Rabu

BUYA HAMKA QUOTE TBC (TAHAYUL, BID'AH DAN CHURAFAT). SERUAN KEMBALI KEPADA AL-QUR'AN DAN AS-SUNNAH DSB.

AYAHKU

SAMPAI DI KAMPUNG

Bid'ah dan Khurafat telah mulai dibantahnya dengan sikapnya yang keras. Lebai-lebai selalu merasa sakit (hati) karena tikamannya.

Tentu saja udara Mekah selama 7 tahun, bergaul dengan guru yang radikal, telah membentuk jiwa anak muda itu.

(Buya HAMKA, AYAHKU, Hal. 67, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

BUYA HAMKA SOSOK TELADAN: Pengawal Akidah Umat

kemenag.go.id/home/artikel/12724

"Ibnu Taimiyah Nusantara." (Riwayat Hidup HAMKA - Dr Rozaimi Ramle).

youtube.com/watch?v=irIWCrvw9Hw

"HAMKA - The Single Fighter." (Dato Dr Asri).

youtube.com/watch?v=Wio8_VMDGsU

AYAHKU

PESANNYA KEPADA MUHAMMADIYAH

Hanya satu yang akan Ayah sampaikan kepada Pengurus Besar Muhammadiyah, tetaplah menegakkan Islam! Berpeganglah teguh dengan Al-Qur'an dan Sunnah! Selama Muhammadiyah masih berpegang dengan keduanya, selama itu pula Ayah akan menjadi pembelanya. Namun, kalau sekiranya Muhammadiyah telah menyia-nyiakan itu dan hanya mengemukakan pendapat pikiran manusia, Ayah akan melawan Muhammadiyah biar sampai bercerai bangkai burukku ini dengan nyawaku!

GERAK ILHAM

Pada akhir bulan November 1940 M, aku masih sempat menziarahinya (Haji Abdul Karim Amrullah) ke Sungai Batang. Wajahnya kelihatan muram. Dalam beberapa tabligh, beliau berfatwa dengan hati sedih, "Sejak mudaku, aku memberikan fatwa kepada Tuan-Tuan sampai uban telah tumbuh di kepalaku. Namun, Tuan-Tuan masih juga liar dari agama. Pemuda-pemuda masih banyak yang melalaikan agama. Perempuan telah banyak pula kembali mendurhakai suaminya. Adat jahiliyah masih ditimbul-timbulkan. Kalau aku tidak ada lagi di nagari ini, barulah nanti Tuan-Tuan tahu siapa sebenarnya aku ini. Waktu itulah, Tuan-Tuan akan meratapi kehilangan aku pada hari yang tidak ada faedah meratap lagi." Pada waktu itulah, beliau berpesan kepada Muhammadiyah, dengan perantaraanku (Hamka), yang mesti aku sampaikan sendiri kepada K.H. Mas Mansur, "Supaya Muhammadiyah tetap menegakkan Al-Qur'an dan Hadits. Jika Muhammadiyah masih tetap menegakkan itu, aku akan tetap membela sampai mati. Namun, jika Muhammadiyah telah mempergunakan ra'yi sendiri dalam hal agama, mulailah aku akan menjadi lawannya pula sampai mati."

AL-IMAM

Al-Imam adalah musuh yang sangat bengis bagi sekalian Bid'ah, Khurafat, ikut-ikutan dan adat yang dimasukkan dalam agama.

(Buya HAMKA, AYAHKU, Hal. 226, Hal. 243, Hal. 113, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

AYAHKU

Sejak dari Mekah, sudah terkenal kesungguhannya menelaah buku-buku. Dahulunya, hanya terbatas pada kitab-kitab fiqih Madzhab Syafi'i. Namun kemudian, beliau menelaah pula kitab-kitab dari madzhab lain, kitab dari keempat madzhab itu. Alhamdulillah, masih cukup sampai sekarang. Akhirnya, terpakulah matanya pada kitab Zadul Ma'ad karangan Ibnu al-Qayyim, yang dikenal dalam lingkungan Madzhab Hambali. Namun, Ibnu al-Qayyim dan Ibnu Taimiyah dikenal pula sebagai pelopor yang akan dituruti oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri golongan Wahabi. Dalam penyelidikan analisis modern, dalam orang menilik kebangkitan Islam kembali, kedua ulama ini, Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim, adalah permulaan pembangun pikiran baru dalam Islam. Sebagaimana diketahui dalam sejarah hidup kedua ulama itu, keduanya sangatlah dimusuhi oleh ulama-ulama yang mempertahankan taklid. Bahkan, pernah dituduh bahwa Ibnu Taimiyah menganut paham mujassimah, yaitu mengatakan bahwa Tuhan bertubuh. Kedua ulama itu tidak sunyi-sunyinya dari kejar-kejaran pemerintah sampai berulang-ulang masuk penjara. Bahkan, Ibnu Taimiyah meninggal dalam penjara. Kemudian, sampailah telaah ayahku rupanya pada kitab Zadul Ma'ad itu. Hal yang mula beliau lihat adalah bahwa melafalkan niat sebelum sembahyang tidaklah berasal dari Nabi saw., tidak dari sahabat-sahabat dan tidak dari imam-imam yang empat. Mulanya, beliau masih takut-takut. Kemudian, beliau kirim beberapa surat kepada ulama yang lain, di Minangkabau, meminta pertimbangan mereka tentang tulisan Ibnu al-Qayyim dalam Zadul Ma'ad ini, adakah kiranya alasan untuk membantah pendapat itu. Kemudian, ada yang menjawab bahwa mereka telah menelaah pula akan kitab itu dan telah sama ragunya dengan beliau tentang baiknya melafalkan niat waktu sembahyang itu, yang lebih terkenal dengan sebutan ushalli. Namun, ada pula yang dengan sekaligus lalu menyatakan celaan kepada beliau, mengapa kitab itu yang dibaca, padahal kitab itu bukanlah kitab karangan ulama madzhab kita. Apalagi, nama Ibnu al-Qayyim itu tidak begitu disukai orang lagi karena ada karangannya yang menyalahkan orang menziarahi kuburan Rasulullah saw. di Madinah. Mengapa pula beliau melepaskan pendirian selama ini, yaitu taklid dalam madzhab sendiri. Ulama yang mulai menyerang beliau itu adalah Syekh Saad di Mungka Payakumbuh. Disini, bangkitlah marahnya. Maksudnya hanya semata-mata hendak bertukar pikiran pada mulanya. Namun, telah disambut dengan cara demikian, beliau dituduh bodoh. Kemudian, beliau karanglah kitab bantahan yang keras pula kepada Syekh Saad, yaitu kitab al-Fawaidul Aliyah. Seorang ulama pula, yaitu Haji Abdullah Ahmad -- ketika itu, belum pindah dari Padang Panjang ke Padang segera menulis surat kepada Syekh Ahmad Khatib, guru yang sangat mereka cintai, menanyakan pendapatnya tentang keraguan yang telah timbul pada murid kesayangannya, Haji Abdul Karim ini, bagaimana yang sebenarnya. Kemudian, datanglah balasan dari Mekah. Syekh Ahmad Khatib rupanya agak marah kepada ayahku, mengapa soal itu dibuka. Kemudian, Syekh Ahmad Khatib menguatkan bahwa lebih baik juga ushalli dipakai. Demi menerima serangan dari Syekh Saad Mungka dan penyesalan dari gurunya yang sangat dihormatinya, bertambah tersinggunglah perasaannya. Serangan Syekh Saad Mungka menambah mendorong beliau untuk mempersiap diri, dan penyesalan gurunya menambahkan ragunya, mengapa gurunya yang mendidiknya selama ini bebas berpikir telah menghambat kebebasan pikiran itu? Jawab beliau kepada gurunya sangat hormat. Kedua reaksi inilah yang mendesak beliau untuk mencari kekuatan dalam dirinya sendiri, tiada bergantung kepada orang lain lagi. Beliau teruskanlah memperlengkap penyelidikannya kepada Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim. Beliau membeli kitab-kitab kedua ulama itu, kitab mana yang masih kurang, dan beliau meminjam kitab yang tidak dapat dibeli. Pada hari ke-24 bulan Muharram 1333 H, bersetuju dengan 12 Desember 1914 M, pada penutup kitabnya, Sullamul Wushul, dijelaskanlah pendiriannya yang sekarang dan dicabut beliaulah pendirian selama ini, menuruti paham ulama lama, bahwa mujtahid telah putus. Pada waktu itu juga, ditegaskan beliau bahwa sekarang beliau berpaham bahwa mujtahid dan ijtihad tidaklah akan putus-putus sampai hari Kiamat -- artinya selama pikiran manusia masih berjalan. Melihat keberaniannya (Haji Abdul Karim Amrullah) menyatakan pahamnya dengan membuka (soal) ushalli itu, niscaya timbullah lawan dan timbullah kawan. Syekh Saad Mungka, Syekh Khatib Ali Padang, Tuanku di Bayang dan lain-lain berdiri di pihak yang menentangnya. Namun, Syekh Muhammad Jamil Jambek, Syekh Muhammad Thaib Sungayang, Syekh Abbas, Syekh Mushthafa Padang lapang, Syekh Ibrahim bin Musa Parabek dan lain-lain berdiri di pihak yang membelanya. Adapun Syekh Abdullah Ahmad, yang awalnya disesali oleh ayahku sebagai orang yang mengadukan beliau kepada guru mereka di Mekah, rupanya adalah seorang yang berpikir luas dan memandang jauh. Kagumlah beliau (Syekh Abdullah Ahmad) melihat keberanian kawannya, dari Danau Maninjau ini, menyatakan pahamnya (paham Haji Abdul Karim Amrullah) meskipun bertentangan dengan gurunya. Oleh karena itu, salah satu yang mendorongnya menerbitkan majalah al-Munir di Padang, pada bulan April 1911 M itu, adalah hendak menebarkan paham-paham baru dalam Islam itu sehingga beliau pun pindahlah dari Padang Panjang ke Padang, dan diajaknya ayahku supaya pindah pula mengajar ke Padang, meninggalkan negeri Danau yang kecil itu. Oleh sebab itu pula, masalah pertama yang menyebabkan tumbuhnya apa yang dinamakan Kaum Muda dan Kaum Tua di Minangkabau adalah masalah ushalli ini.

Setelah beliau (Haji Abdul Karim Amrullah) berterang-terang menyatakan tidak lagi mau bertaklid-taklid saja, tidaklah kita heran jika pihak lawannya melekatkan cap Mu'tazilah, Wahabi dan kadang-kadang Syi'ah kepada beliau dan kawan-kawannya. Niscaya, pada mulanya, tentu sakit juga rasanya karena pukulan-pukulan yang demikian. Tentu keberatan dikatakan Wahabi, Mu'tazilah dan Syi'ah, karena dari kecil telah dididik dan diajar bahwa ketiga nama itu adalah nama yang sangat tidak baik. Tentu saja, mulanya, masih keberatan dengan tuduhan itu. Namun, kalau kita selidiki dengan saksama, yang menuduh tidak pula seluruhnya salah. Bukankah Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim itu pelopor yang menimbulkan Wahabi? Bukankah Muhammad bin Abdul Wahhab senantiasa menyandarkan pahamnya pada kedua imam itu? Bukankah Mu'tazilah menjadi pelopor rasionalisme (kebebasan pikiran) dalam Islam? Bukankah Syi'ah yang berpendirian, sampai sekarang ini, bahwa mujtahid tidak putus sampai hari Kiamat? Bahkan, sampai sekarang, orang Syi'ah masih tetap menggelari ulamanya yang besar dan mendalam ilmunya dengan gelar mujtahid? Mulanya, memang marah beliau dengan tuduhan-tuduhan itu, karena tuduhan menjadi Wahabi, atau Mu'tazilah, atau Syi'ah, adalah tuduhan yang amat berat pada masa itu terhadap golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Namun kemudian, kian lama segala tuduhan bukanlah dipandang beliau penghinaan lagi, melainkan sebagai kebanggaan, terutama tuduhan menjadi Wahabi. Apalagi, setelah kemenangan kaum Wahabi (Raja Ibnu Sa'ud) menguasai tanah Hijaz. Tuduhan menjadi Mu'tazilah ditangkis beliau dengan baik, "Memang," kata beliau, "ada juga paham Mu'tazilah yang diakui oleh Ahlus Sunnah, terutama dalam kemerdekaan berpikir. Namun, yang mengenai aqidah, tetaplah aku memakai Madzhab Salaf!" Tentang tuduhan berpaham Syi'ah dijawab beliau pula, "Dalam hal mujtahid tidak akan putus-putus sampai hari Kiamat, memang aku setujui paham kaum Syi'ah. Adapun yang lain, tidak!"

Ahmad Rasyid Sutan Mansur bercerita, "Pada suatu hari, ketika aku mengiringi beliau dalam perjalanan dari Muara Pauh ke Kubu, sesampai di Batang Renggas, di bawah lindungan batang kapas bungkuk di tepi jalan, beliau berkata padaku, 'Ahmad! engkau telah aku ajar berpikir bebas. Engkau telah kuajar melepaskan taklid buta. Oleh karena itu, ke mana pun engkau pergi, hendaklah engkau berani mempertahankan kebenaran. Kalau engkau pengecut mempertahankan kebenaran, akan aku suapkan najis ke dalam mulutmu!'"

(Buya HAMKA, AYAHKU, Hal. 401-406, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

ALLAH SWT MEMPUNYAI BANYAK MATA

Mu'tazilah, yang mementingkan penggunaan akal di dalam merenungkan sesuatu. Yaitu tentang sabda Allah SWT pada ayat 27 tadi, "Mata-mata Kami". Orang Mu'tazilah menguatkan, bahwa yang dimaksud dengan mata di sini ialah pandangan Allah SWT, bukan mata sebagaimana yang kita pikirkan. Karena kalau dikatakan mata Allah SWT itu sebagai mata yang kita pikirkan, takut kalau Allah SWT diserupakan dengan makhluk. Hendaklah Allah SWT dibersihkan (tanziih) dari perserupaan. Tetapi kaum Salaf tidak mau memberi arti lain.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 189, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AGAMA ISLAM DALAM MEMBENTUK RIWAYATNYA

Rasulullah saw. pernah bersabda, "Kamu akan mengikut jejak pemeluk agama yang sebelum kamu tapak demi tapak (Yahudi-Nasrani) ..." (HR. Bukhari dan Muslim). Bertemulah apa yang dikatakan Nabi Muhammad saw. itu. Akhirnya, ulama itu telah mengikut jejak pendeta Nasrani, tidak lagi menjadi penunjuk jalan. Tidak ada lagi kemerdekaan berpikir dan menimbang, melainkan harus ditelan dan harus diterima apa yang dikatakan oleh ulama. Menjadi taqlid buta, menurut dengan tuli, tidak boleh ditukar dengan yang lain. Kata jangan lebih banyak daripada kata boleh. Apakah yang dibicarakan oleh ulama itu? Dahulu kala ulama-ulama yang dahulu mengambil istinbat hukum dari Al-Qur'an sendiri, Hadits Nabi saw. disaring benar-benar karena telah banyak campuran buatan manusia yang mempunyai maksud untuk kepentingan sendiri. Lalu ulama itu mempergunakan ijtihad. Ijtihad itu mereka namakan "zan" tidak hukum "yakin". Ulama itu berkata, "Bahwa jika bertemu kataku itu dan bertemu pula hadits yang shahih tinggalkanlah kata-kataku itu dan ambil hadits yang shahih." Ada pula berkata, "Jangan dipegang perkataanku atau perkataan ulama yang lain, tetapi peganglah Al-Qur'an dan as-Sunnah yang shahih."

Mula-mulanya tentulah timbul ke muka ulama lama yang sebetulnya ahli, lama-lama pangkat itu sudah boleh dibeli dengan uang suap. Akhirnya pangkat itu menjadi hak keturunan seperti pangkat raja juga. Melalui keturunan atau diperjualbelikan itu, ulama itu bukan lagi karena ilmu, tetapi cukup dengan pakaian saja, serban besar-besar, jubah dalam, tasbih dan azimat. Ilmunya sangatlah piciknya. Yang bernama "ulama" hanyalah yang tahu kitab fiqih mutaakhirin di dalam madzhabnya. Dia tidak berani mempelajari fiqih dari pokoknya, yaitu Al-Qur'an atau al-Hadits. Karena menilik Al-Qur'an dan al-Hadits itu adalah martabat ijtihad, sedangkan beliau adalah martabat muqallid. Nyatalah di zaman kemundurannya itu, ulama-ulama tadi telah dididik merasa diri rendah sehingga jika sekiranya ada orang yang hendak kembali mengambil hukum dari Al-Qur'an dan al-Hadits, dipandang sebagai orang sesat, yang memecah ijma', melawan ulama dan lain-lain tuduhan. Jika bertemu hukum yang tepat di dalam Al-Qur'an itu (tetapi bersalahan dengan tafsir atau fatwa yang dikeluarkan oleh ulama-ulama di dalam madzhabnya) yang dahulu dipakainya ialah fatwa ulama itu. Al-Qur'an singkirkan ke tepi dahulu.

Setelah agama Islam mundur, arti ulama itu telah dipersempit. Ulama itu ialah yang tahu kitab suci, fiqih cara taqlid kepada pengarang-pengarangnya yang telah lama, budak dari matan karangan itu. Tidak berani keluar dari garis bunyi kitab sebab pikirannya sendiri tidak berjalan. Ia menjadi jumud, beku. Bunyi kitab karangan manusia itulah yang mereka namakan nash!

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 48-51, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

MENUHANKAN MANUSIA

"Telah mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi Tuhan-Tuhan selain Allah dan (juga) al-Masih anak Maryam, padahal tidaklah mereka diperintah, melainkan supaya menyembah kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa tidak ada Tuhan melainkan Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan itu." (at-Taubah: 31).

Kalimat ahbar, kita artikan guru-guru, jamak dari habr, sebutan bagi pendeta Yahudi. Ruhban kita ambil arti yang biasa, yaitu pendeta, sebutan terhadap pimpinan agama Nasrani. Ruhban adalah kata jamak dari rahib. Selain dari panggilan hibr bagi pendeta Yahudi ada juga sebutan rabbi. Sebelum timbul golongan Protestan, kata rahib itu bertali juga dengan tidak kawin. Di dalam ayat ini dikatakan bahwasanya orang Yahudi dan Nasrani telah menganggap pendeta mereka sebagai Tuhan selain dari Allah. Sesudah itu ditambahkan pula khusus bagi orang Kristen bahwasanya al-Masih pun mereka anggap juga sebagai Tuhan. Arbaab seperti kita ketahui adalah jamak dari kalimat rabbun, yang kita artikan Tuhan, dalam sifat-Nya sebagai pengatur, pemelihara dan pendidik alam ini. Kalimat rabbun yang berarti Tuhan, adalah timbalan dari kalimat ilah. Di dalam ayat ini diterangkan bahwa pemeluk kedua agama itu telah menganggap atau memandang guru-guru dan pendeta-pendeta mereka sebagai Tuhan.

Untuk mengetahui arti dan tafsir dari keadaan ini, lebih baik kita dengar tafsiran dari Rasulullah saw. sendiri. Menurut riwayat dari Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir, yang diterima dari beberapa jalan riwayat dari Adi bin Hatim. Ringkasan cerita ialah begini:

Ketika seruan Rasulullah saw. telah sampai, maka Adi bin Hatim itu melarikan dirinya ke Syam. Sebab dia dan ayahnya telah memeluk agama Nasrani dari zaman jahiliyyah. Ayahnya Hatim terkenal namanya dalam sejarah Arab karena dermawannya. Beliau yang dermawan ini tidak sampai bertemu dengan Rasulullah saw. Tetapi Adi hidup di zaman Rasul. Dalam satu serangan Islam, saudaranya yang perempuan dan satu rombongan dari kaumnya telah tertawan. Setelah beberapa lama dalam tawanan, karena perlakuan yang baik, perempuan itu masuk Islam. Lalu dia dibebaskan Rasulullah saw. dan dibiarkan pulang kepada saudaranya Adi bin Hatim itu. Setelah dia menggabungkan diri kepada saudaranya kembali, perempuan ini menerangkan kepadanya betapa kebagusan ajaran Islam dan dianjurkannya supaya Adi datang kepada Rasulullah saw. ke Madinah bersama kaumnya, sedang dia adalah pemimpin mereka di negeri Thaif. Ajakan saudara perempuannya itu diturutinya dan datanglah dia satu rombongan ke Madinah. Penduduk Madinah banyak membicarakan kedatangan orang penting ini. Setelah diberi kesempatan menghadap Rasulullah saw., di dadanya masih terjuntai kalung salib dari perak. Ketika dia masuk itu kebetulan Rasulullah saw. sedang membaca surah Bara'ah dan tepat mengenai ayat yang kita tafsirkan. (Mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi Tuhan-Tuhan selain Allah). Lalu beliau berkata, "Tidaklah mereka menyembah mereka." Artinya, tidaklah ada orang Nasrani menyembah, yaitu mempertuhan pendeta-pendeta sebagai tersebut dalam ayat itu. Maka Rasulullah saw. menjawab, "Bahkan! Karena sesungguhnya pendeta-pendeta itu mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, lalu mereka ikuti saja. Itulah yang dinamai mereka beribadah (memuja) kepada pendeta-pendeta itu." Sejurus sesudah itu, berkatalah Rasulullah saw. kepadanya, "Hai Adi, bagaimana pendapatmu? Apakah ada salahnya untuk diri engkau jika engkau mengucapkan Allahu Akbar? Adakah engkau mengakui ada sesuatu yang lebih besar dari Allah? Apa yang akan menyusahkan engkau? Apakah engkau keberatan mengatakan laa ilaaha illallah? Adakah engkau mengetahui ada Tuhan selain Allah?" Dengan cara demikian, Rasulullah saw. memulai, lalu beliau teruskan mengajaknya agar masuk Islam saja. Rupanya ajakan Rasulullah saw. itu termakan olehnya, karena memang Allah-lah yang besar dalam pendapat pikiran murninya, tidak ada yang lebih besar dari Allah. Dan tidak ada Tuhan melainkan Allah. Dia pun menyatakan diri masuk Islam dan diucapkannyalah Syahadat Kebenaran. Akhirnya Adi berkata, "Aku lihat wajah beliau berseri-seri."

Dari riwayat Sayyidina Adi masuk Islam ini, yang tersebut dalam beberapa kitab tafsir, dapatlah kita mengerti bahwa Nasrani menuhankan pendeta yang sampai diibadahi sebagai mengibadahi Allah, memang tidak ada. Tetapi mereka telah menerima apa yang telah diatur dan disusun oleh pendeta-pendeta itu sebagai perintah yang luhur dan kudus, sekali-kali tidak boleh dibantah, sehingga samalah perintah itu dengan perintah Tuhan sendiri. Sesuatu yang mereka katakan haram, meskipun halal kata Allah, maka yang dikatakan oleh pendeta itulah yang benar. Demikian juga yang haram kata Allah, kalau pendeta mengatakan halal, menjadi halal-lah dia.

Inilah yang dijelaskan lagi oleh Imam ar-Razi dalam tafsir beliau Mafatihul Ghaib, "Kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Arbab (Tuhan-Tuhan) terhadap pendeta itu bukanlah bahwa mereka berkepercayaan bahwa pendeta yang menjadikan alam ini, tetapi bahwa mereka patuhi segala perintah dan larangan mereka!" Berkata ar-Rabi', "Aku bertanya kepada Abul Aliyah, 'Bagaimana artinya Bani Israil mempertuhan pendeta itu?' Dia menjawab, 'Kadang-kadang mereka bertemu sesuatu dalam Kitab Allah, berbeda daripada yang dikatakan oleh guru-guru dan pendeta-pendeta mereka, maka kata-kata guru-guru dan pendeta-pendeta itulah yang mereka patuhi dan tidak mereka terima hukum Kitab Allah.'"

Memang, menurut riwayat Matius di dalam Injilnya, Pasal 18 ayat 18, al-Masih pernah berwasiat demikian bunyinya, "Dengan sesungguhnya aku berkata kepadamu, barang apa yang kamu ikat di atas bumi, itu pun terorak kelak di surga." Kita tentu dapat memahamkan bahwa maksud wasiat al-Masih ini ialah mengikat dan mengorak dengan dasar ikat dan orak dalam garis ketentuan Allah, tidak melebihi dan tidak mengurangi.

Serupa juga dengan wasiat Rasulullah saw., "Ulama-ulama adalah penerima waris daripada nabi-nabi." Artinya, tidak melebihi dan tidak mengurangi. Tetapi apa jadinya kemudian? Baik agama Yahudi maupun agama Nasrani, keduanya kitab asli dari Allah telah diselimuti atau dilumuti oleh luluk dan debu peraturan yang diperbuat oleh kaum agama, oleh guru dan pendeta. Kitab Taurat telah hilang dalam bungkusan Kitab Talmud. Peraturan yang diperbuat oleh ahbar-ahbar lebih penting daripada Taurat sendiri. Dalam agama Kristen pun seperti demikian. Sehingga sebagai telah kita maklumi kepercayaan Trinitas yang jadi pokok asasi dari agama Kristen adalah hasil Konsili (konferensi pendeta-pendeta), bukan dari ajaran al-Masih sendiri, dan dikucilkan atau diusir dari kalangan agama barangsiapa yang menyatakan pendapat berlawanan dengan itu. Walaupun perlawanan itu berdasar kepada kitab suci juga.

Kita pun mengenal Hierarki Gereja Katolik misalnya. Peraturan susunan kependetaan sejak dari yang di bawah, sampai Fater, sampai Uskup, sampai Patrick, sampai Kardinal dan sampai kepada yang di puncak sekali, yaitu Paus yang disebut Santo Bapa (Bapa Suci). Membantah keputusannya berarti keluar dari agama Katolik. Satu waktu pun mereka memegang juga kekuasaan duniawi yang sangat kuat dan keras, sehingga dapat menaikkan dan menurunkan raja. Dapat memberikan kasih sayang dan dapat juga menurunkan kutuk. Dapat menghukum barangsiapa yang melanggar keputusannya atau mengeluarkan pendapat baru yang berbeda dengan pendapat yang diputuskan gereja. Itulah sebabnya, orang-orang seperti Bruno, atau Galilei dihukum. Bruno dibakar dan Galilei dipenjarakan, karena disuruh mencabut pendapatnya mengatakan bumi bulat. Karena menurut pendapat gereja masa itu, bumi adalah datar. Di zaman kekuasaan mutlak seperti kekuasaan Tuhan itu, sangatlah menyeramkan bulu roma dan amat ngeri dalam perasaan kalau berani membantah gereja. Maka yang berhak menafsirkan Injil dan Taurat hanya mereka, orang lain tidak boleh. Peraturan yang wajib ditaati hanyalah peraturan mereka, walaupun dipahamkan bahwa peraturan itu sudah sangat jauh dari garis kitab suci. Sebab yang berhak memegang kitab suci hanya mereka. Dan dengan berpegang pada wasiat Nabi Isa yang tersebut pada Injil karangan Matius tadi, mereka pun merasa berhak memberi ampun dosa. Betapa pun besarnya dosa, namun Sri Paus ada hak memberinya ampun. Dan ampunan itu bisa diperjualbelikan, bisa tawar-menawar. Disinilah timbul kebiasaan mengakui dosa di hadapan seorang pendeta, dan kesediaan pendeta itu memberi ampun.

Kemudian, sejak pengusiran kaum Muslimin dari Spanyol, Gereja mendirikan Komisi Penyelidik. Yaitu untuk menyelidiki iman orang. Mulanya semata-mata untuk memaksa sisa kaum Muslimin di Spanyol memeluk Kristen, tetapi lama-kelamaan meluas tugasnya, yaitu untuk menyelidiki pikiran orang, adakah dia sesuai dengan kehendak gereja. Untuk menghukum, disediakanlah berbagai alat, seperti pencungkil mata, pemotong lidah, peregang dan perunyut badan hingga tanggal tangan kaki dari badan, dan berbagai alat yang amat ngeri lagi, yang kemudian atas izin gereja dibawa juga alat-alat itu ke Malaka, dipergunakan Portugis sewaktu memerintah Malaka, seperti yang disebutkan Munsyi Abdullah di dalam hikayatnya yang terkenal. Dan dibongkar juga alat-alat itu oleh Napoleon ketika tentaranya menaklukkan Spanyol.

Itu adalah sikap mereka menganggap guru dan pendeta sebagai Tuhan, di samping orang-orang Nasrani memang menuhankan al-Masih pula. Selain dari itu, didirikan pula berbagai gereja, berbagai tempat berziarah untuk memuja orang-orang yang dianggap suci. Satu waktu Paus dapat memutuskan bahwa seseorang dianggap sebagai orang suci. Setelah keputusan itu keluar, didirikanlah gereja pemujaan buat orang itu dan bershalatlah di sana. Sebagai juga diputuskan bahwa Lourdes menjadi tempat keramat dan suci, sebab seorang gadis gembala mengatakan bahwa dia pernah melihat Maryam Ibu Isa menjelmakan diri di tempat itu. Anak perempuan itu sendiri akhirnya diputuskan jadi orang suci pula. Pemujaan dan mempertuhan pendeta ini akhirnya berkembang dan berpindah menjadi penyembahan kepada patung atau berhala. Maka tampillah ahli-ahli seni seperti Rafael Michiel Angelo atau Leonardo de Vinchi dan lain-lain mempertinggi nilai seni patung. Dipatungkanlah Nabi Isa, dipatungkanlah Maryam dan dipatungkan sekalian nabi-nabi yang tersebut di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, lalu dipuja. Penuhlah Gereja Vatikan dengan patung-patung demikian. Oleh sebab itu, seni patung pusaka Yunani dan Romawi disambunglah kembali oleh Gereja, dengan bentuk yang lain tetapi dengan maksud yang satu, yaitu pemujaan.

Padahal mereka tidaklah disuruh demikian. Ayat selanjutnya berkata, "Padahal tidaklah mereka diperintah, melainkan supaya menyembah kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan melainkan Dia."

Di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang ada sekarang ini pun kita masih dapat melihat dengan terangnya bahwasanya perintah utama yang disampaikan oleh rasul-rasul Allah, ialah menyembah Allah Yang Maha Esa. Pokok utama dari Hukum Sepuluh Taurat ialah Tauhid. (Lihat Kitab Keluaran Pasal 20). Inti ajaran al-Masih pun demikian pula: "Inilah hidup yang kekal, yaitu supaya mereka itu mengenal Engkau, Allah Yang Esa dan Benar, dan Yesus Kristus yang Engkau suruhkan itu." (Injil Yahya, Pasal 17 ayat 3).

Maka, ayat yang sedang kita tafsirkan ini menyatakan bahwa pokok asal ajaran agama mereka ialah itu, yaitu Tauhid: tidak menyembah melainkan kepada Tuhan Yang Satu. Baik Yahudi maupun Nasrani. Kalau kedapatan yang lain-lain, baik mempertuhan guru dan pendeta, ataupun mempertuhan al-Masih alaihis-salam, semuanya itu adalah tambahan kemudian yang ditambah-tambahkan oleh para pendeta, atau Konsili Pendeta dan wajib ditaati orang, sekali-kali tidak boleh dibantah, karena takut akan pengucilan gereja.

"... Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan itu." (at-Taubah: 31).

Tidaklah Allah bersekutu dengan yang lain. Baik al-Masih maupun pendeta yang mana pun, semuanya adalah makhluk Allah belaka. Dan peraturan hanya datang dari satu sumber, yaitu Allah. Peraturan buatan manusia, kalau tidak cocok dengan hukum Allah, bukanlah dia peraturan yang wajib dipatuhi. Dan manusia tiada berhak menambah-nambah apa yang telah diatur oleh Allah.

Apa yang diperingatkan Allah kepada kita dengan perantaraan Rasulullah saw. di dalam ayat ini? Kalau kita perhatikan masa turunnya ayat, dapatlah kita ketahui betapa hebat pertentangan Gereja Barat dan Gereja Timur pada waktu itu, pertentangan dengan Roma dengan Iskandariyah. Jauh sebelum Heraklius yang menguasai Suriah telah ada pertentangan-pertentangan hebat karena berebut kuasa dalam gereja, kucil-mengucilkan. Di antara kaum Yacubiyin dan Malikaniyin dan Nasturiyin, terjadi pertentangan tentang tabiat al-Masih, adakah dia gabungan di antara ketuhanan dan keinsanan, sebagai "Anak Allah" dan "Anak Manusia". Heraklius masih ingin hendak mempersatukan tetapi gagal. Masing-masing mengatakan pihaknya yang benar, dan keputusannyalah yang sah dan pendirian lawan salah. Tetapi semuanya berdasar pada mempersekutukan Allah dengan seorang Rasul-Nya, yaitu al-Masih. Padahal persatuan di antara mereka itu pasti dapat timbul kembali, kalau semuanya sudi kembali saja kepada ajaran pokok, yaitu Tauhid. Masing-masing tidak mau, sebab tiap-tiap pimpinan gereja bertahan pada kekuasaannya, yang kekuasaan mengikat dan mengorak ikatan. Sebab ikatan yang mereka ikatkan di dunia, walaupun ikatan yang salah, menurut keyakinan mereka diakui juga di surga dan apa yang mereka orak di dunia, akan terorak juga di surga. Kemudian itu, kian lama kian jauh dari zaman Heraklius, maka yang tadinya pecah tiga, telah pecah menjadi berpuluh dan tiba di zaman kita sekarang ini, telah pecah menjadi beratus. Bahkan Gereja Inggris memisahkan diri dari Gereja Roma, hanya karena Paus tidak mau mengesahkan perkawinan Raja Henri VIII dengan istri-istrinya yang lain, sesudah istri pertama.

Saat penulis tafsir ini melawat ke Amerika pada 1952, penulis perlukan untuk menziarahi beberapa gereja di hari Minggu di Washington, hendak menambah pengetahuan tentang berbagai-bagai cara orang-orang Kristen sembahyang. Penulis ziarahi Gereja Methodist, Adventist, Angelikant, Katolik, dan pernah juga menyaksikan sembahyang madzhab Quaker yang tidak pakai pendeta. Satu hari penulis ajak seorang teman bangsa Indonesia yang memeluk Kristen sembahyang di Gereja Angelikant. Dia tidak mau. Kemudian ternyata bahwa meskipun dia Kristen, gerejanya bukan gereja Angelikant, sebab itu dia tidak mau sembahyang di sana.

Sedang bagi kita orang Islam, ke masjid yang mana saja pun kita masuk, sahlah shalat kita di sana. Dan bila tiba musim haji, beratus ribu orang naik haji dari berbagai madzhab, shalat berjamaah di belakang imam yang satu. Sebab perselisihan pendapat madzhab-madzhab dan firqah dalam Islam, tidaklah mengenai pokok aqidah, hanyalah dalam soal furu' (cabang dan ranting) saja.

Ayat ini adalah pengajaran utama dari Tuhan kita, orang Islam terutama. Supaya apa yang terjadi pada pemeluk Yahudi dan Nasrani itu jangan sampai terjadi pula kepada kita. Jangan bertemu sebab-sebab yang membawa kedua umat itu, belahan kita sendiri, sama-sama penyambut agama Tauhid, telah menyimpang jauh. Satu sebabnya yang utama ialah karena pengaruh ketua-ketua agama, baik ahbar orang Yahudi maupun ruhban orang Nasrani. Jangan sampai sebagai yang diisyaratkan oleh Abul Aliyah kepada muridnya ar-Rabi' itu, bahwa tersesatnya Bani Israil ialah karena mereka meninggalkan hukum Kitab Allah karena memandang sabda ulama lebih dari hukum Allah.

MENUHANKAN GURU

Sesudah mencapai puncak kejayaan berpikir dalam segala bidang kehidupan, karena didikan Al-Qur'an dan tuntunan dari Sunnah Rasulullah saw. maka mulai Abad ke-7 Hijriah, mulailah taqlid menyerang jalan berpikir yang bebas itu. Al-Qur'an sendiri ditinggalkan dan hanya untuk baca-baca mengambil berkat. Hadits-hadits Nabi saw. sebagai sandaran hukum kurang begitu mendapat perhatian. Melainkan sangatlah dipentingkan pendapat ulama.

Ar-Razi ketika menafsirkan ayat ini di dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib telah membahas penyakit mempertuhan guru dan pendeta yang terdapat dalam Yahudi dan Nasrani itu jadi perbandingan kepada keadaan umat Islam di zaman itu. Ar-Razi berkata bahwa guru beliau pernah mengatakan kepadanya bahwa beliau menyaksikan suatu golongan dari fuqaha yang ber-taqlid itu, ketika aku bacakan kepada mereka ayat-ayat yang banyak dari kitab Allah dari beberapa masalah, padahal madzhab mereka berlain dari yang tersebut dalam ayat itu, maka tidaklah mereka mau menerima keterangan dari ayat-ayat itu dan tidak mereka mau memedulikannya, bahkan mereka memandang kepada ayat itu tercengang-cengang. Yaitu, mereka berpikir, bagaimana mungkin beramal menurut maksud ayat, padahal riwayat dari ulama-ulama ikutan kita berbeda dengan itu? Maka kalau engkau renungkan dengan sungguh-sungguh, akan engkau ketahuilah bahwa penyakit ini sudah sangat menular dalam kalangan ahli dunia. Lalu ar-Razi mengatakan lagi, "Pendek kata, maksud mempertuhan guru dan pendeta itu boleh dipahamkan bahwa mereka taat setia memegang kata mereka, meskipun bertentangan dengan hukum Allah. Dan boleh juga dipahamkan bahwa mereka menerima dari pimpinan agama itu berbagai ajaran yang membawa kufur sehingga mereka pun kufurlah kepada Allah. Maka dengan sebab itu jadilah mereka telah tergolong mengambil selain Allah menjadi Tuhan. Dan mungkin juga diartikan bahwa si pengikut itu percaya bahwa Allah telah menjelma kepada diri guru-guru dan pendeta-pendeta itu atau mereka telah bersatu dengan Allah (ittihad). Dan keempat-empat macam ini telah dapat disaksikan dan telah bertemu pada umat ini." Inilah perkataan ar-Razi, yang mengarang tafsirnya pada abad-abad pertengahan dalam Islam. Beliau menegaskan bahwa penyakit-penyakit kepercayaan Yahudi dan Nasrani itu telah berjumpa pula dalam kalangan Islam. Lebih mementingkan kata ulama daripada kata Allah dan Rasul saw. Taklid dalam soal-soal fiqih sehingga tidak mau lagi meninjau pikiran yang baru, sehingga agama menjadi membeku. Sehingga timbullah pertengkaran dan pertentangan dan sampai kepada permusuhan di antara muqallid suatu madzhab dengan muqallid madzhab yang lain. Kadang-kadang sampai memusuhi orang yang berlain madzhab sama dengan memusuhi orang yang berlain agama.

Gejala mendewa-dewakan guru, baik di waktu hidupnya maupun sesudah matinya. Di dalam kalangan Islam, tumbuhlah pemujian yang berlebih-lebihan kepada guru-guru yang dikeramatkan, dan setelah si guru mati, kuburnya pun mulai dikeramatkan pula, yaitu diberhalakan. Mereka tidak akan mau mengaku bahwa mereka telah mempertuhan guru, sebagai juga orang Yahudi dan Nasrani tidak juga akan mengaku bahwa guru-guru dan pendeta yang mereka puja-puja itu tidak juga diakui sebagai Tuhan. Adi bin Hatim pun mulanya membantah ayat ini, karena dia sebagai orang Nasrani tahu benar, bahwa kaumnya tidak mempertuhan pendeta. Samalah orang Yahudi, orang Nasrani dan orang Islam yang menuruti jejak mereka dalam satu pengakuan, yaitu bahwa mereka tidak mengaku dengan mulut bahwa pujaan itu adalah Tuhan, melainkan melangsungkan dengan perbuatan, memberikan kepada mereka pemujaan-pemujaan dan ibadah yang seharusnya hanya dihadapkan kepada Allah.

Orang Nasrani mengatakan al-Masih Anak Allah, atau Allah dan al-Masih adalah Satu. Mereka mengatakan bahwa al-Masih itu adalah Kalam Allah dan Kalam itu sendiri adalah Allah. Dalam kalangan Islam menyelusup pula ajaran tentang Nur Muhammad atau al-Haqiqatul Muhammadiyah yang mengatakan bahwa Muhammad itu pun adalah penjelmaan Allah. Mengeramatkan guru dan ulama, sampai pun kepada ajaran Nur Muhammad ini, menyelusup ke dalam kalangan kaum sufi, pelajaran tasawuf yang sudah sangat ghuluw (berlebih-lebih) sehingga dalam beberapa pelajaran tarekat kita dapati ajaran bahwa hendaklah murid menyerahkan jiwa raganya kepada syekhnya seumpama menyerahkan mayat ketika hendak dimandikan. Tidak bertanya, tidak membantah, dan walaupun kelihatan nyata dengan mata kepala sendiri bahwa syekh itu telah berbuat maksiat hendaklah diterima saja, dan beliau lebih dekat kepada Allah Ta'aala. Mungkin kepada beliau telah dibuka kasyaf, telah terbuka jalan yang tertinggi, sehingga apa yang kelihatan oleh kita pada zahir bahwa dianya haram, mungkin hal itu halal!!

Dalam hal fiqih pemahaman agama pun demikian pula. Penentuan halal dan haram, hanyalah semata-mata hak mutlak dari Allah dan Rasul saw. Malahan hukum halal dan haram yang dari Rasul saw. pun, tidak pernah keluar dari garis yang ditentukan oleh Allah. Sebab itulah maka dikatakan bahwa Sunnah adalah tafsir pertama dari Kitab. Adapun yang tidak ada nashnya yang sharih, termasuklah dia ke dalam masalah ijtihadiyah, masalah fiqih dan pemikiran ulama, yang kadang-kadang tepat mencatat kebenaran atau mendekatinya, dan kadang-kadang terdapat kekhilafan. Maka ulama-ulama besar, pelopor dari ijtihad, baik sahabat-sahabat Rasulullah saw. maupun tabi'in, seumpama Ibrahim an-Nakha'i, ataupun ulama mutaqaddimin sebagai Imam Malik, Imam Abu Hanifah, asy-Syafi'i, Imam Ahmad bin Hambal, al-Auza'i dan lain-lain, tidaklah mereka berani membuat hukum sendiri bahwa ini halal ini haram, setegas Al-Qur'an. Sebab kalau mereka telah berbuat demikian, mereka telah mengambil hak mutlak Allah Ta'aala. Bila kita lihat keterangan asy-Syafi'i di dalam al-Umm atau ar-Risalah, dalam hal yang pada pendapatnya bahwa sesuatu itu tidak baik dikerjakan, setinggi-tingginya beliau berkata, Akrahu-hu (Saya benci akan itu). Bukan saja asy-Syafi'i, bahkan umumnya ulama-ulama yang besar-besar itu demikian halnya. Dalam hal yang ijtihadiyah, beliau hanya mengatakan la yanbaghi (tidak seyogianya), atau la yashluhu (tidak patut), atau astaqbihuhu (saya anggap hal itu buruk), atau beliau berkata: la araahu (saya tidak menganggapnya baik). Kehati-hatian para ulama inilah yang menimbulkan hukum makruh, ada makruh tahrim dan ada makruh tanzih. Ini pula yang menyebabkan bahwa di bawah wajib yang bergantung kepada nash, ada pula mandub, mustahaba, dan sebagainya. Adapun menyebut ini wajib dan ini haram secara tegas, dalam masalah ijtihadiyah, tidaklah pernah terjadi pada ulama ikutan yang besar-besar itu.

Oleh sebab itu, kalau datang orang muqallid di belakang, yang telah membelokkan pendapat ulama, yang mandub (dianjurkan) telah menjadi wajib dan yang mereka katakan tidak patut, tidak layak, kurang baik, dan sebagainya, lalu telah dibawa ke dalam hukum bahwa beliau mengharamkan, si muqallid secara sadar atau tidak sadar telah menambah-nambah hukum karena sangat taqlid-nya kepada ulama. Apatah lagi orang yang datang di belakang, yang karena telah dipanggilkan orang bahwa dia orang ahli agama, berani-berani saja membuat hukum wajib atau haram, pada perkara yang tidak ada nashnya dari Al-Qur'an atau Hadits yang shahih, yang hanya timbul dari pertimbangannya sendiri, yang tidak maksum daripada salah, maka orang itu telah mulai membelokkan kedudukan ulama Islam ke dalam kependetaan cara Nasrani, dan telah menutup pintu bagi orang lain yang diberi Allah kepadanya kesempatan buat turut memikirkan agama sehingga mereka beragama dengan sadar.

Termasuk juga dalam rangka ini, yaitu menganggap ada kekuasaan lain di dalam menentukan ibadah selain daripada kekuasaan Allah, ialah menambah-nambah ibadah atau wirid, doa dan bacaan pada waktu-waktu tertentu yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul saw. Ibadah tidak boleh ditambah dari yang diajarkan Rasul saw. dan tidak boleh dikurangi. Menambah atau mengurangi, memaksa-maksa dan berlebih-lebihan dalam ibadah adalah ghuluw. Dan, ghuluw adalah tercela dalam syari'at. Sama pendapat (ijma) sekalian ulama mencela perbuatan itu. Inilah dia Bid'ah!

Oleh sebab itu, di dalam merenungkan ayat ini, janganlah kita hanya menyangkanya sebagai celaan kepada Yahudi dan Nasrani, melainkan tiliklah dalam kalangan kita sendiri, besar kemungkinan bahwa penyakit yang seperti itu telah menimpa diri kita pula!

GOLONGAN ADAT JAHILIYYAH

"... Orang-orang kafirlah yang membuat-buat atas nama Allah akan kedustaan. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang tidak berakal. Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah kepada apa yang diturunkan oleh Allah dan kepada Rasul.' Mereka pun menjawab, 'Cukuplah bagi kami apa-apa yang telah kami dapati atasnya bapak-bapak kami.' Apakah walaupun bapak-bapak mereka itu tidak mengetahui sesuatu dan tidak dapat petunjuk?" (al-Maa'idah: 103-104).

Sumber agama, sebagai yang diserukan pada ayat ini sudah tegas sekali, yaitu peraturan dari Allah dan Rasul. Di luar itu, Bid'ah namanya.

Golongan adat ini tidak semata-mata zaman sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi rasul, tetapi segala penyelewengan dari garis agama yang benar lalu dikatakan bahwa itu pun agama, termasuklah dalam jahiliyyah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 130-137, Jilid 3 Hal. 55-56, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Ya Tuhanku, penuhilah apa yang engkau janjikan kepadaku. Ya, Tuhanku, jika binasa rombongan Ahlul Islam ini tidaklah akan ada lagi orang yang akan menyembah-Mu di muka bumi ini!" (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi).

LAKSANA GELEDEK DI SIANG HARI

Pendeknya, suasana pada waktu itu adalah suasana kuburan. Niscaya suara Ibnu Taimiyah telah mengejutkan, laksana geledek di siang hari. Ulama-ulama Fiqih sendiri mencari dalil buat membantah teguran Ibnu Taimiyah itu.

(Buya HAMKA, Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, Hal. 313, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

ILMU

Sekurang-kurangnya saya tidak percaya bahwa Perkumpulan Muhammadiyah, yang saya salah seorang anggotanya turut mengambil suatu keputusan yang tidak dengan dasar ilmu.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 324, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

IMAN, AKAL DAN TAKLID

Taklid adalah musuh kemerdekaan akal.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Hal. 12, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

IMAN

Beribadah menurut contoh teladan yang dibawakan Nabi saw., melakukan syari'at yang digariskan Allah dengan penuh kesadaran, itulah dia yang bernama iman.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 211, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-FAATIHAH (PEMBUKAAN)

"... bukan (jalan) orang-orang yang telah dimurkai atas mereka dan bukan jalan orang-orang yang sesat." (al-Faatihah: 7).

Nasrani tersesat karena sangat cinta kepada Nabi Isa al-Masih. Mereka katakan Isa itu anak Allah, bahkan Allah sendiri menjelma menjadi anak, datang ke dunia menebus dosa manusia. Orang-orang yang telah mengaku beragama pun bisa juga tersesat. Kadang-kadang karena terlalu taat dalam beragama lalu ibadah ditambah-tambah dari yang telah ditentukan dalam syari'at sehingga timbul Bid'ah. Disangka masih dalam agama, padahal sudah terpesong ke luar.

Di dalam surah an-Nisaa': 65, sampai dengan sumpah Allah menyatakan bahwa tidaklah mereka beriman sebelum mereka ber-tahkim kepada Nabi Muhammad saw. di dalam hal-hal yang mereka perselisihkan dan mereka tidak merasa keberatan menerima keputusan yang beliau putuskan, dan mereka pun menyerah sebenar-benar menyerah. Kalau ini tidak kita lakukan, pastilah kita kena murka seperti Yahudi.

"Maka sungguh tidak, demi Allah engkau! Tidaklah mereka itu beriman, sehingga mereka ber-tahkim kepada engkau pada hal-hal yang berselisih di antara mereka." (an-Nisaa': 65).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 78, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERCUMA

Suatu dakwah yang mendahulukan hukum halal dan hukum haram, sebelum orang menyadari agama, adalah perbuatan yang percuma, sama saja dengan seseorang yang menjatuhkan talak kepada istri orang lain.

TAUHID

Kalau diteliti 6.236 ayat dalam Al-Qur'an yang tergabung di dalam 114 surah, nyatalah bahwa maksud tujuan hanya satu, yaitu mengakui keesaan Allah.

AQIDAH

"Dan Dialah yang telah menciptakan semua langit dan bumi dalam enam hari dan adalah Arsy-Nya di atas air ..." (Huud: 7).

"Sesungguhnya Allah telah menentukan ketentuan-ketentuan dari seluruh makhluk. Sebelumnya, Dia menciptakan semua langit dan bumi, 50.000 tahun lebih dahulu dan Arsy-Nya adalah di atas air." (HR. Muslim).

Maka, sebagai Muslim yang hidup mempunyai aqidah, kita terimalah keterangan ayat Allah dan sabda Rasul ini sebagaimana adanya.

Berkata Muhammad bin Ishaq tentang tafsir ayat ini, yaitu Allah menciptakan ketujuh langit dan bumi ini dalam enam hari dan Arsy-Nya berada di atas air. Kata beliau, "Allah itu adalah menurut sifat yang telah dinyatakan-Nya sendiri."

BERSEMAYAM DI ATAS ARSY

Menurut riwayat Ibnul Mardawaih dan al-La-Lakaaiy bahwa ibu orang yang beriman, ibu kita Ummi Salamah pernah berkata tentang bagaimana arti Allah bersemayam di Arsy itu. Kata ibu kita itu, "Tentang betapa keadaannya tidaklah dapat dicapai dengan akal dan tentang Dia bersemayam tidaklah majhul dan mengakui tentang hal itu adalah termasuk iman dan menolaknya adalah suatu kekufuran." Itulah perkataan sahabat Rasulullah saw.

KEBENARAN TETAP MENANG

Tambah diperlihatkan mukjizat, tambah Fir'aun menunjukkan durhakanya kepada Allah. Sampai dia memerintahkan menterinya, Haman, membuat menara tinggi karena katanya dia hendak naik ke langit mencari Tuhan yang dikatakan oleh Musa itu. Karena menurut pendiriannya, mengatakan ada Tuhan di langit itu adalah bohong belaka. Akhirnya menghadapi perjuangan yang demikian hebat, puncak perjuangan sekalian Nabi dan Rasul, menghamparkan perasaan Musa a.s. kepada Allah,

"Maka dia pun berserulah kepada Tuhannya bahwa sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang durhaka." (ad-Dukhaan: 22).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 25, Jilid 4 Hal. 521-528, Jilid 3 Hal. 437, Jilid 8 Hal. 253-254, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ALLAH BERTANGAN?

Bahkan Allah itu mempunyai banyak mata (Lihat surah al-Mu'minuun, ayat 27). Dia bertangan, bermata dan semayam, sebab Dia sendiri yang mengatakan dan kita wajib iman. Di antara ulama mutaakhirin yang keras menganut paham Salaf ini adalah Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim pada zaman terakhir adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan terakhir sekali adalah Sayyid Rasyid Ridha. Ibnu Taimiyah sampai dituduh oleh musuh-musuhnya berpaham "mujassimah" (menyifatkan Allah bertubuh) karena kerasnya mempertahankan paham ini.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 34-35, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

SYIRIK

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik) dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendak ..." (an-Nisaa': 48 atau 116).

Kalau Allah SWT sudah dipersekutukan dengan yang lain, sudah mulai syirik, kita sendirilah yang telah memutuskan perhubungan dengan Dia. Tamatlah ceritanya. Tidak ada lagi perjuangan di dalam Islam. Kita sudah terhitung orang luar.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Hal. 419, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

SAMPAIKAH DOA KITA YANG HIDUP UNTUK ORANG YANG TELAH MENINGGAL?

Perselisihan sedikit hanya sekadar tentang menghadiahkan pahala. Dibiasakan orang membaca al-Fatihah itu untuk Nabi. Sampai atau tidak hadiah itu? Soalnya bukanlah sampai atau tidak. Persoalannya sekarang adalah, "Apakah Nabi berbuat ibadah seperti itu atau tidak?" Kalau tidak, niscaya kita telah menambah-nambah.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 69, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

DOSA YANG LEBIH BESAR DARI DOSA SYIRIK

[4] Mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu). (Al A’raf: 33)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini, “... Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.” [I’lamul muwaqqi’in hal. 31, Dar Kutubil ‘Ilmiyah].

muslim.or.id/41186-dosa-yang-lebih-besar-dari-dosa-syirik.html

KEKAL DALAM NERAKA

"Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat kedustaan atas nama Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya?" (al-A'raaf: 37).

Keduanya ini adalah puncak-puncak kezaliman yang tidak dapat dimaafkan.

Artinya, bermacam-macam sikap dan perbuatan aniaya diperbuat manusia di dalam bumi ini, tetapi puncak yang di atas sekali dari keaniayaan itu ialah membuat-buat atau mengarang-ngarangkan kedustaan atas nama Allah.

Ini bertali dengan ujung ayat 33, yaitu berbicara di atas nama Allah barang yang tidak ada pengetahuan mereka padanya.

Tidak ada lagi kezaliman yang lebih dari ini karena menambah agama Allah dengan peraturan bikinan sendiri.

PERINGATAN BAGI MANUSIA

"... tidaklah akan dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit dan tidaklah mereka akan masuk ke dalam surga sehingga menyelusuplah seekor unta ke dalam lubang jarum. Dan sebagai demikianlah Kami membalas orang-orang yang berdosa besar. Untuk mereka dari Jahannam adalah satu tempat yang sangat rendah dan di atas mereka ada beberapa penutup. Dan, sebagai demikianlah Kami membalas orang-orang yang zalim." (al-A'raaf: 40-41).

Agar jangan mereka sangka mudah-mudah saja masuk surga, setelah pokok kepercayaan kepada Allah itu yang telah dirusakkan dan puncak kezaliman yang telah ditempuh.

Jelaslah bahwa orang-orang yang zalim ini telah menjadi kaki-tangan Setan. Maka, mereka inilah yang telah disebutkan Allah dalam ayat 18 bahwa mereka bersama Setan Iblis itu akan diambil sepenuh padatnya Jahannam.

ISLAM SUDAH SANGAT SEMPURNA

"... Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu ..." (al-Maa'idah: 3).

Dalam hal-hal yang musykil berkenaan dengan urusan dunia, pun telah cukup pula agama memberikan bimbingan. Kenyataan pertama ialah agama murni menurut yang diturunkan dari langit, yang telah cukup dan sempurna, tidak dapat dikurangi atau ditambah lagi. Orang yang menambah-nambah, bernama tukang Bid'ah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 415-423, Jilid 2 Hal. 599-600, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SYIRIK

Tauhid itu tidak menyukai kekacauan, sebab kekacauan itu tidaklah benar, tidak adil dan tidak indah.

Dia mencari yang selesai.

Kalau ada orang zalim aniaya memerintah lalu didiamkannya saja, tidak ditegurnya, ketahuilah bahwa dia sudah sampai di ambang pintu kemusyrikan, walaupun dia shalat, walaupun dia puasa.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Hal. 72, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

Ketua MPR Ajak Da'i Teladani Buya HAMKA

antaranews.com/berita/586911/ketua-mpr-ajak-da’i-teladani-buya-hamka

pan.dir
a bodoh; bebal
kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pandir

PANDIR

"... Maka siapakah yang lebih zalim dari orang yang membuat-buat atas nama Allah akan suatu dusta karena untuk menyesatkan manusia dengan tidak menurut ilmu? Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (al-An'aam: 144).

Akhirnya, datanglah teguran keras dari Allah. Niscaya tidak ada lagi suatu kezaliman yang melebihi zalimnya dari ini, yaitu membuat-buat, mengarang-ngarang sendiri suatu peraturan yang dusta. Dikatakan peraturan Allah, padahal bukan dari Allah, padahal maksud hanya semata-mata menipu dan menyesatkan manusia tidak dengan ilmu. Perbuatan dan karangan-karangan yang datang dari pemimpin yang bodoh untuk memengaruhi pengikut mereka, manusia-manusia yang pandir. Karena segala peraturan dan larangan ini hanya karangan-karangan yang timbul dari kebodohan belaka, tidaklah mereka akan bertambah baik, tetapi malah bertambah sesat, setelah petunjuk Allah tidak akan bisa masuk ke dalam jiwa mereka. Mereka telah zalim, artinya telah memilih jalan yang gelap, yang tidak tentu ujung pangkalnya. Mereka katakan agama, padahal bukan agama, mereka katakan peraturan dari Allah, padahal pemujaan berhala. Meskipun diteruskan, mereka akhirnya akan bertemu jalan buntu. Inilah satu peringatan tajam dan keras kepada musyrik jahiliyyah itu. Yang asal mulanya memeluk agama Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il. Lama-lama, ditambah-tambah oleh pemimpin-pemimpin yang datang belakangan semau-maunya saja sehingga hilang yang asli, berganti dengan tambahan-tambahan. Peraturan buatan manusia menggantikan peraturan yang asli dari Allah.

Segala yang disebutkan Al-Qur'an ini wajiblah
menjadi peringatan terus-menerus bagi kita hingga sekarang, hingga hari Kiamat. Karena, tambah-tambahan manusia bisa saja berubah, Tauhid menjadi syirik.

DASAR ORANG MUSYRIK

"Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, memberikan keterangan, engkau ketahui pada wajah-wajah orang-orang yang kafir itu keingkaran. Hampir saja mereka menyerbu orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka ..." (al-Hajj: 72).

Yang lebih disayangkan lagi ialah kesalahan penilaian mereka tentang arti wali Allah. Mereka pergi ke kuburan orang yang mereka anggap di masa hidupnya jadi wali, lalu dia memohon apa-apa di situ. Padahal ayat-ayat itu menyuruh orang bertauhid, mereka lakukan sebaliknya, jadi musyrik. Kalau ditegur dia marah, hingga mau dia menyerang orang yang menegurnya itu, seperti tersebut pada ayat 72 di atas tadi.

JANGAN MEMOHONKAN AMPUN UNTUK MUSYRIKIN

"Tidaklah ada bagi Nabi dan orang-orang yang beriman bahwa memohonkan ampun untuk orang-orang yang musyrik, meskipun adalah mereka itu kaum kerabat yang terdekat, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang itu ahli neraka. Dan tidaklah permohonan ampun Ibrahim untuk ayahnya, melainkan karena suatu janji yang telah dijanjikan kepadanya. Tetapi tatkala telah jelas baginya bahwa dia itu musuh bagi Allah, berlepas dirilah dia darinya. Sesungguhnya Ibrahim itu seorang yang penghiba lagi penyabar." (at-Taubah: 113-114).


Tiada Dia bersekutu
dalam keadaan-Nya dengan yang lain. Demikian juga tentang mengatur syari'at agama, tidak ada peraturan lain, melainkan dari Dia.

MUSUH-MUSUH ALLAH

"Dan (ingatlah) di hari akan dihantarkan musuh-musuh Allah ke dalam neraka lalu mereka akan dikumpul-kumpulkan. Sehingga apabila mereka sudah sampai ke sana menjadi saksilah atas mereka pendengaran mereka dan penglihatan mereka dan kulit-kulit mereka atas apa yang telah mereka amalkan. Mereka berkata kepada kulit mereka, 'Mengapa kamu jadi saksi atas kami?' Mereka menjawab, 'Yang membuat kami bercakap ialah Allah yang membuat bercakap segala sesuatu dan Dialah Yang Menciptakan kamu sejak semula dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.'" (Fushshilat: 19-21).


Dalam satu riwayat pula dari Ibnu Abbas, bahwa di hari Kiamat, akan datang suatu masa manusia itu dikumpulkan untuk ditanya, tetapi mereka tidak dapat berbicara dan tidak sanggup membela diri dan tidak dapat berkata-kata, sebelum dapat izin. Setelah diberi izin mulailah mereka mempertahankan diri dan mungkir bahwa mereka mempersekutukan yang lain dengan Allah, sampai ada yang bersumpah di hadapan Allah seperti mereka bersumpah dengan kamu saja. Oleh karena mereka bersikeras mempertahankan diri dan memungkiri kesalahan itu, dibangkitkan Allah-lah saksi-saksi yang datang dari dalam diri mereka sendiri, yaitu kulit-kulit mereka, pandangan mata mereka, tangan mereka, kaki mereka dan mulut mereka dikuncikan. Setelah selesai semuanya memberikan kesaksian, barulah mulut mereka dapat bercakap. Lalu mengomellah mereka sebagaimana tersebut dalam ayat, mereka mengomel kepada kulit mereka sendiri, mengapa kulit itu mau menjadi saksi buat mencelakakannya. Kulit menjawab bahwa dia bercakap adalah atas kehendak Allah, Yang Maha Kuasa membuat segala sesuatu dapat bercakap.

MENYEMBAH SETAN

"Bukankah sudah Aku pesankan kepada kamu, wahai Anak Adam supaya kamu jangan menyembah Setan. Sesungguhnya dia bagi kamu adalah musuh yang nyata. Dan bahwa hendaklah kamu menyembah kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus. Dan sesungguhnya telah dia sesatkan di antara kamu golongan yang banyak. Apakah tidak perah kamu pikirkan? Inilah Jahannam yang pernah diancamkan kepadamu. Berbenamlah kamu ke dalamnya hari ini dengan sebab kamu telah mengingkarinya. Pada hari ini Kami tutup atas mulut-mulut mereka dan Kami buat bercakap tangan-tangan mereka dan naik saksi kaki-kaki mereka atas apa yang mereka usahakan." (Yaasiin: 60-65).


Jika saja seseorang telah mengerjakan perbuatan yang salah dan jiwanya sendiri merasakan bahwa perbuatan itu memang salah, tetapi dikerjakannya juga, nyatalah bahwa orang itu telah menyembah Setan.

Akibat dari orang yang menukar persembahan itu, dari menyembah Allah lalu mereka tukar dengan menyembah Setan. Dari menempuh jalan lurus, shirathal mustaqim, mereka tempuh jalan berbelok-belok tidak menentu.

Bahwa ketika dilakukan pemeriksaan, tanya-jawab tentang kesalahan yang telah mereka perbuat menukar persembahan dari menyembah Allah kepada menyembah Setan, ketika ditanya di hadapan Mahkamah Allah, lidah mereka atau mulut mereka telah terkunci, tidak sanggup bercakap lagi.

Dari Anas bin Malik r.a. berkata dia, "Kami berada di sisi Rasulullah satu waktu. Lalu beliau tertawa. Maka berkatalah beliau, 'Apakah kalian tahu apa sebab aku tertawa?' Kami jawab, 'Allah dan Rasul-Nya-lah yang lebih tahu.' Lalu sabda beliau, 'Aku tertawa mengenangkan seorang hamba akan menghadap kepada Allah, lalu dia berkata, "Ya Allah! Bukankah Allah telah memastikan bahwa Allah tidak akan berlaku aniaya kepadaku?" Allah SWT bersabda, "Memang, demikianlah." Lalu hamba itu berdatang sembah lagi, "Ya Allah! Aku tidak hendak menerima kesaksian tentang diriku melainkan dari dalam diriku sendiri." Lalu Allah SWT bersabda, "Cukuplah di hari ini dirimu sendiri jadi saksi atas dirimu! Dan Malaikat-malaikat 'pencatat yang mulia' (Kiraaman Kaatibiin) saksi luar." Lalu mulut si hamba itu pun ditutup. Maka diperintahkan Allah anggota tubuh si hamba itu supaya bercakap. Lalu bercakaplah anggota tubuhnya itu menjelaskan apa-apa yang telah dia amalkan. Setelah selesai, diberilah si hamba itu kesempatan berkata-kata kembali. Lalu dia berkata, "Celaka kalian, jauhlah kalian, sengsaralah kalian. Aku menutup mulut, kalian yang bercakap, padahal kalian yang aku perjuangkan." (HR. Muslim).

Ditambah lagi dari keterangan Abu Hurairah yang dirawikan Muslim juga, "Kemudian Kami utus saksi kami sekarang juga kepada engkau. Lalu berpikirlah dia sendirinya, siapakah agaknya saksi yang akan menyaksikan atas aku." Maka ditutuplah mulutnya dan dikatakan kepada pahanya, dagingnya dan tulangnya, "Berbicaralah!" Maka berbicaralah pahanya, dagingnya dan tulangnya, menerangkan amalnya. Dan yang demikian itu ialah untuk melemahkan dari dirinya. Dan itulah orang-orang yang munafik dan itulah orang-orang murka Allah telah menimpa dirinya." (HR. Muslim).

KEKAL DI NERAKA JAHANNAM

"... Dan sekalian mereka di dalamnya itu akan kekal."  (al-Anbiyaa': 99).


Akan menerima ganjaran
atas puncak segala dosa yang mereka telah perbuat, yaitu mempersekutukan Allah dengan yang lain.

"Bagi mereka di dalamnya itu ada teriakan, tetapi mereka itu di dalamnya tidak ada mendengar." (al-Anbiyaa': 100).


Walaupun sudah berteriak-teriak memohon ampun, menyesali dosa, namun mereka sendiri tidak ada mendengar apa-apa. Tegasnya, pekik dan lolong mereka, teriak dan rintihan mereka tidak didengarkan, tidak dipedulikan, yang menambah tenggelam mereka sengsara. Kalau akan dikatakan ada yang didengar, hanyalah gemertak dan deru api neraka, dan cambuk pukulan Zabaniah, malaikat penjaga neraka. Ibnu Mas'ud berkata, "Orang yang diadzab kekal di Neraka Jahannam itu dimasukkan ke dalam peti dari api. Peti itu dalam peti lagi, hingga berlapis, lalu dipaku di luarnya, sehingga suatu pun tidak ada yang mendengar. Dan siapa-siapa yang telah dimasukkan ke dalam peti berlapis itu tidaklah melihat orang lain yang sama diadzab, sebab ia di dalam peti sendiri-sendiri."

PUNCAK SEGALA DOSA

"Katakanlah, '... sesuatu yang tidak Dia turunkan keterangannya dan bahwa kamu katakan atas (nama) Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.'" (al-A'raaf: 33).


Mengikuti saja pikiran sendiri dengan tidak ditujukan terlebih dahulu kepada firman Allah dan Sunnah Rasul, adalah puncak segala dosa.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 303-304, Jilid 6 Hal. 156, Jilid 4 Hal. 304, Jilid 8 Hal. 158, Jilid 7 Hal. 438-442, Jilid 6 Hal. 85-86, Jilid 3 Hal. 410, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BOHONG DAN SERBA-SERBI BENTUKNYA

Memotong-motong kebenaran, misalnya mengambil awal pangkalnya saja dan meninggalkan akhir ujungnya, atau sebaliknya. Dengan demikian, rusak maksud suatu perkataan. Dalam Al-Qur'an banyak perkataan, apabila dipotong, menjadi rusaklah maksudnya seperti contoh ayat, "Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya." (al-Maa'uun: 4-5). "Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan." (an-Nisaa': 43). Dalam berpolemik, cara orang-orang yang memotong-motong inilah yang sangat berbahaya. Tujuan seseorang yang awalnya baik dan maksud isinya suci, karena dipolemikkan, menjadi kacau-balau karena kesalahan lawannya yang memotong itu.

(Buya HAMKA, Bohong Di Dunia, Hal. 9-10, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2017).

INTI TAUHID

Rasul sekali-kali tidak membuat jalan sendiri.

TAAT KEPADA ALLAH DAN RASUL

Kewajiban engkau adalah semata-mata menyampaikan perintah, bukan turut menentukan hukum dengan kehendak sendiri dan bukan pula berkuasa buat membela dan memelihara mereka.

PUNCAK SEGALA DOSA

"... Dan sungguh akan aku perintah mereka, sampai mereka mengubah perbuatan Allah ..." (an-Nisaa': 119).

Perdayaan Setan juga orang mengubah perbuatan Allah, yaitu agama Allah yang suci murni. Tafsiran ini dari Ibnu Abbas.

"Sesungguhnya telah Aku jadikan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif belaka. Tetapi kemudian datang Setan-setan. Maka Setan-setan itulah yang memesongkan mereka dari agama asli mereka dan diharamkan oleh Setan-setan itu apa yang Aku halalkan bagi mereka." (HR. Muslim).

MENGUBAH SYARI'AT (KEDUSTAAN ATAS NAMA ALLAH)

"... Apakah akan kamu katakan tentang Allah hal yang tidak kamu ketahui? Katakanlah, 'Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan sesuatu kedustaan atas nama Allah tidaklah mereka akan menang.'" (Yuunus: 68-69).


Mengada-adakan, mengarang-ngarangkan, menjadikan suatu khayal pikiran sebagai kepercayaan, mengarang-ngarang, bahwa Allah itu beranak, anak tunggal atau banyak, anak laki-laki atau perempuan. Atau pun mengharamkan barang yang tidak ada nash yang sharih bahwa Allah mengharamkannya, atau menghalalkan barang yang nyata telah diharamkan Allah, atau menambah-nambah syari'at dari apa yang telah tergaris dengan nyata dari Allah, atau menguranginya dan lain sebagainya. Seumpama berbagai macam gerakan Tasawuf yang mengatakan kalau kita sudah yakin, kita tidak perlu beribadah lagi, atau pun mewajibkan membaca-baca bacaan sebagai wirid, padahal tidak ada keterangan daripada Al-Qur'an atau Hadits.

Al-Baidhawi berkata di dalam tafsirnya, "Ayat ini menunjukkan bahwasanya tiap perkataan yang tidak berdalil beralasan adalah suatu kebodohan, dan suatu kepercayaan tak dapat tidak, mestilah yang tegas dan dapat dipertahankan. Sedang taklid, yaitu turut-turutan saja di dalam soal kepercayaan, tidaklah dapat diterima."

"... Kemudian itu akan Kami rasakan kepada mereka adzab yang sangat sekali, dari sebab apa yang telah mereka kufurkan itu." (Yuunus: 70).

PERINTAH BERPERANG

"Telah diperintahkan kepada kamu berperang, sedang dia itu tidak kamu sukai. Boleh jadi sesuatu yang tidak kamu sukai, padahal ada baiknya bagi kamu. Dan, boleh jadi kamu sukai sesuatu, padahal dia itu tidak baik bagi kamu. Dan, Allah mengetahui, sedang kamu tidaklah tahu ... Dan fitnah adalah lebih besar lagi dari pembunuhan. Dan, mereka akan selalu memerangi kamu sehingga (dapatlah) mereka mengembalikan kamu dari agama kamu, jika mereka sanggup. Dan, barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati, padahal dia telah kafir, maka mereka itu telah gagallah amalan-amalan mereka di dunia dan di akhirat. Dan, mereka itu adalah penghuni neraka, mereka akan kekal di dalamnya!" (al-Baqarah: 216-217).

Maka, datanglah ancaman yang tegas dari Tuhan kepada orang Muslim, "Dan barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya," yaitu meninggalkan iman dan kembali jadi kafir, meninggalkan Tauhid, kembali jadi musyrik karena takut akan fitnah, karena takut akan tanggung jawab, karena takut menghadapi pengorbanan, "Lalu dia mati, padahal dia telah kafir, maka mereka itu telah gagallah amalan-amalan mereka di dunia dan di akhirat." Apa yang dibangunkan selama ini runtuhlah, amalan jadi percuma dan kembali ke dalam kegelapan, di bawah pengaruh Setan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 47, Jilid 2 Hal. 374-375, Jilid 2 Hal. 462, Jilid 4 Hal. 467-468, Jilid 1 Hal. 415, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KESATUAN AGAMA

"Dan apa jua pun yang kamu perselisihkan padanya maka hukumnya adalah pada Allah. Demikian itulah Allah, Tuhanku. Kepada-Nya-lah aku berserah diri dan kepada-Nya aku akan kembali." (asy-Syuuraa: 10).

Apa sebab kamu berselisih? Karena masing-masing bersikeras mempertahankan bahwa dialah di pihak yang benar. Berapa banyaknya kebenaran? Apakah sebanyak orang? Bukan! Kebenaran hanya satu! Kebenaran hanya kepada Allah jua. Maka, segala yang kamu perselisihkan itu tidak akan selesai-selesainya selama kamu belum kembalikan hukum keputusan kepada Allah. Ini ada dalam tangan-Ku: kalam Allah, Al-Qur'an. Marilah ber-tahkim kepada ini, niscaya akan habis sendirinya apa yang kamu perselisihkan itu.

"Dia telah gariskan bagi kamu perihal agama, sebagai apa yang telah diwajibkan-Nya kepada Nuh dan yang Kami telah wajibkan kepada engkau dan apa yang telah Kami wajibkan dia kepada Ibrahim dan Musa dan Isa, (yaitu) bahwa kamu tegakkan agama dan jangan kamu bercerai-berai padanya. Amat berat atas orang musyrikin apa yang engkau ajak mereka kepadanya. Allah, Dia memilih buat itu siapa saja yang dikehendaki-Nya dan diberi-Nya petunjuk siapa yang kembali kepada-Nya." (asy-Syuuraa: 13).

Nabi Muhammad adalah Nabi penutup, sedang Nabi Nuh adalah Rasul yang mula-mula menerima syari'at. Jarak antara Nuh dan Muhammad kira-kira 8.000 tahun. Namun inti sari yang digariskan kepada Muhammad adalah yang diwajibkan kepada Nuh itu juga. "Dan yang Kami telah wajibkan kepada engkau dan apa yang telah Kami wajibkan dia kepada Ibrahim dan Musa dan Isa." Disini bertambah jelas bahwa Musa, Isa dan Muhammad pun hanya diberi satu macam tugas kewajiban meskipun masanya berbeda. Apakah tugas yang sama atau satu itu? "(Yaitu): bahwa kamu tegakkan agama dan jangan kamu bercerai-berai padanya." Agama itu hanya satu, yaitu mengakui keesaan Allah dan sesudah diakui keesaan-Nya itu lalu beribadah kepada-Nya, berbakti, taat! Untuk mengajarkan inilah sekalian rasul-rasul itu diutus. Di dalam ayat ini disebut lima rasul yang inti, yang disebut "Ulul azmi min ar-rusuli" (rasul-rasul yang mempunyai tugas istimewa). Yaitu: Nuh, Ibrahim, Musa, Isa al-Masih dan Muhammad (shalawat dan salam Allah buat mereka semua). Lantaran dimaksud dengan ad-din, yang kita artikan agama itu hanya satu, yaitu kebaktian kepada Allah. Dengan sendirinya maka hakikat agama di dalam dunia hanya satu. Itulah yang diperingatkan Allah bahwa kamu tegakkan agama dan jangan bercerai-berai padanya. "Amat berat atas orang musyrikin apa yang engkau ajak mereka kepadanya." Mengapa mereka merasa amat berat? Sebab ini adalah menanam suatu cita-cita besar, yang di zaman modern disebut ideologi. Menanam kesatuan tujuan yaitu Allah dan menanam kesatuan kepercayaan dan pegangan yang amat jauh tujuan, tahan buat berabad-abad, dan kalau pendirian itu dipegang, bukan saja berhala yang mesti runtuh, bahkan kesukuan-kesukuan, mementingkan kabilah, harus dikesampingkan. Yang ada hanya ukhuwah dalam agama, ini adalah soal Tauhid, menanam keyakinan satu Tuhan. Satu agama, satu keyakinan hidup. Padahal mereka musyrik, banyak Tuhan dan banyak kabilah, banyak keyakinan, sebanyak kepala penganutnya, inilah yang membuat mereka keberatan.

"Atau adakah bagi mereka sekutu-sekutu yang menggariskan untuk mereka dari satu agama, sesuatu yang tidak diizinkan Allah? ..." (asy-Syuuraa: 21).

Kemusyrikan bukanlah agama, dia hanya kumpulan dari khayal-khayal kebodohan manusia.

"Yang demikianlah warta gembira Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh. Katakanlah, 'Tidaklah aku meminta upah kepada kamu atasnya, hanyalah kasih sayang lantaran kekeluargaan belaka.' Dan barangsiapa mengerjakan kebajikan, akan Kami tambah baginya kebajikan itu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, Penerima Kasih." (asy-Syuuraa: 23).

Itulah sinar pengharapan di hari depan untuk Mukmin dan pejuang menegakkan amal, yang kerapkali kecewa di dunia ini. Jangan di sini mengharap upah. Yang banyak mengalir di dunia ini hanyalah air mata. Di akhiratlah terima upahmu. Sebab akan ke sanalah kita semua.

Alangkah gembiranya Allah menerima hamba-hamba-Nya yang sesudah tersesat, lalu pulang kembali ke jalan-Nya yang benar.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 195-204, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).


BAB AQIDAH KLIK DISINI

KLIK DISINI: TENTANG PEMBERANTASAN LCBT (LINGKARAN CHURAFAT BID'AH TAHAYUL) TERKUTUK

KLIK DISINI: TENTANG TAHLILAN, KIRIM HADIAH FATIHAH, TAWASSUL DAN WASILAH

Gerakan Muhammadiyah serta segala gerakan tajdid yang lain, baik di Indonesia maupun di luarnya, hendak kembali kepada Sunnah Rasul itulah yang jadi tujuan. Bukan menyelewengkan Islam dari pangkalnya karena sok modernisasi.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 25, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).


ALLAH PENUNJUK JALAN

"Dan atas tanggungan Allah menunjukkan jalan; dan setengahnya ada yang bengkok, dan jika dikehendaki-Nya, akan diberi-Nya petunjuklah kamu sekalian." (an-Nahl: 9).

As-Suddi menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan jalan yang ditunjukkan Allah itu ialah Islam.

Mujahid menafsirkan ialah jalan kebenaran.

Menurut Ibnu Abbas sepanjang yang diriwayatkan oleh al-Aufi, maksud ayat atas tanggungan Allah-lah menunjukkan jalan, yaitu mana jalan pertunjuk yang harus ditempuh dan mana jalan sesat yang mesti dijauhi.

"Dan setengahnya ada yang bengkok."

Artinya bahwasanya di samping jalan yang Allah sendiri menunjukkannya, terdapat pula berbagai jalan yang bersimpang-siur dan yang berbelok-belok, berbengkok-bengkok, yaitu jalan yang direntangkan oleh Iblis, oleh perdayaan Setan, oleh hawa nafsu manusia sendiri yang tidak mau patuh kepada jalan yang dituntunkan oleh Allah. Maka tiap-tiap kita menempuh jalan hidup ini akan bertemulah sebuah jalan lurus dan berpuluh jalan bengkok dan jalan kusut yang tak tentu arah.

Berkata pula Ibnu Abbas dan lainnya, "Yaitu jalan berbagai-bagai, pendapat berbeda-bedaan dan hawa bersimpang-siur, seperti Yahudi, Nasrani dan Majusi."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 165, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MAKNA IMAN BAGI BANGSA

Wahai orang-orang yang menyerukan kebenaran,

Yang berniat hendak memajukan bangsa dan tanah airnya.


Wahai orang-orang yang tidak sayang darah dan nyawa untuk mencapai bahagia dan kemerdekaan, yang hendak melepaskan aniaya dan belenggu, yang hendak menegakkan keadilan dan kebenaran!

Dengarlah madahku,


Aku hendak menunjukkan suatu jalan supaya maksud yang mulia itu tercapai!

Terangkanlah kepada orang banyak, kepada pendengar-pendengar pidatomu, kepada pembaca-pembaca tulisanmu, kepada rakyat yang sudi mengikutimu, terangkanlah kepada mereka, bahwa Allah senantiasa melihat dan menjaga gerak-gerik mereka selama-lamanya.

Agamalah sebab bahagia diri dan bahagia masyarakat, menegakkan pergaulan hidup atas azas perdamaian dan kecintaan.

Yaitu agama yang tidak tercampur dengan khurafat dan bid'ah manusia,

Untuk mencapai bahagia dunia dan akhirat.

Untuk kesentausaan perikemanusiaan!

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 91-94, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

SYARAT ORANG MASUK ISLAM DAN AJARAN ISLAM

PENDAHULUAN

Ilmu dalam Islam adalah yang ada dasar dan dalilnya, terutama dari dalam Al-Qur'an dan dari As-Sunnah, termasuk juga penafsiran ulama-ulama yang telah mendapat kepercayaan dari umat, yang disebut Salafus Shalihin, serta sesuai dengan akal yang sehat.

Kalau tidak ada dasar-dasar yang tersebut itu, bukanlah itu suatu ilmu, melainkan hanya dongeng, khurafat, takhayul, kepercayaan karut yang membawa beku otak orang yang menganutnya atau hanya boleh dipercayai oleh orang yang tidak beres akalnya.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 305, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

TAJDID DAN MUJADID

Ahli-ahli fiqih ketika menguraikan maksud hadits tentang mujadid ini mereka berkata bahwa yang dimaksud dengan mujadid ialah orang-orang yang menghidupkan kembali Sunnah Nabi, setelah nyaris hilang ditimbuni oleh perbuatan bid'ah yang datang kemudian.

Abdullah bin Mas'ud, salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang terkemuka dalam pengetahuan tafsir dan hadits, pernah membayangkan bahaya orang yang meninggalkan Sunnah Rasul itu demikian,

"Bagaimana sikap kalian bila datang waktunya negeri diserang suatu fitnah, yang anak-anak kecil terdidik dengan ia, dan orang tua telah tua dengan ia, perbuatan bid'ah telah dijadikan orang jadi sunnah, dan kalau ditegur mereka marah dan mereka katakan bahwa sunnah telah berubah."

Lalu, orang bertanya kepada beliau,

"Bilakah akan kejadian hal yang demikian itu dan apakah tandanya?"

Beliau menjawab,

"Hal seperti itu akan kejadian kalau telah banyak yang hanya pandai membaca, tetapi sedikit yang pandai memahamkan (fuqahaukum), banyak yang memegang kuasa, tetapi sedikit yang dapat dipercaya, dan orang mencari keuntungan duniawi dengan berselubungkan amal akhirat, dan orang yang memperdalam pengetahuannya tentang agama bukan untuk agama."

Di saat-saat seperti demikianlah datangnya mujadid, yaitu orang-orang yang berani membuka mulutnya menyatakan,

"Stop penyelewengan itu!"

Ayah dan guru penulis, Dr. Syekh Abdulkarim Amrullah menulis di dalam bukunya Al-Qaulush Shahih (Cetakan ke-2, 1926),

"Sebab kenapa dinamai mujadid ialah karena tiap diada-adakan orang yang bid'ah pada agama, niscaya ia akan mematikan sunnah yang bertentangan dengan bid'ah itu. Maka, orang-orang yang menghidupkan sunnah pada waktu itu samalah artinya dengan memperbaru kembali. Atau, ia dipandang oleh orang yang telah lama di dalam bid'ah-nya itu sebagai pembawa perubahan baru, sebab yang mempertahankan bid'ah itu tidak mempunyai pengetahuan tentang perjalanan sunnah yang lama tadi. Jadi, bukan sebenar-benarnya barang baru karena sunnah itu memang barang yang lama adanya."

Kata beliau seterusnya,

"Oleh karena yang demikian itu maka yang dimaksud dengan mujadid itu tidaklah patut diberikan. Hanya kepada orang yang alim dengan segala rupa ilmu agama, lahir dan batinnya, ushul dan furu'nya, ilmu tafsir Al-Qur'an dan ilmu hadits, dan apa yang bersangkutan dengan semuanya itu, supaya dapatlah ia mempersisihkan di antara yang sunnah dan bid'ah."

Diuraikan oranglah sejarah, betapa telah meleset jauhnya perjalanan Islam sejak zaman Bani Umayyah. Kemewahan dan kemegahan telah menyebabkan kebanyakan orang lupa akan dasar hidup beragama. Khalifah-khalifah sendiri tidak lagi menurut teladan yang ditinggalkan oleh khalifah berempat yang pertama (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali), malahan telah meniru hidup raja-raja.

Kalau Nabi Muhammad saw. menganjurkan supaya yang kuat membela yang lemah, di zaman itu, keringat dan darah si lemahlah yang diperas oleh si kuat untuk kepentingan dirinya.

Sampai khutbah Jum'at sendiri pun dijadikan medan propaganda untuk membusukkan lawan politik.

Mu'awiyah sendiri yang memasukkan kutukan kepada Ali bin Abi Thalib, dan Syi'ah-nya pada khutbah kedua.

Umar bin Abdul Aziz, setelah beliau menjadi khalifah, mengadakan tajdid (pembaruan), memperbarui semangat orang beragama agar kembali kepada Sunnah Nabi. Di antaranya ialah mengembalikan khutbah kepada maksud yang sebenarnya dan menghapuskan cela makian Bani Umayyah kepada Ali dan Syi'ah-nya, lalu menggantinya dengan seruan kepada keadilan dan ihsan sehingga sampai sekarang ini masih dihiaskan khatib-khatib di ujung khutbah kedua.

Kemudian, pada tiap-tiap permulaan kurun disebutkan oranglah nama-nama ulama atau pemimpin yang disebut mujadid itu. Di antaranya ialah Imam Syafi'i, dan disebut juga nama Imam Ahmad bin Hanbal yang dengan mempertaruhkan namanya menantang usaha Khalifah Makmun dari Bani Abbas yang hendak mengacau-balaukan agama dengan falsafah dan memaksakan pahamnya kepada umat. Beliau menentangnya sehingga beliau dipenjarakan. Namun, beliau akhirnya menang dalam moral, dan orang pun kembali pada pokok Sunnah.

Gerakan Muhammadiyah serta segala gerakan tajdid yang lain, baik di Indonesia maupun di luarnya, hendak kembali kepada Sunnah Rasul itulah yang jadi tujuan.

Bukan menyelewengkan Islam dari pangkalnya karena sok modernisasi.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 21-25, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

GELAP SESUDAH TERANG

Kalau dia orang Islam, dia telah banyak mengenal Al-Qur'an dan telah tahu memperbedakan mana hadits yang shahih, mana yang dhaif dan mana yang maudhu' (palsu).

Pendeknya, dia sudah terhitung ahli dalam ayat Allah.

Akan tetapi, rupanya, semata-mata mengenal ayat-ayat Allah saja, kalau tidak pandai mengendalikan hawa nafsu maka pengetahuannya tentang ayat-ayat Allah itu satu waktu bisa tidak memberi faedah apa-apa, bahkan dia terlepas daripada ayat-ayat itu; tanggal atau ungkai atau copot dirinya dari ayat itu.

Nabi disuruh menceritakan keadaan orang yang telah mengerti ayat-ayat Allah, fasih menyebut, tahu hukum halal dan hukum haram, tahu fiqih dan tahu tafsir, tetapi agama itu tidak ada dalam dirinya lagi.

Allahu Akbar! Sebab akhlaknya telah rusak.

"Maka, Setan pun menjadikan dia pengikutnya lalu jadilah dia daripada orang-orang yang tersesat." (ujung ayat 175).

Rupanya karena hawa nafsu, ayat-ayat yang telah diketahui itu tidak lagi membawa terang ke dalam jiwanya, melainkan membuat jadi gelap.

Akhirnya dia pun menjadi anak buah pengikut Setan sehingga ayat-ayat yang dia kenal dan dia hafal itu bisa disalahgunakan.

Dia pun bertambah lama bertambah sesat.

Maka karena dia telah sesat, dipakainyalah ayat Al-Qur'an yang dia hafal itu untuk mempertahankan kesesatannya, dengan jalan yang salah.

Dia masih hafal ayat-ayat dan hadits-hadits itu, tetapi ayat dan hadits sudah lama copot dari jiwanya, dan dia telah tinggal dalam keadaan telanjang.

Na'udzubillah min dzalik.

"Dan barangsiapa yang Dia sesatkan, mereka itulah orang-orang yang rugi." (ujung ayat 178).

Bagaimana tidak akan rugi, kalau diri telah tersisih sendirinya daripada masyarakat yang baik; masuk tidak menggenapi, keluar tidak mengurangi.

Umur bertambah susut, pekerjaan tidak berbekas.

Kebenaran ayat-ayat Allah diketahui, tetapi diri sendiri mendapat kutuk daripadanya.

Laksana anjing yang selalu kehausan, sebab nafsu tidak ada batasnya.

Kesudahannya timbullah penyakit-penyakit jiwa yang lain, di antaranya ialah dengki dan hasad.

Sebagaimana pernah kejadian, seorang yang telah merasa dirinya ulama, padahal ayat-ayat Allah digunakannya untuk memenuhi nafsu kebendaan, menjadi dengki kepada orang lain, yang ilmu orang itu tidak sebanyak ilmunya, tetapi dia amalkan, sehingga orang itu lebih dipercayai orang banyak.

Maka, dia pun dengki melihat, mengapa dirinya sendiri tidak dihormati orang lagi padahal dia lebih "alim" lebih banyak mengetahui ayat-ayat.

Padahal, dia telah lupa bahwa dialah orang yang pertama sekali mendustakan ayat-ayat itu.

Moga-moga dijauhkan Allah kutuk seperti ini dari kita sekalian.

Amin!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 598-601, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ISLAM UNTUK INDONESIA

Jadi, selagi Indonesia mengalami kemerdekaan, bagaimana caranya Islam menjadi "pedoman masyarakat"?

Jawabannya, kata HAMKA, ada di kemampuan Islam berubah mengikuti zaman, berevolusi seiring evolusi masyarakat manusia.

Dengan mengandalkan sumber asli Islam, Al-Qur'an, bersama hadits shahih dan penggunaan akal secara tertib, umat Islam Indonesia dapat menciptakan masyarakat yang benar-benar modern dan Islami.

Apa yang menghalangi jalan? HAMKA biasanya menunjuk ke penghalang di dalam komunitas Muslim sendiri.

Banyak orang Indonesia tidak mengetahui ajaran Islam yang sejati.

Kemalasan dan kepicikan di kalangan ulama, dan kecenderungan umat mengikuti otoritas secara membuta, menghambat kemajuan.

Banyak di antara kita, kata HAMKA menggunakan gambaran kesukaannya, seperti Pak Turut.

Beberapa mempertahankan aturan agama berumur 700 Tahun tanpa kritis, yang ada sejak masa keemasan Baghdad dan Mesir, atau ajaran ulama yang ketinggalan zaman.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 121-122, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

Negeri-negeri Melayu mulai merasakan kebangkitan yang baru dari Islam karena masuknya paham-paham yang diajarkan oleh Kaum Wahabi

Dan dipermoderen lagi oleh Sayid Jamaluddin al-Afghany, Syekh Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha.

(Buya HAMKA, Sejarah Umat Islam, Hal. 521, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

BERJIHAD UNTUK BAHAGIA

Sesungguhnya kematian perasaan jihad inilah yang telah menyebabkan kaum muslimin sangat mundur pada dewasa ini.

Mungkin setelah ajaran agamanya dicampuradukkan dengan agama yang lain.

Dan kaum muslimin akan melebihi Barat dalam berjihad bersungguh-sungguh, jika pelajaran agamanya dipegangnya kembali teguh.

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 336, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

Islam akan bangkit kembali dan sekarang telah mulai bangkit, karena umatnya telah mulai sadar akan dirinya.

Islam yang menganjurkan kebebasan berpikir dengan nama ijtihad.

Islam yang menyuruh berjuang menegakkan keyakinan dengan nama jihad!

-Gema Islam, 1962.

(Buya HAMKA, Renungan Tasawuf, Hal. 118-120, Republika Penerbit, Cet.I, Januari 2017).

PANGGILAN JIHAD - BUYA HAMKA [HD]

youtube.com/watch?v=0oidW1agkr8

SYIRIK I

Jika kita telah menghormati sesama manusia melebihi atau menyamai hormat kita kepada Allah, ataupun takut menyamai takut kepada Allah, apabila hati telah memuja sesuatu sehingga samar pujaan kepada Allah, hati-hatilah karena ini sudah tiba namanya di ambang pintu syirik.

Bahkan umat Islam sesama umat Islam sendiri pun tidak jarang tidak dapat membebaskan diri mereka dari bahaya yang mengancam. Seketika bahaya telah datang, mereka terpaksa menyerahkan leher untuk disembelih, tidak dapat bertahan lagi, sebab beton yang teguh dari tauhid telah lama bocor. Yang membocorkannya ialah karena syirik mereka dengan hawa nafsu mereka sendiri.

Mereka ingin benda dan kemegahan sehingga lupa akan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu persaudaraan sesama Muslim dalam kepercayaan yang satu kepada Allah.

(Buya HAMKA, FALSAFAH KETUHANAN, Hal. 108-110, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2017).

JANJI AHLI-AHLI PENGETAHUAN

"Dan (ingatlah) tatkala Allah mengambil janji orang-orang yang diberi kitab itu." (pangkal ayat 187).

Isi janji ialah,

"Hendaklah kamu terangkan isi Kitab itu kepada manusia dan janganlah kamu sembunyikan."

Mereka wajib menerangkan yang sebenarnya.

Kalau tidak, maka mereka telah khianat atau membawa kebinasaan.

Itu adalah kebinasaan, kecurangan, dan kejahatan.

Sebab, yang demikian itu adalah "korupsi rohani" yang amat berbahaya.

Memang beratlah menjadi ulama dan menjadi sarjana, sebab mereka itu dengan ilmunya telah mengikat janji dengan Allah.

Maka datanglah sambungan ayat demikian bunyinya:

"Sekali-sekali janganlah engkau sangka bahwa mereka akan terlepas dari adzab. Bahkan untuk mereka adzab yang pedih." (ujung ayat 188).

Adzab atau siksaan yang diancamkan oleh Allah itu niscaya melalui dua masa.

Pertama, ialah adzab selama hidup di dunia, karena hilangnya kepercayaan orang atas diri mereka, karena martabat jiwa mereka yang telah jatuh, hilang wibawa dan turun gengsi.

Adzab yang kedua, ialah adzab akhirat yang amat hina.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 142-148, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Sebagaimana perkataan Ibnu Ruslan,

"Orang yang alim kalau tidak mengamalkan ilmunya akan diazab sebelum orang yang menyembah berhala."

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 66, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

"Mereka itu akan dilaknat oleh Allah dan mereka pun akan dilaknat oleh orang-orang yang melaknat." (ujung ayat 159).

Apabila orang-orang yang dianggap ahli tentang agama tentang Al-Qur'an dan Hadits telah bersikap pula menyembunyikan kebenaran,

Misalnya karena segan kepada orang yang berkuasa atau takut pengaruh akan hilang terhadap pengikut-pengikut mereka, kutuk yang terkandung dalam ayat ini pun akan menimpa mereka.

Kalau mereka telah menyembunyikan pula ilmu dan pengetahuan, keterangan-keterangan dan petunjuk, kutuk laknat Allah-lah yang akan menimpa dirinya.

Manusia pun mengutuk pulalah sehingga kadang-kadang jika terdapat banyak maksiat di satu negeri, bertanyalah orang,

"Tidakkah ada ulama disini?"

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 294-296, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Maka Setanlah yang telah menipu mereka dan merayu mereka." (ujung ayat 25).

Perdayaan Setan tidak saja akan datang merayu orang bodoh, bahkan orang sangat pandai pun dapat dirayunya dengan kepandaiannya.

Seorang ulama besar, Syekh Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengarang sebuah kitab bernama Naqdul Ilmi wal Ulamaa yang isinya ialah menguraikan bagaimana Setan merayu dan memperdayakan manusia dalam segala bidang.

Orang alim, ahli tasawuf, ahli fiqih dan berbagai macam keahlian agama, semuanya dicoba oleh Setan merayu mereka sampai jatuh.

Itulah sebabnya maka kita dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. agar membaca doa sehabis shalat,

"Ya Allah yang dapat memutarbalikkan hati manusia, tetapkanlah hatiku di dalam agama Engkau dan taat kepada Engkau."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 347, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Muhammadiyah telah menempuh korban yang selalu ditemui oleh setiap pembuka jalan; mulanya dibenci akhirnya dituruti jejaknya." (Buya HAMKA).

KEBERANIAN BUDI

Agama Islam sejak dia dilahirkan adalah membela dan menegakkan kebenaran yang tulen, kebenaran yang tidak bercampur sedikit juga dengan keraguan. Setiap penganut Islam, wajib menyuruh berbuat baik mencegah yang mungkar sehingga berabad-abad lamanya Islam menjadi guru dunia.

Seruan Islam-lah yang membangunkan Eropa dari kungkungan pendeta-pendeta yang menghambat-hambat kebenaran itu.

Kemudian musim beralih, zaman bertukar.

Keberanian menyatakan kebenaran, menyatakan ilmu pengetahuan pindah ke Eropa dan penyakit benua Eropa pindah ke negeri Islam. Ilmu yang tinggi-tinggi terhenti jalannya. Dahulu ulama Islam mencari kebenaran. Mereka ahli tafsir, ahli fiqih, filsuf, sufi. Mereka yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang di langit. Kemudian itu yang bernama ulama telah terlingkung dalam perkara tahu istinjak, tahu bersuci. Ilmu dunia dikutuki, kebenaran dan penyelidikan yang baru dibenci, dikutuk, dikatakan menghalang dan menghilangkan Islam.

Maka bangunlah kaum muslimin kembali sejak timbul keberanian Sayid Jamaluddin al-Afghani, dan muridnya Syaikh Muhammad Abduh, dan muridnya pula Sayid Muhammad Rasyid Ridha, dengan berani berterus-terang menyatakan kebenaran. Mula-mula mereka dikutuk, tetapi dengan diam-diam segala pelajaran mereka diikuti juga.

Di Indonesia muncul H. Abdullah Ahmad dan Haji Rasul (H. Abdulkarim Amrullah), serta kawan-kawannya di Minangkabau dan Kiai Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah-nya di Yogyakarta.

Mereka dibenci, dihalangi, dikatakan sesat.

Tetapi dengan diam-diam mereka diikuti juga.

Pelajarannya dituruti.

K.H.A. Dahlan mendirikan Muhammadiyah.

Orang kutuki Muhammadiyah dan orang halangi dan dituduh merusak agama. Tetapi dengan diam-diam orang menirunya dengan mendirikan sekolah, bahkan beratus-ratus perkumpulan, yang jalannya sama, bekasnya sama, tujuannya tidak berapa berbeda, meskipun namanya yang bukan Muhammadiyah.

Muhammadiyah telah menempuh korban yang selalu ditemui oleh setiap pembuka jalan; mulanya dibenci akhirnya dituruti jejaknya.

Mesti timbul kelompok-kelompok muda yang berani menyatakan pendapat.

Sebab sekarang perhubungan telah mudah, percetakan telah banyak dan penerbitan telah ada.

Adapun orang yang enggan menyatakan keyakinannya karena takut akan dikritik, segan menyatakan pendirian karena takut akan dibenci, adalah orang yang pengecut.

Terutama sekali perlu diperhatikan oleh penulis-penulis dan pengarang-pengarang.

Orang yang pengecut, atau yang membungkamkan kebenaran karena takut dibenci, atau penulis-penulis yang hanya menurutkan kehendak orang banyak, walaupun dalam perkara yang tidak diselidiki lebih dalam, tidaklah akan dihargai orang.

Topengnya akan terbuka.

Sebab bukan pembela kebenaran tetapi pembela namanya sendiri.

Tegasnya, pembela "periuk nasinya".

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 254-255, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

Kalau pengecut, walaupun banyak ilmu, besar gulungan diploma, masyarakat tidaklah akan mendapat untung daripadanya. Jangankan masyarakat, bahkan dirinya sendiri pun tidak akan memperoleh untung dari diplomanya itu. Orang yang pengecut, pekerjaannya selalu tersia-sia. Duduknya di bawah; Dia tak berani ke atas. Dia hanya jadi pengikut, tidak berani diikuti. Atau menggerutu di belakang.

Sebab itu, kepada bapak-bapak kita serukan supaya, janganlah anak-anak 'dibunuh' waktu kecilnya.

Sehingga hanya badannya yang tinggal sedang "jiwanya" yang sejati telah terbang, karena diajar oleh ayahnya pengecut.

Tiap-tiap anak hendak menyatakan perasaan, dihalangi.

Anaknya diajar takut kepadanya atau kepada orang lain.

Dihardik kalau dia hendak menyatakan pikiran.

Disumbat mulutnya kalau dia bertanya.

Pada kita ada agama Islam, yang mendidik jihad, berjuang, dan "syahid" mati di dalam kemuliaan lantaran mencapai maksud.

Surga yang jadi ganjarannya.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 263-264, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

KHUTBAH JUM'AT

Dalam kongres yang diadakan Rabithah 'Alam al-Islami, di masjid Mekah pada Ramadhan 1398 (September 1975), dibahas juga tentang pentingnya khutbah.

Masjid dengan khutbah yang baik dianggap sebagai pembangkit yang baik dari kesadaran beragama. Di sana pun dianjurkan agar imam-imam dan khatib Jum'at itu hendaknya orang yang berkeahlian dan mempunyai wibawa pribadi. Dikaji juga di situ bahwa setelah islam mundur, masjid tidak berperan lagi dan khutbah Jum'at pun mundur sama sekali.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 138, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KUFUR

Kita mengakui diri orang Islam.

Al-Qur'an kita baca dan lagukan dengan tajwid yang baik, tetapi isinya tidak kita pahamkan dengan saksama.

Lalu, datang orang menyerukan kebenaran supaya kita benar-benar kembali pada ajaran Rasul.

Hati kecil mengakui kebenaran itu, tetapi ditolak dengan keras karena diri tersinggung, karena dengki, karena merasa "dilintasi";

Ada di antara orang Islam yang marah dan merasa dihina kalau dikatakan dia kafir.

Akan tetapi, amal Islam tidak dikerjakannya, dan jika diajak pada ajaran Islam, dia marah.

Islam hanya bisa hidup karena selalu adanya dakwah.

Islam hanya bisa hidup kalau ahli-ahli pikirnya selalu menggali rahasianya buat dijalankan.

Ia tidak boleh dibiarkan membeku (jumud).

Kalau telah jumud, ia berarti mati.

Maka, orang yang menghidupkannya kembali akan bertemulah dengan rintangan besar, yaitu kekufuran dan orang yang mengakui dirinya Islam sendiri.

Namun, sebagaimana juga kedua ayat ini diperingatkan kepada Nabi Muhammad saw. bukan buat beliau putus asa, melainkan supaya bekerja lebih giat.

Maka, bagi penyambung waris Muhammad, ayat ini pun bukan menyebabkan putus asa, melainkan untuk pendorong semangat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 105-106, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KESIMPULAN

Di ayat 65 akan kita baca penegasan Allah, dengan sumpah bahwa orang yang tidak mau menerima Tahkim dari Allah dan Rasul-Nya,

Tidaklah termasuk orang yang beriman,

"Walau shallaa, walau shaama!"

Walaupun dia Shalat, walaupun dia Puasa.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 353, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SESAT DAN BINGUNG

"Demikianlah Kami ganjar kaum yang durhaka." (ujung ayat 13).

Ganjaran siksaan datang kepada mereka karena sebabnya telah bertemu, yaitu Lamma zhalamu, tatkala mereka telah zalim. Yang berkuasa berbuat semau-mau, yang lemah tertindas dan tidak ada jaminan karena lemahnya. Tidak ada lagi percaya-memercayai dan Allah hanya tinggal pada bibir, tidak keluar dari rongga hati. Sebab itu, kacaulah masyarakat mereka, dan seluruhnya telah ditimpa dosa, seluruhnya telah durhaka.

Orang baik-baik pun tidak dapat lagi mempertahankan pendirian hidup yang baik, sebab seluruh masyarakat umumnya telah jahat.

Orang yang benar tidak berani lagi menyebut yang benar, sebab kalau yang benar disebut, akan berbahaya kepada dirinya sendiri.

Dan lantaran tidak berani itu pun dia telah durhaka, melalaikan kewajiban karena takut mati.

Lantaran itu datanglah adzab Allah.

"Supaya Kami pandangi betapa kamu beramal." (ujung ayat 14).

Nabi paling akhir ialah Muhammad saw.

Mukjizat yang beliau bawa ialah Al-Qur'an, dan Al-Qur'an itu tetap ada sampai sekarang, dan isinya tetap hidup.

Maka dapatlah kita uji kebenaran Al-Qur'an dengan perjalanan sejarah Muslimin yang kita tempuh dari Abad ke Abad.

Terusirnya lebih dari 4 juta kaum Muslimin dari Spanyol di Abad ke-16, niscaya lebih hebat dari runtuhnya negeri Nabi Syu'aib atau negeri Nabi Luth.

Pada zaman sekarang, berdirilah Negara Israel kepunyaan Yahudi, dengan bantuan kerajaan-kerajaan besar Barat di tengah-tengah pusat kebudayaan orang Arab.

Dan di antara keduanya itu, pernah pukul rata 300 Tahun tiga per empat dari wilayah negeri-negeri Islam jatuh jadi jajahan.

Ini semuanya lebih hebat daripada hilang dan runtuhnya negeri Nabi Shalih.

Soal ini sekian lamanya tidak menjadi perhatian dari sarjana-sarjana Islam sendiri.

Ulama itu apabila menghadapi soal seperti ini kebanyakan menjawab dengan pesimis atau tasyaa'um, mengatakan bahwa semuanya ini adalah adzab Allah kepada kita kaum Muslimin karena meninggalkan agama. Dan kita akan terlepas dari bencana ini kalau kelak Imam Mahdi datang.

Dan kata mereka pula, semuanya ini adalah takdir yang tidak dapat kita elakkan.

Agama, tegasnya Al-Qur'an dan as-Sunnah sudah ditinggalkan Rasul saw. akan menjadi pedoman di dalam menghadapi dan menguasai hidup.

Kekuatan iman memberikan ilham yang kuat.

Hidup mesti dapat menyesuaikan diri dengan ruang dan waktu, sedang Al-Qur'an mengatasi dan memimpin perubahan ruang dan waktu.

Semangat yang telah nyaris runtuh bisa bangun kembali kalau umat pulang kepada iman dan amalnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 378-381, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IMAM MAHDI

Kita tidak perlu menunggu Imam Mahdi.

Sebab hadits tentang Imam Mahdi itu pun tidak ada yang sah buat dijadikan dalil.

Lebih baik kita jadikan diri kita sendiri-sendiri menjadi Imam Mahdi, membawa petunjuk Islam sejati untuk menampung kehendak Ilahi bahwa Islam akan mengatasi segala agama dunia ini,

Walaupun orang yang musyrikin tidak suka.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 146-147, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Tentang hadits-hadits akan turun Imam Mahdi, menurut penyelidikan ahli-ahli, tidaklah sunyi hadits-hadits Mahdi itu dari pengaruh Syi'ah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 620, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IMAN, AKAL DAN TAKLID

"Apakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui." (az-Zumar: 9).

Iman atau Islam yang hanya dipusakai belaka atau hanya dikerjakan karena ikut-ikutan, belum tentu kesempurnaannya.

Meskipun bagaimana teguhnya mereka memegang segala pokok agama, pegangan itu mudah lepas karena pertahanannya tidak ada di dalam lubuk kesadaran jiwa sendiri.

Agama yang dikerjakan hanya karena ikut-ikutan (taklid), amat takut kepada ujian akal.

Orang itu cepat sekali murka dan menuduh "keluar dari agama", jika ada orang menyatakan berbeda pikiran dari apa yang diterimanya dari guru-guru dan nenek moyangnya.

Seorang pujangga Jerman yang masyhur, Goethe, pernah berkata,

"Jika begini yang dikatakan Islam, mengapa aku tidak masuk ke dalam golongan Muslim?"

Orang-orang yang telah mengakui dirinya Islam, umat Islam dan orang tuanya Islam, serta hidup dalam masyarakat Islam, harus memeriksa kepercayaan itu kembali, sebab sudah terlalu jauh keluar dari pokok asalnya.

Sangat jauh perbedaan antara arti percaya (iman) dengan sikap mengikut saja.

Sebab iman adalah pendapat sendiri, di dalam perjalanan hidup mencari kebenaran, yakni kesungguh-sungguhan yang tidak pernah berhenti sehingga insaf kelemahan diri di hadapan Kebesaran Yang Maha Besar.

Adapun sikap percaya saja adalah mengikuti orang lain dengan membuta tuli apa yang dikatakan orang lain, atau apa yang diterima dari guru, sehingga akal sendiri menjadi beku tidak bergerak.

Apabila telah timbul kebekuan itu, beku pulalah paham agama dan sinarnya tidak lagi bercahaya.

Itulah yang bernama taklid.

Taklid adalah musuh kemerdekaan akal.

(Buya HAMKA, FALSAFAH KETUHANAN, Hal. 18-19, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2017).

PRESS RELEASE

Kini sedang beredar lagi surat berantai seperti yang pernah terjadi pada tahun-tahun lalu.

Jumlah peredarannya makin lama makin banyak karena setiap orang memperbanyak, takut akan mendapat celaka bila tidak menyebarkannya. Lebih-lebih karena ancaman kecelakaan itu ada hubungannya dengan kepercayaan keagamaan.

Demi untuk memurnikan kaum Muslimin, Majelis Ulama Indonesia menyerukan kepada umat Islam agar jangan mudah terpengaruh dengan isu-isu, apalagi yang tidak jelas sumbernya, demi memelihara iman yang berdasarkan tauhid.

Sedangkan sebuah hadits yang mempunyai sanad sampai kepada Nabi, masih menjadi sasaran penyelidikan yang teliti tentang "kesahihan" hadits itu, apalagi sebuah cerita yang berasal dari mimpi berjumpa dengan Nabi.

Jakarta, 18 Maret 1976.

DEWAN PIMPINAN MAJELIS ULAMA INDONESIA

PROF. DR. HAMKA

Ketua

H. MUSYTARY YUSUF L.A.

Sekretaris

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 53, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

TAUHID ATAU SYIRIK

"Supaya kalimat Allah tetap agung di alam ini."

Kebal yang dikehendaki oleh Islam adalah kebal jiwa dalam tauhid: mulai lahir dan ketika menutup mata pun tetap pendirian pada

Laa ilaha illallah: Tiada tuhan selain Allah.

Apa pun macamnya cobaan dan gangguan yang datang, tetapi jiwa tetap kebal dengan pendirian itu, hatta di hadapan kedua malaikat Munkar dan Nakir dalam kubur sekalipun.

Jika aku ditembak, badan ini akan hancur, karena ia tidak kebal; tetapi keyakinan hidupku tetap kebal, tidak berubah.

Itulah maksud kebal dalam Islam.

Nabi kita Muhammad saw., setelah menaklukkan Negeri Thaif, beliau memerintahkan sahabat Mughirah bin Syu'bah untuk meruntuh berhala Lata yang selama ini dipuja oleh kaum musyrikin di sana.

Ada orang yang takut dan menakut-nakuti.

Tetapi Sayidina Mughirah tidak dapat "digertak sambel" oleh berhala itu.

Terus diayunkannya beliungnya (kapak), dicincangnya berhala itu sampai lumat.

Pada pukulan pertama dan kedua masih terdengar menggertak-gertak dari dalam berhala itu, tetapi beliung Sayidina Mughirah tidak berhenti karena gertakan itu, sampai ia hancur.

Mengapa matanya mendelik-delik

Mengapa ia menggertak-gertak padahal ia hanya dibuat dan batu dan semen?

Rupanya Hantu, Setan yang masuk ke dalam, dan Hantu Setan itu berhadapan dengan iman Mughirah; akhirnya Hantu Setan kalah, iman menang.

Sekarang tinggal memilih satu di antara dua:

Tauhid atau Syirik.

Adapun kalau saudara Damanhuri sakit, tidak usah pergi kepada bomoh yang akan memberikan sehelai kertas "jimat" yang ditulis rajah-rajah atau ayat-ayat Al-Qur'an

Karena isi Al-Qur'an adalah buat mengobati jiwa, bukan kertas yang bertulis Al-Qur'an untuk mengobati sakit perut.

Yang sebaiknya datanglah kepada dokter; nanti Anda akan diberi sehelai kertas, bukan bertulis ayat-ayat, tetapi bertulisan resep-resep obat. Bawa ke farmasi, tukarlah dengan obat.

In sya Allah Anda akan sembuh, karena Nabi mengajarkan, kalau kamu sakit berobatlah kepada tabib yang mahir.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 32-33, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

SEDERHANA MENCARI NAMA

Khufarat dan bid'ah, demikian juga adat lama pusaka usang yang telah ditinggalkan zaman, bukan sedikit memusnahkan harta.

Lihat dan perlihatkanlah berapa banyak ongkos yang percuma dikeluarkan oleh satu rumah bangsa kita yang bodoh, sejak seorang lahir ke dunia sampai matinya, sampai 100 hari setelah dia masuk kubur.

Seketika anak lahir, perlu dibacakan doa "selamat". Cukup umurnya 10 tahun, dikhitankan, dengan doa "selamat" pula. Setelah mulai mengaji Al-Qur'an, maka jika pindah dari satu surat kepada surat yang lain, misalnya menyeberang dari surat Wadhdhuha ke Alif Laam Mim, demikian juga seterusnya, pakai "selamatan" pula. Setelah itu dia pun besar, kawinnya "selamatan", beranaknya "selamatan". Dia pun mati. Sehari matinya "selamatan" pula. Sebelum mayat masuk kubur perlu pula lebih dahulu "selamatan" dengan makan besar. Sampai hari pertama, kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus!

Semuanya memerlukan ongkos yang tidak sedikit, meminta "selamat" yang membawa celaka.

Upacara perkawinan merupakan pesta besar.

Orang yang penghasilan hidupnya 100, hendak memperlihatkan kepada orang lain, dia sanggup mengadakan pesta 200 melebihi pendapatannya. Orang yang 200 hendak memperlihatkan dia sanggup 300, dan seterusnya. Untuk memperlihatkan itu, maka tidak kaya jenjang dikeping; tidak emas bungkal diasah, Perlu menggadai, menggadai. Perlu meminjam, meminjam, perlu pergi kepada tukang menernakkan uang, sehingga tidak lepas dari utang, bertahun, berpuluh tahun, bahkan sampai masuk kubur, tidak mengapa. Asal terbayar malu yang sekali itu.

Menurut keterangan yang kita terima dari orang tua di kampung, banyak negeri yang jatuh melarat, kekurangan sawah, sebab sawah pindah ke tangan orang-orang kaya. Tersebab digadaikan ketika akan menujuh hari, yaitu pesta kenduri pada hari yang ke tujuh sesudah mayit dikuburkan. Sehingga pada beberapa negeri banyak sawah itu yang pindah ke tangan bangsa asing.

Itulah jenis pertama dari keterbelakangan bangsa kita yaitu kekolotan dan karena suka mencari popularitas.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 226-227, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

"Dan bagaimana hilang dari mereka apa yang telah mereka ada-adakan itu." (ujung ayat 24).

Artinya, kalau diajak bertukar pikiran yang baik, mulanya mereka berdusta mempertahankan kebiasaan yang telah diterima dari nenek moyang itu. Tanda hati kecil mereka sendiri pun mengakui bahwa musyrik itu memang salah.

Itu sebab mereka berdusta mengatakan mereka bukan musyrik.

Kami bukan musyrik!

Namun, berhala itu mereka sembah juga. Maka, mereka pertahankanlah perkara itu yang tidak boleh dipikirkan dan murkalah mereka jika mendengar ada kata lain yang akan membuka pikiran yang akan mengguncangkan pegangan mereka yang goyah itu.

Hati-hatilah kita kaum Muslimin yang datang di belakang ini memerhatikan ayat ini.

Pandanglah!

Pandanglah orang-orang Islam yang pergi bernadzar, berkaul, menyampaikan hajat kepada kubur orang-orang yang dianggap wali!

Umat manusia yang tidak memiliki pegangan tauhid dalam dadanya bisa saja turut tenggelam dan hancur dibawa gelombang keangkuhan manusia itu sehingga hilang kepribadiannya. Dan inilah, pada zaman sekarang yang menyebabkan bangsa-bangsa di dunia terombang-ambing. Sebab mereka meninggalkan kepercayaan kepada Allah yang sebenarnya mereka tukar dengan berhala, mereka tukar dengan tanah air, ibu pertiwi, diktator, dan adikara.

Semua orang, baik yang menuhankan dirinya itu maupun orang yang "melantiknya" menjadi Tuhan, adalah orang-orang yang berdusta terhadap diri mereka sendiri; seperti yang dijelaskan di pangkal ayat 24 itu.

Memang, selalu kita lihat bahwa orang yang menuhankan diri karena mendapat kekuasaan itu tahu sendiri siapa dirinya.

Kebanyakan mereka adalah binatang yang berupa bagai manusia.

Orang-orang yang tidak dipercaya dalam urusan perempuan, orang-orang yang loba tamak, yang tidak dapat menahan nafsu.

Orang-orang munafik yang sangat hina, yang hidupnya di hadapan orang banyak berbeda dengan kehidupan pribadi.

Orang-orang pengecut yang berlagak berani.

Satu waktu hal yang tidak wajar itu mesti berakhir. Dengan tiba-tiba, di luar dari dugaan mereka sendiri, perhitungan Allah mengatasi perhitungan mereka, keadaan terbalik dan hilanglah dari mereka apa yang telah mereka ada-adakan itu; seperti yang tersebut di ujung ayat 24 tadi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 123-125, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Inilah dia hujjah Al-Qur'an dan beginilah ajaran Islam.

Suatu ibadah hendaklah ada alasannya dan dalilnya.

Pertama, dalil dengan mempergunakan akal, Adakah masuk akal bahwa berhala yang dibikin dengan tangan sendiri mempunyai kekuasaan seperti Allah SWT dan disembah seperti menyembah Allah.

Alangkah jauhnya dari akal sehat, jika manusia membuat sesuatu dengan tangannya sendiri, lalu barang yang dibuatnya dengan tangan sendiri disembah-sembahnya, karena dipercayainya bahwa barang itulah yang memberikan perlindungan kepada dirinya.

Kedua, dalil bukti, yang disebut data dan fakta untuk mengetahui sumber dari kepercayaan yang karut itu. Kalau itu dikatakan agama, tunjukkanlah mana kitabnya yang diturunkan Allah, seumpama Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an.

Semuanya itu tidak ada. Ini cuma karut-marut pikiran.

Sama saja dengan karut-marut, kacau-balau pikiran penganut ajaran Kebatinan, yang katanya mendapat wangsit, yaitu pesan dari yang gaib, malah ada yang mengatakan bahwa wangsit itu sama dengan wahyu yang diterima langsung dari Allah SWT.

Yang oleh ahli-ahli tasawuf dinamai ilmu ladunni, padahal kemudian terbukti bahwa wangsit itu diterimanya dari Setan.

Sebab itu tepat sekali apa yang difirmankan Allah SWT selanjutnya,

"Bahkan, tidaklah orang-orang yang zalim itu menjanjikan yang sebagian kepada yang sebagian kecuali tipu belaka."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 386, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Maka keputusan hukum adalah pada Allah Yang Maha Tinggi, Maha Besar." (ujung ayat 12).

Ditutup ujung ayat dengan ketegasan ini supaya jelas bagi kaum musyrikin bahwa keputusan terakhir tetap pulang kepada Allah jua, sebab Yang Maha Kuasa, Maha Tinggi hanya Allah; Yang Maha Besar hanya Allah, tidak ada berhala, tidak ada al-Laata, tidak ada al-Uzza, tidak ada Manaata, dan yang lain.

Jika di zaman sekarang tidak ada kubur keramat, wali anu, dan keramat anu.

Omong kosong!

Tauhid ada didikan kemerdekaan jiwa, langsung berhubungan dengan Allah, tidak ada perantara yang lain, memupuk kebebasan dan naiknya tingkat diri, mendekati Allah.

Syirik ialah membuat jiwa mengakui jadi budak, diperhamba oleh yang selain Allah, sehingga merunduk merendah terus kepada sesama alam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 85, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Beberapa tahun yang lampau ada suatu gerakan yang hendak membendung orang-orang awam yang datang berkerumun memuja kuburan yang dikeramatkan di Luar Batang, Jakarta.

Ketika ditanyakan kepada orang yang menjaga dan mengambil keuntungan dari perziarahan ke kubur itu, mengapa kuburan itu dihormati sampai demikian rupa, orang itu menjawab bahwa Tuan Sayyid keturunan Rasulullah yang berkubur di tempat itu, ketika dia telah mati dan jenazahnya telah diusung akan dibawa ke kubur, telah bangun dari dalam kurung batangnya, untuk minta dikuburkan di tempat dia berkubur sekarang itu.

Kemudian, ditanyakan kepadanya, bilakah hal itu kejadian.

Dia menjawab, "Begitulah cerita yang diterimanya daripada nenek moyangnya."

Dan apabila ditanyakan kepadanya adakah orang yang menyaksikan hal itu selain dari nenek moyangnya?

Dan adakah masuk pada akal, mayat yang telah terbujur bangun kembali untuk meminta supaya dikuburkan di situ?

Tidakkah orang-orang yang melihat lari puntang-panting karena melihat hal yang menimbulkan takut itu?

Dia pun tidak dapat menjawab.

Hal yang seperti ini kalau dicatatkan niscaya akan memenuhi buku yang tebal, padahal dia membuat muak dan bosan orang yang berakal karena corak ceritanya sama saja di mana-mana.

Maka, ayat-ayat yang tengah kita tafsirkan ini, memberikan pedoman bahwa dalam beragama tidaklah kita boleh hanya menurutkan sangka-sangka belaka, tidak boleh tegak atas khayal dan dongeng.

Sebagai cerita yang saya dengar pula di Sulawesi Selatan, menceritakan bahwa tulang-tulang dari Syekh Yusuf yang meninggal di Transvaal (Afrika Selatan) dipindahkan ke Goa atas permintaan Sultan Goa pada pertengahan abad kedelapan belas.

Dengan asyiknya, beberapa orang-orang tua di Goa menceritakan bahwa ketika jenazah beliau dikeluarkan dari dalam peti yang diangkut dengan kapal, ternyata alat kelamin beliau (tulang-tulang mayat itu) "berdiri".

Maka dikawinkanlah jenazah itu dengan seorang perempuan, lalu perempuan itu meniduri mayat itu (tulang-tulang).

Setelah keluar maninya, barulah kemaluannya runduk.

Dan perempuan itu bunting lalu beranak.

Di dekat kuburan Syekh Burhanuddin di Ulakan ada pula sebuah batu hampar.

Di tengah batu itu ada bekas tumbukan dengan batu pula dan bekas itu sampai sekarang masih ada.

Dengan asyik dan sungguh-sungguh, juru kuncinya menceritakan bahwa di atas batu itulah Syekh Burhanuddin memukuli kemaluannya jika nafsu syahwatnya bangkit.

Segala dongeng, khayal, karut-marut dan pernyataan dari kejahilan ini dipergunakan buat meramaikan kuburan-kuburan, buat disembah dan dipuja sehingga tauhid kian lama kian jauh, bertukar dengan musyrik.

Dan semuanya dijadikan alat propaganda buat meramaikan kubur-kubur tersebut dengan orang yang berziarah dan ramailah dengan berduyunnya orang-orang bodoh membawa sedekah.

Dan dimasukkanlah berbagai ajaran di luar Islam ke dalam masyarakat umatnya yang bodoh itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 317, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BERAGAMA TURUT-TURUTAN SAJA (TAKLID)

Di ayat yang telah lalu diterangkan bahwa pemimpin dari orang yang tidak beriman ialah setan. Kalau hati kosong dari iman maka hati yang kosong itu akan mencari pimpinan lain, pimpinan yang membawa pada sesat.

Di sini, tampaklah suatu soal jawab yang berdasar jalan pikiran teratur, yang menjadi sendiri, kukuh dari suatu ilmu.

Mulanya disadarkan bahwa Allah tidak mungkin memerintahkan sesuatu hal yang keji. Hati kecil mereka telah mengakui bahwa perbuatan itu memang keji dan amal mereka hanya taklid turut-turutan belaka.

Oleh karena itu, pertanyaan selanjutnya tidak lagi menanyakan, "Bilakah Allah telah memerintahkannya?" atau "Tertulis dalam kitab yang mana?"

Melainkan duduk pertanyaan,

"Apa sebab kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui?"

Inilah pertanyaan yang tepat kepada orang yang mengamalkan sesuatu amalan tidak berdasar pengetahuan.

Ayat ini memberikan pimpinan kepada kita bahwa sesuatu amalan agama, suatu ibadah tidaklah sah kalau hanya karena turut-turutan kepada nenek moyang saja.

Kita wajib mencari sumber ibadah itu dari sumber asalnya, dari Allah dan tuntunan Rasul saw. dan yang tidak bersumber dari sana, mengada-ada, itulah yang disebut bid'ah!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 397-398, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dalam Islam mungkin saja terjadi hal-hal tambahan seperti itu.

Tidak berasal dari Al-Qur'an, tidak dituntunkan oleh Sunnah Rasul.

Menjadi kebiasaan kemudian, tak tahu lagi dari mana asal-usulnya.

Kalau ada orang yang datang di belakang menegurnya, marahlah orang yang telah biasa berpegang dengan yang lama itu.

Oleh sebab itu, menjadi kewajibanlah bagi ahli-ahli agama mengadakan amar ma'ruf nahi mungkar terhadap perbuatan mengada-ada yang berkenaan dengan ibadah itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 399, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Maka sungguh tidak, demi Allah engkau! Tidaklah mereka itu beriman, sehingga mereka ber-tahkim kepada engkau pada hal-hal yang berselisih di antara mereka." (pangkal ayat 65).

Itulah tanda mengakui pimpinan Rasul.

Karena di antara umat sesama umat sewaktu-waktu akan terjadi perselisihan pendapat, perbedaan kepentingan, perlainan pikiran. Kadang-kadang karena bermaksud baik, tetapi jalan pikiran berbeda. Sebab cara memandang dan menilai soal tidak sama, kadang-kadang karena nafsu.

Padahal Allah memberi kebebasan pikiran dan menganjurkan ijtihad sehingga timbul berbagai aliran atau madzhab.

Masing-masing menyangka bahwa pihak merekalah yang benar. Atau masing-masing mencari manakah yang lebih benar. Hal ini bisa membawa bahaya yang berlarut-larut, meretakkan kesatuan umat bahkan membuat pecah, kalau tidak ada yang suka bertahkim, meminta keputusan hukum kepada Rasul. Sebab Rasulullah yang telah ditentukan Allah buat ditaati, buat penyambung kehendak yang diwahyukan Allah kepada umat manusia.

Sebab itu asal ada selisih, lekaslah bertahkim kepada Rasul. Kalau tidak mau begitu, tandanya tidak beriman.

Allah berfirman bahwa orang yang tidak mau memutuskan perselisihannya kepada Rasul, tidaklah orang yang beriman.

"Kemudian itu tidak mereka dapati di dalam diri mereka keberatan atas apa yang engkau putuskan, dan mereka pun menyerah dengan penyerahan yang sungguh-sungguh." (ujung ayat 65).

Apabila keputusan Rasul saw. sudah keluar, mereka tunduk kepada keputusan itu dan menyerah sebenar-benar menyerah. Tidak ada dalam hati tersimpan rasa tidak puas atas keputusan itu.

Sehingga kalau masih ada yang hanya mulutnya saja yang menerima, sedang hatinya membantah, tandanya imannya kepada Allah masih juga munafik, dan rumah sudah tokok berbunyi, api padam puntung berasap.

Niscaya inilah yang jadi pegangan kaum Muslimin sampai ke akhir zaman.

Orang yang sezaman dengan Rasul kalau berselisih bisa langsung meminta hukum kepada Rasul dan langsung pula menerima keputusan. Sekarang Rasul telah lama meninggal. Maka ketaatan kita kepada keputusan hukum beliau setelah beliau wafat, sama juga dengan ketaatan orang yang hidup di zaman beliau.

Al-Qur'an sebagai sumber hukum telah terkumpul menjadi mushaf dan Sunnah atau hadits Rasulullah saw. sudah tercatat pula selengkap-lengkapnya.

Ulama-ulama yang dahulu telah menyalin pula hadits-hadits itu, menyisih dan menapis, mana yang mutawatir dan mana yang masyhur, dan mana yang aahad.

Dan mana yang shahih, mana yang hasan, mana yang dhaif dan mana yang maudhu' (palsu).

Rasulullah saw. pun ketika dekat akan meninggal dunia telah menjamin bahwa kita umatnya tidaklah akan beliau tinggalkan dengan sia-sia,

"Telah aku tinggalkan pada kamu dua hal yang penting. Sekali-kali tidaklah kamu akan tersesat selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya."

(hadits shahih; HR. Bukhari dan Muslim dan beberapa ulama hadits yang lain).

Guru dan ayah saya, Dr. Syekh Abdulkarim Amrullah, mengatakan di dalam kitab beliau yang bernama Pedoman Guru, Pembetulan Qiblat Faham Yang Keliru bahwa di zaman kita ini akan lebih mudahlah mempelajari agama dan lebih mudahlah berijtihad daripada di zaman-zaman dahulu kalau kita mau. Sebab baik Al-Qur'an ataupun Hadits tidak sesukar di zaman dahulu lagi untuk mendapatnya. Jika dahulu ditulis dengan tangan, sekarang telah dicetak dan berlipat-lipat ganda banyaknya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 355-356, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Kalau sudah dijadikan anjuran kepada orang, tidaklah dapat hadits-hadits dhaif itu dijadikan dalil, atau hadits dhaif tidak boleh jadi hujjah.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 369, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

"Dan bahwa sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus. Sebab itu, turutilah dia." (pangkal ayat 153).

Tegasnya, jalan yang lurus hanya satu.

Yaitu yang digariskan oleh Allah.

Dengan petunjuk Allah, Nabi Muhammad saw. telah menempuh jalan Allah yang satu dan lurus itu.

Asal jalan Muhammad itu yang kamu turuti maka itulah jalan Allah.

Sebab Muhammad menempuh jalan itu dengan tuntunan wahyu.

Jalan inilah yang dijamin sampai pada tujuan.

Lain dari jalan yang satu itu, ada lagi bermacam-macam jalan, bersimpang-siur jalan.

Yakni jalan yang dibuat Setan atau jalan yang dibuat khayalan manusia, jalan syirik, jalan khurafat, dan jalan bid'ah.

Kadang-kadang diperbuat oleh manusia, dikatakannya agama, padahal bukan agama.

Datanglah lanjutan ayat tadi, jangan dituruti jalan yang bersimpang-siur itu.

Karena kalau masing-masing kamu menuruti salah satu jalan itu, niscaya kamu akan berpecah-belah, bercerai-berai.

Kadang-kadang di pangkal jalan seakan-akan sama, padahal di ujung jalan sudah jauh terpisah.

Maka ditafsirkanlah ayat ini oleh sabda junjungan kita sendiri Muhammad saw. yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al-Bazzaar, Abusy-Syaikh, Al-Hakim, dan sebagian besar dari ulama-ulama tafsir, mereka terima dari Abdullah bin Mas'ud. Berkata Abdullah bin Mas'ud,

Rasulullah saw. telah membuat suatu garis dengan tangannya, lalu beliau berkata:

"Inilah jalan Allah yang lurus."

(HR. Imam Ahmad, al-Bazzar, Abusy-Syaikh, dan al-Hakim).

Kemudian, beliau menggaris-garis pula dengan tangannya beberapa garis lain, di samping kanan garis pertama tadi dan di samping kirinya, lalu beliau berkata,

"Dan yang ini semua adalah jalan-jalan yang tidak ada daripadanya satu jalan pun, melainkan ada saja Setan yang menyeru kepadanya!"

Setelah berkata demikian, kata Ibnu Mas'ud, beliau membaca ayat ini,

"Dan bahwa sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, sebab itu turutilah dia, dan jangan kamu turuti jalan-jalan (lain) karena itu akan memecah-belahkan kamu daripada jalan-Nya!"

Dan ada lagi beberapa hadits lain.

Berkata Ibnu Arthiyah,

"Jalan yang bersimpang-siur banyak itu termasuk Yahudi, Nasrani, Majusi, dan sekalian agama-agama buatan manusia dan tukang-tukang bid'ah dan penyesat dan ahli-ahli hawa nafsu yang suka membuat-buat perkara ganjil dalam furu' dan yang lain-lain yang suka memperdalam berdebat dan menggali-gali ilmu kalam. Semuanya bisa membawa tergelincir dan membawa iktikad yang sesat."

Berkata pula Qatadah,

"Ketahuilah bahwasanya jalan yang benar hanya satu, yaitu jalan jamaah yang dapat petunjuk. Tujuannya berakhir adalah surga. Dan iblis membuat pula berbagai jalan yang bersimpang-siur. Yang dibentuknya ialah jamaah yang sesat dan tujuannya yang terakhir ialah neraka."

"Ash-Shirathal Mustaqim" memang hanya satu.

Lain dari itu adalah jalan bersimpang-siur tak tentu arah dan tujuan.

Meskipun ada yang bernama agama, ia adalah agama yang batil, bikinan dan khayal manusia, diubah-ubah, ditambah-tambah, sehingga hilang yang asli karena tambahan, hilang yang asal karena yang pasal.

Demikian juga segala maksiat karena menuruti jalan Setan.

Asal dituruti jalan yang bersimpang-siur itu, terpecah-belahlah umat, sengsaralah yang akan terjadi.

Di penutup, Allah menyatakan dengan tegas,

"Demikianlah Dia wasiatkan kepada kamu, supaya kamu semuanya bertakwa." (ujung ayat 153).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 340-341, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Tidak ada yang mereka turuti, selain prasangka dan apa yang diingini oleh nafsu-nafsu."

Artinya timbul dari dorongan hasrat belaka, sehingga kalau dicari di mana sumbernya tidaklah akan bertemu.

Lebih tegas lagi jika disebut dongeng!

Hal yang seperti itu banyak juga terdapat dalam kekacauan berpikir di dalam kalangan penduduk yang belum mempunyai dasar pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Di kampung-kampung banyak kita mendengar cerita kacau, yang disebut juga khurafat seperti itu.

Misalnya suatu kepercayaan tentang adanya Palasit.

Yaitu kepercayaan bahwa ada orang yang bila terbau olehnya anak kecil, atau orok, bayi, dia ingin sekali menghisap hawa diri anak tadi, sampai anak itu kurus kering sebab darahnya sudah habis dihisap.

Ada lagi kepercayaan lain, yang dinamai orang Cindaku.

Cindaku itu ialah harimau jadi-jadian, artinya ialah manusia yang bisa menjelma jadi harimau. Pada malam hari orang itu menjelma jadi harimau. Kononnya pada suatu hari orang memasang perangkap harimau. Tiba-tiba setelah hari pagi, bertemulah seorang haji dalam perangkap itu, yang dianya terjerat ketika hari masih malam.

Ada lagi kepercayaan bahwa ada makhluk bernama pontianak atau Kuntilanak.

Dia berupa seorang perempuan yang sangat cantik dan rambutnya sangat panjang, dan rambut yang panjang itu menyembunyikan lobang yang ada pada punggungnya. Malam hari dia bangun dari kubur dan mengejar orang yang lalu lintas minta penumpang. Kalau dia diberi menumpang, dia akan masuk ke dalam kendaraan kita, tetapi setelah sampai di pekuburan dia akan hilang.

Dalam cerita dongeng sejarah orang pontianak ketika Sultan Abdurrahman bin Husin al-Qadri hendak membuka negeri di Kalimantan Barat, maka datanglah pontianak itu hendak mengganggu. Lalu baginda tembak dengan meriam, sehingga habislah pontianak atau kuntilanak itu kucar-kacir lari. Maka timbullah kepercayaan bahwasanya bangsa "Sayyid" keturunannya dapat mengusir hantu itu, tetapi nama negeri tetap dinamai pontianak.

Sama sekali hal yang seperti ini adalah cerita yang tidak berdasar, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut ilmu pengetahuan dan inilah sisa-sisa kepercayaan jahiliyyah yang masih ada pada orang yang masih berpikir sederhana.

Ketika penulis tafsir ini datang ke Malaysia, di Pulau Pinang pada Tahun 1960, negara itu mulai mencapai kemerdekaannya.

Baginda Yang Dipertuan Agong yang pertama ialah Seri Paduka Yang Dipertuan Besar Negeri Sembilan Tuanku Abdurrahman bin Tuanku Muhammad. Tidak lama Baginda duduk di atas singgasana, Baginda pun mangkat.

Lalu digantikan oleh Yang Dipertuan Agong II, Sultan Sir Hisyamuddin Alamsyah, Sultan negeri Selangor. Tetapi tidak pula lama Baginda duduk di atas singgasana, beliau pun mangkat.

Maka diangkatlah Yang Dipertuan Agong III, Sultan Sayyid Putra Jamalullail, dari keturunan Sayyid.

Maka berjumpalah saya di Pulau Pinang dengan seorang Inggris yang telah memeluk Islam dan telah memakai adat-istiadat Melayu dan berpakaian cara Melayu.

Dia menyatakan kepercayaan bahwa jabatan Yang Dipertuan Agong itu terlalu tinggi, barangsiapa yang memangku jabatan itu, dia akan kena Tuah, atau kena Tulah dari raja-raja Melayu yang telah mangkat, kecuali kalau yang naik tahta Raja Perlis, sebab dia keturunan Sayyid.

"Kebetulan", karena Raja Perlis Sultan Sayyid Putra itu, memang lebih muda di antara mereka, memang dialah yang dapat memangku jabatan itu sampai habis menurut waktunya, yaitu 5 Tahun!

Tetapi kepercayaan orang Inggris yang telah sederhana sebagai kebanyakan orang Melayu itu tidak juga ada alasannya.

Agama Islam tidak memberi izin kita memakai kepercayaan demikian.

Sebab disadari ataupun tidak, namun kepercayaan khurafat semacam itu semua adalah mendekatkan manusia kepada syirik belaka.

Nabi Muhammad saw. sendiri menjaga jangan kepercayaan orang kepada Allah menjadi rusak karena yang demikian. Ketika putra beliau Ibrahim meninggal dunia, ada orang yang menyangka bahwa alam sangat bersedih hati karena kematian itu sehingga terjadi pada hari itu gerhana matahari. Maka sebelum jenazah dikuburkan, Rasulullah saw. telah membantah kepercayaan yang salah itu dengan tegas. Beliau menegaskan bahwa gerhana matahari tidak ada sangkut-pautnya dengan kematian putranya.

Ahli ilmu hisab dapat mengetahui bila matahari akan gerhana, walaupun 1.000 atau 2.000 Tahun yang akan datang. Tetapi tidak ada ahli ilmu hisab yang tahu bila seseorang akan meninggal.

"Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka petunjuk dari Tuhan mereka." (ujung ayat 23).

Petunjuk dari Allah ialah mengeluarkan manusia daripada gelap kepada terang-benderang. Sedang kepercayaan kepada berhala, kepada berbagai khurafat dan kekacauan pikiran, bukanlah dia itu petunjuk yang membawa terang-benderang, malahan sebaliknya gelap belaka.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 545-546, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BERSIH PERASAAN

Sayidina Ali bin Abi Thalib telah menyimpulkan arti kewajiban itu demikian bunyinya,

"Hendaklah engkau jadikan diri sendiri menjadi timbangan, penimbang di antara engkau dengan orang lain. Cintailah orang lain sebagaimana engkau mencintai dirimu. Bencilah pada orang lain barang yang engkau benci untuk dirimu. Jangan menganiaya, sebab engkau pun tak suka dianiaya. Berbuat baiklah, sebab engkau sudi menerima kebaikan. Pandang buruklah atas orang lain, perkara buruk kalau tertimpa kepada dirimu sendiri, dan ridhailah atas mereka, barang yang engkau ridhai untuk dirimu."

Kalau masyarakat telah takluk kepada hukum demikian, tercapailah bahagia dalam masyarakat.

(Buya HAMKA, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 198-199, Republika Penerbit, 2015).

KESIMPULAN

Agama Islam adalah suatu agama yang menjadi ruh dari ruh kita.

Tidak beragama, sama artinya dengan mati, walaupun kita masih hidup.

Dan, al-Faatihah adalah isi yang utama.

Sehingga dengan memahaminya, kita dapat mencapai hakikat hidup.

Aamiin!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 92, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TAKLID ADALAH MUSUH KEMERDEKAAN AKAL

Agama harus kita usahakan, mengembalikannya kepada sinar yang menyinari hati Salafush Shalihin.

Mereka beriman bahwa Allah Ta'aala ada, yang adanya berbeda dengan yang baru.

(Buya HAMKA, FALSAFAH KETUHANAN, Hal. 19, 89, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2017).

"Tiap-tiap orang yang beriman itu adalah dia Islam, tetapi tidaklah tiap-tiap orang Islam itu beriman." (Syeikhul Islam IBNU TAIMIYAH).

Beberapa tahun lalu (1938) Syekh Mahmoud Khayath di Medan mengeluarkan fatwa bahawasanya mengkaji Sifat 20 adalah bid'ah, tidak berasal dari agama dan tidak dikerjakan para sahabat, orang di zaman Nabi dan serta ulama-ulama salaf.

Bahkan, beliau katakan dengan alasan yang cukup bahwa Imam Malik, Abu Hanifah, Imam asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal tidak mengizinkan mengkaji Sifat 20 itu.

(Buya HAMKA, FALSAFAH KETUHANAN, Hal. 88, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2017).

PERTANYAAN

Bagaimana fungsi akal dalam Islam?

JAWABAN

Fungsi akal dalam agama Islam amat besar.

Berkali-kali Allah memerintahkan manusia untuk menggunakan akalnya dalam Al-Qur'an,

"Pergunakanlah akalmu, pegunakan akalmu."

Demikian kata Allah berulang-kali.

Allah memberikan akal kepada manusia, itu pun membedakan manusia dari binatang.

Dengan akal, orang dapat mengenal Allah.

Dengan akal, orang dapat mempertimbangkan antara baik dan buruk.

Tanpa akal, manusia akan sama dengan binatang.

Akal membentuk budi, akal membentuk kebudayaan, dan akal yang tidak dikendalikan oleh agama (yaitu wahyu Allah) akan menjerumuskan manusia itu sendiri kepada kehancurannya.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 4-5, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

BENARKAH NABI MUHAMMAD SAW. PERNAH KENA SIHIR?

Ibnu Katsir setelah menyalinkan riwayat ini seluruhnya, membuat penutup demikian bunyinya, "Demikianlah mereka riwayatkan dengan tidak lengkap sanadnya, dan di dalamnya ada kata-kata yang gharib, dan pada setengahnya lagi ada kata-kata yang mengandung nakarah syadidah (sangat payah untuk diterima). Tetapi bagi setengahnya ada juga syawahid (kesaksian-kesaksian) dari segala yang telah tersebut itu."

Almarhum orang tua saya dan guru saya yang tercinta, Hadratusy Syekh Dr. Abdulkarim Amrullah, dalam tafsir beliau yang bernama al-Burhan menguatkan riwayat ini juga. Artinya, bahwa beliau membenarkan bahwa Nabi saw. kena sihir, dengan alasan hadits ini adalah shahih, riwayat Bukhari dan Muslim. Dengan menulis begitu beliau membantah apa yang ditulis oleh Syekh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juz 'Amma.

Beberapa ulama besar, di antara Imam Malik bin Anas sendiri banyak menyatakan pendirian yang tegas menolak hadits ahad, kalau berlawanan dengan ayat yang sharih. Misalnya beliau tidak menerima hadits bejana dijilat anjing mesti dibasuh 7 kali, 1 kali di antaranya dengan tanah. Karena dalam Al-Qur'an ada ayat yang terang jelas, bahwa binatang buruan yang digunggung anjing dengan mulutnya; halal dimakan sesudah dibasuh seperti biasa, dengan tidak perlu 7 kali, satunya dengan tanah.

Dan kita cenderunglah kepada pendapat bahwa jiwa seorang Rasul Allah tidaklah akan dapat dikenai oleh sihirnya seorang Yahudi. Jiwa manusia yang telah dipilih Allah (Mushthafa) bukanlah sembarang jiwa yang dapat ditaklukkan demikian saja.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 326-330, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENGGALIAN DAN PEMINDAHAN JENAZAH

Sebab itu sangatlah keras persangkaan saya tidak ada keputusan ulama-ulama pada zaman perjuangan, 1945/1949 itu semata-mata menjatuhkan haram hukum memindahkan mayat atau tulang-tulang mayat dari satu tempat ke tempat lain dengan tidak mengingat pengecualian-pengecualian. Padahal ilmu Ushul Fiqih sangat menekankan segala pengecualian itu.

Sekurang-kurangnya saya tidak percaya bahwa Perkumpulan Muhammadiyah, yang saya salah seorang anggotanya turut mengambil suatu keputusan yang tidak dengan dasar ilmu.

Seumpama saya sendiri; haramkah saya memindahkan makam Ayah saya ke tempat lain, padahal saya sudah mendapat keterangan yang jelas berhadapan muka dan Wakil Gubernur Jakarta Raya sendiri bahwa Jalan K.H. M. Mansur memang akan diperlebar dan makam Ayah saya akan kena?

Oleh sebab lawan dari haram adalah wajib; wajibkah saya membiarkan saja jalan itu diperlebar, dan artinya wajib pula saya biarkan tulang-tulang Ayah saya dibolduzer?

Keputusan ulama pewaris Nabi yang manakah yang mengharamkan memindahkan mayat atau tulangnya, dari satu kubur ke makam lain, padahal makam tulang-tulang Ayah saya dari Jakarta ke kampung halaman beliau.

Saya menyetujui apa yang dikatakan oleh Imam Hambali yang telah saya salinkan di atas tadi, bahwa beliau tidak bertemu suatu alasan yang melarang memindahkan kubur seseorang dari negerinya ke negeri lain.

Yang saya lakukan adalah memindahkan tulang-tulang Ayah saya dari Jakarta tempat ia dibuang Belanda, ke kampung halaman tempat beliau dilahirkan.

Sejak beliau dibuang (Agustus 1941), sepilah kampung halaman kami, negeri seakan-akan kehilangan tuah.

Teringatlah saya pendapat Imam Malik yang saya salinkan di atas tadi juga bahwa memindahkan jenazah atau tulang-tulang dengan maksud membawa berkat di tempat ia dipindahkan pun, dapat juga menjadi salah satu alasan.

Ini pun pernah dilakukan orang di Mesir ketika membawa kembali ke Mesir tulang-tulang Muhammad Farid (1920) yang mati dalam pembuangan di Eropa.

Kerajaan Afganistan membawa pulang kembali ke Afghanistan tulang-tulang Sayyid Jamaluddin al-Afghani yang meninggal di Istanbul pada 9 Maret 1856, (5 Syawwal 1314). Pemindahan itu terjadi Tahun 1944.

Begitu juga usaha Pemerintah Aljazair setelah mencapai kemerdekaanya pada Tahun 1962, tidak berapa lama kemudian telah mereka pindahkan pula tulang-tulang Amir Abdul Qadir Aljazair dari Damaskus ke Aljazair. Amir Abdul Qadir, pahlawan Aljazair yang terkenal melawan Prancis, meninggal di pembuangan pada Tahun 1888.

Terjadinya hal-hal seperti ini bukanlah suatu pelanggaran aturan agama, bukan membuat pekerjaan yang haram sampai kiamat sebagaimana yang dikatakan al-Ustadz Haji Hassan Abdillah Idrus, melainkan ada dasar-dasar yang dapat dipegang.

Agama Islam itu bukanlah sempit, hanya pikiran-pikiran kita sendirilah yang kerap kali sempit karena sempitnya ilmu pengetahuan kita tentang hukum-hukumnya yang sejati.

Sebagai penutup, saya jelaskan sekali lagi, bahwa penggalihan dan pemindahan kubur-kubur di Jakarta itu, tidaklah akan terjadi kalau tidak ada keputusan yang telah pasti dari Pemerintah DKI Jakarta Raya sebagaimana yang telah kita uraikan tadi.

Penulis ini tidaklah akan memelopori menggali dan memindahkan kubur Sultan Alam Bagagar Syah yang telah 126 Tahun bersemayam di Mangga Dua dan kubur Ayah penulis sendiri yang telah 30 Tahun di tanah wakaf Ara di Karet, kalau bukan karena maksud yang telah tetap dari pemerintah hendak menggusurnya.

Saya bersedia kembali kepada yang lebih benar, kalau ada keterangan ilmiah yang membantah dan apa yang saya terangkan ini.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA).

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 324-326, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Mengharamkan sesuatu hendaklah dengan nash yang qath'i.

Kalau kita terima lagi peraturan haram dan halal dari yang lain, mulailah kita menjadi muysrik.

Dan orang-orang yang mengakui ulama yang lancang mengeluarkan fatwa memutuskan sesuatu adalah haram, adalah lancang pula untuk masuk Neraka.

Agama yang begitu lapang, janganlah dipersempit dengan lidah orang yang lancang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 440, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan mereka itu adalah terhadap ayat-ayat Kami amat yakin." (ujung ayat 24).

Ibnu Katsir memberikan komentar dalam tafsirnya tentang imam-imam Bani Israil itu, "... Tetapi setelah ada dalam kalangan mereka yang mengganti-ganti, menukar-nukar dan menta'wilkan arti ayat suci dari maksudnya yang sebenarnya, dicabut Allah-lah maqam jadi imam itu, dan jadilah hati mereka kesat dan kasar, sampai berani mentahrifkan kata-kata dari tempatnya yang sebenarnya. Tidaklah lagi mereka mengamalkan yang shahih, tidaklah lagi mereka beriktikad yang betul."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 136, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Di sinilah terasa beratnya memikul tugas menjadi ulama dalam Islam.

Yakni di samping memperdalam pengetahuan tentang hakikat hukum, memperluas ijtihad, hendaklah pula ulama kita meniru meneladani ulama pelopor zaman dahulu itu, sebagai Imam Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi'i, dan Ahmad bin Hambal, dan lain-lain, yaitu keteguhan pribadi dan kekuatan iman, sehingga di dalam menegakkan hukum mereka itu tidak dapat dipengaruhi oleh harta benda, dan tidak sampai mereka mengubah-ubah makna dan maksud ayat, karena tenggang-menenggang atau ketakutan; walaupun untuk itu diri-diri beliau kerap kali menderita.

Itulah ulama Islam, bukan ulama Yahudi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 713, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENDUSTAI DIRI SENDIRI

"Dan barangsiapa yang dikutuk oleh Allah, maka sekali-kali tidaklah akan engkau dapati pembantu baginya." (ujung ayat 52).

Mencampur-aduk kebenaran agama dengan kesesatan, atau jibti.

Sehingga dibangsakan kepada agama, sehingga timbul bid'ah, khurafat, tahayul.

Wajiblah kita memeriksa, mengoreksi masyarakat kita kaum Muslimin karena jarak masa kita dengan Nabi pun sudah jauh, apakah agaknya telah memindah penyakit orang yang menerima sebagian dari kitab ini kepada kita?

Kalau sudah, hukum yang akan diterima tentulah sama juga, yaitu kutuk Allah!

Orang Yahudi di belakang Nabi Musa mengubah-ubah.

Apakah kita telah mengubah-ubah pula sepeninggal Nabi Muhammad?

Jika bertemu ayat begini, dengan girang kita menafsirkan bahwa ayat ini bukanlah menuju kita, hanya menuju Yahudi!

La haula wala quwwata illa billah!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 325, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Nabi saw. beliau bersabda: "Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga seandainya mereka menempuh (masuk) ke dalam lubang biawak kalian pasti akan mengikutinya." Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah yang baginda maksud Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi (kalau bukan mereka)." (HR. Bukhari No. 3197 dsb).

"Dan janganlah kau jual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit."

Karena mengharapkan keuntungan harta benda, lalu kamu gelapkan kebenaran, kamu perjualbelikan hukum Allah, kamu sembunyikan hukum yang sebenarnya.

Meskipun berjuta-juta uang yang kamu terima untuk itu, namun dia masih sedikit harganya jika dibandingkan dengan kebenaran yang kamu khianati.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 702, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Ketenteraman jiwa yang timbul lantaran dipupuk oleh tauhid dan ihsan menyebabkan tidak ada rasa keberatan dan tidak ada pokrol-pokrolan terhadap sekalian hukum agama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 299, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Alangkah jahat tukaran yang mereka terima itu." (ujung ayat 187).

Teringatlah kita bila merenungkan ujung ayat ini kepada perkataan Tabi'in yang besar, yaitu Qatadah. Beliau berkata,

"Inilah perjanjian yang telah diambil Allah dengan ahli-ahli ilmu. Maka, barangsiapa mengetahui sesuatu ilmu, hendaklah diajarkannya kepada manusia. Sekali-kali jangan disembunyikannya ilmu itu, karena menyembunyikan ilmu adalah suatu kebinasaan."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 144, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEBENARAN ALLAH ITU SATU, TIDAK ADA KATA DUA.

Pendeknya, kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits adalah perkara yang mudah.

Dan lagi, pokok utama dalam kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits itu mudah pula, yaitu niat yang suci dan ikhlas.

Niat sama menjunjung kebenaran.

Sebab, tali dalam ayat sudah diterangkan bahwa kebenaran hanya satu dan yang menentukannya ialah Allah, yang empunya kebenaran, bukan Kiai Fulan atau Tuan Syekh Anu.

Dan, segala hasil usaha orang yang terdahulu ijtihad, qiyas, tarjih, dan istinbath dapat pula dijadikan bahan oleh kita yang di belakang untuk memudahkan usaha kita.

Berkata Imam Malik,

"Tidaklah akan jadi baik akhir dari umat ini melainkan dengan kembali kepada apa yang membaikkan umat yang dahulu."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 319-320, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan bahwa sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus. Sebab itu, turutilah dia." (pangkal ayat 153).

TEGASNYA, JALAN YANG LURUS HANYA SATU.

Yaitu yang digariskan oleh Allah.

Dengan petunjuk Allah, Nabi Muhammad saw. telah menempuh jalan Allah yang satu dan lurus itu.

Jalan inilah yang dijamin sampai pada tujuan.

Lain dari jalan yang satu itu, ada lagi bermacam-macam jalan, bersimpang-siur jalan.

Yakni jalan yang dibuat Setan atau jalan yang dibuat khayalan manusia,

Jalan syirik, jalan khurafat, dan jalan bid'ah.

Kadang-kadang diperbuat oleh manusia, dikatakannya agama, padahal bukan agama.

Datanglah lanjutan ayat tadi, jangan dituruti jalan yang bersimpang-siur itu.

Karena kalau masing-masing kamu menuruti salah satu jalan itu, niscaya kamu akan berpecah-belah, bercerai-berai.

Asal dituruti jalan yang bersimpang-siur itu, terpecah-belahlah umat, sengsaralah yang akan terjadi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 340-341, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Akan digandakan bagi mereka adzab."

Mengapa dilipatgandakan?

Sebab kesalahan mereka pun berlipat ganda.

Berbuat dosa atas nama Allah, menghambat jalan Allah, membuat jalan Allah itu jadi bengkok.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 539, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-FAATIHAH

(PEMBUKAAN)

"Dan bukan jalan mereka yang sesat." (ujung ayat 7).

Adapun orang yang sesat ialah orang yang berani-berani saja membuat jalan sendiri di luar yang digariskan Allah.

Tidak mengenal kebenaran atau tidak dikenalnya menurut maksudnya yang sebenarnya.

Orang-orang yang telah mengaku beragama pun bisa juga tersesat.

Kadang-kadang karena terlalu taat dalam beragama lalu ibadah ditambah-tambah dari yang telah ditentukan dalam syari'at sehingga timbul bid'ah.

Disangka masih dalam agama, padahal sudah terpesong ke luar.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 77-78, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dalam hukum agama, nyatalah bahwa mempelajari bacaan al-Faatihah dan mengetahui artinya dalam fardhu, wajib bagi tiap-tiap Muslim.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 89, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AL-QUR'AN: LAFAZH DAN MAKNA

Dan, sebagaimana kita katakan di awal kata di atas tadi, hendaklah selalu Muslim menfasihkan membacanya. Kalau sudah kelu lidahnya, karena bekas pengaruh penjajahan, hendaklah dia menyerahkan anaknya belajar bacaan Al-Qur'an itu kepada seorang guru yang pandai dan fasih, yang mengenal tajwid dan qira'ah Al-Qur'annya. Sebab, sebagai dikatakan tadi, Al-Qur'an ialah lafazh dan maknanya. Al-Qur'an ialah yang bahasa Arab itu. Dan, kalau ia diterjemahkan, nama terjemahan itu tetap terjemahan, bukan Al-Qur'an.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 22-23, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Asal kita setia memegang teguh ajarannya, menjalankan Sunnah-nya." (Buya HAMKA).

Maka tersebutlah di dalam hadits yang shahih riwayat Muslim,

"Bahwasanya pada suatu ketika Nabi saw. pergi ke kuburan, lalu beliau baca, "Assalamu'alaikum wahai isi kampung yang beriman, dan sesungguhnyalah kami ini in syaa Allah akan menyusul kamu. Inginlah aku melihat ikhwanuna, saudara-saudara kita." Lalu para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah! Bukankah kami ini saudara-saudara engkau?" Rasulullah menjawab, "Bahkan kamu ini adalah sahabat-sahabatku. Saudara-saudara kita belumlah datang sekarang. Aku akan menemui mereka di telaga al-Haudh." (HR. Muslim).

Al-Haudh sendiri ialah nama sebuah telaga di surga nanti.

Dan ada lagi hadits-hadits lain yang menguatkan hadits ini, di antaranya ialah yang telah kita salinkan pada Tafsir al-Azhar Juz 1, bahwa Rasulullah menjanjikan 7 kali lipat kebahagiaan bagi orang-orang yang datang jauh di belakang beliau, tidak pernah melihat wajah beliau, namun beriman kepada beliau.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 46-48, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Tafsir al-Azhar disusun di zaman pikiran kaum Muslimin sedang bangkit untuk mencari sumber telaga air yang jernih dari ulunya dalam hal agama, sesudah beratus tahun tidak ada kesempatan demikian.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 559, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Jika kita memberantas perbuatan yang tidak berasal dari Islam, kita pun dituduh memecah persatuan." (Buya HAMKA).

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 75, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Jika ada keyakinan bahwa ada ajaran lain untuk mengatur masyarakat yang lebih baik dari Islam, kafir-lah orangnya, walaupun dia masih shalat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 357, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Kalau selama ini belum tahu tidaklah jadi alasan." (Buya HAMKA).

AZ-ZIHAR

JAWABAN

Sekarang dihadapkan jawaban tegas kepada yang bertanya.

Dengan keterangan di atas, baik dari nash Al-Qur'an maupun dari riwayat hadits-hadits, jelaslah bahwa perbuatan suami Ananda telah melanggar ketentuan Al-Qur'an.

Kalau selama ini belum tahu tidaklah jadi alasan.

Undang-undang Al-Qur'an yang berlaku semenjak diundangkan, yaitu sejak surah al-Mujadilah itu diturunkan di Madinah (surah al-Mujadilah adalah surah ke 58, diturunkan di Madinah).

Al-Mujadalah artinya "Perempuan yang bertukar pikiran", atau secara kasarnya perempuan yang mendebat.

Alasan belum tahu suami Ananda itu tidaklah akan membebaskannya dari denda.

Karena sebagai seorang Muslim, kalau memang ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak kafir (menolak bunyi ayat Allah), salah satu dari ketiga kaffarah itu wajib dibayarkan sebelum Ananda didekatinya.

Kecuali kalau dalam hatinya memang tidak mau beriman kepada peraturan Allah dan Rasul, ia tidak mau percaya, artinya kafir dengan ayat itu.

Tentu peraturan itu tidak berlaku lagi bagi dirinya.

Kalau sampai demikian tentu Ananda sudah harus pulang saja ke rumah ibu bapak Ananda.

Ananda tentu maklum di mana kedudukan orang yang percaya dengan isi Al-Qur'an dan tidak mau menjalankan yang sebagian lagi.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 249, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

KAFIR

Makna kafir ialah menampik dan menolak, tidak mau menerima kebenaran, ingkar akan ajakan menuju jalan yang lurus.

Oleh sebab itu janganlah ayat ini dipandangkan semata-mata kepada orang kafir kitabi.

Sebab ada juga umat Islam sendiri, menerima pusaka agama dari ayah bundanya, tetapi hukum agama yang dituntunkan oleh Rasul itu diadakannya saringan.

Maka yang sesuai dengan hawa nafsunya diikutnya dan mana yang tidak atau yang berat ditinggalkannya.

Orang yang membantah atau menampik atau menolak kebenaran Ilahi, walaupun siapa, walaupun dia mengakui dirinya orang Islam, tidaklah akan luput dari akibat kedurhakaan itu di bumi ini.

Tempatnya ialah neraka.

Neraka dunia karena kegelisahan hidup, sehingga mungkin menyebabkan gila, atau cemas, takut, cemburu kepada orang, benci dan dendam.

Dan neraka akhirat yang lebih dahsyat lagi.

Maka akhir kesudahan dari orang yang keluar dari garis kebenaran adalah buruk sekali, atau tragis sekali.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 326-327, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Kebanyakan orang Islam yang tidak tahu di waktu ini, yang dibenci bukan lagi pelajaran Wahabi, melainkan nama Wahabi." (Buya HAMKA).

(Buya HAMKA, DARI PERBENDAHARAAN LAMA: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Hal. 215, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Agustus 2017).

Tidaklah perlu orang yang diberi pengajaran itu takluk pada waktu itu juga.

Biar lama asal selamat.

"Dan jika tertarik kepadamu seseorang dengan tulusnya, lebih baik bagi kamu daripada orang senegeri, tetapi tak tentu haluannya."

(Buya HAMKA, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 226, Republika Penerbit, 2015).

"Dan yang demikian itulah agama yang lurus." (ujung ayat 5).

Tidaklah mereka itu diberi perintah melainkan dengan segala yang telah diuraikan itu.

Syekh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juz 'Amma memberi peringatan, bahwa meskipun ayat ini turun mengisahkan sikap Ahlul Kitab, namun penyakit semacam ini telah banyak ditemui dalam kehidupan kaum Muslimin.

Meskipun firman Ilahi dan sabda Rasulullah saw, telah terang-benderang dan jelas isinya,

Masih pula terdapat perpecahan di kalangan kaum Muslimin, ta'asshub mempertahankan golongan masing-masing, sehingga di antara sesama Muslimin pun terjadi perpecahan.

Beliau berkata,

"Bagaimana pendapatmu tentang keadaan kita (kaum Muslimin)? Bukankah hal ini telah diingatkan oleh kitab suci kita sendiri, yang telah membuktikan buruknya amal-amal kita, sehingga kita pecah-berpecah dalam hal agama, sampai bergolong-golongan, sampai amalan kita penuh dengan perbuatan baru yang diada-adakan dan perbuatan bid'ah?"

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir." (pangkal ayat 6).

Yaitu orang-orang yang sengaja menolak, membohongkan, dan memalsukan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., padahal kalau mereka pakai akal yang sehat, tidak ada satu jua pun yang dapat dibantah sehingga mereka menolak itu hanya karena alasan hawa nafsu belaka.

"Dari Ahlul Kitab dan musyrikin itu."

Yaitu orang Yahudi dan Nasrani dan musyrikin penyembah berhala.

"Adalah di neraka Jahannam, yang akan kekal mereka padanya."

Di sanalah mereka akan mendapat adzab dan siksanya tanpa kesudahan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 266-267, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-FAATIHAH

(PEMBUKAAN)

Al-Qur'an itu berisi kabar yang menggembirakan bagi orang yang taat dan patuh.

Kebahagiaan di dunia dan surga di akhirat yang di dalam istilah agama disebut wa'ad, ini telah terkandung di dalam ayat shirathalladzina an'amta 'alaihim (jalan yang telah Engkau beri nikmat atasnya).

Kemudian Al-Qur'an pun memberikan ancaman siksa dan adzab bagi orang yang lengah dan lalai, kufur, dan durhaka, yang disebut wa'id.

Maka, tersimpul pulalah kata Al-Qur'an ini pada ujung surah, tentang orang yang maghdhub (terkena murka Allah) dan orang yang dhaallin (orang yang sesat).

Demikian pula, Al-Qur'an menceritakan keadaan umat-umat yang telah terdahulu, yang telah binasa dan hancur karena dimurkai Allah, dan diceritakan juga kaum yang sesat dari jalan yang benar; itu pun telah tersimpul di dalam kedua kalimat maghdhubi dan dhaallin itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 59, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dan bila telah sesat di permulaan jalan, sengsaralah hidup, walaupun pada kulit luar kelihatan seakan-akan senang, namun di dalam batin sengsara terus.

"Dan memimpinnya kepada adzab neraka." (ujung ayat 4).

Artinya, kesesatan itu tidaklah hanya di dunia ini saja, malahan akan terus ke dalam neraka yang memang disediakan oleh Allah SWT bagi orang-orang yang mengikuti jalan Setan dan Iblis.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 99-100, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dalam Islam, sekarang bisa juga datang keruntuhan agama seperti yang menimpa umat-umat yang dahulu.

Kerusakan agama umat yang dahulu ialah karena aturan agama sudah sangat dicampuri oleh kepala-kepala agama, oleh pendeta, uskup, rabbi, dan sebagainya.

Pemuka-pemuka agama itu yang menentukan halal-haram, menambah-nambah agama, sehingga hilang yang asli dibungkus oleh tambahan.

Sehingga berkuasalah pemuka agama mencampakkan orang dari dalam agama, yang dalam agama Kristen Katolik misalnya, disebut pengucilan, artinya, suatu pendapat pikiran yang berbeda dari yang diputuskan oleh gereja, dapatlah dihukum, dikeluarkan dari agama. Maka, keputusan itu tetaplah berlaku, tidak dapat dibantah.

Terkenallah suatu masa ada orang yang dibakar, disula, digunting lidah, dimasukkan ke dalam tong pakai paku, lalu diguling-gulingkan sampai mati.

Dan, semua hukum itu, katanya, adalah atas kehendak Tuhan!

Nafsu-nafsu manusia dalam Islam tentu tidak pula kurang dari nafsu manusia yang lain.

Sekiranya ada sajalah sedikit lubang tempat masuk untuk kekuasaan ahli agama tentang menentukan agama, tentu mereka akan berbuat demikian pula.

Syukurlah Al-Qur'an mencela keras yang demikian, masih ada yang dapat membuka suara menegakkan kembali kehendak Al-Qur'an.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 305, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Sebuah Kitab yang telah Kami turunkan kepada engkau membawa berkah." (pangkal ayat 29).

Meskipun bagaimana susah yang menimpa, namun yang benar tetap benar.

Meskipun akan mati terhampar tubuh di medan perang, penuh badan kena luka-luka tembusan tombak, tetakan lading, tikaman pedang, hati tetap menerima sebab ada keyakinan tertanam dalam hati bahwa yang benar tetap benar dan yang salah tetap salah.

Inilah berkah yang dibawa oleh Al-Qur'an itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 554, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IBLIS DIBERI KESEMPATAN

Tentu akan timbul pertanyaan orang yang masih serba lemah jiwanya atau masih goyang imannya,

Mengapalah Allah SWT mengabulkan permintaan si Iblis, padahal Allah SWT mengatakan bahwa Dia adalah Pengasih, Penyayang dan Pelindung bagi hamba-Nya?

Allah SWT kabulkan permohonan si Iblis itu karena Allah Maha Kuat, Maha Perkasa, yang kekuatan Allah itu tidak ada batasnya.

Sedang kekuatan Iblis dan Setan itu terbatas.

Dia tidak akan sanggup melebihkan kekuatannya dari hinggaan yang telah ditentukan Allah.

Dan ini pun pernah disabdakan Allah dengan tegas,

"Sesungguhnya tipu daya Setan itu adalah lemah." (an-Nisaa': 76).

Dalam luasnya permintaan Iblis dan jangka kekuatan yang dapat dijangkaunya sudah dapat kita lihat pada ayat yang melukiskan permintaannya itu. Dia memohon agar diberi kesempatan memperdayakan manusia sampai kepada hari manusia berbangkit, yaitu hari Kiamat, dalam kenyataan hanyalah terbatas sampai manusia mati saja. Sesudah manusia meninggal, taklifnya tidak ada lagi. Ruhnya sudah kembali ke dalam perlindungan Allah SWT dan Iblis tidak dapat menjangkau lagi sampai ke sana.

Dan kebanyakan orang yang diperdayakannya itu banyak pula yang tercecer, karena banyak yang menyesal dan insaf, lalu tobat.

Sedang Allah membukakan pintu tobat bagi barangsiapa yang bertobat.

Dan lebih jelas lagi pada firman Allah yang selanjutnya hanya sehingga mana batas yang diberikan kepada Iblis untuk kesempatan itu.

"Sampai kepada hari waktu yang telah ditentukan." (ayat 81).

Kesempatan ini diberikan terbatas, yaitu sampai kepada waktu dan hari yang telah ditentukan.

Hari itu tidaklah sampai kepada hari berbangkit di Padang Mahsyar kelak.

Permintaan demikian memang terlalu jahat, menunjukkan dengki dan benci sekali jalan.

Dia ingin memengaruhi manusia sampai kepada hari Kiamat.

Allah SWT hanya memberi batas, bahwa kesempatannya memperdayakan dan menipu manusia hanya sampai sehingga,

1) Terhadap tiap-tiap orang hanyalah sekadar di waktu hidupnya saja. Habis hingga itu. Seterusnya kesempatan buat dia telah ditutup.

2) Ialah sampai manusia itu sendiri sadar akan dirinya dan menginsafi kembali hubungannya dengan Allah. Tetapi apabila Allah SWT tidak memberikan peluang kepadanya buat memperdayakan manusia sampai kepada hari Kiamat, hanya sehingga waktu putus nyawa seseorang saja dan akan lebih pendek lagi kesempatan itu kalau orang itu segera sadar akan Allah SWT dan segera kembali kepada jalan yang benar, maka si Iblis meminta lagi dari pintu kesempatan yang lain.

"Dia (Iblis) berkata, "Demi Kemuliaan Engkau! Sungguh-sungguh akan aku sesatkan mereka semuanya." (ayat 82).

Maka bersumpahlah dia, si Iblis.

Dia bersumpah Demi Kebesaran dan Kekuasaan Allah SWT, yang si Iblis pun mengakui juga bahwa dia pun tidaklah sanggup melepaskan diri dari murka Allah SWT itu.

Dia bersumpah bahwa dia akan mempergunakan segala tipu dan dayanya, segala akal liciknya, segala cerdik buruknya, bahkan segala maksud-maksud yang kelihatan pada kulitnya di luar seakan-akan baik, padahal isi atau akibatnya jahat, dimasukkan semuanya itu atau diracunkan ke dalam pikiran semua manusia.

Dia akan melakukan tipu dayanya untuk menyesatkan itu dari segala segi yang mana pun dia dapat masuk.

Dia mengalir dalam pembuluh anak Adam menurut perjalanan darah itu sendiri.

Dia masuk dari segi perasaan, sentimen atau emosi.

Dia akan masuk dari segi hawa nafsu.

Hawa dan nafsu adalah laksana tenggeran tempat si Iblis itu hinggap.

Kebetulan diri manusia sendiri adalah gabungan dari nafsu kebinatangan karena memerhatikan hidup, dorongan dari syahwatnya yang dua, yaitu syahwat perut dan syahwat faraj.

Maka Iblis akan masuk dari segi syahwat perut mencari makan, lalu tumbuh hawa nafsu mengumpulkan kekayaan harta benda sebanyak-banyaknya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 589-591, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DAKWAAN KAMU HANYA SANGKAAN

Siapakah yang tahan dan teguh hati menempuh jalan yang benar?

Ayat selanjutnya mengatakan,

"(Yaitu) orang-orang yang menjauh dari dosa-dosa yang besar dan yang keji-keji." (pangkal ayat 32).

Dosa-dosa yang besar ialah mempersekutukan Allah dengan yang lain, berkata tentang Allah tetapi tidak dengan pengetahuan, lancang memperkatakan soal-soal agama, padahal ilmu tentang itu tidak ada.

Itu semuanya adalah termasuk dosa yang besar.

Adapun yang keji-keji adalah yang menyakiti orang lain dan merusakkan budi pekerti, sebagai mencuri harta kepunyaan orang lain, berzina, membunuh sesama manusia.

Ini termasuk yang keji.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 550-551, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Rasulullah saw. bersabda: "Barangsiapa berkata tentang Al-Qur'an tanpa ilmu, maka bersiap-siaplah menempati tempatnya di Neraka." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih. (HR. Tirmidzi No. 2874 dsb).

hadits.stiba.ac.id/?type=hadits&no=2874&imam=tirmidzi

"Dalam lingkungan pandangan iman, tidaklah ada suatu bencana alam yang tidak ada hubungannya dengan dosa." (Buya HAMKA).

Di sini pun menyertakan dalam pembinaan iman kita satu peringatan tentang kaum-kaum yang binasa lantaran durhaka itu, yang meninggalkan kesan dalam jiwa seorang Mukmin bahwa bencana-bencana alam yang terjadi ialah karena ada dosa-dosa yang sudah sangat memuncak.

Maka Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya, untuk menanamkan keinsafan bagi manusia supaya segera bertobat kepada Allah.

Dalam lingkungan pandangan iman, tidaklah ada suatu bencana alam yang tidak ada hubungannya dengan dosa.

Suatu bencana alam dalam pandangan iman bukanlah suatu hal yang kebetulan saja. Tidak ada yang dinamai kebetulan di dalam alam yang luas ini.

Bencana-bencana alam menurut pandangan iman, harus ditanggulangi dari dua jurusan.

Jurusan lahir dengan memperbaiki mana yang rusak, mencegah banjir, memelihara hutan jangan terbakar, memperkukuh dan membendung tepi pantai, jangan sampai diruntuhkan ombak.

Yang kedua adalah lebih penting, yaitu mendekati Allah, jangan mempersenda-guraukan tentang soal-soal ketuhanan karena kunci-kunci rahasia alam ini adalah terpegang di dalam tangan-Nya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 603, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MUNGKINKAH ADA WAHYU ILAHI YANG TIDAK MASUK AKAL?

Kita jawab dengan tegas,

"Tidak ada wahyu Ilahi yang tidak ma'qul."

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 26-28, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

SESAT DAN BINGUNG

"Demikianlah Kami ganjar kaum yang durhaka." (ujung ayat 13).

Orang baik-baik pun tidak dapat lagi mempertahankan pendirian hidup yang baik, sebab seluruh masyarakat umumnya telah jahat.

Orang yang benar tidak berani lagi menyebut yang benar, sebab kalau yang benar disebut, akan berbahaya kepada dirinya sendiri.

Dan lantaran tidak berani itu pun dia telah durhaka, melalaikan kewajiban karena takut mati.

Lantaran itu datanglah adzab Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 378-381, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

LUAS PEMAHAMAN

Kita misalkan ada suatu pendapat dikeluarkan oleh seseorang.

Ada pula orang yang diam karena tidak peduli. Hanya bersikap "masa bodo". Dia diam saja, karena tidak punya perhatian atau bersikap masa bodo.

Orang begini tidaklah masuk hitungan.

Ada pula yang mendustai hatinya sendiri. Sebenarnya apa yang dinyatakan orang itu disetujuinya, dan diterima oleh hatinya. Tetapi karena takut akan dicerca orang, lalu dia ikut bersorak bersama orang banyak.

Orang yang begini adalah orang yang paling pengecut dan munafik.

(Buya HAMKA, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 172-173, Republika Penerbit, 2015).

"Dan apabila neraka telah dinyalakan." (ayat 12).

Karena telah mulai disediakan untuk menampung manusia-manusia yang akan menerima adzab siksaan. Menurut Qatadah yang menyalakan api neraka itu pertama ialah dosa-dosa anak Adam, kedua ialah murka Ilahi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 139-140, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENDERITAAN DALAM NERAKA JAHANNAM

"Sekarang rasakanlah!" (pangkal ayat 30).

Yaitu jika datang Hari Pembalasan (Yaumul Jazaa') itu. Di saat itu kelak tidaklah akan dapat manusia berlepas diri lagi.

"Maka tidaklah akan Kami tambahkan lagi, melainkan adzab siksaan jua." (ujung ayat 30).

Padahal sebelum adzab neraka di akhirat, kerap kali manusia telah menerima panjar (DP) adzab ketika di dunia ini juga.

Misalnya adzab karena kusut pikiran, kacau akal, terguncang urat saraf dan sakit jiwa, yang semuanya itu berasal dari sebab pelanggaran garis-garis yang telah ditentukan oleh Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 105, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Bahkan, keadaan ini adalah seperti yang dikatakan salah seorang Imam ikutan, yaitu Nu'aim bin Hammad al-Khuza'i, guru dari Imam Bukhari. Kata beliau,

LARANGAN MENCACI MAKI DAN KURANG AJAR KEPADA ULAMA

Dan janganlah berkecimpung di dalam sesuatu yang tidak layak dilakukan seseorang, yaitu banyak berdebat tidak ilmiah di lingkungan islami!

Alangkah benar perkataan Imam al-Ghazali,

"Seandainya orang yang tidak tahu itu mau diam, niscaya perbedaan pendapat itu akan hilang."

(Prof. Dr. Ali Jum'ah - Mufti Agung Mesir, Menjawab Dakwah Kaum 'Salafi', Hal. 242, Penerbit KHATULISTIWA Press, Cet. Keempat, April 2016).

"Kalau dipikirkan secara mendalam, ancaman sekejam ini adalah wajar dan setimpal terhadap manusia-manusia yang digambarkan dalam ayat itu."

SURAH AL-HUMAZAH

(SEORANG PENGUMPAT)

"Wailun!"

Artinya celakalah!

"Kecelakaan besar bagi tiap-tiap pengumpat." (pangkal ayat 1).

Pengumpat ialah orang yang suka membusuk-busukkan orang lain; dan merasa bahwa dia saja yang benar.

Kerap kali keburukan orang dibicarakannya di balik pembelakangan orang itu, padahal kalau berhadapan dia bermulut manis.

"Pencela." (ujung ayat 1).

Tiap-tiap pekerjaan orang, betapa pun baiknya, namun bagi dia ada saja cacatnya, ada saja celanya.

Dan dia lupa memerhatikan cacat dan cela pada dirinya sendiri.

"Sesungguhnya neraka itu, atas mereka akan dikunci erat." (ayat 8).

Artinya, setelah masuk ke sana mereka tidak akan dikeluarkan lagi, dikunci mati di dalamnya.

"Dengan palang-palang yang panjang melintang." (ayat 9).

Kalau dipikirkan secara mendalam, ancaman sekejam ini adalah wajar dan setimpal terhadap manusia-manusia yang digambarkan dalam ayat itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 289-291, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KESIMPULAN

HAMKA sendiri, sebagai modernis, memiliki misi pemurnian, tapi sifatnya bukanlah ideolog.

Dia menulis dengan rasa hormat mengenai para pemikir Islam dari segala haluan, meski dia cenderung memihak ke satu sisi atau yang lainnya ketika menyimpulkan.

Dia lebih tertarik membawa para pembacanya untuk merayakan prestasi dan kehebatan peradaban Islam ketimbang menjelekkan mereka yang dianggap menyesatkan dalam Islam.

Sayyid Quthb akhirnya percaya bahwa kehidupan Islami sejati dan murni "sudah lama berakhir di seluruh dunia dan bahwa [keberadaan] Islam itu sendiri telah berhenti".

HAMKA jauh lebih positif.

Yang dia lihat di Indonesia adalah tumbuhnya komunitas umat Islam yang taat dan cerdas.

Walau dia memang makin marah ketika menua dan secara terbuka menentang penyebaran agama Kristen dan menyebarnya sekulerisme Barat di Indonesia.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 257, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

"Dan hanya kepada Tuhanmu, hendaklah engkau berharap." (ayat 8).

Inilah satu pedoman hidup yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dan dipusakakan oleh Rasul kepada umatnya, yang tegak berjuang menyambung perjalanan memikul beban berat itu menjalankan perintah Allah; selesai satu usana, mulai lagi usaha baru.

Tapi Allah jangan ditinggalkan!

Jangan gentar menghadapi kesukaran, karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal engkau pergunakan otakmu buat memecahkannya.

Sebab Allah tidak pernah mengecewakan orang yang bertawakal kepada-Nya.

Ada juga dipahamkan orang tentang pertalian ayat 5 dan ayat 6, beserta kesulitan ada kemudahan, bersama kesulitan ada kemudahan.

Dia melihat bahwa 'usrin (kesulitan) yang tercantum di ayat 6 adalah terjepit di antara dua yusran, sebab itu maka usri tidaklah akan menang.

Akhirnya dia mesti kalah juga.

Sebab 'usrin yang dijepit oleh dua yusran.

Ataupun adalah sikap jiwa dari Sayyidina Umar bin Khaththab sendiri.

Maka tersebutlah di dalam kitab al-Muwaththa' karya Imam Malik, di dalam kitab tentang jihad, ada suatu riwayat demikian bunyinya,

Dari Zaid bin Aslam, berkata dia:

"Abu Ubaidah bin Jarrah menulis surat kepada Umar bin Khaththab yang isinya menerangkan bahwa tentara Rum yang sangat besar telah siap akan menyerang mereka, kekuatan tentara itu amat mencemaskan."

Surah itu dibalas oleh Sayyidina Umar bin Khaththab, di antara isinya:

"Amma ba'du, bagaimana jua pun kesukaran yang dihadapi oleh orang yang beriman, namun Allah akan melepaskannya jua dari kesukaran itu, karena satu 'usrin (kesulitan) tidaklah akan dapat mengalahkan dua yusran."

Di waktu saya masih kanak-kanak, ipar dan guru saya Ahmad Rasyid Sutan Mansur senantiasa membaca sambil menyanyikan sebuah syair, yang dari kerapnya saya mendengar, saya pun dapat menghapalnya dan menyanyikan pula,

Apabila bala bencana telah bersangatan menimpamu,

Pikirkan segera surah Alam Nasyrah, 'Usrin terjepit di antara dua Yusran,

Kalau itu telah engkau pikirkan, niscaya engkau akan gembira.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 243-244, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AYAHKU

PESAN BELIAU KEPADA MUHAMMADIYAH

Tetaplah menegakkan agama Islam!

Berpeganglah teguh dengan Al-Qur'an dan Sunnah!

Selama Muhammadiyah masih berpegang dengan keduanya; selama itu pula ayah akan menjadi pembelanya.

Tetapi kalau sekiranya Muhammadiyah telah mensia-siakan itu, dan hanya mengemukakan pendapat manusia, ayah akan melawan Muhammadiyah, biar sampai bercerai bangkai burukku ini dengan nyawaku!

Sampaikan pesanku ini kepada K.H. Mas Mansur sendiri.

Demikian kata beliau!

"Insya Allah, Ananda sampaikan!"

Dan saya sampaikan....

(Buya HAMKA, Ayahku, 267-268, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

"Wahai orang-orang yang beriman!" (pangkal ayat 135).

Abdullah bin Mas'ud pernah mengatakan bahwa beliau, bilamana mendengar atau membaca tiap-tiap ayat yang dimulai dengan seruan kepada orang-orang yang beriman, beliau menyalangkan mata, beliau pasang pendengaran dengan baik, tanda ada apa-apa perintah mula yang akan diturunkan Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 485, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IMAN BELUM! ISLAM YA!

Mengapa belum?

Niscaya kita ingat lagi kepada ayat 1 dari surah al-'Ankabuut,

"Apakah menyangka manusia bahwa mereka akan dibiarkan saja mengatakan, "Kami telah beriman" padahal mereka tidak kena percobaan?" (al-'Ankabuut: 29).

Apakah disangka mudah saja mengakui beriman?

Apakah suatu pengakuan disangka tidak akan terlepas dari percobaan?

Apakah disangka bahwa pengakuan beriman itu akan membuka jalan datar saja, lurus saja, menuju sesuatu yang dicita-cita dengan tidak ada halangan?

Oleh sebab itu dicegahlah si Badwi itu janganlah dia terburu-buru mengakui diri telah beriman, cukuplah akui saja diri terlebih dahulu telah Islam.

Dan di dalam pengakuan itu, hendaklah benar-benar dilakukan taat kepada Allah dan Rasul dengan menjalankan perintahnya, menghentikan larangannya.

"Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Pengampun."

Atas kelancangan mulut mengakui diri telah beriman.

Kemudian Allah menjelaskan siapa orang yang boleh menyebut dirinya telah beriman,

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian itu mereka pun tidak merasa ragu-ragu." (pangkal ayat 15).

Pada ayat ini telah diberikan keterangan tegas tentang mutu iman, yaitu percaya yang tidak dicampuri oleh perasaan ragu-ragu sedikit jua pun.

"Mereka itulah orang-orang yang jujur." (ujung ayat 15).

Kalau sudah terjadi yang demikian itu, pertama hilang segala keraguan hati, walau bagaimanapun besarnya penderitaan; kedua berani berjuang dengan harta benda dan tenaga, biar habis, biar mati, namun berani mati tidaklah akan mati kalau tidak ajal!

Barangsiapa yang berani mati karena memperjuangkan nilai suatu pendirian, barulah berarti hidup yang dia jalani.

Orang yang seperti ini sudah boleh menyebut bahwa dia beriman!

Kalau orang ini mengatakan bahwa dia beriman maka perkataannya itu tidaklah melebihi dari keadaan yang sebenarnya.

Berkata tidak melebihi dari yang sebenarnya,

Itulah kejujuran yang sejati.

Katakanlah, "Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agama kamu?" (pangkal ayat 16).

Maksudnya ialah menanyakan kepada manusia sendiri, apakah jika manusia mengaku bahwa dirinya telah beriman, dia akan memberitahu kepada Allah,

"Ya Allah! Tahukah engkau bahwa aku, si fulan, telah beriman?"

Seakan-akan dengan bertanya begini orang itu merasa bahwa dirinya sangat penting sehingga Allah harus tahu akan hal itu.

"Padahal Allah mengetahui apa yang ada di semua langit dan di bumi."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 433-435, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Apakah mengira manusia bahwa mereka akan dibiarkan berkata, "Kami telah beriman", padahal mereka masih belum diuji lagi?" (al-'Ankabuut: 2).

Kadang-kadang adat istiadat jahiliyyah yang masih dipegang teguh.

Si Mukmin tahu benar bahwa adat istiadat itu bukan berasal dari Islam.

Ujian pun datang!

Kalau ditegur, orang pun marah.

Tidak ditegur, Allah yang marah!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 652, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dan kalau yang menegur itu berkata, "Bagaimana kalau seruan ini lebih benar, berdasar Al-Qur'an dan Sunnah?"

Dia pun akan menjawab, "Kami tidak mau ikut ajakan-ajakanmu itu. Kamu mau apa???"

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 225, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dalam Islam mungkin saja terjadi hal-hal tambahan seperti itu.

Tidak berasal dari Al-Qur'an, tidak dituntunkan oleh Sunnah Rasul.

Menjadi kebiasaan kemudian, tak tahu lagi dari mana asal-usulnya.

Kalau ada orang yang datang di belakang menegurnya, marahlah orang yang telah biasa berpegang dengan yang lama itu.

Oleh sebab itu, menjadi kewajibanlah bagi ahli-ahli agama mengadakan amar ma'ruf nahi mungkar terhadap perbuatan mengada-ada yang berkenaan dengan ibadah itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 399, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MANUSIA TIDAK INSAF TERHADAP ALLAH

"Masuklah kamu sekalian ke dalam pintu-pintu Jahannam, kekallah kamu di dalamnya."

Karena itulah tempat yang layak sesuai dengan kesalahan dan kedurhakaan kamu.

"Maka amat buruklah tempat bagi orang-orang yang sombong." (ujung ayat 72).

Kesombongan, tidak mau mendengarkan anjuran yang baik karena merasa diri lebih pintar atau lebih berkedudukan tinggi yang pantang ditegur, dari sinilah pangkal utama dari nasib yang malang ini.

Di dalam tiap-tiap perjuangan membuat perubahan kepada yang lebih baik, biasanya yang bertahan pada yang lama itu mempertahankan pendiriannya dengan sikap sombong dan permusuhan.

Kesombongan adalah salah satu alat penting mereka untuk mendinding diri dari dimasuki perubahan.

Padahal kesombongan tidaklah dapat bertahan di hadapan kebenaran.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 66-67, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan mereka ikuti tiap-tiap setan yang selalu jahat." (ujung ayat 3).

Padahal jalan selain dari jalan Allah adalah jalan jahil, bukan jalan ilmu.

Jalan sesat, bukan jalan lurus.

Sedang jalan Allah hanya satu dan jalan lain itu beribu-ribu, sebanyak setan-setan yang menganjurkannya.

Mengikuti segala jalan setan karena mengelak dari jalan Allah itu, menyebabkan mereka pindah daripada satu setan kepada setan yang lain sampai pun ketika nyawa akan bercerai dengan badan, pegangan belum juga ada.

Nasib yang malang, hidup yang kosong, hari depan yang gelap.

Dilanjutkan oleh ayat yang keempat,

"Telah ditentukan atasnya." (pangkal ayat 4).

Artinya telah tertulis sebagai peraturan yang tidak berubah-ubah dari Allah,

"Bahwa barangsiapa yang menjadikan setan itu sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya dia akan menyesatkannya."

Karena permusuhan kepada setan sebagai keluarga iblis telah menjadi pusaka turun-temurun sejak manusia (Adam) keluar ke dunia ini buat menjadi khalifah di muka bumi.

Dan bila telah sesat di permulaan jalan, sengsaralah hidup, walaupun pada kulit luar kelihatan seakan-akan senang, namun di dalam batin sengsara terus.

"Dan memimpinnya kepada adzab neraka." (ujung ayat 4).

Artinya, kesesatan itu tidaklah hanya di dunia ini saja, malahan akan terus ke dalam neraka yang memang disediakan oleh Allah SWT bagi orang-orang yang mengikuti jalan setan dan iblis.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 99-100, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IMAN ADALAH KELANJUTAN DARI ISLAM

Perbedaan di antara Islam dengan iman, bahwa Islam barulah semata-mata pengakuan, sedang iman sudah termasuk pelaksanaan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 211-213, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Kalau kita mencintai Allah maka jalan satu-satunya yang akan kita ikuti hanyalah jalan yang ditempuh Nabi Muhammad saw.

Kalau kita masih ragu, menyangka ada jalan lain selain jalan Muhammad saw. yang kita anggap benar, batal-lah Islam kita.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 121, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

"Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul pun, melainkan supaya ditaati dengan izin Allah." (pangkal ayat 64).

Orang yang mengakui Rasul, tetapi ajarannya tidak diikuti adalah munafik.

Mendurhakai Rasul artinya mendurhakai Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 354, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

CINTAKAN ALLAH

Kamu durhakai Allah, padahal kamu menyatakan cinta kepada-Nya.

Ini adalah mustahil dalam kejadian, dan ini adalah ganjil.

Jika memang cintamu itu cinta sejati, niscaya kamu taat kepada-Nya.

Sebab orang yang bercinta, terhadap yang dicintai, selalu patuh.

Oleh sebab itu, datanglah sambungan ayat,

Katakanlah, "Hendaklah kamu taat kepada Allah dan Rasul." (pangkal ayat 32).

Taat kepada Rasul adalah akibat taat kepada Allah, sebab Rasul itu diutus buat menjemput kamu dan menunjukkan jalan serta memimpin perjalanan itu sekali.

"Akan tetapi, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir." (ujung ayat 32).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 616-617, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JANGAN HANYA MENURUT SAJA

"Dan janganlah engkau menurut saja dalam hal yang tidak ada bagi engkau pengetahuan padanya." (pangkal ayat 36).

Ayat ini termasuk sendi budi pekerti Muslim yang hendak menegakkan pribadinya.

Kita dilarang Allah menurut saja.

"Nurut" menurut bahasa Jawa, dengan tidak menyelidiki sebab dan musabab.

Qatadah menafsirkan kelemahan pribadi "Pak Turut" itu demikian,

"Jangan engkau katakan aku lihat, padahal engkau tak melihatnya. Aku dengar, padahal tak pernah engkau dengar. Saya tahu, padahal engkau tak tahu."

Di awal ayat ini tersebut wa laa taqfu. Kata-kata taqfu ialah dari mengikuti jejak.

Kemana orang pergi, kesana awak pergi.

Kemana tujuan orang itu, awak tak tahu.

Di ujung ayat ditegaskan,

"Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati, tiap-tiap satu daripadanya itu akan ditanya." (ujung ayat 36).

Terang disini bahwa orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik nenek moyangnya karena kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta'ashshub pada golongan, membuat orang tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri.

Padahal, dia diberi Allah alat-alat penting agar dia berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilingnya.

Dia diberi hati, atau akal, atau pikiran untuk menimbang buruk dan baik.

Sementara itu, pendengaran dan penglihatan adalah penghubung di antara diri, atau di antara hati sanubari kita dan segala sesuatu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mudarat dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya.

Dalam hidup beragama amat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk menimbang.

Sebab, kadang-kadang dipercampuradukkan orang amalan yang sunnah dengan yang bid'ah.

Bahkan, kerap kejadian perkara yang sunnah tertimbun dan yang bid'ah muncul dan lebih masyhur.

Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 288-289, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Membongkar struktur masyarakat yang berurat berakar sekaligus, bukanlah kekuatan manusia.

Lihatlah contoh kecil, yaitu daerah Minang yang berdasarkan masyarakat keibuan.

Di situlah yang paling banyak ulama Islam di Indonesia.

Syekh Ahmad Khatib yang berpendapat bahwa harta pusaka adalah harta syubhat, terpaksa meninggalkan negeri itu, untuk menghindarkan diri supaya jangan dipukul oleh fatwanya sendiri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 185, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AYAHKU

"Saya murid Syeikh Ahmad Khathib!", jawab ayah.

"Patut! Patut!", jawab guru itu.

Demikianlah 7 Tahun lamanya beliau belajar daripada orang besar yang terkenal itu.

Beliau sangat cinta kepada gurunya dan selalu menjadi buah mulutnya.

Kalau sedang bercerita tentang gurunya itu "Tuan Ahmad" matanya kelihatan gembira.

"Tidak ada ulama Mekah itu yang sanggup menandingi beliau", kata ayahku memuji gurunya.

(Buya HAMKA, Ayahku, 88-90, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

"Seorang Guru yang jujur, haruslah berniat agar Muridnya lebih pintar dari dia. Tetapi seorang Murid yang jujur harus pula mengakui siapa Gurunya."

-Dr. Syaikh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul).

(Buya HAMKA, Ayahku, 435, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

Badan yang besar dan gagah, pakaian parlente dan mahal, tetapi kosong dari ilmu laksana goni (karung) besar tertegak sedang isinya hanya debu.

Ilmu yang dalam, pikiran yang lanjut tetapi badan sakit-sakitan laksana lilin menyala.

Orang lain diberinya terang, sedang dirinya terbakar.

-Prof. Dr. Syekh Abdulmalik bin Abdulkarim Amrullah (HAMKA).

(Buya HAMKA, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 179, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

HAMKA-SAN DAN BUNG HAJI

Di Jakarta, HAMKA mondok di rumah ayahnya yang dibuang, Haji Rasul, yang mengungkapkan rasa bencinya terhadap Jepang dan para kolaborator.

Meski sakit dan sudah menjalani hari-hari penghabisan hidupnya, Rasul masih seberani Singa.

Pada 1943, ketika Jepang mengumpulkan semua ulama se-Jawa di Bandung untuk menyatakan solidaritas kepada kekuasaan Jepang di Asia, hanya Rasul yang menolak berdiri ketika upacara keirei ke arah Jepang.

Walau sikap berani Haji Rasul membuat Jepang marah, Jepang juga jadi menghormati dia dan ujung-ujungnya mengarah ke keputusan tak mewajibkan keirei.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 94, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIH

Ayat-ayat yang muhkam disebut sebagai ibu dari Kitab.

Ibu Kitab artinya menjadi sumber hukum, yang tidak bisa diartikan lain lagi.

Yang berbahaya ialah orang yang setengah-setengah berilmu.

Sebagai pepatah orang Minang,

"kepalang tukang, binasa kayu; kepalang cerdik, binasa negeri; kepalang alim, binasa agama".

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 579-582, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Kalau telah banyak yang hanya pandai membaca, tetapi sedikit yang pandai memahamkan (fuqahaukum),

Banyak yang memegang kuasa, tetapi sedikit yang dapat dipercaya,

Dan orang mencari keuntungan duniawi dengan berselubungkan amal akhirat,

Dan orang yang memperdalam pengetahuannya tentang agama bukan untuk agama.

Di saat-saat seperti demikianlah datangnya Mujadid,

Yaitu orang-orang yang berani membuka mulutnya menyatakan:

Stop penyelewengan itu!

Bahwa, selalu akan ada di kalangan umat Muhammad, di tiap zaman, segolongan orang yang mempertahankan kemurnian agama Allah.

Itulah orang-orang yang telah mempertaruhkan segenap jiwa raganya untuk tegaknya kebenaran Tuhan, untuk terpeliharanya keaslian kebenaran Tuhan Allah dan Sunnah Rasulullah, la yakhaafu fillahi laumata laimin di dalam mempertahankan kemurnian dari orang yang hendak membencanakan.

Kadang-kadang mereka tegak seorang diri menyampaikan seruan kebenaran yang disambut dengan cemooh dan lemparan batu.

Kadang-kadang mereka jadi korban, dibuang, dihukum, bahkan disingkirkan oleh pihak yang berkuasa.

Kadang-kadang kita seakan terpencil (ghuraba) karena keteguhan kepada pendirian, yang haq tetap haq walaupun sekeliling kita orang telah tenggelam kepada yang batil.

Ucapan Nabi Luth, "Innii muhaajirun ilaa Rabbii",

Aku hijrah kepada Tuhanku ....

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 21-25, 50, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

SUMPAH

"Maka bersumpahlah Aku." (pangkal ayat 15).

Tertulis dalam aslinya Falaa Uqsimu, yang kalau diartikan secara harfiyah saja, "Maka tidaklah aku hendak bersumpah." Padahal yang dimaksud ialah bersumpah.

Maka tidaklah ada ahli tafsir sejak zaman sahabat-sahabat Rasulullah sampai di belakangnya mengartikan ayat ini menurut yang tertulis, melainkan menurut maksud yang tersembunyi, yaitu Allah bersumpah,

"Demi bintang-bintang yang timbul tenggelam." (ujung ayat 15).

Bintang-bintang yang timbul tenggelam yang senantiasa kelihatan itu, yang disebut bintang-bintang keluarga Matahari (satelit) yang terbesar ada lima, yaitu Zuhal, Musytari, Utharid, Marikh dan Zuhrah.

"Tetapi tidaklah kamu akan mau, kecuali jika dikehendaki oleh Allah, Tuhan yang menguasai seluruh alam." (ayat 29).

Sebab itu maka langkah pertama yang hendaknya kamu tempuh ialah menembus tabir-tabir hawa nafsu yang menghambat di antara dirimu dengan Allah.

Kalau tabir hawa nafsu itu telah lama membelenggu diri, sudah dapat direnggutkan dari diri, akan hilanglah batas hati dengan Allah; dan bilamana batas hati itu telah hilang, Allah sendirilah yang akan memimpin kita menuju kepada yang Dia ridhai.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 141, 143-144, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEGELISAHAN

"Dan Kami sungguh lebih tahu siapa orang-orang yang lebih pantas dibakar ke dalam neraka itu." (ayat 70).

Maka terdapatlah kelak orang-orang yang pada masa hidup di dunia ini tidak kita sangka, karena menurut pengetahuan kita dia adalah orang baik, orang taat.

Padahal ada urusannya yang tersembunyi di hadapan mata orang banyak, padahal tidak tersembunyi dari mata Allah.

Kita sangka dia akan ke surga, rupanya dibenam ke dalam neraka.

Sebagai contoh marilah kita perhatikan hadits ini, dari Abu Zaid, Usamah bin Zaid bin Haritsah (r.a. bergelar juga orang yang dicintai oleh Rasulullah saw.), berkata dia, saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda,

"Dibawa seorang laki-laki di hari Kiamat lalu dilemparkan ke dalam neraka, maka terburailah isi perutnya, lalu diputar-putarkan dia seperti keledai memutarkan kincir. Maka berkerumunlah penduduk neraka kepadanya, lalu bertanya, 'Bukankah engkau ini dahulu menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah berbuat yang mungkar?' Dia menjawab, 'Benar demikian, aku menyuruh berbuat yang ma'ruf, tetapi aku sendiri tidak pernah mengerjakan. Dan aku melarang berbuat mungkar, tetapi aku sendiri mengerjakan.'" (HR. Bukhari dan Muslim).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 507, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENAFSIRKAN AL-QUR'AN

Baik golongan Ibnu Taimiyah maupun golongan Imam Ghazali atau jalan lapang yang diberikan oleh al-Qisthallani, pendapat mereka sama bahwa menafsirkan Al-Qur'an menurut hawa nafsu sendiri atau mengambil satu-satu ayat untuk menguatkan satu pendirian yang telah ditentukan terlebih dahulu adalah terlarang (haram);

Penafsiran seperti ini adalah tafsiran yang curang.

Yang kedua ialah segera saja, dengan tidak menyelidiki terlebih dahulu, menafsirkan Al-Qur'an, karena memahamkan zahir maksud ayat, dengan tidak terlebih dahulu memperhatikan pendapat dan penafsiran orang yang dahulu. Dan, tidak memperhatikan 'uruf (kebiasaan) yang telah berlaku terhadap pemakaian tiap-tiap kata (lafazh) dalam Al-Qur'an itu. Dan, tidak mengetahui uslub (gaya) bahasa dan jalan susunan.

Hal yang semacam inilah yang dinamai berani-berani saja memakai pendapat sendiri (ra'yi) dengan tidak memakai dasar.

Inilah yang dinamai tahajjum atau ceroboh dan bekerja dengan serampangan.

Pendeknya, betapapun keahlian kita memahami arti dari tiap-tiap kalimat Al-Qur'an kalau kita hendak jujur beragama, tidak dapat tidak, kita mesti memperhatikan bagaimana pendapat ulama-ulama yang terdahulu, terutama Sunnah Rasul, pendapat sahabat-sahabat Rasulullah, dan Tabi'in, serta ulama ikutan kita.

Itulah yang dinamakan riwayah, terutama berkenaan dengan ayat-ayat yang mengenai hukum-hukum.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 36, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Kita terima kasih kepada Pak Ahok. Karena beliau telah merangsang umat Islam belajar al-Maidah 51. Banyak umat Islam yang tidak tau al-Maidah 51, tapi jadi tau setelah dikutip oleh Pak Ahok. Mudah-mudahan Pak Ahok juga mengutip ayat-ayat yang lain. Apa kita tidak malu, ketika ada orang yang mengutip baru kita mempelajarinya," sindir Yunahar.

Suara Muhammadiyah

suaramuhammadiyah.id/2016/11/04/yunahar-ilyas-kita-terima-kasih-kepada-pak-ahok

UMPAMA KELEDAI MEMIKUL BUKU

Keledai memikul buku-buku ini bukan saja mengenai diri orang Yahudi yang menerima Taurat.

Orang Islam umat Muhammad saw. pun serupa juga dengan "keledai memikul buku-buku" yang tidak tahu atau tidak mengamalkan apa isinya.

Berapa banyaknya kaum Muslimin yang fasih sangat membaca Al-Qur'an, tetapi tidak paham akan maksudnya.

Atau bacaannya itu hanya sampai sebatas leher saja, tidak sampai ke lubuk hati dan jiwa.

Sebab itu dengan tegaslah al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menulis dalam kitabnya, I'Iamul Muwaqqi'in, bahwa ayat ini,

"Walaupun dijadikan perumpamaan bagi orang Yahudi, namun makna yang terkandung di dalamnya mengenai juga bagi orang-orang yang memikul Al-Qur'an, namun mereka tidak mengamalkannya dan tidak memenuhi haknya dan tidak memelihara maksudnya dengan sepatutnya."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 124, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RENUNGAN BUDI

Banyak Guru Agama yang gagal dan mengeluh karena kegagalannya.

Dia mendahulukan 'usran daripada yusraan, mendahulukan yang sukar daripada yang mudah.

Kadang-kadang dia hendak membuat agama menurut kehendaknya,

Bukan menurut kehendak Tuhan.

(Buya HAMKA, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 164, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

DAKWAH

Setengah ahli tafsir mengatakan bahwasanya yang dimaksud dengan al-khairi yang berarti kebaikan di dalam ayat ini ialah Islam; yaitu memupuk kepercayaan dan iman kepada Allah, termasuk tauhid dan ma'rifat.

Kalau kesadaran beragama belum tumbuh, menjadi sia-sia sajalah menyebut yang ma'ruf dan menentang yang mungkar.

Suatu dakwah yang mendahulukan hukum halal dan hukum haram, sebelum orang menyadari agama, adalah perbuatan yang percuma,

Sama saja dengan seseorang yang menjatuhkan talak kepada istri orang lain.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 25, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Disini dapatlah diketahui maksud agama, yaitu Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 21, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Di dalam ayat pembukaan ini, kita telah bertemu langsung dengan Tauhid, yang mempunyai dua paham itu, yaitu Tauhid Uluhiyah pada ucapan Alhamdu Lillaahi dan Tauhid Rububiyah pada ucapan Rabbil Aalamiin.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 67, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEINDAHAN BURUNG-BURUNG TERBANG

"Atau siapakah dia yang menjadi tentara bagimu, yang akan menolong kamu selain dari Tuhan Pengasih." (pangkal ayat 20).

Tidak ada yang mengawal, tidak ada tentara yang menjaga.

Hanya Allah sajalah yang menjaga.

Sebenarnya Dialah yang menjaga kita siang dan malam, bukan tentara bukan serdadu.

Penting hal ini diingat dan segala pekerjaan yang kita hadapi dimulai dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, setiap saat kita tidak melepaskan diri dari lindungan dan lingkungan pengawalan Allah ar-Rahman.

Sehingga misalnya kita mati tiba-tiba karena lengahnya pengawasan dan pengawalan manusia, namun oleh karena kita selalu bergantung kepada Rahman dan Rahim Allah, maka mati kita tidaklah dalam kesesatan, bahkan bisa mati dalam kemuliaan syahadah.

Ujung ayat menegaskan,

"Tidak ada orang-orang yang kafir itu, melainkan dalam keadaan tertipu." (ujung ayat 20).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 251-255, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BEBAS DARI RASA TAKUT

Apabila jiwa telah mencapai martabat Tauhid Uluhiyah itu, ia tidak mengenal takut pada apa-apa lagi karena insting atau naluri ketakutan yang ada dalam jiwa sudah dijuruskan kepada Yang Maha Esa.

Sebaliknya, orang yang menyembah berhala, mempertuhan yang lain, baik benda maupun sesama manusia, rasa takut itu selalu bersarang dalam kalbunya, selalu merasa ragu.

Perhatikanlah orang-orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah itu alangkah pengecutnya.

Mereka menyembah-nyembah memohon pangkat kepada sesama manusia yang berkuasa, jadi raja atau jadi presiden, dia pergi menyembah-nyembah dan menjilat-jilat.

Dia takut beliau akan murka, dia takut pangkatnya akan diturunkan, dia takut dia akan diberhentikan dengan tidak hormat, dia takut anak-anaknya tidak akan makan.

Lantaran itu, kian lama dia kian menyembah kepada manusia yang diberhalakannya itu.

Maka, seluruh hidupnya dipenuhi oleh rasa takut.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 202-203, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Orang yang diikat oleh benda pasti menjadi musyrik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 43, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Bertambah maju satu negara, bertambah hancur akhlaknya,

Baik di Barat maupun di Timur.

Karena tidak mau tunduk kepada Allah yang hakiki, mereka pun diperbudak dengan hina sekali oleh tuhan-tuhan yang mereka puja selain Allah itu.

Penyakit gila hingga telah penuh rumah-rumah sakit gila oleh manusia-manusia yang remuk akal dan jiwanya karena menuruti hidup modern.

Ditambah lagi dengan tergila-gilanya orang pada barang, mode, pakaian perempuan sampai dibuka semua, yang ditutup sekadar yang jijik saja jika diperlihatkan.

Gila bioskop, gila televisi, gila make-up, dan segala macam gila sehingga akhir-akhir ini di negara-negara besar laki-laki tergila-gila pada sesama laki-laki dan perempuan pada sesama perempuan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 117-118, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Nabi Muhammad saw. telah berkata tentang tiang makanan dan kekayaan yang sejati ialah:

"Siapa saja yang sentosa hatinya, sehat badannya, ada makanan untuk dimakannya sehari itu, seakan-akan telah terkumpul pada tangannya dunia seisinya." (HR. at-Tirmidzi dan Abdullah bin Muhsin).

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 262, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

SATU SIKAP YANG TEGAS

Dengan demikian, umat yang telah menyediakan diri menjadi pengikut Muhammad saw. dan ulama yang mengaku dirinya waratsatul-anbiya, penerima waris nabi-nabi, wajiblah tegas memegang pendirian ini di dalam menghadapi segala kekacauan alam karena menukar Allah dengan yang lain ini.

Kami tidak campur semua kebobrokan ini dan kami berlepas diri daripadanya.

Kami hanya berpegang pada satu, yaitu percaya kepada Allah dan mengerjakan suruhan-Nya serta menghentikan larangan-Nya.

Dengan itu kami hidup dan dengan itu kami mati.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 118, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Maka terkenallah sumpah Iblis dalam memperdayakan manusia. Iblis bersumpah,

"Demi kemuliaan Engkau ya Allah dan demi ketinggian Engkau, aku akan selalu memperdayakan manusia itu selama nyawa mereka masih dikandung oleh badannya."

Lalu bersumpah pula Allah,

"Demi kemuliaan-Ku dan ketinggian-Ku! Selalu manusia itu akan Aku beri ampun selama mereka masih memohonkan ampun kepadaku."

Maka di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini, Nabi Muhammad disuruh memohonkan ampun untuk dirinya sendiri dan untuk diri segala orang yang beriman, baik laki-laki atau yang perempuan sehingga selalu terjadi perlombaan di antara perdayaan Iblis dengan usaha manusia yang diperdayakan itu memohonkan ampun kepada Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 342-343, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Kitab yang diperjelas ayat-ayatnya." (pangkal ayat 3).

Maka tidaklah ada ayat-ayat dan kitab itu yang isinya tidak jelas. Di sini terdapat kata-kata Fushshilat, yang berarti diperjelas, dijelaskan atau diperinci, diberi berumpuk-umpuk.

Sebab itu Al-Qur'an itu terutama ialah untuk dibaca. Yaitu dibaca untuk dipahamkan.

"Untuk kaum yang mau mengetahui." (ujung ayat 3).

Kalimat yalamuun di ujung ayat kita artikan mereka yang mau mengetahui. Sebab kalimat yalamuun adalah mudhari', mengandung masa sekarang dan masa akan datang. Sebab itu maka orang yang akan mendapat faedah dari membaca Al-Qur'an ialah orang yang mempunyai kemauan, yang didorong oleh niat hendak tahu. Kalau hanya semata membaca belum tentu akan berfaedah Al-Qur'an itu bagi dirinya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 137, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RENUNGAN BUDI

Dalam bahasa Arab ada kata "tawadhu".

Orang yang tiada mengalami ajaran agama kerapkali mengartikan "tawadhu" itu dengan merendah diri pada tempat yang sebenarnya, atau dalam kata-kata yang ringkas "tahu diri".

Sebab itu, orang yang "tawadhu" tidaklah mencampuri urusan yang bukan urusannya,

Pandai membatasi diri pada bidang yang diyakininya.

Sebab orang yang mengakui dirinya segala tahu, adalah alamat bahwa pengetahuannya kurang pada setiap dikatakannya tahu itu.

(Buya HAMKA, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 151, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

SALIK BUTA DAN PENGAJIAN TUBUH

Adapun Syekh Nuruddin ar-Raniri karena sikapnya yang gagah perkasa mempertahankan Sunnah atau Madzhab Salaf, yang disebut dalam istilah Orientalis Barat Orthodox karena ketegasan dan kekerasan sikapnya itu, di zaman Sultanah Tajul Alam Shafiyatuddin, diangkatlah beliau menjadi Mufti Kerajaan Aceh.

Waktu itulah dikarangnya buku at-Tibyan fi ma'rifatil adyan. (Penjelasan, untuk mengetahui agama-agama), khusus membantah paham Wujudiyah, diceritakannya dalam buku itu pertentangannya dengan kaum Wujudiyah. Di waktu itu pula dikarangnya kitab ash-Shirathal Mustaqim tentang hal ilmu fiqih dan dari buku inilah Syekh Arsyad Mufti Banjar mengambil dasar mengarang kitabnya Sabilal Muhtadin yang terkenal itu. Dalam kitab ash-Shirathal Mustaqim itu, Syekh Nuruddin menjelaskan pahamnya, bahwa seorang Muslim tidak sah shalat menjadi ma'mum di belakang orang yang berpaham Wujudiyah.

Atas perintah Sultanah Tajul Alam, kitab-kitab karangan Syekh Nuruddin disalin banyak-banyak dan dikirim ke seluruh rantau jajahan takluk negeri Aceh, akan adanya.

(Buya HAMKA, DARI PERBENDAHARAAN LAMA: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Hal. 240, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Agustus 2017).

MUKADIMAH

Madzhab yang dianut oleh penafsir ini adalah Madzhab Salaf, yaitu Madzhab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau serta ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau. Dalam hal aqidah dan ibadah, semata-mata taslim, artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi. Namun, tidaklah semata-mata taklid kepada pendapat manusia, melainkan meninjau mana yang lebih dekat pada kebenaran untuk diikuti, dan meninggalkan mana yang jauh menyimpang. Meskipun penyimpangan yang jauh itu bukanlah atas suatu sengaja yang buruk dari yang mengeluarkan pendapat itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 38, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan Madzhab Salaf, menisbahkan diri kepadanya dan membanggakannya, bahkan wajib diterima semua itu darinya dengan kesepakatan ulama. Karena sesungguhnya Madzhab Salaf adalah haq." (Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa 4/149).

Orang yang tahu suatu perbuatan benar, tidak dikerjakannya atau takut mengatakannya, adalah seorang pengkhianat.

Bukan pengkhianat kepada orang lain saja, tetapi berkhianat kepada dirinya sendiri, kepada harga batinnya dan kepada segala haknya yang suci.

(Buya HAMKA, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 55, Republika Penerbit, 2015).

Boleh jadi sebagian orang tergoda mencari benih Islamisme Indonesia zaman sekarang di HAMKA dan Adiceritanya.

Seperti telah kita sebutkan, HAMKA adalah seorang perintis gerakan dakwah Indonesia dan bercita-cita membangkitkan Islam.

Tapi keliru kiranya mencari asal-usul Islamisme radikal Indonesia hari ini di Adicerita HAMKA.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 255-256, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

Ketua Majelis Ulama Indonesia: Buya HAMKA

mui.or.id/tentang-mui/ketua-mui/buya-hamka.html

Saya sudah mengalami satu bukti bagaimana bangkrutnya (gagal-nya) kekolotan dipertahankan dengan kekuasaan di Johor itu pada Tahun 1960.

Mufti Johor telah mengenal saya sebagai Kaum Muda dan Wahabi dari Indonesia.

Kita mempunyai keyakinan dengan kepala negara pemimpin besar revolusi kita (Presiden Soekarno atau "Bung Karno", Presiden Republik Indonesia ke-1, -pen) bahwa kita harus menggali api Islam sehingga semangat jihad itu berkobar kembali.

Jihad menurut agama, revolusi menurut istilah negara.

Namun, kita pun harus sadar bahwa akan terdapat sebagian besar dari umat itu yang tidak mau kekolotannya disinggung,

Tidak mau penyakitnya diobati, karena obat itu pahit.

Kita pun harus sadar akan ada golongan yang tersinggung puncak bisul (kedudukan)-nya jika kita membuka soal agama.

Kadang, kita akan dituduh sebagai pemecah belah persatuan, dilarang membahas, mengutik-utik masalah khilafiyah.

Dengan segala daya upaya kita telah memilih jangan menyinggung, jangan berkhilafiyah.

Namun, oleh karena soal khilafiyah itu ternyata sangat relatif maka terkadang jika kita memberantas perbuatan yang tidak berasal dari Islam, kita pun dituduh memecah persatuan.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Orang-orang yang diikut, sebab mereka adalah manusia, kerapkali dipengaruhi oleh hawa nafsu, berkeras mempertahankan pendapat sendiri walaupun salah dan tidak mau meninjau lagi.

Sehingga masalah-masalah ijtihadiyah menjadi pendirian yang tidak berubah-ubah lagi.

Bukan sebagaimana Imam Syafi'i yang berani mengubah pendapat sehingga ada pendapatnya yang qadim (lama) dan ada yang jadid (baru).

Atau Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal dalam fi ihdaqaulaihi (pada salah satu di antara dua katanya).

Dalam hal orang yang diikut itu berkeras pada suatu pendapat, si pengikut pun berkeras pula dalam taklid.

Ini karena dengan sadar atau tidak mereka telah menjadikan guru ikutan menjadi tandingan-tandingan Allah atau andadan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 320, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Hanyalah orang-orang muqallidin yang benci dan yang berbeda dari pendapat ijtihadiyah guru yang diikutinya.

Inilah pangkal bencana umat Islam.

Yaitu setelah umat dihukum oleh orang-orang muqallidin.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 410, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Di Baghdad pernah terjadi bunuh-membunuh di antara pemeluk Islam Madzhab Syafi'i dan pemeluk Madzhab Hanbali karena perkara men-jahar-kan Bismillah.

Perkelahian penganut Madzhab Syafi'i dengan Madzhab Hanafi telah sampai menghancur-leburkan Negeri Merv sebagai pusat ibukota wilayah Khurasan.

Di dalam Abad ke-19, Kerajaan Turki menyuruh Mohammad Ali Pasya penguasa Negeri Mesir memerangi penganut paham Wahabi di Tanah Arab. Untuk ini, dibuat propaganda di seluruh dunia Islam bahwa Wahabi itu telah keluar dari garis Islam yang benar, sehingga sisa dakinya sampai sekarang masih bersarang dalam otak Golongan Tua dalam Islam.

Di tanah air kita Indonesia, di zaman-zaman yang lampau, kuranglah kita mendengar terjadi pertumpahan darah karena perlainan madzhab di dalam Islam karena kebetulan madzhab yang masuk ke sini pada umumnya hanyalah satu, yaitu Madzhab Sunni Syafi'iyah.

Akan tetapi, kemudian, setelah tersebar pula buku-buku agama yang lebih luas dan pandangan yang lebih jauh, timbullah berlainan pendapat dan timbul perselisihan di antara ulama dan ulama lalu memengaruhi orang-orang awam.

Di kalangan orang Arab yang hijrah ke Indonesia timbul perselisihan di antara kaum keturunan sayyid yang dikenal dengan sebutan Alawiyin dan yang bukan sayyid yang menjelma menjadi Perkumpulan al-Irsyad, dan sampai juga terjadi pertumpahan darah di Banyuwangi kira-kira Tahun 1930.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 503-504, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Oleh ahli-ahli dibagilah amanah itu kepada tiga bagian,

2. Amanah terhadap sesama Hamba Allah.

Ulama-ulama yang membangkit-bangkit masalah khilafiyah yang membawa fitnah dalam kalangan umat adalah pengkhianat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 339, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Persatuan Khilafiyah 212, Buya HAMKA dan Imam Syafi'i

panjimas.com/citizens/2017/02/10/persatuan-khilafiyah-212-buya-hamka-dan-imam-syafii

BUNG HAJI DAN NEGARA ISLAM

Sementara itu, Sumatra Barat juga bergolak dengan aksi revolusi. Sebagaimana di tempat-tempat lain di indonesia, kelompok-kelompok pemuda yang berafiliasi dengan partai politik atau golongan lain membentuk milisi yang berhubungan dengan Tentara Republik Indonesia yang sudah resmi tapi belum utuh. HAMKA mengakhiri bukunya mengenai adat Minangkabau dengan permohonan kepada para pejuang muda untuk bersatu, memanggil mereka "Tentara Allah". "Semua kamu dilahirkan di dalam Islam", tulisnya. "Semua kamu ialah putera Republik Indonesia. Kemerdekaan yang kita pertahankan sekarang ini, adalah kemerdekaan yang adil, tidak akan mengganggu dan menyerang orang lain. Itulah dia Sabilillah!".

HAMKA terjun dalam perjuangan juga. (Dalam memoar, sebutan untuk dirinya sendiri menjadi Bung Haji, mirip dengan Bung Karno dan Bung Hatta). Pelajaran keras mengenai politik yang dia dapat di Medan membuat dia bersumpah akan membatasi upaya revolusionernya di "lidah dan pena". Tapi dia segera terlibat aksi. Di Minangkabau, HAMKA adalah anggota keluarga pendiri Muhammadiyah. Meski habis disingkirkan di Medan, pada Mei 1946 dia menjadi pemimpin organisasi tersebut di Sumatra Barat dan terus menjabat sampai Desember 1949. Pada satu saat dia juga bergabung dengan dewan pimpinan daerah Masyumi, partai politik Islam yang baru bangkit, mewakili Muhammadiyah dan saingannya, organisasi Islam tradisional berbasis Jawa, Nahdlatul Ulama (NU), dan memegang beberapa jabatan penting di kabinet revolusi. Dia jadi sering bepergian, berkeliling cabang-cabang Muhammadiyah di Minangkabau untuk membangun organisasi tersebut, mengumpulkan dukungan untuk Republik lewat pidato berapi-api, berceramah agama, dan menjual buku-buku yang dia bawa dengan keranjang.

HAMKA tak menjelaskan alasan kepindahannya ke Jakarta. Namun, tampaknya alasan HAMKA sudah jelas. Sejak 1930-an, HAMKA telah membingkai cita-citanya bukan di Alam Minangkabau, melainkan di negara secara keseluruhan, Indonesia. Jakarta sudah menjadi pusat negara. Ke mana lagi dia mau pergi? HAMKA menghabiskan sisa hidupnya yang penuh kejutan di sana, memperjuangkan negara Muslim di arena Indonesia merdeka yang tak bisa diprediksi. Meski mendapat banyak pelajaran dari masa revolusi, HAMKA tetap penuh harapan mengenai Indonesia dan Adicerita yang disampaikannya. Masyarakat Bhinneka dengan berbagai jalur sejarah sedang bersatu sebagai satu bangsa; Indonesia menghadapi warisan penjajahan dan adat lama, sambil menerima campuran modern Timur dan Barat; sementara itu, Indonesia juga makin berakar dalam ajaran dan nilai Islam. HAMKA tidak menerima begitu saja nasib negara maupun dirinya sendiri. Sesudah menempatkan dirinya dalam sejarah negara, dia pun terjun. Perahu kecilnya telah tiba di seberang. Indonesia, negara Muslim yang dicintainya, akan sampai juga.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 109-115, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).