah-olah dia benar-benar telah lupa bahwa Soekarnolah yang menangkapnya berdasarkan undang-undang anti subversi yang terkenal dengan nama Penpres No. 11 itu.

Dan bukan cuma kepada Soekarno, terhadap pendukung Soekarno yang menjebloskannya ke dalam tahanan, dia bisa bersikap baik sampai akhir hayatnya.

Saya teringat sekitar Tahun 1974 di Bukittinggi, tatkala Ayah menjadi pembela peristiwa perkara politik yang terkenal di Sumatra Barat, "Peristiwa 3 Maret".

Salah seorang yang terlibat perkara itu dan diadili di depan Mahkamah, ialah Almarhum S.J. Sutan Mangkuto, seorang tokoh Muhammadiyah.

Masyarakat mengetahui bahwa di antara Sutan Mangkuto dan Ayah, ada pertentangan pendapat dalam organisasi, mungkin juga ada pertentangan pribadi.

Untuk menghindari pertentangan itu, Ayah "menyingkir" beberapa lama ke daerah Riau.

Namun kemudian, buru-buru kembali ke Padang Panjang karena sangat terkejut mendengar berita bahwa S.J. Sutan Mangkuto terlibat Perkara 3 Maret itu, dan ditahan di rumah tahanan militer Bukittinggi.

Ketika setahun kemudian perkara itu dibawa ke Mahkamah, Ayah menyediakan dirinya menjadi pembela, sedangkan semua orang tahu bahwa dia bukan ahli hukum.

Perkara itu berhasil dimenangkannya dengan bebasnya seluruh komplotan yang menjadi tertuduh.

"Apa yang mendorong Buya tampil membela perkara itu?", tanya salah seorang muridnya.

Ayah menjawab,

"Pertama, karena saya melihat ada usaha-usaha dari pihak lain yang hendak mendiskreditkan Masyumi dan Muhammadiyah menjadi dalang peristiwa itu. Kedua, S.J. Sutan Mangkuto saudara seperjuangan saya dalam Muhammadiyah."

Dan, Ayah lagi-lagi mengenang hubungannya dengan Sutan Mangkuto.

Demikianlah Buya HAMKA, dia memang orang yang tak pandai berdendam.

Banyak yang bisa saya ceritakan, misalnya ucapan Tengku Jafisham kepada saya tatkala bertemu di lapangan udara Polonia Medan pada 1981,

"Ayah saudara adalah seorang yang berbeda paham dengan saya. Kami selalu bertentangan, tapi dia tak pernah dendam. Dan bila bertemu, kami selalu merasa sebagai sahabat."

Tengku yang menjadi pemimpin NU, menceritakan hal itu kepada saya tatkala menghadiri MUNAS Ulama NU di Kaliurang, September 1981.

Katanya lagi, dia bertemu dengan Ayah, sebulan sebelum Ayah meninggal di rumah jalan Raden Patah.

Begitu bertemu, mereka berangkulan dan sama-sama menangis.

"Meski berbeda paham, dia sahabat baik saya."

Itulah beberapa tabiat Ayah, yang barangkali menyebabkan dirinya menjadi seorang pengarang yang amat peka dalam menangkap kesan, dan menuangkan dalam bentuk tulisan.

Satu kebiasaan yang lain, kedua jari telunjuknya tak pernah diam.

Bila duduk seorang diri atau bersama orang lain, kedua jari itu seperti sedang mengetik atau menulis.

Kadang-kadang di atas tangan kursi, kadang-kadang di atas meja, atau piring makan.

Bahkan menjelang ajalnya, kedua jarinya itu bergerak-gerak terus seperti kebiasaan waktu sehat.

Ada orang yang memperhatikan kedua jari itu waktu Ayah sakit.

Katanya, Buya seolah-olah menulis "MPR".

Namun, Adinda Afif yang memperhatikan arah dan gerak jarinya itu, membantahnya.

Yang ditulis Ayah, ialah,

"Allah", karena gerak itu dari kanan ke kiri.

Saya lebih percaya keterangan Afif.

Sebab bila menulis, Ayah sering menggunakan huruf dari kanan ke kiri. Selain itu, perhatiannya pada hal-hal berbau politik dan lembaga legislatif, seperti MPR dan DPR, amatlah sedikit.

(Rusydi HAMKA, Pribadi Dan Martabat Buya HAMKA, Hal. 81-88, Penerbit Noura, Cet.I, Januari 2017).

PERSAHABATAN

Sayidina Umar bin Khaththab telah memberi beberapa petaruh untuk meneguhkan persahabatan:

1. Kalau dia berbuat suatu kesalahan kepadamu dengan jalan mendurhakai Allah, balaslah dengan jalan taat kepada Allah.

2. Letakkanlah pekerjaan kawan itu dipersangkaan baik sampai datang bukti yang cukup atas yang sebenarnya.

3. Jangan lekas menyangka salah terhadap perkataan seseorang padahal masih ada jalan lain untuk membawanya kepada arti yang baik.

4. Siapakah yang tegak di tempat tuduhan, jangan marah jika orang bersangka jahat kepadanya.

5. Selama masih teguh memegang rahasia, selama itu pula masih terpegang kebaikan di tangan.

6. Carilah sahabat yang jujur. Dengan jalan demikian engkau terpelihara dari bahaya, dan dialah tempat kembali ketika datang bencana.

7. Jujurlah, walaupun kejujuran itu akan membunuhmu.

8. Jangan suka mengorek-ngorek perkara yang bukan perkaramu.

9. Jangan ditanyakan barang yang tidak ada. Lantaran kadang-kadang sebab ditanyakan, barang yang tidak ada jadi ada.

10. Jangan meminta tolong menyampaikan hajatmu, kepada orang yang tidak suka maksudmu.

11. Jangan berkawan dengan orang durjana, sebab berkawan dengan mereka mengajar engkau kenal pula akan kedurhakaan.

12. Jauhi musuhmu!

13. Hendaklah awas terhadap seseorang, sebelum dipercayai benar.

14. Tidak ada kawan yang bisa dipercayai kalau dia tidak takut kepada Allah.

15. Hati-hatilah mengucapkan perkataan.

16. Rendahkan diri ketika taat.

17. Teguhkan hati menjauhi maksiat.

18. Suatu pekerjaan darimu sendiri, kalau sulit, bermusyawarahlah dengan yang takut kepada Allah. Karena, Tuhan telah berfirman, "Hamba Allah yang takut kepada Allah, hanyalah orang yang berpengetahuan jua," (QS. Fathir [35]: 28).

Sekian fatwa Sayidina Umar bin Khaththab.

Abu Hatim berfatwa pula, demikian bunyinya,

"Orang yang bijaksana tidaklah mencari sahabat melainkan orang-orang yang panjang pikirnya, kuat agamanya, luas ilmunya, tinggi akhlaknya, lanjut akalnya, dan di waktu mudanya hidup bergaul dengan orang-orang yang saleh. Siapa saja yang melalaikan percintaan sahabatnya, tidakkah dia akan merasakan buah persaudaraan orang itu. Siapa saja yang memutuskan persaudaraan lantaran 'takut kena', hiduplah dia tidak bersaudara. Tidaklah ada kesenangan hati yang menyamai kesenangan bersahabat, dan tidaklah ada kedukaan yang melebihi putus persahabatan."

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 386-388, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

Sayidina Ali berkata,

"Wahai manusia, meskipun bagaimana kaya raya orang, tidaklah dia akan lepas daripada keperluan berteman dan bersahabat. Teman sahabat yang setia itulah yang akan mempertahankannya dengan lidahnya dan tangannya. Teman-teman itulah yang akan menjaganya dari bahaya sekelilingnya, dialah yang akan menuntun langkahnya, memberanikan hatinya, mengasihinya ketika susah. Lidah kawan yang setia dan jujur, lebih berharga dari harta benda yang diwarisi dari nenek moyang. Terhadap kaum kerabat yang dalam kesusahan, berikanlah pertolongan. Karena kalau dia ditolong, tidaklah akan mengurangi apa yang ada dalam tangan. Siapa saja yang tidak peduli kepada kerabatnya, dia pun akan terpencil seorang dirinya apabila ditimpa celaka. Dia menghelakan tangannya dari mereka hanya dua buah, tetapi mereka akan menghelakan tangan daripadanya berpuluh buah. Siapa saja yang lemah lembut sikapnya dan manis mulutnya kepada kerabatnya tidaklah akan putus tali mereka selama-lamanya".

Demikianlah kata Sayidina Ali.

(Buya HAMKA, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 243, Republika Penerbit, 2015).

BEBERAPA KATA HIKMAT TENTANG PERSAHABATAN

1. Persahabatan adalah satu-satunya pintu kemerdekaan kita. Banyak perkara yang tak dapat kita nyatakan kepada istri kita sendiri sekalipun, tetapi dapat dinyatakan kepada sahabat. Sebab itu, persahabatan yang jujur adalah salah satu dari tangga kejujuran.

3. Sahabatmu suka kepadamu, tetapi tidaklah tiap-tiap orang yang suka kepadamu itu sahabatmu.

5. Yang semulia kewajiban bersahabat ialah supaya engkau ketahui kehendak dan kemauan sahabatmu sebelum dikatakannya. Engkau perkenankan permintaannya sebelum dimintanya.

7. Kalau sahabatmu tertawa, hendaklah dikatakannya apa sebab ia senang. Kalau sahabatmu menangis, engkau mesti periksa apa sebab ia susah.

8. Jika engkau memberikan sesuatu kepada sahabatmu, berarti memberikan kepada dirimu sendiri.

9. Pengobat jerih manusia adalah dua keutamaan. Pertama, iman kepada Allah; dan kedua, percaya kepada sahabat.

10. Bila orang telah merasa dirinya besar, ia lupa akan salahnya. Hanya sahabat yang setia yang sanggup membukakan matanya.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 300-301, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

PERSAHABATAN DAN PEREMPUAN

Orang perempuan tidaklah tahu betul bagaimana besar harganya persahabatan di antara dua lelaki.

Ia tidak paham bahwa harga persahabatan di antara dua lelaki berlainan dengan harga percintaan di antara seorang lelaki dengan seorang perempuan.

la tidak kenal bahwa harga persahabatan itu lebih mahal daripada harga percintaan.

Sebab itu, sahabat suaminya kerap kali dipandang musuhnya, ia benci dan ia takut, takut akan dicurinya sebagian daripada cinta suaminya kepadanya.

Satu di antara perangai khusus bagi kaum perempuan, ia tidak paham betul bahwa Cinta itu adalah dalam lingkungan batin, dan Persahabatan dalam lingkungan zahir.

Ia tidak paham bahwasanya orang lelaki tidak dapat hidup menurut batin saja, tetapi ia sangat merasainya, meskipun bagaimana perempuan mencoba hendak memasukinya sebagaimana kesanggupan seorang sahabat.

Kalau perempuan mencoba hendak campur juga, hal ini harus dihormati pula karena ini bukti cintanya yang bernilai tinggi.

Bukti dan ketinggian pikiran dan kemuliaan budi hendak berserikat dengan suaminya, bukan dalam urusan badan tubuh, tetapi dalam perjuangan kehidupan.

Itu adalah satu sikap pahlawan.

Namun, apalah hendak dikata, tenaga perempuan tidak sama dengan tenaga lelaki, kekurangan yang ada pada lelaki tidak dapat disempurnakan semuanya oleh perempuan melainkan oleh sesama lelaki pula.

Kalau kehendak si istri itu supaya ia hendak beruntung dalam cintanya, lepaskanlah suaminya bersahabat setia pula dengan lelaki lain sehingga ia mendapat kepuasan di dalam perjuangannya di luar rumah tangga, yang kelak bukan sedikit pula membawa laba kepada cintanya di dalam rumah.

Oleh sebab itu, janganlah perempuan membenci sahabat suaminya, jangan ia cemburu.

Cuma yang perlu baginya ialah menolong suaminya, memperkuatkan persahabatan itu dan mempersucinya, serta menyelidiki dengan budinya yang halus, apakah ada pada sahabat suaminya itu syarat-syarat yang sepuluh tadi karena seorang suami yang mempunyai seorang sahabat setia, bukan sedikit faedahnya bagi keberuntungan rumah tangga.

Jadi cinta perempuan itu akan mendapat kemenangan juga.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 299-300, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

BERANI

Takut gagal adalah gagal yang sejati. 

Takut mati adalah mati sebelum mati.

Hidup adalah gerak dan berjuang, dan naik, jatuh, lalu naik lagi.

Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok.

Oleh karena itu, tidak ada waktu yang boleh terbuang.

Sebagai bangsa, dahulu kita berjuang mengusir penjajah.

Setelah merdeka, kita berjuang mempertahankan kemerdekaan dan setelah diakui kemerdekaan itu kita berjuang mengisinya supaya bangsa dan negara kita berdiri dan hidup terus.

Tidaklah berani orang yang senantiasa mengadukan nasibnya kepada orang lain.

Sebab cita-cita dan pengharapan pada masa depan dan keyakinan akan menang itulah perkara yang menguatkan ruh manusia untuk berjalan terus.

Itulah yang membesarkan himmah dan cita.

Apalagi jika perjuangan itu dilakukan dengan akal, dengan hati, dan dengan tangan.

Mengakui kekurangan diri adalah tangga untuk kesempurnaan diri.

Terus berusaha memperbaiki kekurangan diri adalah keberanian luar biasa.

Merasa cukup adalah tanda tidak cukup.

Barangsiapa tidak sanggup atau tidak berani menguasai diri, jangan harap akan sanggup menguasai orang lain.

Bukan keberanian jika hanya sanggup berkelahi dengan Macan.

Akan tetapi, keberanian adalah kesanggupan berkelahi dengan hawa nafsu.

Mari naikkan setingkat lagi.

Sudahkah kita berani memberi maaf terhadap musuh kita?

Sudahkah kita berani menghapus perasaan dendam dari hati kita karena kesalahan teman kepada kita?

Membalas kebaikan dengan kejahatan adalah perangai yang serendah-rendahnya.

Membalas kejahatan dengan kejahatan bukanlah hal yang lebih baik.

Membalas kebaikan dengan kebaikan adalah hal yang patut dibiasakan.

Akan tetapi, membalas kejahatan dengan kebaikan adalah cita-cita kemanusiaan yang setinggi-tingginya.

Memang jiwa terasa sakit ketika membalas kejahatan dengan kebaikan.

Dalam batin kita, sangat hebat perjuangan hawa nafsu jahat dengan budi yang mulia.

Nafsu membayangkan kembali penderitaan kita karena kesalahannya kepada kita dan kerugian kita karena aniayanya.

Terbayang pula bahwa pembalasan adalah hal yang pantas dan patut.

Namun, budi kita yang mulia membayangkan hal sebaliknya, yaitu kepuasan hati karena kemenangan budi, memberi maaf karena menolong orang lain, kepuasan hati karena kita dapat membuat musuh besar menjadi teman karib, dan setia karena ketinggian budi.

Itulah perjuangan hebat dalam batin, kita harus berani.

Akhirnya, dapatlah kita kalahkan keinginan yang jahat dan menanglah cita-cita yang mulia.

Tidak ada saat yang lebih berbahagia daripada pada saat itu.

Nilai kehidupan kita naik beberapa tingkat dan pribadi kita menjadi kuat.

Kais bin Ashim, seorang pujangga Arab, mengatakan,

"Cobalah sambungkan kembali tali yang telah putus. Cobalah memberi orang yang tidak mau memberimu. Cobalah memberi maaf orang yang menganiayamu."

Di sana baru akan engkau rasakan arti kemanusiaan.

Lukman Hakim mengatakan,

"Tidaklah dapat kita mengenal seseorang melainkan pada tiga waktu. Tidak dapat diketahui adakah seseorang itu pemaaf melainkan ketika ia marah. Tidak dapat dikenal orang yang berani melainkan pada waktu berjuang. Tidak dapat dikenal sahabat melainkan pada waktu susah."

Mustafa Kamil, pemimpin Mesir, mengatakan,

"Tidak dapat diketahui perasaan cinta tanah air melainkan ketika datang cobaan."

(Buya HAMKA, Pribadi Hebat, Hal. 27-35, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2014).

RENUNGAN BUDI

Ada sabda Nabi, "Bahwa orang-orang yang berpengetahuan itu (ulama) adalah penerima warisan daripada Nabi-nabi."

Orang yang merasa dirinya telah berpengetahuan banyak dan luas dalam agama lalu merasa dirinya telah patut bergelar ulama pula kerapkali berbangga dengan hadits ini.

Mereka rupanya lupa bahwa yang diwarisi dari Nabi-nabi itu bukanlah semata-mata ilmunya saja, tetapi kebebasan pribadinya.

Ulama-ulama seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali dan ulama lain yang mengikuti jejak mereka patutlah disebut penerima waris Nabi-nabi.

Tetapi orang-orang yang pendiriannya dapat dibeli atau disewa lalu menyebut dirinya ulama bukanlah penerima waris nabi melainkan perusak agama nabi.

(Buya HAMKA, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 188, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

Ulama yang bebas, seperti Syekh Thaher Jalaluddin di Malaya, suatu masa dahulu, melemparkan pangkat muftinya lalu menjadi Syekh Wartawan.

Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Abdulkarim Amrullah, dan Syekh Abdullah Ahmad yang mengeluarkan majalah al-Munir di Padang (1911), menjadilah mereka ulama merdeka.

Demikian juga Kyai Ahmad Dahlan pembangun Muhammadiyah di Yogyakarta yang hidup dengan menjual kain batik.

Demikian juga Kyai Syekh Hasyim Asy'ari di Jombang, pembangun Nahdhatul Ulama.

Ayah saya, Syekh Abdulkarim Amrullah, sampai menjadi korban keyakinan, ingat akan janjinya dengan Allah, lalu mengeluarkan fatwa yang diyakininya kebenarannya, maka dibuanglah dia dari kampung halamannya ke Sukabumi (1941) dan meninggal di Jakarta pada Tahun 1945.

Ayah saya pernah menceritakan kepada saya bahwa ketika beliau akan pulang dari Mekah (1906), utusan dari Sultan Ternate pernah menemuinya menawarkan kepada beliau jabatan mufti untuk Kerajaan Ternate.

Dan itu adalah atas anjuran guru beliau sendiri, Syekh Ahmad Khatib.

Memang, setelah hal ini lama saya pikirkan, saya benarkan bahwa tidaklah mungkin ada yang lebih baik dari yang telah terjadi.

Karena kalau sekiranya jadi ayah saya menerima jabatan Mufti Ternate itu, tentu saya sudah jadi anak seorang feodal agama di negeri itu.

Tentu senang hidup ayah saya, sibuk dengan urusan jabatan, sehingga tidak sempat mengarang.

Atau akhirnya, bercerai buruk dengan Sultan Ternate dan ulama-ulama di sana, sebab ayah saya keras sikapnya.

Tentu tidak akan terjadi perubahan Kaum Muda yang terkenal di Minangkabau yang telah beliau mulai sejak beliau turun dari Mekah Tahun 1906 itu.

Dan tidak akan berdiri Perkumpulan Sumatera Thawalib dan tidak akan berkembang Muhammadiyah disana. (Keduanya itu atas anjuran beliau).

Kami miskin, tetapi hati kami puas. Pekerjaan ayah saya mengajar tidaklah menjadi sumber pencaharian beliau untuk hidup kami.

Pada zaman modern ini, saya sendiri pun telah pernah "terperosok" menjadi pegawai negeri, sampai 9 Tahun lamanya (1950-1959). Kemudian, Presiden Soekarno menyuruh pegawai-pegawai tinggi Kementerian Agama yang menjadi anggota salah satu partai politik memilih tetap dalam partai atau berhenti jadi pegawai.

Akhirnya saya pilihlah tetap menuruti keyakinan saya dalam Partai Masyumi dan saya lepaskan pegawai tinggi.

Bersyukurlah saya pada Allah, karena hanya 9 Tahun lamanya terhenti kebebasan saya dengan mempertenggangkan beleid kebijaksanaan pemerintah, meskipun berlawanan dengan jiwa saya.

Setelah saya keluar dari jabatan itu, barulah saya merasa mendapatkan pribadi saya kembali.

Dan ternyatalah kemudian, bahwa hidup saya dan makan minum saya serta pemeliharaan anak-anak saya tetap dijamin Allah, tidak kurang suatu apa.

Dan bersyukur saya sebab setelah Pemerintah Republik Indonesia kian sehari kian menjurus diktator dan kezaliman seperti adat sultan-sultan zaman purbakala itu, saya tidak lagi jadi pegawai negeri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 146-147, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Kisah "Tasawuf Modern" dengan Pengarangnya

PENGANTAR

Satu kali pernah dikatakan satu ucapan yang belum pernah saya dengar selama hidup.

"Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia!"

Kelam pandangan mendengar ucapan itu.

Berat!

Ayah saya adalah seorang alim besar.

Dari kecil saya dimanjakan oleh masyarakat, sebab saya anak orang alim!

Sebab itu, ucapan terhadap diri saya di waktu kecil adalah ucapan kasih.

Pada usia 16 Tahun saya diangkat menjadi Datuk menurut adat gelar pusaka saya ialah Datuk Indomo.

Sebab itu, sejak usia 12 Tahun saya pun dihormati secara adat.

Lantaran itu sangat jaranglah orang mengucapkan kata-kata kasar di hadapan saya.

Kemudian saya pun berangsur dewasa. Saya campuri banyak sedikitnya perjuangan menegakkan masyarakat bangsa, dari segi agama, dari segi karang-mengarang, dari segi pergerakan Islam, Muhammadiyah, dan lain-lain.

Pada Tahun 1959 al-Azhar University memberi saya gelar Doctor Honoris Causa, karena saya dianggap salah seorang Ulama Terbesar di Indonesia.

Sekarang terdengar saja ucapan, "Saudara pengkhianat, menjual negara kepada Malaysia."

Gemetar tubuh saya menahan marah, kecil polisi yang memeriksa dan mengucapkan kata-kata itu saya pandangi, dan pistol ada di pinggangnya.

Memang kemarahan saya itulah rupanya yang sengaja dibangkitkannya.

Kalau saya melompat kepadanya dan menerkamnya, tentu sebutir peluru saja sudah dalam merobek dada saya.

Dan besoknya tentu sudah dapat disiarkan berita di surat-surat kabar:

"HAMKA lari dari Tahanan, lalu dikejar, tertembak mati!"

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

KEKOTORAN HANYA BAGI ORANG YANG KOTOR

"Perkara-perkara yang kotor adalah dari orang-orang yang kotor, dan orang-orang yang kotor adalah untuk perkara-perkara yang kotor. Sedang perkara yang baik adalah dari orang yang baik-baik, dan orang yang baik-baik menimbulkan perkara yang baik pula." (pangkal ayat 26).

Memang orang-orang yang kotorlah yang menimbulkan perbuatan kotor. Adapun perkara-perkara yang baik adalah hasil dari orang-orang yang baik pula, dan memanglah orang baik yang sanggup menciptakan perkara baik. Orang kotor tidak menghasilkan yang bersih, dan orang baik tidaklah akan menghasilkan yang kotor.

Orang yang kotor ialah orang yang iman kosong dari dalamnya. Lantaran dia kosong dari iman maka dipenuhilah yang kosong itu oleh penyakit-penyakit hati, khizit, dengki, dendam, dan benci. Tidak ada yang mengendalikan dirinya untuk berbuat baik, maka terhamburlah kekotoran hatinya itu menjadi kekotoran perbuatan.

Sebab itu maka orang yang kotor senantiasa mengotori masyarakat dengan hasil usahanya yang kotor. Dan orang yang baik karena imannya, selalu pulalah dia berjuang betapa supaya dia menghasilkan yang baik, untuk dihidangkan ke dalam masyarakat.

Yang lebih hebat lagi perjuangan itu ialah sekiranya orang yang berpendirian baik diganggu oleh orang yang berjiwa kotor, berhati kotor, berniat kotor, supaya turun ke bawah, ke tempat yang kotor pula. Artinya tempat mereka.

Misalnya diludahinya mukanya, dihamun makinya, disumpahi nistanya. Sampai kadang-kadang gemetar seluruh tubuh orang yang yakin akan kebaikannya itu mendengar atau membaca caci makinya itu.

Maka timbullah peperangan dalam hatinya, akan dilawan atau akan diam. Akan turun ke bawah atau akan tetap di tempat.

Itulah saat ujian jiwa bagi orang yang masih berniat menegakkan kesucian dan kebaikan dalam dunia ini.

Demikian payah membina kebaikan kadang-kadang meminta sepenuh tenaga, keringat, air mata dan darah.

Di saat kalau dia silap sedikit saja, kalau dia terjebak oleh jerat yang dipasang oleh si kotor itu lalu dia turun ke tempat yang rendah, cacatlah peperangan batinnya, dan tidaklah berarti apa yang telah ditempuhnya tahun demi tahun dengan susah payah itu.

Apalagi kalau apa yang telah dikerjakan itu tersurah hitam di atas putih.

Kalau seorang yang ingin menegakkan kebaikan di dunia ini, dan telah banyak meninggalkan bekas tulisan yang baik dan telah dijadikan orang pedoman hidup, satu kali karena pancingan si jahat dia sampai lupa tujuan hidupnya, lalu dia menuliskan pula atau mengucapkan pula kata-kata yang kotor dan najis, niscaya dirusakkannyalah susu sebelanga dengan nila setitik.

Oleh sebab itu Rasulullah saw. pernah bersabda,

"Bukanlah orang yang gagah perkasa itu yang terburu bertindak setelah tersinggung. Tetapi orang yang gagah perkasa ialah orang yang sanggup mengendalikan dirinya seketika dia sudah sangat marah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 283-284, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEMBALI KE MASJID

Pada permulaan bulan Desember yang telah lalu, koran Mercusuar mengadakan wawancara dengan Abuya A.R. St. Mansur mengenai beberapa hal, terutama berkenaan dengan keadaan negara dewasa ini. Setelah pembicaraan sampai kepada keadaan Bung Karno di masa sekarang, yang kian lama kian berkurang penghormatan orang kepada beliau, dan kian lama beliau kian ditentang dan ditentang orang, Abuya A.R. St. Mansur memberikan nasihatnya yang tulus ikhlas agar Bung Karno kembali ke masjid dan tinggalkan istana.

Sebagaimana yang dikatakan oleh A.R. St. Mansur agar Soekarno hidup bersama Tuhannya, apalagi dasar pertama dari Pancasila ialah "Ketuhanan Yang Maha Esa", maka janganlah Ketuhahan Yang Maha Esa itu dijadikan permainan bibir saja, tetapi letakkanlah Tuhan dalam hati, apabila hati telah diberi terang oleh cahaya Ilahi, dengan sendirinya akan besar pengaruhnya kepada rakyat banyak.

Abuya A.R. St. Mansur bukanlah seorang yang mempunyai ambisi-ambisi politik. Ia tidak membenci presiden, tetapi ia kasihan kepada presiden. Namun, apa hendak dikata, dengan gagah perkasa Bung Karno berbicara di hadapan para pengikut-pengikutnya menggolongkan A.R. St. Mansur sebagai musuhnya. Sampai di muka umum, Bung Karno mengatakan bahwa A.R. St. Mansur, seorang gembong PRRI, telah menyuruhnya turun meninggalkan istana dan kembali ke masjid. Perkataan itu diucapkan dengan penuh rasa benci, menantang, dan rasa sinis.

Siapakah A.R. St. Mansur?

Beliau ialah seorang ulama besar yang hidup sangat sederhana, la yamliku syai'an wala yamlikuhu syai'un (tidak mempunyai apa-apa dan tidak dapat dipunyai dan dikuasai oleh apa-apa dan siapa-siapa). Ia mengagumi kebesaran Soekarno bertahun-tahun lamanya.

Ia sayang karena Allah, dan benci karena Allah.

Demi setelah dilihatnya bahwa negara ini kian lama kian condong kepada pengaruh Komunis, bahkan kian lama kian dikuasai oleh Komunis, dan Bung Karno selalu membela dan memenangkan Komunis, ia pun meninggalkan Soekarno. Pada keyakinannya, untuk keselamatan aqidahnya sebagai Muslim, terutama sebagai ulama, lebih baik Soekarno dijauhi daripada didekati sebab tidak akan ada faedahnya lagi segala nasihat yang diberikan kepadanya.

Ia ingin membersihkan dirinya dan cap "Ulama Istana". Lalu di permulaan Tahun 1957 ditinggalkanlah kedudukannya sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, walaupun dalam kongres Muhammadiyah di Palembang, (yang Bung Karno pun memberikan kehormatan kepada kongres itu dengan menghadiri malam resepsinya), beliau dipilih secara aklamasi.

Sekarang, keadaan sudah jauh berubah, Komunis telah dihancurkan dan Orde Baru telah tegak, A.R. St. Mansur mengambil kesempatan menarik faedah dari perubahan itu.

MPRS telah mendudukkan presiden pada tempatnya yang sesuai dengan konstitusi, yaitu presiden dari satu negara demokrasi. Ia tidak didongkel, tetapi dikembalikan ke tempatnya yang semula.

Karena itu maka mulut tidak lagi terkunci, A.R. St. Mansur menyebut apa yang terasa di hatinya, mengajak Soekarno kembali ke masjid supaya sama-sama dapat merasakan iman kepada Allah dengan menyembah sujud kepada-Nya. Beliau tidak merasa menyesal berkata demikian. Sebab, Soekarno sejak lama telah bersedia menerima gelar Waliyul amri dharuri bisy-syaukah, "Pahlawan Islam dan Kemerdekaan", "Pengayom Agung Muhammadiyah", dan dari sekian gelar agung yang pernah beliau terima maka gelar penghabisan diberikan kepadanya, yaitu "Pengayom Alim Ulama" (Februari 1966).

Syukurlah Abuya A.R. St. Mansur bicara sejujur dan setulus itu di zaman Orde Baru. Kalau Orde Lama berkuku kembali, niscaya Abuya kita akan diistirahatkan pula dalam penjara, mengikuti sunnah Nabi Yusuf.

Bung Karno masih sudi lagi menerima berlusin gelar kehormatan keislaman untuk dipakainya kapan perlu dan ditanggalkannya juga kapan perlu.

Namun, barangsiapa yang mengajaknya menjadi orang Islam yang benar akan dipandang sebagai musuhnya.

Sedangkan orang yang pernah disebutnya sebagai gurunya diperlakukannya demikian, entahlah yang lain-lain.

Karena itu, nasihat Abuya A.R. St. Mansur yang telah dibuang ke tong sampah istana, mari kita pungut kembali,

"Mari kita kembali ke Masjid."

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 56-61, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

"Jujurlah, walaupun kejujuran itu akan membunuhmu."

Sekian fatwa Sayidina Umar bin Khaththab.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 387, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

Bagaimana kita orang Islam yang hidup di zaman modern?

Apakah kita akan menuruti lebih dahulu hidup nafsi-nafsi secara Barat itu sampai kita hancur sendiri?

Kita mempunyai tempat-tempat penting yang bagi kita lebih penting daripada Gereja yang hanya diramaikan sekali seminggu.

Kita dimestikan shalat berjamaah.

Shalat berjamaah lebih 27 kali lipat pahalanya daripada shalat sendiri-sendiri.

Imam-imam Madzhab tidak ada yang meringankan nilai shalat berjamaah.

Ada di antara mereka yang menyatakan pendapat bahwa shalat berjamaah itu adalah syarat bagi sah shalat.

Seringan-ringan pendapat mereka tentang shalat berjamaah ialah sunnah muakkad. Hanya sunnah, tetapi hendaklah diperlukan.

Dan ada pula ketentuan dari Nabi, bahwasanya orang yang berdiam dekat masjid, tidak boleh shalat di rumahnya; harus pergi berjamaah ke masjid. Sabda beliau dalam hadits yang shahih,

"Barangsiapa di antara tetangga-tetangga masjid yang mendengar seruan (adzan), akan tetapi tidak diperkenankannya, sedang ia sendiri sehat dan tidak ada beruzur, maka shalatnya tidak sah." (HR. Imam Ahmad).

Sayyidina Umar bin Khaththab menganjurkan mendirikan langgar-langgar, atau surau kecil tempat berjamaah orang selorong, atau sekorong. Dan tiap hari Jum'at, shalat Jum‘at, yaitu jamaah besar ke masjid jami'. Masjid jami' artinya ialah masjid yang mengumpulkan surau, langgar dan masjid kecil-kecil yang banyak itu.

Pada langgar-langgar kecil itu dapatlah kita bergaul, berkumpul, kenal-mengenal, dan tumbuhlah kekeluargaan. Ketaatan masing-masing kepada Allah mengikat hati kita di antara satu dengan yang lain. Orang yang selama ini merasa dirinya "rendah" menjadi naik ke atas. Menjadi sama rata.

Dengan adanya pusat kegiatan pada langgar, surau, dan masjid, suburlah jamaah itu dan hiduplah semangat yang dinamai gotong royong.

Bukan sebagai sekarang, setelah kita mengecap kulit kebudayaan Barat, orang-orang cabang atas selalu menganjurkan gotong royong, padahal dia tidak sanggup bergotong royong. Sebab hidupnya sendiri bukan hidup gotong royong.

Sehingga gotong royong hanya menjadi semacam tontonan yang diadakan pada saat-saat tertentu, untuk diambil fotonya snapshot-nya, dan disiarkan di surat-surat kabar.

Hendaklah dapat kita memperbedakan suatu gotong royong yang timbul sendirinya karena kukuhnya jamaah, daripada gotong royong karena pengerahan tenaga kekuasaan.

Sebab yang pertama berpokok pangkal dari tauhid kepada Allah yang menumbuhkan ittihad (persatuan) sesamanya,

Sedang yang kedua adalah kerja paksa yang dinamai gotong royong yang berasal dari kedaulatan manusia atas manusia.

Jamaah berdiri dengan dasar iman.

Dan iman itu dengan sendirinya memberikan juga pendidikan politik, apabila orang telah berlatih membentuk masyarakat kecil di sekeliling langgar atau suraunya dan masjidnya, niscaya ujungnya ialah kesanggupan mengatur masyarakatnya yang lebih luas.

Iman yang menimbulkan politik, bukan politik yang diiman-imankan.

Dari masjid menuju parlemen, bukan dari parlemen mencari suara ke dalam masjid.

Dan sesudah pemilihan umum tidak ke masjid-masjid lagi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 430-432, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Tiap-tiap orang yang beriman itu adalah dia Islam, tetapi tidaklah tiap-tiap orang Islam itu beriman." (Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah).

IMAN

Apakah dengan semata-mata taat mengerjakan ibadah itu saja, sudah bisa seorang disebut mukmin?

Atau apakah mentang-mentang telah meninggalkan kejahatan telah boleh disebut mukmin?

Belum!

Sebab iman itu adalah kemuliaan yang mahal harganya.

Tidaklah berbeda-beda seorang manusia dengan manusia yang lain (pada sisi Tuhan) lantaran harta-bendanya, atau lantaran pangkatnya, turunan, dan lain-lain.

Yang berbeda adalah lantaran kelebihan iman.

Sebab itu mesti diuji Tuhan lebih dahulu dalam dan dangkalnya iman seorang, murnikah atau palsu, emaskah atau kaleng.

Terang pula bahwa arti iman dengan arti Islam jauh perbedaannya.

Islam adalah bekas dari keimanan.

Dalam Al-Qur'an senantiasa disebut orang yang beriman dan beramal shaleh.

Amal shaleh itulah Islam.

Berkata Hasan Basri, tabi'in yang masyhur,

"Seketika badan sehat dan hati senang, semua orang mengaku beriman. Tetapi setelah datang cobaan, barulah dapat diketahui benar atau tidaknya pengakuan itu. Orang yang berkehendak supaya terkabul segala permintaannya itu hari ini juga tiada sabar menunggu, itulah orang yang lemah iman."

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 64, 74, 77, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

HIKMAT ILAHI

Seorang di antara anak saya pernah mengusulkan supaya di kata pendahuluan Tafsir ini saya sampaikan terima kasih kepada mereka yang telah menyusun fitnah ini, yang menyebabkan saya ditahan sekian lama. Oleh sebab tahanan inilah, Tafsir ini dapat dikerjakan dengan tenang dan dapat diselesaikan. Maka, usul anak saya telah saya jawab:

"Tidak, anakku! Ayah tidak hendak berterima kasih kepada mereka itu!

Karena, terima kasih yang demikian pun akan menambah hasad mereka juga.

Bahkan, akan mereka katakan ayah mencemooh mereka karena maksud mereka digagalkan Allah.

Ayah belumlah mencapai derajat yang demikian tinggi sehingga mengucapkan terima kasih kepada orang yang aniaya, zalim, hasad, dan dengki.

Atau, orang yang memakai kekuasaan yang ada dalam tangan mereka untuk melepaskan sakit hati.

Ayah akan tetap berpegang pada pendirian tauhid, yaitu mengucapkan syukur dan puji-pujian hanya untuk Allah. 

Allah Yang Mahakuasa atas segala kekuasaan, Allah yang lebih tinggi dari segala macam kebesaran. Allah yang ajaib siasatnya daripada segala siasat manusia. Hanya kepada-Nya-lah ayah sampaikan segala syukur dan segala terima kasih.

Adapun kepada mereka yang telah menyusun fitnah itu atau yang telah menumpangkan hasadnya dalam fitnah orang lain, setinggi-tinggi yang dapat ayah berikan hanya maaf saja. Sebab, kalau berpangkat dan berkuasa, pangkat dan kekuasaan itu adalah bergiliran di antara manusia.

Betapa tidak, karena fitnah dan hasad manusia, ayah terpencil. Padahal, dalam masa terpencil itulah ayah dapat berkhalwat dan beribadah lebih khusyu. Saat-saat senggang yang begitu luas, malamnya dapat ayah pergunakan buat ibadah, munajat, dan tahajjud. Siang yang panjang dapat ayah gunakan untuk mengarang, bertafakur, dan muthala'ah. Semuanya itu dengan pertolongan dan hidayah Allah."

Mereka yang hasad dan zalim itulah yang sebenarnya diadzab oleh perasaan hati mereka sendiri. Mereka adalah orang yang mabuk karena kekuasaan. Mereka berperang di dalam hati sendiri, di antara perasaan halus sebagai insan, dengan kekuasaan tuntutan hawa nafsu.

Niscaya di antara mereka ada juga sisa-sisa iman dalam hati mereka. Di dalam sanubari mereka kadang-kadang, tentu timbul penyesalan sebab mereka telah berbuat aniaya kepada orang yang tidak bersalah. Mereka telah menyebabkan terpisahnya seorang ayah dengan anak-anaknya, seorang suami dengan istrinya. Sebab masih ada sisa iman, masih percaya bahwa tidak ada satu kejahatan yang tidak berbalas. Mereka percaya bahwa satu waktu keadilan Allah akan berlaku atas diri mereka. Akan tetapi, karena satu kali jiwa mereka telah terjual kepada setan, mereka tidak bisa surut lagi.

Di dalam surah al-Baqarah ayat 257, diterangkan perbandingan jiwa orang yang berwali kepada Allah dengan orang yang berwali kepada setan. Adapun orang yang berwali kepada Allah, Allah akan mengeluarkan mereka dari gelap gulita ruhani-ruhani pada terang-benderang (nur) iman. Namun, orang yang berwali pada thaghuth, yaitu setan halus dan setan kasar, besar, berhala atau manusia yang diberhalakan, atau yang disebut tirani, yang di dalam bahasa Arabnya disebut juga thaghiyah, yang satu rumpun bahasanya dengan thaghuth tadi, thaghuth ini mencabut mereka dari terang kepada gelap. Kalau tadinya iman mereka sudah ada, lantaran berwali pada thaghuth, iman itu kian lama kian kabur, yang akhirnya bisa habis. Mereka kadang-kadang menyesal, tetapi tidak dapat lagi melepaskan diri dari ikatan thaghuth itu. Sehingga kita dapat bertanya, "Siapakah yang beroleh kemerdekaan jiwa? Apakah kami yang dianiaya dan difitnah, ataukah penganiaya dan tukang-tukang fitnah itu sendiri?"

Tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah tatkala beliau telah dipenjarakan karena hasad dengki musuh-musuhnya. Pada waktu beliau hidup, dia hanya manusia biasa, bukan berpangkat, bukan berkuasa. Maka, pihak-pihak yang berkuasa mempergunakan kekuasaan untuk menahan beliau sehingga bertahun-tahun lamanya beliau meringkuk dalam penjara. Sebabnya hanya satu, yaitu jiwanya tidak bisa dibeli dengan pangkat. Maka, berkatalah beliau kepada muridnya, Ibnul Qayyim, yang sama-sama dipenjarakan orang, "Apakah lagi yang didengkikan oleh musuh-musuhku kepadaku? Penjara itu bagiku adalah untuk berkhalwat dan pembuangan adalah untuk menambah pengalaman! Orang yang terpenjara ialah yang dipenjarakan oleh hawa nafsunya dan orang yang terbelenggu itulah yang telah dibelenggu oleh setan."

Tidaklah dapat saya menghitung berapa nikmat llahi yang telah saya terima. Satu di antara nikmatnya yang besar kepada saya ialah saya tidak termasuk dalam golongan tukang fitnah dan tidak pula termasuk orang yang zalim.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah mengatakan bahwasanya tanda orang yang berjalan atas yang hak ialah bila dia mati diantarkan jenazahnya ke pusaranya oleh ribu-ribu manusia, dengan sukarela. Perkataan Ahmad bin Hanbal ini dicatatkan kembali oleh pengarang riwayat hidup Ibnu Taimiyah setelah beliau wafat. Dia menyaksikan bahwa ketika jenazah Ibnu Taimiyah diantarkan dari dalam penjara Damaskus ke perkuburan, telah diiringkan oleh tidak kurang dari satu juta manusia!

Ibnu Taimiyah telah wafat, sebab itu dia tidak menyaksikan begitu besar jumlahnya orang yang mencintainya. Akan tetapi, saya sekali lagi bersyukur kepada Allah dan beribu kali lagi bersyukur kepada Allah karena saya dengan sebab tahanan ini dapat menyaksikan bahwa masih ada rupanya orang yang mencintai saya, baik sejak saya dalam tahanan di rumah sakit maupun setelah dalam tahanan rumah, ataupun setelah tahanan kota. Ada utusan dari Aceh, Sumatra Timur, dan Palembang. Salah seorang utusan dari Palembang ini ialah seorang ulama dari Mesir, dosen salah satu perguruan tinggi Islam di sana. Beliau menyampaikan pula bahwa ulama-ulama di al-Azhar mendoakan moga-moga saya lekas terlepas dari bala bencana ini. Dan juga, utusan dari Makasar, Banjarmasin, Jawa Timur, Nusa dan Tenggara Barat. Dari beberapa kawan yang kembali dari mengerjakan haji, saya terima kabar bahwa beratus-ratus di antara mereka mendoakan di Multazam, moga-moga keadilan Allah berlaku, kejujuran menang, dan kecurangan tumbang.

Dari usia masih muda remaja sampai mulai tua menjunjung uban, tidaklah mendatar saja jalan yang harus saya tempuh. Karena, tahanan lebih dua tahun ini adalah menjadi salah satu mata rantai kalung keemasan yang ditatahkan pada leher sejarah hidup saya. Ia menjadi lebih indah lagi karena kezaliman dan fitnah ini baru menimpa saya setelah tanah air saya merdeka! 

Aneh, tetapi benar!

Susun kata apakah lagi yang harus saya susunkan untuk mengucapkan syukur dan puji-pujian kepada Allah atas segala nikmat yang telah Dia berikan kepada saya. Aniaya manusia diputar oleh-Nya menjadi nikmat. Saya difitnah, dizalimi, dan dipisahkan dari masyarakat, tetapi iman saya bertambah dalam kepada-Nya. Cinta saya tidak dapat lagi diperbandingkan dengan segala macam cinta.

Ada beberapa orang murid saya yang mengatakan bahwa pangkat saya di dalam hati kaum Muslimin, khususnya yang berbahasa Indonesia dan berbahasa Melayu, sudahlah tinggi.

Saya mensyukuri penilaian itu dan saya akui. Namun, saya tambahkan lagi, pangkat ini saya cari sendiri dengan tidak merugikan orang lain dan tidak dengki pada pangkat orang lain. Pangkat ini tidak saya dapat dengan berpijak di atas kuduk orang-orang yang memusuhi saya; syukur alhamdulillah! 

Moga-moga Tafsir al-Azhar ini, sebagai oleh-oleh saya dari tahanan, hendaknya dapat berguna dan berfaedah bagi kaum dan bangsa saya yang haus akan penerangan agama. Selanjutnya, moga-moga ia pun menjadi salah satu alat untuk saya mendapat syafaat dari Allah di akhirat. Amin!

WASSALAM,

Dr. H. Abdul Malik Abdul Karim Amrullah

Kebayoran Baru Jakarta 1386 H
(1966 M).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 50-54, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).