Selasa

BUYA HAMKA, TAUHID ULUHIYAH DAN TAUHID RUBUBIYAH, ALLAH SWT BERSEMAYAM DI ATAS ARSY, MEMPUNYAI BANYAK MATA, BERTANGAN, TURUN KE LANGIT DUNIA, DIMANA ALLAH? ALLAH DIBAHASAKAN LAKI-LAKI?



MAHA SUCI ALLAH SWT

"... Dan sekali-kali tidak ada Tuhan yang lain beserta Dia ... Maha Suci Allah dari yang mereka sifatkan itu." (al-Mu'minuun: 91).

Pikiran yang sehat mesti sampai kepada Allah hanya satu, Maha Esa Dia dalam Ketuhanan-Nya, dalam Kekuasaan-Nya, dalam Zat dan Sifat-Nya. Pikiran yang sehat dan wajar pasti sampai kepada kesatuan Tuhan. Pikiran yang masih saja mengenang pada berserikatnya Allah, adalah belum wajar. Kecuali kalau tidak berpikir, atau berhenti berpikir.

JANGAN MEMOHONKAN AMPUN UNTUK MUSYRIKIN

"... telah jelas baginya bahwa dia itu musuh bagi Allah ..." (at-Taubah: 113-114).

Tiada Dia bersekutu dalam keadaan-Nya dengan yang lain. Demikian juga tentang mengatur syari'at agama, tidak ada peraturan lain, melainkan dari Dia.

MENUHANKAN GURU

"... Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan itu." (at-Taubah: 31).

Termasuk juga dalam rangka ini, yaitu menganggap ada kekuasaan lain di dalam menentukan ibadah selain daripada kekuasaan Allah, ialah menambah-nambah ibadah atau wirid, doa dan bacaan pada waktu-waktu tertentu yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul saw. Ibadah tidak boleh ditambah dari yang diajarkan Rasul saw. dan tidak boleh dikurangi. Menambah atau mengurangi, memaksa-maksa dan berlebih-lebihan dalam ibadah adalah ghuluw. Dan, ghuluw adalah tercela dalam syari'at. Sama pendapat (ijma) sekalian ulama mencela perbuatan itu. Inilah dia Bid'ah!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 224, Jilid 4 Hal. 304, Jilid 4 Hal. 137, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Ya Tuhanku, penuhilah apa yang engkau janjikan kepadaku. Ya, Tuhanku, jika binasa rombongan Ahlul Islam ini tidaklah akan ada lagi orang yang akan menyembah-Mu di muka bumi ini!" (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi).

BERSEMAYAM DI ATAS ARSY

Menurut pendirian dari Abul Hasan al-Asy'ari dan para pengikutnya, turuti sajalah sebagaimana yang tersebut: Allah Yang Rahman bersemayam di atas Arsy-Nya, dengan tidak ada pembatasan dan tidak ada pertanyaan: "Betapa semayam-Nya." Tetapi patut juga kita ketahui penafsiran dari penafsir dari kalangan Mu'tazilah. Yaitu Jarullah az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf. Dia menulis, "Oleh karena bersemayam di atas Arsy, dan arti Arsy itu ialah singgasana raja, yang kedudukan itu tidak akan tercapai kalau tidak mempunyai kekuasaan, maka dijadikanlah dia sebagai kinayah (perumpamaan) dari kekuasaan yang mutlak. Orang selalu mengatakan, 'Si anu bersemayam di negeri Anu', yang dimaksud ialah bahwa si anu itu berkuasa di sana, meskipun dia tidak selalu duduk di atas singgasana itu. Mereka membuat susunan kata atas hasilnya kekuasaan ialah dengan cara begitu. Karena begitulah yang lebih jelas dan lebih kuat untuk menunjukkan apa yang dimaksud Si Anu, 'Raja'." Tetapi ar-Razi dalam tafsirnya tidak setuju sama sekali cara ta'wil yang dipakai kaum Mu'tazilah itu. Kata ar-Razi, "Kalau kita buka pintu itu terus-menerus, tentu dapat pula masuk ta'wil-ta'wil yang dipakai oleh kaum Bathiniyah. Karena mereka itu pun pernah mengatakan tentang firman Allah kepada Nabi Musa seketika Musa dipanggil menghadap ke Lembah Thuwa."

AQIDAH

"Dan Dialah yang telah menciptakan semua langit dan bumi dalam enam hari dan adalah Arsy-Nya di atas air ..." (Huud: 7).

"Sesungguhnya Allah telah menentukan ketentuan-ketentuan dari seluruh makhluk. Sebelumnya, Dia menciptakan semua langit dan bumi, 50.000 tahun lebih dahulu dan Arsy-Nya adalah di atas air." (HR. Muslim).

Maka, sebagai Muslim yang hidup mempunyai aqidah, kita terimalah keterangan ayat Allah dan sabda Rasul ini sebagaimana adanya.

Berkata Muhammad bin Ishaq tentang tafsir ayat ini, yaitu Allah menciptakan ketujuh langit dan bumi ini dalam enam hari dan Arsy-Nya berada di atas air. Kata beliau, "Allah itu adalah menurut sifat yang telah dinyatakan-Nya sendiri."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 534-535, Jilid 4 Hal. 528, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENJAWAB DAKWAH KAUM 'SALAFI'

Prof. DR. Ali Jum'ah (Mufti Agung Mesir)

MENGHINA PENGIKUT MAZHAB ASY'ARIYAH

"Setiap lafaz yang isinya mengenai sifat-sifat Allah, baik yang datang dari Al-Qur'an maupun hadits yang sahih dari Rasulullah saw., maka wajib bagi kita untuk mengimaninya, menerima dengan sepenuh hati, tidak menolaknya atau menakwilkannya, menyamakannya dengan makhluk, maupun mencontohkannya. Lafaz-lafaz tersebut wajib ditetapkan secara bahasa, dan tidak menyinggung maknanya. Kita kembalikan maknanya kepada pemilik langsung lafaz-lafaz tersebut, sementara tanggung jawab kita hanya menyampaikan kepada umat. Dengan demikian, berarti kita telah menempuh jalan orang-orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni. Mereka juga mendapatkan pujian dan apresiasi dari Allah, sebagaimana termaktub dalam firman-Nya, "Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.' Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal." (Ali 'Imran: 7)."

-IBNU QUDAMAH-

Ibnu Qudamah juga berkata untuk mencela orang-orang yang mencari-cari takwil ayat-ayat mutasyaabihaat, seperti yang disebutkan dalam firman Allah Ta'ala, "Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya." (Ali 'Imran: 7). Allah SWT menjadikan perbuatan mencari-cari takwil sebagai tanda kecondongan kepada kesesatan, dan sama tercelanya dengan orang yang mencari fitnah. Setelah itu, Allah Ta'ala menghalangi niat (buruk) mereka sekaligus mengubur rasa optimis mereka, sebagaimana tertuang dalam firman-Nya, "Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah." (Ali 'Imran: 7)." Imam Ahmad bin Hanbal ra. pernah berkata mengenai sabda Rasulullah saw. yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah Ta'ala akan turun ke langit dunia, dan sesungguhnya Allah akan bisa dilihat di hari kiamat kelak," dan sejumlah hadits lain yang serupa dengan itu. Ia berkata, "Hadits-hadits ini kita imani, dan kita benarkan tanpa melontarkan pertanyaan: bagaimana dan apa maknanya? Kita tidak menolak sedikit pun hadits tersebut. Kita menyakini bahwa apa yang datang dari Rasulullah saw. itu benar, dan kita tidak boleh membantahnya. Kita tidak boleh mensifati Allah melebihi dari apa yang telah digunakan Allah untuk mensifati diri-Nya." Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi'i ra. berkata, "Aku beriman kepada Allah Ta'ala dan segala sesuatu yang datang dari-Nya, sesuai dengan apa yang Allah maksudkan. Aku juga beriman kepada Rasulullah saw., dan segala sesuatu yang datang darinya, selaras dengan apa yang Rasulullah maksudkan." Dengan demikian, jelaslah bahwa semua ulama salaf maupun khalaf sepakat untuk mengakui, berinteraksi dan menetapkan sifat-sifat di atas seperti yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits Nabi, tanpa menyinggung untuk ditakwilkan. (15)

(15) Ibnu Qudamah, Lam'atul I'tiqaad al Haadii 'ilaa Sabiilir Rasyaad, m. 5-8.

(MENJAWAB DAKWAH KAUM 'SALAFI', Hal. 40-43, Penerbit KHATULISTIWA, Cet. IV, 2016).

TESTIMONI PARA TOKOH

"... Lembut dalam bermadzhab, tapi tegas dalam berprinsip. Lentur dan lunak tutur katanya, tapi keras berpegang teguh pada aqidah. Dialah Haji Abdul Malik Karim Amrullah."

Pekanbaru, 5 Rabi'ul Awwal 1440 H / 13 November 2018
Datuk Seri Ulama Setia Negara
Kayi Mangku Jagadilaga
Haji Abdul Somad, Lc., M.A.

(Yusuf Maulana, Buya HAMKA Ulama Umat Teladan Rakyat, Penerbit Pro-U Media, 2018).

JALAN YANG LURUS

"Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidaklah ada baginya yang akan menyesatkan ..." (az-Zumar: 37).

Doanya yang disebutkan di pertengahan al-Faatihah, agar kiranya Allah menunjuki kepada jalan yang lurus, sudah terkabul. Tangan Allah sendiri yang membimbingnya.

JARI-JARI ALLAH

Hati orang-orang yang beriman pun di antara jari-jari Allah dapat pula bertukar dari gelap gulita maksiat kepada Nur 'Ubudiyah (Cahaya Perhambaan).

BAIAT

"Sesungguhnya orang-orang yang telah berbaiat dengan engkau lain tidak adalah berbaiat dengan Allah, tangan Allah di atas tangan mereka. Dan barangsiapa yang mungkir adalah memungkiri dirinya sendiri dan barangsiapa yang memenuhi apa yang telah dijanjikannya kepada Allah maka Dia akan memberi kepadanya ganjaran yang besar. (al-Fath: 10).

Tegasnya, bahwa Allah ikut dalam baiat itu. Banyak sahabat Rasulullah yang turut hadir waktu itu mengatakan bahwa baiat itu ialah baiat bahwa semuanya bersedia menghadapi maut. Sehingga pujian terbesar datang dari Allah bahwa orang yang berbaiat sesamanya sendiri, sama artinya dengan berbaiat dengan Allah dan tangan Allah adalah di atas tangan mereka.

PETUNJUK ALLAH

Demikianlah petunjuk Allah, seakan-akan Allah mengembangkan kedua belah tangan-Nya, menerima kedatangan hamba-hamba-Nya yang insaf, yang menyesal. "Selamat datang, engkau pulang kembali wahai hamba-hamba-Ku. Sejak engkau mengatakan iman, segala kesalahan telah Aku ampuni. Mulailah hidup baru dalam iman dan tegakkanlah mukamu! Jangan berjiwa kecil dan tengadahkanlah muka ke hadapan. Rahmat-Ku selalu ada!"

TAKLID

"Katakanlah, 'Sesungguhnya aku telah dilarang menyembah apa yang kamu seru selain dari Allah itu.' Katakanlah, 'Tidaklah aku akan mengikuti kehendak kamu. Karena sesungguhnya telah sesatlah aku kalau begitu dan tidaklah aku daripada orang-orang yang diberi petunjuk." (al-An'aam: 56).

Rasulullah saw. berkata dengan wahyu setegas ini karena kaum musyrikin masih ada saja yang mempertahankan perbuatan mereka. Hal itu terjadi karena mereka taklid kepada nenek moyang sehingga pernah mereka menyebut Nabi Muhammad saw. seorang yang shabi', artinya telah menyeleweng dari agama nenek moyang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 38, Jilid 5 Hal. 545, Jilid 8 Hal. 381-382, Jilid 3 Hal. 167, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEBENARAN TETAP MENANG

Tambah diperlihatkan mukjizat, tambah Fir'aun menunjukkan durhakanya kepada Allah. Sampai dia memerintahkan menterinya, Haman, membuat menara tinggi karena katanya dia hendak naik ke langit mencari Tuhan yang dikatakan oleh Musa itu. Karena menurut pendiriannya, mengatakan ada Tuhan di langit itu adalah bohong belaka. Akhirnya menghadapi perjuangan yang demikian hebat, puncak perjuangan sekalian Nabi dan Rasul, menghamparkan perasaan Musa a.s. kepada Allah,

"Maka dia pun berserulah kepada Tuhannya bahwa sesungguhnya mereka itu adalah kaum yang durhaka." (ad-Dukhaan: 22).


(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 253-254, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RAHMAT ILAHI MENGATASI SEGALA-GALANYA

"Katakanlah (hai Utusan-Ku), 'Tuhanku! Beri ampunlah dan curahkanlah kasih-Mu, dan Engkau adalah lebih baik dari sekalian orang yang pengasih.'" (al-Mu'minuun: 118).

Ayat-ayat seperti inilah yang memberi ilham kepada ahli-ahli tasawuf sehingga dia bermunajat, "Aku pulang kembali kepada-Mu, ya Allah! Engkau pernah menjanjikan, bahwa orang yang kaya pada pandangan-Mu ialah yang kaya dengan amalnya yang saleh. Orang itulah yang akan diterima kelak di hadapan hadhrat-Mu! Aku mengakui kemiskinanku, ya Allah! Namun aku akan datang juga ke bawah cerpu telapak kaki-Mu mengharap kasih! Aku pun percaya, bahwa orang yang miskin hina-dina semacamku ini, tidaklah Engkau akan sampai hati menolaknya dari majelis-Mu."

Ayat-ayat seperti ini pulalah yang menyebabkan Imam Syafi'i yang terkenal juga sebagai pujangga penyair di samping Mujtahid dan pembangun madzhab yang besar, dengan segala kerendahan hati dan air mata berlinang, beliau pernah bersyair, "Ya Allah! Orang yang semacamku ini tidaklah layak masuk Firdaus-Mu. Dan diri yang lemah dha'if ini, tidak pun kuat menderita api neraka jahim. Sebab itu karuniakanlah kepadaku tobat dan ampunilah dosa-dosaku. Karena Engkau adalah Pemberi ampun dosa, betapapun besarnya."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 241-242, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MADZHAB AHLUS SUNNAH ATAU MADZHAB SALAF

"Dan kalau kiranya Kami binasakan mereka dengan satu siksa dari sebelumnya, niscaya mereka akan berkata, 'Ya Allah kami! Mengapa tidak Engkau utus kepada kami seorang rasul, agar kami ikut ayat-ayat-Mu, sebelum kami jadi hina dan kami jadi rendah?'" (Thaahaa: 134).

Ayat inilah satu di antara beberapa ayat yang jadi pokok perselisihan pendapat di antara Madzhab Ahlus Sunnah atau Madzhab Salaf dengan Kaum Mu'tazilah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 634, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Hujjatul Islam: Buya HAMKA

republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/12/m2clyh-hujjatul-islam-buya-hamka-ulama-besar-dan-penulis-andal-1

FILSAFAT

Beratus tahun lamanya kaum muslimin memandang filsafat sebagai "momok" yang berbahaya. Lalu diturutkan metode berpikir cara al-Asy'ari dan al-Maturidi, padahal keduanya pun kebanyakan memakai metode Aristoteles juga. Maka gelaplah pikiran dan jumud-lah karena tidak menuruti perubahan dan aliran zaman. Filsafat itu bukan hanya hak beberapa orang, tetapi kepunyaan bersama.

Di hadapan saya ada terbentang kitab suci Al-Qur'an dan Hadits Nabi, terang dan nyata: terbentang pula Tarikh Nabi, serta perjalanannya.

Prof. Dr. HAMKA

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, xxv-xxxi, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

SYIRIK

Cuma satu modal pangkal dan bagaimana pun sulitnya, yang satu itu tidak boleh dilepaskan, yaitu kepercayaan akan keesaan Ilahi. Tidak ada tempat berlindung melainkan Dia. Yang ini sedikit pun tidak boleh sumbing. Kalau sumbing, sedikit saja kepercayaan kepada keesaan Ilahi, tidaklah dosa akan diampuni.

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik) dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendak ..." (an-Nisaa': 48 atau 116).


Kalau Allah SWT sudah dipersekutukan dengan yang lain, sudah mulai syirik, kita sendirilah yang telah memutuskan perhubungan dengan Dia. Tamatlah ceritanya. Tidak ada lagi perjuangan di dalam Islam. Kita sudah terhitung orang luar.

AMAL YANG PERCUMA

Banyak kelihatan orang berbuat baik padahal dia tidak beriman.
Dia beramal padahal tidak dari sumber telaga iman. Dengan tegas Tuhan menyatakan bahwasanya orang yang mempersekutukan Tuhan dengan yang lain, percumalah amalnya. Tenaga sudah habis, dirinya sudah payah, padahal amal tidak diterima Tuhan.

"... Sekiranya mereka mempersekutukan Allah, pasti lenyaplah amalan yang telah mereka kerjakan." (al-An'aam: 88).


Jangankan orang lain, sedangkan Nabi Muhammad saw. sendiri pun ataupun nabi-nabi dan rasul yang sebelumnya, jika dia menyerikatkan Allah dengan yang lain, amalnya pun tertolak dan percuma juga.

"Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, 'Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi.'" (az-Zumar: 65).


MADZHAB ASY'ARI

Madzhab yang dikatakan dekat kepada Sunnah adalah Madzhab Asy'ari. Madzhab Asy'ari dalam hal tidak mempergunakan pertimbangannya sendiri. Madzhab yang di-nya saja yang berlain sedikit. Di seluruh alam sekarang ini berdirilah sekolah-sekolah tinggi. Orang berpikir bertambah maju. Soal-soal dikupas orang dengan sistem pikiran yang teratur dan pada pihak kaum Muslimin masih ada yang bersitegang urat leher mempertahankan taklid.

Kalau taklid itu kepada Allah SWT dan Rasulullah saw., itulah yang kita kehendaki!

Akan tetapi, yang dikatakan taklid oleh mereka ialah kepada golongan yang dikatakan ulama telah menafsirkan dari tafsirnya tafsir. Oleh sebab itu, yang dikatakan ulama atau kiai ialah yang sanggup mengahafal perkataan orang lain dan tidak sanggup mempergunakan pikirannya sendiri. Barangsiapa yang mencoba mempertimbangkan suatu soal dengan mencoba menggunakan pikirannya sendiri, dapatlah cap dan tuduhan Muktazilah. Kadang-kadang dipergunakan tuduhan ini untuk mencapai kemenangan politik jangka pendek. Lantaran ini, tidaklah heran jika pada masa terakhir, orang lain telah sangat maju mempelajari agama Islam dengan sistem berpikir yang bebas, yang kadang-kadang tidak menguntungkan Islam. Akan tetapi orang Islam, karena ikatan taklid kepada tukang tafsirkan tafsir dari tafsirnya tafsir, tidak dapat berbuat apa-apa untuk menolak hujjah dengan hujjah sebab tidak mempunyai alat.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Hal. 418-423, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

MUKADIMAH

Madzhab yang dianut oleh penafsir ini adalah Madzhab Salaf. Yaitu Madzhab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau serta ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau. Dalam hal aqidah dan ibadah, semata-mata taslim, artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi. Namun, tidaklah semata-mata taklid kepada pendapat manusia, melainkan meninjau mana yang lebih dekat pada kebenaran untuk diikuti dan meninggalkan mana yang jauh menyimpang. Meskipun penyimpangan yang jauh itu bukanlah atas suatu sengaja yang buruk dari yang mengeluarkan pendapat itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 38, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan Madzhab Salaf, menisbahkan diri kepadanya dan membanggakannya, bahkan wajib diterima semua itu darinya dengan kesepakatan ulama. Karena sesungguhnya Madzhab Salaf adalah haq." (Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa 4/149).

'LAUTAN ILMU'

"Katakanlah, 'Tidaklah aku dapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi si pemakan yang mau memakannya kecuali bahwa adalah dia itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi. Karena sesungguhnya dia itu kotor atau suatu pendurhakaan yang disembelih untuk yang selain Allah. Maka, barangsiapa yang terpaksa, bukan karena ingin atau sengaja hendak melebihi maka sesungguhnya Tuhan engkau adalah Pengampun lagi Penyayang.'" (al-An'aam: 145).

Ibnu Abbas menolak keterangan itu dengan membaca ayat yang tengah kita tafsirkan ini. Penolakan Ibnu Abbas ini tidak semua orang menerimanya. Tersebut pada riwayat, sikap Imam Bukhari membantahnya. Katanya, "Meskipun ‘Lautan Ilmu' menolak keterangan Rasulullah dalam mengharamkan daging keledai jinak itu, daging keledai jinak tetap haram, walaupun 'Lautan Ilmu' tidak mau menerima." Sebab riwayat hadits itu jelas dan sah dari Nabi saw. Lalu, Bukhari berkata pula, "Berpegang dengan perkataan seorang sahabat Nabi, padahal bertentangan dengan perkataan Nabi adalah satu pilihan yang salah dan jauh dari keinsafan."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 309, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TALAK

"Talak itu hanya dua kali ..." (al-Baqarah: 229).

Dengan kalimat "talak itu hanya dua kali" sudah terang bahwa yang dimaksud ialah berpisah sampai dua kali, bukan mengucapkan lafal talak dalam satu majelis dua kali, apatah lagi tiga kali. Sebab, melafalkan talak dua kali atau tiga kali dalam satu majelis hanya akan menghasilkan pisah satu kali, bukan dua atau tiga kali. Dan, lagi perbuatan demikian sangat dimurkai Rasulullah sebab mengubah-ubah peraturan yang telah ditentukannya. Di zaman Rasulullah dan Sayyidina Abu Bakar, melafalkan talak dua atau tiga kali dalam satu majelis, hanya dihukumkan satu yang jatuh. Baru di zaman Umar dipandang jatuh dua dan jatuh tiga karena kata beliau orang sudah terlalu banyak mempermain-mainkan talak. Ini sebagai hukuman dari beliau. Akan tetapi, ijtihad Sayyidina Umar ini bukanlah suatu hal yang mesti diikut saja, sebab di dalam seratus macam ijtihad Umar, tentu ada juga satu-satu kali yang kurang tepat. Jika karena Umar memutuskan talak dua atau tiga di satu majelis dipandang jatuh dua dan jatuh tiga itu yang lebih benar, niscaya Sunnah Rasul dan khalifah beliau yang pertama tidak diakui kebenarannya. Di dalam kenyataan, kerapkali memang orang menjatuhkan talak dua atau talak tiga sekaligus itu adalah karena sedang sangat marah. Malahan ada orang yang karena marahnya menjatuhkan talak, "Aku talak engkau serumpun bambu!" Maka, ulama-ulama fiqih pun berat kepada pertimbangan bahwasanya talak yang dijatuhkan karena sedang marah itu tidaklah jatuh.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 439-440, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ALLAH SWT MEMPUNYAI BANYAK MATA

Mu'tazilah, yang mementingkan penggunaan akal di dalam merenungkan sesuatu. Yaitu tentang sabda Allah SWT pada ayat 27 tadi, "Mata-mata Kami". Orang Mu'tazilah menguatkan, bahwa yang dimaksud dengan mata di sini ialah pandangan Allah SWT, bukan mata sebagaimana yang kita pikirkan. Karena kalau dikatakan mata Allah SWT itu sebagai mata yang kita pikirkan, takut kalau Allah SWT diserupakan dengan makhluk. Hendaklah Allah SWT dibersihkan (tanziih) dari perserupaan. Tetapi kaum Salaf tidak mau memberi arti lain.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 189, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TAUHID

Kalau diteliti 6.236 ayat dalam Al-Qur'an yang tergabung di dalam 114 surah, nyatalah bahwa maksud tujuan hanya satu, yaitu mengakui keesaan Allah.

AQIDAH

"Dan Dialah yang telah menciptakan semua langit dan bumi dalam enam hari dan adalah Arsy-Nya di atas air ..." (Huud: 7).

"Sesungguhnya Allah telah menentukan ketentuan-ketentuan dari seluruh makhluk. Sebelumnya, Dia menciptakan semua langit dan bumi, 50.000 tahun lebih dahulu dan Arsy-Nya adalah di atas air." (HR. Muslim).

Maka, sebagai Muslim yang hidup mempunyai aqidah, kita terimalah keterangan ayat Allah dan sabda Rasul ini sebagaimana adanya.

Berkata Muhammad bin Ishaq tentang tafsir ayat ini, yaitu Allah menciptakan ketujuh langit dan bumi ini dalam enam hari dan Arsy-Nya berada di atas air. Kata beliau, "Allah itu adalah menurut sifat yang telah dinyatakan-Nya sendiri."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 521-528, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ALLAH BERTAHTA DI LANGIT

Fir'aun menolak dengan keras dakwah Musa yang mengatakan adanya Allah Sarwa Sekalian Alam. Ketika dikatakan bahwa Allah itu adalah Tuhan pencipta langit dan bumi dan disebutkan pula bahwa Allah bertahta di langit, di atas Arsy, Fir'aun dengan sombong menolak bahkan memerintahkan kepada menterinya, Hamaan, agar dibangunkan sebuah bangunan tinggi, untuk dari sana dia akan pergi ke langit, masuk dari segala pintu-pintunya untuk menyelidiki di mana Allah itu bersembunyi di langit.

KATAK DI BAWAH TEMPURUNG

"Dan berkata Fir'aun, 'Hai, Haman! Buatkan untukku sebuah bangunan supaya aku dapat sampai ke pintu-pintu semua langit, supaya dapat aku menengok kepada Tuhan si Musa itu dan keras sangkaku si Musa itu seorang pendusta!' Dan demikianlah dirasakan baik pada Fir'aun amalannya yang buruk dan disekatlah dia dari jalan. Dan tidaklah ada tipu daya Fir'aun itu selain dari kegagalan." (al-Mu'min: 36-37).

Samalah sikapnya ini dengan sikap kaum komunis dan kaum ateis (zindiq) yang tidak percaya bahwa Allah ada. Ucapan Fir'aun minta diadakan tukis buat memanjat langit untuk mencari di mana Tuhan itu bersembunyi, sama bunyinya dengan perkataan seorang di antara kosmonot Rusia yang telah menjelajah ruang angkasa dengan pesawat Lunik yang terkenal itu. Dia berkata, "Telah saya jelajah ruang angkasa luas itu, saya cari ke mana-mana, saya teropong ke segala penjuru, namun Tuhan yang disebut-sebut orang beragama itu tidak pernah bertemu karena dia memang tidak ada." Tetapi ketika seorang penjelajah udara yang lain dari Amerika, yang orang Amerika menamainya astronot pergi pula menjelalah udara, setelah kembali ke bumi mengatakan kepada wartawan yang menemu ramahnya tentang kesannya di ruang angkasa luas lepas itu, dia berkata, "Bertambah aku terkatung hening sepi di ruang angkasa mahaluas itu bertambah percayalah aku akan adanya Tuhan."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 71-103, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PUNCAK KEKAFIRAN

"Kekal mereka di dalamnya, tidak akan diringankan adzab atas mereka dan tidaklah mereka akan dipedulikan." (al-Baqarah: 162).

Yaitu adzab akhirat di samping kutukan di dunia. Akan dibiarkan mereka berlarut-larut dalam siksaan akhirat. Di dalam permulaan surah al-Baqarah sudah juga diterangkan tentang kufur atau orang kafir. Puncak kekafiran adalah mengingkari adanya Allah atau mempersekutukan-Nya dengan yang lain, atau tidak mau percaya kepada adanya Hari Kemudian (Kiamat), atau tidak mau mengakui wahyu, atau berkata tentang Allah dengan tidak ada pengetahuan. Pendeknya, segala sikap menolak kebenaran yang dijalankan agama dan mempertahankan yang batil, yang telah diterangkan batilnya oleh agama.

Kekal dalam kutukan walaupun telah hancur tulangnya dalam kubur. Ingatlah nama-nama seperti Fir'aun, Karun, Haman dan Abu Lahab yang tersebut dalam Al-Qur'an, walaupun telah beribu tahun mereka mati, kutuk Allah dan kutuk malaikat serta kutuk manusia masih mereka terima. Bahkan jika timbul manusia lain membawakan kekufuran sebagaimana mereka, terkenang lagi orang akan mereka dan mengutuk lagi, "Orang ini seperti Fir'aun! Orang ini jahat seperti Abu Lahab."

KECUALI ORANG-ORANG YANG BERTOBAT

"Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah pernah Kami turunkan dari keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami terangkan dianya kepada manusia di dalam Kitab, mereka itu akan dilaknat oleh Allah dan mereka pun akan dilaknat oleh orang-orang yang melaknat. Kecuali orang-orang yang bertobat dan berbuat perbaikan dan mereka yang memberikan penjelasan. Maka, mereka itulah yang akan Aku beri tobat atas mereka dan Aku adalah Pemberi tobat lagi Penyayang." (al-Baqarah: 159-160).

Inilah penegasan dari Allah bahwa apabila orang telah kembali ke jalan yang benar, telah insaf, dan keinsafan itu dituruti dengan kegiatan menyelesaikan yang kusut, menjernihkan yang telah keruh, memperbaiki yang telah rusak dan tidak bosan-bosan memberikan penjelasan, segeralah Allah akan memberikan tobatnya. Segeralah pula keadaan akan berubah sebab yang berubah itu ialah orang yang bersalah sendiri.

KEKAL DI NERAKA JAHANNAM

Ibnu Mas'ud berkata, "Orang yang diadzab kekal di Neraka Jahannam itu dimasukkan ke dalam peti dari api. Peti itu dalam peti lagi, hingga berlapis, lalu dipaku di luarnya, sehingga suatu pun tidak ada yang mendengar. Dan siapa-siapa yang telah dimasukkan ke dalam peti berlapis itu tidaklah melihat orang lain yang sama diadzab, sebab ia di dalam peti sendiri-sendiri."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 296-297, Jilid 6 Hal. 86, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RENUNGAN BUDI

Yakinlah, mati yang biasa tidak lain hanyalah gaibnya nafas dari tubuh. Tetapi mati yang paling pahit ialah bila engkau masih hidup tetapi pertimbangan akalmu telah mati. Orang yang berpendirian dengan berakal dan berbudi tetap hidup walaupun dia telah mati. Dia masih ada walaupun tak ada lagi. Walaupun berpindah jasmaninya masuk kubur, namun jejaknya masih tinggal lebih jelas dari dahulu.

(Buya HAMKA, LEMBAGA BUDI: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 196, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

IMAN, AKAL DAN TAKLID

Taklid adalah musuh kemerdekaan akal.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Hal. 12, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

BUYA HAMKA SOSOK TELADAN: Pengawal Akidah Umat

kemenag.go.id/home/artikel/12724

PENDAHULUAN

Ilmu dalam Islam adalah yang ada dasar dan dalilnya, terutama dari dalam Al-Qur'an dan dari As-Sunnah, termasuk juga penafsiran ulama-ulama yang telah mendapat kepercayaan dari umat, yang disebut Salafus Shalihin.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 305, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

PERANG BADAR

Menurut riwayat Ibnul Ishaq, Abu Jahal sebagai pimpinan tertinggi kaum Quraisy di Perang Badar itu telah berdoa, "Ya Allah! Aku tidak tahu, siapa yang sebenarnya di antara kami yang telah memutuskan silaturahim. Berikanlah keputusan Engkau besok!" Menurut as-Suddi, pemuka-pemuka Quraisy sebelum pergi ke Badar telah berlutut di hadapan Ka'bah dan menyeru Allah, "Ya Allah, tolonglah mana yang lebih mulia di antara kedua tentara ini, mana yang lebih baik di antara dua golongan, dan mana yang lebih tinggi di antara dua kabilah."

KEMURKAAN-KU DAN KEMURKAANMU!

"Demikianlah kamu karena apabila diseru Allah sendiri saja, kamu kafir. Dan jika Dia dipersekutukan, kamu pun beriman. Maka keputusan hukum adalah pada Allah Yang Maha Tinggi, Maha Besar." (al-Mu'min: 12).

Ditutup ujung ayat dengan ketegasan ini supaya jelas bagi kaum musyrikin bahwa keputusan terakhir tetap pulang kepada Allah jua, sebab Yang Maha Kuasa, Maha Tinggi hanya Allah, Yang Maha Besar hanya Allah, tidak ada berhala, tidak ada al-Laata, tidak ada al-Uzza, tidak ada Manaata dan yang lain. Jika di zaman sekarang tidak ada kubur keramat, wali anu dan keramat anu. Omong kosong!

TAUHID RUBUBIYAH

Bahwa kamu masih tetap mengakui bahwa Allah Ta'aala itu memang Ada dan memang Esa dan hanya Dia sendiri yang menciptakan alam ini. Dasar kepercayaan itu memang ada padamu, yang dinamai Tauhid Uluhiyah. Setelah akan memohonkan apa-apa, kamu tidak langsung memohon kepada-Nya lagi, tetapi pada yang lain atau meminta tolong pada yang lain itu supaya menyampaikannya kepada Allah. Walaupun mengakui Dia Yang Menciptakan alam, kamu campur-aduk dengan yang lain. Kamu tidak mempunyai Tauhid Rububiyah.

TAUHID ULUHIYAH

Oleh sebab itu, cara beribadat kepada Allah, Allah itu sendirilah yang menentukan. Maka tidak pulalah sah ibadat kepada Allah yang hanya dikarang-karang sendiri. Untuk menunjukkan peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa itulah, Dia mengutus rasul-rasul-Nya. Menyembah, beribadah dan memuji kepada Maha Esa itulah yang dinamai Tauhid Uluhiyah.

Itulah pegangan pertama dalam hidup Muslim.

SUDAH TEGAS SEKALI

"... Marilah kepada apa yang diturunkan oleh Allah dan kepada Rasul ..." (al-Maa'idah: 104).

Sumber agama, sebagai yang diserukan pada ayat ini sudah tegas sekali, yaitu peraturan dari Allah dan Rasul.

Di luar itu, Bid'ah namanya.

PUNCAK SEGALA DOSA

"Katakanlah, 'Sesungguhnya yang diharamkan oleh Tuhanku hanyalah kejahatan-kejahatan mana yang zahir daripadanya dan mana yang batin dan dosa keaniayaan dengan tidak benar dan bahwa kamu persekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak Dia turunkan keterangannya dan bahwa kamu katakan atas (nama) Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.'" (al-A'raaf: 33).

Dan sekali-kali jangan lancang membantah, kalau bantahan kita hanya semata-mata sangka-sangka. Mengikuti saja pikiran sendiri dengan tidak ditujukan terlebih dahulu kepada firman Allah dan Sunnah Rasul, adalah puncak segala dosa.

Dosa mempersekutukan yang lain dengan Allah, sudah lebih besar dari keempat dosa sebelumnya. Kemudian, datang lagi dosa keenam yang lebih hebat lagi, yaitu kamu katakan di atas nama Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui. Membuat-buat aturan yang seakan-akan bersifat keagamaan, dikatakan berasal dari Allah, padahal tidak ada Allah memerintahkan yang demikian. Tidak ada pengetahuan tentang hakikat agama, hukum perintah dan larangan Allah, semuanya gelap baginya. Namun, dia memandai-mandai dan menambah-nambah peraturan agama.

Nyatalah bahwa dosa keenam adalah puncak dari kejahatan.

JANGAN MEMOHONKAN AMPUN UNTUK MUSYRIKIN

"Tidaklah ada bagi Nabi dan orang-orang yang beriman bahwa memohonkan ampun untuk orang-orang yang musyrik, meskipun adalah mereka itu kaum kerabat yang terdekat, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang itu ahli neraka. Dan tidaklah permohonan ampun Ibrahim untuk ayahnya, melainkan karena suatu janji yang telah dijanjikan kepadanya. Tetapi tatkala telah jelas baginya bahwa dia itu musuh bagi Allah, berlepas dirilah dia darinya. Sesungguhnya Ibrahim itu seorang yang penghiba lagi penyabar." (at-Taubah: 113-114).

Tiada Dia bersekutu dalam keadaan-Nya dengan yang lain. Demikian juga tentang mengatur syari'at agama, tidak ada peraturan lain, melainkan dari Dia.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 681, Jilid 8 Hal. 85, Jilid 3 Hal. 218, Jilid 5 Hal. 269, Jilid 3 Hal. 55, Jilid 3 Hal. 409-410, Jilid 4 Hal. 304, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DOSA YANG LEBIH BESAR DARI DOSA SYIRIK

[4] Mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu). (Al A’raf: 33)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini,

“... Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.” [I’lamul muwaqqi’in hal. 31, Dar Kutubil ‘Ilmiyah].

muslim.or.id/41186-dosa-yang-lebih-besar-dari-dosa-syirik.html

SIAPAKAH YANG TAHAN DAN TEGUH HATI MENEMPUH JALAN YANG BENAR?

"(Yaitu) orang-orang yang menjauh dari dosa-dosa yang besar dan yang keji-keji." (an-Najm pangkal ayat 32).

Dosa-dosa yang besar ialah mempersekutukan Allah dengan yang lain, berkata tentang Allah tetapi tidak dengan pengetahuan, lancang memperkatakan soal-soal agama, padahal ilmu tentang itu tidak ada.

Adapun yang keji-keji adalah yang menyakiti orang lain dan merusakkan budi pekerti, sebagai mencuri harta kepunyaan orang lain, berzina, membunuh sesama manusia.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 550-551, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BERSEMAYAM DI ATAS ARSY

Menurut riwayat Ibnul Mardawaih dan al-La-Lakaaiy bahwa ibu orang yang beriman, ibu kita Ummi Salamah pernah berkata tentang bagaimana arti Allah bersemayam di Arsy itu. Kata ibu kita itu, "Tentang betapa keadaannya tidaklah dapat dicapai dengan akal dan tentang Dia bersemayam tidaklah majhul dan mengakui tentang hal itu adalah termasuk iman dan menolaknya adalah suatu kekufuran." Itulah perkataan sahabat Rasulullah saw.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 437, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Pemikiran Dakwah & Perjuangan

"Selama ini kita sudah bosan, mendengar kisah orang yang tidak besar, tapi dibesar-besarkan ... Malam ini kita bahagia sekali, karena kita berbicara tentang orang besar, yang betul-betul besar, ada juga usaha untuk memperkecilkannya, tapi sia-sia memperkecilkan orang besar, jadi bagi saya, HAMKA memang orang besar."

youtube.com/watch?v=NBdaSP-xvFw

Ketua Majelis Ulama -Mufti- Indonesia: Buya HAMKA

mui.or.id/tentang-mui/ketua-mui/buya-hamka.html

PERCUMA

Suatu dakwah yang mendahulukan hukum halal dan hukum haram, sebelum orang menyadari agama, adalah perbuatan yang percuma, sama saja dengan seseorang yang menjatuhkan talak kepada istri orang lain.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 25, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

APA YANG AKAN DIDAKWAHKAN?

TAUHID ULUHIYAH DAN TAUHID RUBUBIYAH

Pertama, yang utama sekali ialah menjelaskan aqidah islamiyah, yaitu pokok-pokok kepercayaan Islam atau di dalam bahasa yang sangat populer dalam kalangan umat Muslimin ialah rukun iman. Dasar aqidah Islam itu ialah Tauhid, artinya pengakuan atas keesaan Allah SWT. Pokok utama dari kepercayaan ini diambil langsung dari Al-Qur'anul Karim. Di sanalah terdapat ajaran Tauhid yang satu dengan dua penjelasan, yaitu Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah.

Kedua, sebagai iringan dari mengenal Al-Qur'an dan memperkenalkannya pula kepada masyarakat, hendaklah dengan menerangkan pula ar-risalatul Muhammadiyah atau maksud utama diutusnya Nabi kita Muhammad saw. oleh Allah SWT. Bahwasanya kedatangan Nabi Muhammad saw. pada khususnya dan kedatangan rasul-rasul yang terdahulu dari beliau adalah dengan maksud yang satu, yaitu memperkenalkan Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah tadi kepada umat. Sejak dari Nabi Nuh a.s., Ibrahim a.s., Hud a.s., Shalih a.s., Syu'aib a.s., Musa a.s., Harun a.s., Isa a.s. serta nabi-nabi dan rasul-rasul yang lain, maksudnya yang utama ialah mengajak umat kepada Tauhid itu. Tauhid inilah pokok asli segala agama.

(Buya HAMKA, PRINSIP DAN KEBIJAKSANAAN DAKWAH ISLAM, Hal. 287-289, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

SYIRIK

Inilah yang pokok dari ad-Din, agama, yaitu mengakui adanya Tuhan dan Tuhan itu hanya satu. Tidak ada yang lain yang berserikat atau yang bersekutu dengan Dia, baik dalam ketuhanan-Nya maupun dalam kekuasaan-Nya.

Segala dosa bisa diampuni, namun syirik tidak! Inilah pokok pegangan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 317-318, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Pikirkanlah tentang makhluk yang dijadikan Allah, dan janganlah dipikirkan tentang Allah itu sendiri, supaya jangan binasa." (Hadits Shahih).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 503, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIH

"Dia yang telah menurunkan kepada engkau sebuah Kitab, sebagian darinya adalah ayat-ayat yang muhkam, yaitulah ibu dari Kitab, dan yang lain adalah (ayat-ayat) yang mutasyabih." (Aali 'Imraan pangkal ayat 7).

Di sini dijelaskanlah bahwasanya ayat-ayat dalam Al-Qur'an itu ada dua macam: pertama muhkam, kedua mutasyabih. Misalnya ayat-ayat yang mengenai hukum, memerintahkan shalat, membayar zakat, mengerjakan puasa dan naik haji dan sebagainya. Demikian juga tentang pembagian waris harta pusaka, muhkam, sebab jelas diterangkan, misalnya laki-laki mendapat dua kali sebanyak yang diterima oleh perempuan. Ayat-ayat yang muhkam disebut sebagai ibu dari Kitab. Ibu Kitab artinya menjadi sumber hukum, yang tidak bisa diartikan lain lagi.

Yang lebih masyhur dimasukkan ke dalam ayat yang mutasyabih ialah membicarakan beberapa hal berkenaan dengan ketuhanan. Seumpama ayat yang menerangkan bahwa Allah mempunyai tangan atau Allah mempunyai banyak tangan, atau mempunyai dua tangan, atau Allah mempunyai banyak mata, atau Allah duduk bersemayam di atas 'Arsy.

Imam Syafi'i yang termasuk barisan orang rasikh, pernah berkata, "Tiap-tiap Tuhan menambah ilmuku, bertambahlah aku paham akan kejahilanku."

Nabi kita saw. pernah memohonkan kepada Allah agar Ibnu Abbas diberi ilmu, "Ya, Tuhan! Berilah dia paham tentang agama dan ajarlah kiranya dia menakwilkan."

Itu pula sebabnya, ulama-ulama dan penganut Madzhab Salaf tidak mau mencari takwil atau tafsir dari ayat-ayat yang mengenai sifat Allah tadi. Misalnya tentang Allah bertangan, Allah mempunyai banyak mata, Allah bersemayam di 'Arsy.

"Sesungguhnya, Allah tidaklah menyalahi janji." (Aali 'Imraan ujung ayat 9).

Karena janji yang telah Dia janjikan itulah maka kita senantiasa berusaha menempuh jalan yang diridha-Nya, mengambil pimpinan dari Rasul-Nya, berpedoman pada Kitab-Nya, dengan ayat-ayat-Nya, yang muhkam dan mutasyabih.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 579-582, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ALLAH SWT MEMPUNYAI BANYAK MATA

Bahwa di dalam ayat ini bertemu satu soal yang menjadi pertikaian pendapat di antara ulama Salaf dengan ulama Mu'tazilah, yang mementingkan penggunaan akal di dalam merenungkan sesuatu. Yaitu tentang sabda Allah SWT pada ayat 27 tadi, "Mata-mata Kami". Orang Mu'tazilah menguatkan, bahwa yang dimaksud dengan mata di sini ialah pandangan Allah SWT, bukan mata sebagaimana yang kita pikirkan. Karena kalau dikatakan mata Allah SWT itu sebagai mata yang kita pikirkan, takut kalau Allah SWT diserupakan dengan makhluk. Hendaklah Allah SWT dibersihkan (tanziih) dari perserupaan. Tetapi kaum Salaf tidak mau memberi arti lain. Dalam bahasa Arab, 1 mata dikatakan 'Ain, 2 mata 'Ainaini, banyak mata A'yunun. Disebut dipakai shigat jama', kata banyak.

Jadi, Allah SWT mempunyai banyak mata. Kita terima saja, bahwa Allah SWT mempunyai banyak mata, karena Dia yang berkata begitu dalam wahyu-Nya. Tetapi betapa keadaan mata yang banyak itu telah masuk dalam daerah Ketuhanan, otak dan pikiran kita tidaklah sampai ke sana, demikian pendirian kaum Salaf. Dan kemajuan pemikiran agama kian lama kian mendekati kembali kepada pendirian Madzhab Salaf itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 189, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SIFAT ALLAH

Bahkan, keadaan ini adalah seperti yang dikatakan salah seorang Imam ikutan, yaitu Nu'aim bin Hammad al-Khuza'i, guru dari Imam Bukhari. Kata beliau, "Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya adalah KAFIR, dan barangsiapa yang tidak mau percaya akan sifat Allah yang telah dijelaskan-Nya sendiri tentang dirinya, dia pun KAFIR." Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, "Pembicaraan orang tentang soal ini memang banyak. Tetapi, madzhab yang baik ditempuh dalam hal ini ialah Madzhab Salaf yang shalih, yaitu: Imam Malik dan al-Auzai dan ats-Tsauri dan al-Laits bin Sa'ad dan asy-Syafi'i dan Ahmad dan Ishaq bin Rahawaihi dan ulama-ulama ikutan kaum Muslimin yang lain, yang dahulu dan yang kemudian. Yaitu, membiarkannya sebagaimana yang tersebut itu, dengan tidak menanyai betapa dan tidak pula menyerupakan-Nya dan tidak pula menceraikan-Nya dari sifat." Dan ini pun menjadi pedomanlah bagi kita tiap-tiap bertemu ayat-ayat yang seperti ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 438, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BERPINDAH KE LANGIT

Jika tersebut bahwa sesudah Allah menjadikan bumi, Allah pun berpindah ke langit, maksudnya bukan berpindah sebagai kita berpindah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 147, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ALLAH TURUN KE LANGIT DUNIA

Menurut riwayat dari Bukhari dan Muslim serta ahli-ahli hadits yang lain, yang diterima dari sesuatu jamaah yang besar dari sahabat-sahabat Rasulullah saw., "Bahwa Rasulullah saw. bersabda, 'Turunlah Allah Tabaraka wa Ta'aala pada tiap-tiap malam ke langit dunia sehingga tinggal sepertiga malam. Maka, berkatalah Allah, 'Adakah kiranya yang memohon di saat ini supaya Aku perkenankan? Adakah kiranya yang berdoa supaya Aku kabulkan? Adakah kiranya yang memohon ampun supaya Aku beri ampun?'"

Penganut Madzhab Salaf menerima saja akan arti ini keseluruhannya, yaitu bahwa Allah turun ke langit dunia, langit yang terdekat kepada kita ini pada malam hari, sampai tinggal sepertiga malam, untuk mendengarkan siapa kiranya hamba-Nya yang memohon, yang berdoa dan meminta ampun. Mereka tidak lagi memberi arti atau keterangan lebih jauh. Karena, kuasa Ilahi dan rahasia-Nya tidaklah dapat diartikan seluruhnya oleh makhluk insani yang lemah ini. Akan tetapi, Madzhab Khalaf dan kaum Mu'tazilah memberi juga arti, yaitu bahwa Allah turun itu harus diartikan pendekatan. Untuk mendekatkan kepada paham kita bahwa di waktu sahur itu Allah lebih dekat kepada hamba-hamba-Nya yang taat karena hamba itu sendiri pun merasai betapa dekat kepada Allah pada saat demikian. Jadi, menurut Madzhab Khalaf, turun ke langit pertama ialah sangat dekat Allah itu untuk mendengar doa dan permohonan hamba-Nya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 594, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PEMBERI AMPUN DOSA

"Pemberi ampun dosa." (al-Mu'min pangkal ayat 3).

Pangkal ayat 3 ini bertalian dengan ayat 53 dan surah yang sebelumnya, surah az-Zumar, yang di sana Allah menyuruh Rasul-Nya menyampaikan pesan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang selama ini telah melampaui batas-batas, telah banyak berbuat dosa, agar mereka janganlah berputus asa dari rahmat Allah, karena Allah sanggup memberi ampun dosa semuanya, karena Allah adalah Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Pintu untuk minta ampun itu selalu terbuka. "Penerima Tobat", mana hamba-hamba-Nya yang kembali kepada jalan yang benar, mereka akan diterima oleh Allah, bahkan disebutkanlah bahwa Allah turun sendiri mendekati hamba-hamba-Nya buat mendengarkan tobatnya. Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,

"Turunlah Tuhan kita, Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi tiap-tiap malam ke langit dunia (langit terdekat), ketika tinggal sepertiga malam. Dia berkata, "Siapakah yang hendak berdoa kepada-Ku, supaya Aku kabulkan doanya? Siapa yang akan memohon kepada-Ku? Agar Aku beri apa yang dia minta? Siapa yang akan memohon ampun? Supaya Aku beri ampunan?" (HR. Bukhari dan Muslim).

KECUALI ORANG-ORANG YANG KAFIR

"Tidaklah ada yang berbantah-bantahan tentang ayat-ayat Allah kecuali orang-orang yang kafir." (al-Mu'min pangkal ayat 4).

Yang dimaksud dengan berbantah-bantahan atau membantah ayat-ayat Allah ialah orang yang menanggapi ayat Allah dengan cara batil, dengan tidak jujur, semata-mata hanya hendak menolak kebenaran, atau menyalahartikan dan menyelewengkan maksudnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 74-75, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MUKADIMAH

Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yaitu kaum yang menurutkan garis lurus yang ditentukan oleh Nabi Muhammad saw.

Timbullah dua orang pahlawan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yaitu al-Asy'ari dan al-Maturidi. Pahlawan yang pertama pada mulanya adalah seorang penganut paham Muktazilah juga. Dia tampil ke muka mengembalikan pengajian kepada pokok persoalannya. Merekalah pembina yang mula-mula dari ilmu kalam. Dari mereka timbullah pengajian yang terkenal dengan Sifat 20. Meskipun mereka membantah kebebasan akal yang dianut oleh kaum Muktazilah mendahulukan naqal, tetapi cara mereka menyusun suatu soal (hipotesis) tetaplah cara filsafat juga.

Oleh sebab itulah, kaum pencipta hadits (ahlul hadits), terutama penganut dari pengikut Madzhab Hambali tidak juga menerima akan caranya Asy'ari dengan ilmu kalamnya itu.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Hal. xv, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

HAMKA BERBICARA TENTANG RUKUN IMAN

SIFAT 20

Beberapa tahun yang telah lalu (1938) Tuan Syekh Mahmoud Khayath di Medan mengeluarkan fatwa bahwasanya mengaji Sifat 20 adalah Bid'ah saja, tidak berasal dari agama dan tidak dikerjakan orang di zaman nabi dan sahabatnya dan ulama-ulama Salaf. Bahkan, beliau katakan dengan cukup alasan pula bahwasanya imam yang empat, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad tidaklah mengizinkan mengaji Sifat 20 itu.

BERBEDA DENGAN YANG BARU

Agama harus kita usahakan mengembalikannya kepada sinar yang menyinari hati Salafush Shalih. Mereka beriman bahwa Allah SWT itu ada, yang adanya berbeda dengan yang baru.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Hal. 55-57, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

GERAKAN WAHABI DI INDONESIA

Wahabi dijadikan kembali sebagai alat, untuk menekan semangat kesadaran Islam oleh beberapa golongan tertentu, yang bukan surut ke belakang di Indonesia ini, melainkan kian maju dan tersiar.

Kaum komunis Indonesia telah mencoba menimbulkan sentimen umat Islam dengan membangkit-bangkit nama Wahabi.

(Buya HAMKA, DARI PERBENDAHARAAN LAMA: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Hal. 215, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Agustus 2017).

"Ibnu Taimiyah Nusantara." (Riwayat Hidup HAMKA - Dr Rozaimi Ramle).

youtube.com/watch?v=irIWCrvw9Hw

"HAMKA - The Single Fighter." (Dato Dr Asri).

youtube.com/watch?v=Wio8_VMDGsU

ALLAH BERTANGAN?

Di dalam Al-Qur'an memang terang tersebut bahwa Allah itu bertangan (Lihat surah al-Fath: 10).

Bahkan Allah itu mempunyai banyak mata (Lihat surah al-Mu'minuun, ayat 27).

Dia bertangan, bermata dan semayam, sebab Dia sendiri yang mengatakan dan kita WAJIB IMAN.

Di antara ulama mutaakhirin yang keras menganut paham Salaf ini adalah Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim pada zaman terakhir adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan terakhir sekali adalah Sayyid Rasyid Ridha.

Ibnu Taimiyah sampai dituduh oleh musuh-musuhnya berpaham "mujassimah" (menyifatkan Allah bertubuh) karena kerasnya mempertahankan paham ini.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 34-35, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

WAJAH-NYA

"Segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah-Nya."

Yang dimaksudkan Wajah-Nya di sini ialah Zat-Nya sendiri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 643, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Nabi saw. beliau bersabda: "Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga seandainya mereka menempuh (masuk) ke dalam lubang biawak kalian pasti akan mengikutinya." Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah yang baginda maksud Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi (kalau bukan mereka)." (HR. Bukhari).

IMAM

"Dan mereka itu adalah terhadap ayat-ayat Kami amat yakin." (as-Sajdah ujung ayat 24).

Ibnu Katsir memberikan komentar dalam tafsirnya tentang imam-imam Bani Israil itu, "Tetapi setelah ada dalam kalangan mereka yang mengganti-ganti, menukar-nukar dan menta'wilkan arti ayat suci dari maksudnya yang sebenarnya, dicabut Allah-lah maqam jadi imam itu, dan jadilah hati mereka kesat dan kasar, sampai berani mentahrifkan kata-kata dari tempatnya yang sebenarnya. Tidaklah lagi mereka mengamalkan yang shahih, tidaklah lagi mereka beriktikad yang betul."

KELAKUAN

Ibnu Katsir dalam tafsirnya memberikan tafsir yang dapat kita renungkan dalam hal ini. Kata beliau, Allah telah melarang orang-orang yang beriman menyerupai orang yang menerima kitab terdahulu dari mereka, yaitu Yahudi dan Nasrani. Lantaran itu pula, beranilah mereka mengubah-ubah ayat al-Kitab itu atau memberikan tafsiran menurut apa yang enak dalam pikirannya saja.

Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya bahwa begitulah kelakuan dari pendeta-pendeta Nashara yang menguasai kitab-kitab suci itu, sehingga apa yang mereka putuskan itulah yang mesti diterima tidak boleh dibantah lagi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 136, Jilid 8 Hal. 669, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERINTAH SUJUD KEPADA MANUSIA

"Berkata (Allah), 'Hai Iblis! Apakah yang menghalangi engkau bahwa akan bersujud kepada apa yang Aku ciptakan dengan kedua belah tangan-Ku?" (Shaad pangkal ayat 75).

Allah sudah menjelaskan, bahwa manusia itu Dia ciptakan dengan kedua belah tangan-Nya, terjadi atas kehendak-Nya, mengapa Iblis tidak mau diperintahkan sujud kepada barang yang dijadikan Allah SWT dengan tangan-Nya itu?

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 586, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AQIDAH YANG BENAR


Aqidah yang benar tidaklah dapat ditawar, tidak dapat dijual, digadaikan atau dihancurkan; Adibatud-daar ditafsirkan ahli tafsir sebagai "kesudahan negeri", yaitu negeri akhirat. Lantaran tafsir yang demikian, banyak orang yang memahamkan bahwa yang dimaksud ialah kemenangan di akhir saja. Padahal, setengah ahli tafsir lagi memahamkan lebih luas dari itu. Dalam perjuangan Nabi kita Muhammad saw. menegakkan kebenaran Ilahi, cita yang mulia ini ialah telah menang dunia dan akhirat. Misalnya, Nabi saw. menyampaikan ayat ini ketika beliau masih di Mekah menjadi orang yang terpencil dan akhirnya beliau terpaksa pindah ke Madinah. Namun, setelah 8 Tahun di belakang, runtuhlah segala kekuatan dan kesanggupan Quraisy itu dan datanglah kekuatan dan kesanggupan Islam, di bawah pimpinan Nabi sendiri menaklukkan Mekah dan meruntuhkan berhala yang tersandar sekeliling Ka'bah.

Ayat yang didengungkan oleh Nabi 14 Abad yang lalu ini, masih terlukis dengan jelas sampai sekarang. Dan inilah pegangan kita kaum Muslimin menghadapi segala yang munkar, zhulumat, dan kufur yang meliputi dunia sekarang ini, "Bekerjalah kalian menurut kesanggupan kalian. Dan, kami pun akan bekerja pula menurut kesanggupan yang ada pada kami." Kelak kalian akan tahu sendiri, bagi siapa "aqibatud-daar". Kami memastikan bahwa satu pendirian yang salah, yang tidak berdasar dari tuntunan wahyu Ilahi, tidaklah akan menang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 290-291, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Di dalam memberikan bimbingan mempergunakan akal melihat dan merenung alam itu, Nabi saw. memberikan bimbingan dengan sabda beliau yang terkenal,

"Pikirkanlah tentang makhluk yang dijadikan Allah, dan janganlah dipikirkan tentang Allah itu sendiri, supaya jangan binasa." (Hadits Shahih).

Alam yang banyak dengan serba bagai ragamnya itulah ayat, atau tanda tentang adanya Allah. Mengenal pencipta ialah setelah melihat ciptaan. Tidak usah didaki lagi hendak menyelidiki Zat atau diri dari yang mencipta itu sendiri, sebab untuk menyelidiki ciptaan itu saja, sudah lebih dari cukup.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 503, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TANTANGAN

"Atau engkau datangkan Allah dan malaikat-malaikat itu berhadap-hadapan." (ujung ayat 92).

Mereka ingin melihat bagaimana rupa Allah dan malaikat-malaikat itu.

Nabi Muhammad saw. telah dipanggil Allah melakukan Isra' ke Baitul Maqdis dan Mi'raj ke langit yang tinggi sekali. Artinya dengan demikian salah satu dari permintaan mereka sudah terkabul.

Adakah merasa beriman?

Yang memang telah sedia beriman juga yang beriman. Adapun yang ingkar dan kufur, tetap dalam keingkaran dan kekufurannya.

Kekafiran dan kebodohan dan boleh juga dihitung satu perkataan yang sangat tidak sopan ialah seketika mereka meminta agar Nabi Muhammad saw. memperlihatkan bagaimana rupa Allah itu. Bawa kemari, kemari ke hadapan kami, Allah dan malaikat-malaikatnya itu.

Bani Israil pun pernah meminta kepada Nabi Musa agar Allah itu diperlihatkan kepada mereka jahratan, dengan sejelas-jelasnya kelihatan oleh mata. Maka murkalah Allah atas kelancangan itu sehingga mereka ditembak petus halilintar. (Lihat surah al-Baqarah ayat 55).

Bahkan nabi-nabi pun tidak berani meminta itu. Musa pernah memohon Allah memperlihatkan rupa-Nya kepada beliau. Tetapi setelah Allah memperlihatkan ke puncak sebuah bukit sehingga bukit itu hancur luluh, Musa pun pingsan. Lalu dia mohon ampun. Tidak akan lagi mengemukakan permohonan demikian, padahal itu adalah dari rasa cinta dan rindu belaka. (Lihat surah al-A'raaf ayat 143).

Bagi kita pun yang telah merasa ada tumbuh iman dalam jiwa kita, janganlah kita lancang sebagaimana kaum Quraisy dan Bani Israil itu.

BAHKAN JANGAN, walaupun betapa rindu kita kepada Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 333-335, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ARTI AGAMA

Ad-din, diartikan dalam bahasa kita agama, atau igama. Ad-din itu sendiri menurut artinya yang asli ialah menyembah, menundukkan diri, atau memuja. Tetapi agama itu telah umum dalam bahasa kita. Agama itu sendiri menurut kita ahli bahasa -terambil juga dari bahasa Arab, yaitu Iqamah artinya pendirian. Dan menurut kata setengah pula, diambil dari bahasa Sansekerta, yang artinya a=tidak, gama=benda.

Agama ialah buah atau hasil kepercayaan dalam hati, yaitu ibadah yang terbit lantaran telah ada i'tikad lebih dahulu, menurut dan patuh karena iman. Maka tidaklah timbul ibadah kalau tidak ada tashdiq dan tidak terbit patuh (khudhu') kalau tidak dari taat yang terbit lantaran telah ada tashdiq (membenarkan), atau iman.

Sebab itulah kita katakan bahwa agama itu hasil, buah atau ujung dari i'tikad, tashdiq, dan iman. Bertambah kuat iman, bertambah teguh agama, bertambah tinggi keyakinan, ibadah bertambah bersih. Kalau agama seseorang tidak kuat, tidak sungguh dia mengerjakan, tandanya imannya, i'tikad-nya, dan keyakinannya belum kuat pula.

Kalau seseorang mengerjakan agama karena pusaka, turunan atau lantaran segan kepada guru, bila tempat segan, takut, dan guru itu tidak ada lagi, berhentilah pekerjaan agamanya itu.

Berkata Raghib al-Ashfahani di dalam kitabnya, Ghazibul Qur'an, "Agama itu diperuntukkan bagi taat dan pahala, dipakai Juga untuk menamai syari'at, dan dipakaikan pula untuk ketundukan dan kepatuhan mengikuti perintah syari'at."

(Buya HAMKA, TASAWUF MODERN: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 80-81, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

Dalam sejarah Islam terkenal timbul golongan Khawarij, Syi'ah, Mu'tazilah, Asy'ariyah, al-Maturidiyah.

Dan golongan yang menamakan dirinya Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

Kalau ta'ashshub golongan telah memuncak, masing-masing mengatakan bahwa pihak merekalah yang lebih benar dan pihak yang lain adalah salah belaka.

Sabda Nabi tentang 73 pecahan dan golongan itu, hanya satu yang masuk surga yaitu yang masuk al-Jama'ah, atau yang berpegang pada yang aku bersama sahabat memegangnya, dapatlah tiap-tiap golongan mendabik dada mengatakan bahwa kamilah golongan yang satu itu dan yang lain salah semuanya. Sehingga perpecahan bertambah hebat. Sebab si manusia sendiri telah menentukan surga hanya monopoli kepunyaan golongannya. Namun, kalau hadits ini dipahamkan kembali dengan saksama, niscaya tiap-tiap golongan itu akan sama-sama berusaha mencari manakah amalan yang diridhai oleh Allah dan Rasul supaya dia masuk surga.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 354-355, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Jalan Allah itu (sabilillah) adalah kekal. As-shirathal mustaqim adalah lurus tak berhenti, jalan terus, terus dan lurus, sampai pada perhentian terakhir, yaitu surga Jannatun Na'im.

Inti daripada surga itu, tidak lain ialah melihat wajah Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 266, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Sesungguhnya Allah Ta'aala tidaklah pernah tidur, dan tidak seyogyanya bagi Allah akan tidur. Dia menurunkan timbangan keadilan dan menaikkannya. Dilaporkan kepada-Nya amalan malam sebelum hari siang, dan amalan siang sebelum hari malam. Hijab (dindingnya) ialah Nur atau Naar (cahaya atau api). Kalau dinding itu dibuka-Nya, maka kesucian wajah-Nya akan membakar barangsiapa yang mencoba melihat-Nya dari kalangan hamba-Nya." (HR. Bukhari dan Muslim).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 388, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HARI MANUSIA MELIHAT TUHANNYA

Berdasar kepada hadits-hadits shahih dari Rasulullah saw. tentang peluang akan melihat wajah Allah di akhirat itu, maka penganut paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah berkeyakinan bahwa akan melihat wajah Allah di akhirat kelak adalah sebagian dari hal yang wajib diimani.

Masalah akan melihat wajah Allah di hari Kiamat ini jadi perdebatan sengit di antara Ahlus Sunnah dengan kaum Mu'tazilah.

Karena Kaum Mu'tazilah yang terkenal terlalu mengemukakan akal (ratio) mengatakan tidak mungkin kita manusia sebagai makhluk akan dapat melihat wajah Allah. Sebab itu maka segala keterangan mengenai melihat wajah Allah itu, oleh kaum Mu'tazilah selalu ditakwilkan, atau dicari arti yang lain, yang cocok dengan paham mereka.

Kaum Mu'tazilah berpendapat dan mendasarkan pendapatnya atas tanziih, yaitu bahwa mustahil Allah itu dapat dilihat. Karena kalau Dia sudah dapat dilihat, artinya Dia dikandung tempat atau memakai tempat. Memakai tempat adalah sifat alam! Dan tempat itu memakan ruang, sehingga Allah tidak ada di tempat lain di waktu itu. Yang demikian menurut kaum Mu'tazilah adalah mustahil.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 405-407, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan telah bercakap-cakap Allah dengan Musa, sebenar-benarnya bercakap." (ujung ayat 164).

Niscaya terlalu ceroboh kita kalau kita hendak mencari jawab pertanyaan dalam diri kita sendiri, tentang bagaimana caranya Allah bercakap dengan Musa di balik hijab itu.

Niscaya terlalu ceroboh kita kalau kita pikir-pikirkan bahwa suara Allah yang didengar oleh Musa itu sebagai suara yang kita pikirkan, suara yang tertangkap oleh telinga kita, lalu kita khayalkan bahwa Allah itu bertubuh seperti manusia, berlidah dan bermulut.

Tidaklah selayaknya kalau hakikat wahyu akan bercakap dari balik hijab itu kita bicarakan dalam-dalam, karena alat penangkap rahasia itu tidaklah cukup bagi kita.

Oleh sebab itu, kita terimalah dengan penuh iman, bahwasanya Nabi Musa telah diberi kelebihan oleh Allah, diajak-Nya bercakap, dengan cara yang Allah sendirilah Yang Maha Tahu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 559-560, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KLIK DISINI: TENTANG PEMBERANTASAN LCBT (LINGKARAN CHURAFAT BID'AH TAHAYUL) TERKUTUK

KLIK DISINI: TENTANG TAHLILAN, KIRIM HADIAH FATIHAH, TAWASSUL DAN WASILAH

UNTOLD STORY BUYA HAMKA DAN MAULID NABI SAW.

ENGKAU AKAN MATI

"Bagi mereka apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka." (pangkal ayat 34).

Sebab orang-orang yang bertakwa itu kian sehati kian dekat kepada Allah, didengar Allah keluhannya, dikabulkan Allah permohonannya, diterima Allah permintaannya, dan diridhai Allah segala sikap hidupnya. Sebab setiap langkahnya di dalam hidup diukurnya dengan hidayah yang dituntunkan oleh Rasul kepada mereka.

"Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidaklah ada baginya yang akan menyesatkan." (pangkal ayat 37).

Doanya yang disebutkan di pertengahan al-Faatihah, agar kiranya Allah menunjuki kepada jalan yang lurus, sudah terkabul.

Tangan Allah sendiri yang membimbingnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 35, 38, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BERSEMAYAM DI ATAS ARSY

"Kemudian bersemayamlah Dia di atas Arsy."

Artinya, setelah Allah menciptakan semua makhluk-Nya, langit dan bumi dan sebagainya itu, bersemayamlah Dia menurut kelayakan bagi-Nya di atas Arsy.

Istawaa diartikan "bersemayam". Karena itulah kata kehormatan yang tertinggi yang biasanya kita pakai dalam bahasa Melayu klasik terhadap raja yang bersemayam di singgasana. Arsy itu pun bisa diartikan singgasana atau mahligai atau takhta. Kalau orang biasa disebutkan duduk di kursi maka raja disebut bersemayam di mahligai.

Boleh kita ambil isi maksudnya, Allah "Malikul Mulki", raja dari segala raja, Maha Kuasa di atas segala kekuasaan, bersemayam di atas Arsy-Nya, mengatur segala sesuatunya dengan segala kebesaran dan kekuasaan yang Maha Sempurna. Di surah Huud ayat 7 disebut pula bahwa Arsy itu di atas air dan di surah al-Haqqah ayat 17, dikatakan bahwa Arsy itu dipikul oleh 8 malaikat.

Menjalar pertanyaan-pertanyaan orang, bagaimana Allah itu duduk semayam? Apakah kalimat istawaa yang diartikan semayam itu atau duduk itu keadaannya menurut arti yang kita pikirkan bila kita melihat orang duduk di kursi atau seorang raja tengah duduk di hadapan menteri-menteri dan hulu balang-hulu balang, biti-biti perwara? Besarkah Arsy-Nya daripada dirinya sendiri? Bertubuhkah Allah dan bertempatkah Dia? Kalau demikian niscaya serupa Dia dengan yang baru. Itulah tanya yang akan timbul.

Ulama-ulama salaf (yang datang kemudian) memberi tafsiran bahwa maksud perkataan ini untuk menjelaskan Maha Kebesaran dan Maha Kekuasaan Allah. Bilamana telah selesai Dia menjadikan semua langit dan bumi dalam masa 6 hari, yaitu 6 giliran zaman, yang satu zaman itu entah berjuta tahunkah, Dia saja yang tahu, kemudian Dia pun duduklah mentadbirkan alam itu menurut kehendak qudrat dan iradat-Nya. Kata mereka, kepada raja-raja yang besar-besar pun selalu dikatakan orang bahwa raja anu duduk bersemayam di atas singgasananya sekian tahun lamanya, artinya ialah bahwa raja itu berkuasa sekian tahun. Arsy itu sendiri adalah lambang ibarat dari kekuasaan. Tidak perlu kita berpikir bahwa Allah bertubuh dan Arsy-Nya itu lebih besar dari Dia. Sebab di dalam Ayat Kursi yang terkenal di dalam surah al-Baqarah ayat 255 disebutkan juga bahwa Kursi Allah meliputi semua langit dan bumi.

Akan tetapi, ulama salaf tidak mau menyinggung menafsirkan itu berdalam-dalam, melainkan menerima saja ayat itu keseluruhannya. Daerah alam jabarut, yaitu alam kebesaran Ilahi yang seperti demikian tidaklah ada bagi kita alat yang tepat buat menasirkannya. Kita tafsirkan dengan agak-agak, padahal entah bukan begitu.

Menurut riwayat Ibnul Mardawaih dan al-La-Lakaaiy bahwa ibu orang yang beriman, ibu kita Ummi Salamah pernah berkata tentang bagaimana arti Allah bersemayam di Arsy itu. Kata ibu kita itu, "Tentang betapa keadaannya tidaklah dapat dicapai dengan akal dan tentang Dia bersemayam tidaklah majhul dan mengakui tentang hal itu adalah termasuk iman dan menolaknya adalah suatu kekufuran." Itulah perkataan sahabat Rasulullah saw.

Dan mengeluarkan pula al-La-Lakaaiy di dalam as-Sunnah dan al-Baihaqi di dalam kitab al-Asma' was-Shifat, "Bahwa Rabi'ah, guru dari Imam Malik ditanyai orang tentang arti bersemayam di Arsy, betapa semayamnya?" Beliau menjawab, "Tentang bersemayam, bukanlah tidak diketahui dan betapa keadaannya bukanlah yang dapat dipikirkan. Dari Allah datang risalah dan Rasul adalah menyampaikan dan kewajiban kita adalah membenarkan." Rabi'ah adalah tabi' tabi'in.

Dan, menurut riwayat itu, datang pula orang bertanya kepada Imam Malik tentang soal ini. Tampak susah dia hendak menjawab karena marah beliau kepada orang yang bertanya setelah beliau bisa menyelesaikan napasnya, dijawabnyalah pertanyaan orang itu, "Tentang bagaimana caranya Dia duduk, tidaklah dapat dipikirkan dengan akal, tentang arti bersemayam tidaklah hal yang majhul, dan iman kepada-Nya adalah wajib bagi kita, tetapi bertanya tentang itu adalah bid'ah. dan saya takut engkau akan tersesat!" Lalu, beliau suruh orang untuk mengeluarkan orang yang bertanya itu dari dalam majelis pengajian beliau. Dan dalam riwayat yang lain tersebut beliau menjawab pertanyaan itu demikian, "Tentang ar-Rahman bersemayam di atas Arsy, adalah keadaannya sebagaimana telah disifatkan-Nya itu, dan tidak perlu kita bertanya 'betapa', itu tidak bisa dipasangkan kepada Allah, sedang engkau sendiri adalah seorang yang jahat, tukang bid'ah."

Di sini kita, menampak bahwa ulama-ulama salaf ikutan kita, sejak sahabat-sahabat Rasulullah yang dicerminkan oleh Ibu Mukminin Ummi Salamah tadi, lalu kepada tabi'in, tabi' tabi'in dan ulama yang terdahulu (mutaqaddimin), tidaklah memandang layak kita membicarakan hal-hal semacam itu. Dan apabila Imam Malik marah kepada orang yang bertanya itu karena bertanya semata hendak membongkar-bongkar soal yang bisa menimbulkan keraguan dan memperpanjang debat, bukan karena hendak menuntut ilmu.

Bahkan, keadaan ini adalah seperti yang dikatakan salah seorang Imam ikutan, yaitu Nu'aim bin Hammad al-Khuza'i, guru dari Imam Bukhari. Kata beliau, "Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya adalah kafir, dan barangsiapa yang tidak mau percaya akan sifat Allah yang telah dijelaskan-Nya sendiri tentang dirinya, dia pun kafir. Dalam sifat Allah tentang diri-Nya atau diterangkan oleh Rasul-Nya, tidaklah terdapat perserupaan dengan sifat makhluk. Barangsiapa yang mengakui apa yang tersebut di dalam nash yang demikian, jelasnya dalam Al-Qur'an dan demikian pula dari kabar-kabar (hadits) yang shahih, menurut keadaan yang layak bagi kemuliaan Allah, serta menafikan dari Allah segala kekurangan, orang itulah yang telah berjalan di atas garis petunjuk yang benar."

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, "Pembicaraan orang tentang soal ini memang banyak. Tetapi, madzhab yang baik ditempuh dalam hal ini ialah Madzhab Salaf yang shalih, yaitu Imam Malik dan al-Auzai dan ats-Tsauri dan al-Laits bin Sa'ad, dan asy-Syafi'i, dan Ahmad dan Ishaq bin Rahawaihi, dan ulama-ulama ikutan kaum Muslimin yang lain, yang dahulu dan yang kemudian. Yaitu, membiarkannya sebagaimana yang tersebut itu, dengan tidak menanyai betapa dan tidak pula menyerupakan-Nya dan tidak pula menceraikan-Nya dari sifat. Dan, segala yang cepat terkenang di dalam otak orang yang hendak menyerupakan Allah dengan yang lain, sekali-kali tidaklah sesuai dengan keadaan Allah sebab tidak ada makhluk yang menyerupai Allah. Tidak sesuatu yang menyerupai-Nya dan Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

Dan ini pun menjadi pedomanlah bagi kita tiap-tiap bertemu ayat-ayat yang seperti ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 436-438, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Kemungkinan ketiga: Diikrarkan dengan lidahnya, di-i'tiqad-kannya dalam hatinya. tetapi dia tidak mempunyai dalil-dalil untuk mempertahankan. Maka orang yang seperti ini terhitung jadi muqallid; menurut-nurut saja. Masyhurlah pertikaian di antara ulama tentang sah tidaknya iman orang ini. Maqam yang ketiga, yaitu ikrar dan i'itiqad hendaklah dengan dalil atau hujjah untuk mempertahankannya." Sekian kita salinkan penafsiran ar-Razi secara ringkas.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 538, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Tetapi patut juga kita ketahui penafsiran dari penafsir dari kalangan Mu'tazilah. Yaitu Jarullah az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf; Tetapi ar-Razi dalam tafsirnya tidak setuju sama sekali cara ta'wil yang dipakai kaum Mu'tazilah itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 534-535, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BERSEMAYAM DI ATAS ARSY

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya,

"Pembicaraan orang tentang soal ini memang banyak. Tetapi, madzhab yang baik ditempuh dalam hal ini ialah Madzhab Salaf yang shalih, yaitu Imam Malik dan al-Auzai dan ats-Tsauri dan al-Laits bin Sa'ad, dan asy-Syafi'i, dan Ahmad dan Ishaq bin Rahawaihi, dan ulama-ulama ikutan kaum Muslimin yang lain, yang dahulu dan yang kemudian, Yaitu, membiarkannya sebagaimana yang tersebut itu, dengan tidak menanyai betapa dan tidak pula menyerupakan-Nya dan tidak pula menceraikan-Nya dari sifat. Dan, segala yang cepat terkenang di dalam otak orang yang hendak menyerupakan Allah dengan yang lain, sekali-kali tidaklah sesuai dengan keadaan Allah sebab tidak ada makhluk yang menyerupai Allah. Tidak sesuatu yang menyerupai-Nya dan Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."

Dan ini pun menjadi pedomanlah bagi kita tiap-tiap bertemu ayat-ayat yang seperti ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 438, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENCIPTA LANGIT DAN BUMI DALAM ENAM HARI

"Dan Dialah yang telah menciptakan semua langit dan bumi dalam enam hari." (pangkal ayat 7).

"Sesungguhnya, Allah telah menentukan ketentuan-ketentuan dari seluruh makhluk. Sebelumnya, Dia menciptakan semua langit dan bumi, 50.000 Tahun lebih dahulu dan Arsy-Nya adalah di atas air." (HR. Muslim).

Ayat ini telah memberikan isyarat bahwasanya penentuan (takdir) yang akan ditempuh sekalian makhluk telah diaturkan terlebih dahulu sampai kepada hal yang berkecil-kecil, 50.000 Tahun sebelum ketujuh langit dan bumi itu dijadikan. Maka bertambahlah dapat dipahamkan bahwa menciptakan ketujuh langit diserati bumi itu adalah dalam masa enam hari, yang berapa sebenarnya bilangan sehari itu hanya Allah yang Maha Mengetahuinya.

Dibayangkanlah di dalam ayat ini bahwasanya setelah Allah menciptakan ketujuh langit dan bumi (yang selalu di dalam menerjemahkan kita sebutkan semua langit) dalam masa enam hari itu, maka Arsy Allah di waktu itu adalah di atas air.

Maka sebagai Muslim yang hidup mempunyai aqidah, kita terimalah keterangan ayat Allah dan sabda Rasul ini sebagaimana adanya.

Tidaklah sanggup dengan tepat kita ini akan menafsirkannya secara ilmiah sebagaimana dikehendaki oleh manusia-manusia yang dengan kekuatan insan yang terbatas, kadang-kadang hendak mengorek juga apa yang tidak dapat dijangkau oleh pikirannya.

Berkata Muhammad bin Ishaq tentang tafsir ayat ini, yaitu Allah menciptakan ketujuh langit dan bumi ini dalam enam hari dan Arsy-Nya berada di atas air. Kata beliau,

"Allah itu adalah menurut sifat yang telah dinyatakan-Nya sendiri. Di waktu itu rupanya baru air semata-mata dan di atas air itu adalah Arsy Allah, dari di atas dari Arsy itu Mahakuasalah Allah, yang mempunyai Ketinggian (Jalal), Kemuliaan (Ihram), Kegagahperkasaan (al-Izzah), Kekuasaan (as-Sulthan), Kerajaan (al-Malik), kudrat, Pemberi maaf (al-Hilm) dan Pengetahuan (al-'Ilm), dan Rahmat, Nikmat, dan berbuat sekehendak-Nya."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 528-529, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Tiap-tiap orang yang beriman itu adalah dia Islam, tetapi tidaklah tiap-tiap orang Islam itu beriman." (Syeikhul Islam IBNU TAIMIYAH).

Apabila kita teguh berbenteng dengan iman, kita akan jadi Hizbullah, golongan Allah dan apabila kita terpedaya oleh Setan kita pasti jadi anggota Hizbusy-Syaitan. Na'udzubillah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 349, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IKHLAS KEPADA KITAB ALLAH

"... Taslim (serahkan) kepada Allah dalam hal ayat-ayat yang mutasyabih (ayat yang tidak lantas angan memahamkan)."

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 156, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

"Maka serulah Allah dalam keadaan memurnikan agama kepada-Nya." (pangkal ayat 14).

Aqidah (kepercayaan), ibadah (perhambaan dan persembahan), syariah (peraturan dan tata cara) yang dilakukan hendaklah murni, ikhlas kepada Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 87, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IKHLAS KEPADA KITAB ALLAH

Benarkan apa yang tersebut di dalamnya, itu hukum yang tertera di sana dan pahamkan isi dan maksudnya, ilmu dan perumpamaannya, selidiki umumnya dan khususnya, ketahui nasikh-mansukhnya, mujmal dan muqayyadnya, taslim (serahkan) kepada Allah dalam hal ayat-ayat yang mutasyabih (ayat yang tidak lantas angan memahamkan).

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 156, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

TAK ADA SESUATU YANG MENYERUPAINYA

Perlainan zat Tuhan itu dengan zat yang baru ini, yakni alam, sudahlah nyata sekali. Pikiran dapat cepat menetapkan perbedaan di antara yang menjadikan dengan yang dijadikan. Tidak ada persamaan Khalik dengan makhluk-Nya, baik pada zat atau pada sifat atau pada perbuatan.

Tuhan telah menunjukkan sifat-sifat di dalam sabda yang disampaikannya kepada Nabi-Nya. Sepintas lalu seakan-akan serupa sifat itu dengan sifat makhluk-Nya; misalnya melihat, mendengar, berkata, hidup, dan lain-lain. Tetapi bila dijalankan pikiran selangkah lagi, akan kenyataanlah bahwasanya sifat itu mesti berbeda keadaannya. Persamaan adalah mustahil. Bagaimanalah akan sama sifat yang dipunyai oleh zat Yang Maha Besar, dengan sifat yang dipunyai oleh zat yang terjadi hanyalah karena izin dari Yang Maha Besar itu. Kadang-kadang kita hendak tahu benar bagaimana perbedaan sifat itu. Padahal, terlalu banyak hijab atau dinding yang membatasi kita di dalam jalan hendak menyelidik dan mengupas hakikat itu. Jangankan mengetahui perbedaan sifat Dia dengan sifat alam, sedangkan alam itu sendiri belum lengkap kita ketahui, dan yang kita dapat hanya sejumput. Jangan hakikat alam itu yang akan kita ketahui, sedangkan hakikat diri kita sendiri pun adalah satu perkara besar.

Maka kalau dikatakan Tuhan Allah bersifat mendengar, bukanlah artinya pendengarannya itu sama dengan pendengaran kita yang memakai telinga macam ini. Kalau Dia melihat, bukanlah artinya alat penglihatannya adalah mata seperti mata kita yang diberikannya ini. Kalau Dia berkata tidaklah Dia berlidah dan bermulut sebagaimana kita. Dia membina langit, Dia menghamparkan bumi, Dia duduk di 'Arasy dan lain-lain sebagainya. Semuanya itu tidaklah serupa dengan yang kita pikirkan atau terdapat dalam kebiasaan kita. Kalau Dia berkata bahwa Dia bertangan yang terletak di atas tangan kita, bukanlah artinya Dia beranggota tubuh seperti anggota tubuh kita ini. Alhasil; sifat alam yang dijadikan oleh Tuhan, tidaklah serupa dengan sifat Tuhan, sebab Tuhan bukan alam, dan alam bukan Tuhan. Bertengkar-tengkar dan kadang-kadang mengambil tempo berlama-lama, sampai berpisah kepada beberapa firkah dan madzhab di antara ahli-ahli pikir Islam membicarakan tentang sifat-sifat Tuhan itu, tentang Dia memandang dengan matanya, Dia bertangan, Dia duduk di 'Arasy, Dia turun ke langit pertama di sepertiga malam dan lain-lain.

Adakah mereka mendapat keputusan? Tidak ada! Keputusan yang dapat mereka keluarkan hanyalah perbedaan belaka, yang ini berkata begitu, dan yang itu berkata begini, namun rahasia itu tetap tertutup, dan selamanya akan tertutup, sebab manusia tidaklah mempunyai cukup alat buat menyelidiki itu. Alat apa? Kalau alat itu masih alam juga?

Ilmu kimia telah demikian maju. Dahulu kala ahli fisika hanya mengetahui bahwa asal-usul kejadian alam ini adalah daripada satu zat saja. Ada yang mengatakan dari air, ada yang mengatakan dari uap, dan ada pula yang mengatakan dari api. Ada pula yang mengatakan bilangan atau angka-angka, dan ada pula yang mengatakan dari gabungan anasir empat, yaitu api, angin, air, dan tanah. Demikian majunya sehingga akhirnya timbullah penyelidikan tentang atom, dan atom menjelma ke dalam 92 lebih pecahan unsur; namun hakikat daripada zat atom yang paling akhir itu tidak juga didapat, hanya diberikan nama kepada barang yang hanya didapat dengan hitungan belaka.

Apakah hakikatnya yang sebenarnya? Masihlah satu yang gaib, tak dapat diseberangi lagi. Di saat yang demikian timbullah "kaji putus sendirinya", dikejar hakikat, yang didapat hanyalah hasil daripada hakikat. Pada zat yang sehalus itu terdapat benda bergabung dengan tenaga, atau benda itu, sendirilah tenaga. Kesudahan kaji sesudah itu adalah Tuhan mesti lain daripada ini.

Timbullah rasa tunduk dan menyerah dan menerima baik dengan tidak usah mencari tafsir tentang sifat-sifat Allah itu. Tidak kita takwilkan, dan tidak kita tasybih (menyerupakan Tuhan dengan alam) dan tidak pula tajsim (memberi bertubuh pada Tuhan).

Ada orang yang mencoba menakwilkan. Maksud mereka adalah baik, yaitu supaya zat dan sifat Tuhan itu tetap dalam qudus sucinya. Tuhan mengatakan bahwa Dia bertangan: lalu mereka takwilkan bahwa maksud tangan di sini ialah kekuasaan. Maksud ahli takwil ini baik juga. Yaitu supaya jangan sampai kita terperosok kepada cara-cara yang pernah ditempuh oleh orang Yahudi dan Nasrani.

Dalam kitab Perjanjian Lama yang mereka katakan itulah Taurat, ada tersebut bahwasanya pada satu hari Tuhan pernah bergumul (bertinju) dengan Nabi Yakub. Payah sekali Tuhan itu melepaskan dirinya dari pelukan keras Yakub.(2) Dan kalau dibaca pula kitab Injil, kita melihat seakan-akan Tuhan dibayangkan menjadi kepala dari satu keluarga, yang terdiri dari seorang anak dan seorang ibu. Barangkali menjaga jangan seperti inilah maksud ahli takwil, sehingga mereka memberi takwil demikian tentang sifat-sifat Tuhan. Tetapi kalau senantiasa kita perturutkan cara ahli takwil ini, besar juga bahayanya bagi iman orang biasa (orang awam). Begitu mendalam mengaji Sifat 20, dicampuri oleh kata-kata mantik dan filsafat. Tuhan itu tidak di atas, tidak di bawah, tidak di langit atau tidak di bumi atau tidak bertangan tidak bermata, tidak dekat tidak jauh, tidak dikandung zaman, tidak dikandung tempat, tidak senyum, tidak tertawa, tidak dan tidak pula ada sifat-sifat yang dinyatakan sendiri. Apa kata si awam jika dia turut pula berkecimpung dalam filsafat dan mantik seperti ini? Bagaimana ini? (Kata si awam) kalau semua tidak. Artinya ialah tidak ada sama sekali.

Haruslah diingat bahwasanya sesuatu yang mustahil adanya menurut akal, jauhlah berbeda dengan perkara yang tak sanggup akal memikirkannya. Akal memberikan hukum atau undang-undang, bahwasanya barang dua berlawan mustahil berkumpul. Seumpama cahaya. Mustahil cahaya itu ada dan tidak ada pada satu ketika. Itu namanya mustahil.

Tetapi apakah hakikat yang sebenarnya daripada cahaya? Akal tidak sanggup mengetahui apakah hakikat cahaya itu. Dengan tidak sanggupnya akal mengetahui apakah hakikat cahaya itu, bukanlah artinya cahaya tidak ada. Dan jika tuan tidak tahu hakikat sesuatu, bukanlah artinya bahwa tuan telah mengetahui bahwa dia tidak ada.

Beberapa tahun yang telah lalu (1938) Tuan Syekh Mahmoud Khayath di Medan mengeluarkan fatwa bahwasanya mengaji Sifat 20 adalah bid'ah saja, tidak berasal dari agama dan tidak dikerjakan orang di zaman Nabi dan sahabatnya dan ulama-ulama salaf. Bahkan beliau katakan dengan cukup alasan pula bahwasanya Imam yang empat, Imam Malik, Abu Hanifah, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal tidaklah mengizinkan mengaji Sifat 20 itu. Meskipun kita tidak menyetujui seluruhnya pendapat beliau itu, karena itu adalah menghalangi pertumbuhan ilmu pengetahuan, dapatlah kita pahamkan apa maksud yang terkandung dalam hati beliau syekh ketika beliau mencela ini (Ilmu Kalam).

Islam di zaman jayanya telah memelihara kemerdekaan berpikir begitu luas. Tasawuf telah begitu berkembang dan luas, sehingga saking luasnya telah menimbulkan satu golongan yang berpaham tasawuf "wahdatul wujud". "Di antara yang menyembah dengan yang disembahnya adalah satu jua." Dan Ilmu Kalam pun telah berluas-luas berpanjang-panjang pula sehingga bukan sedikit pula yang telah terlepas daripada batas yang boleh dijangkau oleh akal manusia, sehingga akhirnya bertele-tele. Kesudahannya hilanglah kemerdekaan berpikir, karena sudah sangat merdeka. Sampai dibicarakan apakah perbedaan di antara zat dan sifat? Apakah sifat itu 'ain zat juga atau bukan? Atau tidak 'ain zat dan tidak pula yang lain? Apakah perbedaan di antara sifat ma'ani dan sifat ma'nawiyah? Apakah perbedaan di antara sifat melihat dengan sifat penglihatan? Antara bashir dengan bashar?

Timbullah yang satu mengatakan yang lain tersesat. Timbullah pertentangan yang hebat di antara Madzhab Mu'tazilah dengan Madzhab Asy'ari. Dan kita yang di belakang ini mesti taklid saja ke dalam lingkungan yang mana kita dimasukkan. Berlain sedikit pendapat kita, kita dituduh Mu'tazilah. Dan yang lain berlain pula sedikit pendapatnya, dia dituduh pula mujassamah (memberi Tuhan bertubuh).

Sedangkan membahas zat insan ini lagi susah, apakah lagi membahas zat Allah.

Tetapi apabila kita kembali kepada pokok asal pengajian, tidaklah lekas kita menyesali ulama-ulama Islam yang terdahulu itu. Keadaan yang terdapat pada zamannya memaksa mereka membanting otak untuk berpikir. Dan maksud mereka adalah baik. Bukanlah mereka hendak merusak agama atau menghilangkan bekas rasa agama itu dari dalam sanubari, lalu menggantinya dengan debat bersitegang urat leher.

Rasa agama harus kita usahakan mengembalikannya kepada sinar yang menyinari hati salafush-shalihin. Mereka beriman bahwa Allah Ta'ala itu ada, yang adanya berbeda dengan yang baru.

Kadang-kadang baik juga kita melihat paham pragmatisme, yang mengutamakan nilai sesuatu bagi jiwa, daripada mengetahui hakikat sesuatu. Listrik ada, dan faedah listrik itu telah nyata pula. Kita tak perlu mengetahui apakah hakikat listrik. Karena akan membuang tempo saja. Kalaupun dipandang perlu menyusun cara berpikir tentang adanya Tuhan, dan memang perlu di zaman hebatnya gejala ilhad dan ateis ini, bukalah cukup dengan Sifat 20 saja. Segala ilmu yang telah didapat manusia di zaman modern, fisika, kimia, ilmu alam, dan matematika, adalah semuanya alat yang paling baik dan utuh sekali buat menenteramkan jiwa tentang adanya Tuhan. Sebab, hakikat kepercayaan tentang adanya Tuhan, tetaplah tersemat dalam sanubari manusia, baik dia seorang awam biasa atau dia seorang ahli atom di Abad ke-20 sekalipun.

(2) Perjanjian lama: Kejadian Fasal 32 dari ayat 24 sampai 32.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM Jilid 1, Hal. 82-87, Republika Penerbit, Cet.1, April 2018).

SURAH AL-IKHLAASH

Ibnul Qayyim menyambung lagi,

"Menegakkan aqidah ialah dengan ilmu. Persediaan ilmu hendaklah sebelum beramal. Sebab ilmu itu adalah imam, penunjuk jalan, dan hakim yang memberikan keputusan di mana tempatnya dan telah sampai di mana. Maka "Qul Huwallaahu Ahad" adalah puncak ilmu tentang aqidah. Itu sebab maka Nabi mengatakannya sepertiga Al-Qur'an. Hadits-hadits yang mengatakan demikian boleh dikatakan mencapai derajat mutawatir. Dan "Qul Ya Ayyuhal Kaafiruuna" sama nilainya dengan seperempat Al-Qur'an. Dalam sebuah hadits dari Tirmidzi, yang dirawikan dari Ibnu Abbas dijelaskan "Idzaa Zulzilatil Ardhu" sama nilainya dengan separuh Al-Qur'an, "Qul Huwallaahu Ahad" sama dengan sepertiga Al-Qur'an dan "Qul Yaa Ayyuhal Kafirun" sama nilainya dengan seperempat Al-Qur'an."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 320-321, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DIMANA ALLAH?

Bagaimana bersemayamnya Allah Maha Pengasih, atau ar-Rahman di atas Arsy ini, kita ikuti sajalah Madzhab Salaf.

Ketika ditanyakan orang kepada Imam Malik, apakah tafsirnya lebih dalam tentang Allah bersemayam di Arsy itu, beliau telah menjawab:

"Arti Arsy kita semua tahu, arti semayam pun kita tahu. Bagaimana Arsy-Nya dan bagaimana semayam-Nya, tidaklah kita tahu.

Bertanya tentang ini pun adalah haram."

Menurut pendirian dari Abul Hasan al-Asy'ari dan para pengikutnya, turuti sajalah sebagaimana yang tersebut:

Allah Yang Rahman bersemayam di atas Arsy-Nya, dengan tidak ada pembatasan dan tidak ada pertanyaan: "Betapa semayam-Nya."

Tetapi patut juga kita ketahui penafsiran dari penafsir dari kalangan Mu'tazilah. Yaitu Jarullah az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf. Dia menulis,

Oleh karena bersemayam di atas Arsy, dan arti Arsy itu ialah singgasana raja, yang kedudukan itu tidak akan tercapai kalau tidak mempunyai kekuasaan, maka dijadikanlah dia sebagai kinayah (perumpamaan) dari kekuasaan yang mutlak. Orang selalu mengatakan, "Si anu bersemayam di negeri Anu." Yang dimaksud ialah bahwa si anu itu berkuasa di sana, meskipun dia tidak selalu duduk di atas singgasana itu. Mereka membuat susunan kata atas hasilnya kekuasaan ialah dengan cara begitu. Karena begitulah yang lebih jelas dan lebih kuat untuk menunjukkan apa yang dimaksud Si Anu, "Raja".

Demikian juga perumpamaan perkataan tuan, "Tangan si Fulan lepas, dan tangan si Anu terbelenggu." Yang tuan maksud dengan mengatakan tangan si anu lepas, niscaya ialah hendak mengatakan bahwa dia itu dermawan. Dan tangan terbelenggu, yang tuan maksud tentu bahwa dia bakhil. Tidaklah terdapat perbedaan di antara kedua yang dikatakan itu melainkan karena kata-kata yang tuan pilih; lepas dan terbelenggu! Sehingga walaupun tidak pernah terlihat tangannya dilepaskannya, atau mungkin tangannya kudung. Namun karena dermawannya dia dikatakan juga "tangan terbuka". Karena di antara "terbuka" dengan "dermawan" tidak berpisah lagi dalam memahamkannya. Dan itu dapatlah kita lihat pada firman Allah sendiri: "Dan berkata orang-orang Yahudi: "Tangan Allah terbelenggu"; biarlah tangan mereka sendiri yang diikat." Maksud ayat ialah bahwa orang Yahudi mengatakan Allah itu bakhil. Kemudian datang Sambungan ayat, "Bahkan kedua belah tangan-Nya terbuka." Artinya dermawan! Dengan tidak tergambar di pikiran bahwa Allah itu bertangan, atau ada belenggu atau ada lepas.

Sekian az-Zamakhsyari.

Tetapi ar-Razi dalam tafsirnya tidak setuju sama sekali cara ta'wil yang dipakai kaum Mu'tazilah itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 534-535, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ALLAH BERTANGAN?

Di dalam Al-Qur'an memang terang tersebut bahwa Allah itu bertangan (Lihat surah al-Fath: 10).

Bahkan Allah itu mempunyai banyak mata, (Lihat surah al-Mu'minuun, ayat 27).

Pertanyaan ini baik benar untuk mengetahui bagaimana luasnya perbincangan ulama Islam dalam soal seperti ini.

Ulama salaf (yang terdahulu), sejak sahabat-sahabat Rasulullah sampai kepada ulama mutaqaddimin, pada umumnya berpendapat bahwa ayat-ayat seperti itu (yang mengatakan Allah bertangan, Allah mempunyai banyak harta, Allah bersemayam di atas arsy) haruslah (wajib) diterima dalam keseluruhannya, dengan tidak menanyakan, "kaifa", bagaimana rupa tangan itu, mata itu, atau duduk seperti itu.

Dia bertangan, bermata, dan semayam, sebab Dia sendiri yang mengatakan dan kita wajib iman.

Kita tidak perlu menanyakan berapakah tangan itu, samakah dengan tangan makhluk.

Sebab akal tidak sampai jangkauannya ke daerah itu.

Apalagi Nabi kita dalam satu hadits telah menutup pintu membicarakan zat Allah,

"Pikirkanlah alam ciptaan Allah, jangan dipikirkan zat-Nya agar kamu jangan binasa."

Di antara ulama mutaakhirin yang keras menganut paham salaf ini adalah Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim pada zaman terakhir adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan terakhir sekali adalah Sayyid Rasyid Ridha.

Ibnu Taimiyah sampai dituduh oleh musuh-musuhnya berpaham "mujassimah" (menyifatkan Allah bertubuh) karena kerasnya mempertahankan paham ini.

Namun ulama khalaf, yaitu ahli-ahli pikir yang datang kemudian (termasuk kaum Muktazilah) membebaskan diri dari ikatan keras kaum salaf itu.

Mereka dengan tegas mencari arti lain dari kalimat tangan atau mata itu.

Cara yang demikian dijelaskan oleh kaum Khalaf,

"Tangan di situ bukanlah sebagaimana yang kita pikirkan ini, bukan tangan sebagai yang ada pada manusia (sebagaimana pertanyaan Saudara Ninin Ridwan), sebab apabila Allah serupa dengan alam, niscaya Dia tidak Tuhan lagi, inilah yang disebut oleh kaum Muktazilah teori tanzih, yaitu menyuci-bersihkan Allah dari perserupaan dengan makhluk. Mereka (kaum khalaf) mengemukakan arti tangan itu adalah 'kekuasaan', selalu kita katakan misalnya, "Seluruh kekuasaan sekarang ada di tangan Presiden."

Tidak ada orang yang akan mengartikan bahwa tangan Presiden yang dimaksud di sana adalah tangan yang melenggang dengan lima jari dan lengan itu.

Dengan demikian, bukanlah berarti bahwa kaum khalaf menyerupakan tangan dengan tangan manusia.

Usahkan mencari takwil, membicarakan saja pun mereka tidak mau "Allah bertangan, karena ia sendiri bersabda begitu, dan niscaya tangan itu tidak serupa dengan tangan makhluk. Habis perkara."

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 34-35, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

"Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda bagi kaum yang berpengetahuan." (ujung ayat 97).

Dari sini, tampaklah betapa anjuran Al-Qur'an mengetahui ilmu alam untuk memperdalam pengertian tentang adanya Allah.

Lebih akan masuklah rasa iman ke dalam hati dan jiwa karena pengetahuan, daripada jika kita bertekun mempelajari "Sifat 20".

Dengan begini, tidaklah mungkin pengetahuan lepas dari agama melainkan dianjurkan agama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 223, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Begitu mendalam mengaji Sifat 20 dicampuri oleh kata-kata mantik dan filsafat.

Allah SWT tidak di atas, tidak di bawah, tidak di langit atau tidak di bumi.

Allah juga tidak bertangan, tidak bermata, tidak dekat, tidak jauh, tidak dikandung zaman, tidak dikandung tempat, tidak senyum, tidak tertawa, dan tidak pula ada sifat-sifat yang dinyatakan.

Apa kata si awam jika dia turut pula berkecimpung dalam filsafat dan mantik seperti ini?

Bagaimana ini (kata si awam) kalau semua tidak, artinya tidak ada sama sekali.

Haruslah diingat bahwasanya sesuatu yang mustahil keberadaannya, menurut akal, jauh perbedaannya dengan perkara yang tidak sanggup dipikirkan akal.

(Buya HAMKA, FALSAFAH KETUHANAN, Hal. 87, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2017).

Beberapa tahun lalu (1938) Syekh Mahmoud Khayath di Medan mengeluarkan fatwa bahawasanya mengkaji Sifat 20 adalah bid'ah, tidak berasal dari agama dan tidak dikerjakan para sahabat, orang di zaman Nabi dan serta ulama-ulama salaf.

Bahkan, beliau katakan dengan alasan yang cukup bahwa Imam Malik, Abu Hanifah, Imam asy-Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal tidak mengizinkan mengkaji Sifat 20 itu.

Meskipun kita tidak menyetujui seluruhnya pendapat beliau karena itu menghalangi pertumbuhan ilmu pengetahuan, kita dapat mengerti maksud yang terkandung dalam hati Syekh Mahmoud ketika beliau mencela ilmu ini (Ilmu Kalam).

(Buya HAMKA, FALSAFAH KETUHANAN, Hal. 88, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2017).

Berkata Ibnu Arthiyah,

Jalan yang bersimpang-siur banyak itu termasuk Yahudi, Nasrani, Majusi, dan sekalian agama-agama buatan manusia dan tukang-tukang bid'ah dan penyesat dan ahli-ahli hawa nafsu yang suka membuat-buat perkara ganjil dalam furu' dan yang lain-lain yang suka memperdalam berdebat dan menggali-gali ilmu kalam.

Semuanya bisa membawa tergelincir dan membawa iktikad yang sesat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 340-341, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Demikian juga debat perkara i'tikad, seorang guru mengharamkan mempelajari Sifat 20 (ilmu tauhid), dengan alasan bahwa ilmu tersebut bercampur dengan pendapat ahli falsafah.

Guru yang lain mengatakan bahwa ilmu tersebut boleh dipelajari karena falsafah boleh diambil untuk menguatkan keyakinan dalam Islam.

Kata guru yang pertama, perbuatan itu bid'ah,

Kata guru yang kedua tidak ada bid'ah dalam ilmu, yang ada hanyalah dalam ibadah.

Keduanya zhanni, tetapi si awam turut debat pula, sebentar saja lekatlah cap kafir kepada yang menghalalkan Sifat 20 dari si awam dan datang pula cap murtad kepada yang mengharamkan dari si awam pula.

Memang persoalan agama dan perdebatan orang awam kerapkali membahayakan bagi keindahan pergaulan masyarakat dan memperkosa kemerdekaan pikiran.

Sebab kewajiban bagi guru-guru agama adalah untuk mengatur segala keyakinan dan menerangkannya kepada umum atau mengarangnya menjadi buku dengan sikap yang tidak memperkosa, bersifat mendidik, bukan sebagai orang yang memengaruhi karena yang mesti berpengaruh bukan pemimpin ilmu, tetapi pemimpin negeri.

Orang awam haruslah insaf bahwa agama bukanlah perkara yang boleh diputuskan di kedai kopi karena kekurangan ilmu senantiasa menimbulkan sentimen. Jika hanya perasaan saja yang diturutkan, timbullah penyakit lain dan beradu perasaan dengan perasaan.

Celaka yang timbul, sampai sama-sama menggulung lengan baju (menantang berkelahi, -pen), mempertahankan guru, karangan guru, atau menepuk dada menegakkan madzhab dan partai.

(Buya HAMKA, Akhlaqul Karimah, Hal. 85-88, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Desember 2017).

Pada aqidah pokok Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah adalah sama.

Timbul perselisihan kalau pengikut kedua belah pihak telah fanatik pada golongan atau setelah dicampuri oleh pertarungan politik.

Pada saat-saat yang penting, telah ada tempat mereka kembali yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.

Kalau tidak demikian, niscaya mereka akan hancur; tikam-menikam, bunuh-membunuh sama sendiri,

Sehingga berlaku bunyi ujung ayat bahwa Allah berbuat apa yang Dia kehendaki, yang tidak dapat dielakkan!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 506, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IMAN: ILMU DENGAN AMAL

Baru sah iman kalau telah diikut dengan amalan, dan amalan itulah Islam.

Islam artinya menurut, menyerah, bukti menyerah itu ialah amalan.

Ke situlah pulangnya perkataan Ulama Salaf yang mula-mula tadi, yang iman itu ialah ilmu dengan amal.

Di antaranya Abdullah bin Mas'ud (sahabat Nabi), Uzaifah bin al-Yaman (sahabat Nabi), an-Nakha'iy, Hassan Basri, Atha', Thaus, Mujahid bin Abdullah bin Bubarak (semuanya tabi'in), bahwa hendaklah orang yang ingin lengkap imannya itu menyempurnakan 3 syarat.

Ada dia mengerjakan, dan lidahnya pun mengakui pula, tetapi tidak diketahui kaifiat-nya, maka ditakuti bahwa imannya itu akan jatuh kepada kesalahan.

Oleh karena itu, hendaklah dituntut segala macam ilmu yang bisa menguatkan iman.

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 66, 71-72, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

ADICERITA HAMKA: KESIMPULAN

Dia menulis dengan rasa hormat mengenai para pemikir Islam dari segala haluan, meski dia cenderung memihak ke satu sisi atau yang lainnya ketika menyimpulkan.

Dia lebih tertarik membawa para pembacanya untuk merayakan prestasi dan kehebatan peradaban Islam ketimbang menjelekkan mereka yang dianggap menyesatkan dalam Islam.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 257, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

FALSAFAH

PERTANYAAN

Imam Ghazali adalah seorang filsuf Islam yang ulung pada zamannya. Namun berdasarkan apakah beliau mengarang kitab Tahafutul Falasifah yang memberi kesan tentang kejahatan falsafah? Di manakah perbedaan aqidah ajaran Ghazali dengan Ibnu Rusyd? Mengapa pula Imam Ghazali mengafirkan Ibnu Sina dan al-Farabi, padahal sama-sama filsuf Islam?

JAWABAN

Sebagaimana dimaklumi, istilah falsafah itu sudah terang dari bahasa Yunani, tergabung dari dua kata, yaitu files dan sofas, yang berarti 'peminat' dan 'hikmat'. Setelah Islam berkembang dan umatnya meluas dan telah luas pula pergaulannya dengan berbagai bangsa (terutama pada zaman Harun al-Rasyid dan al-Makmun di Baghdad) banyaklah orang menyalin buku-buku pusaka Aristoteles ke dalam bahasa Arab, sehingga mau atau tidak mau falsafah dan kebudayaan Yunani mulai dicernakan oleh kaum cerdik pandai Islam.

Mulailah timbul dalam kalangan kaum Muslimin orang-orang yang berminat kepada falsafah, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ikhwanush Shafa di dunia Islam sebelah Timur. Ada pula Ibnu Rusyd, Ibnu Haitsam, Ibnu Majah, dan lain-lain di dunia Islam sebelah Barat (Andalusia, Afrika Utara).

Bagaimanapun objektifnya falsafah, tetapi tidak dapat diceraikan dari subjektifnya orang yang berfilsafat itu sendiri.

Kalau sekiranya ahli pikir Yunani tidak dapat melepaskan dirinya sama sekali dari mitos Yunani, baik Socrates, atau Plato, atau Aristoteles, maka ahli-ahli pikir Muslim itu pun di dalam memandang falsafah tidak juga dapat membebaskan diri mereka dari kedudukan sebagai Muslim.

Sebab itu, maka di dalam falsafah al-Farabi atau Ibnu Sina, kita pun mendapati juga ajaran-ajaran tentang ketuhanan, tentang tasawuf, dan sebagainya. Mereka memperbincangkan juga tentang "Yang Esa" dan "Yang Berbilang", ruang dan waktu, dan sebagainya, tetapi tidak lepas dari ikatan sebagai Muslim.

Namun karena falsafah adalah semata-mata renungan akal, niscaya ada juga yang meragukan pendapat mereka itu.

Dalam falsafah Aristoteles, ada pendapatnya yang menunjukkan seakan-akan alam ini qadim, padahal menurut ajaran Islam, alam adalah hadits (baru) dan hanya Allah yang Qadim. Ini adalah soal ontologi (ilmu tentang Yang Ada), yang sulit bagi al-Farabi dan Ibnu Sina untuk memecahkannya, sehingga mereka sampai kepada kesimpulan yang dapat membuka pintu bagi al-Ghazali untuk memandang bahwa paham mereka telah sesat dari pokok agama.

Dari sebab itu pula, al-Ghazali memberi peringatan bahaya falsafah, takut kalau-kalau terawang pikiran membawa orang berpikir ke luar dari garis-garis kepercayaan agama. Ini pula sebab beliau mengarang Kitab Tahafutul Falasifah tersebut.

Namun Ibnu Rusyd menolak kitab Tahafutul Falasifah, sebab pokok serangan al-Ghazali menurut Ibnu Rusyd tidak seluruhnya benar.

Misalnya tentang hukum sebab-akibat. Al-Ghazali condong kepada pendapat bahwa sebab-akibat hanyalah kaidah yang dibuat oleh manusia karena melihat bekas saja. Misalnya api menghanguskan dan yang tajam melukai, begitu yang biasa (teradat). Padahal tidaklah mustahil bagi akal, bahwa api tidak menghanguskan dan yang tajam tidak melukai, sebab hal itu dapat dikhayalkan dalam ingatan kita. Ibnu Rusyd sangat menolak pendapat Ghazali ini, karena kalau begitu, tentu tidak ada kesatuan aturan dalam alam ini. Padahal maksud falsafah "adat" Ghazali itu adalah hendak memasukkan urusan mukjizat ke dalam pertimbangan falsafah. Lantaran itu, orang dapat menuduh bahwa Ibnu Rusyd tidak mempercayai adanya mukjizat.

Namun Ibnu Rusyd tidak mau dibegitukan saja. Beliau tidak dapat bergeser dari pendiriannya bahwa hukum sebab-akibat itu adalah pegangan, dan menurut itulah perjalanan akal, dan itulah yang menyebabkan adanya ilmu. Adapun mukjizat (Nabi Ibrahim tidak hangus dimakan api, Nabi Isa menyembuhkan orang sakit dengan menjamah saja, Nabi Musa membelah laut dengan tongkat, Nabi Muhammad Mi'raj), itu termasuk kepercayaan (yang kalau tidak kita percayai kita akan terkeluar dari Islam) dan hal itu tidak lagi menjadi daerah yang dapat dicakup oleh falsafah, Ibnu Rusyd percaya.

Di sinilah terjadi pertukaran pikiran yang mendalam di antara ahli-ahli pikir Islam.

Al-Ghazali mencela falsafah Yunani (khususnya Aristoteles), tetapi dengan tidak sadar satu kali ia telah memakai falsafah untuk mencapai jalan agar mukjizat dapat diterima dengan berpikir secara falsafah.

Sebaliknya, Ibnu Rusyd membela falsafah, tetapi tidak mau menyinggung soal kepercayaan dengan memakai falsafah.

Adapun bagi kita (angkatan Islam modern sekarang ini) yang hidup dalam zaman serba falsafah, adalah terlalu sia-sia kalau keseluruhan pendapat al-Ghazali kita terima begitu saja. Kita mesti kembali meninjau aliran-aliran falsafah sejak falsafah Yunani, sampai falsafah Islam, sampai falsafah Skolastik, sampai kepada falsafah modern Barat. Kita harus merenung sejak dari Thales sampai Plato. Dari al-Farabi sampai Ibnu Rusyd. Dari Thomas Aquinas sampai Descartes, dan sampai kepada Nietzche, Schopenhauer, William James, dan falsafah Islam baru seperti Jamaluddin Afghany, Mohammad Iqbal, dan Mohammad Abduh.

Kita tahu bahwa semuanya itu tidak sunyi dari kelemahan, sebab mereka adalah manusia dan yang mutlak benar hanyalah wahyu Allah Ta'aala.

Namun karena bertemu kesalahan pendapat, bukan berarti bahwa berpikir hendak kita hentikan lantaran itu.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 16-18, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

PERDEBATAN TENTANG ALLAH

"Dan setengah dari manusia ada yang berdebat tentang Allah tidak dengan ilmu." (pangkal ayat 3).

Dalam pangkal ayat ini terdapat kalimat Yujadilu pangkal kata atau mashdar dari mujadalatan. Artinya ialah berdebat, atau bertengkar. Perdebatan tidak terjadi kalau tidak ada lawan berdebat.

Di dalam ayat ini diterangkan bahwa ada setengah manusia yang suka menimbulkan perdebatan tentang Allah, tetapi sayangnya tidak dengan ilmu pengetahuan. Padahal ilmu tentang Allah itu tidaklah didapat dengan semata-mata dipelajari. Melainkan hendaklah disertai juga dengan pengalaman beramal saleh. Dan ilmu tentang Allah tidak pula akan didapat kalau tidak ada kepercayaan kepada nabi-nabi dan rasul-rasul yang diutus-Nya. Beliau-beliau itulah yang diberi Allah wahyu, yang dengan wahyu itu, Allah menjelaskan siapa diri-Nya. Ilmu di luar itu belumlah ilmu jika bersangkut dengan Allah. Maka akan celakalah, tidak sampai kepada hakikat yang sebenarnya, jika orang berdebat tentang Allah.

Allah telah berfirman,

"Tidaklah Dia yang akan ditanya tentang apa yang Dia kerjakan, melainkan merekalah yang akan ditanya." (al-Anbiyaa': 23).

Maka salah besarlah kita misalnya jika kita perdebatkan mengapa si fulan dikayarayakan, sedang si anu dibuat miskin?

Dan lain-lain pertanyaan yang mengakibatkan debat.

Agak di ujung surah al-Hajj ini kelak (ayat 74) akan bertemu ayat Allah begini bunyinya,

"Dan tidaklah mereka sanggup menentukan Allah sebenar-benar ketentuan, sesungguhnya Allah itu adalah Maha Kuat, Maha Perkasa." (al-Hajj: 74).

Sebab itu hendak berdebat tentang Allah tidak dengan ilmu yang sebenarnya tidaklah ada faidahnya. Dengan demikian bukanlah berarti bahwa Allah tidak sudi memberi ilmu kepada hamba-Nya tentang Dia. Tetapi sekali-kali di dalam Al-Qur'an, Allah menjanjikan akan menunjukkan ilmu tentang Dia kepada barangsiapa yang berjuang bersungguh-sungguh menempuh jalan-Nya.

"Dan orang-orang yang berjuang keras pada (barisan) Kami, pastilah akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah adalah bersama orang-orang yang senantiasa berbuat baik." (al-'Ankabuut: 69).

Oleh sebab itu maka barangsiapa yang hendak yakin tentang adanya Allah, turutilah tuntunan yang dibawakan oleh utusan-utusan Allah.

Adapun berdebat-debat tentang Allah tidak dengan ilmu adalah sesuatu jalan yang bertambah lama bertambah jauh dan bertambah sesat.

"Dan mereka ikuti tiap-tiap setan yang selalu jahat." (ujung ayat 3).

Ujung ayat ini adalah akibat yang wajar dari orang yang berdebat-debat tentang Allah tidak dengan ilmu.

Segala keterangan yang benar, yang ilmiah tentang Allah, mereka debat.

Padahal jalan selain dari jalan Allah adalah jalan jahil, bukan jalan ilmu.

Jalan sesat, bukan jalan lurus.

Sedang jalan Allah hanya satu dan jalan lain itu beribu-ribu, sebanyak setan-setan yang menganjurkannya.

Mengikuti segala jalan setan karena mengelak dari jalan Allah itu, menyebabkan mereka pindah daripada satu setan kepada setan yang lain sampai pun ketika nyawa akan bercerai dengan badan, pegangan belum juga ada.

Nasib yang malang, hidup yang kosong, hari depan yang gelap.

Dilanjutkan oleh ayat yang keempat,

"Telah ditentukan atasnya." (pangkal ayat 4).

Artinya telah tertulis sebagai peraturan yang tidak berubah-ubah dari Allah,

"Bahwa barangsiapa yang menjadikan setan itu sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya dia akan menyesatkannya."

Karena permusuhan kepada setan sebagai keluarga iblis telah menjadi pusaka turun-temurun sejak manusia (Adam) keluar ke dunia ini buat menjadi khalifah di muka bumi.

Dan bila telah sesat di permulaan jalan, sengsaralah hidup, walaupun pada kulit luar kelihatan seakan-akan senang, namun di dalam batin sengsara terus.

"Dan memimpinnya kepada adzab neraka." (ujung ayat 4).

Artinya, kesesatan itu tidaklah hanya di dunia ini saja, malahan akan terus ke dalam neraka yang memang disediakan oleh Allah SWT bagi orang-orang yang mengikuti jalan setan dan iblis.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 99-100, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ALLAH DIBAHASAKAN LAKI-LAKI

PERTANYAAN

Mengapa di dalam Al-Qur'an banyak terdapat ayat yang menyebutkan Zat Allah dengan kata pengganti "huwa" misalnya, "Qul huwa allahu ahad?"

Bukankah menurut tata bahasa (ilmu nahwu) kata huwa itu pengganti "orang ketiga laki-laki" yang disebut muzakkar?

Tidakkah itu apriori bertentangan dengan tauhid dan ayat Al-Qur'an sendiri yang berbunyi, "Laisa kamitslihi syaiun," dan, "Walam yakun lahu kufuan ahad?"

Bukanlah menurut kepercayaan umat atau agama Islam Al-Qur'an itu Kalamullah?

Tidakkah amat mustahil dan paradoksal tampaknya di mana ayat-ayatnya berlawanan?

Willem Lukas, Banjarmasin.

JAWABAN

Supaya pikiran Saudara penanya jangan sampai paradoksal membaca ayat dan mendalami aqidah agama Islam, atau aqidah segala agama, hendaklah saudara dapat membedakan antara dasar aqidah dan pemakaian bahasa.

Dalam tata bahasa Arab, ada kata ism (nama-nama) yang dimuzakkar-kan (dilaki-lakikan) meskipun ia sendiri bukan laki-laki dan ada pula ism yang di-muannats-kan, meskipun ia bukan perempuan.

Misalnya, kata baitun artinya 'rumah'. Ia disebut ism muzakkar.

Kata itu sendiri yang muzakkar, yaitu dilaki-lakikan, bukan rumahnya yang langsung jadi laki-laki. Sehingga, jika kata baitun menjadi kata ganti orang ketiga, dihukumkanlah ia memakai dhamir huwa. Padahal, huwa dipakai juga untuk orang laki-laki yang ketiga (dhamir ghaib).

Allah bukanlah laki-laki.

Namun kalimat Allah dalam perhubungan tata bahasa dijadikan muzakkar, (muzakkar adalah ism maf'ul, artinya yang tepat adalah kata itu di-laki-laki-kan. Bukan zat Allah Ta'aala yang diciptakan oleh ahli bahasa menjadi seorang laki-laki).

Dalam bahasa Belanda pun ada ism yang manelijk (dilaki-lakikan) dan vrowelijk (diperempuankan).

Lucunya pula, apabila sebuah rumah (baitun) telah lebih dari dua (jamak), disebut buyutun; menurut hukum bahasa, kata itu dimuannats-kan pula dimaksudkan dalam kata yang diperempuankan.

Bukan rumah-rumah itu yang beralih kelamin menjadi perempuan, sebab telah banyak melainkan menurut hukum tata bahasa segala kalimat jamak adalah muannats, kecuali muzakkar salim.

Lebih lucu lagi, dua kata untuk perempuan dan terang-terang terjadi pada perempuan dihilangkan tanda perempuannya yaitu hamilun (perempuan bunting) dan haidlun (perempuan sedang datang bulan).

Padahal menurut hukum umum, kejadian-kejadian dan sifat-sifat perempuan harus diberi tanda perempuannya (taa tanits, atau taa-marbuthah).

Oleh karena itu, pada kata hamilun dan haidlun tidak perlu dipakai tanda perempuan, sebab memang tidak ada laki-laki yang mengandung membawa bulan.

Oleh karena itu, kalimat Allah atau segala sifat-sifat Allah tersusun jadi kata sebagai hayyun, qadirun, ghafurun, dan lain-lain dihukumkan menurut tata bahasa menjadi muzakkar; dilaki-lakikan menurut hukum bahasa.

Bukan Zat Allah yang menjadi laki-laki.

Demikianlah pemakaian bahasa Arab, dan terdapat juga aturan-aturan tata bahasa menyerupai itu dalam bahasa yang lain sehingga tidak ada orang yang berpikiran lagi karena memakai tata bahasa kita telah paradoksal, kita telah berkacau-balau menjadikan Zat Allah Yang Maha Kuasa menjadi laki-laki.

Rajulun seorang laki-laki dibahasakan huwa.

Willem Lukas dibahasakan jadi huwa, baitun (rumah) dibahasakan huwa juga.

Qalamun (pena) dibahasakan huwa juga.

Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang menyangka bahwa bahasa begitu paradoksal sehingga Allah, rumah, pena, dan Willem Lukas jadi serupa, kecuali kalau misalnya Saudara Willem Lukas dapat menciptakan bahasa baru, untuk mengubah segala tata bahasa yang telah berlaku itu, sehingga untuk kata Allah dicarikan "orang ketiga" yang lain.

Ketika jadi orang pertama, Allah membahasakan dirinya ana (saya).

Saudara Willem Lukas pun membahasakan dirinya ana (saya).

Tidak seorang pun yang memandang itu paradoksal, atau berpahaman jika Saudara Willem Lukas membahasakan dirinya.

Saya akan langsung dikatakan ia menyamakan dirinya dengan Allah.

Justru kalau memanggil Allah (jadi orang kedua), dibahasakan Anta, artinya engkau. Saudara Willem Lukas dibahasakan pula oleh ayahnya engkau.

Tidak ada orang yang mengatakan bahwa pemakaian bahasa demikian suatu paradoksal.

Saudara Willem Lukas sendiri ketika bertanya telah memakai istilah tata bahasa Indonesia orang ketiga untuk kata-kata huwa yang bahasa Indonesianya Dia.

Mengapa kepada Allah disebut orang ketiga?

Apakah zat Allah itu seorang orang?

Sekali-kali tidaklah terlintas dipikiran Saudara Willem Lukas bahwa Allah sendiri yang menjadi orang, melainkan kalimat huwa atau Dia menurut tata bahasa disebut orang ketiga.

Di sini mengertilah kita bahwa hukum tata bahasa janganlah dicampur aduk dengan aqidah.

Dalam aqidah, Zat Allah bukanlah laki-laki dan bukan pula perempuan.

Dalam hukum tata bahasa, kalimat Allah di-muzakkar-kan, artinya dilaki-lakikan.

Tidak berdosa kalau hanya "melaki-lakikan" kalimat karena Allah tidak akan jadi laki-laki lantaran itu.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 55, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

SURGA

PERTANYAAN

Kalau kita telaah Al-Qur'an dan hadits, banyaklah diceritakan tentang surga, tetapi melulu berputar di sekeling air mengalir, mata air, air mancur, air sejuk nyaman penghilang dahaga, bidadari berkecimpungan di telaga biru, naung rendang tempat berteduh, dan sebagainya. Sepanjang pengetahuan saya, belum pernah disebut tentang sinar surya yang memberi imbangan udara lembab dan penghangat tubuh jasmani, sehingga saya menarik kesimpulan bahwa jannah yang tujuh jumlahnya itu hanya tersedia buat penduduk padang pasir belaka, bukan untuk semua. Kalau penduduk daerah dingin yang agak kritis yang selalu merindukan sang surya dan sinar bulan purnama tentu tergaris pada hari mereka purbasangka yang saya sebut di atas. Saya minta keterangan bagaimana yang sebenarnya?

JAWABAN

Saudara yang budiman. Bagus benar pertanyaan Saudara. Iramanya sangat menarik hati. Saudara sudah menafsirkan ayat-ayat tentang surga dalam Al-Qur'an dengan bahasa yang indah. Saya setuju dengan Saudara, bahwa kalau yang menarik orang ke dalam Islam hanya bayangan tentang surga itu saja, maka penduduk daerah yang bukan sahara niscaya akan berpikir-pikir dahulu baru masuk Islam.

Namun, intisari ajaran Islam bukanlah menyifatkan surga itu saja. Intisari ajaran Islam adalah pengabdian kepada Allah sebagai pencipta hidup kita. Allah yang telah memberi kita akal untuk berpikir. Umar bin Khatthab (orang padang pasir sahara itu) yang menarik hatinya kepada Islam bukanlah cerita tentang surga itu, tetapi nilai tauhid yang diajarkan oleh Islam itu sendiri.

Rabi'atul Adawiyah, seorang ahli sufi perempuan pernah berkata, "Ada orang yang beramal beribadah karena mengharapkan masuk surga dan ada orang yang menjauhi kejahatan karena takut masuk neraka. Padahal tidak pun dijanjikan surga itu dan diancamkan ke neraka, seorang yang insaf akan nilai hidupnya sudah patut merasai betapa cinta Allah kepadanya, dan betapa pula mestinya ia membalas cinta itu."

Lalu Rabi'ah berkata pula, "Bagiku yang menjadi tujuan adalah jalan mencapai ridha Allah. Asal Allah tetap ridha kepadaku, di mana pun aku ditempatkannya, itulah surgaku."

Ketika pengembang-pengembang Islam datang ke tanah air kita (yang bukan padang sahara ini) di antaranya adalah nenek moyang saudara sendiri, bukanlah soal masuk surga itu soal utama menarik hati mereka, melainkan keindahan tauhid ajaran Nabi Muhammad saw. Apa yang dibayangkan di dalam Al-Qur'an itu dipercayai orang. Belum pernah pada masa itu orang menilai surga untuk "anak padang pasir." Mereka telah berkeyakinan bahwa surga itu pun disediakan buat sekalian hamba Allah yang percaya, walaupun ia tinggal di daerah yang bukan pasir. Setelah orang ramai "pintar-pintar" sekarang inilah baru timbul pertanyaan seperti itu.

Saya bersyukur sekali karena Saudara telah menelaah Al-Qur'an dan hadits. Oleh karena itu tentu saudara telah membaca surah Fushshilat ayat 31 dan 32.

"Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta. Sebagai penghormatan (bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang." (Fushshilat: 31-32).

Alhasil; meskipun kebanyakan ayat-ayat yang menerangkan surga itu adalah yang lebih dekat kepada penggambaran jiwa orang yang hidup di padang pasir, sebagai umat yang terlebih dahulu mendapat kehormatan menerima Al-Qur'an, tidaklah berarti bahwa surga hanya begitu saja.

Di sana terdapat apa saja yang diingini oleh orang yang beramal untuk mencapainya.

Sebagaimana seruan yang timbul dari hati yang jujur, ingin kami memperingatkan kepada Saudara yang bertanya ini bahwa berita-berita tentang surga atau neraka itu bernama "Samiyat" tidaklah ia termasuk soal yang harus dipecahkan dengan rasio.

Di sini adalah tempat untuk kepercayaan. Kalau Saudara menyebut-nyebut orang yang "agak kritis" akan dapatlah ia membedakan, mana yang harus "dikritisi" dan mana yang tidak.

Orang-orang yang semua hendak dikritisi itu biasanya bukanlah orang-orang yang benar kritis, tetapi orang yang sombong.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 181-184, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

SIFAT SURGA

"Dan kaum kanan, siapakah kaum kanan itu?" (ayat 27).

Maka diterangkanlah di mana akan tempat mereka.

"Di antara pohon bidara tiada berduri." (ayat 28).

"Bidara" semacam tumbuhan yang indah biasa tumbuh di tempat yang subur tergenang air, dan tidak ada duri yang akan menghalangi manusia mengambil keindahan yang ada padanya.

"Dan pohon pisang yang bersikat tersusun." (ayat 29).

Di Indonesia ini terkenallah bagaimana banyaknya jenis pisang yang tumbuh, seumpama pisang raja, pisang serai, manis dan mas, raja tenalun, pisang tanduk, jarum, lidi, buai, pisang ambon, pisang siam, dan banyak lagi jenis-jenisnya. Yang satu dengan yang lain, yang berlain-lainan manisnya, namun semuanya enak dan semuanya gurih.

"Dan naungan teduh terbentang luas." (ayat 30).

Al-Bukhari ahli hadits terkenal merawikan bahwa beliau menerima riwayat dari Ali bin Abdullah dan beliau ini menerimanya pula dari Sufyan, dia ini menerima dari Abiz Zinaad, dan dia ini menerima dari al-A'raj dan beliau ini menerima pula dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. pernah mengatakan,

Bahwa di dalam surga ada pohon kayu yang sangat rimbun tempat bernaung yang seratus tahun tidak putus-putus naungan itu, bacalah ayat,

"Dan naungan teduh terbentang luas."

Muslim pun merawikan hadits dari al-A'raj ini pula dari sanad yang lain.

Dan banyak lagi hadits-hadits yang sama artinya dengan ini, seratus tahun di bawah naungan teduh terbentang luas itu.

"Dan tidak pula terlarang memetiknya." (ujung ayat 33).

Tentang tidak terputus-putus telah ditafsirkan oleh perkisaran musim, baik musim panas maupun musim dingin. Tidak terlarang-larang; telah ditafsirkan oleh Qatadah,

Artinya tidak dapat dihalangi alirannya oleh urat kayu, atau oleh duri ataupun oleh kejauhan tempat.

"Dan hamparan terjunjung tinggi." (ayat 34).

Artinya ialah hamparan yang terdiri dari permadani indah di dalam surga itu ditinggikan oleh Allah untuk meninggikan derajat martabat orang yang duduk di atasnya.

"Sesungguhnya Kami jadikan (bidadari-bidadari itu) dengan kejadian istimewa." (ayat 35).

Inilah suatu yang sudah wajar dari keindahan yang tiada tandingan.

Yaitu bahwa di sana pun disediakan Allah buat hamba-Nya yang disebut golongan kanan itu, ialah gadis-gadis yang cantik jelita.

Sampai pada ayat sesudahnya dikatakan,

"Dan Kami jadikan bidadari itu selalu perawan." (ayat 36).

Dalam dunia ini pun selalu dikatakan orang bahwasanya suatu pertemuan, suatu tempat yang indah yang mesra, barulah terasa mesranya kalau di sana ada perempuan-perempuan cantik.

Maka di dalam surga itu hati hamba Allah yang telah menjadi golongan kanan itu pun digembirakan dengan janji demikian.

Buat memahamkan hal ini, ingatlah bahwasanya banyak orang besar-besar dalam Islam yang selama hidupnya, karena waktunya tertumpah buat kemaslahatan umum, mereka tidak sempat berkawin.

Di antara mereka itu terdapat seumpama Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah, Sayyid Jamaluddin al-Afghani.

Meskipun orang besar-besar semacam ini tidak mengingat lagi kesempatan untuk kawin itu di dunia ini, namun bagi mereka disediakan perawan-perawan suci demikian.

Maka pahamkanlah bahwasanya maksud ayat-ayat seperti ini bukanlah untuk menimbulkan nafsu syahwat yang tidak layak.

"Penuh kasih sayang lagi sebaya." (ayat 37).

Di dalam ayat ini dijelaskan sifat gadis-gadis itu semuanya, yaitu 'Uruban, artinya menurut keterangan Said bin Jubair yang diterimanya dari Ibnu Abbas,

Ialah perempuan-perempuan yang setia yang menyelenggarakan suaminya dengan penuh setia dan kasih sayang.

Zaid bin Aslam mengatakan bahwa tutur katanya sopan santun dan indah didengar telinga.

Dan disebutkan di ujung ayat bahwa perempuan-perempuan itu sebaya semua, seumur.

Dan sesudah itu dijelaskan sekali lagi,

"Semuanya itu untuk golongan kaum kanan itu." (ayat 38).

Bahwa segala nikmat yang telah disebutkan di atas tadi semuanya ialah untuk orang yang dikatakan golongan kanan itu.

Dan sekali lagi diingatkan bahwasanya orang-orang yang menjadi golongan kanan itu adalah,

"Segolongan besar dari orang purbakala." (ayat 39).

Dan segolongan besar pula dari orang-orang yang kemudian." (ayat 40).

Dengan ayat ini terbukalah pintu bagi semua orang yang menyediakan dirinya menjadi golongan kanan, yang diridhai oleh Allah selama-lamanya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 632-634, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENGENAL ALLAH DENGAN MEMPERHATIKAN ALAM

Sesudah Allah memberikan peringatan yang demikian keras bahwa kutuk laknat Allah dan Malaikat serta manusia akan datang timpa-bertimpa ke atas diri orang yang tidak mau percaya, yang sampai matinya tetap dalam kufur, Allah pada ayat ini mengemukakan pokok ajaran agama tentang Allah.

Dengan demikian, orang diperingatkan lagi, janganlah hendaknya mereka sampai bertahan dalam kekafiran dan mati dalam kufur.

"Dan Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Maha Esa." (pangkal ayat 163).

Dialah Ilah, Tuhan Pencipta. Berdiri sendiri Dia dalam kekuasaan dan penciptaan-Nya, tidak bersekutu Dia dengan yang lain. Mustahil berbilang Allah itu, sebab kalau Dia berbilang, pecahlah kekuasaan. Mustahillah alam yang telah ada ini diciptakan oleh kekuasaan yang berbilang.

Dia adalah Esa dalam sifat-Nya sebagai Ilah, sebagai Tuhan Pencipta.

Dia pun adalah Esa dalam sifat-Nya sebagai Pemelihara, sebagai Rabb.

"Tidak ada Tuhan melainkan Dia."

Apabila telah diketahui Tunggal-Nya dalam penciptaan-Nya maka hanya Dialah yang wajib disembah dan dipuja.

Itulah yang bernama Tauhid Rububiyah.

Setelah diakui bahwa Tunggal Dia dalam pemeliharaan-Nya atas alam maka hanya kepada-Nya sajalah tempat memohon pertolongan.

Inilah yang disebut Tauhid Uluhiyah.

Tersimpul keduanya di dalam ucapan,

"Hanya kepada Engkau saja kami menyembah dan hanya kepada Engkau saja kami memohon pertolongan."

Dan, di ujung sebagai kuncinya Allah berfirman,

"Adalah semuanya itu tanda-tanda bagi kaum yang berakal." (ujung ayat 164).

Pikirkanlah dan renungkan ketujuh soal yang dikemukakan Allah itu!

Dia menghendaki kita mempergunakan akal.

Dia menghendaki manusia menjadi sarjana dalam lapangan masing-masing.

Mencari Allah setelah mempelajari alam.

Itu sebabnya, di dalam surah Faathir: 28, dengan tegas Allah berfirman,

"Sesungguhnya, yang akan takut kepada Allah hanyalah orang-orang yang berpengetahuan." (Faathir: 28).

Di ayat ini disebutkan ulama, menurut artinya, yang asli, yaitu orang yang berilmu.

Dengan ayat ini, dapatlah kita pahamkan bahwasanya mencari Allah dalam ajaran Islam adalah dengan memperdalam penyelidikan tentang alam.

Maka, Allah yang didapat dari sebab ilmu itu, jauh lebih mendalam pengaruhnya atas jiwa dan budi daripada apa yang ditentukan ilmu Sifat 20 atau susunan manusia atau ilmu teologi orang Kristen yang memberi bentuk Tuhan itu sebagai manusia atau Tuhan menjelmakan diri sebagai manusia.

Penyelidikan ilmu-ilmu pengetahuan yang telah demikian tinggi pada Abad kita ini rupanya telah membawa para sarjana kepada keimanan akan adanya Allah menurut sistem yang diajarkan oleh Al-Qur'an ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 298-301, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENGHADAPI PERCOBAAN HIDUP

Suatu cita-cita yang tinggi. Menegakkan kalimat Allah, memancarkan tonggak tauhid dalam alam, membanteras perhambaan diri kepada yang selain Allah. Apabila langkah ini telah dimulai, halangannya pasti banyak, jalannya pasti sukar.

Bertambah mulia dan tinggi yang dituju, bertambah sukarlah dihadapi.

Oleh sebab itu, dia meminta semangat baja, hati yang teguh, dan pengorbanan-pengorbanan yang tidak mengenal lelah.

Betapapun mulianya cita-cita, kalau hati tidak teguh dan tidak ada ketahanan, tidaklah maksud akan tercapai.

Nabi-nabi yang dahulu dari Muhammad saw. semuanya telah menempuh jalan itu dan semuanya menghadapi kesulitan.

Kemenangan mereka hanya pada kesabaran.

Maka, kamu orang yang telah menyatakan iman kepada Muhammad wajiblah sabar, sabar menderita, sabar menunggu hasilnya apa yang dicita-citakan. Jangan gelisah, tetapi hendaklah tetap hati.

Sampai 101 kali kalimat sabar tersebut dalam Al-Qur'an. Hanya dengan sabar, orang dapat mencapai apa yang dimaksud. Hanya dengan sabar, orang bisa mencapai derajat iman dalam perjuangan. Hanya dengan sabar menyampaikan nasihat kepada orang yang lalai. Hanya dengan sabar, kebenaran dapat ditegakkan.

Lebih 25 Tahun Ya'kub sabar menunggu pulang anaknya yang hilang, sampai berputih mata; akhirnya anaknya Yusuf kembali juga. Tujuh tahun Yusuf menderita penjara karena fitnah. Dengan sabarnya dia jalani nasibnya. Akhirnya dia dipanggil buat menjadi menteri besar. Bertahun Ayyub menderita penyakit sehingga tersisih dari anak istri; akhirnya penyakitnya disembuhkan Tuhan dan setelah pulang ke rumah didapatinya anak yang 10 telah menjadi 20 karena semua sudah kawin dan sudah beranak pula. Ibrahim dapat menyempurnakan kalimat-kalimat ujian Allah karena sabar. Demikianlah Musa dengan Bani Israil. Ismail membangun angkatan Arab yang baru. Isa al-Masih dengan Hawariyin, semuanya dengan sabar.

Ada nabi yang nyaris kena hukuman karena tidak sabar, yaitu Nabi Yunus. Ditinggalkannya kaumnya karena seruannya tidak dipedulikan. Maka, buat melatih jiwanya ditakdirkan masuk perut ikan beberapa hari lamanya. Akan tetapi, keluar dari sana, dia membangun diri lagi dengan kesabaran.

Sebab itu, sabarlah perbentengan diri yang amat teguh.

Sabar memang berat dan sabar memanglah tidak terasa apa faedahnya jika bahaya dan kesulitan belum datang. Apabila datang suatu marabahaya atau suatu musibah dengan tiba-tiba, dengan tidak disangka-sangka, memang timbullah perjuangan dalam batin. Perjuangan yang amat hebat. Tarik-menarik antara kegelisahan dan ketenangan.

"Dan janganlah kamu katakan terhadap orang yang terbunuh pada jalan Allah bahwa mereka mati. Bahkan mereka hidup, akan tetapi kamu tidak merasa." (ayat 154).

Dalam satu hadits riwayat Muslim ada pula mengatakan bahwa ruh orang orang yang syahid itu diletakkan dalam tenggorokan burung yang hijau dalam surga, Artinya, dipelihara baik-baik.

Kita berpegang teguh dengan Madzhab Salaf,

Kita bahkan langsung memegang apa yang dikatakan Al-Qur'an bahwa orang yang terbunuh pada jalan Allah tidaklah mati, tetapi hidup. Malahan di ayat lain, yaitu surah Aali 'Imraan: 160, ditegaskan lagi bahwa mereka terus diberi rezeki.

Bagaimana hidupnya? Di mana dia sekarang? Bagaimana pula macam rezekinya?

Tidaklah dapat kita ketahui, tetapi kita percaya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 285-288, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TAUHID

"Dan jikalau kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut akan menimpa atas kamu adzab hari yang besar." (ujung ayat 3).

Suku pertama dari ayat 3 ini adalah bujukan, rayuan, kabar gembira untuk orang yang memohon ampun atas kesalahan selama ini, diiringi dengan tobat.

Hidup akan berbahagia, dunia dan akhirat.

Amat menarik hati sekali sebuah hadits shahih dari Nabi kita saw. tentang orang yang sesat jalan dan kehilangan kendaraan, ditengah padang serenjana mata memandang.

Seorang musafir mengendarai seekor unta di tengah padang pasir yang luas. Setelah payah lelah berjalan, berhentilah dia di satu perhentian di tengah padang itu hendak melepaskan lelahnya dan dilepaskannya pula untanya supaya dia mencari makanannya pula dan istirahat. Dalam berhenti itu dia tertidur sebentar. Ketika dia tersentak bangun, matahari telah condong dan sudah patut dia berangkat pula. Lalu dijemput untanya itu ke tempat dia lepaskan tadi. Rupanya unta itu tidak bertemu, padahal itulah kendaraan satu-satunya. Dicarinya ke mana-mana di keliling padang itu, namun dia tidak juga bertemu. Sampai sudah payah pula dia dan nyaris putus harapan. Dan karena sudah terlalu payah bernaunglah dia ke satu tempat bernaung, dengan perasaan putus asa. Bagaimana dia akan melanjutkan perjalanan? Padahal kendaraan hilang? Bilakah kafilah lain akan lalu supaya dia dapat menumpang? Dan makanan yang jadi bekal tergantung di punggung unta itu pula? Apa lagi akal? Akan diteruskan sendiri perjalanan, tidak tahu ke mana hendak ditempuh. Awak sudah tersasar dan tenaga tidak ada lagi. Dengan setengah putus asa dia pergi berteduh, melepaskan lelah, dan tidak tahu lagi apa yang akan diperbuat.

Tiba-tiba sedang pikirannya menerawang langit, memikirkan bahaya yang akan menimpa kalau hari sampai malam di tempat yang sunyi sepi itu, yang di sana pun banyak binatang buas, tiba-tiba untanya yang hilang itu telah berdiri di kalang-hulunya. Dia terkejut dan sangat gembira, dan bersyukur kepada Allah karena dia telah dilepaskan dari bahaya besar yang tengah mengancam,

Sehingga dari sangat gembiranya tidak teratur lagi ucapan syukurnya kepada Allah, dia berkata,

"Tuhanku, engkau hambaku dan aku  ini Tuhanmu. Aku bersyukur!"

Kata hadits itu,

"Tersenyum Allah mendengar ucapannya itu."

Maka dapatlah inti sari dari hadits ini, karena gembira terlepas dari bahaya, gembira berjumpa yang tadinya disangka akan hilang, gembira doa dikabulkan Allah walaupun tak tentu lagi yang akan disebut, sehingga terkatakan Tuhan hambanya dan dia Tuhan dari Tuhan.

Sedang Allah pun gembira atas rasa syukur yang ikhlas murni dan hamba-Nya itu walaupun tidak teratur lagi apa yang hendak dikatakan.

Sebagaimana kata orang kampung penulis,

"Lantaran gembira, tidak tentu lagi apa yang akan kusebut (indak tantu lai a nan ka den sabuik)."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 521-523, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ARTI WAHYU

Kita sebutkan di sini, bahwa sesudah Rasulullah wafat atau sesudah ayat yang penghabisan daripada Al-Qur'an, wahyu Ilahi tidak turun lagi ke dalam dunia ini. Jibril tidak datang lagi membawa wahyu karena tidak ada lagi nabi sesudah Muhammad saw.

Memang, wahyu itu bisa juga berarti ilham. Orang yang mengerti bahasa Arab tahu bahwa wahyu itu juga berarti ilham.

Akan tetapi, sahabat-sahabat Rasulullah saw. dan ulama-ulama salaf telah sependapat bahwa wahyu sebagai yang dibawa Jibril kepada rasul-rasul itu tidak akan datang lagi.

Namun, wahyu yang berarti ilham selalu datang, bukan saja kepada manusia, melainkan juga kepada Lebah.

Dalam surah an-Nahl (Lebah) ayat 68 dan ayat 69, dituliskan sejelas-jelasnya bahwa Lebah pun telah diberi wahyu oleh Allah agar membuat sarang di pohon-pohon atau di singap-singap rumah yang tinggi dan Allah telah mewahyukan pada Lebah itu agar makan atau mencari buah-buahan dan kembang-kembang.

Dan ia pun diwahyukan agar menempuh jalan yang telah ditentukan oleh Allah.

Sudah terang bahwa wahyu di sini berarti insting atau naluri yang telah dianugerahkan Allah kepada Lebah sehingga dia mengeluarkan madu manisan menjadi obat bagi manusia.

Dalam bahasa Arab, biasa juga digunakan orang kalimat wahyu itu dengan arti ilham.

Seorang pujangga Mesir, Musthafa Shadiq, menerbitkan buku kumpulan karangan-karangannya, diberi nama Wahyul Qalam (Wahyu Pena) dan penulis lain, Ahmad Hassan Zayyat mengeluarkan buku kumpulan karangan-karangannya yang dikumpulkan dalam buku yang berjudul Wahyur Risalah (Wahyu Risalah). Karena karangan-karangannya yang dikumpulkannya dalam buku itu pernah dimuat dalam majalah. Maka tidak adalah niat dalam hati kedua pujangga Islam itu mendakwakan bahwa kedua buku itu wahyu sebagai yang diterima nabi-nabi dibawa Jibril dan tidak ada pula pembaca yang salah paham lalu menyangka bahwa kedua kitab itu, sebab bernama wahyu menjadi "kitab suci".

Oleh sebab itu, kalau ada wahyu sesudah Nabi Muhammad saw. sudah terang artinya hanya salah satu dari dua, pertama Ilham Syi'ir, baik berupa puisi (nazham) maupun prosa (natsar), yaitu ilham (insting) yang didapat oleh ahli-ahli pikir dan pujangga dan penyair atau insting sebagai yang dianugerahkan Allah pada Lebah mencari bunga, tempat membuat sarang, gelatik mengangkut makanan untuk anaknya, ayam melindungi anak-anaknya di bawah sayapnya.

Oleh sebab itu, kalau ada orang mendakwakan dirinya mendapat wahyu serupa yang diterima oleh rasul-rasul dan nabi-nabi, yang dibawa oleh Jibril, lalu dia mengatakan pula bahwa dirinya nabi atau rasul, jelaslah bahwa orang itu nabi palsu atau rasul palsu.

Dan orang yang bernama Al-Bab atau pengikutnya Babiyah, Bahaullah dan pengikutnya bernama Baha-iyah, dan Mirza Ghulam Ahmad dan pengikutnya bernama Ahmadiyah itu adalah nabi-nabi palsu dan rasul-rasul palsu.

Kalau hendak dikatakan wahyu juga, tidak lebih dari ilham, yang mungkin juga ilham Setan.

Atau wahyu serupa yang diberikan kepada Lebah.

Dan tidak ada kezaliman atau aniaya atau penggelapan yang lebih jahat daripada ini. Itulah tiga macam puncak kezaliman, yang tidak ada zalim di atas itu lagi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 216-217, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).