Rabu

PERJUANGAN PARA ULAMA NUSANTARA DI MEKAH

Kisah Teladan Syekh Ahmad Khatib

Sehubungan dengan ini, teringatlah penafsir akan cerita yang disampaikan kepada penafsir oleh sahabat penafsir Almarhum Sayyid Abdulhamid al-Khatib, putra dari Almarhum Syekh Ahmad Khatib, ulama Minangkabau yang masyhur di Mekah di permulaan abad kedua puluh itu (Syekh Ahmad Khatib meninggal tahun 1916).

Sayyid Abdulhamid bercerita bahwa seketika ayahnya masih menuntut ilmu di Masjidil Haram, kerap dia singgah di Babus Salam, pada sebuah kedai kitab kepunyaan seorang Kurdi, yang bernama Sayyid Hamid Kurdi.

Dia singgah di sana membeli kitab-kitab yang penting. Kadang-kadang kalau dia tidak ada uang buat pembeli, dia meminta permisi saja muthala'ah salah satu kitab penting itu, dan dia duduk beberapa saat membalik-baliknya dan memerhatikan satu masalah yang sedang hendak dia pecahkan.

Hamid Kurdi senantiasa memerhatikan buku yang dibaca pemuda ini atau buku yang dibelinya. Tahulah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang benar-benar besar kemudiannya.

Lalu dia bertanya kepada pemuda itu dengan siapa dia belajar dan dari mana asal usulnya dan apa madzhab yang dianutnya.

Ahmad Khatib telah menceritakan siapa-siapa gurunya, di antaranya ialah Sayyid Zaini Dahlan. Ulama Syafi'iyah yang terkenal di masa itu. Dikatakannya bahwa dia berasal dari Bukittinggi (Kotogadang) Minangkabau, dari keturunan orang-orang terkemuka juga dalam adat dan agama di negeri itu.

Mendengar jawaban itu, timbullah persahabatan yang mesra di antara si penjual kitab dengan pemuda Ahmad Khatib.

Terbukalah toko kitab Hamid Kurdi untuk Ahmad Khatib muthala'ah sesuka hatinya. Mana yang berkenan kepada hatinya boleh diambil saja.

Hamid Kurdi tahu bahwa pemuda ini kaya dengan cita-cita, tetapi kurang dalam hal harta, meskipun dia dari keluarga orang baik-baik di negerinya.

Akhirnya rasa suka itu telah lebih mendalam sehingga Hamid Kurdi menawarkan kepada Ahmad Khatib supaya sudi menjadi menantunya. Apatah lagi madzhab orang Kurdi umumnya ialah sama dengan madzhab orang "Jawi" bangsanya Ahmad Khatib.

Oleh karena sangat pandainya Hamid Kurdi membujuk pemuda ini, dengan menerangkan melarat yang akan ditemuinya kalau tidak ada istri yang menyelenggarakan, akhirnya Ahmad Khatib tunduk.

Tetapi dia menyatakan terus terang bahwa dia tidak ada uang. Kalau diminta ke kampung, belum tentu ayahnya akan memberi, atau terlalu lama baru datang, menunggu orang akan naik haji akan membawanya.

Hamid Kurdi mengatakan bahwa asal dia mau kawin dengan anaknya, urusan mas kawin tidak perlu dia susahkan.

Ketika Ahmad Khatib masih ragu akan diterima atau tidak, Hamid Kurdi telah mengumpulkan keluarganya. Lalu memberitahu kepada mereka bahwa pemuda Ahmad Khatib yang alim meminang putrinya dan telah sedia membayar mas kawin 500 rial majidi.

Setelah dia terangkan kelebihan pemuda ini, terutama sekali persamaan madzhab, seluruh keluarga menjadi setuju. Setelah mereka bubar, diserahkannya uangnya sendiri 500 rial kepada Ahmad Khatib. Dikatakannya uang ini hadiahku kepadamu, buat mas kawin istrimu kelak, yang akan engkau bayar kontan di hadapan qadhi.

Berlangsunglah perkawinan itu. Ahmad Khatib membayar mahar istrinya dari uang yang disodorkan dari jalan belakang oleh bakal mertuanya sendiri.

Setelah Ahmad Khatib bertemu dan bergaul dengan istrinya, dan uang itu telah diterima oleh si istri. Si istri pun setelah menyerahkan jiwa raganya, berkata pula kepada suaminya, karena suaminya itu seorang alim besar, dia ingin sekali menyerahkan mas kawin itu kepada beliau, sebagai hadiah dari seorang murid kepada guru.

Anak tidak mengetahui bahwa ayahnya yang menyodorkan mas kawin itu, dari jalan belakang untuk membela air muka menantu.

Karena yang diharapkannya dari menantu itu bukan hartanya, melainkan ilmunya.

Si ayah pun tidak tahu bahwa uang itu telah dihadiahkan pula kembali oleh anak perempuannya kepada suaminya, sebagai hadiah murid kepada gurunya.

Bertahun-tahun di belakang, setelah harapan dari Hamid Kurdi tercapai, telah bermenantu seorang ulama besar, pengarang kitab-kitab agama yang terkenal, Professor Agama Islam di Masjidil Haram, bermurid beratus-ratus orang yang datang dari seluruh pelosok tanah Indonesia. Yang waktu itu masih bernama Jawi.

Barulah kedua rahasia ini terbuka.

Semuanya disyukuri kepada Allah.

Pada saat itu Ahmad Khatib telah menjadi salah satu bintang ulama Syafi'iyah yang terkenal di seluruh pelosok dunia Islam.

Ahmad Khatib pun telah diangkat oleh Syarif Mekah menjadi Imam dan Khatib dari Masjidil Haram.

Beberapa tahun kemudian istrinya yang tercinta dan salihah itu meninggal dunia.

Sekali lagi Hamid Kurdi meminta Ahmad Khatib supaya kawin dengan adik almarhumah.

Tetapi sekarang mas kawin buat istrinya yang kedua itu tidak lagi disodorkan dari jalan belakang. Sebab Ahmad Khatib telah menjadi salah seorang penduduk Mekah yang terkemuka, dan kaya, dikenal di dalam istana Syarif Mekah sendiri.

Cerita ini mengingatkan kita kepada ayat yang sedang kita tafsirkan.

Yaitu membayar mas kawin adalah Wajib. Tetapi keridhaan di antara suami dan istri adalah di atas segala mas kawin atau nafkah.

Bahkan keridhaan kedua belah pihak adalah alat sejati di dalam menempuh pasang naik atau pasang turun di dalam melayarkan kehidupan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 252-254, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Ayahku

Beliau pun pulanglah mengadukan hal itu kepada gurunya Syeikh Ahmad Khatib. Beliau terangkan semua kejadian itu.

Mendengarkannya, gurunya tertawa terbahak-bahak dan berkata:

"Ya Waladi Habib! (Hai anakku yang kusayang!) Engkau tidak tahu rahasia hal ini. Ini adalah dari kedengkian belaka.

Engkau dilarang mengajar sebab engkau muridku. Cuba engkau tempo hari belajar dengan dia, tentu engkau mudah sahaja mengajar.

Inilah perjuangan di Mekah, anakku! Kita bangsa Jawi, mereka bangsa Arab.

Mereka merasa lebih tinggi dan lebih berhak.

Dan mereka memandang rendah kepada kita, dan menyangka bahawa bangsa Jawi tidak mengetahui suatu apa. Apatah lagi akan mengajarkan kitab bahasa Arab.

Dan ada lagi satu, Rasul! (Haji Rasul, -pen) Saya adalah murid dari musuhnya, iaitu Sidi Syeikh Al-Bakri.

Beliaulah yang mengarang Hasyiah Fathul Win itu. Itulah sebabnya engkau dilarangnya membaca Hasyiah tersebut."

Syeikh Ahmad Khatib menyambung pula:

"Saya sendiri pun dahulu tatkala mula-mula mengajar di Masjidil Haram dilempar pula dengan berbagai-bagai fitnah.

Silau benar mata mereka melihat kita maju, sehingga disuruhnya orang melempariku dengan Batu tatkala mengajar, sampai pecah Lampuku."

(Buya HAMKA, Ayahku, 93, PTS Publishing House Malaysia, 2015).