Kamis

AHMADIYAH QADIAN DAN AHMADIYAH LAHORE

AHMADIYAH QADIAN DAN AHMADIYAH LAHORE

PERTANYAAN

Bagaimana pendapat Bapak terhadap aliran yang menamakan dirinya Ahmadiyah Qadian (Aliran Ghulam Ahmad) dan Ahmadiyah Lahore (Maulana Mohammad Au dan Khawaja Kamaluddin). Benarkah Ghulam Ahmad itu Imam Mahdi?

A.S. Gani, Kencana 34, Jakarta.

JAWABAN

Golongan Qadian itu memandang barangsiapa yang tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu adalah Rasul, Nabi Isa, Imam Mahdi, mujadid, barangsiapa tidak percaya bahwa ada lagi nabi sesudah Nabi Muhammad, dan nabi itu adalah Mirza Ghulam Ahmad, orang itu tidak sah Islamnya.

Oleh sebab itu, maka seluruh golongan Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Jam'iyatul Washliyah, begitu juga pribadi Bung Karno, Bung Hatta, HAMKA, Jenderal Haris Nasution, Hasan Bangil, Sayyid Jamaluddin Afghani, Syekh Muhammad Abduh, semuanya itu tidak sah Islamnya, sebelum semuanya mengakui bahwa Ghulam Ahmad itu adalah Rasul dan nabi sesudah Muhammad.

Oleh sebab itu mereka berpendirian bahwa tidak sah seorang Ahmadi shalat di belakang imam yang tidak masuk Ahmadi.

Tidak sah nikah seorang gadis Ahmadiyah dengan laki-laki bukan Ahmadi.

Sebab yang bukan Ahmadiy-Qadiyani adalah kafir.

Oleh karena itu, kalau demikian pendirian mereka terhadap sekalian orang yang beragama Islam yang tidak mempercayai Ghulam Ahmad, bagaimana lagi pendirian orang Islam terhadap mereka?

Kalau mereka dikatakan sah, artinya kita telah mengaku bahwa pegangan kita ini tidak sah. Artinya, kita ini adalah kafir kalau tidak masuk Ahmadi atau tidak mempercayai Ghulam Ahmad sebagai Nabi sesudah Muhammad.

Oleh karena itu, kalau Anda masih Islam pengikut Muhammad saw. yang tidak ada Nabi sesudah beliau, nyatalah bahwa Anda akan sependapat dengan kami bahwa Ahmadiyah itu, dalam hal agama, sudah lain golongannya dengan kita, kita memandangnya sebagaimana memandang orang Kristen, Budha, dan lain-lain juga.

Mereka pun memandang kita demikian!

Yaitu kita pegang pendirian masing-masing dan hormat menghormati dalam tanah air yang satu.

Adapun Lahore berpendapat bahwa guru mereka Ghulam Ahmad itu bukanlah Nabi atau Rasul, hanya semata-mata mujaddid (pembaru, herbomer) agama Islam saja.

Kalau hanya semata mujaddid (pembaru), maka kita pun tidak perlu menerima gagasan tersebut.

Karena orang yang dikatakan pembaru, bukanlah mengubah sendi agama, melainkan memperkukuhnya.

Apalagi dalam riwayat hidupnya terdapat bahwa Ghulam Ahmad itu berkembang karena dipupuk oleh imperialisme Inggris, ketika menggelegak revolusi pikiran Muslim di bawah pimpinan beberapa orang pemuka agama Islam di India.

Dalam orang berjuang hendak mencapai kemerdekaan bangsa, tanah air dan agama, Ghulam Ahmad mempersembahkan Surat Tanda Setia kepada Ratu Victoria, dan mengatakan bahwa hidup matinya terserahlah kepada baginda ratu.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 441-443, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

AGAMA AHMADIYAH KE INDONESIA

Di sekitar tahun dua puluhan masuk pulalah Ahmadiyah itu ke negeri kita Indonesia ini. Baik golongan Qadian atau golongan Lahore.

Perbedaan di antara keduanya ialah bahwa Qadian bertahan mengatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu ialah nabi dan rasul, membawa syariat, di antaranya mengharamkan jihad.

Sedang Lahore percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanya seorang Mujadid.

Tetapi pokok pegangan tetap sama.

Bedanya hanya golongan Lahore agak lunak sedikit. Yang tertarik kepada golongan Lahore di Indonesia ini kebanyakan kaum intelektual pendidikan Belanda.

Kita bersyukur kepada Tuhan atas kewaspadaan ulama-ulama di Minangkabau pada waktu itu membentengi Islam dari bahaya mereka. Di Padang keluar majalah "Buku Mata", dan Dr. Syekh Abdul Karim mengeluarkan kitab "Al-Qaulush-Shahih" memberikan tuntunan guna membendung pengaruh mereka.

Ada beberapa puluh orang yang tertarik. Tetapi datang hal-hal lain yang mengubah suasana, sehingga "debat Ahmadiyah Qadiani" itu tambah tidak jadi perhatian orang lagi. Mulanya datang pengacauan kaum komunis, sesudah itu pemberontakan mereka di Silungkang (1927). Tetapi pada Tahun 1928 kaum muslimin Minangkabau bangkit kembali dengan semangat Islam menantang Guru Ordonnantie. Bersamaan dengan itu Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dibangunkan sebagai suatu gerakan politik Islam, lanjutan dari Sumatra Thawalib, dan Muhammadiyah pun berkembang pesat.

Persatuan Islam di Bandung di bawah pimpinan gurunya A. Hasan menentang Ahmadiyah, sehingga pernah diadakan perdebatan di Bandung. Di sana Qadiani betul-betul dibuka topengnya dan jelas kepalsuannya.

Sekarang di Kota Padang sendiri ada masjid mereka. Tetapi yang masuk berjamaah ke masjid itu hanya mereka dengan keturunan-keturunan yang masuk dahulu itu juga. Mereka tersisih dalam golongan kecil, segelintir manusia.

Yang lucu pula ialah pada Tahun 1928 seketika Haji Mahmud, berasal dari Padang Panjang, yang telah jadi Ahmadiyah pula, ditobatkan di Balairung Pasar Rebo Padang Panjang. Karena dia dianggap sudah murtad. Beratus-ratus orang yang menyaksikan dia tobat. Tetapi kemudian ia lari ke Medan, dan di sana dicabutnya tobatnya dan kembali menganut agama Qadiani.

Syukur alhamdulillah, mulai saja mereka datang hendak menyebarkan agama itu, ulama-ulama lekas bertindak. Baik Kaum Muda atau Kaum Tua menyatakan bahwa Ahmadiyah itu adalah kafir. Sebab mereka memandang bahwa kita semuanya itu kafir, sebab kita tidak percaya akan kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

Sekarang di Minangkabau terkelompok sajalah mereka pada sebuah masjid kepunyaan mereka sendiri, di Padang. Di kota-kota lain tidak ada lagi. Yang di Padang Panjang habis lari. Di Tapak Tuan (Aceh) tempatnya mulai masuk, habis dikikis! Di Jawa pun mereka jadi masyarakat terpencil, dan memencil sebab bagi mereka berjihad memperjuangkan agama Islam, adalah haram. Kecuali memperdebatkan Isa sudah mati, Ghulam Ahmad pengganti Isa. Untuk ini mereka mau berdebat, walau sebulan.

KESIMPULAN

Manakah yang lebih berbahaya bagi Islam di antara Bahai dengan Qadiani?

Bahai telah dengan terang-terangan mengatakan bahwa agama mereka bukan Islam, mereka bukan satu sekte dari Islam. Mereka adalah agama yang berdiri sendiri. Sudahlah terang kita menghadapi mereka, sama dengan menghadapi Kristen atau Buddha saja. Sebab itu tidaklah mereka begitu berbahya, sebab mereka orang lain.

Tetapi Qadiani lebih berbahaya, sebab mereka masih mengakui juga bahwa diri mereka dalam Islam. Dan, mereka katakan bahwa nabi dan rasul mereka Ghulam Ahmad adalah sambungan Islam. Syariat Nabi Muhammad diteruskah juga, mereka masih sembahyang Zhuhur empat rakaat, dan masih ada Jumatnya sendiri. Islam kita ini masih diteruskan juga, tetapi pimpinan tidak lagi di tangan nabi Muhammad, melainkan di tangan Mirza Ghulam Ahmad.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM Jilid 2, Hal. 180-186, Republika Penerbit, Cet.1, April 2018).