Kamis

AHMADIYAH QADIAN DAN AHMADIYAH LAHORE

AHMADIYAH QADIAN DAN AHMADIYAH LAHORE

PERTANYAAN

Bagaimana pendapat Bapak terhadap aliran yang menamakan dirinya Ahmadiyah Qadian (Aliran Ghulam Ahmad) dan Ahmadiyah Lahore (Maulana Mohammad Au dan Khawaja Kamaluddin). Benarkah Ghulam Ahmad itu Imam Mahdi?

A.S. Gani, Kencana 34, Jakarta.

JAWABAN

Golongan Qadian itu memandang barangsiapa yang tidak percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu adalah Rasul, Nabi Isa, Imam Mahdi, mujadid, barangsiapa tidak percaya bahwa ada lagi nabi sesudah Nabi Muhammad, dan nabi itu adalah Mirza Ghulam Ahmad, orang itu tidak sah Islamnya.

Oleh sebab itu, maka seluruh golongan Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Jam'iyatul Washliyah, begitu juga pribadi Bung Karno, Bung Hatta, HAMKA, Jenderal Haris Nasution, Hasan Bangil, Sayyid Jamaluddin Afghani, Syekh Muhammad Abduh, semuanya itu tidak sah Islamnya, sebelum semuanya mengakui bahwa Ghulam Ahmad itu adalah Rasul dan nabi sesudah Muhammad.

Oleh sebab itu mereka berpendirian bahwa tidak sah seorang Ahmadi shalat di belakang imam yang tidak masuk Ahmadi.

Tidak sah nikah seorang gadis Ahmadiyah dengan laki-laki bukan Ahmadi.

Sebab yang bukan Ahmadiy-Qadiyani adalah kafir.

Oleh karena itu, kalau demikian pendirian mereka terhadap sekalian orang yang beragama Islam yang tidak mempercayai Ghulam Ahmad, bagaimana lagi pendirian orang Islam terhadap mereka?

Kalau mereka dikatakan sah, artinya kita telah mengaku bahwa pegangan kita ini tidak sah. Artinya, kita ini adalah kafir kalau tidak masuk Ahmadi atau tidak mempercayai Ghulam Ahmad sebagai Nabi sesudah Muhammad.

Oleh karena itu, kalau Anda masih Islam pengikut Muhammad saw. yang tidak ada Nabi sesudah beliau, nyatalah bahwa Anda akan sependapat dengan kami bahwa Ahmadiyah itu, dalam hal agama, sudah lain golongannya dengan kita, kita memandangnya sebagaimana memandang orang Kristen, Budha, dan lain-lain juga.

Mereka pun memandang kita demikian!

Yaitu kita pegang pendirian masing-masing dan hormat menghormati dalam tanah air yang satu.

Adapun Lahore berpendapat bahwa guru mereka Ghulam Ahmad itu bukanlah Nabi atau Rasul, hanya semata-mata mujaddid (pembaru, herbomer) agama Islam saja.

Kalau hanya semata mujaddid (pembaru), maka kita pun tidak perlu menerima gagasan tersebut.

Karena orang yang dikatakan pembaru, bukanlah mengubah sendi agama, melainkan memperkukuhnya.

Apalagi dalam riwayat hidupnya terdapat bahwa Ghulam Ahmad itu berkembang karena dipupuk oleh imperialisme Inggris, ketika menggelegak revolusi pikiran Muslim di bawah pimpinan beberapa orang pemuka agama Islam di India.

Dalam orang berjuang hendak mencapai kemerdekaan bangsa, tanah air dan agama, Ghulam Ahmad mempersembahkan Surat Tanda Setia kepada Ratu Victoria, dan mengatakan bahwa hidup matinya terserahlah kepada baginda ratu.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 441-443, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

AGAMA AHMADIYAH KE INDONESIA

Di sekitar tahun dua puluhan masuk pulalah Ahmadiyah itu ke negeri kita Indonesia ini. Baik golongan Qadian atau golongan Lahore.

Perbedaan di antara keduanya ialah bahwa Qadian bertahan mengatakan bahwa Mirza Ghulam Ahmad itu ialah nabi dan rasul, membawa syariat, di antaranya mengharamkan jihad.

Sedang Lahore percaya bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanya seorang Mujadid.

Tetapi pokok pegangan tetap sama.

Bedanya hanya golongan Lahore agak lunak sedikit. Yang tertarik kepada golongan Lahore di Indonesia ini kebanyakan kaum intelektual pendidikan Belanda.

Kita bersyukur kepada Tuhan atas kewaspadaan ulama-ulama di Minangkabau pada waktu itu membentengi Islam dari bahaya mereka. Di Padang keluar majalah "Buku Mata", dan Dr. Syekh Abdul Karim mengeluarkan kitab "Al-Qaulush-Shahih" memberikan tuntunan guna membendung pengaruh mereka.

Ada beberapa puluh orang yang tertarik. Tetapi datang hal-hal lain yang mengubah suasana, sehingga "debat Ahmadiyah Qadiani" itu tambah tidak jadi perhatian orang lagi. Mulanya datang pengacauan kaum komunis, sesudah itu pemberontakan mereka di Silungkang (1927). Tetapi pada Tahun 1928 kaum muslimin Minangkabau bangkit kembali dengan semangat Islam menantang Guru Ordonnantie. Bersamaan dengan itu Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dibangunkan sebagai suatu gerakan politik Islam, lanjutan dari Sumatra Thawalib, dan Muhammadiyah pun berkembang pesat.

Persatuan Islam di Bandung di bawah pimpinan gurunya A. Hasan menentang Ahmadiyah, sehingga pernah diadakan perdebatan di Bandung. Di sana Qadiani betul-betul dibuka topengnya dan jelas kepalsuannya.

Sekarang di Kota Padang sendiri ada masjid mereka. Tetapi yang masuk berjamaah ke masjid itu hanya mereka dengan keturunan-keturunan yang masuk dahulu itu juga. Mereka tersisih dalam golongan kecil, segelintir manusia.

Yang lucu pula ialah pada Tahun 1928 seketika Haji Mahmud, berasal dari Padang Panjang, yang telah jadi Ahmadiyah pula, ditobatkan di Balairung Pasar Rebo Padang Panjang. Karena dia dianggap sudah murtad. Beratus-ratus orang yang menyaksikan dia tobat. Tetapi kemudian ia lari ke Medan, dan di sana dicabutnya tobatnya dan kembali menganut agama Qadiani.

Syukur alhamdulillah, mulai saja mereka datang hendak menyebarkan agama itu, ulama-ulama lekas bertindak. Baik Kaum Muda atau Kaum Tua menyatakan bahwa Ahmadiyah itu adalah kafir. Sebab mereka memandang bahwa kita semuanya itu kafir, sebab kita tidak percaya akan kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

Sekarang di Minangkabau terkelompok sajalah mereka pada sebuah masjid kepunyaan mereka sendiri, di Padang. Di kota-kota lain tidak ada lagi. Yang di Padang Panjang habis lari. Di Tapak Tuan (Aceh) tempatnya mulai masuk, habis dikikis! Di Jawa pun mereka jadi masyarakat terpencil, dan memencil sebab bagi mereka berjihad memperjuangkan agama Islam, adalah haram. Kecuali memperdebatkan Isa sudah mati, Ghulam Ahmad pengganti Isa. Untuk ini mereka mau berdebat, walau sebulan.

KESIMPULAN

Manakah yang lebih berbahaya bagi Islam di antara Bahai dengan Qadiani?

Bahai telah dengan terang-terangan mengatakan bahwa agama mereka bukan Islam, mereka bukan satu sekte dari Islam. Mereka adalah agama yang berdiri sendiri. Sudahlah terang kita menghadapi mereka, sama dengan menghadapi Kristen atau Buddha saja. Sebab itu tidaklah mereka begitu berbahya, sebab mereka orang lain.

Tetapi Qadiani lebih berbahaya, sebab mereka masih mengakui juga bahwa diri mereka dalam Islam. Dan, mereka katakan bahwa nabi dan rasul mereka Ghulam Ahmad adalah sambungan Islam. Syariat Nabi Muhammad diteruskah juga, mereka masih sembahyang Zhuhur empat rakaat, dan masih ada Jumatnya sendiri. Islam kita ini masih diteruskan juga, tetapi pimpinan tidak lagi di tangan nabi Muhammad, melainkan di tangan Mirza Ghulam Ahmad.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM Jilid 2, Hal. 180-186, Republika Penerbit, Cet.1, April 2018).

Sabtu

BUYA HAMKA TENTANG MASJID DHIRAR DAN FATWA IMAM SYAFI'I ADZAN JUM'AT ADALAH 1 KALI

Dan kita sepaham dengan Imam Syafi'i bahwa adzan 1 kali saja yang diperbuat oleh Rasulullah dan kedua sahabat Abu Bakar dan Umar "lebih disukai di sisi kita".

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 140, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KATA MEREKA BERMADZHAB SYAFI'I

Dia imam besar di Masjidil Haram.

Beliau sendiri pun melihat, memang masih banyak amal orang awam (jelata) Indonesia yang Bid'ah. Kata mereka bermadzhab Syafi'i, padahal dalam madzhab itu sendiri tidak ada contoh amal demikian.

(Buya HAMKA, KENANG-KENANGAN HIDUP, Hal. 82, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2018).

ISTINJA

Sufyan bin Uyainah mengabari kami, dari Muhammad bin Ajlan, dan Qa'qa' bin Hakim, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Sesungguhnya aku bagi kalian adalah seperti seorang ayah. Jika ada seorang dari kalian pergi buang air besar, maka janganlah dia menghadap kiblat dan jangan pula dia membelakangi kiblat, ketika buang air besar atau ketika kencing. Hendaklah dia beristinja menggunakan tiga batu."

Rasulullah saw. melarang istinja menggunakan tahi dan rimah.

Beliau juga melarang seseorang beristinja menggunakan tangan kiri.

(Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi'i, Hal. 32, Penerbit Amzah, Ed.1 Cet.2, 2015).

SHALAT ORANG MURTAD

Rasulullah memberi kebaikan kepada orang-orang musyrik, bahkan Allah mengharamkan darah Ahlul Kitab serta melindungi harta mereka dengan pembayaran jizyah.

Orang murtad sama sekali tidak seperti itu.

Allah justru menggugurkan semua amal orang murtad disebabkan kemurtadannya.

Rasulullah menyatakan bahwa orang murtad harus dihukum mati jika menolak bertobat kembali kepada keimanan yang pernah dimilikinya.

(Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi'i, Hal. 153, Penerbit Amzah, Ed.1 Cet.2, 2015).

"Wahai kaum Muslimin! Taqwalah kepada Allah dan kembalilah semua kepada kitab Tuhan-mu, dan beramallah menurut sunnah Nabi-mu, dan ikutilah jejak salaf-mu yang saleh, supaya kamu beroleh kemenangan, sebagaimana kemenangan yang dahulu telah mereka capai."

MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI

Tebuireng, Jombang.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 88, Penerbit Galata Media, Cet. I, Januari 2018).

Syaikh Hasyim Asy'ari menyatakan fahamnya bahwa memukul beduk memanggil orang sembahyang adalah menyerupai naqus (lonceng) orang Kristen, sebab itu maka bid'ah dhalalah hukumnya.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 56-57, Penerbit Galata Media, Cet. I, Januari 2018).

SHALAT DAN KHUTBAH HARI RAYA

Perempuan dan Anak-Anak Pergi ke Masjid

Dengan segala kerendahan hati, saya nyatakan bahwa almarhum guru dan ayah saya, Dr. Syaikh Abdul Karim Amrullah pernah mengeluarkan pendapat bahwa perempuan tidak usah ikut serta shalat ke tanah lapang. Beliau beralasan berdasarkan pernyataan Aisyah, bahwa jika Nabi masih hidup niscaya akan dicegahnyalah perempuan pergi shalat ke tanah lapang melihat bagaimana banyak berubahnya perangai perempuan sekarang.

Ibnu Quddamah berkata di dalam al-Mughni, "Sunnah Rasulullah saw. tetap berlaku, tetapi peringatan Aisyah itu hanya peringatan untuk perempuan yang berlaku demikian."

Melihat perkembangan zaman, di mana kaum perempuan sudah teramat bebas, sebaiknya dibebaskan juga mereka mengerjakan ibadah ke tempat umum agar mereka juga turut mendengarkan ajaran-ajaran agama.

(Buya HAMKA, Tuntunan Puasa, Tarawih dan Shalat Idul Fitri, Hal. 111, Penerbit Gema Insani, Cet.1, April 2017).

AYAHKU

BELIAU MURKA

Tetapi sungguh pun begitu, beliau pernah murka besar kepada Muhammadiyah, iaitu pada Tahun 1928.

Perempuan berpidato di hadapan kaum lelaki, menurut keyakinan beliau adalah "haram", sebab dapat mendatangkan fitnah.

Dan seluruh badan perempuan itu adalah aurat.

Demikian juga, walaupun beliau menyetujui sembahyang ke tanah lapang, tetapi beliau tidak dapat menyetujui kaum perempuan mengikut pula ke tanah lapang itu. Meskipun ada hadits menyatakan bolehnya perempuan untuk pergi.

Tetapi berdasarkan kepada perkataan Siti Aisyah, bahawa jika nabi masih hidup, tentu dilarangnya perempuan-perempuan ini turut pergi sembahyang ke tanah lapang, beliau berpendapat tidak boleh.

Beliau sangat tidak bersetuju utusan-utusan Aisyiah itu pergi ke salah satu perjumpaan yang jauh dari kampungnya, tidak ditemani oleh mahramnya. Dalam beberapa pertemuan agama, telah beliau menyatakan pendirian beliau tentang segala soal itu. Tetapi rupanya tidak ada perubahan, lalu beliau susunlah sebuah buku bernama "Cermin Terus". "Berguna untuk pengurus, pencari jalan yang lurus".

Dalam buku itu, panjang lebar beliau terangkan pendapat beliau tentang kedudukan perempuan dalam agama sampai kepada kewajipan nafkahnya, batas auratnya, ukuran pakaiannya dan lain-lain. Falsafah pandangan hidup beliau kepada kaum perempuan terlukis semua dalam buku itu, iaitu pandangan yang kalau dibaca oleh pergerakan Vrouwen Emancipatie, tidak dapat diterimanya.

Dan tentu sahaja semuanya itu adalah pendapat beliau sendiri, ijtihad beliau!

Pada Tahun 1930, terjadilah Kongres Muhammadiyah di Bukit Tinggi. Panitia Kongres Muhammadiyah telah memutuskan bahawa Siti Rasyidah, seorang remaja puteri Aisyiah yang cantik akan berbicara di hadapan perjumpaan umum, yang dihadiri oleh lelaki dan perempuan. Beliau sengaja diundang dalam Kongres itu. Dan Pengurus Besar Muhammadiyah insaf bagaimana pengaruh besar beliau dan banyak bantuannya kepada Muhammadiyah.

Bagaimana akal? Buku beliau sudah keluar, menyatakan "haram" perempuan berpidato di hadapan lelaki!

(Buya HAMKA, Ayahku, 259-260, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

SERBA-SERBI SEPUTAR HARI JUM'AT

Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya,

"Dinamai hari Jum'at, diambil dari kata al jam'u yang berarti berkumpul. Karena orang Islam berkumpul tiap hari itu di rumah-rumah ibadah yang besar-besar. Dan pada hari itu pulalah disempurnakan kejadian sekalian makhluk, karena dia adalah hari keenam Allah menciptakan semua langit dan bumi. Dan di hari itu Adam diciptakan, di hari Jum'at juga dia dimasukkan ke dalam surga dan di hari Jum'at juga dia dikeluarkan dari dalamnya. Di hari Jum'at Kiamat akan berdiri, dan pada hari Jum'at ada suatu saat yang tiap-tiap apa pun kebaikan yang dimohonkan oleh hamba Allah, bila bertepatan dengan saat itu pastilah akan dikabulkan, sebagaimana telah teguh disebut dalam hadits-hadits yang shahih."

Sebagaimana disalinkan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya,

"Ka'ab bin Luai di zaman jahiliyyah yang mula pertama menamainya hari Jum'at. Dan dinamai juga hari 'Arubah. Tetapi riwayat yang dikenal dalam Islam yang mulai menamainya Jum'at ialah kaum Anshar, sebelum Rasulullah saw. pindah ke Madinah. Ibnu Sirin mengatakan memang kaum Anshar yang menamainya Hari Jum'at. Sebabnya ialah setelah mereka melihat orang Yahudi berkumpul sekali dalam sepekan, yaitu pada hari Sabtu, dan mereka melihat pula orang Nasrani berkumpul pula di hari Ahad, lalu mereka berkata, "Marilah kita tentukan pula hari tempat kita berkumpul di waktu itu kita mengingat Allah, kita shalat dan kita mengaji. Kalau orang Yahudi ada hari Sabtunya, orang Nasrani ada hari Ahadnya; mari kita adakan pula hari kita berkumpul itu, yaitu di hari 'Arubah." Buah pikiran itu diterima oleh bersama, lalu mereka berkumpullah di hari Arubah di rumah As'ad bin Zurarah, atau lebih terkenal dengan panggilan Abu Amamah. Mereka shalat di waktu Zhuhur dua rakaat, setelah habis shalat mereka mengaji. Mereka namai hari itu hari Jum'at yang berarti berkumpul. Biasanya As'ad memotong kambing dan mereka makan tengah hari sampai makan malam bersama-sama dalam bilangan yang masih sedikit. Itulah Jum'at pertama dalam Islam."

Demikian riwayat Ibnu Sirin sebagaimana yang tersebut dalam Tafsir al-Qurthubi.

Yang jadi guru dalam pertemuan-pertemuan itu ialah mubaligh yang dikirim oleh Rasulullah kepada mereka, yaitu Mush'ab bin Umair. Bertahun-tahun di belakang, jauh setelah Nabi wafat, setelah Ka'ab bin Malik tua dan matanya telah buta, bila didengarnya orang adzan Jum'at, dia selalu mengenang As'ad bin Zurarah yang menyediakan rumah tempat berkumpul yang mula-mula itu.

Nabi saw. sendiri pun setelah mulai menginjak Madinah dalam hijrahnya, mulai waktu itu pulalah beliau mengadakan Jum'at.

Tersebut dalam riwayat hidup beliau, bahwa dalam perjalanan hijrah itu, beliau berhenti di Quba' sebagai perhentian penghabisan akan masuk ke Madinah. Dia masuk ke kampung Bani Amer bin Auf di Quba' pada hari Senin, 12 Rabi'ul Awwal pada waktu Dhuha; dari waktu itulah dimulai tarikh Tahun Hijriyah. Beliau berhenti di Quba' dari Senin waktu Dhuha sampai hari Kamis, 15 Rabi'ul Awwal. Hari itu beliau meninggalkan Quba' menuju Madinah, dan bermalam di kampung Bani Salim bin Auf malam Jum'at itu; satu perkampungan yang telah masuk bagian kota Madinah. Setelah datang waktu Zhuhur bershalatlah beliau di sana, diikuti oleh sahabat-sahabat Muhajirin yang bersama beliau dan Anshar yang telah menunggu;

Di sanalah beliau memberikan khutbah Jum'at yang pertama dan waktu itulah beliau shalat Jum'at yang pertama.

lbnu Katsir mengatakan pula dalam tafsirnya,

Bahwa umat-umat telah memilih satu hari untuk berkumpul, sayangnya mereka telah salah memilih. Yahudi memilih hari Sabtu, padahal bukan di hari itu Adam diciptakan. Nasrani memilih hari Ahad, padahal hari Ahad adalah hari pertama penciptaan makhluk, dan Allah telah memilihkan bagi umat ini Hari Jum'at, yang di waktu itulah Allah menyempurnakan ciptaan-Nya.

Tafsiran ini semua dengan sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim.

"Disesatkan Allah umat yang sebelum kita sehingga mereka tidak kena memilih hari Jum'at. Maka adalah bagi Yahudi hari Sabtu dan bagi Nasrani hari Ahad. Lalu Allah mendatangkan kita, maka diberinyalah kita petunjuk kepada hari Jum'at, sehingga jadilah berturut Jum'at, Sabtu, dan Ahad. Akan demikian teruslah kelak di hari Kiamat mereka menurut di belakang kita. Kita adalah terakhir datang dari ahli dunia, tetapi kitalah yang pertama akan diperiksa dan diberi keputusan di antara makhluk-makhluk Allah di Hari Akhirat kelak."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 140-142, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DARI HAL ADZAN

Al-Mawardi menyatakan bahwa adzan pertama itu adalah muhdats (diada-adakan kemudian), dibuat oleh Utsman bin Affan setelah penduduk Madinah bertambah banyak, supaya orang segera masuk ke Masjid.

Ibnul Arabi ulama terkemuka dalam Madzhab Maliki mengatakan tentang hadits shahih yang berbunyi,

"Di antara dua adzan ada shalat, bagi barangsiapa yang mau."

Kata beliau,

"Banyak orang menyangka bahwa shalat sunnah itu ialah di antara dua adzan, yaitu adzan tambahan Utsman dengan adzan yang asli dari Rasulullah saw. Padahal yang dimaksud dengan dua adzan ialah adzan dan iqamat karena keduanya adalah panggilan kepada shalat."

Lalu beliau jelaskan bahwa tambahan adzan Sayyidina Utsman itu adalah perbuatan yang diadakan kemudian.

Tegasnya tidak tepat lagi menuruti sunnah.

Kalimat muhdats adalah kata lain yang lebih hormat tentang bid'ah.

Oleh sebab yang memulai tambahan adzan itu Sahabat Rasulullah saw., orang merasa segan memakai kalimat bid'ah terhadap diri beliau, lalu disebut yang lebih halus, meskipun artinya bersamaan, yaitu muhdats.

Di Indonesia umumnya Madzhab yang dipakai ialah Madzhab Syafi'i,

Maka kalau ada orang memperkatakan hendak menghilangkan adzan 2 kali itu dan memilih yang 1 kali, banyak orang yang bertahan mengambil alasan dengan mengatakan bahwa kita bermadzhab Syafi'i.

Setelah beliau menguraikan terlebih dahulu, menurut riwayat Rabi, bahwa Imam Atha mengatakan bukan Utsman yang memulai tambahan adzan itu melainkan Mu'awiyah, maka,

Imam Syafi'i berkata,

"Yang mana pun di antara keduanya itu yang terjadi (Utsman atau Mu'awiyah), namun perbuatan yang dikerjakan di zaman Rasulullah saw. itulah yang lebih disukai di sisi saya." (Lihat al-Umm, Juz 1).

Memang kita menghormati sangat-sangat kepada sahabat Nabi kita saw.

Tetapi apabila kita memilih mana yang dikerjakan Rasulullah sendiri dan meninggalkan tambahan yang dari sahabat beliau, tidaklah berarti bahwa kita kurang hormat kepada beliau, melainkan kita telah meletakkan Nabi lebih tinggi daripada sahabatnya, niscaya sahabat-sahabat itu sendiri akan bersuka hati jika sikap kita demikian.

Apatah lagi tidak pula boleh kita lupakan kemajuan zaman kita sekarang, dengan adanya alat-alat listrik pengeras suara, adanya mikrofon dan loudspeaker, sehingga suara adzan sudah dapat didengar dari tempat yang ukurannya sudah lebih jauh daripada di zaman Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dahulu kala itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 132-133, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KHUTBAH JUM'AT

Sudah nyata bahwa yang terpenting dari shalat Jum'at itu ialah karena akan mendengar khutbah imam.

Sekali dalam sepekan kita berkumpul, sehingga di hari Jum'at itu Shalat Zhuhur yang 4 rakaat dijadikan 2 rakaat dan dinamai Jum'at, ditambah dengan khutbah.

Yang jadi pokok dari memberikan khutbah ialah memberi pelajaran, pendidikan, peringatan dan kesadaran beragama, mengulang-ulangkan peringatan ke dalam hati orang yang beriman agar mereka memperteguh takwanya kepada Allah dengan anjuran yang benar-benar menawan hati dan menimbulkan keinsafan.

Dalam Madzhab Syafi'i disebutlah rukun-rukun khutbah. Yaitu:

1) memuji Allah dengan ucapan Alhamdulillah,

2) mengucapkan shalawat dan salam untuk Rasulullah saw.,

3) memberikan nasihat agar bertakwa kepada Allah dalam kedua khutbah,

4) bacakan ayat Al-Qur'an walaupun hanya satu ayat,

5) mendoakan kaum Muslimin.

Dalam Madzhab Hambali hanya 4; bagian mendoakan kaum Muslimin tidak masuk.

Dalam Madzhab Malik, rukun khutbah hanya 1, yaitu asal khutbah itu mengandung satu hal saja yang amat penting, yaitu memberikan kesadaran beragama kepada jamaah yang mendengarkan, sehingga meresap padanya kesadaran beragama.

Dalam Madzhab Hanafi pun hanya 1 saja, yaitu asal khutbah itu mengandung dzikir (menyebut dan mengingat Allah).

Memang, sudah biasa apabila orang berkhutbah yang berdasarkan agama, baik tabligh agama, baik ceramah atau pengajian, dituruti orang Sunnah Nabi, yaitu dimulai dengan memuji Allah.

Maka kalau dalam Madzhab Syafi'i hal itu dijadikan rukun, maka oleh Madzhab Hanafi dan Maliki tidak mewajibkan membaca Alhamdulillah sebagai kemestian, melainkan kepada isi khutbah.

Hendaklah kita tinjau dan simpulkan pendapat-pendapat dari madzhab-madzhab itu dengan sebaik-baiknya.

Kalau kita hanya membeku saja menurut rukun Khutbah yang digariskan dalam madzhab Syafi'i, niscaya mudah saja seorang Khathib naik mimbar lalu berkhutbah,

"Segala puji bagi Allah Shalawat dan Salam atas Rasulullah. Wahai sekalian manusia, takwalah kepada Allah Katakanlah bahwa Allah itu adalah Satu. Ya Tuhanku, ampunilah Muslimin dan Muslimah."

Cuma itu saja, lima patah kata; dia pun turun sebentar dan naik lagi untuk khutbah kedua, dibacanya itu juga.

Dalam 3 menit selesai dia baca khutbah.

Atau menurut Madzhab Hambali, dibacanya semua kecuali yang kelima dengan cara begitu pula.

Semua sah!

Tetapi hambar saja!

Atau turuti Madzhab Hanafi; baca saja Alhamdulillah, Laa Ilaha Illallah, Allahu Akbar!

Lalu turun.

Cara-cara begini mungkin bisa terjadi di kampung yang bapak imam dan khathibnya telah lama mati dan hanya seorang yang berani menggantikan dengan cara begitu.

Yang sebaiknya ialah perhatikan Madzhab Maliki, isi khutbah itu dengan pelajaran bagi kaum Muslimin dan hiasi khutbah itu menurut tuntunan madzhab Syafi'i; tetapi kalau berkurang-kurang, tidak persis 5 (Madzhab Syafi'i) atau 4 (Madzhab Hambali), janganlah langsung khathib disuruh turun dari mimbar dan dikatakan bahwa khutbahnya tidak sah.

Yang penting hendaklah orang yang jadi Khathib itu seorang yang patut dijadikan teladan yang baik.

Hendaknya imam merangkap jadi khathib.

Dalam shalat dia imam, sebelum shalat dia memberikan nasihat dan ajaran mendalam di khutbahnya.

Sebab pada hakikatnya beliau itu adalah penerus dari tugas nabi dan tugas khalifah-khalifahnya.

Yang penting sekali diperhatikan ialah bahwa khutbah itu ialah pidato.

Dia adalah semacam seni yang halus untuk menawan dan menaklukkan hati pendengar.

Pernah ditanyakan orang kepada Abdul Malik bin Marwan; belum sampai 2 tahun dia memegang pemerintahan, rambutnya telah memutih, telah tumbuh banyak uban.

Ditanyakan orang, mengapa sampai begitu?

Beliau menjawab bahwa yang menambah banyak uban di kepalanya itu ialah karena tiap-tiap hari Jum'at naik tangga mimbar. Karena sejak sehari sebelumnya sudah dipikirkan apa yang patut dikhutbahkan, apa yang sesuai dengan keadaan jamaah yang akan mendengar.

Apatah lagi Nabi saw. sendiri memberi ingat menurut sebuah hadits,

"Sesungguhnya panjang shalat seseorang dan pendek khutbahnya, adalah alamat dari fiqihnya. Sebab itu panjangkanlah shalat kamu dan pendekkan khutbah." (HR. Ahmad dan Muslim dari hadits Amar bin Yasir).

Arti tanda dari fiqihnya ialah tanda dari mendalam pahamnya tentang hikmah-hikmah agama dan kesanggupannya mengetahui kepentingan orang banyak.

Jabir bin Samurah berkata,

"Shalat Rasulullah saw. itu sederhana dan khutbahnya pun sederhana."

Abdullah bin Abu Aufau berkata,

"Rasulullah saw. itu kalau shalatnya panjang khutbahnya pendek." (HR. an-Nasa'i, dengan sanad shahih).

Berkata Jabir bin Abdullah,

"Rasulullah itu kalau beliau berkhutbah merah kedua matanya, tinggi suaranya, penuh semangat seakan-akan beliau mengerahkan tentara; (beliau berkata) 'Awaslah pagi-pagi kamu, petang-petang kamu!" (HR. Muslim dan Ibnu Majah).

Imam Nawawi berkata,

"Sangat disukai khathib itu kalau berkhutbah hendaklah dengan bahasa yang fasih, menarik, dan terasa ke hati, tersusun dan jelas, dengan tidak usah kata-kata yang berlebih-lebihan dan berdalam-dalam. Dan jangan pakai kalimat-kalimat yang rendah mutunya atau yang dibuat-buat, sebab yang demikian itu tidak akan berpengaruh ke dalam hati dengan sempurna. Jangan pula kata-kata yang kasar, sebab yang demikian tidak akan menghasilkan maksud. Tetapi pilihlah kata-kata sederhana yang dapat segera dipahamkan."

Dalam kongres yang diadakan Rabithah 'Alam al-Islami, di masjid Mekah pada Ramadhan 1398 (September 1975), dibahas juga tentang pentingnya khutbah. Masjid dengan khutbah yang baik dianggap sebagai pembangkit yang baik dari kesadaran beragama. Di sana pun dianjurkan agar imam-imam dan khatib Jum'at itu hendaknya orang yang berkeahlian dan mempunyai wibawa pribadi. Dikaji juga di situ bahwa setelah islam mundur, masjid tidak berperan lagi dan khutbah Jum'at pun mundur sama sekali.

Kita pun dapat melihat khatib-khatib kampung membawa khutbah-khutbah yang telah dikarang 60 tahun yang lalu masih ditemui kitab khutbah yang dikarang oleh Syekh Ahmad Khatib di Mekah dan dikirim ke masjid-masjid di tanah air kita buat dibaca. Khutbah itu bahasa Arab. Khatib-khatib membacanya dengan dilagukan, jamaah yang hadir tidak paham apa yang dibaca khatib, bahkan khathib itu sendiri pun tidak paham apa yang dia baca. Bahkan pengetahuannya tentang agama hanya sekadar melagukan khutbah itu saja. Di dekat mihrab digantungkan sehelai jubah, yang apabila khatib akan naik mimbar jubah itu dipakai lebih dahulu, dan disediakan tongkat yang akan dipegang selama berkhutbah. Tongkat itu biasanya berupa tombak, karena Sunnah Nabi memakai tombak, namun tombak itu ialah tombak kayu. Kadang-kadang ada pula memakai pedang, pedang itu pun pedang kayu. Dan sesudah selesai shalat nanti, mereka pun menyusun shaf kembali, lalu melaksanakan Shalat Zhuhur. Sebab mereka sendiri memutuskan bahwa Jum'at yang baru mereka lakukan itu tidak sah, sebab bilangan 40 orang dengan syarat-syarat yang ditentukan, tidak tercapai!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 136-138, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

APABILA BERTEMU DUA HARI RAYA

Menjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama-ulama salaf kalau bertemu dua hari raya, yaitu jatuh sebelum shalat Hari Raya Fitri atau Hari Raya Adha pada hari Jum'at.

Banyak ulama berpendapat kalau terjadi demikian, Jum'at tidak wajib lagi.

Artinya boleh orang yang telah melakukan shalat Hari Raya itu tidak ke Jum'at lagi.

Yang dengan tegas menyatakan tidak wajib Jum'at lagi kalau sudah shalat Hari Raya, di antaranya ialah Imam Ahmad bin Hambal.

Beliau beralasan karena di zaman Rasulullah saw., pernah kejadian demikian, beliau pernah berkata,

"Barangsiapa yang ingin handak bershalat, shalatlah." (HR. Lima Imam Hadits, disahkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim).

Maksudnya adalah Shalat Jum'at.

Dan hadits dari Abu Hurairah,

"Jika harimu ini telah berkumpul dua hari raya, maka siapa yang suka, bolehlah dia mengadakan Hari Raya itu dari Jum'at, tetapi sesungguhnya kami tetap berjum'at." (HR. Abu Dawud).

Tetapi tidak semua ulama menganut pendapat itu.

Imam Syafi'i menjelaskan pendirian beliau di dalam al-Umm, bahwa yang diberi kelapangan meninggalkan Jum'at pada pertemuan dua hari raya itu hanyalah orang dusun yang jauh dari kota yang di sana tidak berdiri Jum'at. Dalam hadits mereka itu disebut orang al-Awwali, yang berarti mereka-mereka yang tinggal di pegunungan atau di kampung ketinggian. Oleh karena rumah mereka jauh, terserahlah kepada mereka apakah mereka akan menunggu di Madinah sampai selesai shalat Jum'at, atau akan pulang saja kembali ke kampung mereka sehabis Shalat Hari Raya, sehingga mereka tidak ikut berjum'at lagi.

Ini berlaku di zaman Rasulullah saw. dan lebih diperjelas lagi oleh yang terjadi di zaman pemerintahan Khalifah yang ketiga, Utsman bin Affan, yaitu orang pegunungan beliau persilakan memilih sendiri apa akan pulang sehabis Shalat Hari Raya, atau akan menunggu sampai selesai Jum'at. Ujung sabda Nabi tadi,

"Sesungguhnya kami adalah berjum'at."

Artinya ialah kami tetap mengumpulkan kedua hari raya itu, sama-sama kami kerjakan. Sebab Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatyang lain tinggal dalam kota Madinah sendiri. Sebab itu kalau kiranya rukhshah (keringanan) tidak berjum'at bagi semuanya, niscaya Rasulullah akan membuat contoh yang patut ditiru, yaitu tidak usah berjum'at lagi. Padahal beliau telah jelaskan dengan tegas, "Kami berjum'at."

Al-Imam Ibnu Hazm al-Andalusi, imam madzhab Zhahiri dalam kitabnya al-Muhalla, bahwa beliau tidaklah dapat menerima pendapat itu.

Alasannya sederhana saja, yaitu Jum'at adalah wajib, sedang shalat hari raya yang kedua itu adalah sunnah. Bagaimana perintah yang wajib akan boleh ditinggalkan karena telah melakukan yang sunnah?

Kemudian itu dikemukakan orang pula suatu hadits bahwa di zaman Abdullah bin Zubair menguasai Hejaz, bahwa berdasar kepada pendapat dua hari raya berkumpul di satu hari Jum'at, beliau shalat hari raya agak tinggi hari (siang), dan beliau tidak shalat Jum'at lagi; bahkan tidak pula shalat Zhuhur, terus Ashar saja.

Ketika cerita ini didengar oleh Abdullah bin Abbas, beliau katakan bahwa perbuatan Abdullah bin Zubair yang diakui oleh Ibnu Abbas ini, adalah pendapat bahwa jika bertemu dua Hari Raya, bukan saja berjum'at tidak wajib lagi, bahkan Shalat Zhuhur pun tidak wajib (karena sudah dilakukan Shalat Hari Raya).

Setengah orang menta'wilkan kejadian ini dengan berkata,

"Mereka Shalat Zhuhur juga di tempat masing-masing, tetapi tidak berjamaah. Setengah lagi mengatakan memang Abdullah bin Zubair tidak bershalat Zhuhur lagi."

Pendapat penyusun tafsir ini lebih condong kepada yang pertama, bahwa tidak mungkin Abdullah bin Zubair telah meninggalkan Jum'at dan Zhuhur sama sekali karena telah melaksanakan Shalat Hari Raya.

Kalau itu kejadian, dengan tegas kita tidak dapat mengikuti perbuatan Abdullah bin Zubair itu.

Sedangkan perbuatan Sayyidina Utsman bin Affan menambah adzan 1 lagi untuk menyuruh orang berkumpul menunggu Shalat Jum'at di masjid, dan disuruhnya muadzin itu ke az-Zauraa, dekat pasar, padahal maksud beliau baik, kita tinggalkan juga;

Dan kita sepaham dengan Imam Syafi'i bahwa adzan 1 kali saja yang diperbuat oleh Rasulullah dan kedua sahabat Abu Bakar dan Umar "lebih disukai di sisi kita", apalagi perbuatan Abdullah bin Zubair yang meninggalkan satu waktu yang wajib, yaitu waktu Zhuhur karena sudah diselesaikan dengan Shalat Hari Raya saja.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 139-140, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KHUTBAH SELAIN BAHASA ARAB

Madzhab Maliki dengan tegas menyatakan bahwa khutbah Jum'at mesti bahasa Arab, meskipun jamaah yang berjum'at bukan orang Arab.

Khatibnya wajib mempelajari khutbah yang bahasa Arab itu dan membacanya, walaupun hadirin tidak mengerti.

Kalau tidak ada khutbah demikian, gugurlah kewajiban jum'at bagi mereka.

Madzhab Hanafi,

"Boleh saja memakai khutbah bahasa selain bahasa Arab, walaupun atas orang yang mengerti bahasa Arab. Atau jamaah itu orang Arab.

Madzhab Hambali,

"Kalau khathib sanggup berkhutbah bahasa Arab tidaklah boleh memakai khutbah dalam bahasa selain Arab. Lain perkara kalau tidak sanggup, waktu itu baru boleh memakai bahasa yang lain. Tetapi ayat-ayat Al-Qur'an wajib dibaca menurut aslinya."

Menurut Madzhab Syafi'i,

Disyaratkan kedua khutbah itu dalam bahasa Arab. Tidaklah memenuhi syarat berkhutbah dengan bahasa selain Arab kalau masih bisa dipelajari bahasa Arab; tetapi kalau tidak mungkin, barulah boleh dipakai bahasa selain Arab. Peraturan ini berlaku jika jamaahnya itu bukan orang Arab, tidaklah disyaratkan rukun-rukun khutbah itu mesti bahasa Arab juga. Kalau terpaksa dia memakai bahasa selain bahasa Arab, namun ayat-ayat Al-Qur'an hendaklah dibaca menurut asli Arabnya. Kalau ayat itu tidak hafal dalam bahasa Arabnya, boleh diganti dengan doa-doa dalam bahasa Arab. Selain dari rukun-rukun khutbah yang lima perkara, boleh saja diucapkan dalam bahasa selain Arab.

Dalam hasil Permusyawarahan Kongres di Mekah memusyawarahkan soal masjid pada Ramadhan 1395 itu segenap hadirin bersetuju bahwa terhadap bangsa Arab sendiri hendaklah dipakai bahasa Arab yang fasih.

Adapun terhadap kaum Muslimin yang bukan Arab, hendaklah dipakai untuk khutbah bahasa yang dapat mereka pahamkan.

Karena tujuan khutbah ialah memberi ajaran agama kepada jamaah.

Wajiblah bagi jamaah mendengarkan khutbah dengan tertib dan hening, jangan ribut supaya khutbah bisa didengarkan dengan baik.

Sehingga jika ada yang ribut janganlah yang lain menegur yang ribut itu pula, supaya jangan bertambah ribut.

Karena ada hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. pernah bersabda,

"Apabila engkau katakan kepada kawan engkau 'diamlah' pada hari Jum'at, sedang imam berkhutbah, maka jadi gagallah engkau." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan bila imam itu telah naik ke atas mimbar menghadap kepadanya baik-baik, artinya supaya tertuju perhatian kepada isi khutbah yang akan beliau khutbahkan.

Karena begitulah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah kepada diri beliau setelah beliau naik ke atas mimbar.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 138-139, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MALAM JUM'AT

Tentang malam Jum'at berkata Ibnul Qayyim,

Sangat disukai memperbanyak membaca shalawat bagi Nabi Muhammad saw. pada hari Jum'at dan malam Jum'at, sebab Rasulullah saw. berkata,

"Perbanyaklah shalawat untukku pada hari Jum'at dan malam Jum'at."

Memang Rasulullah saw. sendiri adalah penghulu dari sekalian manusia dan Jum'at adalah penghulu dari sekalian hari; oleh sebab itu mengucapkan shalawat untuk beliau pada saat-saat itu mempunyai keistimewaan yang lain daripada hari-hari yang lain, disertai pula oleh kandungan hikmah yang lain, yaitu bahwa seluruh kebaikan yang dicapai oleh umatnya di dunia ini dan di akhirat, semuanya itu mereka capai adalah berkat buah tangan beliau saw., maka dikumpulkan Allah untuk umat Muhammad itu di antara dua kebajikan, yaitu kebajikan dunia dan kebajikan akhirat; dan sebesar-besar kemuliaan yang mereka capai ialah pada hari Jum'at.

Maka tersebutlah bahwa kelak mereka akan dimasukkan ke dalam surga pada hari Jum'at akan menghuni mahligai-mahligai mereka di sana.

Dan hari Jum'at itu pun hari pertambahan mereka di surga.

Dan di dunia ini pun hari Jum'at adalah Hari Raya mereka, segala permohonan dan permintaan yang mereka mohonkan di hari Jum'at itu pada saat tertentu akan dikabulkan Allah.

Semuanya ini mereka kenal dan berhasil ialah karena ajaran Nabi saw. yang diterima dari tangannya.

Maka untuk menyatakan terima kasih, puji-pujian, dan untuk menunaikan sejemput kecil daripada haknya ialah dengan memperbanyak mengucapkan shalawat untuk beliau di hari Jum'at dan malam Jum'at.

Sekian Ibnul Qayyim.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 142, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MASJID DHIRAR

"Maka apakah orang yang mendirikan bangunannya atas (dasar) takwa dari Allah dan karena ridha-Nya yang lebih baik? Ataukah orang yang mendirikan bangunannya di atas tepi jurang yang dalam, lalu bangunan itu membawanya ke dalam neraka Jahannam?" (pangkal ayat 109).

Pangkal ayat ini berbentuk sebagai suatu pertanyaan, yang disuruh Allah Rasul-Nya menanyakan kepada umat, untuk membangkitkan mereka berpikir.

Mana yang lebih baik mendirikan bangunan atas dasar takwa dan ridha Allah, dengan mendirikan bangunan di tepi jurang neraka karena niat mendirikannya adalah jahat?

Pertanyaan ini mengajak berpikir bagi tiap orang yang beriman jika hendak mengadakan suatu bangunan baik masjid atau bangunan yang lain.

Sebab bangunan itu sendiri tidaklah salah.

Bahkan berdirinya satu masjid tidaklah salah.

Yang akan ditinjau ialah niat ketika mendirikan.

Oleh sebab itu, maka tiap-tiap bergerak hendak membangun, ditegaskan oleh ayat ini supaya bertanya terlebih dahulu ke dalam hati sanubari sendiri, apa niat yang terkandung di dalamnya?

Apakah hendak memecah-belah?

Apakah karena jiwa kufur?

Maka apabila suatu bangunan didirikan benar-benar atas dasar takwa iman dan ikhlas, bangunan itulah yang akan berkat dan selamat.

Tetapi bangunan yang didirikan atas niat memecah-belah tenaga umat, atau untuk kemegahan diri sendiri, mencari nama, mempertontonkan kekayaan, membela golongan sehingga putus tali silaturahim yang mestinya selalu berhubung, samalah halnya dengan mendirikan bangunan itu, di tepi jurang, di bibir lurah yang curam.

Bagaimanapun bagus bentuknya, dia pasti hancur dan runtuh, menghimpit pendiri-pendiri itu sendiri dan membawa mereka ke dalam neraka Jahannam.

Niscaya kita lihat sekarang ini bahwa masjid yang asal pertama, baik Masjid Quba atau Masjid Rasulullah saw., yang oleh kaum munafik hendak ditandingi dengan masjid Dhirar itu, tidaklah dapat disamaratakan pengiasannya dengan masjid-masjid pada zaman kita.

Imam Syafi'i sendiri dalam fatwanya yang qadim, tetap bertahan bahwa di dalam satu Madinah (kota besar) cukup 1 masjid saja.

Tetapi setelah beliau melihat kedudukan kota Baghdad sendiri yang di kala itu mempunyai dua bagian kota seberang-menyeberang sungai Dajlah, beliau pun meninjau fatwanya itu kembali.

Sehingga walaupun kedengaran adzan di seberang sungai, karena sukar menempuhnya dengan perahu, bolehlah mendirikan masjid pula di seberang satu lagi.

Dalam fatwa beliau yang jadid, setelah berpindah ke Mesir, condonglah beliau kepada pendapat bahwa di dalam kota-kota yang besar, bolehlah berbilang masjid, asal diatur oleh imam (kepala negara).

Setelah agama Islam menjadi anutan orang-orang di tanah air kita, maka terdapatlah susunan-susunan masyarakat yang disesuaikan dengan agama.

Misalnya, satu Mukim di Aceh, satu Korea (Qaryah) di Mandahiling dan Nagari di Minangkabau.

Di Jawa pun sejak Kerajaan Demak, dalam ibukota Kabupaten berdiri sebuah Masjid Besar.

Dalam pepatah Minangkabau yang disebut sebuah Nagari ialah "Yang berbalairung yang seruang, bermasjid yang sebuah." Artinya, tidak boleh berbilang masjid atau Jum'at, mesti hanya sebuah.

Tetapi setelah anak buah bertambah kembang, berdasar kepada paham Madzhab Syafi'i itu, pada 1890 Tuan Syekh Muhammad Yunus (ayah dari almarhum Zainuddin Labay dan almarhumah Ibu Hajjah Rahmah El Yunusiyah) mengeluarkan fatwa bahwa di dalam negeri Pandai Sikat boleh berdiri lagi sebuah masjid, yaitu di kampung Pandai Sikat yang jauh dari Masjid Jami itu. Demikian juga mendirikan Masjid Kubu Sungai Batang, padahal dahulu hanya 1 di lorong Nagari saja, atas fatwa ayah dan guru saya, Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah.

Di negeri Negara di Kalimantan Selatan terjadi pembahasan ulama-ulama berpuluh tahun lamanya karena satu golongan hendak mendirikan sebuah masjid lagi di seberang sungai yang membelintang di tengah negeri.

Karena persoalan menambah masjid dari 1 menjadi 2 di sebuah negeri itu amat hebat pada permulaan Abad ke-20 ini, maka Tuan Syekh Ahmad Khathib di Mekah mengeluarkan sebuah kitab dalam bahasa Arab, bernama Shul-hul Jama'atain (Perdamaian Dua Jamaah), yang ringkasan isinya ialah bahwa boleh menambah bilangan masjid dalam satu negeri, atau korea atau mukim itu, asal saja dengan musyawarah yang baik dan karena sebab-sebab yang masuk akal, bukan karena hendak menimbulkan perpecahan di antara dua golongan.

Di kota-kota besar di Jawa menjadi tradisi bahwa istana kedudukan bupati (kabupaten) berhadap-hadapan dengan sebuah Masjid Jami'. Di tengah-tengahnya sebuah tanah lapang (alun-alun). Tetapi setelah zaman penjajahan, tangan penjajah masuk ke dalam masjid itu dan kiai penghulu adalah seorang ambtenar yang biasanya terpilih dari orang yang bertali darah kekeluargaan dengan bupati sehingga masjid-masjid menjadi sumber kebekuan pikiran, maka kalangan kaum muda Islam mendirikan lagi masjid-masjid sendiri, sebab memandang bahwa amalan di Masjid Besar itu sudah banyak dicampuri bid'ah atau pengaruh penjajah.

Tadi kita katakan bahwa keadaan masjid kita sekarang tidak boleh langsung diserupakan dengan Masjid Quba dan Masjid Madinah, yang hendak dipecahkan oleh orang munafik dengan mendirikan Masjid Dhirar itu.

Berbilang masjid, terutama di kota-kota besar seperti di Jakarta dan lain-lain kota besar itu, tidaklah salah.

Menambah masjid di satu negeri, mukim, korea, dan sebagainya itu tidaklah salah asal jamaah kaum Muslimin jangan terpecah belah.

Asal imam-imamnya seia sekata di dalam menghadapi tugas bersama mengadakan dakwah.

Yang salah ialah jika mendirikan suatu bangunan timbul daripada niat sebagai niat munafik yang empat perkara tadi.

Di Kota Payakumbuh, berdirilah masjid-masjid kepunyaan satu golongan.

Ada masjid orang Banuhampu, masjid orang Sianok, masjid orang Pariaman. Yaitu orang-orang dari daerah Minangkabau sendiri, yang berniaga di Payakumbuh. Pada 1946 Penulis Tafsir ini berulang-ulang datang ke Payakumbuh dan memberi pengertian bahwa memakai nama kampung mereka untuk masjid, tidaklah layak. Lalu semuanya ditukar namanya, menjadi Masjid Mujahidin, Mukarrabin, Muttaqin, dan sebagainya.

Bertalian dengan ini tentu tidak layak juga kalau satu masjid yang didirikan oleh satu perkumpulan Islam, diberi nama dengan nama perserikatan itu. Misalnya Masjid Muhammadiyah, Masjid Persis, Masjid Nahdlatul Ulama, dan sebagainya. Takut kalau-kalau timbul niat yang tidak baik, yaitu memisahkan diri dari jamaah kaum Muslimin.

Oleh sebab itu, jadikanlah masjid menjadi sumber iman dan tauhid, sumber untuk menyatu-padukan aqidah dan ibadah umat, yang didirikan sejak semulanya atas dasar yang takwa dan ikhlas, jangan hendaknya menjadi sumber dari perpecahan dan dosa, jangan pula seperti orang kaya yang mendirikan sebuah masjid untuk kemegahan diri sendiri.

Sebab (ujung ayat 109) orang yang zalim ialah yang keluar dari batas yang ditentukan Allah, lagi zhulm, yaitu gelap tidak terang apa yang mereka tuju. Orang mendirikan masjid untuk menyembah Allah, mereka mendirikan masjid untuk memecah, untuk mengintip bagi memerangi Allah dan Rasul. Maka oleh sebab sejak semula niat sudah tidak baik, sampai kepada akhirnya mereka pun akan tetap dalam gelap, tidak diberi petunjuk oleh Allah.

"Dan Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Bijaksana." (ujung ayat 110).

Allah Maha Mengetahui, Allah lebih tahu, walaupun maksud-maksud jahat itu mereka dinding dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Akhirnya, kelak apa yang mereka sembunyikan itu akan dibuka juga oleh Allah.

Tetapi Allah pun Bijaksana, sehingga penyakit tekanan batin itu bisa juga diobat, yaitu dengan tobat dan kembali ke dalam jalan yang benar.

Tersebut di dalam satu riwayat bahwa setelah Sayyidina Umar bin Khaththab menjadi khalifah, ada seorang bernama Majma bin Haritsah, bacaannya fasih dan dia bisa menjadi imam jamaah. Maka keluarga Bani Amin bin Auf, yaitu penduduk kampung Quba yang meramaikan Masjid Quba meminta izin kepada beliau agar Majma bin Haritsah itu diizinkan menjadi imam jamaah mereka.

Amirul Mu'minin mulanya tidak memberi izin dia dijadikan imam; sebab dia pernah diangkat kaum munafik itu menjadi imam di Masjid Dhirar itu.

Mendengar larangan itu datanglah Majma menghadap khalifah, lalu berkata,

"Ya Amirul Mu'minin, janganlah lekas saja menyalahkan aku. Demi Allah, memanglah aku pernah shalat menjadi imam mereka, tetapi Allah tahu bahwa aku sendiri waktu itu tidak tahu niat jahat mereka. Aku waktu itu masih kanak-kanak dan bisa membaca Al-Qur'an, sedang mereka itu adalah orang tua-tua yang tidak seorang pun yang pandai membaca Al-Qur'an!"

Mendengar keterangannya yang demikian, dapatlah khalifah memahami dan percayalah beliau akan keterangannya itu, lalu diizinkanlah dia menjadi imam.

Sebab nyata bahwa sebagai seorang anak kecil, dia tidak mengerti duduk soal yang sebenarnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 291-294, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Jumat

BUYA HAMKA BERCERITA NIKAH SI KANI, MANFAATNYA SAMPAI MASA KINI

AYAHKU

Suatu hari saya mengganggu beliau.

Saya katakan:

"Ada ulama mengatakan bahawa membuat ta'liq itu bid'ah, tidak berasal dari Nabi!"

Beliau marah dan berkata:

"Ulama Tea! Tidak dapat dia membezakan mana urusan ibadat dan mana urusan nikah!"

-Tea, bahasa Minangkabau bererti tolol.

(Buya HAMKA, Ayahku, 179, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

PEREMPUAN

Hendaklah seorang yang beriman mengingat benar-benar bahwasanya jenis kaum perempuan yang lemah adalah salah satu isi dari khutbah Nabi Muhammad saw. yang terakhir di waktu Haji Wada'. Ketika itulah beliau berkata antara lain,

"Takutlah kamu sekalian kepada Allah berkenaan dengan perempuan; sesungguhnya dia adalah teman hidup sejati di sisi kamu."

Dan perempuan pulalah pesan dan petaruhnya yang terakhir seketika beliau akan meninggal dunia. Ada dua pesan beliau waktu akan meninggal dunia, yang sangat diperingatkannya. Pertama, shalat di awal waktu dan kedua, perempuan. Aku takut, kata beliau bahwa kedua soal inilah yang akan terlebih dahulu kamu sia-siakan.

SYIQAQ

"Dan jika kamu takut perselisihan di antara mereka berdua, maka hendaklah kamu utus seorang hakam dari ahlinya (si laki-laki) dan seorang hakam dari ahlinya (si perempuan)." (an-Nisaa' pangkal ayat 35).

Meskipun pada ayat 34 di atas sudah dijelaskan hak dan kewajiban masing-masing bahwa si laki-laki sebagai pemimpin bagi istrinya dan si perempuan hendaklah taat, kadang kalanya tidak juga dapat dielakkan perselisihan, yang kerapkali menyebabkan pergaulan menjadi retak. Sebab yang menimbulkan perselisihan mesti salah satu dari dua atau sekali keduanya. Atau si suami zalim dalam melakukan pimpinan. Atau si perempuan durhaka dari pimpinan (nusyuz). Atau karena si laki-laki bertambah zalim, maka si perempuan bertambah nusyuz; dan si perempuan bertambah nusyuz, maka si laki-laki pun bertambah zalim.

Kalau ditanya satu demi satu, satu pihak menyalahkan yang lain. Si suami mengatakan istrinya sangat nusyuz sebab itu dia berhak menghukum, bahkan tidak wajib nafkah. Si istri mengadu, mengatakan bahwa suaminya tidak mempedulikan dia lagi, tidak ada nafkah lahir dan batin, jadi si suami zalim. Keduanya telah mempertahankan pendirian masing-masing. Tidak ada perdamaian lagi sehingga syiqaq telah tumbuh.

Arti asal dari syiqaq ialah retak menghadang pecah. Padahal belum cerai. Kalau orang lain (tangan ketiga) tidak campur, hal ini bisa berlarut-larut. Maka datanglah perintah supaya kamu, yaitu keluarga kedua pihak, atau masyarakat sekitarnya, sekampung sehalaman, atau pemerintah (sebab pemerintahan yang memegang tampuk masyarakat) supaya segera mencampuri hal itu. Datanglah perintah Allah: Maka utuslah seorang hakam dari ahli si laki-laki dan seorang hakam dari ahli si perempuan. Hakam yang pokok artinya sama dengan Hakim. Hakam ialah penyelidik duduk perkara yang sebenarnya sehingga mereka dapat mengambil kesimpulan. Kedua hakam itu diutus oleh kedua masyarakat kaum Muslimin atau keluarga terdekat kedua belah pihak. Hakam si laki-laki menyelidiki pendirian si laki-laki dengan saksama, hakam si perempuan menyelidiki pendirian si perempuan dengan saksama pula. Setelah lengkap diketahui, mereka bertemu kembali, lalu soal itu dikaji dengan kepala dingin. "Jika keduanya mau akan perdamaian, niscaya akan diberi taufik oleh Allah di antara mereka keduanya."

Perdamaian atau ishlah, itulah hendaknya yang menjadi kedua hakam. Asal kedua-duanya benar-benar mau ishlah, niscaya Allah akan memberi taufik, yakni akan dapat persetujuan paham di antara mereka berdua, apakah yang ishlah di antara kedua suami istri yang berselisih ini? Adakah ishlah itu dengan mendamaikan mereka kembali sehingga segala perselisihan hilang dan mereka hidup rukun karena apa yang disukai atau apa yang menjadi keberatan kedua pihak sudah sama-sama diketahui? Atau apakah akan lebih timbul perdamaian, surut semula sebagai Muslim sesama Muslim dengan bercerai saja? Karena kalau diteruskan akan lebih besar bahayanya karena memang tidak ada kecocokan lagi? Kalau benar-benar kedua hakam ini mendapat kesimpulan bahwa ishlah hanya didapat dengan bercerai, itu pun mesti mereka katakan dengan terus terang.

Perceraian dengan damai tersebut juga kelak pada ayat 130.

Menurut riwayat Imam Syafi'i di dalam al-Umm, al-Baihaqi di dalam as-Sunan, dan beberapa riwayat lain, riwayat itu dari Ubaidah al-Sulamani, bahwa pada suatu hari datanglah seorang laki-laki dan seorang perempuan kepada Ali bin Abi Thalib (moga-moga Allah memuliakan wajahnya) dan bersama dengan mereka turut pula segolongan besar orang-orang. Rupanya mereka mengadukan perselisihan atau syiqaq yang telah tumbuh di antara kedua orang suami istri itu. Maka Ali memerintahkan supaya diutus seorang hakam dari ahli si laki-laki dan seorang hakam dari ahli si perempuan, kemudian beliau (Ali) berkata kepada kedua hakam itu, "Apakah kamu keduanya tahu apa kewajiban kamu? Kewajiban kamu ialah menyelidiki, kalau pada pandangan kamu berdua masih dapat orang-orang ini dikumpulkan kembali, hendaklah kamu kumpulkan, dan kalau kamu berdua berpendapat lebih baik bercerai saja, maka perceraikan mereka!"

Mendengar itu berkatalah si perempuan, "Hamba tunduk kepada Kitab Allah dan apa yang tersebut di dalamnya." Tetapi si laki-laki menyanggah, "Kalau keputusan bercerai, aku tak mau!"

Ali menjawab, "Kalau begitu, engkau adalah seorang yang mendustakan Allah. Kalau tidak engkau tunduk kepada apa yang telah aku tetapkan itu, engkau tidak akan kubiarkan pulang."

Demikianlah penetapan dari Ali bin Abi Thalib tatkala beliau menjadi khalifah.

Serupa dengan itu pula pendapat Ibnu Abbas, menurut riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir. Kata Ibnu Abbas, "Ayat ini ialah mengenai laki-laki dan perempuan yang telah rusak hubungan rumah tangga. Allah menyuruh utus seorang laki-laki yang saleh dari ahli si laki-laki dan seorang laki-laki yang saleh dari ahli si perempuan. Keduanya menyelidiki siapa yang bersalah. Kalau si laki-laki yang salah, maka istrinya ditarik dari dia dan nafkahnya wajib dibayarnya terus. Kalau perempuan yang salah, dia dipaksa pulang ke rumah lakinya dan tidak wajib diberi nafkah. Tetapi kalau kedua hakam berpendapat mereka diceraikan saja atau diserumahkan kembali, sedang yang seorang suka dan yang seorang tidak suka, kemudian mati salah seorang, maka yang suka berkembalian menerima waris dari yang mati, dan yang tidak suka berkembalian tidaklah menerima waris." Demikian Ibnu Abbas.

Dalam kedua pendapat dari dua orang sahabat Rasulullah saw. yang besar ini (Ali dan Ibnu Abbas) tampak bahwa kedua hakam mempunyai hak penuh, bukan saja untuk mempertemukan kembali, bahkan juga menceraikan, kalau cerai itulah yang ishlah. Tetapi ulama-ulama madzhab banyak yang membatasi ishlah itu hanya pada mempertemukan kembali, tidak berhak menceraikan.

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, "Telah sependapat para ulama bahwa kedua hakam itu berhak mempersatukan kembali di antara suami istri yang berselisih itu dan berhak juga memisahkan."

Ibrahim an-Nakha'i berkata, "Jika kedua hakam itu hendak memisahkan keduanya dengan talak satu, atau talak dua, atau talak tiga, boleh saja."

Begitu pula satu riwayat dari pendapat Imam Malik.

Tetapi Hasan Bishri berpendapat bahwa kedua hakam hanya berhak mengumpulkan kembali, bukan memisahkan. Demikian juga paham Qatadah dan Zaid bin Aslam. Itu juga perkataan Imam Ahmad dan Abu Tsaur dan Dawud az-Zuhri. Mereka berpendapat demikian karena dalam ayat tersebut bahwa jika kedua hakam itu menginginkan ishlah, niscaya keduanya akan diberi taufik oleh Allah. Ishlah, mereka pahamkan ialah perbaikan dengan arti berkumpul kembali, bukan bercerai.

Tetapi golongan pertama yang mengatakan apa yang diputuskan oleh kedua hakam akan berlaku (baik berkumpul kembali maupun bercerai) ialah karena mengutus kedua hakam adalah perintah wajib kepada keluarga kedua pihak. Keputusan hukum dari kedua hakam sudah barang tentu tidak selalu akan disukai saja oleh yang diberi hukum.

Untuk menghilangkan keraguan, Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah memberi syarat supaya kedua suami istri yang berselisih itu benar-benar menyerahkan kekuasaan mengambil apa saja keputusan kepada kedua hakam itu, dan mereka akan taat menerimanya. Sebab Sayyidina Ali belum mau melepaskan laki-laki yang tidak mau menyerah kalau mau diceraikan itu sebelum dia menyerahkan keputusan kepada hakam sepenuhnya.

NIKAH SI KANI

Setelah pada suatu hari penulis tafsir ini bertanya kepada guru dan ayahnya tentang adanya hakam dari pihak laki-laki dan hakam dari pihak perempuan kalau terjadi syiqaq, beliau telah menyatakan bahwa inilah langkah yang sebaik-baik dan seaman-amannya kalau terjadi syiqaq. Kata beliau bahwa di dalam kitab-kitab fiqih telah banyak diperbincangkan tentang fasakh nikah dan hak hakim buat menfaraq (memisahkan) di antara kedua suami istri. Tetapi ahli-ahli fiqih pun banyak sekali menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Beliau menyebut pengalamannya tentang fasakh nikah si Kani yang pada tahun dua puluhan menjadi perbincangan agak hebat di alam Minangkabau. Beliau telah berani memfasakhkan nikah si Kani dengan suaminya. Karena suaminya itu ternyata tidak sanggup memberikan nafkah kepada si Kani dengan secukupnya.

Pada suatu hari seorang perempuan bernama si Kani datang mengadukan nasibnya kepada beliau sebagai seorang ulama besar tempat orang mengadu dan meminta hukum. Bahwasanya sudah sekian lama dia kawin dengan suaminya ternyata suaminya itu tidak sanggup memberinya nafkah dengan sepatutnya sehingga kehidupannya sangat melarat. Perempuan itu berkata pula bahwa jika pergaulan suami istri mereka teruskan juga, kemelaratanlah yang akan menimpa mereka kedua belah pihak untuk selama hidup.

Lalu ayahku bertanya, "Apakah engkau benci atau suka kepada suamimu itu?"

Si Kani menjawab, "Aku tetap suka kepadanya."

Kemudian diadakanlah penyelidikan tentang kehidupan si suami. Memang ada alasan buat menetapkan bahwa si suami memang tidak sanggup meneruskan pergaulan ini walaupun keduanya suka sama suka. Lalu beliau mengambil keputusan, sesudah mengadakan beberapa penyelidikan, bahwa nikah si Kani difasakhkan. Artinya mereka dipisahkan, diceraikan dengan keputusan beliau sendiri. Wibawa beliau dalam agama di Minangkabau pada waktu itu menyebabkan tidak ada bantahan yang tegas dari ulama-ulama yang lain.

Pihak laki-laki akhirnya mengadu kepada Adviseur voor Inlandsche Zaken di Betawi. Ketika itu Kepala Kantor Inlandsche Zaken ialah Dr. Hazen, seorang Orientalis Belanda yang terkenal.

Terjadilah surat-menyurat di antara ayahku dengan Dr. Hazen dan akhirnya Dr. Hazen tidak dapat membantah keputusan itu, walaupun Dr. Hazen telah meminta nasihat pula kepada ulama-ulama lain di Jawa pada waktu itu.

Ayahku, Dr. Syekh Abdulkarim Amrullah, telah mengambil dasar keputusan ini dari hadits Rasulullah saw.,

"Jangan ada yang memberi mudharat dan jangan ada kemudharatan."

Kemudian ayahku memberi ingat kepada kami, murid-muridnya, di antaranya ialah pamanku, Syekh Yusuh Amrullah, yang menjadi qadhi di dalam negeri kami, Sungai Batang, 50 Tahun lamanya, bahwa jalan fasakh yang telah beliau tempuh itu bukanlah jalan yang mudah. Banyak belat-belitnya.

"Misalnya," kata beliau, "Kalau sekiranya mulai ditanya, sukakah engkau kepada suamimu itu atau tidak? Lalu dia menjawab dia benci atau dia tidak suka kepada suaminya itu, sukar untuk difasakhkan. Karena perempuan itu bisa dihukum nusyuz, durhaka. Sebab orang yang benci kepada suaminya dengan tidak ada alasan, tiadalah wajib suaminya itu memberinya nafkah, baik nafkah lahir ataupun nafkah batin." Sehingga perempuan itu bisa tinggal "tera gantung tidak bertali".

Tetapi kalau dia menjawab bahwa dia tetap suka kepada suaminya, cuma dia tidak sanggup membayar nafkah, barulah ada jalan buat fasakh. Tetapi hendaklah diselidiki benar-benar lebih dahulu berapa patutnya nafkah perempuan itu dan berapa pula kesanggupan si laki-laki. Kalau teryata sesudah diselidiki memang si laki-laki tidak sanggup memberikan yang patut, barulah hakim boleh memutuskan fasakh karena pergaulan tidak dapat diteruskan.

Kemudian ayahku berkata bahwasanya jalan yang sebaik-baiknya ditempuh ialah memutuskan dan mengutus hakam dari keluarga si laki-laki dan keluarga si perempuan. Hendaklah kedua belah pihak menyerahkan keputusan perkara ini kepada kedua hakam itu.

Beliau tampaknya menganut pendapat golongan yang mengatakan bahwa keputusan hakam terus berlaku, walaupun mengumpulkan kedua suami istri itu kembali ataupun menceraikan.

Dahulu hakim-hakim agama belum berani mengambil tindakan ini. Mereka masih saja berpegang kepada pendapat fiqih ulama-ulama mutaakhkhirin Syafi'iyah yang menyatakan bahwa perempuan yang nusyuz tidak wajib diberi nafkah.

Maka banyaklah perempuan yang hidup terkatung-katung, bersuami tetapi tidak pernah bergaul dan tidak pernah diberi nafkah, tetapi tidak pula diceraikan.

Apabila dia mengadu kepada hakim agama, dialah yang disalahkan karena dia nusyuz, tidak taat kepada suami.

Akhirnya berkali-kali kejadian seorang perempuan masuk ke masjid ketika orang akan Jum'at atau sehabis Jum'at mengatakan bahwa mulai hari itu dia tidak lagi bertuhan kepada Allah dan bernabi kepada Muhammad. Dia telah murtad dari Islam. Karena ada orang yang mengajarkan kepadanya bahwa apabila seseorang perempuan telah murtad dengan sendirinya putuslah nikahnya dengan suaminya.

Inilah suatu kekacauan pikiran yang tumbuh karena hakim-hakim agama berpaham terlalu sempit, hanya taqlid kepada pendapat ahli-ahli fiqih dan tidak ada kesanggupan memikirkan inti sari ajaran agama dan tidak mengerti maksud hadits Nabi yang kita salinkan tadi, bahwa maksud segala hukum agama bukanlah memberi mudharat dan kemudharatan.

Alhamdulillah sekarang berpikir tentang agama kian lama kian maju sehingga hukum zalim dituduh nusyuz kepada perempuan sudah jarang terdengar.

Fasakh yang berbelit-belit sudah tidak banyak terdengar lagi, demikian juga seorang perempuan yang terpaksa murtad karena ingin membebaskan diri dari kezaliman seorang laki-laki yang dibantu oleh kejahilan hakim agama.

Sekarang mengutus hakam karena syiqaq telah menjadi hal biasa.

Untuk membebaskan perempuan dari siksaan laki-laki yang tidak bertanggung jawab, sejak Tahun 1916 di nagari Sungai Batang dan Tanjung Sani (Minangkabau), atas anjuran ayahku telah diadakan satu Shighat Ta'liq Thalaq yang akan menolong bagi kaum perempuan. Bunyi shighat taliq itu amat ringkas dan jelas,

"Jika istriku bernama si Anu, tidak suka lagi bersuami saya, hendaklah dia datang kepada qadhi dalam negeri atau jorong Anu, atau wakilnya, menyatakan dia tidak suka. Kalau qadhi menerima pengaduannya itu dan dia menyerahkan uang banyaknya Rp. 2.50 (seringgit) kepada qadhi, Khulu' namanya, jatuhlah talakku kepada istriku nama si Anu itu satu kali."

Dengan ta'liq semacam ini, terbukalah pintu luas bagi si istri, kalau tidak suka boleh mengadu kepada qadhi. Kalau qadhi menerima pengaduan itu dan perempuan itu membayar uang khulu', dengan sendirinya talak satu jatuh. Tidak usah pusing-pusing, tidak usah memperkatakan bernafkah atau tidak, atau gaib dari rumah 3 bulan, jalan laut 6 bulan, dan sebagainya. Asal tidak suka boleh mengadu kepada hakim. Diterima oleh hakim, cerai jatuh dengan sendirinya.

Sejak itu tidak pernah lagi terdengar hal nusyuz, hal fasakh, hal murtad, dan sebagainya itu.

Inilah salah satu ketangkasan paham guru saya dan ayah saya.

Sejak itu negeri-negeri yang lain di Minangkabau meniru cara Shighat Ta'liq yang ringkas itu.

Sejak itu pula laki-laki sudah lebih hati-hati di dalam menegakkan rumah tangga, tidak lagi berlaku sewenang-wenang kepada istri. Sebagai akibatnya pula, perempuan yang tahu malu jaranglah yang melakukan kesempatan yang diberikan ini. Apatah lagi seorang qadhi yang berpengetahuan luas terlebih dahulu memberi nasihat dan menyelidiki sebab dan musabab sehingga bukan jarang kejadian seorang perempuan yang telah mendatangi qadhi dengan uang seringgit pulang saja dengan "tangan kosong" karena telah dapat nasihat dari qadhi.

Dan telah menjadi pendapat umum di kampung kami bahwa perempuan yang "minta ta'liq-talak" itu mendapat nama yang kurang baik di kampung.

Dan mengutus hakam ketiga ditakuti timbulnya syiqaq suami istri itu tidaklah keluar dari garis Madzhab Syafi'i sebagai suatu madzhab yang mempunyai penganut terbanyak dalam negeri kita ini, asal orang kembali kepada pendiri madzhab yang sebenarnya, bukan terikat dengan taqlid kepada ulama yang jauh berabad-abad sesudah Syafi'i.

Karena salah seorang ulama madzhab yang menyokong pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas, sebagai dua ulama sahabat Rasulullah yang terkemuka dalam hukum, adalah Imam Syafi'i sendiri, sebagai tersebut di dalam kitabnya al-Umm.

Sebagai penutup dari ayat syiqaq Allah berfirman,

"Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi sangat Mengerti." (an-Nisaa' ujung ayat 35).

Artinya, bahwasanya Allah Maha Mengetahui dan sangat mengerti gerak-gerik kedua hakam. Apakah mereka keduanya betul-betul mau mencari ishlah, yaitu perbaikan dan perdamaian. Asal mereka keduanya betul-betul mau mencari ishlah, akan terdapatlah persetujuan di antara mereka keduanya. Keduanya akan sama-sama mendapat taufik dari Allah, artinya sesuai keputusan mereka berdua dengan yang diridhai oleh Allah.

Itu sebabnya Sayyidina Abdullah (Ibnu Abbas) di dalam menafsirkan ini memberi perisyaratan hendaklah kedua hakam itu orang yang saleh. Sebab orang yang saleh itu niscaya jujur di dalam mencari kebenaran. Sesudah menyelidiki dan mengkaji fakta (kenyataan) dari kedua belah pihak, mereka bisa sepakat mendamaikan kedua orang suami istri ini kembali. Yang kusut diselesaikan dan yang keruh dijernihkan. Jika ternyata bahwa penyelesaiannya hanya akan didapat dengan perceraian, mereka akan bersesuaian paham menceraikannya.

Oleh sebab Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengerti, hendaklah kedua hakam itu berhati-hati benar menjalankan tugas dan jangan mengkhianati kepercayaan yang ditimpakan orang kepada mereka.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 283-288, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Rabu

BUYA HAMKA, POLIGAMI, CERAI, TALAK BID'AH DAN KHIDMAT KEPADA KEDUA ORANG TUA

Tiap perempuan ada tabiat cemburu, yang setengahnya tidak pandai menyembunyikan, yang setengah pandai, itu sebab maka tidak kelihatan; Lelaki yang tidak tahu tabiat asli perempuan inilah yang kerap kali tak sanggup memeliharakan damai tenteram di dalam rumah tangga.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 272, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

DUA PERKARA

Dan, kita orang Islam modern selalu mengingatkan kepada umat kita yang telah salah dalam praktik umum.

Betapa pesan Nabi Muhammad saw. terhadap wanita. Khutbah beliau ketika naik haji yang penghabisan (Haji Wada') berisi salah satu pesan buat semua laki-laki dalam menghadapi wanita,

"Aku wasiatkan kepadamu, wahai umatku, agar berlaku baik terhadap wanita karena kamu mengambilnya sebagai amanah dari Allah. Dan, menjadi halal kehormatannya bagi kamu melalui Kalimat Allah."

Dua hari sebelum meninggal dunia, beliau naik ke atas mimbar, dipesankannya agar memelihara dua perkara.

Pertama, shalat jangan ditinggalkan.

Kedua, an-Nisaa'.... Wanita, Wanita!

Peliharalah baik-baik wanitamu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 450, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

WASIAT LUQMAN KEPADA ANAKNYA

Kalau kita renung dan pikirkan 7 ayat yang mengandung wasiat Luqman itu, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa ayat-ayat ini mengandung dasar-dasar pendidikan bagi seorang Muslim.

Dia dapat jadi sumber inspirasi mengatur pokok-pokok pendidikan anak-anak kaum Muslimin.

Dia mengandung pokok aqidah, yaitu kepercayaan TAUHID terhadap Allah SWT, yang menyebabkan timbulnya jiwa merdeka dan bebas dari pengaruh benda dan alam.

Sesudah itu ialah dasar utama dan tegaknya rumah tangga Muslim, yaitu sikap hormat, penuh cinta dan kasih sayang dari anak kepada ibu dan bapak. Sambil lalu dijelaskan pula bahwa masa pengasuhan kanak-kanak bagi seorang ibu yang sebaik-baiknya ialah 2 Tahun, jangan terlalu cepat dan jangan terlalu lambat.

Diberikan pula pedoman hidup apabila bertikai pendapat di antara orang tua dengan anak. Jika ibu-bapak masih hidup tetap dalam kufur, padahal anak sudah memeluk agama yang benar. Cinta tidaklah berubah, tetapi kecintaan kepada ibu-bapak tidak boleh mengalahkan aqidah. Di sini disuruhkan orang berlaku yang patut, yang ma'ruf kepada kedua orang tuanya.

Dalam pelaksanaannya, Umar bin Khaththab telah memberikan tuntunan bagaimana mendidik anak. Kata beliau, "Ajar dan didiklah anakmu sesuai dengan zaman yang akan dihadapinya."

Di ayat 16 diberikanlah anjuran supaya hidup selalu berbuat baik. Karena kalau orang tidak mengerjakan yang baik dalam hidupnya, apakah lagi yang akan dikerjakannya. Pilihlah pekerjaan yang baik itu walaupun dipandang kecil oleh orang lain, namun betapa pun kecilnya, di sisi Allah SWT tidaklah dia akan dilupakan. Wasiat ayat 16 ini benar-benar menumbuhkan gairah dalam hati orang supaya bekerja menurut bakatnya, beramal menurut kesanggupannya.

Shalat adalah tiang agama. Dia membentuk pribadi agar berani menghadapi hidup dengan berbagai aneka persoalannya. Dan harus berani menyerukan yang ma'ruf, berani mencegah yang mungkar, dan mesti tabah. Sabar!

Adab sopan santun dalam pergaulan diperingatkan pula, jangan memalingkan muka dari manusia, hadapi orang dengan sepenuh hati. Jangan berjalan dengan sombong di muka bumi. Bertindaklah dengan serba sederhana, jangan kesusu dan jangan lamban, dan suara hendaklah dilunakkan. Karena kalau pribadi sudah mempunyai wibawa, walaupun dengan kata-kata yang lunak, niscaya akan didengar orang juga.

Semuanya ini adalah akhlak, menyuruh orang rendah hati tinggi cita-cita. Bukan rendah diri sehingga hina. Dan bukan pula melambung ke atas berlebih dari ukuran diri yang sebenarnya.

Benar-benarlah semuanya ini kata hikmah dari Luqman dan patutlah jika orang menyebut beliau Luqman al-Hakim.

Di samping itu banyaklah diceritakan orang tentang hikmah Luqman itu.

Diceritakan orang bahwa beliau itu dahulunya adalah khadam di rumah seorang yang kaya. Pada suatu hari orang kaya itu menyuruhnya menyembelih seekor kambing buat dimakan dan diperintahkannya mengambilnya dua bagian daging yang paling besar khasiatnya jika dimakan. Lalu oleh Luqman dipotongkan lidah dengan hati, dimasaknya dan dihidangkannya. Besoknya induk semangnya itu menyuruh potong pula seekor kambing dan disuruh mengambil pula dua potong daging yang paling menjijikkan. Perintah itu dilaksanakannya pula, lalu dipotongnya pula lidah dan hati, dimasaknya sebagaimana kemarin juga dan dihidangkannya. Melihat keadaan demikian bertanyalah induk semangnya (majikannya) itu, "Bagaimana engkau Luqman? Kemarin saya minta daging yang paling besar khasiatnya, lalu engkau bawakan daku lidah dan hati. Sekarang saya minta daging yang paling menjijikkan, engkau bawakan lidah dan hati juga. apa maksudmu?"

Dengan senyum Luqman menjawab, "Memang lidah dan hati itulah bagian daging dalam tubuh manusia yang paling besar khasiatnya, apabila orang pandai menjaganya. Dan keduanya pula yang akan mencelakakan manusia apabila dia tidak dapat mengendalikannya. Hati dapat menimbulkan niat yang ikhlas dan dapat juga culas. Lidah dapat menuturkan kata-kata yang penuh budi bahasa sesama manusia, dan dengan sebab lidah perang pun bisa terjadi."

Pernah Luqman berwasiat kepada anaknya, "Wahai anakku! Butir kata yang berisi hikmah dapat menjadikan orang miskin dimuliakan seperti raja."

Dan wasiatnya lagi, "Hai anakku! Jika masuk ke suatu majelis, panahkanlah panah Islam, yaitu salam, kemudian duduklah agak ke tepi dan jangan bercakap sebelum orang bercakap. Kalau yang mereka percakapkan itu adalah soal ingat akan Allah SWT, duduklah dalam majelis itu agak lama. Tetapi kalau pembicaraan hanya urusan-urusan dunia saja, tak perlu engkau campur bicara dan dengan cara teratur tinggalkanlah majelis itu dan pergilah ke tempat lain."

Dan banyak lagi kata-kata hikmah Luqman yang lain, sampai tersebut juga dalam hadits. Misalnya hadits Thabrani mengatakan tiga orang Sudan jadi penghulu ahli surga, "Luqman al-Hakim, Najasyi, dan Bilal al-Muadzin."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 103-104, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TULANG RUSUK

"Peliharalah perempuan-perempuan itu sebaik-baiknya, karena sesungguhnya perempuan dijadikan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya yang paling bengkok pada tulang rusuk itu ialah yang sebelah atasnya. Maka jika engkau coba meluruskannya, niscaya engkau patahkan dia. Dan jika engkau tinggalkan saja, dia akan tetap bengkok. Sebab itu, peliharalah perempuan-perempuan baik-baik."

Hadits ini Muttafaq 'alaihi, artinya sesuai riwayat Bukhari dengan riwayat Muslim.

Apabila kita perhatikan bunyi hadits ini dengan saksama, tidaklah dia dapat dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa perempuan atau terutama Siti Hawa terjadi dari tulang rusuk Nabi Adam.

Tidak ada tersebut sama sekali dalam hadits ini dari hal tulang rusuk Nabi Adam. Yang terang maksud hadits ini ialah membuat perumpamaan dari hal bengkok atau bengkoknya jiwa orang perempuan, sehingga payah membentuknya, sama keadaannya dengan tulang rusuk; tulang rusuk tidaklah dapat diluruskan dengan paksa. Kalau dipaksa-paksa meluruskannya, dia pun patah. Kalau dibiarkan saja, tidak dihadapi dengan sabar, bengkoknya itu akan terus.

Apatah lagi hadits ini dituruti oleh hadits lain di dalam Shahih Bukhari dan Muslim juga, demikian bunyinya.

Dan, pada satu riwayat pada kedua shahih, Bukhari dan Muslim,

"Perempuan itu adalah seperti tulang rusuk, jika engkau coba meluruskannya, dia pun patuh. Dan jika engkau bersuka-sukaan dengan dia, maka bersuka-suka juga engkau, tetapi dia tetap bengkok."

Dan, pada satu riwayat lagi dengan Muslim,

"Sesungguhnya, perempuan itu dijadikan dari tulang rusuk. Dia tidak akan dapat lurus untuk engkau atas suatu jalan. Jika engkau mengambil kesenangan dengan dia, namun dia tetap bengkok. Dan jika engkau coba meluruskannya, niscaya engkau mematahkannya. Patahnya itu talaknya."

Ada lagi hadits lain dengan makna yang serupa, diriwayatkan oleh ahli hadits yang lain pula.

Pada hadits pertama sudah nyata tidak ada tersebut bahwa Hawa terjadi dari tulang rusuk Adam.

Pada hadits yang kedua sudah lebih jelas lagi bahwa itu hanya perumpamaan.

Hadits yang ketiga menjadi lebih jelas karena telah ada hadits yang kedua bahwa itu adalah perumpamaan. Hadits yang ketiga menambah jelas lagi bahwa kalau laki-laki tidak hati-hati membimbing istrinya, kalau terus bersikap keras saja, talaklah yang terjadi dan patah aranglah rumah tangga.

Maka, teranglah sekarang bahwa yang dimaksud di sini ialah jiwa atau bawaan segala perempuan dalam dunia ini. Pertimbangannya tidak lurus, kata orang sekarang, tidak objektif. Perempuan di dalam mempertimbangkan suatu lebih banyak memperturutkan hawanya, yang cara sekarang kita namai sentimen.

Hadits-hadits ini telah memberi petunjuk bagi seorang laki-laki, terutama bagi seorang suami, bagaimana caranya menggauli istrinya dan mendidik anak-anaknya yang perempuan.

Supaya terjadi rumah tangga yang bahagia, hendaklah seorang laki-laki mengenal kelemahan jiwa perempuan ini, yaitu laksana tulang rusuk yang bengkok.

Seorang suami yang berpengalaman, dapat mengerti dan memahami apa maksud hadits-hadits ini.

Kelemahan perempuan yang seperti ini, pada hakikatnya, kalau laki-laki pandai membawakannya, inilah yang menjadi salah satu dasar penguatan satu rumah tangga.

Jiwa perempuan itu akan tampak bengkoknya di dalam mempertimbangkan sesuatu keuntungan dan muslihat yang umum, jika bertentangan dengan muslihat rumah tangga. Seorang suami yang sedang kesusahan belanja, tidaklah boleh dengan kekerasan meminta supaya istrinya meminjami perhiasan gelang dan subang emasnya untuk digadaikan sementara guna dijadikan modal, meskipun menurut akal yang waras, sudahlah patut dia menyerahkan pada waktu itu, sebab barang itu pun digunakan untuk pertahanan di waktu sangat susah. Kalau diminta dengan keras, dia akan bertahan. Kalau sama-sama keras, cerailah yang akan timbul. Tetapi kalau laki-laki mengenal rahasia jiwa perempuan yang bengkok itu, dia mesti menjauhi jalan kekerasan. Setengah dari sifat bengkoknya jiwa perempuan ialah jelas iba kepada orang yang sedang susah. Kalau kelihatan nyata oleh istrinya bahwa dia susah, dan kalau ditanyai oleh istri, tidak lekas-lekas menyatakan kesusahan itu, dia akan gelisah melihat kesusahan suaminya. Dia tidak akan enak makan dan tidak akan terpicing matanya tidur karena melihat kesusahan yang menimpa suaminya yang sangat dicintainya itu. Kalau si suami pandai, dia sendiri yang akan menanggalkan gelang atau subangnya itu, untuk dikorbankannya bagi kepentingan suaminya.

Inilah satu contoh!

Contoh yang lain ialah keinginannya akan perhiasan. Kalau si laki-laki tidak pandai membimbing, berapa saja belanja tidaklah akan cukup untuk memenuhi keinginannya akan perhiasan. Kalau si suami keras, bakhil, cerailah yang akan timbul. Tetapi kalau si suami memperturutkan saja keinginan-keinginan istrinya itu, akan sangsailah (sengsaralah) mereka dalam rumah tangga, sehingga berapa pun persediaan belanja tidaklah akan sedang-menyedang.

Kalau laki-laki tidak mengenal bengkoknya jiwa istri ini lalu bersikap keras, akan terjadilah perceraian. Atau kalau diperturutkan saja, akhirnya karena tidak terpikul, cerai juga yang akan timbul. Sebab itu, hadits ini memberikan tuntunan yang sangat mendalam agar laki-laki jangan lekas-lekas menjatuhkan talak kalau tidak puas dengan perangai istrinya. Orang Minangkabau mempunyai pepatah "tidak ada lesung yang tidak berdetak", artinya tidak ada perempuan seorang pun yang sunyi dari kelemahan jiwa yang demikian.

Akan tetapi, laki-laki yang memegang ketiga-tiga hadits ini akan sanggup hidup rukun dengan istrinya, dalam irama rumah tangga, yang kadang-kadang gembira dan kadang-kadang muram.

Kembali kepada hadits-hadits tadi.

Memang ada sebuah riwayat pula yang dikeluarkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, al-Baihaqi, dan Ibnu Asakir, yaitu perkataan dari Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan beberapa orang dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah saw. Mereka berkata,

"Tatkala Adam telah berdiam di dalam surga itu, berjalanlah dia seorang diri dan kesepian, tidak ada pasangan (istri) yang akan menenteramkannya. Maka tidurlah dia, lalu dia bangun. Tiba-tiba di sisi kepalanya seorang perempuan sedang duduk, yang telah dijadikan Allah dari tulang rusuknya."

Riwayat ini sudah terang bukanlah dari sabda Rasulullah saw. melainkan perkataan Abdullah bin Abbas dari Abdullah bin Mas'ud.

Oleh karena riwayat ini adalah perkataan sahabi, bukan sabda Rasul, niscaya nilainya untuk dipegang sebagai suatu aqidah tidak sama lagi dengan hadits yang shahih dari Nabi, apatah lagi dengan Al-Qur'an. Mungkin sekali, bahkan besar sekali kemungkinan itu bahwa pernyataan kedua sahabat itu terpengaruh oleh berita-berita orang Yahudi yang ada di Madinah ketika itu, yang berpegang kepada isi Kitab Kejadian, Pasal 2, ayat 21, "Maka, didatangkan Tuhan Allah kepada Adam itu tidur yang lelap, lalu tertidurlah ia. Maka diambil Allah tulang ditutupkannya pula dengan daging. Maka, dari tulang yang telah dikeluarkannya pada diri Adam itu, diciptakan Tuhan seorang perempuan, lalu dibawanya dia kepada Adam."

Sebagaimana telah kita beri penerangan di Mukadimah Tafsir ini, Rasulullah saw. telah memberikan pedoman kepada sahabat-sahabat beliau dalam hal menilai berita-berita yang disampaikan oleh Ahlul Kitab.

Dan telah mengeluarkan Bukhari daripada hadits Abu Hurairah. Kata Abu Hurairah itu, "Adalah Ahlul Kitab itu membaca Taurat dengan bahasa Ibrani dan mereka tafsirkan dia ke dalam bahasa Arab untuk orang-orang Islam." Maka berkatalah Rasulullah saw., "Janganlah kamu langsung membenarkan Ahlul Kitab itu dan jangan pula langsung kamu dustakan, tetapi katakanlah, 'Kami beriman kepada Allah.'"

Berdasarkan hadits ini, jadi besarlah kemungkinan bahwa riwayat Siti Hawa terjadi dari tulang rusuk Adam yang diberikan oleh Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud ini didengar mereka dari Taurat yang dibacakan oleh Ahlul Kitab itu lalu mereka terima saja bagaimana adanya sebagai satu fakta yang mereka terima, yang boleh diolah dan diselidiki pula oleh orang lain.

Lantaran itu pula, tidaklah salah pada pendapat penafsir yang dhaif ini kalau ada orang yang tidak memegang teguh bahwasanya Hawa terjadi dari tulang rusuk Nabi Adam, sebab tidak ada firman Tuhan menyebutkannya di dalam Al-Qur'an dan tidak pula ada sabda Nabi yang tepat menerangkan itu.

Yang ada hanya berita atau penafsiran dari Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Mas'ud dan beberapa sahabat yang lain yang besar kemungkinan bahwa cerita ini mereka dengar dari orang Yahudi yang membaca Kitab Kejadian salah satu dari kitab catatan Yahudi yang mereka sebut Taurat itu.

Dan, hadits-hadits Bukhari dan Muslim yang tiga buah di atas tadi kita terima dan kita amalkan dengan segala kerendahan hati, untuk pedoman hidup menghadapi kaum perempuan, sebagai teman hidup laki-laki dalam dunia ini.

Apatah lagi setelah datang hadits lain yang menguatkan nasihat bagi kaum laki-laki di dalam bergaul baik-baik dengan perempuan, yang dirawikan oleh Imam Bukhari dan Muslim juga,

"Peliharalah perempuan-perempuan itu sebaik-baiknya, karena kamu telah mengambilnya dengan amanah dari Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat-kalimat Allah."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 138-141, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HAMBA KAMI AYYUB

"Dan ambillah dengan tanganmu rumput seikat, maka pukullah dengan dia dan janganlah engkau melanggar sumpah." (Shaad pangkal ayat 44).

Ibnu Katsir menuliskan sebab yang lain, yang masuk akal kita, yaitu dari sangat setianya kepada suaminya dia bersedia menderita kemelaratan dan kemiskinan. Dan segala upaya asal halal dia selalu menyediakan makanan untuk suaminya, meskipun kalau perlu barang perhiasan emas peraknya akan dijualnya. Pada suatu hari istrinya telah kehabisan yang akan dijual, namun dia masih datang membawakan roti untuk makanannya di hari itu. Tetapi dilihat oleh Ayyub satu perubahan pada diri si istri, yaitu rambutnya yang panjang yang biasanya dilapihnya tidak ada lagi. Ketika ditanyai mengapa tidak ada rambutnya yang dilapih lagi, dan sanggulnya pun sudah tidak ada, mulanya dia tidak menjawab. Akhirnya karena didesak juga oleh suaminya, dia mengaku terus-terang bahwa rambutnya yang panjang itu telah dijualnya dan harganya dibelikan roti untuk makanan suaminya. Suaminya marah mendengarkan itu. Mengapa rambut perhiasan dirinya yang dijualnya untuk makanan suami. Dengan kurang pikir, maklum kiranya orang sedang sakit, kadang-kadang pikiran tertumbuk juga, dia bersumpah, "Kalau aku sembuh kelak, aku pukul engkau karena kesalahan menggunting rambut dan menjualnya untuk pembeli roti itu."

Sekarang dia sudah pulang dengan selamat. Dia merasakan betapa kesetiaan istrinya selama dia sakit dan terpencil 18 Tahun. Kasih yang tidak pernah berubah. Dia menjual rambutnya itu pun tidak lain adalah dari sebab kesetiaan juga. Apa yang mesti dia kerjakan? Akan dipukulnyakah istri karena kesetiaannya?

Sebagai seorang Nabi dan Rasulullah yang sangat menghargai sumpah dan janji ataupun nadzar, tidaklah Ayyub dapat melupakan bahwa dia telah pernah bersumpah jika dia sembuh dia akan memukul istrinya.

Sekarang dengan apa akan dipukul?

Adakah pantas dilakukan pukulan kepada istri yang begitu mendalam kesetiaannya, sedang dia menjual lapih rambutnya hanya buat pembeli roti untuk makanan suaminya. Kalau sumpah tidak dipenuhi, cacatlah amalnya sebagai seorang hamba Allah. Besar kemungkinan bahwa syari'at di zaman itu belum sebagaimana syari'at Nabi Muhammad yang sumpah bisa ditebus dengan kafarat (lihat surah al-Maa'idah ayat 59).

Sekarang datanglah wahyu Allah SWT melepaskan Ayyub dari kesulitan. Dia disuruh mengambil seikat rumput dengan tangannya, mungkin rumput yang panjang-panjang daunnya. Lalu disuruhkan Allah SWT dia memukul seikat rumput, kira-kira segamak tangan, kepada bahu istrinya tercinta itu. Dia dilarang melanggar atau tidak jadi memenuhi sumpahnya. Artinya bahwa bunyi sumpahnya mesti diteruskannya juga, tetapi dengan cara demikian, pukul saja bahu istri dengan seikat rumput, yang dengan itu si istri tidak akan merasa sakit dan suasana gembira menerimanya pulang kembali akan bertambah gembira lagi.

Kemudian itu dipuji Allah-lah Ayyub dengan suatu pujian dan penghargaan yang tinggi,

"Sesungguhnya Kami dapati dia seorang yang sabar."

Sabar ditimpa kemiskinan sesudah kaya, sabar ditimpa kesepian sesudah ramai anak-anak dan istri dan sabar menderita penyakit badan dan semuanya itu bertahun-tahun.

Dia sabar sebab dia percaya kepada Allah.

Dan dipuji Allah SWT lagi,

"Sebaik-baik hamba."

Jarang tolok bandingnya orang seperti Ayyub.

"Sesungguhnya dia adalah orang yang kembali." (ujung ayat 44).

Tidak pernah lupa kepada Allah SWT sehingga segala sesuatu dikembalikan kepada Allah SWT dengan ridha, tawakal, ikhlas, dan tafwiidh.

Penghargaan Allah SWT kepada Ayyub dalam kesengsaraan yang bertindih-tindih dalam ayat 44 ini sama dengan penghargaan yang diberikan kepada Sulaiman di dalam puncak kekuasaan dan kemegahannya, sebagaimana tersebut dalam ayat 30.

Ayyub pahlawan Ilahi dalam kesabaran.

Sulaiman pahlawan Ilahi dalam kesyukuran.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 570-571, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Why We Need HAMKA

youtube.com/watch?v=vLpO_PLeckM

Hujjatul Islam: Buya HAMKA

republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/12/m2clyh-hujjatul-islam-buya-hamka-ulama-besar-dan-penulis-andal-1

AYAHKU

Suatu hari saya mengganggu beliau.

Saya katakan:

"Ada ulama mengatakan bahawa membuat ta'liq itu bid'ah, tidak berasal dari Nabi!"

Beliau marah dan berkata:

"Ulama Tea! Tidak dapat dia membezakan mana urusan ibadat dan mana urusan nikah!"

-Tea, bahasa Minangkabau bererti tolol.

(Buya HAMKA, Ayahku, 179, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

NIKAH SI KANI

Fasakh yang berbelit-belit sudah tidak banyak terdengar lagi, demikian juga seorang perempuan yang terpaksa murtad karena ingin membebaskan diri dari kezaliman seorang laki-laki yang dibantu oleh kejahilan hakim agama.

Bunyi shighat taliq itu amat ringkas dan jelas,

"Jika istriku bernama Si Anu, tidak suka lagi bersuami saya, hendaklah dia datang kepada qadhi dalam negeri atau jorong Anu, atau wakilnya, menyatakan dia tidak suka. Kalau qadhi menerima pengaduannya itu dan dia menyerahkan uang banyaknya Rp 2.50, -- (seringgit) kepada qadhi, Khulu' namanya, jatuhlah talakku kepada istriku nama Si Anu itu satu kali."

Sejak itu pula laki-laki sudah lebih hati-hati di dalam menegakkan rumah tangga, tidak lagi berlaku sewenang-wenang kepada istri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 286-288, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KLIK DISINI: KISAH NIKAH SI KANI, MANFAATNYA SAMPAI MASA KINI

'UQUD

"Wahai orang-orang yang beriman! Sempurnakanlah 'Uqud!" (al-Maa'idah: 1).

Menurut Ibnu Abbas, 'uqud di sini yang terutama ialah aqad dengan Allah! Sebab apabila kita telah mengaku beriman, niscaya kita akan patuh menjalankan aqad kita dengan Allah, apabila kita telah berkata, "Amantu billahi", aku telah percaya kepada Allah, artinya kita telah bersedia mengikatkan diri kepada sekalian kehendak-Nya. Halalkan barang yang dihalalkan Allah, haramkan barang yang diharamkan-Nya, jalankan apa yang diwajibkan-Nya, demikian pula sekalian batas-batas yang telah ditentukan Allah di dalam Al-Qur'an, jangan sampai dikhianati dan dimungkiri.

Berkata Ali bin Thalhah, "Telah berkata Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan janji di sini ialah memegang setia ketentuan Allah dengan menjauhi apa yang Allah haramkan dan mengerjakan apa yang Allah halalkan yang semua itu telah tertentu dalam Al-Qur'an."

Zaid bin Aslam berkata, Aqad janji itu ada enam:

1. Janji dengan Allah.
2. Sumpah.
3. Aqad perkongsian.
4. Aqad berjual-beli.
5. Nikah-kawin.
6. Aqad pembebasan budak-budak.

Al-Alusi menyalinkan di dalam tafsirnya Ruhul Ma'ani sebagai kesimpulan dari perkataan Raghib al-Ashbahani, ahli bahasa yang terkenal itu, bahwa ‘Uqud ini dapat disimpulkan kepada tiga pokok terbesar.

1. Aqad di antara seorang hamba dengan Allah. Artinya, apabila kita telah mengakui bahwa Allah adalah Tuhan kita, dan tidak ada Tuhan melainkan Allah, artinya kita telah mengikat janji bahwa kita akan tunduk kepada segala yang diperintahkan Allah dengan perantaraan rasul-rasul-Nya dan kitab-kitab suci-Nya.

2. Aqad janji di antara seorang hamba Allah dan dirinya sendiri. Artinya, seorang yang berakal niscaya sadar akan harga diri, lalu dia tunduk kepada ikatan dari akal budi sehingga dia berangsur-angsur menjadi manusia yang baik. Sebab dengan dirinya dia sendiri telah berjanji akan berbuat baik dan menghentikan perbuatan yang buruk.

3. Aqad janji di antara seseorang dengan sesamanya manusia. Artinya, berusaha agar menjadi anggota masyarakat yang memberi faedah kepada sesama manusia karena kesadaran bahwa seorang manusia tidaklah dapat hidup memencilkan diri daripada orang lain.

Bila ditilik 6 pembagian janji yang dikemukakan oleh Zaid bin Aslam dan pembagian 3 pokok yang ditafsirkan oleh al-Alusi itu, dapatlah kita pahamkan bahwasanya hidup kita di dunia ini adalah tafsiran dari ayat ini memberi kita petunjuk bahwa bukanlah janji dengan Allah saja yang wajib dipenuhi oleh seorang Mukmin, melainkan Mukmin wajib memenuhi dan meneguhi janjinya dengan sesama manusia.

Tegasnya, kalau seseorang memungkiri janjinya dengan dirinya sendiri atau pun dengan sesama manusia, keluarlah dia dari dalam golongan orang yang beriman.

Dan jelaslah bahwa manusia tidak dapat melangsungkan hidupnya di dunia ini, kalau dia tidak menyadari akan ikatan dirinya dengan Allah dan dengan sesama manusia.

Mengakui janji dengan Allah ialah dengan melakukan ibadah. Aqad nikah suami dan istri diteguhi dengan kesetiaan, bertentara diikat oleh disiplin, bernegara diikat oleh undang-undang. Sebab itu ada ikatan undang-undang, ada ikatan budi bahasa. Bahkan ada janji berhutang dan berpiutang, yang dipenuhi dengan memegang amanah, bahwa utang mesti dibayar dan piutang mesti diterima. Hubungan antara bangsa (international), terutama dalam negara-negara modern sekarang ini dikuatkan oleh janji-janji.

Dalam pemerintahan Islam disebut bahwa seorang yang diangkat menjadi khalifah kaum Muslimin adalah menerima baiat dari orang orang yang mengangkatnya. Kedua belah pihak sama mengulurkan tangan; khalifah berjanji bahwa dia akan tetap menjalankan syari'at dengan baik, memelihara keamanan dan keselamatan umat yang menyerahkan kekuasaan kepadanya, dan wakil rakyat yang memberikan baiat itu berjanji pula akan taat kepada pimpinannya, selama dia masih tetap berjalan di dalam garis yang ditentukan oleh syari'at.

Ayat ini menunjukkan bahwa segala macam aqad atau 'uqud janji dan kontrak, agreement dan sebagainya diakui oleh Islam, dan wajib diteguhi dan dipenuhi. Kalau tidak diteguhi, atau kalau dimungkiri, si pelanggarnya telah melepaskan diri dari ciri-ciri orang yang beriman.

Kecuali janji menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

"Suatu perdamaian (persesuaian) di antara sesama Muslimin adalah jaiz (dibolehkan), kecuali suatu janji yang menghalalkan yang haram, atau mengharamkan yang halal. Dan orang-orang Muslimin itu bergantung kepada syarat-syarat yang mereka bikin sendiri." (HR. Abu Dawud dan ad-Daruquthni).

Memenuhi janji itu berlaku juga di antara orang Islam dengan yang bukan Islam. Oleh sebab itu, janganlah ada orang Islam yang berpikir bahwa janji dengan pemeluk agama lain boleh saja dimungkiri.

"Sesungguhnya syarat-syarat yang lebih penting (dari yang lain-lain) untuk dipenuhi ialah syarat-syarat untuk menghalalkan faraj." (HR. Imam Ahmad, Bukhari dan Muslim).

Artinya, faraj (kehormatan) seorang perempuan adalah haram bagi seorang laki-laki. Inilah pokok! Barulah halal setelah diadakan aqad nikah yang terjadi dari ijab wali si perempuan dan qabul si mempelai laki-laki. Itulah soal sebabnya mengapa qadhi-qadhi atau wali-wali memegang tangan bakal suami ketika akan dilakukan aqad nikah, supaya aqad itu lebih kelihatan. Sebelum nikah di-aqad-kan, si perempuan yang akan menyerahkan dirinya menjadi istri boleh mengemukakan syarat-syarat sebelum dia terikat. Demikian pula laki-laki dapat pula memikirkan lebih dalam jika syarat-syarat yang dikemukakan perempuan itu tidak akan dapat dipenuhinya, lalu dia mengundurkan diri tidak jadi nikah.

Oleh sebab itu, menurut ijtihad dari Imam Ahmad bin Hambal, seorang perempuan sebelum diikat oleh akad itu boleh mengemukakan syarat, bahwa bakal suaminya itu tidak boleh beristri lain. Yang kalau dia beristri lain, jatuh talaknya dan mengganti kerugian sekian banyaknya. Atau mengemukakan syarat, bahwa dia mau kawin asal saja dia tidak dibawa merantau keluar kampungnya, atau syarat tidak boleh dia dibawa ke rumah lain.

Oleh sebab itu, dapatlah dimengerti bahwasanya syarat-syarat Ta'liq-Talaq yang biasa diperbuat orang ketika aqad nikah, adalah berasal dari isi yang terkandung dalam hadits ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 583-586, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Musuh-musuh Islam mencari-cari alasan untuk mengatakan bahwa Islam memandang hina dan tidak memberi hak apa-apa bagi kaum perempuan. Karena gagal mencari alasan, mereka pun menonjolkan perbuatan orang Islam yang bodoh, yang tidak menjalankan tuntunan agamanya. Itulah yang mereka torehkan ke muka umum untuk menikam Islam.

Allah memperingatkan, boleh jadi ada yang tidak engkau senangi dari istri-istrimu itu. Ada perangai atau kelakuannya yang tidak berkenan di hatimu. Entah rupanya kurang menarik, entah mulutnya agak kasar, entah ini, dan entah itu. Maka, di ujung ayat diperingatkan segi lain yang baik, yang positif dari perangainya yang akan membawa kebaikan bagi kamu. Bagaimanapun, semua manusia ada saja segi yang lemah dari pribadinya. Apalagi perempuan, ada saja cacat atau kekurangan di satu sisi, yang sebenarnya mungkin akan dapat membawa keuntungan di pihak yang lain (suami). Kita sudah diberi Allah kelebihan di atas mereka, yaitu kepada kita ditugaskan untuk membimbing dan memimpin mereka. Kepandaian kita memimpin itulah kelak yang akan membentuk pribadinya menjadi istri yang setia.

(BUYA HAMKA BERBICARA TENTANG PEREMPUAN, Hal. 60, 88, Penerbit Gema Insani, Cet.3, April 2015).

PERSAMAAN HAK MANUSIA

Di zaman dalam kalangan gereja masih buah pembicaraan, apakah perempuan manusia juga atau bukan.

Di zaman seperti itu, Islam datang tepat pada waktunya.

Tidak ada darah tinggi dan darah rendah, tidak ada bangsa pilihan Tuhan, tidak ada anak tunggal dan kekasih, tidak ada bangsa yang hanya jadi alas kaki bangsa lain. Sama nilai hidup, sama nilai mati. Keutamaan manusia hanya karena bekas jasa. Hidup yang bernilai hanya hidup yang berpikir dan berjasa. Sama hak, sama kewajiban. Sama hidup, sama mati. Asal semuanya dari tanah dan akan kembali ke tanah. Habis!

Sama di hadapan Allah, sama di hadapan undang-undang.

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 231, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

Malahan Khalid berkata kepada perempuan-perempuan itu, "Wahai perempuan-perempuan Islam. Kalau ada laki-laki yang mundur, hendaklah dibunuh saja!"

Kalau dalam perang menyabung nyawa (demikian kata Al-Qur'an dan demikian pula Sunnah Rasul) pada contoh-contoh perempuan pada zaman beliau dan pada zaman sahabat-sahabat, demikian pula pendapat para ulama, niscaya jelaslah bahwa dalam hal yang lain pun perempuan mendapat hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki, yaitu di dalam bakat dan bidang yang sesuai dengan keadaan dirinya sebagai perempuan.

Carilah agama lain yang bersikap setegas itu terhadap perempuan.

Kalau dalam beberapa negeri Islam terdapat perempuan tertindas dan tidak diberi hak, itu bukanlah dari Islam, melainkan setelah umat Islam tidak berpedoman pada Islam lagi.

Akan tetapi, haruslah diperhatikan bahwa hak-hak perempuan yang diberikan Islam bukanlah menggantikan atau menandingi kedudukan laki-laki. Misalnya laki-laki menjadi penjaga rumah. Itu bukan dari Islam, tetapi dari peradaban Barat sejak zaman industri, ekonomi kapitalis yang mengerahkan tenaga perempuan ke medan ramai.

Pertama karena gajinya lebih murah, kedua karena hendak menawan hati pelanggan dengan kecantikannya. Yang demikian tak ada dalam peraturan Islam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 159, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENGHORMATI AYAH BUNDA

"Dan Kami wasiatkan kepada manusia supaya dengan kedua ibu bapaknya hendaklah berbuat baik." (pangkal ayat 15).

Inilah wasiat atau perintah utama kepada manusia, sesudah perintah-perintah percaya kepada Allah sebagai dasar kehidupan.

Dengan percaya kepada Allah, kalau manusia hendak menegakkan budi baik dalam dunia ini maka perintah kedua sesudah perintah berbakti kepada Allah ialah perintah menghormati kedua orang tua, ayah bunda, ibu-bapak.

Maka banyak sekalilah wasiat Allah, perintah wajib dari Allah agar manusia menghormati, berbuat kebajikan, berkhidmat kepada dua orang ibu bapaknya.

Dan tidaklah kita bertemu di dalam Al-Qur'an atau di dalam hadits yang memerintahkan supaya seorang ayah atau seorang ibu memelihara putranya dengan baik. Sebab, memelihara putra dengan baik, walaupun tidak diperintahkan, akan pasti dikerjakan orang karena didorong oleh kasih, didorong oleh sayang.

Bahkan diberi ingat oleh Allah agar kasih kepada anak, buah hati pengarang jantung dibatasi hendaknya. Karena kasih yang demikian bisa jadi fitnah.

Islam menjadikan rumah tangga sebagai asa atau sendi pertama dari berdirinya suatu bangsa ataupun suatu agama.

Pergaulan dengan ibu dan bapak di waktu kecil itulah yang dinamai dalam ilmu pendidikan dengan lingkungan pertama atau yang disebut dalam bahasa Arab "al-baratul ulaa", sebelum manusia memasuki dua lingkungan lagi yaitu lingkungan kawan bersekolah dan lingkungan sepermainan.

Maka iingkungan pertamalah, ibu dan bapak yang meninggalkan kesan yang dalam sekali pada jiwa anak.

Asuhan di waktu anak masih kecil itulah yang sangat penting menentukan hidup di hari dewasa kelak.

Didikan yang diterima, permainan, pergaulan di masa kecil, tergambar dan tidak akan terlupakan selama-lamanya itulah sebabnya amat besar perhatian harus ditumpahkan oleh masyarakat kepada anak yang kematian ayah yang bernama yatim atau kematian ibu yang bernama piatu di waktu anak itu masih kecil masih mengharapkan asuhan, lalu menjadi anjuran besar pula agar orang yang mampu memerhatikan asuhan atas anak yatim itu. Asuhan dalam rumah tangga.

Maka ahli-ahli pendidik banyak yang tidak menyetujui membuatkan asrama anak yatim. Karena dengan asrama itu anak yatim tidak akan merasakan kasih yang mendalam.

Mereka berpendapat lebih baik suatu rumah tangga yang tidak dianugerahi Allah anak, supaya dia memelihara anak yatim dalam rumahnya, bukan anak yatim yang diantarkan ke dalam asrama.

Sebab asuhan di waktu kecil itulah bibit pertama yang akan menumbuhkan rumah tangga bahagia dan dari rumah tangga-rumah tangga inilah kelak akan tersusun masyarakat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 298-300, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ADAM DAN ISTRINYA KENA PERDAYAAN IBLIS

"Dan (ingatlah) tatkala Kami katakan kepada malaikat-malaikat, "Bersujudlah kamu kepada Adam." (pangkal ayat 116).

Di dalam Syari'at Islam, kita dilarang oleh Allah bersujud kepada siapa pun jua, kecuali kepada Allah saja.

Jika kita menghormat kepada orang yang patut dihormati (tahiyyah), cukuplah dengan merundukkan kepala sedikit, jangan sampai batas ruku'.

Sedangkan batas ruku' lagi haram, apatah lagi sujud.

Tetapi malaikat disuruh sujud, menimbulkan kepada kita dua kesan.

Pertama mereka adalah melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah sendiri. Kalau Allah sendiri yang memerintahkan, walaupun Adam itu makhluk jua, salahlah malaikat kalau sujud itu tidak mereka laksanakan.

Kesan kedua ialah bahwa kita tidak boleh lupa bahwa malaikat itu adalah bangsa Nur, atau cahaya. Dalam ayat-ayat yang lain Allah mengatakan bahwa segala isi langit dan isi bumi, sampai kepada gunung-gunung dan kayu di hutan, sujud kepada Allah. Tentu saja sujud menurut cara dan kemungkinan masing-masing. Karena yang dimaksud dengan sujud ialah ketundukan dan kepatuhan.

Ayat-ayat tentang perintah kepada malaikat supaya sujud kepada Adam ini diceritakan di dalam Al-Qur'an sampai 7 kali.

1. Surah al-Baqarah (Madaniyah) ayat 30 sampai 38.

2. Surah al-A'raaf (Makkiyah) ayat 11 sampai 27.

3. Surah al-Hijr (Makkiyah) ayat 28 sampai 43.

4. Surah al-Israa' (Makkiyah) ayat 61 Sampai 65.

5. Surah al-Kahf (Makkiyah) ayat 50 sampai 51.

6. Surah Thaahaa (Makkiyah) ayat 115 sampai 123.

7. Surah Shaad (Makkiyah) ayat 71 sampai 85.

Sampai 7 kali kisah ini diulang-ulang dalam Al-Qur'an dan yang paling banyak wahyu mengenai ini diturunkan di Mekah.

Hikmahnya ialah untuk menanamkan dalam jiwa manusia bahwa manusia ini, sebagai keturunan dari Adam, telah lebih dimuliakan oleh Allah, diangkat dan diangkut mereka di darat dan di laut, diberi mereka rezeki yang baik-baik dan dilebihkan mereka daripada kebanyakan makhluk di muka bumi ini, sampai pun kepada manusia pertama itu malaikat-malaikat diperintahkan sujud. (Ini tersebut di dalam surah al-Israa' ayat 70). Dan diulang-ulangkan kisah ini sampai 7 kali, supaya mengertilah manusia bahwa dalam kedudukannya yang mulia di sisi Allah itu, mereka mempunyai musuh yang besar turun-temurun yang selalu hendak memerdayakan mereka, yaitu,

Iblis.

Agar mereka selalu awas dan menjaga diri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 615, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Tidak boleh sujud dan tidak boleh ruku' kepada yang lain daripada Allah SWT. Di dalam sabda Nabi saw. dan di dalam kitab-kitab fikah pada Bab Al-Riddah (1) selalu tersebut sujud kepada makhluk itu mengeluarkan orang daripada agama Islam.

Dan tersebut juga, bahawa ruku' itu serupa juga dengan sujud, sama-sama tertentu di dalam Islam membesarkan Allah sahaja, Tuhan yang menjadikan alam, tidak kepada lain-Nya, walaupun bagaimana besar orangnya.

(1) Riddah, murtad keluar dari agama Islam. (peny).

(Buya HAMKA, Ayahku, 478-479, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

Suatu waktu beliau saw. datang dan orang berdiri.

Sebentar itu juga beliau saw. berkata,

"Siapa yang ingin supaya orang berdiri menghormatinya, bersedialah tempatnya di Neraka!" (HR. at-Tirmidzi).

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 237, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

Ketenteraman jiwa yang timbul lantaran dipupuk oleh tauhid dan ihsan menyebabkan tidak ada rasa keberatan dan tidak ada pokrol-pokrolan terhadap sekalian hukum agama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 299, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERIHAL GUNDIK

Supaya jangan ragu ketika membaca ayat tentang hamba sahaya perempuan, hendaklah diketahui keadaan masyarakat ketika ayat diturunkan dan lebih dari 1.200 tahun sesudah ayat diturunkan. Karena terjadinya peperangan-peperangan, antara negeri dengan negeri, bangsa dengan bangsa, timbullah kelas budak, yaitu orang-orang tawanan dari negeri-negeri yang telah dikalahkan. Kadang-kadang satu negeri ditaklukkan, laki-laki sebagian besar tewas di medan perang dan perempuan-perempuan serta anak-anak menjadi tawanan pihak yang menang.

Lantaran itu, beribu-ribu tahun lamanya timbul sekelompok manusia yang tidak berhak lagi atas dirinya, melainkan dia telah menjadi "barang" kepunyaan orang yang menguasainya. Bertambah terjadi peperangan, bertambah banyak manusia yang kehilangan kemerdekaan.

Itulah budak!

Baik laki-laki maupun perempuan.

Dia menjadi kepunyaan orang yang menguasainya, kadang-kadang sampai memenuhi rumah pemiliknya. Pemiliknya pun boleh menjualnya pula kepada orang lain apabila dipandangnya bahwa dia tidak memerlukannya lagi.

Ini memenuhi seluruh dunia sampai pertengahan Abad ke-19. Oleh karena begitu kenyataannya, Islam membolehkan seseorang yang mempunyai budak-budak perempuan untuk menikahi budak perempuannya. Niscaya teranglah bahwa kedudukannya tidak sama dengan istri merdeka. Cuma anak yang diperdapat dari pergaulan dengan perempuan budak, sama haknya, sedikit pun tidak berkurang dengan anak yang didapat dari istri perempuan merdeka yang dinikahi.

Cara menggaulinya pun berbeda dengan istri perempuan merdeka. Menikah dengan perempuan merdeka, wajib membayar mahar. Sedang menikahi budak sendiri, tidak wajib membayar mahar.

Diberi batas 2, 3, 4.

Tidak boleh lebih dari 4.

Itu pun kalau takut tidak akan adil, lebih baik 1 saja supaya kelak tidak berlaku sewenang-wenang terhadap istri yang kurang disukai atau sengsara karena terlalu banyak tanggungan.

Dengan ayat ini dibatasilah kebolehan itu hingga 4 dengan syarat pula, yaitu adil.

Sebab, sebelum peraturan ini turun, pada zaman jahiliyyah ada yang beristri sampai 10.

Menurut riwayat Baihaqi, Ibnu Abu Syaibah, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Imam Syafi'i dari Ibnu Umar, ketika Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam, dia membawa 10 istri. Nabi Muhammad saw. menyuruh untuk memilih 4 orang dan yang selebihnya supaya diceraikan.

Menurut riwayat dari Abu Dawud, Ibnu Majah, dalam Sunan mereka, bahwa Umair al-Asadi masuk Islam. Istrinya 8 orang. Dia juga disuruh Nabi memilih 4 dan yang lain dilepaskan.

Menurut riwayat asy-Syafi'i bahwa Naufal bin Mu'awiyah ad-Dily masuk Islam, istrinya 5 orang, disuruh pula melepaskan seorang.

Menurut riwayat Ibnu Majah dan an-Nahhas bahwa Qais bin al-Haris al-Asadi masuk Islam, istrinya 8, disuruh pula melepaskan yang 4.

Adapun seorang budak, menurut ijma sahabat-sahabat Rasulullah, hanya dibolehkan paling banyak beristri 2 orang.

Satu tafsiran yang istimewa pula dari Qatadah, menurut riwayat yang dibawakan Abd bin Humaid, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abu Hatim tentang ayat ini ialah, "Kalau engkau takut tidak akan adil beristri 4, beristrilah 3. Takut tidak akan adil beristri 3, beristrilah 2. Kalau takut tidak akan adil beristri 2, cukuplah 1 saja. Selebihnya ialah milikmu (budak)." Penafsiran Qatadah ini tidak kita terima sebab ini menganjurkan mulai dari beristri 4!

Ad-Dhahhak menafsirkan takut akan tidak adil ialah dalam hal menganjurkan mulai dari beristri 4!

Tentang penafsiran an-la ta'ulu yang kita pilih satu di antara banyak artinya supaya jangan sewenang-wenang. Seperti yang kita terangkan tadi, Imam Syafi'i menafsirkan supaya kamu jangan terlalu berat menanggung keluarga yang besar.

Menurut tafsir dari Mujahid supaya kamu jangan terlalu berat sebelah (terlalu berat kepada seorang istri sehingga yang lain ditelantarkan), dalam bahasa Arab adalah al-la tamilu.

Menurut tafsiran dari Sufyan bin Uyainah, "Supaya kamu jangan jatuh melarat."

Sekarang setelah kita langsung membaca dari sumber yang asli, yaitu Al-Qur'an, sudah dapatlah kita memahamkan bagaimana sebenarnya ketentuan Islam tentang beristri lebih dari 1 itu.

Beberapa kesimpulan kita yang didapat dari ayat ini:

1. Daripada kamu tidak berlaku jujur kepada anak perempuan yatim yang dalam asuhanmu, terutama tentang mas kawin dan hartanya, lebih baiklah kamu menikah saja dengan perempuan lain walaupun sampai 4. Di sini kita melihat bahwa kesusahan nikah, walaupun sampai 4, jauh lebih kecil, jika dibandingkan dengan menikahi anak yatim perempuan yang di dalamnya tersembunyi niat yang tidak jujur.

Di sini kita melihat lagi bahwa anjuran beristri sampai 4 pada mulanya bersebab membela anak yatim.

2. Dalam sambungan ayat yang tidak putus, dipertalikan dengan dan artinya masih dalam satu rangkai kata diterangkan lagi dan jika kamu takut tidak akan adil, seorang sajalah. Baik kita mengerti bahasa Arab atau tidak, tetapi dalam segala bahasa di dunia ini, sudahlah nyata dapat dipahamkan bahwa jika seorang merasa takut tidak akan adil, dianjurkan hanya 1 saja, tidak usah sampai dengan 4. Dapat dipahamkan lebih dalam lagi, "Janganlah beristri lebih dari 1 orang kalau takut tidak akan adil."

3. Di ujung ayat ditegaskan lagi, beristri 1 saja atau hanya memelihara gundik saja (pada waktu dunia masih mengakui adanya perbudakan), lebih aman dan lebih hampir kepada tidak sewenang-wenang atau tidak berat memikul beban keluarga.

4. Dengan pertama menyatakan jika takut tidak akan adil dan kedua dengan mengemukakan lebih dekat kepada kejujuran jika 1 saja, orang yang akan menempuh beristri lebih dari 1 diajak berpikir 1ebih dahulu sebelum melaksanakannya. Mungkin apabila telah dibawanya berpikir, niatnya akan dibatalkan saja.

Didapatlah kesimpulan, Allah membolehkan kamu beristri lebih dari 1 sampai dengan 4 orang, tetapi dengan memperingatkan beberapa syarat bagi kepentingan kamu sendiri. Sekali-kali tidak ada Allah berfirman, "Wahai segala orang Islam, hendaklah kamu menikah sampai 4." Dengan tidak bersyarat!

Kalau ada orang yang memahamkan begini, nyatalah bahwa orang itu salah satu dari dua:

Pertama, belum mengetahui duduk persoalan.

Kedua, telah mengetahui, tetapi tidak jujur!

Ingat sekali lagi, bahwa ayat Al-Qur'an yang mengizinkan nikah lebih dari 1, sampai dengan 4, hanya satu ini saja. Tidak ada ayat lain.

Ingatlah, bahwa ayat ini ada pangkalnya dan ada ujungnya.

Pangkal ayat ialah jika takut tidak akan berlaku jujur terhadap anak yatim, terutama tentang hartanya, daripada menikahinya lebih baik menikahi perempuan lain saja, mana yang berkenan di hati.

Ujung ayat mempunyai persyaratan yang wajib dipenuhi:

Pertama, ditegaskan bahwa jika takut tidak adil, lebih baiklah 1 saja. Sebab itu, sebelum menambah istri disuruh lebih dahulu berpikir matang, ditelungkup ditelentangkan.

Ujung yang kedua ialah memujikan beristri 1 saja, sebab beristri 1 orang itulah yang lebih hampir kepada keadaan yang tidak berlaku sewenang-wenang, atau banyak bohong, atau miskin, melarat, dan besar tanggungan.

Kelak pada ayat 128 diterangkan lagi betapa sukarnya akan berlaku adil terhadap istri-istri itu, walaupun bagaimana menjaganya.

Sebab itu, hati-hati benarlah sebelum bertindak.

Alhasil yang kedua lagi, janganlah kita potongi pangkal dan ujung ayat karena keinginan-keinginan hawa nafsu belaka, karena melihat perempuan cantik atau muda.

Janganlah sampai kita laksana orang yang malas shalat lalu memotong satu ayat,

"Janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu mabuk."

Lalu dihapuskan,

"Sedang kamu mabuk."

Atau mengambil pangkal ayat,

"Celaka besarlah orang yang shalat." (al-Maa'uun: 4).

Lalu, ditinggalkan lanjutannya,

"(Yaitu) orang-orang yang melupakan maksud shalatnya." (al-Maa'uun: 5).

Jangan mengemukakan alasan karena Rasul dan sahabat-sahabat umumnya beristri lebih dari 1. Sebab itu, kita hendak mengikuti Sunnah.

Kalau hendak mengikuti Sunnah, ikutilah lebih dahulu Sunnah Rasul dan sahabat-sahabatnya tentang keadilan beristri, bukan tentang beristrinya saja.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 176-186, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Menyebut iman adalah mudah, tetapi mencapai hasil iman yang mulia adalah suatu ujian hati yang berat. Orang belum akan mencapai kebaikan (birr) atau hidup yang baik atau jiwa yang baik, kalau dia belum sanggup mendermakan barang yang paling dicintainya.

Dalam surah al-Baqarah dahulu (ayat 176) telah diterangkan bahwa kebaikan (birr) bukanlah semata-mata buat menghadapkan muka ke Timur ataupun ke Barat, tetapi antara syarat-syarat untuk menjadi orang baik adalah sudi mengeluarkan harta benda, padahal kita cinta kepadanya.

Di dalam surah al-Baqarah juga, ayat 267 dipimpinkan lagi, jangan sampai memberikan derma apa pun kepada orang lain, yang jika misalnya engkau sendiri yang menerimanya, engkau akan memicingkan mata, hanya karena terpaksa saja.

Sekarang dijelaskanlah bahwa kebaikan tidak akan tercapai kalau belum sanggup mendermakan apa yang paling dicintai.

Kalau martabat ini telah tercapai, baru boleh diakui bahwa dia seorang baik yang telah mencapai kebaikan.

Sayyidina Umar bin Khaththab memesan seorang dayang yang manis ke negeri Persia. Namun, setelah dayang itu beliau terima, beliau terkenang akan ayat Lantanaalu.

Langsung dayang itu beliau merdekakan.

Putra beliau, Abdullah bin Umar, mempunyai pula seorang dayang (hamba sahaya) yang cantik didatangkan dari negeri Rum. Tergetar pula hatinya demi membaca ayat Lantanaalu, hamba sahaya yang cantik itu langsung beliau merdekakan.

Memerdekakan budak yang dicintai adalah suatu pengorbanan.

Bolehlah budak itu dimerdekakan dan kemerdekaannya itu menjadi maharnya, lalu dikawini.

Namun, Abdullah bin Umar setelah memerdekakan budak cantik itu, terus menawarkannya menjadi istri maulanya, Naafi.

Sedangkan Naafi, maula Abdullah bin Umar pun, bekas budak tawanan perang, beliau merdekakan budak cantik itu dan menganggap sebagai anak kandung.

Namanya amat terkenal sebab hadits-hadits Nabi yang dirawikan dari Ibnu Umar selalu melalui Naafi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 6-8, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PELIHARALAH DIRIMU DAN KELUARGAMU DARI API NERAKA

"Tiap-tiap kamu itu ialah pemimpin dan tiap-tiap kamu akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya. Imam yang mengimami orang banyak adalah pemimpin, dan dia akan ditanyai tentang orang-orang yang dipimpinnya itu. Dan seorang laki-laki adalah pemimpin terhadap keluarganya, dan dia pun akan ditanyai tentang kepemimpinannya. Dan seorang perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya, dan dia pun akan ditanyai tentang yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam hadits yang shahih ini nyatalah tanggung jawab yang terletak di atas pundak tiap-tiap orang menurut ukuran apa yang ditanggungjawabinya, akan ditanya tentang kepemimpinan terhadap ahlinya, yaitu istri dan anak-anaknya. Karena yang disebut ahli itu ialah seisi rumah yang terletak dalam tanggung jawab, kadang-kadang seseorang memikul tanggung jawab sampai dua atau tiga. Jika ia imam dalam satu masyarakat dan dia pun suami dalam satu rumah, maka keduanya pun di bawah tanggung jawabnya.

Supaya diri seseorang mempunyai pengaruh, berwibawa, disegani, hendaklah perangai dan tingkah lakunya dapat dijadikan contoh oleh anak dan istrinya. Dapatlah hendaknya dia jadi kebanggaan dan kemegahan bagi keluarga. Dan itu belum cukup, maka hendaklah dia membimbing istrinya, menuntunnya.

"Laki-laki adalah memimpin bagi perempuan-perempuan." (an-Nisaa': 34).

Lantaran itu maka sejak dari masa mencari jodoh, hal ini sudah patut diperhatikan. Sebab itu maka salah seorang imam ikutan umat, yaitu Imam Malik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan peraturan kafa'ah (kesepadanan) tentang mencari pasangan suami istri, bagi beliau ialah agama.

Kalau seorang laki-laki hendak mencari calon istri utamakanlah dari keluarga yang menghormati nilai-nilai agama.

Dengan sebab sekufu', yaitu sama pandangan keagamaan, mudahlah bagi si suami memimpin istrinya, terutama dalam pegangan hidup beragama. Nabi bersabda,

"Pilih-pilihlah tempat mencurahkan nuthfah kamu dan nikahilah perempuan yang sekufu' dan nikahkanlah kepada laki-laki yang sekufu' pula." (HR. Bukhari, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad bin Hambal).

Sebagaimana telah kita katakan sejak semula tadi, dari rumah tangga, atau dari gabungan hidup suami istri itulah umat akan dibentuk. Suami istri mendirikan rumah tangga, menurunkan anak-anak dan cucu, diiringkan oleh para pembantu dan pelayan. Dari sini akan bergabung menjadi kampung, teratak dan dusun, kota dan negeri, akhirnya sampai pada suatu negara dan umumnya ialah masyarakat. Anak laki-laki dari suatu keluarga akan dikawinkan dengan anak perempuan dari keluarga yang lain.

Maka dapatlah kita maklumi betapa hebat dan besarnya gelombang perusak masyarakat Islam itu yang kita hadapi di zaman kita ini. Pemuda dan pemudi bebas bergaul, sedang orangtuanya, ibu dan bapaknya sudah sangat lemah, bahkan ada yang telah padam semangat beragama itu pada dirinya.

"Wahai orang-orang yang kafir!" (pangkal ayat 7).

Artinya wahai orang-orang yang tidak percaya akan seruan ini, agar kamu peliharakanlah dirimu dan keluargamu, istri-istri dan anak-anak kamu dan kamu hanya berbuat sekehendak hatimu saja dalam dunia, ketahuilah bahwa adzab neraka itu pasti kamu derita di hari itu kelak. Janganlah kamu membela diri di hari ini karena pembelaan diri apabila telah datang hari Kiamat itu sudah percuma!

Sudah tidak ada manfaatnya lagi.

"Tidaklah kamu akan dibalas melainkan menurut apa yang telah kamu kerjakan." (ujung ayat 7).

Artinya ialah bahwa balasan yang kamu terima di akhirat itu tidak lebih tidak kurang adalah setimpal dengan kesalahan yang telah kamu perbuat. Yang kamu perhatikan selama hidup di dunia hanyalah kekayaan, kebendaan, membanggakan diri, makan minum sebagaimana makan minumnya binatang belaka, tidak mempunyai cita-cita, tidak mengingat hari depan. Dirimu sendiri kamu sia-siakan, jiwa tidak dibersihkan, akal tidak digunakan untuk berpikir.

Sebab itu maka wibawa terhadap istri tidak ada, anak-anak sendiri pun tidak merasa segan dan takut kepada ayahnya. Harta benda mungkin banyak yang dapat dikumpulkan, padahal jiwa kosong dari pemikiran dan cita-cita hari depan.

Maka peringatan Allah tentang seramnya api neraka, yang alat penyalanya ialah manusia dan batu-batu, penjaganya malaikat-malaikat yang bengis, bukanlah suatu janji yang kejam. Sebab dari masa sekarang Allah telah memperingatkannya. Allah bukanlah sekali-kali menyukai kita menuju ke sana. Itu sebab maka diperingatkan dari sekarang.

Yaitu supaya tempuhlah hidup yang baik, menurut tuntunan Allah dan Rasul, agar selamat dan terlepas dari adzab siksaan yang ngeri dan seram itu.

"Wahai orang-orang yang beriman! Tobatlah kepada Allah tobat yang sejati!" (pangkal ayat 8).

Serupa juga halnya dengan ayat 6 yang terdahulu di atas tadi, yaitu bahwa orang yang telah beriman disuruh memeliharakan diri dan keluarga daripada adzab api neraka. Demikian pula pada ayat ini; orang yang telah beriman disuruh supaya tobat, sebenar-benar tobat.

Bukanlah orang yang berdosa saja yang disuruh bertobat, orang yang tidak bersalah pun disuruh bertobat. Nabi saw. sendiri pun bertobat. Dari Abu Hurairah, berkata dia, berkata Rasulullah saw.,

"Demi Allah sesungguhnya aku sendiri memohon ampun kepada Allah dan tobat kepada-Nya dalam sehari lebih tujuh puluh kali." (HR. Bukhari).

Dan sabda beliau pula dari al-Agharr bin Yasar Al-Muzanni, Rasulullah saw. bersabda,

"Wahai seluruh manusia! Bertobatlah kepada Allah dan mohon ampunlah; sesungguhnya aku sendiri bertobat sampai seratus kali sehari." (HR. Muslim).

Oleh sebab itu berkatalah al-Qurthubi dalam tafsirnya bahwa bertobat itu adalah fardhu 'ain atas tiap-tiap Mukmin dalam tiap-tiap hal dan dalam tiap-tiap zaman.

Menulis Imam Nawawi dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhush Shalihin, dalam pendahuluan ketika menyusunkan hadits-hadits yang berkenaan dengan tobat.

Kata beliau,

Berkata ulama, Tobat itu adalah wajib dari tiap-tiap dosa. Kalau dosa yang diperbuat itu adalah maksiat dari seorang hamba terhadap Allah, yang tidak bersangkut sesama anak Adam, maka syarat tobat kepada Allah itu tiga perkara. Pertama berhenti dari maksiat itu seketika itu juga. Kedua merasakan menyesal yang sedalam-dalamnya atas perbuatan yang salah itu. Ketiga mempunyai tekad yang teguh bahwa tidak akan mengulanginya lagi. Kalau hilang salah satu dari tiga syarat itu, tidaklah sah tobatnya.

Dan jika maksiat itu bersangkutan dengan sesama anak Adam maka syarat tobatnya empat perkara: pertama, kedua dan ketiga ialah syarat tobat kepada Allah tadi, ditambah dengan yang keempat melepaskan dengan sebaik-baiknya hak orang lain yang telah diambil. Jika hak orang lain itu ialah harta benda atau yang seumpamanya, maka segeralah kembalikan. Kalau menuduh atau memfitnah yang tidak-tidak, segeralah meminta maaf kepadanya. Kalau dia dipergunjingkan (diumpat) di belakangnya, akuilah kesalahan itu terus terang dan minta maaflah.

Sebab itu maka wajiblah segera tobat dari sekalian dosa, yang diingat ataupun yang tidak diingat.

Sekian Imam Nawawi.

Dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini disebut tobat nashuha. Penulis memberi arti tobat sejati. Asal arti kata nashuuh ialah bersih. Menjadilah tobat yang bersih.

Ulama-ulama tasawuf banyak membuat kesimpulan tentang maksud tobat nashuha.

Sahabat-sahabat Rasulullah sejak Umar bin Khaththab, Abdullah bin Mas'ud, Ubay bin Ka'ab, Mu'az bin Jabal sependapat bahwa arti tobat nashuha ialah tobat yang tidak mau kembali lagi kepada kesalahan itu.

Al-Kalbi mengartikan, "Tobat nashuha ialah menyesal dalam hati, minta ampun dengan lidah, berhenti di saat itu juga dari dosa tersebut dan meneguhkan azam tidak hendak mendekat ke sana lagi."

Said bin Jabair berkata, "Tobat Nashuuha ialah yang diterima Allah. Untuk diterima tobat itu hendaklah memenuhi tiga syarat. Pertama takut tobat tidak akan diterima. Kedua mengharap agar diterima. Ketiga mulai saat itu memenuhi hidup dengan taat."

Menurut Said bin al-Musayyab, "Tobat nashuha ialah menasihati diri karena telah bersalah dan patuh menuruti nasihat itu."

Al-Quraizhiy mengatakan bahwa untuk memenuhi perlengkapan tobat nashuha adalah dengan empat cara. "Memohon ampun dengan lidah, berhenti dari dosa itu dengan badan, berjanji dengan diri sendiri tidak akan mengulangi lagi, menjauhkan diri dari teman-teman yang hanya akan membawa terperosok kepada yang buruk saja."

Al-Junaidi al-Baghdadi berpendapat lain. Beliau mengatakan bahwa "Jika seseorang telah tobat nashuha dia tidak akan ingat lagi pada kesalahan dan dosa-dosa yang telah lalu itu. Sebab kasih sayang dan cintanya telah tertumpah kepada satu jurusan saja, yaitu Tuhannya. Jika seseorang telah tertumpah kasih kepada Allah, manakan ingat lagi kepada dosa yang telah lalu."

Seterusnya Allah berfirman,

"Mudah-mudahanlah Allah kamu akan menghapuskan keburukan yang ada pada kamu."

Pengertian "mudah-mudahan" kita salinkan dari kalimat bahasa Arab yang terdapat dalam ayat itu, yaitu 'asaa.

Menurut ahli-ahli tafsir kalau 'asaa yang berarti mudah-mudahan itu dipakai dari pihak Allah, artinya ialah pasti.

Tegasnya, kalau seseorang telah benar-benar tobat nashuha, pastilah Allah akan menghapusi dosanya dan menghapuskan bekas buruk yang selama ini lekat dalam pribadinya.

"Dan akan dimasukkannya kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai."

Di sini terdapatlah dua janji yang pasti dari Allah.

Janji pertama untuk di atas dunia. Yaitu bahwa orang-orang yang benar-benar tobat (tobat nashuha) hidupnya akan diperbaiki oleh Allah, kalau sekiranya selama ini dirinya telah cacat karena dosa, tetapi karena wajah hidupnya telah dihadapkannya kepada Allah dan dengan segera Allah akan mengubah dirinya dari orang buruk jadi orang baik, muka yang keruh karena dosa selama ini akan berganti berangsur-angsur menjadi jernih berseri karena sinar iman yang memancar dari dalam ruh. Itulah janji pasti yang pertama dari Allah.

Adapun janji pasti yang kedua ialah akan dimasukkan ke dalam surga sebagai ganjaran atas menangnya perjuangan diri sendiri dalam usaha hendak bebas dari pengaruh hawa nafsu dan Setan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 220-224, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MUBAHALAH

"Maka barangsiapa yang membantah engkau dari hal itu." (pangkal ayat 61).

Yaitu bahwa mereka tidak mau percaya apa yang engkau katakan itu, padahal sudah nyata pendirian yang mereka pertahankan itu ialah salah.

"Sesudah datang kepada engkau pengetahuan."

Yaitu keterangan yang demikian jelas yang diberikan Allah kepada engkau yang disampaikan dengan wahyu.

"Maka katakanlah, "Marilah kemari! Kita ajak anak-anak kami dan anak-anak kamu, dan istri-istri kami dan istri-istri kamu, dan diri-diri kami dan diri-diri kamu, kemudian itu kita adakan mubahalah dan kita jadikan kiranya laknat Allah atas orang-orang yang berdusta." (ujung ayat 61).

Mubahalah ialah bersumpah yang berat, yang di dalam bersumpah itu dihadirkan anak dan istri dari kedua pihak yang bersangkutan, lalu diadakan persumpahan di dalam mempertahankan keyakinan masing-masing. Menilai kebenaran pendirian kedua belah pihak. Kalau ternyata kedua belah pihak berkeras kepala, tidak ada yang mau bertolak-angsur, biarlah Allah Ta'aala menurunkan kutuk laknat-Nya kepada barangsiapa yang masih saja bertahan pada pendirian yang salah.

Inilah ajakan Rasulullah saw. sendiri kepada utusan-utusan Najran yang mempertahankan bahwa Isa al-Masih adalah putra Allah. Kalau pihak kamu masih bertahan pada kepercayaan yang kamu sangka benar itu dan kami pun bertahan pula, padahal alasan sudah sama-sama dikemukakan, mari kita bermubahalah, bersumpah berat. Panggil ahli keluarga kita kedua belah pihak, sama-sama menghadiri sumpah itu. Kalau kami di pihak yang salah, kami bersedia menerima kutuk Allah. Dan, kamu pun hendaklah bersedia pula kalau kamu berpendirian bahwa pihak kamulah yang benar.

Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, 2 orang Kristen, yang satu bernama Sayyid dan yang seorang lagi bernama Aqib, meng-hujjah Nabi saw. dalam kepercayaan itu. Setelah diusulkan mubahalah, mereka pun mundur, tidak berani. Sebab, di dalam hati mereka memang sudah ada perasaan bahwa jika benar orang ini rasul Allah, kitalah yang akan ditimpa bala bencana karena kekerasan kepala kita.

Menurut riwayat dari al-Hakim, Ibnu Mardawaihi, dan Abu Na'im yang diterima dari sahabat Jabir bin Abdullah. Jabir ini menceritakan, "Aqib dan Sayyid datang kepada Rasulullah saw., lalu Rasulullah saw. mengajak keduanya masuk Islam. Keduanya menjawab, 'Kami telah Islam, ya Muhammad!' Lalu Rasulullah saw. menjawab pula, 'Kamu keduanya berdusta! Kalau kamu tidak keberatan, aku dapat menerka mengapa kalian tidak suka memeluk Islam!' Lalu, keduanya menjawab, 'Cobalah terangkan apa sebabnya!' Lalu Nabi saw. menjawab, 'Kalian masih cinta kepada kayu palang (salib) dan minuman keras dan makan daging babi.' Lalu mereka diajak oleh Rasulullah mengadakan mubahalah, mereka pun menerima ajakan itu dan berjanji besok paginya. Keesokan harinya, Nabi Muhammad saw. sudah bersedia dan diutuslah orang menjemput mereka, tetapi mereka tidak mau."

Orang Madzhab Syi'ah mengatakan bahwasanya keluarga beliau yang beliau bawa menghadapi mubahalah itu ialah Hasan dan Husain sebagai anak, Fatimah sebagai istri-istri dan Ali sebagai diri beliau. Akan tetapi, penafsiran dan kaum Syi'ah ini dipandang lemah sebab dari semenjak zaman dahulu suatu cela yang besar membahasakan anak perempuan sebagai istri-istri yang disebutkan di dalam ayat nisaa-ana. Dan, lagi mengapa hanya Fathimah saja, padahal anak perempuan beliau yang lain pun ada?

Di dalam riwayat yang lain lagi dari Ibnu 'Asakir, yang dia terima dari Ja'far bin Muhammad, dan dia menerima pula dari ayahnya bahwasanya setelah ayat mubahalah ini turun, Rasulullah saw. memanggil Abu Bakar bersama anak-anaknya. Akan tetapi, pihak lawan tidak bersedia menghadapi mubahalah yang ngeri itu. Riwayat yang kedua ini lebih masuk ke akal kita, jika kita pikirkan bahwa Islam bukanlah kepunyaan keluarga Rasulullah, dan di dalam perjuangan Islam, sejarah sudah mengatakan bahwa Ali adalah orang yang keempat, sedangkan Abu Bakar orang yang pertama sesudah Rasulullah saw.

Akan tetapi, setengah ahli tafsir lagi mengambil kesimpulan bahwa persediaan mubahalah itu tidak terjadi, baik menurut riwayat kaum Syi'ah yang pertama tadi maupun menurut pegangan Ahli Sunnah yang kedua, karena pihak Nasrani dan bermula sudah tidak mau.

Kata penafsiran itu, ayat mubahalah adalah pembuktian antara yakin dan teguhnya orang Islam pada iman dan kepercayaannya. Keyakinan tauhid adalah pegangan seluruh keluarga, baik diri sendiri maupun anak-anak dan istri, bersedia menghadapi apa saja pun, suka atau duka, hidup ataupun mati di dalam mempertahankan keyakinan. Sebab, keyakinan itu bukanlah semata-mata ajaran pusaka, tetapi dianut dengan disadari.

Sehingga, apabila sudah timbul keyakinan atas benarnya apa yang diperjuangkan, orang tidak gamang dan gentar menghadapi segala ancaman. Mati pun mau. Dan, kalau diminta mubahalah yang bersedia menerima kutuk laknat Allah kalau pendirian salah, mereka pun bersedia menghadapi karena yakin bahwa mereka tidak akan kena kutuk. Sebab, pendirian mereka benar.

Dan keyakinan ini sekali-kali bukan membabi-buta, sebab di pangkal ayat sudah dijelaskan, yaitu,

"Sesudah datang kepada engkau pengetahuan."

Keyakinan timbul karena sudah dituntun oleh wahyu Ilahi. Keyakinan itu menjadi pegangan umat Muhammad seluruhnya, laki-laki dan perempuan, orang dewasa dan kanak-kanak. Bukankah kalau keyakinan sudah ada, ketakutan kepada maut tidak ada lagi?

Dari kalimat istri-istri kami, Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar mengambil suatu inti tentang betapa pentingnya kedudukan perempuan di dalam Islam.

Cobalah pikirkan dan bayangkan betapa kalau mubahalah itu terjadi menurut asli ayat Rasulullah saw. membawa seluruh istri-istri beliau dan anak-anaknya, yaitu cucu beliau Hasan dan Husain (karena di dalam adat Arab, cucu pun disebut anak, juga karena beliau tidak ada mempunyai anak laki-laki). Termasuk Abu Bakar dengan anak istrinya, Ali dengan anak istrinya pula. Alangkah ramainya. Sudah nyata bahwa orang perempuan akan lebih banyak dari laki-laki, yang turut mempertaruhkan jiwa raga mereka di dalam mempertahankan keimanan.

Kata Sayyid Rasyid Ridha selanjutnya, alangkah berbedanya maksud yang terkandung dalam ayat ini dengan masyarakat kaum Muslimin sekarang, yang kaum perempuan tidak dibawa ikut serta di dalam pekerjaan penting dan mereka hanya menjadi tukang menyusukan anak, tukang memasak di dapur dan bersolek dan berhias, dihambat dengan bermacam-macam hambatan dan dihalangi dengan berbagai macam halangan. Padahal di zaman Rasulullah saw. mereka pun ikut berperang, mengerjakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya.

Syukurlah buah pikiran Sayyid Rasyid Ridha ini telah dijalankan oleh ulama-ulama Indonesia daripada di Tanah Arab yang dikeluhkan oleh Sayyid Rasyid Ridha itu. Kiai H.A. Dahlan sebagai pembaca tafsir Sayyid Rasyid Ridha, di dalam Tahun 1912, telah mengajak kaum perempuan turut bergerak dalam lapangan agama, dipelopori oleh istri beliau dan anak perempuan beliau sendiri, sehingga di Indonesia telah lebih 50 Tahun telah ada perempuan yang turut aktif melakukan kewajiban menggerakkan agama, di samping menerima haknya yang wajar.

Dan, di Tahun 1957 al-Azhar telah mengundang Guru Besar Hajjah Rahmah El-Yunusiah datang ke Mesir buat memberikan pengetahuan dan pengalamannya bagaimana memberikan didikan agama kepada perempuan. Rahmah El-Yunusiah telah bergerak sejak masih gadis remaja, di Tahun 1918, di bawah pimpinan abangnya Zainuddin Labay El-Yunusiah dan Gurunya Dr. Syekh Abdulkarim Amrullah.

Adapun di tempat lain, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia yang telah dimasuki pengaruh Barat, kaum perempuan karena memberontak pada kungkungan adat kolot, bukan dilahirkan dalam paham pandangan agama, tetapi menuntut kebebasan secara Barat.

Lantaran itu, patutlah diingat bahwasanya kita kaum Muslimin menerima ajaran Allah bahwasanya kaum perempuan mempunyai tanggung jawab, mempunyai hak di samping memikul kewajiban,sama ke tengah dan ke tepi, turut berperang dan mengerjakan tugasnya yang layak, sehingga di dalam peperangan yang besar-besar di zaman Rasul saw., perempuan ikut serta. Bahkan beberapa perempuan di dalam Peperangan Khaibar mendapat saham pembagian sama dengan yang didapat oleh pejuang laki-laki ketika membagi-bagi harta rampasan perang (ghanimah).

Kita harus berani mengikut Rasulullah, berani berhadapan dengan pemeluk agama lain, dengan mengadakan mubahalah. Akan tetapi, keberanian ini tidak akan ada kalau kita tidak mengerti agama kita sendiri.

Di ujung ayat Allah Ta'aala mengatakan bahwa Dia mengetahui siapa-siapa yang merusak. Perusakan ini terus-menerus dilakukan sampai sekarang. Orang Kristen, yang di tanah airnya sendiri di Eropa, sudah mulai kehilangan pasaran, didesak oleh paham ateis dan komunis, dan banyak orang yang telah ingkar dari agama, berduyun datang menyerbu ke negeri-negeri Islam, karena jika penjajahan kapitalis-imperialis telah tidak ada lagi, mereka ingin melanjutkan penjajahan itu dari segi ruhani. Kadang-kadang mereka sengaja mencari pasal atau gara-gara dengan kaum Muslimin, menimbulkan sengketa dan menyinggung perasaan. Dengan segala tipu daya mereka masuk ke daerah-daerah yang teguh keislamannya, membawa pakaian dan makanan, membawa obat-obatan, membujuk orang-orang yang miskin, lalu mempropagandakan agama mereka. Celakalah nasib umat Islam di tempat itu, bernama orang Islam, tetapi Islam hanya pada namanya dan tidak ada kecemburuan Islam. Mereka orang Islam, tetapi bagi mereka sama saja di antara gereja dan masjid.

Dalam keadaan yang seperti ini, kalau ulama-ulama dan pemuka-pemuka Islam lupa akan tanggung jawabnya membela agama dan melakukan dakwah, mereka pun kena teguran dengan ujung ayat ini bahwa mereka adalah orang-orang yang telah turut merusak agamanya karena kelalaiannya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 645-648, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RUMAH KEDIAMAN

"Dan Allah telah menjadikan untuk kamu dari rumah-rumah kamu, sebagai tempat tinggal." (pangkal ayat 80).

Di ayat ini dijuruskan lagi perhatian kita kepada rumah tangga kita sendiri, tempat kita mendidik anak, tempat kita beristirahat, tempat berteduh kehujanan dan bernaung ketika kepanasan. Dan tempat kamu bertekun ibadah kepada Allah dan mensyukuri nikmat-Nya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 202-203, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Untuk mendamaikan orang yang bermusuh-musuhan, boleh dicari dan dikarangkan pula sebuah dusta supaya mereka berdamai. Apalagi antara suami dan istri, misalnya jika kita katakan kepada si suami yang sedang merajuk bahwa istrinya selalu menangis, siang tidak pernah senang, malam tidak pernah tidur, hanya menyebut namanya saja, sedang anaknya sering memanggil-manggil ayah juga. Kepada istri dikatakan pula bahwa suaminya sekarang sudah setengah gila, akan pulang ke rumah takut istrinya tidak cinta kepadanya lagi, dan lain sebagainya sehingga mereka dapat rujuk kembali.

(Buya HAMKA, Akhlaqul Karimah, Hal. 58, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Desember 2017).

KEBAHAGIAAN RUMAH TANGGA

Kelak kalau ia ditegur dengan baik, lebih-lebih sedang hatinya terhadap kepada yang lain itu, disumbatnya saja mulut istrinya dengan perkataan,

"Kau tak usah campur, kau hanya perempuan."

Sudah berpuluh, beratus, dan beribu perempuan yang menjadi korban begini.

Setengahnya mati dalam mengeluh, menukar kubur hidupnya dengan kubur pusaranya.

Setengahnya putus asa lalu membunuh diri, dan setengahnya pula, yang otaknya lemah, langkah salah yang dilaluinya!

Setengahnya lagi diterimanya saja nasib itu dengan keluh,

"Memang kita kaum perempuan sudah ditakdirkan demikian."

Semuanya itu sesat, salah dan bukan demikian mestinya.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 266, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

"Kelak Allah akan memberikan kemudahan sesudah kesulitan." (ath-Thalaaq: 7).

Ayat ini adalah lebih khusus sifatnya, yaitu memberi harapan kepada suami istri yang dalam kesempitan tekanan-tekanan ekonomi dalam rumah tangga; sesudah sekarang susah, nanti akan mudah.

Sesudah kesempitan akan lapang.

Bahkan dalam kesulitan itu sendiri ada kemudahan.

Pada mulanya kadang-kadang orang tidak menampaknya.

Namun setelah diperhatikan dengan iman, jelaslah kelihatan.

"Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan." (ayat 6).

Dan itu memang akan terjadi terus, berulang-ulang, kesulitan itu senantiasa disertai kemudahan; dalam susah ada mudahnya, dalam sempit ada lapangnya.

Bahaya yang mengancam adalah menjadi sebab akal berjalan, pikiran mencari jalan keluar.

Oleh sebab itu dapatlah diyakinkan bahwa kesukaran, kesulitan, kesempitan, marabahaya yang mengancam dan berbagai ragam pengalaman hidup yang pahit, dapat menyebabkan manusia bertambah cerdas menghadapi semuanya itu, yang dengan sendirinya menjadikan manusia itu orang yang dinamis.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 242-243, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

POLIGAMI

Kalau masyarakat itu tidak dipimpin oleh penguasa yang mengerti ruh syari'at, niscaya mereka akan berpoligami menurut sesuka hatinya saja.

Mereka hanya berpegang kepada kebolehan yang diberikan agama, tidak mengingat syarat-syarat yang ditentukannya.

Di tanah air kita, Indonesia, poligami sesuka hati itu banyak terdapat, baik di kalangan orang awam, bahkan dalam kalangan terpelajar sendiri, sehingga "poligami" menjadi tempat lari bagi melepaskan nafsu.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 240, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Jangan mengemukakan alasan karena Rasul dan sahabat-sahabat umumnya beristri lebih dari satu. Sebab itu, kita hendak mengikuti Sunnah.

Kalau hendak mengikuti sunnah ikutilah lebih dahulu sunnah Rasul dan sahabat-sahabatnya tentang keadilan beristri, bukan tentang beristrinya saja.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 186, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RENUNGAN BUDI

Tercela menurut hukum agama seseorang yang memperturutkan hawa nafsunya terhadap perempuan.

Hubungan di luar nikah dinamakan zina dan menurut keterangan dari Ibnu Abbas, apabila telah terlanjur berzina satu kali, orang tidak merasa puas sehingga apabila dia telah bosan dengan seorang perempuan, dia akan berzina lagi dengan perempuan lain sampai lekatlah cap pada dirinya "seorang pezina".

Tetapi ada pula orang yang tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, karena takut berbuat yang haram lalu menempuh jalan yang halal.

Diapun kawin dan apabila dia telah bosan dengan perempuan yang pertama, dia kawin lagi dengan perempuan yang kedua. Dan itu pun akhirnya dia bosan lagi, kemudian kawin lagi, dan seterusnya.

Kalau umpamanya pukul 5 petang hari akan Kiamat, pukul 4 dia masih mengambil kesempatan akan kawin.

Keduanya, baik si pezina atau si tukang kawin sama saja, yaitu sama-sama diperhamba oleh hawa nafsunya.

Cuma akibat yang akan mereka terima berbeda coraknya.

Yang pertama jatuh harganya di hadapan mata orang banyak dan timbul tekanan batin karena dosa.

Yang kedua merasa tidak berdosa karena perbuatannya dirasanya halal, tetapi menderita batinnya karena di hari tuanya tidak mendapat orang yang akan membelanya.

Kesimpulannya, walaupun makanan yang halal, minuman yang halal, istri yang halal, kalau tidak dapat mengendalikan hawa nafsu, kecelakaan jugalah yang akan menimpa diri.

(Buya HAMKA, LEMBAGA BUDI: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 171-172, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

KEBAHAGIAAN RUMAH TANGGA

PERTANYAAN

Bagaimanakah jalannya supaya saya dapat hidup bahagia?

Maksud saya, bahagia di dalam rumah tangga.

Saya seorang perempuan yang telah beranak 4.

Pernikahan saya ini semata-mata karena hendak berbakti kepada orang tua saya.

Akan tetapi karena pemahaman kami suami-istri sangat berlainan, jadi sering kali timbul perselisihan.

Namun begitu, saya tak pernah adukan kepada orang tua saya karena tentu mereka akan berkecil hati.

Jadi, biar bagaimana kesalnya hati saya, saya coba juga melipurkan dengan membaca buku-buku. Setidaknya mana-mana yang retak hendak saya tambal juga karena mengingatkan anak yang telah 4 orang itu.

Akan tetapi, akhir-akhir ini hampir tak tertahan lagi disebabkan perbuatannya yang tak sependapat dengan saya, dan akibat perbuatannya itu semuanya menimpa diri saya.

Sekarang, tak dapat lagi saya memberi ia peringatan dan telah saya coba pula meminta kepada orang yang bijaksana untuk menasihatinya, tetapi tak juga berhasil.

Terpaksalah saya menceritakan segalanya kepada orang tua saya.

Setelah orang tua saya mengetahui hal saya ini dan melihat sendiri satu bukti yang nyata, lalu mereka pun bertanya,

"Jadi bagaimana maksudmu?"

Jawab saya,

"Saya hendak minta berpisah dengan baik!"

Kata orang tua saya,

"Itu terserah pada dirimu sendiri karena umurmu sudah cukup untuk berpikir."

Saya pun terus minta kepada suami saya supaya diceraikan dengan baik.

Juga saya terangkan, bukan saya saja yang tak dapat hidup bahagia, tetapi ia sendiri juga tak dapat hidup sebagaimana yang dikehendakinya, disebabkan pemahaman kami yang sangat bertentangan itu.

Namun dijawabnya bahwa ia sekali-kali tak suka kepada perceraian.

Pada pendapatnya, perempuan selamanya harus menurut apa saja yang dikehendaki oleh lelaki.

Jadi, ia tak mau menceraikan saya.

Di sini pun timbul pula pemahaman yang berlainan dengan pemahaman saya.

Yaitu, pada pikirannya saya mengundurkan diri karena ia punya pendapatan yang sekarang telah kurang dari masa yang lampau.

Ini pun menurut katanya.

Jadi, dianggapnya saya ini menikah karena uang.

Sekarang, tak tahu lagi apa yang hendak saya lakukan.

Jika sekiranya saya tak takut kepada Tuhan, rasanya hampir-hampir saya menyimpang dari garis yang benar.

JAWABAN

Orang kaya tak sehaluan dengan suami yang kaya?

Memang, kalau sekiranya suami dengan istri tidak sehaluan, rumah tangga tidak mampu tegak, walaupun tegak, tegaknya itu di atas api, layaknya terbakar dan hangus hati jiwa kedua pihak, atau salah satu pihak.

Rumah tangga yang beruntung, yang tegak lantaran sehaluan, permailah kaum dan mulialah umat.

Kesepakatan dan sehaluan di dalam rumah tangga itu bukanlah bergantung kepada kekayaan dan kemuliaan pangkat, tetapi kepada cinta dan hormat-menghormati di antara kedua-dua pihak.

Ada lelaki yang tidak sehaluan dengan istrinya karena istri itu minta kepada suaminya pengorbanan, tetapi ia sendiri tidak mau berkorban.

Mereka dipertalikan oleh uang, oleh pakaian, oleh material, harta zahir sehingga lupa mereka mempertalikan diri dengan kekayaan batin.

Rumah tangga yang begini senantiasa terancam akan hancur sebab angin ribut akan datang.

Sepayah-payah menjaga, akan meluap jugalah ia keluar.

Istri yang begini kalau bertemu dengan lelaki yang lemah hidung, yang telah jatuh kepada derajat dayus, suaminya itu bukanlah sebagai suami lagi, tetapi sebagai seorang yang telah tertumbuk jalannya, tak mampu maju lagi.

Ia segan bercerai karena telah mempunyai banyak anak.

Oleh karena itu, didiaminya jugalah, "neraka" itu sampai kelak ia pindah dari sengsara hidup kepada sengsara akhirat.

Itu juga namanya tidak sehaluan, tetapi pihak perempuan yang pangkal salah, bertemu dengan lelaki yang lemah hidung.

Pada mulanya kami sangka orang kaya tidak sehaluan dengan cara yang demikian karena memang harus diakui ramai juga kaum perempuan zaman sekarang yang menikah dengan ringgit itu.

Ketika kaum lelaki masih bergaji besar, gelak senyum istri itu, kelihatan seperti cahaya fajar di waktu pagi.

Namun bila kantong kosong, gelaknya sudah dibuat-buat, hatinya telah terbang membumbung ke langit hijau, badannya cuma dengan lakinya, tetapi hatinya telah jauh.

Hanya anaknya saja yang mengikatnya di rumah.

Namun setelah melihat surat orang kaya, terutama kesaksian dari ayah orang kaya sendiri, terbayanglah kepada kami haluan apakah yang mengecewakan orang kaya di dalam rumah.

Terbayang kepada kami belanja yang tidak sampai-menyampai, bukan karena pendapatan suami orang kaya tidak cukup,tetapi karena perbelanjaan yang sedianya untuk di rumah, telah dicurahkannya di luar.

Terbayang kepada kami bagaimana orang kaya diberi mulut manis, apabila ditanya dari mana datang, ada saja urusannya, padahal kecintaan kepada orang kaya yang sedianya akan orang kaya dapat penuh, telah dibahagikannya setengah kepada yang lain dengan tidak setahu orang kaya.

Terbayang kepada kami anak-anak itu, yang tidak lagi mendapat muka yang jernih dari ayahnya. Senyumannya dengan anak-anak itu hanya dipaksa-paksa sebab pikirannya melayang kepada yang lain.

Dengan tiba-tiba, sedang orang kaya termenung memikirkan hal-hal yang akan terjadi di belakang hari di dalam suasana rumah tangga, datang saja pertanyaan yang bertubi-tubi dari anak yang masih belum dewasa itu, menanyakan mengapakah ayah kerap kali pergi, atau mengapakah ibu menangis saja.

Lalu orang kaya mencari-cari jawaban untuk melepaskan diri atau untuk menyembunyikan kesalahan ayah di hadapan anak yang belum bisa turut menanggung kesedihan itu, padahal sudah dilingkungi kesedihan.

Sebagaimana banyak lelaki yang menderita lantaran haluan perempuan sebagai yang disebutkan di atas tadi, lebih banyak pula kaum perempuan yang bernasib sebagaimana orang kaya terangkan itu.

Nikmat yang lama telah hilang sebab suami berubah haluan.

Kelak kalau ia ditegur dengan baik, lebih-lebih sedang hatinya terhadap kepada yang lain itu, disumbatnya saja mulut istrinya dengan perkataan,

"Kau tak usah campur, kau hanya perempuan."

Sudah berpuluh, beratus, dan beribu perempuan yang menjadi korban begini.

Setengahnya mati dalam mengeluh, menukar kubur hidupnya dengan kubur pusaranya.

Setengahnya putus asa lalu membunuh diri, dan setengahnya pula, yang otaknya lemah, langkah salah yang dilaluinya!

Setengahnya lagi diterimanya saja nasib itu dengan keluh,

"Memang kita kaum perempuan sudah ditakdirkan demikian."

Semuanya itu sesat, salah dan bukan demikian mestinya.

Mengapa kaum perempuan putus asa?

Padahal, agama Islam cukup memberinya bimbingan dan hak?

Bukankah kedatangan Nabi Muhammad dengan Islam adalah untuk membela kaum perempuan?

Langkah yang orang kaya lalui sudah setengah jalan, dan sudah hampir dekat kepada yang betul.

Pertama, telah orang kaya sampaikan hal ini kepada ayah sendiri dan ayah telah menyaksikan. Ia telah menyerahkan urusan itu kepada pertimbangan, orang kaya sendiri. Kemudian telah orang kaya minta sendiri talak kepadanya, tetapi ia tidak mau memberikannya.

Kalau memang tidak mampu lagi pergaulan ini diteruskan, janganlah gusar kepada siapa-siapa sebab sudah ada jalannya dalam agama.

Namun, hati-hati orang kaya, selidikilah dahulu, barangkali orang kaya yang salah.

Boleh jadi orang kaya tidak mempunyai kepandaian untuk mengikatnya di dalam rumah, tidak mempunyai "guna-guna" yang bernama budi tinggi, tidak mempunyai "pemikat" yang bernama pengorbanan.

Oleh sebab itu, ia mencari haluan sendiri.

Kalau orang kaya pikir memang tak bisa lagi, sudah orang kaya pandang benar anak-anak, orang kaya merenung bagaimana keadaan anak-anak, itu kelak kalau ayahnya tidak ada lagi.

Sudah orang kaya pikirkan jika ia tinggal dengan ibu tiri, atau dengan nenek dan jauh dari ayahnya dan orang kaya pikirkan pula tanggungan orang tua setelah orang kaya kembali pulang kepadanya!

Kalau sudah dipikirkan itu semua, sanggup menelan kepahitan yang akan datang karena tidak tahan dengan kepahitan yang kini maka agama telah menunjukkan jalannya.

Pertama, laporkan kepada keluarga supaya diangkat wakil dari pihak ia dan orang kaya, hakim namanya.

Kedua-duanyalah yang berembuk kelak, serta menyelidiki dengan saksama apa masih mampukah orang kaya bergaul dengan ia atau tidak.

Kalau sekiranya kedua-duanya berhak menyelidiki apakah kelakuan orang kaya yang tidak disetujui suami orang kaya, atau kelakuannya yang tidak orang kaya sukai.

Ketika itu si suami mampu diikat dengan taklik, kalau sekiranya kelakuan yang tidak orang kaya sukai itu dibuatnya juga sekali lagi, jatuhlah talaknya kepada orang kaya.

Itu langkah pertama.

Boleh juga hakim itu memutuskan sekali bahwa orang kaya bercerai dengan ia terus.

Yakni, setelah ditiliknya bahwa memang tidak mampu bergaul lagi.

Kalau keputusan hakim itu jatuh, suaminya orang kaya sendiri tidak mampu membantah lagi.

Sampaikanlah hal ini kepada keluarga.

Itulah nasihat kalau sekiranya "yang buruk" yang kita sebut.

Namun begitu, kami juga masih mengharapkan yang baiknya juga.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 263-267, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Kesempatanlah pada kita sekarang memikirkan ayat-ayat Allah ini, yaitu peraturan yang telah Allah turunkan, terutama dalam menyusun pergaulan suami-istri di rumah tangga akan ditanamlah benih yang akan menurunkan umat yang baik, yang akan menjadi teladan yang baik di dalam beribadah kepada Allah.

Celakalah pergaulan kaum Muslimin kalau rumah tangga dan persuami-istrian mereka hanya asal kawin saja. Cerai asal cerai saja. Demikian juga sesudah si suami meninggal, sampai setahun di belakangnya pun agama mewasiatkan agar keluarga memelihara jandanya baik-baik.

Maka, sekiranya suatu masa tampak kekeruhan masyarakat Muslimin sehingga hancur kepribadiannya dan sampai dia diinjak-injak oleh bangsa lain, pastilah bertemu salah satu sebabnya, yaitu karena ayat-ayat Allah berkenaan dengan pembangunan keluarga tidak dipedulikan lagi.

Tepatlah apa yang pernah dikatakan oleh Sayyid Jamaluddin al-Afghani,

"Kemajuan bangsa lain ialah setelah mereka tinggalkan peraturan agamanya, sedangkan kemunduran kaum Muslimin ialah setelah mereka meninggalkan peraturan agamanya."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 475, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PAYAH MENJAGA KEADILAN BERISTRI BANYAK

"Dan sekali-kali tidaklah kamu akan sanggup berlaku adil di antara perempuan-perempuan, bagaimana pun kamu menjaga." (pangkal ayat 129).

Yang tidak sanggup mengadilkannya ialah hati.

Belanja rumah tangga bisa diadilkan bagi yang kaya.

Pergiliran hari dan malam pun bisa diadilkan.

Tetapi cinta tidaklah bisa diadilkan, apatah lagi syahwat dan nafsu setubuh.

Tafsir begini pun telah dinyatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lain.

Kecenderungan kepada yang seorang dan kurang cenderung kepada yang lain adalah urusan hati belaka.

Siapakah yang dapat memaksa hati manusia?

Dan Allah yang telah menakdirkan demikian pun tidaklah memaksa hati manusia pada perkara pembagian hari dan waktu, sangatlah adil Nabi kita.

Semua istrinya didatanginya dengan bergilir, baik yang telah amat tua sebagaimana Saudah yang di Madinah sudah berusia lebih dari 70 Tahun atau Aisyah yang baru berusia belasan tahun. Meskipun pada malam harinya giliran Saudah dengan ridha Saudah sendiri telah diberikannya kepada Aisyah. Dalam hal tidak dapat mengadilkan hati itu, Rasulullah saw. bermohon kepada Allah dalam doanya yang terkenal,

"Ya, Allah-ku, inilah pembagian yang dapat aku berikan pada perkara yang dapat aku kuasai. Maka janganlah Engkau sesali aku dalam perkara yang hanya Engkau menguasai, dan aku tidaklah berkuasa." (HR. Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan).

Lantaran itu datanglah lanjutan firman Allah,

"Sebab itu janganlah condong terlalu condong, sehingga kamu biarkan dia laksana barang tergantung."

Artinya sebagai seorang yang beriman, yang sadar bahwa laki-laki dapat mengekang kecenderungan kamu itu.

Meskipun hati tidak dapat dipaksa, namun laki-laki yang bijaksana akan dapat mengendalikan diri.

Apatah lagi bilamana dari istri-istri yang berbilang itu telah dianugerahi Allah anak-anak.

Tidak pun hatimu condong kepada seorang istri, ingatlah bahwa dia adalah ibu anak-anakmu.

Perlakuan tidak adil dari ayah kepada ibunya akan meninggalkan kesan yang tidak baik pada anak-anakmu terhadap kamu sebagai ayahnya.

Sebab itu sekali-kali jangan dijadikan istri yang kurang dicintai itu laksana barang tergantung.

Tergantung tidak bertali, terkatung-katung;

Jangan sampai ada aniaya terhadap jiwanya.

"Dan jika kamu berbuat damai dan memelihara takwa, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (ujung ayat 129).

Pada ayat 128 di atas, ketika menunjukkan jalan keluar bagi perempuan yang telah merasakan bahwa hati suaminya telah kurang terhadap dirinya, Allah menganjurkan agar dialah yang mengambil prakarsa mencari jalan damai.

Kepadanya diberi ingat supaya sudi berbuat baik dan damai dan mendasarkan hidup kepada takwa.

Sekarang kepada si laki-laki diberi ingat pula, bahwa Allah tahu kelemahannya. Dia tidak akan sanggup mengadilkan cinta.

Sebab itu janganlah terlalu kentara keluar dari kecenderungan hati itu sehingga sampai hati menggantung istri tidak bertali.

Untuk mengendalikan hati yang lemah itu, Allah memberikan resep yang sama di antara laki-laki dan perempuan.

Yaitu tegakkanlah dalam dirimu sendiri keinginan damai dan tenteram, mengurangi krisis dalam rumah tangga dan membuat patri yang paling kukuh,

Yaitu takwa.

Sekali lagi dengan ayat ini kita diberi peringatan yang halus dan bimbingan ruhani yang murni apabila kita hendak berkawin dua, tiga, sampai empat.

Supaya jangan ada tekanan jiwa karena syahwat melihat perempuan yang dia senangi, diberilah izin beristri lebih dari satu (poligami).

Menahan syahwat adalah hal yang sebaik-baiknya, hal yang ideal di dalam hidup.

Tetapi agama tidaklah membutakan mata terhadap keadaan jiwa manusia.

Kalau syahwat tidak tertahankan lagi, lebih baik kawin lagi daripada berzina, atau memelihara perempuan di luar nikah.

Dengan berkawin lagi, syahwat dapat dikendalikan, tetapi kesukarannya tidaklah kurang.

Karena tiap-tiap perempuan yang telah dikawini wajib diberi belanja dan nafkah.

Sampai disebut nafkah lahir, yaitu makanan, pakaian, dan kediaman.

Disebut juga kewajiban memberikan nafkah batin, yaitu persetubuhan.

Apabila beristri lebih dari satu, keadilan inilah soal yang besar.

Istri adalah manusia berjiwa dan berakal juga, yang mempunyai perasaan halus, sedang dia pun lemah.

Seorang laki-laki yang beristri lebih dari satu, yang bertambah kuat imannya dan takwanya kepada Allah dan bertambah halus perasaannya senantiasa akan merasakan beban berat keadilan itu menekan pundaknya.

Suatu hal tidaklah dapat diatasinya, yaitu keadilan hati.

Apatah lagi keadilan syahwat setubuh.

Tetapi bagaimana pun beratnya soal ini, jauhlah lebih berat apabila seorang laki-laki pergi berzina karena tidak dapat mengendalikan nafsu.

Apabila seorang laki-laki karena tidak dapat mengendalikan syahwat, lalu kawin lagi, namun dia masih dapat berjuang dalam batinnya untuk melawan hawa nafsu, menegakkan jalan damai dan takwa.

Tetapi seorang yang telah telanjur berzina, hancurlah jiwanya. Dia akan mendapat tekanan batin lebih berat daripada seorang yang beristri lebih dari satu tadi.

Maka apabila seseorang laki-laki telah sadar kelemahan dirinya lalu berusaha supaya jangan condong terlalu condong sehingga membiarkan seorang istri "tergantung tidak bertali" dan selalu memupuk rasa perbaikan dan damai dalam jiwanya, selalu takwa kepada Allah, kekurangan-kekurangan serta sedikit akan dapat diampuni Allah.

Allah menunjukkan pula kasih sayang-Nya yang dilihat-Nya selalu berusaha menegakkan damai dan takwa dalam rumah tangganya.

Allah akan memberinya bimbingan dan pimpinan.

Kedua ayat ini, ayat 128 dan 129 telah memberikan bayangan kepada kita bahwa seorang beriman laki-laki dan perempuan bila bertemu satu kesulitan rumah tangga, tidaklah akan memilih jalan pendek, yaitu bercerai (talak)

Di ayat 128 dianjurkan mencari perdamaian, sampai dikatakan, "Damai itulah yang lebih baik."

Dan di ayat 129, jika laki-laki merasa bahwa dia tidak sanggup mengadilkan cinta dan nafsu setubuh, tidaklah pula jalan talak yang ditunjukkan, melainkan disuruh menekan perasaan dan "jangan terlalu".

Asal ditegakkan rasa damai dan takwa, baik oleh yang perempuan (ayat 128) atau oleh yang laki-laki (ayat 129) Allah akan memberi ampun jika terdapat kesalahan berkecil-kecil dan Allah akan tetap menyayangi hamba-Nya yang insaf akan kelemahan dirinya.

Tersebut di dalam hadits yang dirawikan oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud, berkata Rasulullah saw.,

"Perkara yang halal tetapi paling dibenci oleh Allah ialah talak." (HR. Ibnu Majah dan Abu Dawud).

Dalam ayat 128 perempuan yang dianjurkan, carilah jalan damai, jangan memperturutkan perasaan (sentimen).

Bersuami jauh lebih baik daripada menjadi janda tegang, apatah lagi kalau sudah berumur.

Di ayat 129 kepada laki-laki pula dianjurkan, pandai-pandailah mengendalikan diri.

Jangan setelah hati bosan, terus saja membuat istri yang kurang dicintai laksana tergantung tidak bertali, apatah lagi akan menyebut cerai.

Kalau setelah engkau bosan, lalu engkau menghambur cerai, nyatalah bahwa engkau laki-laki yang kurang pikir.

Atau seorang laki-laki yang tidak patut dihargai.

Hadits yang tegas pula dari Rasulullah saw.,

"Allah mengutuk laki-laki tukang cicip dan perempuan tukang cicip."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 477-479, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Jelaslah sekarang di atas dasar apa rumah tangga Islam harus ditegakkan.

Dasar cinta tempat menegakkan rumah tangga ialah akhlak yang baik, perangai yang mulia, sabar dan teguh hati dan mengharapkan keturunan yang menyambung kemuliaan budi kedua orang tuanya.

Janganlah semata mencari keuntungan benda, sehingga nilai kesucian tidak dimasukkan hitungan.

Dan jangan pula semata-mata karena cinta. Karena menurut penyelidikan yang saksama atas jiwa manusia (psikoanalisa), cinta laki-laki terhadap perempuan dan sebaliknya, sukarlah memisahkan dari dorongan syahwat.

Perkawinan bahagia yang dipatrikan cinta tidak dapat dipisahkan sebab-sebabnya dari kepuasan kelamin (seks).

Orang Inggris menyebut cinta itu love. Bersetubuh juga disebut make love, membuat cinta.

Tepat sekalilah apa yang pernah dijawabkan oleh Sayyidina Umar bin Khaththab kepada seorang perempuan yang datang mengadukan halnya kepada beliau.

Perempuan itu mengaku terus terang di hadapan beliau, bahwa dia tidak cinta kepada suaminya, ia minta nasihat betapa cara yang baik, karena katanya pergaulan yang tidak diikat cinta adalah membosankan.

Maka berkatalah Sayyidina Umar,

"Jika ada di antara kamu, wahai perempuan, yang tidak cinta kepada seorang di antara kami laki-laki, tidak usahlah hal itu dikabarkan kepadanya, karena hanya sedikit rumah tangga yang dibina karena cinta. Kebanggaan hanyalah didirikan atas hasab (kemuliaan budi) dan Islam."

Hasab kita artikan kemuliaan budi, sifat dermawan, lapang dada, sopan santun, menyebabkan orang disegani dan dimuliakan.

Kawannya ialah nasab, yaitu kemuliaan karena silsilah darah keturunan (bangsawan).

Maka ada orang yang dihormati karena hasab-nya, meskipun tidak tinggi nasab-nya, tetapi orang ini kurang dihormati karena tidak ada hasabnya.

Arti asal hasab ialah bilangan. Maka orang mempunyai hasab ialah orang yang terbilang atau orang yang masuk hitungan.

Benarlah ucapan emas dari Sayyidina Umar itu.

Kekuatan nafsu kelamin menurun apabila usia telah lanjut. Padahal banyak rumah tangga, kedua suami istri telah tua-tua, bergaul berpuluh tahun melalui kawin perak (25 Tahun), kawin emas (40 Tahun) dan kawin intan (50 Tahun).

Bertambah lama bertambah mesra, hanya dipisahkan kelaknya oleh tembilang penggali kubur.

Berpuluh lagi nikmat lain yang dapat dirasai selain nikmat kelamin.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 255, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ISTRI PENCEMBURU

PERTANYAAN

Bagaimanakah supaya istri saya jangan terlalu pencemburu?

Pertama, yang menjadi sebab adalah kalau saya keluar rumah pada waktu malam sampai pukul sebelas maka terjadilah perselisihan, kadang-kadang hampir menyebabkan kocar-kacir rumah tangga.

Kedua, kalau saya berbicara dengan salah seorang perempuan, hatinya lagi tak baik. Sudah berkali-kali saya beri nasihat tetapi hatinya tak berubah juga.

Pada suatu ketika hampir saya ceraikan istri saya itu, tetapi ia cepat tahu, dan ia terus meminta maaf atas kesalahannya.

Namun, dalam beberapa hari, kelakuannya kembali seperti biasa.

Sekarang saya tak tahu lagi apa yang perlu saya lakukan.

Nasib baik saya diberi oleh Allah seorang anak, kalau tidak entah apa jadinya.

JAWABAN

Terdapat beberapa sebab mengapa perempuan menjadi pencemburu.

Di antaranya ialah sebagai berikut:

Pertama, ialah lantaran salah si suami sendiri.

Memang kadang-kadang lelaki itu suka menegur perempuan lain, melihat istri atau anak gadis orang apabila lalu di hadapan rumahnya, meski di hadapan istrinya sekali pun.

Kadang-kadang ia pulang lewat malam dari perjalanannya kalau ditanyai oleh si istri dari mana ia datang, ada saja jawabnya. Ia seorang yang pemalas menghadiri perjumpaan perkumpulannya, tetapi jawabnya di rumah, terus ia pergi vergadering. Mula-mula tentu istri percaya.

Namun, pada suatu hari didengarnya kabar dari seorang perempuan melihat suaminya itu pergi menonton.

Tentu saja kepercayaan istri menjadi kurang atau hilang kepada suaminya lantaran itu.

Tentu saja lain kali walaupun betul-betul si suami menemui famili, atau bertandang ke rumah sahabatnya, atau menghadiri suatu vergadering, si istri tidak percaya lagi.

Sehingga apabila si suami pulang dari perjalanannya itu di tengah malam, pukul 11 atau 12, ditunggu oleh si istri dengan "tangkai sapu".

Setengah/sebagian istri tidaklah terlalu panjang soalnya kepada suaminya, ia percaya suaminya itu pulang pukul 2 pagi, asalkan saja si suami mengerti sendiri kewajibannya, jangan sampai belanja di dalam rumah berkurangan.

Malah ada yang serupa tidak tahu walaupun apa yang dikerjakan suami itu.

Di Kota Medan, ada suatu perkataan senda-gurau tentang suami pulang malam itu, yaitu "pembuka pintu" namanya.

Kalau ia terlambat pulang, dibelinya mie atau sate sebungkus.

Kelak istrinya yang tengah enak tidur itu, bila membukakan pintu, mukanya yang tadinya sedianya akan berkerenjut, menjadi terang sebab si suami membawa "pembuka pintu" itu.

Setengahnya lagi, karena memang sudah penyakit bagi perempuan itu, yaitu termasuk penyakit jiwa juga, bukan saja suaminya yang dicemburui, orang lain pun dicemburuinya juga.

Melihat saja perempuan lain kepada suaminya, tidak boleh!

Bertegur sapa dengan lain perempuan yang begini tidak boleh dimarahi, tetapi lebih patut dikasihani, diikhtiarkan mengobati penyakitnya kepada dokter yang pandai (psikolog) tentang penyakit jiwa.

Sebab timbul cemburu perempuan itu, pada asalnya bukanlah perkara jahat, tetapi perkara baik semata-mata.

Makanya timbul cemburunya itu bukanlah lantaran benci, tetapi lantaran cinta.

Ia sangat sayang kepada suaminya, tetapi kesayangan itu telah melampaui batas.

Ia minta suaminya hanya untuk ia seorang saja, tidak berserikat dengan orang lain.

Tiap perempuan ada tabiat cemburu, yang setengahnya tidak pandai menyembunyikan, yang setengah pandai, itu sebab maka tidak kelihatan.

Seaman-aman perempuan di dalam rumah tangganya, apabila terganggu cinta kepada suaminya, di sana nanti kelihatan sifat aslinya, sifat cemburunya itu.

Sebab, tabiat perempuan (insting) sejak ia dilahirkan ialah mengambil perlindungan dari lelaki untuk memelihara hidupnya, dalam pada itu dirinya sendiri lebih dicintainya.

Namun, meskipun dirinya sendiri lebih dicintainya karena padanya perasaan lebih tebal daripada pertimbangan apabila ia sudi berkorban.

Lelaki yang tidak tahu tabiat asli perempuan inilah yang kerap kali tak sanggup memeliharakan damai tenteram di dalam rumah tangga.

Oleh karena itu, terhadap Tuan yang bertanya, kita berikan nasihat.

Selidikilah pada diri Tuan sendiri, adakah pekerjaan Tuan atau perangai yang memang bisa menimbulkan cemburunya?

Kalau ada, cobalah Tuan usahakan menghapuskannya.

Lekas-lekas pulang ke rumah malam hari, obati hatinya!

Kedua, janganlah Tuan lupa, cemburunya itu bukan lantaran benci, tetapi lantaran cintanya kepada Tuan.

Buktinya ialah ketika Tuan bermaksud hendak menceraikannya, lekas-lekas ia meminta maaf.

Di situ tidakkah nyata bahwa ia tidak hendak terpisah dari Tuan?

Hendaknya Tuan tetap di sampingnya.

Patutkah Tuan benci lantaran cemburunya, atau patutkah Tuan kasihan?

Jangan, Tuan. Kita tak setuju kalau Tuan bercerai cuma lantaran ia pencemburu.

Sengsara hatinya kelak kalau Tuan ceraikan, percayalah!

Ingat pula anak, meskipun bagaimana, anak yang ditinggalkan ayah itu jarang yang tidak luka jiwanya sampai besarnya.

Cuma kalau Tuan lihat bahwa ini telah menjadi penyakit, lebih baik Tuan meminta nasihat kepada dokter yang pakar dalam perkara jiwa itu (psikolog), seperti kepada Dr. M. Amir Tdj. Pura dan yang lain-lain.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 270-272, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

ISTRI BISU

PERTANYAAN

Saya ini seorang pemuda, belum beristri, berumur 25 Tahun. Segenap famili ayah meminta dengan sangat supaya saya menikah dengan seorang kemenakan ayah, tetapi pikiran saya tak hendak membenarkannya. Sebaliknya, sukar sekali bagi saya mengelakkan, amat sukar. Jika saya elakkan jua, akan kecewalah hati beberapa orang terutama hati bapak angkat saya, yaitu bekas suami dari almarhumah adik ayah saya, yang telah membela saya sekian tahun.

Sebaliknya, jika kehendak mereka diikuti, dalam ingatan saya terbayang hari kemudian bagi saya yang sunyi dan kelam.

Sebabnya begitu berat bagi saya menerima "pemberian" itu ialah karena gadis calon istri saya itu bisu!

Bagaimanakah pandangan Islam terhadap perempuan bisu?

Bagaimana hukumnya dalam agama jika mengecewakan hati orang?

Bagaimana pula pendapat Tuan mengabaikan wasiat seorang yang baik hati yang telah lama wafat kepada kita?

Tuan, tunjukkanlah kepada saya jalan bagaimana yang lebih baik di antara dua jalan, ditolak tetapi mengecewakan orang, atau diterima tetapi hitam kelam bagi saya.

JAWABAN

Nasihat kami, "Jangan Tuan tolak!"

Pertama, hidup di negeri Tuan, di Padang Panjang, bukan seperti hidup di Eropa, pertalian kita dengan famili masih amat erat, tak dapat diputuskan.

Kedua, sangkaan Tuan bahwa di hari kemudian Tuan akan gelap lantaran pernikahan itu, hanya dari sebab bakal istri Tuan itu seorang yang bisu, adalah suatu sangkaan yang tidak betul di tempatnya.

Selain dari ia, terdapat ribuan orang bisu di dunia.

Mereka bersuami dan beristri juga.

Mereka tahu juga sedikit banyak sebagaimana yang diketahui orang lain, tentang arti cinta, timbang rasa, dan saling mengerti.

Kita kenal ada seorang lelaki bisu, yang beristri sampai 2 orang, beranak-pinak, dan anak-anak itu dilanjutkan sekolahnya dengan belanja ayahnya yang amat kuat berusaha, kebanyakan perasaan orang itu halus dan penyantun.

Islam tidak memandang mereka lebih rendah daripada orang lain, baik ia lelaki atau perempuan.

Perintah agama kepadanya sama juga dengan perintah yang dijatuhkan kepada orang lain, yakni orang yang tidak bisu.

Ia pun disuruh juga mengerjakan shalat, meskipun ia tidak sanggup menyatakan perasaannya kepada rumah tangga adalah bergantung pada saling mengerti di antara suami istri, sama-sama mempunyai cita-cita hendak membela dan mempertahankan diri pihak yang kedua.

Berapa banyak rumah tangga hancur-lebur, putus pertalian dengan kaum kerabat, bahayanya hanya dari lidah saja sebab si istri itu pandai benar mengada-ada, mengulas-ulas, membawa cakap ke sana kemari, yang di Padang Panjang dinamakan "bijak muncung".

Oleh karena itu, istri Tuan itu moga-moga pernikahan Tuan dengan ia, terlepaslah daripada itu.

Menilik kepada isi surat Tuan, sebetulnya Tuan tidak keberatan memperistrikannya.

Tuan pun mengerti bahwa orang bisu itu sama haknya di sisi Allah dengan orang yang tidak bisu.

Cuma yang Tuan katakan "gelap" itu saja, yaitu barangkali takut akan menjadi buah tertawaan orang sebab beristri tidak pandai berkata.

Biarlah mereka tertawakan, bertambah mereka tertawakan, akan bertambah suburlah belas kasihan Tuan kepadanya.

Orang luar itu hanya pandai menertawakan saja, padahal belum tentu akan lebih bagus nasibnya beristri daripada Tuan, walaupun sepuluh cabang lidah istrinya itu.

Namun, kalau hati Tuan sendiri yang tidak mau, tidak "kasihan" kepada perempuan itu, tidak mau menenggang hati kaum kerabat, menenggang orang yang dahulunya berjasa kepada Tuan, terutama orang yang telah berwasiat dan baik hati itu, jika semuanya tidak Tuan pedulikan, tidak Tuan timbang, bolehlah Tuan mencari istri yang lain.

Ringkasnya, terimalah permintaan itu.

Tentang hari kemudian, bukan di tangan Tuan, tetapi di tangan Allah.

Allah SWT berfirman,

"Tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." (al-Baqarah: 216).

Tuan dengan mulutnya, yang di dalam hatinya lebih terang.

Bagaimana Tuan akan dapat menentukan hari kemudian Tuan yang gelap, padahal ribuan orang yang beristri pandai berkata, istri yang tipis bibirnya, tidak bertulang lidahnya, masih tidak juga beruntung hidupnya.

Keberuntungan di dalam rumah tangga itu bukan bergantung kepada cepat mulutnya berkata-kata, sekali-kali tidak!

Keberuntungan dan kebahagiaan di dalam rumah.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 268-270, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

LIDAH BOCOR PEREMPUAN

Apabila kita baca dan kita renungkan arti dari ayat 30 di atas, terbayanglah oleh kita masyarakat "cabang atas" zaman purbakala Mesir, zaman kekuasaan Fir'aun-Fir'aun itu.

Istri orang besar-besar asyik bertemu dan bertamu memperkatakan perhiasan, kekayaan, pakaian indah, dan berbagai kemewahan serta untuk menghabis-habiskan waktu dalam bersolek, mereka duduk-duduk bersama memperkatakan keadaan si anu yang tidak hadir, yang suaminya telah benci kepadanya, yang anak perempuannya telah nyaris dapat jodoh, tetapi gagal, dan bermacam perkataan lain.

Kadang-kadang juga memperkatakan kecantikan si anu bahwa dia dikasihi oleh suaminya dan bahwa suami si anu jatuh hati kepada perempuan lain.

Apatah lagi di zaman itu, istana orang besar-besar penuh dengan dayang-dayang, inang pengasuh, dan pelayan aneka warna.

***

Sungguh besar dan hebat hal ini sehingga tersebut di dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang mereka terima dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda,

Adalah 7 yang akan diberi perlindungan oleh Allah kelak pada hari yang tidak ada tempat berlindung kecuali perlindungan-Nya:

1. Imam yang adil,

2. Pemuda yang sejak pertumbuhannya semula telah kuat beribadah kepada Allah,

3. Dan seorang yang hatinya terikat kepada masjid sehingga walaupun dia telah keluar dari masjid itu, dia kembali juga ke sana,

4. Dan orang yang cinta-mencintai, berkumpul atas nama Allah, berpisah pun atas nama Allah,

5. Seorang yang mengeluarkan sedekah, apa pun macam sedekahnya, selalu disembunyikannya, sehingga tangan kirinya tidak tahu berapa yang dikeluarkan oleh tangan kanannya,

6. Seorang yang dipanggil dicumbu oleh seorang Perempuan yang mempunyai kedudukan tinggi lagi cantik, dia tolak dengan perkataan, "Aku takut kepada Allah!"

7. Seorang yang ingat kepada Allah di waktu dia sepi sendirinya lalu titik air matanya.

(HR. Bukhari dan Muslim).

Pengakuan istri Raja Muda bahwa Yusuf telah dirayunya, namun dia tetap berhati teguh sehingga tidak dapat dirayu, dicumbu, dan diperdayakan, dengan sendirinya menambah pula bagi besarnya Yusuf dalam pandangan mata mereka.

Dalam ayat-ayat ini Allah telah menunjukkan kemerdekaan jiwa seorang hamba sahaya sehingga apa jua pun kelezatan dunia ini tidaklah ada yang dapat menawannya.

Dan di dalam ayat pun diperlihatkan bagaimana istri Raja Muda, perempuan tinggi, "cabang atas", hilang kemerdekaan jiwanya karena dipengaruhi oleh hawa nafsunya, sehingga benar-benar bertemu padanya pepatah yang terkenal "cinta itu buta".

Abdurrahman al-Jami' menyusun "Yusuf dan Zulaikha" pada Tahun 888 H. Syairnya disusun menurut bentuk masnawi. Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinople sangat tertarik dengan masnawi "Yusuf dan Zulaikha" karangan al-Jami' ini.

Cuma salahnya, khayal syair kadang-kadang merembet menggambarkan kecantikan Yusuf sehingga mendekati wajah perempuan.

Serupa dengan sastra wayang orang Jawa; apabila melakonkan wayang orang untuk Arjuna, mereka pilih seorang perempuan muda cantik sehingga apabila wayang bermain, orang jatuh cinta kepada Arjuna, bukan karena yang melakonkannya laki-laki, melainkan perempuan muda yang cantik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 681-684, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MANA YANG LEBIH BESAR DOSANYA?

PERTANYAAN

Manakah yang lebih besar dosanya apabila seseorang itu melawan durhaka kepada ibu-bapak dan suami? Ada sebagian orang mengatakan besar dosanya durhaka terhadap suami daripada durhaka kepada ibu-bapak, dengan alasan karena apabila seorang perempuan telah bersuami maka lepaslah tanggung jawab ibu-bapak. Kemudian hadits ada menyatakan yang bahwasanya surga itu berada di bawah telapak kaki ibu. Jadi dalam hal ini manakah yang benar? Mohon penjelasan dari Bapak.

Rajisman Bagindo Tanameh.

JAWABAN (Ringkasan).

Dari jawaban yang kita berikan ini dapat disimpulkan bahwa durhaka seorang anak kepada ayah-bundanya sama beratnya dengan durhaka seorang istri kepada suami,

Tetapi jika ditimbang lebih tenang, durhaka anak kepada ibu-bapak lebih berat daripada durhaka istri kepada suami.

Sebab jika suami tidak senang didurhakai, ia boleh menjatuhkan talak,

Tetapi kalau ibu-bapak yang didurhakai, dia boleh mengatakan, "Mulai sekarang putuslah aku beranak dengan dikau." Namun sumpah murkanya itu tidaklah berlaku, sebab sampai ke langit pun ia bersorak putus beranak, tetapi anak itu tetap anaknya.

Kesimpulan terakhir, jika ibu atau bapak memaksa anak, atau suami memaksa istri mendurhakai Allah, melanggar larangan Allah, atau menghentikan apa yang diperintahkan, kalau ajakan itu dibantah oleh si anak atau si istri, tidaklah si anak atau si istri berdosa.

Nabi bersabda,

"Tidak ada kewajiban taat kepada makhluk kalau akan mendurhakai Khaliq, yaitu Allah."

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 232, 235, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

ANAK DAN AYAH

Orang tua wajib dihormati selamanya, tidak boleh meninggikan suara di hadapannya.

Kalau sekiranya terjadi berlainan keyakinan, keyakinan tinggal keyakinan.

Namun, menghormati orang tua sekali-kali tidak boleh diabaikan dan disia-siakan.

Sikap yang diwahyukan itu bukan main besar kesannya.

Ketenangan dan kehormatan anak-anak muda yang kemudiannya telah bertukar kepada orang tuanya itu, telah menyebabkan tertanam pengaruh si anak.

Contoh telah diberikan oleh Nabi Muhammad sendiri didalam pergaulannya dengan bapak saudaranya, Abu Thalib.

Sampai wafat Abu Thalib menjadi penolong Nabi yang setia, menyokongnya, memudahkan jalannya, tetapi ia sendiri tidak suka memeluk agama yang dibawa oleh anaknya itu.

Ketika ia akan meninggal, dengan berterus-terang ia nyatakan kepada Nabi bahwasanya ia lebih suka memegang teguh agama yang diterimanya dari nenek moyangnya, walaupun, bagaimana yang akan terjadi di akhirat kelak.

Didalam keyakinan, kedua orang anak dan bapak ini bertukar betul.

Seorang beragama tauhid, seorang menyembah berhala.

Namun, mereka serumah tangga, bantu-membantu dan cinta-mencintai.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 79, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

"Dan bahwa jika kamu berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah adalah Amat Tahu akan apa yang kamu perbuat." (ujung ayat 128).

Dalam ayat ini kita melihat betapa Allah membuka pintu kepada kebesaran jiwa bagi seorang perempuan yang tidak diladeni lagi oleh suaminya, dalam soal kelamin.

Dan menganjurkan pula kepada laki-laki supaya tetap memegang teguh perempuan itu dan jangan melepaskannya dari ikatan nikah kawin sampai keduanya diceraikan oleh pintu kubur.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 477, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

CELAKA BESAR BAGI ORANG YANG MENDUSTAKAN

"Bukankah telah Kami ciptakan kamu daripada air yang lemah?" (ayat 20).

Dalam beberapa tafsir min maa'in mahiinin diartikan daripada air yang hina.

Mahiin diartikan hina.

Bila direnungkan makna sejati dari kalimat mahiin itu, maka tidaklah tepat rasanya jika diartikan ke dalam bahasa kita dengan hina.

Karena arti hina bagi kita ialah sangat rendah.

Kalau yang rendah akhlaknya atau budi pekertinya disebut seorang yang hina.

Rakyat yang tidak mempunyai kedudukan tidak berdarah bangsawan disebut orang yang hina dina.

Sebab itu maka terjemah dari mahiin, tidaklah tepat kalau hina.

Orang yang mula menafsirkan Al-Qur'an ke dalam bahasa Melayu dalam abad Ke-17 (kira-kira sekitar Tahun 1620) yaitu Syekh Abdurrauf menafsirkan saja mahiin itu dengan bahasa Arab juga, yaitu dhaif, artinya lemah.

Penafsiran mahiin dengan lemah lebih dekat kepada maksud.

Air mani jauh lebih lemah daripada air biasa!

Air biasa bisa meruntuhkan gunung, menghantam lurah dan membuat sungai dan bisa menjadi lautan.

Tetapi air mani adalah lemah.

Kalau tidaklah mani itu dijadikan Allah masyaajin yakni bercampur di antara mani laki-laki dengan mani perempuan, teranglah mani jadi air yang lemah saja.

Bahkan mani yang tertumpah misalnya di tempat tidur, teranglah mendatangkan jijik, dan kadang-kadang menimbulkan bau yang tidak enak.

Di dalam kalangan ulama fiqih terjadi juga perselisihan pendapat apakah mani itu najis atau bersih.

Hadits-hadits yang dirawikan dari Aisyah, ada yang dirawikan Bukhari dan ada yang dirawikan Muslim menerangkan bahwa pernah ada mani lekat di kain Rasulullah yang akan beliau pakai pergi shalat ke mesjid.

Lalu lekas-lekas dibersihkan oleh Aisyah, dengan jalan mencuci tempat yang kena mani itu dengan air, sehingga seketika beliau pergi shalat masih kelihatan bekas yang dicuci itu.

Ulama-ulama dalam Madzhab Syafi'i memandang bahwa mani bukanlah najis.

Mereka beralasan kepada salah satu hadits Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas oleh ad-Daruquthni dan al-Baihaqi.

Yaitu ketika ditanya orang Rasulullah saw. tentang mani yang lekat pada kain, maka Rasulullah saw. telah menjawab,

"Sesungguhnya kedudukan mani itu sama saja dengan ingus, dahak, dan selesma. Cukup jika kamu bersihkan sofa dia dengan potongan kain atau rumput bersih." (HR. al-Baihaqi).

Memang air mani jika belum berpadu adalah air yang masih lemah tidak berarti.

Lekat di baju mesti dibersihkan.

Lekat di seprai tempat tidur mesti dicuci.

Bukan karena najisnya, melainkan karena kotornya.

Bukanlah tiap yang kotor dianggap najis.

Kalau baju kita kena kuah gulai jadi kotor, namun kuah gulai bukanlah najis.

Dan air mani yang salah pakai, percampuran yang tidak teratur bisa pula membawa penyakit yang berbahaya. Dan mani bercampur aduk yang kotor itu bisa tumbuh bibit dari penyakit sipilis dan gonorhua yang merusakkan hidup manusia, merusak alat kelamin dan merusak peranakan.

Hasil penyakit itu bisa tinggal dalam moncong faraj perempuan sedang hamil.

Bila anaknya akan lahir, mata anak itu akan kena oleh air penyakit itu dan buta.

Tetapi apabila mani si laki-laki dengan mani si perempuan telah bercampur menurut kadarnya yang tertentu, itulah yang bergabung di dalam rahim.

"Lalu Kami jadikan dia dalam penempatan yang kukuh." (ayat 21).

Di sini terdapat kalimat qaraarin makiin, kita artikan penempatan yang kukuh.

Arti yang asli dari qaraar ialah menetap dan arti makiin ialah kukuh. Atau mulai mengukuh.

Menurut keterangan daripada ahli-ahli penyelidikan tentang pembentukan tubuh manusia sejak semula jadi ialah bahwa pada mula pertemuan kedua belah pihak mani itu, dalam keadaan dia mulai bercampur, ada satu ketika "cacing" kecil dalam mani laki-laki mencari-cari sampai bertemu dengan telur halus dalam mani perempuan.

Kalau dia telah bertemu, dia pun melekat dan tidak berpisah lagi.

Waktu itulah dia qaraar, artinya menetap.

Oleh karena tempatnya telah tersedia, yaitu apa yang dalam bahasa asli kita disebut peranakan dan dalam bahasa Arab disebut rahim kedua zat halus itu, cacing pihak laki-laki dan telur pihak perempuan telah bertemu dan qaraar; sedang tempatnya berlindung, yaitu rahim sangat terpelihara untuk dia bersemai dengan baik, maka kukuhlah dia di sana. Sudah sukar untuk memisahkannya lagi. Kecuali kalau ada satu gangguan dari luar diri perempuan itu yang akan menyebabkan gugurnya.

"Sampai waktu yang ditentukan." (ayat 22).

Waktu-waktu yang ditentukan itu telah dijelaskan pada ayat-ayat yang lain.

Tentang pertumbuhan sejak dari nuthfah, naik jadi 'alaqah, kemudian jadi mudhghah, lalu jadi tulang dan diselimuti dengan daging, telah diterangkan pada awal surah al-Mu'minuun (ayat 12 sampai 14, juz 18).

Diterangkan juga pada akhir dari surah al-Qiyaamah dan pada pangkal dari surah al-Insaan.

Alhasil pada ketiga surah berturut-turut, yaitu al-Qiyaamah, al-Insaan dan surah al-Mursalaat ayat 20 sampai 23 ini dan beberapa keterangan di surah yang lain, dapatlah kita ketahui kejadian manusia dengan jelas sekali.

"Lalu Kami tentukan." (pangkal ayat 23).

Kami tentukan, yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan diri manusia yang tercipta dari air mani yang lemah itu.

Ditentukan berapa umurnya, berapa tinggi badannya ditentukan keseimbangan panjang badan dengan ukuran kaki dan tangan dan kepala, sehingga misalnya apabila seseorang pencari jejak melihat jejak kaki seseorang, dia sudah dapat menentukan berapa tinggi orang itu dan bagaimana bentuk wajahnya.

Ditentukan pula bunyi suaranya, sehingga tidak ada dua orang dalam dunia ini yang sama bunyi suaranya.

Ditentukan pula garis-garis telapak tangannya, ujung jarinya, garis bibirnya.

Ditentukan pula ukuran kapasitas atau kesanggupan.

Maka si manusia tadi akan bertindak mengisi hidupnya menurut tenaga yang diberikan Allah kepadanya, tidak berlebih daripada ukuran yang telah ditentukan itu, sehingga si fulan yang telah ditakdirkan, ditentukan jadi si fulan, tidaklah dia akan jadi si fuhin.

"Maka Kamilah yang sebaik-baik yang menentukan." (ujung ayat 23).

Memang, siapa lagi selain Allah yang lebih baik dalam menentukan?

Sampai ketentuan letak telinga sebelah kanan dan kiri, dari wajah, letak kedua belah mata yang dilindungi oleh kedua belah alis.

Mana yang akan dicela dan dikritik pada kejadian manusia?

Sampai kepada susunan jari tangan yang lima. Mengapa empu tangan terpisah sendiri daripada telunjuk, jari tengah, jari manis dan kelingking? Dan mengapa tidak sama rata?

Heran kita tentang perasaan halus pada lidah, yang dapat membedakan pedas, manis, pahit, asam, asin, sangar, segar dan basi.

Heran kita tentang alat yang terletak dalam telinga, mengapa dia dapat mendengar, dan mata mengapa dia dapat melihat dan hidung dapat membedakan bau yang harum dengan yang busuk.

Demikian juga tentang ma'idah, yaitu pencernaan dalam perut. Penyisihan di antara tempat makanan dengan tempat minuman.

Tempat masuknya satu, yaitu mulut. Tempat keluarnya dua, yaitu dubur (lubang belakang) dan qubul (lubang di muka).

Kemudian itu terdapat pula perbedaan pribadi, 10 orang bersaudara, 1 ayah dan 1 ibu. Namun 10 pula rupanya, 10 pula suaranya, 10 pula sidik jarinya, 10 pula perangainya.

Semuanya itu ditentukan dengan teratur, dengan bawaan sendiri-sendiri.

Pada masa tafsir ini disusun tidak kurang daripada 4 miliar penduduk dunia laki-laki dan perempuan.

Berlain-lain warna kulitnya menurut iklim negerinya, ada kulit putih, kulit kuning, kulit hitam, kulit langsat, kulit sawo matang.

Separuh, artinya sekitar kira-kira 2 miliar laki-laki dan 2 miliar perempuan.

Kepada masing-masing perempuan itu dianugerahkan kecantikan, yang satu tidak menyerupai yang lain.

Kepada mereka dianugerahkan 2 miliar pasang mata yang semuanya ada daya tarik sendiri.

Pikirkanlah itu, semuanya tidak ada yang serupa, padahal semuanya sama jenisnya, yaitu anak manusia.

Semuanya sama kejadiannya, yaitu pergabungan mani seorang laki-laki dengan mani seorang perempuan.

Dan semuanya itu kecil halus asalnya, dengan mikroskop dipandang, yang kelihatan hanya bintik hitam kecil.

Padahal dalam bintik hitam kecil itu terdapat beratus ribu "cacing" laki-laki dan "telur" perempuan.

Sebab itu maka jika ingin hendak mengetahui kekayaan Allah pandanglah dengan penuh pemikiran dan perasaan keadaan manusia ataupun alam yang di keliling manusia.

Tepatlah ujung ayat 23 itu,

"Maka Kamilah yang sebaik-baik yang menentukan." (ujung ayat 23).

"Celaka besarlah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan." (ayat 24).

Mereka akan mendapat celaka besar, masuk neraka wailun di hari Kiamat itu karena mereka tidak mempergunakan pikiran dengan sebaik-baiknya.

Nikmat Allah diterimanya, tetapi pikirannya tidak berjalan.

Kalau pikiran berjalan, terutama memikirkan diri sendiri, atau memikirkan sesudah kawin dengan seorang perempuan, beberapa bulan kemudian diberi Allah putra.

Terbentang di hadapan matanya i'tibar, yaitu sesuatu yang patut jadi buah pikiran, namun kejadian itu lalu demikian saja.

Alangkah hinanya!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 450-453, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERINTAH UNTUK NABI DAN UMAT

"Demikianlah diberi pengajaran dengan dia bagi siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat."

Artinya ialah bahwa yang akan memerhatikan segala syarat dan cara ini, terutama talak dengan bersaksi, rujuk pun dengan bersaksi, dengan tidak memperhitungkan terlebih dahulu khilafiyah ulama padanya, semuanya itu adalah pegangan bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat.

Sebab orang yang beriman kepada Allah itu suka kepada pekerjaan yang teratur dan jujur, dan lagi karena imannya kepada Hari Akhirat, dia tidak mau kalau ditanyai di akhirat kelak, ternyata pekerjaannya kacau balau.

Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya,

"Adapun orang yang tidak beriman, tidaklah ada manfaatnya yang akan didapatnya dari pengajaran ini."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 189, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Tiap-tiap orang yang beriman itu adalah dia Islam, tetapi tidaklah tiap-tiap orang Islam itu beriman." (Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah).

ANAK

Banyak orangtua merasa pusing lantaran anaknya nakal dan keras kepala.

Dia lebih ingin anak itu baik tingkah lakunya. Bermenung, tidak suka bermain jauh-jauh. Pakaiannya senantiasa bersih. Padahal pakaiannya baru pukul empat ditukar, pukul lima sudah kotor, lantaran dibawanya memanjat pohon.

Orangtua itu harus tahu, kalau seorang anak di waktu kecilnya sudah suka duduk di rumah seperti orangtua, kelak kemudian hari serupa siapakah dia agaknya?

Ketahuilah bahwa anak yang bermenung-menung saja di rumah perlu lekas-lekas di bawa kepada dokter. Barangkali anak itu sakit "cacing".

Orangtua harus merasa beruntung kalau anaknya "nakal".

Karena kalau pandai membimbingnya kelak jika dia besar, dia akan menjadi anak yang berani, yang tidak kenal putus asa.

Biasanya anak yang nakal semasa kecilnya menjadi orang besar setelah dewasa, asal baik bimbingan ayah bunda dan gurunya.

Kewajiban orangtua ialah memimpin kenakalan itu supaya berguna di waktu besarnya.

Karena biasanya anak-anak yang tidak nakal di waktu kecil, menjadi orang yang tidak masuk hitungan ketika besarnya.

Berkata Muawiyah kepada al-Ahnaf bin Qais,

"Bagaimana pendapatmu tentang anak?"

Ahnaf menjawab,

"Ya Amirul Mukminin.

Anak itu adalah bunga hati kita, tulang punggung kita, kitalah bumi tempatnya berpijak, kitalah langit tempatnya berlindung, dan, lantaran dia kita berani menempuh kesukaran bagaimanapun besarnya.

Kalau dia meminta, berilah.

Kalau dia kecewa, senangkanlah hatinya, supaya dibalasinya dengan cinta pula dan dihargainya kepayahan kita.

Jangan ditutup hati dan kepadanya jangan terlalu diberatkan dengan aturan, supaya mereka tidak merasa berat pula kepadamu.

Supaya dia tidak mengharap kamu lekas mati dan dia takut mendekati".

Mendengar itu berkata Muawiyah,

"Atas nama Allah, ya Ahnaf, dengan perkataanmu itu telah engkau tumbuhkan ridha dalam hatiku terhadap anakku yang sedang kumarahi".

(Buya HAMKA, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 265-267, Republika Penerbit, 2015).

Aisyah banyak merawikan hadits-hadits yang menunjukkan bagaimana lemah-lembutnya dan ramah-tamahnya pergaulan Rasulullah saw. dengan istri-istrinya.

Seakan-akan segala riwayat itu bagus benar disusun menjadi seikat sapu lidi, untuk dipukulkan ke muka orang-orang yang katanya terlalu banyak pikiran, banyak urusan, banyak kerja, sehingga tidak ada kesempatan menyediakan hari sedikit untuk bersenda gurau, bermuka riang dan bercengkrama dengan istri dan anak-anaknya.

(Buya HAMKA, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 281, Republika Penerbit, 2015).

"Demikian itulah Dia wasiatkan kepada kamu, supaya kamu mengerti." (ujung ayat 151).

Oleh sebab itu, di dalam hadits-hadits yang shahih diterangkan bahwa barangsiapa yang melanggar salah satu dari larangan yang lima ini, berbuatlah dia dosa yang amat besar: al-kaba-ir, yaitu mempersekutukan yang lain dengan Allah, mendurhakai kedua ayah-bunda, membunuh anak karena takut miskin, berzina, dan membunuh sesama manusia.

Berkata al-Muhaimi,

"Mempersekutukan Allah dengan yang lain dan mendurhaka kepada kedua ibu-bapak, membunuh anak-anak karena takut akan miskin, sama-sekali itu bisa terjadi karena bodoh (jahil) saja. Jahil tersebab musyrik sehingga tidak percaya atau ragu-ragu bahwa Allah yang mencipta sanggup juga melimpahkan nikmat. Itu pula yang menyebabkan seorang anak membalas budi baik ibu-bapaknya yang membesarkan dia dengan balasan yang jahat. Demikian juga mendekati perbuatan yang keji lantaran memperturutkan hawa nafsu, dan membunuh suatu nyawa karena memperturutkan hawa nafsu murka. Semua itu adalah karena bodoh dan menentang akal yang murni."

Dari keterangan al-Muhaimi ini, jelas pula bahwa kebanyakan orang mendurhaka kepada ibu-bapak setelah dia hidup sendiri, telah berumah tangga sendiri dan kedua ibu-bapaknya itu telah tua dan mulai suntuk pikirannya dan lemah. Tempatnya bergantung pada waktu itu ialah anak. Memang banyak kejadian orang yang telah tua itu surut perangainya sebagai anak kecil. Pada saat itulah si anak wajib menunjukkan khidmatnya kepada kedua orang tuanya.

"Demikianlah Dia mewasiatkan kepada kamu, supaya kamu semuanya ingat." (ujung ayat 152).

Boleh dikatakan bahwasanya wasiat atau peringatan Allah yang dari keenam sampai kesembilan ini telah termasuk ke dalam praktik hidup kita tiap hari, dalam hubungan kita keluar dan yang selalu akan bertemu di dalam hidup kita. Oleh sebab itu, Allah mewasiatkan supaya hal ini selalu diingat: tadzakkarun dan Allah sendiri pun supaya diingat selalu. Dengan jalan selalu mengingat, in syaa Allah tidak akan banyak terjadi pelanggaran yang disengaja.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 337-339, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KHIDMAT KEPADA IBU-BAPAK

Di dalam ayat ini disebut kata Uffin.

Abu Raja' al-Atharidi mengatakan bahwa arti "Uffin" ialah kata-kata yang mengandung kejengkelan dan kebosanan, meskipun tidak keras diucapkan,

Ahli bahasa mengatakan bahwa kalimat "Uffin" itu asal artinya adalah daki hitam dalam kuku.

Lalu, Mujahid menafsirkan ayat ini. Kata beliau,

"Artinya ialah jika engkau lihat salah seorang atau keduanya telah berak atau kencing di mana maunya saja, sebagaimana yang engkau lakukan di waktu engkau kecil, janganlah engkau mengeluarkan kata yang mengandung keluhan sedikit pun."

Sebab itu, kata "Uffin" dapatlah diartikan mengandung keluhan jengkel, decak mulut, akh kerut kening, dan sebagainya.

Jelaslah bahwa rasa kecewa dan jengkel yang betapa kecil sekalipun hendaklah dihindari.

Tersebutlah di dalam sebuah hadits yang dirawikan dari Ali bin Abi Thalib, sabda Nabi Saw,

"Kalau Allah mengetahui suatu perbuatan durhaka kepada orang tua perkataan yang lebih bawah lagi dari "uff", niscaya itulah yang akan disebutkan-Nya. Karena itu, berbuatlah orang yang berkhidmat kepada kedua orang tuanya, apa sukanya, namun dia tidak akan masuk ke neraka. Dan berbuatlah, orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, apa sukanya pula, namun dia tidaklah akan masuk ke surga."

Lanjutan ayat,

"Dan janganlah dibentak mereka, dan katakanlah kepada keduanya kata-kata yang mulia." (ujung ayat 23).

Sesudah dilarang mendecakkan mulut, mengeluh mengerutkan kening, walaupun suara tidak kedengaran, dijelaskan lagi bahwa jangan keduanya dibentak, jangan dihardik, dibelalaki mata.

Disinilah berlaku perumpamaan qiyas-aulawy yang dipakai oleh ahli-ahli ushul fiqih, yakni

Sedangkan mengeluh "Uffin" yang tak kedengaran saja tak boleh, apalagi membentak-bentak, menghardik-hardik.

Berkata al-Qurthubi di dalam tafsirnya,

"Berbahagialah orang yang cepat-cepat mengambil kesempatan berkhidmat kepada kedua ayah-bundanya sebelum kesempatan itu hilang karena mereka terburu mati. Maka menyesallah dia berlarat-larat karena belum sempat membalas guna. Nistalah orang yang tidak peduli kepada kedua orang tuanya apalagi jika perintah ini telah diketahuinya."

Selanjutnya, hendaklah katakan kepada kedua ibu bapak itu perkataan yang pantas, kata-kata yang mulia, kata-kata yang keluar dari mulut orang yang beradab bersopan santun.

Ucapkanlah kata yang baik, yang mulia, yang beradab.

Imam Atha sampai mengatakan,

"Sekali-kali jangan disebut nama beliau.

Panggilkan saja:

"Ayah-Ibu", "Abuya-Ummi", "Papi-Mami".

Pendeknya, segala perkataan yang mengandung rasa cinta kasih.

Tingkat yang mana yang telah dicapai si anak dalam masyarakat, entah dia menjadi Presiden atau Menteri, jadi Duta Besar atau Jenderal, perlihatkanlah di hadapan ayahmu dan ibumu bahwa engkau adalah anaknya.

Rasulullah saw. dalam usia sekitar 60 Tahun setelah menaklukkan Hunain dan Bani Sa'ad telah ditemui ibu yang menyusukannya, yang sudah sangat tua, yaitu Halimatus-Sa'diyah.

Ketika perempuan tua itu datang, beliau tanggalkan baju jubahnya, beliau memintanya duduk di atasnya, lalu beliau sandarkan kepalanya ke dada perempuan itu, dada yang pernah diisapnya air susunya.

Tersebutlah di dalam sebuah hadits yang dirawikan Imam Ahmad bin Hambal dari sahabat Rasulullah saw., Malik bin Rabi'ah as-Saaldi dia berkata,

"Sedang kami duduk bersama di sisi Rasulullah saw., tiba-tiba datang seorang laki-laki dari kaum Anshar, lalu dia bertanya,

'Masih adakah lagi kewajibanku yang wajib aku buktikan kepada kedua orang tuaku setelah beliau-beliau meninggal?'

Rasulullah menjawab, memang, masih ada kewajibanmu empat macam:

(1). Doakan keduanya (2). Mohonkan ampun kepada Allah untuk keduanya (3). Laksanakan pesan-pesan (kebiasaan) keduanya (4). Muliakan sahabat-sahabat keduanya; silaturahim (hubungan kasih sayang), yang tidak terhubung kepada engkau melainkan dari pihak keduanya. Itulah yang tinggal untuk engkau sebagai bakti kepada keduanya setelah mereka meninggal."

(HR. Imam Ahmad).

Kemudian terdapat pula sebuah hadits yang dirawikan Bukhari dan Muslim juga bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. meminta izin hendak turut berjihad (berperang).

Lalu, beliau bertanya,

"Apakah ayah-bundamu masih hidup?"

Orang itu menjawab, "Masih."

Maka bersabdalah beliau,

"Untuk mereka berdualah supaya engkau berjihad."

Artinya, jaga dan peliharalah kedua orang tua itu baik-baik, tak usah engkau pergi berperang karena menjaga beliau-beliau sudah juga termasuk jihad.

Demikianlah, dan banyak lagi hadits yang lain, yang memerintahkan kita berlaku khidmat dan bakti kepada kedua ibu bapak.

Dan banyak pula ayat yang lain di dalam surah-surah yang lain di dalam Al-Qur'an yang menyuruh si anak berkhidmat kepada orang tuanya.

Niscaya ayat-ayat itu akan kita tafsirkan pula pada tempo dan tempat kelak.

Maka di ujung ayat tadi diajarkan kepada dia doa untuk kedua orang tua kita, moga-mogalah kiranya Allah mengasihi keduanya sebagai kasih keduanya kepada kita di waktu kita masih kecil.

Doa ini kita selalu baca, tatkala ayah-bunda masih hidup, apalagi setelah ayah-bunda meninggal dunia.

Sama kita maklumi hadits yang terkenal bahwa hubungan yang masih ada di antara orang yang telah wafat dengan orang yang masih hidup hanya tinggal tiga perkara saja.

Pertama, sedekah jariah, yaitu sedekah yang berlama-lama masih diambil orang faedahnya.

Kedua, ilmu yang memberi manfaat, yang disebarkan oleh yang telah wafat itu di masa hidupnya.

Ketiga, doa dari anak yang saleh.

"Tuhan kamu lebih tahu apa yang ada di dalam dirimu; jika adalah kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia terhadap orang-orang yang bertobat adalah sangat memberi ampun."

Selanjutnya Allah berfirman,

"Tuhan kamu lebih tahu apa yang ada dalam dirimu." (pangkal ayat 25).

Said bin Jubair masih saja menghubungkan di antara pangkal ayat 25 ini dengan ayat 24 sebelumnya, yaitu si anak diwajibkan berkhidmat dan berbakti kepada dua orang ibu bapak. Tak boleh mengatakan uff, tak boleh mereka dibentak.

Tetapi bukan sedikit pula si anak menekan perasaan.

Lantaran itu timbullah rasa jengkel dalam hati anak.

Maka datanglah ayat yang tengah kita tafsirkan bahwa Allah mengetahui rasa mendongkol yang ada dalam hatimu itu.

Lalu datanglah ujung ayat,

"Jika adalah kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia terhadap orang-orang yang bertobat adalah sangat memberi ampun." (ujung ayat 25).

Dengan dilengkapi oleh ujung ayat ini teranglah bahwa rasa jengkel yang terasa dalam hati dari anak kepada kedua orang tuanya karena perangainya yang sudah keanak-anakan itu diketahui juga oleh Allah.

Namun, perasaan itu diberi ampun oleh Allah, dimaafkan, asal saja si anak seorang yang tetap saleh, tetap beribadah kepada Allah, dan selalu ingat bahwa dalam perjalanan hidupnya ini dia akan kembali kepada Allah jua.

Itulah yang disebut Awwaab.

Artinya, orang yang selalu sadar dan ingat bahwa tujuan hidup ini ialah kembali kepada Allah.

Maka menyerahlah kepada Allah, tawakallah kepada-Nya dan teruskanlah memelihara dan menyelenggarakan ibu bapak, atau salah seorang dari keduanya, dengan tetap mengingat Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 269, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEWAJIBAN DALAM KELUARGA

Penanggung jawab pertama dalam suatu rumah tangga terletak di atas pundak ayah dan ibu.

Manusia ingin beranak, berketurunan. Kesanggupan memikul beban hidup, mempunyai pusaka yang akan ditinggalkan kepada anak setelah diri menutup mata, baik pusaka harta dan pusaka budi, atau pusaka kesehatan dan penyakit sekalipun.

Setelah itu berkumpul pula kewajiban itu kepada memperhatikan lamanya manusia hidup dan pertukaran masanya, dari dalam kandungan, lahir ke dunia, lalu bermain di halaman, masuk sekolah, dewasa, besar, kawin, bekerja mencari nafkah, tua dan mati.

Kewajiban yang pertama setelah seorang lahir ke dunia, terpikul di pundak ayah bundanya. Ayah bunda wajib menjaga kesehatannya, makan dan minumnya.

Oleh dokter telah ditentukan berapa banyak makanan yang harus dimakan, berapa kali dia menyusu setiap hari.

Imam Ghazali memberikan pelajaran yang panjang tentang cara mengasuh anak.

Kata beliau, hendaklah ayah bunda menjaga juga sumber percariannya. Dari yang haramkah atau dari yang halal.

Karena kalau anak itu semasa dalam kandungan atau telah dalam kandungan ibunya, sumber pencarian ayahnya dari yang haram, maka darah haramlah yang akan mengalir di tubuh anak.

Keterangan Imam Ghazali ini dikuatkan oleh hadits Rasulullah saw. ketika beliau menceritakan seorang yang mengembara kian kemari dengan pakaian yang telah usang dan kotor, memohon kepada Tuhan, ditadahkannya tangannya ke langit, berseru, "Ya Tuhanku, tolonglah aku, ya Tuhanku, berilah aku ampunan!"

Padahal yang dimakannya haram, yang diminumnya haram, yang dipakainya haram dan dibesarkan (diasuh) dengan yang haram pula, Bagaimanalah Allah akan dapat mengabulkan doanya.

Ayah bunda memimpin sampai anak itu tegak sendiri. Maka kewajiban terbagi kepada tingkatan:

1. Semasa anak masih menyusu, hendaklah diberi makanan yang sehat.

2. Seketika akalnya mulai tumbuh, dia bertanya ini dan itu. Waktu itu hendaklah ayah bunda berusaha membuka akal yang baru tumbuh itu, serta menunjukkan contoh-contoh yang baik.

3. Ketika dia mulai besar, akan meningkat dewasa, ketika itu darahnya sedang panas, khayalnya sedang terbang menerawang. Zaman itu oleh para ahli dunia dinamai masa puber atau masa pancaroba. Penjagaan kepada anak-anak waktu itu, sangatlah pentingnya. Karena masa itu adalah perjuangan. Ayah bunda yang budiman sudah dapat menentukan ke mana haluan hidup anaknya, lantaran melihat peringainya di waktu masa pancaroba itu.

Ibu mempunyai kewajiban yang lebih berat menjaga anak perempuannya. Jangan diserahkan kepada gurunya di sekolah saja. Karena waktu yang dipakainya di sekolah, tidaklah sepanjang waktu yang dipakainya di rumah. Tiap-tiap anak mesti mendapat didikan dan pengajaran.

Yang akan diterimanya di sekolah hanyalah ajaran, sedang didikan sebagian besar didapatnya di rumah.

Di zaman dahulu, menjadi kemegahan seorang ayah kalau anaknya merasa takut kepadanya. Baru saja dia masuk rumah, kembali dari pekerjaannya, anak itu lari seperti kucing yang bersalah mencuri dendeng.

Sebab itu sampai besarnya, ayah dan anak tidaklah merasakan nikmat berayah atau nikmat beranak.

Dan ada pula yang memanjakan anak, apa yang dipintanya diberikan dengan tidak dipikirkan lebih dahulu, apakah yang dimintanya berfaedah atau tidak. Karena sudah terbiasa apa yang dimintanya diberikan, maka selalulah dia meminta kepada orang tuanya. Kadang-kadang tidak ada padanya lagi perasaan menenggang, entah ada uang pada orang tuanya untuk penghasilan pintanya atau tidak.

Anak-anak yang begini tidak akan sanggup tegak dengan usahanya sendiri apabila orang tuanya tak ada lagi.

Akan kelihatan canggungnya bila ayahnya jatuh dari pekerjaan, atau mati.

Sebab akal anak itu tidak dipimpin supaya tumbuh dengan subur, tetapi ditekan oleh kesayangan ayah bunda sendiri dengan tidak ada ilmu.

Jarang sekali anak manja pada masa kecilnya yang berhasil dalam hidupnya.

Melebihkan anak yang satu daripada yang lain, besar sekali akibatnya kepada ayah bunda di waktu tuanya.

Kadang-kadang anak yang teramat disayangi itu tidak membalas jasa, tetapi anak yang diabaikan, itulah yang membela.

Tetapi kalau anak itu rusak dan menjadi orang tak beragama, orang tua akan menanggung sesal beberapa lama masanya.

Oleh sebab itu kalau belum dapat memegang kemudi, janganlah beristri lebih dari seorang.

Karena kelak pandangan kepada anak dari istri yang dikasihi dan yang kurang dikasihi akan berbeda pula.

Terutama anak dari istri yang telah diceraikan, sehingga anak itu sampai besarnya hanya hidup dengan ibunya saja. Dan renggang hubungan dengan ayahnya, malahan ada yang menaruh dendam pada ayahnya.

Pernah kejadian seorang anak memohon kepada ayahnya supaya diberi izin pergi melanjutkan pelajarannya ke luar negeri, katakanlah ke Mesir, hendak menambah ilmunya tentang agama Islam.

Tetapi si ayah tidak memberi izin. Alasannya ialah lantaran di Mesir maksiat terlalu besar, takut anaknya akan sesat.

Ayah itu lupa bahwa di mana-mana pun di dunia ini maksiat itu mesti ada, bukan saja di Mesir, di negeri kita sendiri pun banyak juga bertemu maksiat itu, kalau itu yang dicari.

Itulah suatu persangkaan yang salah.

Dia meminta supaya anak terus di bawah pelupuk matanya, jangan beralih berkisar, supaya tidak tersesat.

Itulah orang tua yang mempertalikan diri dengan anak, tidak dengan hati dan jiwa walaupun 20 Tahun anak itu hilang dari mata, namun dia tidak akan hilang, tidak akan sesat langkahnya.

Ayahnya senantiasa terbayang dalam hatinya. Bahkan segala perbuatan baik yang dikerjakannya, serasa-rasa dipimpin oleh ayahnya dari jauh, dan pekerjaan jahat dijauhinya, supaya nama ayahnya tidak rusak dan hatinya tidak kecewa.

Ada seorang pengarang, berjauhan tempat tinggal dengan ayahnya. Dia di kota dan ayahnya di kampung.

Apabila keluar karangannya yang baru, dan ada orang yang datang dari kampung, senantiasa ditanyakannya, "Apakah kata ayahku tentang karanganku?"

Jadi tidak perlu anak di bawah pelupuk mata terus. Dan itu tidak mungkin. Tetapi letakkan dalam pelupuk hati, tidak diceraikan barang sesaat.

Bagiamana pun pun kasih sayang ayah bunda kepada anak, namun satu waktu anak itu mesti pergi, keluar dari rumah.

Baik anak laki-laki atau anak perempuan.

Mereka akan dibawa oleh untungnya masing-masing.

Sebab itu janganlah kasih kita kepadanya mengikatnya di rumah terus-terusan.

KEWAJIBAN ANAK TERHADAP ORANG TUA

Sekarang, mari kita bicarakan tentang kewajiban anak pada orang tua. Di dalam Al-Qur'an dan hadits Nabi, perintah hormat kepada orang tua, jauh lebih penting daripada perintah mendidik anak.

Jika ayat-ayat menyuruh menghormati orang tua ada 10, maka ayat menyuruh mendidik anak hanya 3 buah.

Demikianlah selisihnya.

Sebab walaupun tidak diperintahkan mendidik dan menyayangi anak, namun cinta kepada anak sudahlah jadi naluri pada segala makhluk yang bernyawa.

Tetapi cinta anak kepada ayah dan bunda, tidaklah sekeras cinta ayah bunda kepada anak.

Lebih-lebih apabila anak itu sudah tegak sendiri, dan telah berumah tangga, sehingga telah memikul kewajiban pula terhadap anak-anaknya. Waktu itu bertambah rengganglah dia dari orang tuanya.

Dasar cinta anak kepada orang tua telah diterangkan oleh Allah dalam kisah Lukman dan anaknya di dalam Al-Qur'an.

Seorang anak disuruh membalas jasa, mengenang budi. Diingatkan dalam ayat itu bagaimana kepayahan bunda mengandung sampai lepas dari gendongan, 2 Tahun lamanya.

Dalam hadits-hadits dan Qaul para ulama di dalam Islam diingatkan apa artinya perjuangan hidup, perebutan rezeki seorang laki-laki.

Pagi-pagi bangun dari tidurnya.

Disepakkannya bantal gulingnya, dilepaskannya diri dari belenggu selimut. Bangun dan pergi. Seakan-akan berlari ke tempat pekerjaan.

Karena yang dipikirkannya tentang sekolah anaknya, dan kelanjutan pendidikannya, kalau dia lalai bekerja.

Ini semuanya harus diingat oleh anak.

Dia harus membalas jasa.

Bukan saja dengan uang.

Karena tidak semua orang menjadi kaya raya.

Bukan uang itu saja tampang pertalian.

Uang hanya barang kasar.

Yang penting dan yang jadi jiwa pertalian anak dengan ayah ialah cinta, bakti, hormat dan taat!

Jika terjadi kekecewaan dalam hidup, misalnya orang lain maju, dan kita sendiri tidak, janganlah kecil hati kepada orang tua.

Barangkali orangtua tidak mampu di waktu itu buat melanjutkan sekolah kita.

Boleh jadi waktu itu belum sampai pikirannya tentang pentingnya pendidikan.

Jangan dia disesali.

Berilah dia maaf yang sebesar-besarnya jika itu dipandang kesalahan.

Kekecewaan dan didikan yang terlantar lantaran kependekan tangan ayah bunda, dapat kita obat kembali setelah kita beroleh anak pula.

Yaitu jangan anak itu ditelantarkan.

Sebab itu salahlah artinya pantun nasib yang berbunyi demikian:

Ramailah orang di Galapung,

Meraut betung layang-layang,

Sejak di rahim bunda kandung,

Untuk badan sudahlah malang.

Yang betul ialah:

Bukan salah bunga lembayung,

Salah di pandan menjelita,

Bukan salah bunda mengandung,

Salah di badan buruk pinta.

Keindahan perjuangan hidup atau keburukannya, tidak tergantung kepada orang lain, tidak semata-mata bertali dengan ibu dan bapak.

Tetapi berpusat kepada hati kita sendiri.

Kalau kita ragu, kita akan gagal.

Utang kepada orang tua telah lepas, ibarat pertandingan orang tua telah mengantarkan kita ke gelanggang, dan tidak masuk ke tengah lagi, dia hanya mengantar sehingga pintu gelanggang itu.

Kemudian dia kembali menjemput adik kita pula.

Kita harus masuk sendiri.

Jika kita menang, dia akan tersenyum, dan jika kita kalah, dia akan menggelengkan kepala dan menggigit bibirnya.

(Buya HAMKA, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 233-239, Republika Penerbit, 2015).

IBU BAPAK

Kalau anak dikatakan buah, tentu yang menjadi batangnya ialah ayah dan bunda.

Kalau sekiranya Allah yang menjadikan manusia berkembang biak di atas dunia ini, maka adalah ayah dan bunda yang dijadikan-Nya perantara bagi kejadian itu.

Hanya Nabi Adam yang lahir tak beribu berbapak, hanya Hawa yang tidak beribu dan hanya Isa Al-Masih yang tidak berbapak.

Maka tidaklah kita heran setelah mengetahui itu, apa sebabnya maka agama Islam dengan keras menyuruh anak taat kepada ayah bundanya.

Coba lihat bagaimana kedudukan ibu dan bapak dalam agama Islam.

Hal itu telah disabdakan oleh Nabi saw. demikian,

"Keridhaan Tuhan tergantung atas keridhaan dua orang ibu bapak. Kemarahan Tuhan pun bergantung atas keridhaan dua orang ibu dan bapak. Kemarahan Tuhan pun tergantung pula atas kemarahan keduanya." (HR. Thabrani dan Ibnu Umar).

Dinyatakan pula oleh Nabi saw. dosa yang lebih besar dari segala dosa, yaitu durhaka kepada ayah dan bunda.

Durhaka kepada ayah bunda itu didekatkan oleh Nabi dengan durhaka kepada Allah sendiri lantaran memperserikatkan-Nya.

Sabda Nabi saw.,

"Tahukah kamu, kunyatakan kepadamu suatu dosa yang lebih besar dari segala macam dosa besar? Yaitu memperserikatkan Allah dengan yang lain dan durhaka kepada dua orang ayah dan bunda."

Dalam Al-Qur'an amat banyak ayat-ayat yang menitahkan kepada dua orang ibu bapak, serta melekatkan kasih cinta kepadanya. Ayat-ayat yang memerintahkan seorang mengasihi anak tidaklah terdapat dalam Al-Qur'an. Melainkan peringatan kepada seorang ayah supaya dia memikirkan hari kemudian anaknya karena takut akan ditimpa miskin. Tetapi meskipun ada orang membunuh, atau menjual anaknya, sebagai besar ialah karena cinta kepada anak itu juga. Dia tidak sampai hati melihat anaknya melarat seperti yang ditanggungkannya. Sebab itu dibunuhnya, serupa dengan orang yang membunuh kuda yang berpenyakit, karena tidak sampai hati melihat kuda itu menanggung siksa karena sakitnya.

Maka dalam Al-Qur'an terlebih banyak perintah kepada seorang anak supaya berbuat baik kepada orang tuanya.

Pernah diingatkan bagaimana susah payahnya bunda mengandung, 2 Tahun baru dipisahkan dari dirinya.

Pernah pula diingatkan bagaimana bergaul dengan ayah dan bunda, walaupun ayah dan bunda itu tidak sependirian dengan diri.

Apakah sebabnya maka lebih banyak perintah kepada anak supaya mengasihi ayah bunda, padahal amat sedikit perintah kepada orang tua supaya mengasihi anak?

Seorang ayah, apalagi seorang ibu, meskipun tidak diperintahkan mengasihi anak mereka tetap cinta kepada anaknya.

Dia sudi berkorban, bersusah payah untuk anaknya.

Banyak perempuan yang berulang-ulang melahirkan anak, artinya berulang-ulang ditimpa kepayahan, tetapi bila didengarnya tangis anak itu ketika keluar dari perutnya, hilanglah kepayahannya itu.

Tetapi si anak sebaliknya.

Ibarat seekor burung, setelah tumbuh sayapnya, dia pun terbang, dia lupa pada sarang tempat dia dibesarkan.

Siapa yang telah menolongnya sehingga sayapnya bisa berkipas.

Di zaman ini, ada anak yang malu mengaku ayah itu ayahnya atau ibu itu ibunya, sebab ayah dan bundanya telah tua, telah bungkuk buruk tidak gagah, tidak setampan orang lain seperti tersebut dalam dongeng "Si Malin Kundang" yang masyhur itu.

Banyak orang yang apabila telah mendirikan rumah tangga dan telah beranak-anak, lupa hubungannya dengan orang tuanya.

Tuhan melarang berbuat demikian.

Tuhan telah mengajarkan pendirian hidup di dalam Al-Qur'an, demikian bunyinya,

"Ya Tuhanku bimbinglah aku supaya bisa bersyukur atas nikmat-Mu yang Engkau nikmatkan atas aku dan atas dua orang ayah bundaku, dan supaya aku sanggup mengamalkan yang baik yang Engkau ridhai. Dan perbaikilah pula bagiku anak keturunanku." (QS. al-Ahqaf [46]: 15).

Dalam doa ini tersimpul pertalian manusia, sejak dari dirinya sendiri lalu ke atas, yaitu kepada ayah bunda, dan dari diri sendiri ke bawah, yaitu kepada anak dan cucunya, memohon kepada Tuhan agar budi baik yang tumbuh dalam silsilah keturunan itu tidak terputus di tengah, melainkan bersambung terus.

Al-Qur'an mengatur hubungan dengan ibu bapak itu dengan ayat,

"Dan Tuhanmu telah menghukumkan, bahwa sekali-kali jangan kamu menyembah kepada yang selain Dia, dan dengan dua ayah bundamu hendaklah kamu berbuat baik. Jika sekiranya sampai tua salah seorang di antara keduanya atau sekali keduanya, sekali-kali janganlah kamu bercakap kasar kepada keduanya, dan jangan kamu hardik keduanya, tetapi katakanlah kepada keduanya kata-kata yang mulia. Hamparkanlah pada keduanya sayap yang rendah daripada rahmat, dan mohonkanlah kepada Tuhan; Ya Tuhanku beri rahmatlah keduanya sebagaimana mereka telah mengasuh diriku di waktu kecilku." (QS. al-Isra [17]: 23-24).

Di ayat ini dinyatakan larangan bercakap kasar kepada kedua ayah dan bunda; Disana dituliskan tak boleh mengucapkan "uff" yang dengan tepat bisa diartikan dengan "cis" atau mencibirkan bibir.

Sedangkan cibir atau ucapan "cis" lagi terlarang kononlah menghardik, membangkang, membelalakkan mata, mencaci maki, bahkan kadang-kadang ada yang menyepak menendang.

Ada pula yang sengaja menyakitkan hati orang tuanya.

Di zaman sekarang, bahkan di setiap zaman akan senantiasa terdapat pertikaian di antara orang kuno dengan orang modern.

Orang tua-tua termasuk golongan kuno dan anak-anak muda lantaran darahnya yang masih panas hendak berjalan menurut aliran yang baru.

Kadang-kadang si tua lekas marah melihat perubahan baru yang dibawa yang muda-muda.

Maka dalam Al-Qur'an telah ditunjukkan untuk menyelesaikan urusan ini,

"Dan Kami beri wasiat manusia supaya berbuat baik kepada dua orang tuanya. Dan jika keduanya bersungguh-sungguh hendak mengajakmu memperserikatkan Daku, pada perkara yang kamu sendiri tidak tahu, maka janganlah kamu ikut akan keduanya." (QS. al-Ankabut [29]: 8).

Artinya tetaplah hormat kepada keduanya dan tetaplah khidmat, tetapi di dalam perkara pendirian terhadap menyembah Allah apabila orang tua mengajak mempenserikatkan Allah, janganlah diikuti.

Memaki dan menghina orang lain dengan membawa nama-nama ayah bundanya adalah satu perbuatan yang terpandang sangat hina.

Sabda Rasulullah saw.,

"Sesungguhnya yang sebesar-besar dosa ialah bahwa melaknati seseorang akan dua ayah bundanya!"

Lalu ditanyai orang kepada Rasulullah,

"Bagaimana pula melaknati dua ayah bunda itu ya Rasulullah?"

Rasulullah menjawab,

"Memaki-maki seseorang akan ayah kawannya, maka membalas pula kawannya itu memaki ayahnya."

Jadi lantaran salahnya sendiri, ayahnya dimaki orang, berarti dialah yang menanggung jawab atas makian itu.

Setelah diperintahkan Allah dan Rasul menghormati ibu bapak, maka hormat kepada ibu disuruh dilebihkan lagi.

Karena boleh dikatakan, meskipun beban kedua orang tua itu sama-sama berat memikul nasib kita di waktu kita kecil, namun beban ibu jauh lebih berat dari beban ayah.

Sabda Rasulullah saw.,

"Ibumu, ibumu, ibumu, kemudian bapakmu, kemudian itu ialah karib kerabatmu dari yang dekat kepada yang jauh."

Sabda Nabi saw. pula,

"Setiap dosa akan ditakhirkan Allah menurut sesuka-Nya, sampai hari Kiamat. Kecuali durhaka kepada ayah dan bunda. Maka pembalasan atas kedurhakaan kepada ayah dan bunda itu akan diletakkan Allah kepada orang yang berlaku demikian seketika hidupnya di dunia, sebelum dia mati."

Pendeknya orang yang durhaka kepada ibu bapaknya seketika dia hidup akan menderita sendiri pembalasan perbuatannya yang sangat hina itu.

Anaknya sendiri akan mencontoh kepadanya bagaimana mesti berlaku terhadap dirinya setelah dia tua pula esok.

Sebab telah dilihatnya dengan matanya sendiri perlakuan ayahnya itu kepada neneknya.

Dan ketahuilah bahwa tidak ada yang lebih melukai jantung dan menyayat hati daripada perangai anak kandung yang durhaka.

Meskipun sampai demikian penghargaan dan penghormatan kepada dua ibu bapak, tidaklah pula disuruh supaya menghormatinya sampai kepada derajat menghormati Tuhan.

Sampai diambil menjadi ucapan di dalam sumpah, misalnya "demi kehormatan ayahku, demi nama nenekku," dan lain-lain sebagainya.

(Buya HAMKA, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 267-272, Republika Penerbit, 2015).

MENYUSUKAN ANAK

Sekarang, datanglah ayat menjelaskan tentang menyusukan anak,

"Dan ibu-ibu itu hendaklah menyusukan anak-anak mereka dua tahun penuh, (yaitu) bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan." (pangkal ayat 233).

Menurut pendapat setengah ahli tafsir, ibu-ibu yang dimaksud ialah perempuan yang diceraikan suaminya dalam keadaan mengandung sebab ayat ini masih ada hubungannya dengan ayat yang sebelumnya, yaitu dari hal cerai.

Akan tetapi, ahli tafsir yang lain menyatakan pendapat bahwa maksud ayat ini adalah umum, baik istri yang diceraikan suami maupun sekalian perempuan yang menyusukan anak walaupun tidak bercerai.

Ayat ini pun memberi petunjuk tentang kewajiban dan tanggung jawab seorang ibu.

Bukanlah ayat ini semata-mata cerita bahwa seorang ibu menyusukan anak, bahkan binatang-binatang yang membesarkan anaknya dengan air susu pun tidak menyerahkan kepada induk yang lain buat menyusukan anaknya,

Dan kalau penyusuan disia-siakannya, berdosalah dia di hadapan Allah.

Di ayat ini bertemu pula apa yang diakui oleh ilmu ketabiban modern bahwasanya air susu ibu lebih baik dari segala air susu yang lain.

Disebut pula di sini bahwa masa pengasuhan menyusukan itu yang sebaik-baiknya disempurnakan dua tahun.

Di dalam surah al-Ahqaaf: 15 disebutkan pula bahwa anak itu baru dilepaskan dari bedungan lbu setelah tiga puluh bulan.

Sebab, secepat-cepat masa mengandung ialah enam bulan, ditambah 24 bulan masa mengasuh.

Akan tetapi, dalam lanjutan ayat yang berbunyi,

"bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuan",

Teranglah pengasuhan dua tahun itu ialah yang sebaik-baiknya bagi siapa yang ingin mencapai kesempurnaan.

Dan, kalau ada halangan yang lain, misalnya baru anak berusia enam bulan si ibu telah mengandung pula, bolehlah masa mengasuh anak yang telah ada itu dikurangi dari dua tahun supaya anak yang masih dalam perut jangan tersusu.

Sebagaimana kita katakan di atas tadi, ayat ini menimbulkan rasa hormat ahli-ahli kesehatan ibu dan anak tentang lebih pentingnya susu ibu daripada susu lain.

Di dalam agama diakui kebolehan anak disusukan oleh perempuan lain, bahkan ibu yang menyusukan itu ditentukan oleh agama menjadi ibu susu dari anak itu menjadi mahramnya dan tidak boleh lagi dinikahinya.

Meskipun kejadian pada Rasulullah saw. di waktu masih kecilnya bukanlah menjadi hujjah dan syari'at, kita semuanya mengetahui bahwa di waktu kecilnya Rasulullah disusukan oleh Tsuaibah, seorang hamba perempuan dari Abu Lahab, dan Halimah Sa'diyah, ibu susunya dari bani Sa'ad.

Sungguh pun demikian, ada juga di kalangan ulama-ulama yang sangat kuat menjaga kesucian darah anaknya, tidak mau membiarkan anaknya disusukan oleh perempuan lain yang tidak dikenal keagungan budi perempuan itu.

Diceritakan oleh ahli-ahli sejarah tentang riwayat Imam al-Hammain, ulama Madzhab Syafi'i yang masyhur, guru dari Imam Ghazali.

Ayah dari Imam al-Haramain itu bernama Abu Muhammad al-Iuwaini.

Kerjanya di waktu mudanya ialah menyalin kitab-kitab ilmu pengetahuan dan menerima upah dari penyalinan itu.

Beliau pun seorang alim besar.

Setelah terkumpul oleh beliau uang dari upah menyalin kitab-kitab itu dapatlah beliau membeli seorang budak perempuan.

Budak itu sangatlah saleh dan taat beribadah sehingga suaminya yang alim itu sangat berbahagia beristrikan dia.

Maka, mengandunglah dia dan lahir seorang anak laki-laki yang diberinya nama Abdul Malik. Setelah anak itu lahir, Abu Muhammad memesankan dengan sangat kepada istrinya itu supaya jangan dibiarkan ada perempuan lain yang sampai menyusukan anak itu.

Dan, pesan suaminya itu sangatlah diperhatikannya.

Pada suatu hari, dia ditimpa sakit sehingga air susunya kering dan anak kecil itu menangis kehausan.

Tiba-tiba masuklah ke dalam rumahnya seorang perempuan tetangga yang kasihan mendengar tangis anak itu lalu diambilnya dan disusukannya sedikit.

Tiba-tiba Abu Muhammad datang dan masuk ke rumah.

Beliau lihat anaknya disusukan oleh perempuan lain.

Melihat itu, hati beliau tidak senang dan perempuan itu segera mengundurkan diri.

Beliau segera mengambil anak kecil itu dan menunggingkan kepalanya dan mengorek mulutnya, sampai anak itu muntah, sampai air susu perempuan lain itu dimuntahkannya.

Beliau berkata,

"Bagiku tidak keberatan jika anak ini meninggal di waktu kecilnya daripada rusak perangainya karena meminum susu perempuan lain yang tidak aku kenal ketaatannya kepada Allah."

Anak itulah yang kemudian terkenal dengan Imamul Haramain Abdulmalik al-Iuwaini, guru dari madrasah-madrasah Naisabur dan salah seorang yang mendidik Imam Ghazali sampai menjadi ulama besar pula.

Kadang-kadang sedang mengajarkan ilmunya pernah beliau marah-marah.

Maka, berkata dia setelah sadar dari kemarahannya bahwa ini barangkali dari bekas sisa susu perempuan lain itu yang tidak sempat ia muntahkan.

Sebab itu, susu ibulah yang terutama, Kabarnya konon, Ratu Elizabeth II, ratu besar dari Kerajaan inggris, tetap menyusukan putra-putrinya.

Kecuali kalau sakit, niscaya apa boleh buat, dipakailah susu sapi atau susu kambing.

Akan tetapi, kalau hanya menuruti lagak perempuan modern, yang takut susunya akan lisut atau kempes, lalu enggan menyusukan anaknya, nyatalah bahwa jalan pikiran perempuan itu tidak lagi dari lingkungan agama.

Seorang sarjana kenamaan Dr. Paul Gyorgy, mengatakan dalam uraiannya,

"Air susu ibu manusia adalah untuk bayi manusia, sedangkan air susu sapi adalah untuk sapi!"

Dikemukakannya pendapat tersebut di atas adalah sehubungan dengan adanya kenyataan bahwa penggunaan air susu ibu untuk anak manusia dewasa ini mulai kurang populer.

Bahkan di negara-negara yang baru berkembang, antara lain disebutkan Indonesia, Philipina, Brazil, Costa Rica, Libya, dan lain-lain, lebih kurang 80% sampai 90% dari bayi-bayi yang mendapat susu dari ibunya sendiri selama kurang lebih 10 bulan, kini juga sudah mulai berkurang.

Bahkan di negara-negara yang sudah maju seperti Amerika Serikat misalnya, di sana cuma 12 sampai 25% saja anak-anak bayi yang menerima susu dari ibunya sendiri.

Kebanyakan mereka mendapatkan susu berdasarkan resep-resep yang diberikan oleh dokter untuk mengganti susu ibunya.

Padahal dikatakan oleh sarjana tersebut bahwa penggunaan susu yang bukan susu ibunya bagi anak-anak bayi mempunyai kemungkinan-kemungkinan yang sangat membahayakan bagi kesehatan si bayi.

Demikian saran dari sarjana Dr. Paul, seorang profesor dalam pediatrics pada rumah sakit umum di Philadelphia.

Semoga pernyataan tersebut mendapat perhatian dari ibu-ibu di Indonesia bahwa sesungguhnya,

"Susu manusia adalah untuk manusia, sedangkan susu sapi adalah untuk anak sapi."

(Disalin dari majalah Selecta, No. 257: Penjuru Angin).

Lalu, datang sambungan ayat,

"Dan atas mereka yang mempunyai anak (kewajiban) perbelanjaan ibu-ibu itu dan pakaian mereka dengan sepatutnya."

Lanjutan ayat ini memberikan ketegasan bagi si empunya anak, baik dalam pergaulan suami-istri yang diliputi kasih mesra maupun sudah bercerai sekalipun, menanggung belanja dan pakaian istri atau jandanya yang tengah menyusukan anaknya itu menurut patutnya (ma'ruf), yaitu besar kayu besar bahan, kecil kayu kecil bahan, menurut ukuran hidup (standar) yang layak dalam kehidupan perempuan itu.

Ingatlah bahwa seorang ibu dalam zaman menyusukan anak itu adalah memikul beban yang sangat berat meminta tenaganya, ruhani dan jasmani.

Cobalah perhatikan perempuan yang telah berkali-kali mengasuh anak.

Lihatlah badannya yang lemah dan susunya yang lisut.

Seorang ibu telah berkorban, sedangkan anak yang disusukannya itu menurut kebiasaan dunia, adalah dari suaminya itu.

Menurut ujar Sayyidina Ali bin Abi Thalib,

"Ibu-ibu manusia itu hanyalah sekadar pundi-pundi."

Tempat menyimpankan suatu barang; dan anak selalu dibangsakan kepada ayahnya.

Oleh sebab itu, membela istri dan mencukupkan belanjanya, terlebih-lebih di dalam saat pengasuhan anak, adalah kewajiban mutlak bagi seorang suami.

Dan, kalau dia telah bercerai dari perempuan itu, baik sedang dia hamil maupun sedang dia menyusukan, amatlah jauh dari budi pekerti Islam kalau yang empunya anak acuh tak acuh, tidak mau tahu tentang anaknya sendiri yang telah di bebankannya kepada jandanya.

Jangan sampai dia terhalang bersuami lain karena mengasuh anakmu.

Dan, jangan pula anakmu sendiri engkau jadikan beban kepada laki-laki lain yang akan menggantikan tempatmu.

Lalu, datang lanjutan ayat,

"Tidaklah diberati satu diri melainkan sekadar kesanggupannya."

Perbelanjaan dan pakaian istri atau janda selama mengasuh anak itu ialah sekadar kekuatan dan kemampuan si suami atau si janda.

Perempuan tidak boleh meminta lebih dari kesanggupan suami atau janda itu.

Sebaliknya, si suami janganlah meminta supaya anaknya diasuh dan disusukan tepat sampai dua tahun, kalau si istri berhubung dengan kesehatan tidak sanggup mencukupkan sedemikian.

"jangan disusahkan seorang ibu dengan anaknya."

Misalnya, terjadi perceraian lalu dengan gagahnya si suami mencabut anak itu dari ibunya, padahal suatu kesusahan yang sangat memberatkan hati perempuan jika diceraikan dengan paksa dengan anaknya yang amat dikasihi, buah hatinya, permainan matanya itu.

Atau dikurangi perbelanjaannya di luar kepatutan.

Atau sebaliknya,

"Dan jangan (pula disusahkan) si empunya anak dengan anaknya."

Misalnya karena bercerai, jika ayahnya rindu hendak bertemu dengan anaknya, dihalang-halangi oleh si ibu.

Atau diminta perbelanjaan lebih dari kemampuan si ayah.

Kedua ayat ini sangat penting artinya, bagi pendidikan anak.

Kerap kali kita lihat, terutama pada anak-anak yang ibu-bapaknya telah bercerai, timbullah dendam kesumat pada diri anak itu sendiri karena didikan yang tidak baik yang datang dari si ibu atau si ayah.

Rasa dendam mereka berdua dipindahkan kepada anak yang masih kecil, sehingga ada anak yang benci kepada ayahnya karena selalu ayahnya dibusukkan oleh ibunya di hadapan dia, ataupun sebaliknya.

Alangkah iba hati seorang ayah jika anaknya tidak menghargainya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 454-457, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERINTAH UNTUK NABI DAN UMAT

"Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istri kamu, maka talaklah mereka itu untuk iddahnya dan hitunglah iddah itu." (pangkal ayat 1).

Maksud menceraikan "bagi iddahnya" ialah supaya perceraian itu dilakukan jangan sampai membuat susah kepada istri yang telah diceraikan itu dalam dia menunggu iddahnya.

Untuk ini ahli fiqih menjelaskan bahwa menceraikan istri itu ada yang menurut sunnah dan ada yang bid'ah.

Yang menurut sunnah terpuji dan yang bid'ah tercela, meskipun talak yang bid'ah itu jatuh juga.

Yang menurut Sunnah ialah:

1. Jangan menceraikan istri sedang dia dalam haid,

2. Tetapi ceraikanlah sedang dia dalam suci sebelum disetubuhi.

Talak yang Bid'ah ialah lawan dari itu, yaitu:

1. Menceraikan istri sedang dia dalam haid,

2. Menceraikan istri di waktu dia sedang suci tetapi telah dicampuri terlebih dahulu.

Maksud yang terutama dari peraturan iddah itu ialah buat menjelaskan apakah perempuan itu sedang hamil ketika diceraikan. Kalau dia sedang hamil supaya jelas bahwa laki-laki yang menceraikan itu akan beranak dari istrinya itu.

Timbul pertanyaan, "Apakah talak tiga sekaligus itu jatuh ketiganya atau jatuh hanya satu?"

Imam Syafi'i dengan tegas mengatakan bahwa menalak sekali ketiganya itu adalah hak si laki-laki itu. Sebab itu talak tiga itu jatuh menurut niatnya. Tiga niatnya, tiga jatuh. Tetapi dia berdosa.

Sebab Nabi saw. pernah berkata kepada orang yang menalak istrinya sekaligus tiga kali itu, beliau berkata,

"Apakah kamu permain-mainkan kitab Allah, padahal aku masih ada di antara kalian?"

Imam Syafi'i berpegang kepada cara menghadapi kesalahan talak Ibnu Umar itu dalam hal ini, menjatuhkan talak sekaligus ketiganya memang salah tetapi jatuh!

Tetapi Imam Malik menyatakan pendapat beliau, "Aku tidak mengenal talak kecuali hanya satu kali. Aku tidak menyetujui talak tiga sekaligus ataupun menjatuhkan satu demi satu di satu majelis."

Imam Abu Hanifah tidak pula menyetujui menjatuhkan talak dalam satu kali suci lebih dari satu. Sebab itu maka Imam Malik menjaga pemisahan talak dan waktu.

Imam Syafi'i hanya menjaga waktu belaka.

"Dan hendaklah mempersaksikan dua orang yang adil di antara kamu."

Barang mana pun keputusan yang akan engkau ambil, entah surut atau bercerai juga yang jadi, hendaklah disaksikan oleh dua orang yang adil, dua orang yang patut.

Di sini kita mendapat ketentuan bahwa kalau rujuk hendaklah ada yang menyaksikan.

Jika ditilik kepada jalan bahasa, memang untuk rujuklah diperlukan dua orang saksi yang adil, sebab rujuklah yang terlebih dahulu disebut. Talak adalah yang kemudian.

Tetapi untuk menambah luasnya pandangan kita baik juga kita perhatikan pertikaian pendapat ulama-ulama fiqih dalam hal ini.

Kalau seseorang rujuk saja dengan tidak disaksikan dua orang yang adil, maka terdapat padanya dua pendapat.

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ada saksi itu adalah mandub (dianjurkan) saja, bukan wajib.

Syafi'i berpendapat, ketika rujuk sunnah dihadirkan dua saksi, ketika talak hanya dianjurkan saja.

Satu pendapat ialah bahwa keduanya, rujuk dan talak hendaklah ada dua saksi!

Kegunaan dua saksi itu amat penting. Karena kalau tiba-tiba si laki-laki meninggal sedang si perempuan dalam iddah karena talak, kalau ada saksi tentu dia masih berhak menerima warisan.

Banyak ulama menekan yang amat penting ialah kesaksian talak.

Kesaksian rujuk, hanyalah mandub (dianjurkan) saja.

Ulama itu berkata apabila seorang perempuan dalam iddah, dan dia masih ada dalam rumah itu, tiba-tiba datang suaminya itu menciumnya, atau memegang badannya, bahkan menyetubuhinya sekali; kalau dengan berbuat demikian, dia telah bermaksud rujuk, maka rujuklah karena perbuatannya itu, walaupun tidak dilafazhkan.

Abu Hanifah menegaskan lagi, kalau diciumnya, disentuhnya, dan dipegangnya dengan syahwat, itu sudah rujuk namanya.

Golongan ini mengatakan pula, "Asal saja sudah disetubuhinya, itu namanya sudah rujuk, ada niat rujuk atau tidak ada niat." Imam al-Laits berpendapat begini.

Imam Syafi'i dan Abu Tsaur berpendapat, "Kalau diucapkannya perkataan "aku sekarang rujuk" maka rujuklah dia.

Tetapi Imam Malik menyatakan pendapatnya, "Kalau disetubuhinya saja, padahal dia tidak berniat rujuk, maka persetubuhannya itu fasid. Tegasnya jadi zina. Dan dia tidak boleh mengulangi menyetubuhinya, sebelum dia bersihkan terlebih dahulu air 'kotor' yang masuk itu."

Imam Ahmad bin Hambal dalam salah satu qaulnya menyatakan bahwa rujuk itu pun wajib ada saksi.

Keempat Imam Syafi'i, Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad bin Hambal sama pendapat bahwa tentang rujuk, tidaklah perlu meminta persetujuan si perempuan, sebab itu tidaklah diperlukan mesti hadir saksi juga.

Kalau seseorang mendakwakan sesudah habis iddah bahwa dia telah rujuk kepada istrinya tatkala masih dalam iddah, kalau perkataannya itu diakui oleh si perempuan, perkataan itu diterima.

Tetapi kalau si perempuan itu memungkiri perkataan itu, maka perempuan itu disumpah.

Dan kalau si laki-laki dapat mengemukakan keterangan bahwa dia telah rujuk ketika dia masih dalam iddah, cuma perempuan itu saja yang belum tahu, maka keterangan laki-laki itu diterima.

Keadaan dia tidak tahu, tidaklah jadi alasan. Tetaplah dia istri dari laki-laki itu.

Kalau perempuan itu telah bersuami, tetapi suami kedua itu belum menggaulinya, lalu di waktu itu suami pertama datang membawa keterangan lengkap bahwa dia telah rujuk tatkala perempuan itu dalam iddah, maka pendapat Imam Malik terdapat dua macam.

Pertama, suami pertama lebih berhak atasnya dan dia dipisahkan dengan suami kedua.

Pendapat kedua, suami kedua lebih berhak atasnya.

Tetapi kalau sampai suami kedua itu kebetulan sudah menggaulinya, maka tidaklah ada jalan lagi bagi suami pertama buat mengambil perempuan itu.

Tetapi kalau sampai suami kedua itu kebetulan sudah menggaulinya, maka tidaklah ada jalan lagi bagi suami pertama buat mengambil perempuan itu.

Di sini kata "dukhuul" kita artikan menggauli. Artinya, dia telah masuk ke dalam kamar bersama perempuan itu, meskipun belum disetubuhinya.

Tentang orang yang akan jadi saksi yang berdua itu pun ditegaskan pula, hendaklah saksi berdua itu laki-laki keduanya. Karena kalimat dzawai, artinya ialah buat dua orang laki-laki. Perempuan, hanya dapat jadi saksi berdua, jadi ganti dari satu orang saksi laki-laki dan kesaksian perkara utang-piutang (surah al-Baqarah ayat 282 dan 283). Dan boleh jadi saksi seorang diri untuk mempertahankan kehormatan dari tuduhan suaminya bahwa dia berzina, dalam hal yang bernama li'aan (surah an-Nuur, ayat 8 dan 9).

"Dan dirikanlah kesaksian karena Allah."

Artinya kalau tegak menjadi saksi, dirikanlah kesaksian itu karena Allah, akan berkata benar, bertindak jujur, dan tidak akan memberikan kesaksian palsu.

Karena soal ini adalah sangat penting, yaitu soal rumah tangga, soal keturunan dan perdamaian di antara dua orang suami dengan istri ataupun perpisahan yang baik.

Ingatlah dua patah ayat ini, mulanya dikatakan dua orang yang adil. Setelah itu orang yang adil itu disuruh pula memberikan kesaksian karena Allah.

"Demikianlah diberi pengajaran dengan dia bagi siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat."

Artinya ialah bahwa yang akan memerhatikan segala syarat dan cara ini, terutama talak dengan bersaksi, rujuk pun dengan bersaksi, dengan tidak memperhitungkan terlebih dahulu khilafiyah ulama padanya, semuanya itu adalah pegangan bagi orang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat.

Sebab orang yang beriman kepada Allah itu suka kepada pekerjaan yang teratur dan jujur, dan lagi karena imannya kepada Hari Akhirat, dia tidak mau kalau ditanyai di akhirat kelak, ternyata pekerjaannya kacau balau.

Al-Qurthubi menulis dalam tafsirnya, "Adapun orang yang tidak beriman, tidaklah ada manfaatnya yang akan didapatnya dari pengajaran ini."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 183-189, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PIKIRKANLAH!

Untuk lebih jelas lagi kita salinkan pertanyaan orang kepada Imam Ibnu Taimiyah dan jawaban beliau,

Pertanyaan:

"Seorang laki-laki bertengkar dengan istrinya dalam satu pertengkaran yang sudah memuncak, sehingga berubah akalnya, lalu ia berkata, 'Aku talak engkau 3 kali!' Jatuhkah talaknya atau tidak?"

Jawaban:

"Kalau keadaan sudah sampai demikian rupa sehingga ia tidak sadar lagi apa yang ia katakan, sudah seperti orang gila, tidaklah jatuh talak itu."

Sekian jawaban beliau.

Kalau bertengkar suami istri dan marah memuncak hingga tidak sadar diri, tidaklah jatuh talak, apalagi kalau yang mendesak-desak itu orang lain.

Ingat pula sabda Nabi saw.,

Dari Tsauban, berkata ia, berkata Rasulullah saw.,

"Siapa saja perempuan yang meminta talak kepada suaminya, dengan tidak ada sesuatu sebab yang sangat penting, maka haramlah bagi perempuan itu bau surga."

(HR. Lima Perawi Hadits, kecuali an-Nasa'i).

Pikirkanlah!

Sedangkan istri meminta talak kepada suami lagi haram, sampai tidak akan merasakan harumnya kewangian surga, apalagi kalau perempuan lain yang menghasut-hasut hendak meruntuhkan ketenteraman rumah tangga orang lain.

Orang lain yang menghasut-hasut dan mendesak-desak supaya suami istri bercerai sama jahatnya dengan orang yang pergi berguru sihir kepada Harut dan Marut, yang akan digunakannya sihir itu untuk memisahkan seorang suami dengan istrinya; sebagaimana tersebut di dalam surah al-Baqarah ayat 102.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 209-210, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Untuk Ayahanda Dr. HA Karim Amrullah

Ayahku,

Jika seorang anak bersyukur kepada ayahnya, karena dengan titisan ayah itu Allah memberi jasmaninya hidup, dan jika seorang murid berterima kasih kepada gurunya, lantaran dengan pimpinan guru itu rohaninya sanggup menempuh lapangan hidup tadi, maka adalah syukurku dan terima kasihku kepada ayah, terkumpul di antara syukur jasmani dan syukur rohani.

Adik-adikku berbangga lantaran tuan ayahnya, beratus-ratus orang lain berbangga lantaran tuan gurunya, saya bersyukur lantaran tuan ayahku dan guruku.

Di dalam Thabaqat Syafi’iyyatul Kubra, hamba lihat bagaimana Subki kecil menuliskan riwayat ayahnya Subki besar dengan panjang lebar, tetapi di sana diselipkannya juga bahwa pekerjaan itu sukar baginya. Kecintaan dua perkara, sebagaimana cintaku yang sekarang ini, yang menyebabkan kesukaran itu.

Hamba karangkan buku ini, hamba namai "Lembaga Hidup", adalah sebagai sambungan dari buku-buku yang telah lebih dahulu hamba susun, yaitu "Tasawuf Modern" dan "Falsafah Hidup". Di dalam buku ini ada hamba terangkan juga kewajiban seorang anak kepada ayahnya.

Moga-moga sebelum orang lain mengamalkan, dapatlah hamba lakukan kepada diri hamba sendiri lebih dahulu.

Hamba susun buku ini sebagai penghormatan kepada ayah, penghormatan yang tiada sepertinya, atau satu ranting kecil dari pada dahan-dahan kayu besar ilmu yang ada pada ayah.

"Ampunilah ya Allah akan dosaku, dan dosa kedua orangtuaku, dan kasihilah keduanya, sebagaimana mereka telah mengasuh membelaiku di waktu kecilku!"

Medan, pertengahan 1941

Ananda,

H. Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah

(Buya HAMKA, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, iii, Republika Penerbit, 2015).

BARISAN MALAIKAT

"Yaitu bintang-bintang." (ujung ayat 6).

Dia teringat ayahnya telah meninggal 5 Tahun sebelumnya dan ibunya pun telah wafat 11 Tahun sebelumnya.

Tiba-tiba air matanya titik tidak disadarinya, dan keluarlah dari mulutnya ucapan talbiyah, tetapi dengan suara tersendat-sendat karena leher gembung sebab desakan air mata,

"Labbaika, Allahhummalabbaik."

Pernah ayahnya berkata di kala beliau masih hidup,

"Perdalamlah penyelidikanmu terhadap agama, Malik! Pengarang banyak, tetapi untuk jadi ulama terlalu payah jalan yang mesti ditempuh."

Bintang-bintang itu seakan-akan tersenyum, entah menertawakan daku, entah menguatkan pengharapan ayahku.

Namun langit dihiasi bintang-bintang di malam akan wuquf di Arafah, jaranglah taranya memengaruhi hati.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 462-463, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dengan segala kerendahan hati penulis tafsir ini dapat mengatakan bahwa apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mubarak di atas dan hadits Zaid bin Arqam yang dirawikan oleh ad-Daruquthni ini telah berkali-kali dialaminya.

Di saat-saat yang penting dalam sejarah hidupku, ayahku hadir dalam mimpi.

Ketika menulis sejarah hidup beliau dengan buku yang bernama "Ayahku", seketika akan pindah dari Sumatera ke Jawa Desember 1949, seketika ditahan dan dipenjarakan, seketika tulang-tulang beliau penulis pindahkan dari kuburan beliau di Karet Jakarta, ke kampung beliau sendiri di halaman Kutubkhanah yang beliau dirikan,

Bahkan ketika penulis diangkat jadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan di waktu-waktu penting yang lain, beliau bertemu dalam mimpi.

Lebih banyak pertemuan itu dalam keadaan beliau berwudhu, dalam akan shalat atau sesudah shalat, dan umumnya bermuka gembira dari bekas wudhu.

"Ya Allah! Jadikanlah amalanku yang menggembirakan ayahku di alam barzakh dan menggembirakan aku sendiri di akhirat kelak. Aamiin."

Semuanya keadaan ini hanya dapat dipahamkan apabila kita mendalami cinta dalam agama.

Dan tidak akan dirasakan jika jiwa kita masih sangat terpengaruh oleh kebendaan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 82-83, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Di dalam beberapa kitab tafsir ada bertemu sebuah riwayat, bahwa kedua ayat 189 dan ayat 190 ini diturunkan Allah menceritakan asal mula pertemuan nenek moyang kita, Adam dan Hawa, setelah mereka datang ke dunia.

Kata riwayat itu, kedua nenek kita ingin dapat anak. Maka, dapatlah anak laki-laki lalu mereka namai Abdullah, tetapi anak itu mati ketika masih kecil.

Kemudian dapat lagi anak laki-laki lalu mereka namai 'Ubaidullah, tetapi masih kecil telah mati pula.

Maka, bersedihlah kedua nenek kita itu, sebab tiap beranak tiap mati juga.

Akhirnya Hawa mengandung lagi dan dapat pula anak laki-laki.

Waktu itu datanglah iblis, musuhnya yang sama-sama disuruh keluar dari dalam surga itu.

Kata riwayat itu, si iblis datang memberi nasihat kepada keduanya supaya anak itu diberi nama Abdul Harits.

Setelah nasihat iblis itu diikuti oleh kedua nenek kita dan anak itu diberi nama Abdul Harits, barulah anak itu hidup, tidak mati-mati lagi.

Abdul Harits artinya hamba dari yang menyuburkan segala yang subur.

Meskipun saudara pembaca bukan ahli penyelidik shahih dan dhaifnya sesuatu Hadits, tentu dengan pikiran tauhid yang sehat saudara telah membantah dengan sendirinya riwayat ini, walaupun siapa yang merawikannya.

Terupakah di akal saudara bahwa Nabi Adam dan Hawa yang telah dikeluarkan dari dalam surga mau lagi menuruti perdayaan setan dan iblis, padahal Adam adalah seorang nabi?

Percayakah saudara bahwa anak Adam mati karena anak itu bernama Abdullah dan 'Ubaidullah? Sedang yang menasihati itu iblis pula?

Penafsir Ibnu Katsir telah membantah ayat ini.

Ini pun adalah satu dongeng israiliyat yang dimasukkan orang ke dalam tafsir.

Sanad-sanad dan perawi haditsnya mendapat jarah (cacat) dari ahli-ahli hadits.

Dan, dari sini pulalah sumber dari satu kebiasaan orang awam menukar nama anak, sebentar tukar, sebentar tukar karena dia sakit-sakitan saja.

Katanya, nama yang dahulu itu terlalu berat buat dia.

Sehingga karena kurang hati-hati sebuah ayat yang mencela syirik, telah menjadi sebab buat orang berbuat syirik.

Oleh sebab itu, di antara banyak penafsir, yang lebih cocok dengan maksud ayat ialah penafsiran dari Imam Hasan al-Bishri, yang mengatakan bahwa ayat 189 dan 190 ini, terutama ayat 190 bukanlah untuk menceritakan Nabi Adam dan Hawa menuruti nasihat iblis, melainkan pelajaran bagi kaum yang beriman supaya jangan berbuat syirik setelah anaknya lahir.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 633-634, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PANGGILAN ALLAH UNTUK HIDUP

"Wahai orang-orang yang beriman! Sambutlah panggilan Allah dan Rasul-Nya apabila kamu telah dipanggil-Nya kepada apa yang menghidupkan kamu." (pangkal ayat 24).

Di ayat yang terdahulu tadi kita disuruh taat, maka di ayat ini kita disuruh menyambut seruan, menampung segala perintah.

Menyambut adalah lebih aktif dari taat.

Sehingga bukan semata menurut saja, bahkan bergiat dan bangun, berusaha sendiri menjemput perintah itu dan menjunjung tingginya. Oleh sebab itu bukan Allah saja yang mendekati kita, kitalah yang lebih giat lagi hendaknya mendekati Dia.

Sebab, segala perintah yang diturunkan Allah kepada kita ialah untuk membuat supaya kita hidup.

Yaitu hidup yang sesuai dengan kita sebagai manusia.

Binatang merayap pun hidup, tumbuh-tumbuhan pun hidup, ikan di laut pun hidup. Akan tetapi, hidup untuk manusia bukanlah hidup semacam pada binatang, tumbuh-tumbuhan dan ikan di laut itu.

Hidup manusia ialah hidup sejati karena makrifat, karena mengenal siapa Tuhannya.

Hidup manusia ialah karena adanya ilmu; bijaksana, keutamaan, budi luhur, amal shalih dan jasa.

Kalau itu telah tercapai, barulah berarti hidup sebagai manusia.

Dan, inilah yang diserukan oleh Allah dan Rasul-Nya kepada kita.

Hidup, tetapi tidak mempunyai inti-inti yang kita sebutkan ini, sama saja dengan mati walaupun napas masih turun naik.

Bahkan kadang-kadang ilmu, hikmah kebijaksanaan, keutamaan, keluhuran budi yang bersumber dari ingat akan Allah itu, meminta diperjuangkan dan dijihadkan.

Kadang-kadang cerailah nyawa dengan badan karena memerhatikan nilai hidup yang demikian.

Biar mati karena mempertahankan hakikat hidup.

Kalau sudah bersedia mati karena mempertahankan nilai hakikat hidup ini, barulah tercapai hidup yang sejati.

Kadang-kadang ada orang yang berusia sampai 100 Tahun, tetapi hidupnya kosong, sama dengan mati.

Maka, setelah dia mati, tidaklah ada artinya, sebab dia tidak pernah menjumpai hidup.

Sebaliknya ada orang yang tewas karena mempertahankan nilai hidup maka hiduplah dia berpuluh bahkan beratus tahun, walaupun badannya telah hancur di dalam tanah.

Oleh sebab itu, ayat ini memberikan ketegasan, kalau kamu mau hidup bernilai dan berarti, sambutlah seruan Allah dan Rasul.

Kalau ini telah kamu sambut, berartilah hidupmu di dunia ini dan berarti sampai di akhirat kelak.

Kalau tidak kamu sambut, kosonglah hidupmu, sebab hidupmu itu tidak mempunyai inti cita.

Sahabat Rasulullah saw., Urwah bin Zubair, adik dari Abdullah bin Zubair, menurut riwayat dari Ibnul Ishaq, menyatakan tafsir dari ayat seruan untuk yang menghidupkan kamu itu ialah seruan tampil ke medan perang, berjihad mempertahankan dan menegakkan agama Allah.

Karena orang yang berani berperanglah yang dijamin nilai hidupnya.

Yang takut berperang akan mati dalam ketakutan.

Dengan peperangan suatu umat akan dimuliakan sesudah mereka hina di masa lampau.

Dengan berperang mereka akan dikuatkan sesudah lemah, musuh pun berpikir dan menimbang-nimbang dahulu sebelum melakukan penyerbuannya.

Jihad itu dinamai juga hidup.

Karena apabila musuh sudah lemah, terjaminlah hidup umat yang gagah menghadapi maut itu; dan apabila orang tewas di medan jihad, pastilah dia mendapat hidup yang kekal di sisi Allah.

Lalu, datanglah sambungan ayat,

"Dan ketahuilah bahwasanya Allah akan menghalangi di antara seseorang dengan hatinya."

Banyak kejadian pada pengalaman manusia yang membuktikan bahwa bukan kehendak hati kita yang menentukan wajah hidup kita.

Fudhail bin Iyadh, seorang pemuda parewa (bergajul) menjalar (ngelayap) malam hari mengintip-intip istri orang, sedang suami orang tidak di rumah. Dipanjatnya dinding rumah orang karena mendengar suara seorang perempuan bernyanyi. Setelah ia sampai ke muka kamar perempuan itu, tiba-tiba jelas didengarnya bahwa perempuan itu sedang menyanyikan Al-Qur'an dengan suara khusyu. Ayat-ayat yang dibacanya, tiba-tiba mengenai sudut hati Fudhail bin Iyadh:

"Belum jugakah datang masanya bagi orang-orang yang beriman, bahwa akan khusyu hatinya karena mengingat Allah dan mengingat apa yang turun dari kebenaran: bukan berada sebagai orang-orang yang diberi kitab sebelumnya, maka berpanjanganlah masa, lalu kesatlah hati mereka dan kebanyakan dari mereka jadi fasik." (al-Hadiid: 16).

Cobalah renungkan, mengapa kebetulan ayat itu yang dibaca oleh perempuan itu, padahal sedikit pun dia tidak tahu bahwa kecantikannya sedang diintip oleh laki-laki yang bukan mahramnya.

Cobalah, pikirkan, mengapa kebetulan perempuan yang sedang membaca Al-Qur'an yang terintip oleh Fudhail. Kenapa dia tidak pergi ke tempat lain, seluas itu kota Baghdad.

Hati Fudhail telah dibatas Allah dengan dirinya.

Hati Fudhail yang tadinya hendak bermaksud mengganggu istri orang, dibatas oleh Allah dengan dirinya.

Pembatasnya ialah ayat yang dibaca oleh perempuan itu.

Si perempuan tidak sengaja membaca ayat itu untuk menundukkan si Fudhail. Dan, si Fudhail tidak sengaja pula memanjat dinding karena hendak mendengar ayat itu. Lain yang disengaja dan lain yang terjadi.

Ayat itu telah memukul hati Fudhail.

Dia pun meluncur turun untuk akhirnya menempuh hidup baru yang berlain sama sekali dari maksudnya semula.

Karena pukulan ayat itu, Fudhail berubah sama sekali.

Dia menjadi seorang besar Islam yang tercatat namanya dalam sejarah, sebagai salah seorang pelopor daripada hidup Mukmin, hidup yang shalih, taqu dan zahid.

Sehingga Khalifah Harun ar-Rasyid, datang sendiri ke rumahnya meminta fatwa beliau.

Sebaliknya juga pernah kejadian, seseorang mengaji dengan tekun ilmu-ilmu agama. Diharapkan dia akan menjadi seorang alim ikutan umat, tempat bertanya masalah-masalah yang sulit.

Tiba-tiba dia pindah ke kota.

Karena sempitnya lapangan hidup, dia mulai mengubah lapangan hidup.

Dari mengaji kepada berniaga. Atau dari mengaji kepada kepegawaian dan berbagai lagi perumpamaan yang lain.

Perkembangan ilmu-ilmu jiwa modern kerap kali bertemu dengan bukti-bukti bahwa satu benturan kecil saja pada jiwa manusia, bisa mengubah jalan hidup itu,

Dari buruk kepada baik, atau dari baik kepada buruk.

Haji Agus Salim, ahli pikir genius terkenal, pemimpin kaum Muslimin dan cendekiawan yang berlian, anak seorang hoof-jaksa (Jaksa Tinggi), karena satu halangan tidak jadi meneruskan belajar ke negeri Belanda, sehingga terlantarlah jalan kesarjanaan yang hendak ditempuh; padahal usianya masih muda.

Maka, kalau tidaklah rencana kehendak hati yang terbentur di tengah jalan itu, mungkin sekali sejarah Islam di Indonesia tidak akan mempunyai orang besar yang bernama Haji Agus Salim.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 686-689, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Teringatlah saya, pada Tahun 1951, ketika Muhammad Natsir menjadi Perdana Menteri Republik Indonesia, di tengah hebatnya percaturan politik, Natsir mendapat cobaan.

Putranya laki-laki tenggelam saat sedang berenang di salah satu permandian di Jakarta, sehingga meninggal dunia.

Di antara yang datang takziyah Almarhum Haji Agus Salim, filsuf tua itu dalam bersalam menyatakan turut berduka cita telah berkata kepada Natsir,

"Tak usah saya terangkan lagi. Bersyukurlah kepada Allah, karena anak ini meninggal di saat engkau masih merasa bangga dengan dia."

Saya tafakkur mendengarkan ucapan orang tua itu. Dan telah berlalu lebih 20 Tahun sampai sekarang, kian saya renungkan maksud perkataan filsuf besar itu.

Memang anak sebelum dia dewasa masih pasti dapat kita banggakan.

Nanti kalau dia telah dewasa dan telah bertindak sendiri dalam hidupnya, tidaklah kurang orang tua yang "makan hati berulam jantung" melihat perangai anak. Lain yang dicitakan, lain yang tumbuh dalam diri anak itu. Kadang-kadang bertolak belakang.

Di dalam ayat ini disebut wa waalidin, yang berarti demi seorang ayah. Kita cenderung menurut kepada tafsiran Ibnu Jarir, bahwa sumpah peringatan Allah itu bukan terkhusus kepada Nabi Adam atau Nabi Ibrahim. Sebab kata wadlidin adalah nakirah, yang berarti umum, tidak ditentukan kepada orang tertentu; bahkan mencakup ayah mana saja. Sambungannya wa maa walada, yang berarti: dan apa yang dia peranakkan.

Pikirkanlah, sejak dari dalam rahim ibu kepayahan itu sudah dimulai. Membalik-balikkan badan mencari jalan keluar sampai kepala tersumbur dari pintu rahim. Setelah lahir dengan kepayahan, yang mula terdengar adalah tangis karena tak tahan dingin saat pertama bertemu dengan udara luar; setelah sebelumnya berbulan lamanya merasa panas dalam rahim ibu. Setelah itu mulailah pusat dikerat, lalu menangis kesakitan. Mulailah menggerak-gerakan tangan dan kaki; mulai menangis minta menyusu, menangis kedinginan karena telah basah oleh kencing, menangis karena telah berak, menangis minta digendong minta dibawa. Berangsur badan besar, berangsur besar kepayahan. Setelah ibu-bapak memandang telah kuat, mulailah merasakan sakit dikhitan. Setelah selesai dikhitan, mulailah dimasukkan ke sekolah. Sejak dari kelas 1 sekolah rendah sampai sekolah tinggi, bertemu kesusahan menghafal, kepayahan mengulang pelajaran, ketakutan mendapat angka "merah". Dan kalau maju sekolah, orang tua susah dan melarat, susah payah mencari akal bagaimana melanjutkan sekolah. Dan setelah tamat sekolah yang tinggi, menggondol titel dan gelar; Sarjana Hukum, Insinyur, Doktorandus; timbul lagi kesusahpayahan mencari pekerjaan.

Dan setelah sampai berumah tangga, timbul lagi kesusahan menafkahi istri, kemudian mendidik anak, timbul lagi kesusahpayahan lantaran umur yang lanjut.

Setelah istri dan anak berdiri berkeliling. timbul lagi kesusahan menyediakan rumah yang layak sebagai tempat diam, kendaraan yang layak untuk perhubungan. Setelah rumah tempat tinggal siap dan kendaraan telah sedia, timbul lagi kesusahpayahan memperjodohkan anak-anak. Yang perempuan supaya bersuami, yang laki-laki supaya beristri.

Setelah semuanya itu selesai; rumah sudah ada, anak-anak sudah kawin, yang laki-laki telah keluar bersama istrinya, yang perempuan telah keluar dibawa suaminya, tinggallah awak telah tua dalam kesepian ditinggalkan anak-cucu.

Setelah datang usia tua, segala penat, payah, lelah mulailah terasa. Kaki mulai penat, tangan mulai pegal, mata mulai kabur, gigi mulai goyah dan gugur, uban mulai bertabur, telinga mulai pekak, kepala sakit-sakit dan pening; akhirnya ditutup semuanya dengan mati.

Oleh sebab itu maka kepayahan dan kesusahan adalah bagian dari hidup, dalam itulah suratan takdir Allah. Sehingga walau pekerjaan baik atau pekerjaan buruk,semuanya ada kepayahan.

Sehingga memberikan nafkah batin kepada istri pun meminta tenaga dan kepayahan!

Oleh sebab itu sia-sialah, semata-mata orang yang menghabiskan usia, hanya memburu dunia, sementara untuk itu dia mengalami kepayahan juga; kalau pada akhirnya semua kepayahan itu tidak membawa bahagia dia akhirat.

At-Tirmidzi menyimpulkan, usia habis dalam kepayahan itu dalam seuntai kata,

"Susah payah, tidak memerhatikan apa yang perlu, menghabiskan masa pada yang tidak perlu."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 212-213, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan tidaklah engkau akan membuat mendengar orang yang dalam kubur." (ujung ayat 22).

Dalam pergaulan hidup kita sehari-hari, terutama dakwah kepada manusia dapatlah kita lihat, bahwa kita manusia tidaklah berkuasa apa-apa buat memberi orang petunjuk kepada jalan kebenaran.

Keinsafan orang itu memang bergantung kepada karunia Allah belaka.

Kadang-kadang orang yang disangka akan lekas menerima seruan dakwah menjadi penantang sama sekali, padahal kita menyangka melihat kepada kecerdasannya, ketinggian ilmunya dan banyak pengalamannya bahwa dialah yang akan terlebih dahulu menerima.

Tiba-tiba yang menerima dakwah itu orang lain yang tidak disangka saja.

Di ujung ayat dinyatakan kepada Nabi saw. bahwa beliau tidaklah akan sanggup memberikan pengajaran kepada orang yang telah terbenam dalam kubur.

Kalimat ini hendaklah kita pahamkan dengan saksama.

Orang yang telah terbenam dalam kubur yang dimaksud di sini, bahwa dia telah terkubur ke dalam kebodohannya, kepada pengaruh hawa nafsunya, kepada masyarakat kolot yang menjadi dinding tebal di kiri kanannya, sehingga apa pun seruan tidak didengarnya, atau tidak dipedulikannya.

Maka tidaklah ayat ini dapat dijadikan alasan buat membatalkan keyakinan bahwa orang yang telah mati dan telah dimasukkan ke dalam kubur, tidak akan dapat lagi mendengar seruan kita yang masih hidup di dunia ini.

Sebab setelah Peperangan Badar selesai dan tujuh puluh orang kafir Quraisy, termasuk pemuka-pemukanya telah tewas di Peperangan Badar dikalahkan oleh tentara Islam.

Setelah orang-orang kafir itu dikuburkan, lalu Rasulullah panggil nama pemuka-pemuka Quraisy itu satu demi satu,

"Hai si anu anak si anu, si anu anak si anu! Sudahkah kalian temui apa yang dijanjikan Allah SWT buat kalian? Kami ini sudah mencapai apa yang dijanjikan Allah SWT buat kami."

Lalu Umar bin Khaththab bertanya,

"Apakah seruan Rasulullah itu mereka dengar? Padahal mereka telah jadi bangkai yang busuk di balik kubur?"

Rasulullah saw. menjawab,

"Bahkan mereka dengar panggilanku itu baik sekali, mungkin lebih terang pendengaran mereka dari kalian sendiri. Cuma mereka tidak dapat menjawab lagi."

Dan Nabi saw. pun mengajarkan kepada kita bacaan kalau kita ziarah kepada kubur, dengan permulaan ucapan "Assalamu'alaikum".

Ada orang yang kurang selidik tentang hadits-hadits yang berpendirian bahwa menalqinkan mayat yang telah dikuburkan adalah pekerjaan percuma saja, sebab orang yang telah mati dan dalam kubur tidak akan mendengar lagi seruan orang yang hidup, dengan mengambil alasan pada ayat 22 surah Faathir ini; maka pengambilan alasan itu adalah salah.

Kalau ada setengah ulama tidak menguatkan amalan talqin mayat, bukanlah karena dilarang oleh ayat ini, melainkan karena mereka memandang hadits yang mengenai talqin itu kurang kuat sanadnya, atau kurang kuat perawinya.

Bukan karena dilarang oleh ayat 22 surah Faathir ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 365-366, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Celupan Allah, dan siapakah lagi yang lebih bagus celupannya daripada Allah." (pangkal ayat 138).

Shibghatallahi 'celupan Allah'! Berkata al-Akhfasy dan lain-lain, "Celupan Allah artinya Agama Allah!"

Menurut satu riwayat dari Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan celupan Allah ialah agama Allah. Menurut keterangan yang disampaikan oleh Abdullah bin Humaid dan Ibnu Jarir dari Mujahid bahwa maksud "celupan Allah" itu ialah fitrah Allah atau kemurnian Allah yang telah difitrahkan manusia atasnya.

Menurut satu penafsiran pula dari Qatadah, yang dirawikan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir, berkata Qatadah, "Orang Yahudi mencelup anak-anaknya dengan celupan keyahudian. Orang Nasrani pun mencelup anak-anaknya dengan celupan kenasranian, tetapi sesungguhnya celupan yang asli daripada Allah ialah Islam, dan tidak ada satu celupan pun yang lebih bagus dan lebih bersih daripada celupan Islam. Sebab dialah agama Allah yang telah diutus dengan dia Nuh dan nabi-nabi yang datang sesudahnya."

Dari keterangan tafsir-tafsir sahabat dan tabi'in tentang shibghah atau celupan ini, dapatlah kita pahami ke mana maksudnya di sini.

Allah telah meninggalkan dua celupan, yang keduanya asli dan tidak dapat ditandingi dan dibandingi.

Yang pertama ialah celupan warna pada alam, yang dapat dilihat dengan mata.

Ini dikuatkan oleh sebuah hadits yang dirawikan oleh Ibnu Mardawaihi dan Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah saw. pernah menceritakan bahwa Bani Israil pernah bertanya kepada Musa a.s. apakah Allah itu mencelup juga? Mendengar pertanyaan demikian, marahlah Nabi Musa kepada mereka dan disuruhnya mereka supaya bertakwa kepada Allah, jangan sampai bertanya demikian rupa. Tetapi tidak berapa lama kemudian datanglah seruan Allah kepada Musa, "Bertanyakah mereka kepada engkau adakah Allahmu itu mencelupi alam ini?" Menjawab Nabi Musa, "Benar, ya Tuhanku. Mereka tanyakan demikian kepadaku." Maka berfirmanlah Allah kepada Musa, "Katakanlah kepada mereka itu bahwa memang Allah memberikan celupan warna, semuanya adalah celupan." Menurut hadits yang dirawikan Ibnu Abbas itu, turunlah ayat ini kepada Nabi Muhammad saw. menyatakan celupan Allah bahwa tidak ada yang lain yang sanggup mencelup seindah celupan Allah.

Dari kedua macam tafsir ini dapatlah kita memahami bahwa keduanya dapat diterima.

Pertama ialah bahwa alam ini dicelup oleh Allah sendiri, dengan warna-warni yang merah, yang hitam, yang jingga, ungu, lembayung, merah jambu, merah muda, hijau, hijau laut, biru, biru laut, putih, kecubung, dan sebagainya. Sebagaimana yang disebutkan Allah kepada Nabi Musa seketika Bani Israil bertanya itu.

Dengan memegang tafsiran ini, ayat ini dapat kita pergunakan buat merenungkan keindahan warna di dalam alam sekeliling kita ini.

Warna asli dari Allah, tiap pagi dan tiap petang bertukar celupannya, yang kelihatan kemarin tidak kelihatan lagi hari ini. Dan besok lain lagi. Berjuta-juta hari telah berlalu dan berjuta pula hari akan datang sampai datang kiamat kelak.

Adalah kita bosan melibatkan matahari ketika terbit dan kemudian ketika terbenam? Bagaimana warna langit ketika itu? Adakah seorang yang sanggup menirunya? Gambar lukisan indah buatan Rembrandt, Rafael, Leonardo dan Vinci, dan lain-lain memang mengagumkan.

Apakah sebabnya dikatakan mengagumkan? Ialah karena mereka sebagai ahli seni yang besar telah mendekati hakikat yang dijadikan Tuhan.

Celupan Allah atas alam ini adalah keindahan yang asli, yang di dalam filsafat disebut estetika.

Maka manusia yang sanggup mendekati keindahan yang asli itu sekali lagi kita katakan: mendekati!

Manusia yang sanggup mendekati keaslian itu dalam lukisannya, dalam campuran warnanya, dinamai seniman.

Bertambah pandai mereka mendekati, bertambah agunglah mereka dalam pandangan para peminat seni.

Sebab itu, kebenaran seni bukanlah keasliannya, melainkan pula kesanggupannya mendekati keaslian.

Begitu uraian kita tentang tafsir celupan itu, yang pertama, yaitu celupan atau campuran warna ciptaan Allah yang tidak dapat diatasi oleh siapa pun dalam alam ini.

Sekarang kita masuk kepada tafsiran yang kedua.

Penafsiran yang kedua sebagai dari tabi'in yang ternama tadi, yaitu Mujahid, arti celupan ialah fitrah, yang dapat kita artikan warna asli atau celupan asli dari jiwa manusia.

Dan menurut penafsiran Qatadah tadi, dikatakan bahwasanya keyahudian atau kenasranian adalah celupan buatan manusia yang dicelupkan oleh ayah kepada anak atau celupan pendeta, yang sewaktu-waktu pasti luntur.

Maka Islam yang berarti penyerahan diri yang sungguh-sungguh kepada Zat Allah Yang Maha Esa adalah celupan asli pada akal manusia. Sama terjadinya dengan akal itu sendiri.

Sebab itu, dapatlah dipahami suatu hadits shahih yang terkenal bahwasanya manusia seluruhnya ini dilahirkan dalam fitrah, artinya dalam Islam.

Cuma pendidikan ayah bundanyalah yang membuat anak jadi Yahudi, jadi Nasrani, atau jadi Majusi.

Teringat lagi kita pada satu tafsir yang lain dari Ibnu Abbas, menurut yang diriwayatkan oleh Ibnu an-Najjar di dalam Tarikh Baghdad bahwa arti celupan ialah putih. Artinya masih putih bersih jiwa itu dalam fitrahnya, sebelum dihinggapi oleh lain warna paham.

Sebab itu, dapatlah kita simpulkan kembali ayat ini kepada ayat-ayat yang sebelumnya, yaitu bahwasanya agama Hanif ajaran Ibrahim itu adalah celupan asli Allah, yaitu fitrah manusia, itulah tauhid yang sejati.

Celupan manusia akan luntur karena pergiliran zaman. Dia tidak akan tahan kena cahaya matahari kebenaran.

Adapun aqidah Islamiyah yang dipusatkan daripada Nabi Ibrahim a.s. tidaklah lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan.

Maka, agama Hanif itulah celupan Allah yang sejati, pakaian sejak mulai membuka mata menghadapi hidup sampai menutup mata meninggalkan dunia.

Sebab itu, tersebutlah di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad dari Umamah, berkata dia bahwa berkata Rasulullah saw.,

"Aku diutus dengan agama Hanif yang sangat berlapang dada (toleransi, pemaaf)."

Demikian juga menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad dan Bukhari dan Ibnu Mundzir dari Ibnu Abbas, berkata Ibnu Abbas, "Orang bertanya kepada beliau, 'Ya, Rasulullah! Manakah agama yang lebih disukai oleh Allah?' Beliau menjawab, 'Islam agama hanifiyah as-samha', yaitu agama yang hanif dan berlapang dada."

Bertambah maju ilmu pengetahuan manusia di dalam menyelidiki alam ini dari segala bidangnya, bertambah dekatlah mereka sampai kepada kesimpulan akan keesaan Allah dan bertambah menyerahlah mereka kepada Allah. (Hanifan Musliman) meskipun mereka belum mendaftarkan diri dengan resmi masuk Islam. Sebab agama Hanif itu adalah celupan Allah sejati, maka siapa pun di antara makhluk Allah tidak ada yang akan dapat mengatasi celupan Allah itu,

"Dan kami, kepada-Nya-lah kami menghambakan diri." (ujung ayat 138).

Kalau kita ambil tafsiran yang pertama tadi, yaitu bahwa celupan Allah atas alam, dengan berbagai ragam warna, tidaklah dapat diatasi oleh pencelup yang lain, atau keindahan alam karena keindahan Allah. Kita sampai kepada inti sari agama dengan melihat benda yang nyata di sekeliling kita. Kita mengakui beribadah kepada Allah. Di sini, kita mendapat Allah di dalam seni.

Kalau kita ambil penafsiran kedua bahwa celupan Allah yang asli itu ialah keadaan fitrah manusia, jiwa murni manusia, belum dicampuri oleh celupan dan lukisan warna manusia, yang bisa rusak karena hujan dan panas, sampailah kita kepada hakikat hidup, artinya sampailah kepada Allah dari segi keruhanian. Di sini, kita mendapat Allah dari segi filsafat. Sebab campuran warna yang lahir telah menimbulkan kesan kepada campuran warna yang batin.

Di samping kedua tafsiran tadi, shibghah dengan makna warna-warni yang diciptakan Allah di dalam alam, yang menimbulkan minat kesenian, dan shibghah dengan arti fitrah, celupan asli jiwa manusia, bertemu lagi keterangan dari setengah ahli tafsir. Kata mereka, asalnya maka timbul kata celupan ini ialah karena orang Nasrani membaptiskan putranya dengan air, yang mereka namai ma'mudiyah atau baptisan atau di-doop, atau dipermandikan, barulah mereka berkata "shibghatallah" celupan Allah, artinya Islam, inilah permandian yang betul.

Bila kita renungkan penafsiran yang ketiga ini, dapatlah kita menarik garis perbedaan paham tentang kesucian jiwa di antara Islam dan Nasrani.

Di dalam Islam, anak lahir ke dunia dalam keadaan suci, tidak ada dosa dan bersih (fitrah). Setelah datang ke dalam lingkungan orang tuanya, barulah anak itu mempunyai warna yang tidak asli. Oleh sebab itu, hendaklah pendidikan orang tua memelihara dan menumbuhkan kemurnian anak itu di dalam hidupnya, agar tidak terlepas daripada beribadah kepada Allah.

Sedang bagi agama Nasrani adalah sebaliknya; anak lahir ke dunia adalah dalam dosa, yaitu dosa waris dari Nabi Adam. Setelah dipermandian dengan air serani itu, barulah dia bersih dari dosa. Karena dengan permandian itu berarti dia telah diberkati oleh Yesus Kristus yang dianggap sebagai Tuhan yang menebus dosa manusia dengan mati di kayu palang.

Setelah mengakui celupan Allah, yang satu kuasa pun tidak sanggup menyamai, usah pun melebihi celupan Allah, seorang yang beriman bertambah insaf akan kebesaran Allah. Keinsafan itu dibuktikannya dengan berbuat baik. Beribadah mempertahankan diri. Sebab itu, jelaslah bahwa peribadatan timbul sesudah berpikir.

Bagaimana orang yang telah mencoba pendirian demikian, hanya Allah tempat mereka berabdi, menyembah dan memuja, akan dapat diajak turun kembali pergi menyembah sesama makhluk?

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 257-260, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KALAU IMAN TAK ADA

Pada kedua ayat ini digambarkan jiwa manusia bila iman tidak ada.

"Maka adapun manusia itu, apabila diberi cobaan dia oleh Tuhannya, yaitu diberi-Nya dia kemuliaan dan diberi-Nya dia nikmat." (pangkal ayat 15).

Diberi dia kekayaan atau pangkat tinggi, disegani orang dan mendapat kedudukan yang tertonjol dalam masyarakat; yang di dalam ayat itu disebutkan bahwa semuanya itu adalah cobaan.

"Maka berkatalah dia, "Tuhanku telah memuliakan daku."" (ujung ayat 15).

Mulailah dia mendabik dada, membanggakan diri, bahwa Allah telah memuliakan dia. Dia masih menyebut nama Allah, tetapi bukan dari rasa iman. Sehingga kalau kiranya datang orang minta tolong kepadanya, orang itu akan diusirnya, karena merasa bahwa dirinya telah diistimewakan Allah.

"Dan apabila Tuhannya memberikan cobaan kepadanya, yaitu dijangkakan-Nya rezekinya." (pangkal ayat 16).

Dijangkakan, diagakkan, atau dibatasi; dapat hanya sekadar penahan jangan mati saja. Kehidupan miskin, dapat sekadar akan dimakan, dan itu pun payah.

"Maka dia berkata, Tuhanku telah menghinakan daku."" (ujung ayat 16).

Di dalam ayat ini bertemu sekali lagi, bahwa kemiskinan itu pun cobaan Allah juga.

Kaya cobaan, miskin pun cobaan.

Di dalam surah al-Anbiyaa', ayat 35 ada tersebut,

"Tiap-tiap diri akan merasakan mati, dan Kami berikan kepada kamu keburukan dan kebaikan sebagai ujian; dan kepada Kamilah kamu semua akan kembali." (al-Anbiyaa': 35).

Dalam ayat-ayat ini diuraikan penyakit jiwa manusia bilamana tidak ada iman.

Yang mereka pentingkan hanya diri sendiri.

Dia tidak mempunyai rasa belas kasihan,

"Tidak sekali-kali! Bahkan kamu tidak memuliakan anak yatim." (ayat 17).

"Tidak sekali-kali", maksudnya ialah bantahan pembelaan diri bagi sebagian orang; bahwa katanya kalau mereka kaya akan banyak berbuat baik; kalau miskin akan sabar menderita.

Sama sekali itu adalah omong kosong.

Sebab sifat-sifat yang baik, kelakuan yang terpuji, tidaklah akan subur kalau iman tidak ada.

Kalau dia telah kaya, dia tidak lagi akan merasa belas kasihan kepada anak yatim; sebab dia hanya memikirkan dirinya, tidak memikirkan orang lain.

Sebab dia tidak pernah memikirkan bagaimana kalau dia sendiri mati, dan anaknya tinggal kecil-kecil.

"Dan kamu tidak ajak-mengajak atas memberi makan orang miskin." (ayat 18).

Di dalam dua ayat ini bertemu dua kalimat penting, yang timbul dari hasil iman.

Pertama ialah memuliakan anak yatim.

Memuliakan adalah lawan dari menghinakan, yaitu menganggapnya rendah, hanya separuh manusia, sebab tidak ada lagi orang yang mengasuhnya.

Atau diasuh juga anak yatim itu tetapi direndahkan, dipandang seperti budak belian.

Ini bukanlah perangai orang Mukmin.

Kedua ialah kalimat ajak-mengajak.

Dalam kalimat ini memikul bersama, bukan memikul sendiri.

"Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing."

Seorang ulama besar, Ibnu Hazm al-Andalusi pernah menyatakan, jika terdapat seseorang mati karena kelaparan pada satu Qatyah (kampung) maka yang bertanggung jawab menanggung dosa ialah orang sekampung itu. Dalam hukum Islam seluruh isi kampung diwajibkan membayar diyat atas kematian si miskin itu. Karena memberi makan fakir-miskin adalah kewajiban bersama. Si miskin pun berhak menerima bagian dari zakat.

"Dan kamu makan harta warisan orang; makan sampai licin." (ayat 19).

"Dan kamu suka sekali akan harta, kesukaan sampai keji." (ayat 20).

Di mana saja pintunya, akan kamu hantam pintu itu sampai terbuka, kalau di dalamnya ada harta.

Halal dan haram tak peduli.

Menipu dan mengecoh tak dihitung.

Menjual negeri dan bangsa pun kamu mau, asal dapat duit.

Menjual rahasia negara kamu tidak keberatan, asal uang masuk.

Malah membuka perusahaan yang penuh dengan dosa seperti perusahaan pelacuran perempuan, membuka rumah perjudian, menjual barang-barang yang merusak budi-pekerti manusia, bahkan apa saja, kamu tidak keberatan asal hartamu bertambah.

Inilah celakanya kalau hidup tidak ada tuntunan iman.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 202-204, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KELUARGA BERENCANA

Sehubungan dengan ini teringatlah kita pada gagasan baru dari dunia modern, tentang "Keluarga Berencana".

Yaitu usaha menjarangkan kelahiran anak atau usaha memperkecil jumlah anak karena takut akan miskin.

Pada zaman modern ini timbul gagasan Keluarga Berencana, yang pada mulanya atas alasan yang lahirnya ialah karena kecemasan kalau-kalau imbangan di antara penduduk dunia atau penduduk satu negeri tidak seimbang dengan persediaan makanan. Kemudian, pemerintah suatu negeri yang merasa tidak berdaya memberi makanan yang cukup itu berusaha mempropagandakan "Keluarga Berencana" atau kelahiran manusia yang dibatasi.

Untuk itu, diadakanlah obat-obat pencegah hamil, ada yang berupa pil atau kapsul dan ada yang berupa operasi kecil pada alat kelamin, dan ada yang berupa suntikan.

Setelah Keluarga Berencana ini populer di seluruh dunia, terutama sekali dipropagandakan dalam negara-negara yang ekonominya lemah maka timbullah gejala-gejala lain yang tidak diingini, sebab perhitungan ekonomi atau perhitungan bertambah besarnya jumlah penduduk, tidak seimbang dengan perbentengan ruhani.

Dipergunakanlah obat pencegah hamil untuk Keluarga Berencana itu untuk menahan beranak bagi hubungan di luar nikah.

Di dalam kota-kota besar terdapat gadis-gadis dan pemuda-pemuda yang belum menikah menyimpan pil-pil anti hamil, supaya kalau mereka berzina jangan sampai mengandung.

Perempuan-perempuan yang menuruti hidup modern merasa bahwa anak-anak itu sangat menghalangi langkahnya untuk bergerak ke mana-mana untuk bercengkerama, mendatangi kawan, bergaul bebas, keluar pelesir.

Dengan demikian, kian lama kian jelas bahwa tujuan pertama dari Keluarga Berencana tidak tercapai, tetapi Keluarga Berencana diteruskan juga, bukan lagi karena tekanan ekonomi, tetapi untuk "menutup malu" yang telah tercoreng pada keningnya kehidupan modern.

Pernahkah terpikirkan oleh kita bahwa yang akan membeli alat-alat itu bukan saja orang-orang yang betul-betul membutuhkannya, tetapi juga oleh orang yang tidak baik, yang ingin melampiaskan hawa nafsunya, tanpa diketahui oleh umum apa yang pernah dilakukannya.

Remajawan-remajawan tunas bangsa yang kita harapkan untuk membina negara adil, makmur, dan bahagia pun akan dapat pula terpengaruh orang-orang yang tidak baik itu.

Bukankah kita dengan ini memberi kesempatan dan jalan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang merusak moral kepada anak-anak muda dengan membiarkan beredar luasnya alat-alat dan obat-obatan tersebut?

Dengan diperkenalkannya obat-obatan dan alat-alat pencegah hamil secara meluas itu, orang-orang yang kurang kuat imannya atau orang-orang yang kurang tinggi moralnya akan dengan mudah dapat berbuat apa yang diinginkannya karena untuk menutupi rahasianya sudah ada dan mungkin didapatkan dengan mudah.

Dengan demikian kemerosotan moral akan bertambah hebat, apalagi kepercayaan dan keyakinan beragama sedang terlihat menipis dan tidak mampu menjadi pengontrol dan pengekang hawa nafsu yang selalu mengejar-ngejar itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 321, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SUMPAH PAKSAAN

Suatu sumpah yang dilakukan dengan paksaan, tidak berlaku.

Allah berfirman di dalam Al-Qur'an,

"... Kecuali orang yang dipaksa kafir, padahal hatinya tetap tenang dalam beriman ...." (an-Nahl: 106).

Tersebut di dalam kitab-kitab tafsir yang muktabar bahwa sebab turun ayat ini adalah berkenaan dengan diri seorang sahabat Rasulullah saw. bernama Ammar bin Yasir.

Setelah beliau mendengar keterangan tentang Islam dari Rasulullah sendiri, beliau pun masuk Islam.

Oleh karena itu, sangatlah murka kaum musyrikin terhadap diri beliau sehingga beliau bersama ibunya ditangkap dan disiksa.

Ibunya sendiri (Ummu Yasir) disiksa sampai mati; Abu Jahal menusukkan pucuk kurma ke kemaluannya lalu tembus sampai ke lehernya dan mati!

Sedang Yasir sendiri dipaksa melepaskan pengakuan bahwa Allah adalah satu.

Dipaksa mengaku kembali bahwa berhala-berhala itu adalah tuhan juga.

Kalau ia tidak mengaku, ia juga akan dibunuh seperti ibunya.

Karena tidak tahan menderita, ia pun mengaku.

Baru ia dilepaskan.

Setelah ia dilepaskan, lekas-lekas ia menemui Rasulullah dan menceritakan paksaan terhadap dirinya sehingga ia terpaksa mengakui itu.

Lalu Rasulullah bertanya,

"Bagaimana sikap hatimu?"

Ammar menjawab,

"Salam hatiku, aku tetap mempercayai tidak ada Tuhan, melainkan Allah dan Muhammad Rasulullah!"

Rasulullah saw. menjawab,

"Kalau mereka ulang lagi (memaksa), ulang lagi (menjawab begitu)."

Dari jawaban Rasulullah saw. itu, diambillah kesimpulan oleh ulama-ulama ahli fiqih:

"Seorang yang dipaksa jadi kafir, tidaklah langsung jadi kafir. Orang yang dipaksa jadi Islam, tidaklah jadi Islam. Orang yang dipaksa menalak istrinya, tidaklah jatuh talaknya."

"Diangkatkan (hukum) dari umatku karena dipaksa." (HR Ibnu Majah, Ibnu Hibban, ad-Daruquthni, ath-Thabrani, al-Hakim; dan an-Nawawi menshahihkannya).

Sahabat-sahabat Rasulullah yang mempertahankan pendapat ini adalah Umar bin Khaththab, anak beliau Abdullah bin Umar, Ali bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Abbas.

Imam-imam madzhab yang berpendapat bahwa sumpah demikian pun tidak berlaku adalah Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan Daud Zhahir.

Imam Malik sendiri pun telah jadi korban pula dari pendapat beliau ini.

Sebagai Imam Darul Hijrah (Almadinatul Munawwarah), pernah orang meminta fatwa kepada beliau, yang hampir sama bunyinya dengan pertanyaan Saudara St. P. Maninjau ini.

Orang pernah dipaksa dengan mengucapkan sumpah agar mengakui (baiat) atas pengangkatan Abu Jaafar al-Manshur menjadi khalifah.

Abu Jaafar adalah pendiri Kerajaan Daulah Bani Abbas.

Oleh karena itu, datanglah pertanyaan, berlakukah sumpah yang disuruh ucapkah dengan paksaan itu?

Beliau berikan fatwa bahwa sumpah dengan paksaan itu tidak berlaku sehingga Wali (Gubernur) Negeri Madinah marah, murka besar kepada beliau.

Beliau dipanggil dan disuruh mencabut fatwanya.

Tentu saja beliau tidak boleh mencabut fatwanya karena sebagai ulama besar yang bertanggung jawab, beliau tidak mungkin menarik fatwa yang telah beliau keluarkan.

Oleh karena itu, kemurkaan Gubernur dimuntahkan dengan mencambuk ulama besar pembangunan salah satu madzhab Islam itu.

Cambukan itu beliau tahankan dengan sabar sehingga sampai mengalir darah pada punggung beliau.

Sampai ketika beliau wafat, ketika memandikan jenazah beliau bertahun-tahun kemudian, bekas belitan cambuk itu masih didapati memutih di punggung beliau.

Namun, "tilkal ayyaamu nudaawiluha bainannaasi" hari bergilir di antara manusia.

Gubernur itu datang juga masanya lucut dari jabatannya dan bintang Imam Malik, Imam Syafi'i, salah satu Madzhab Sunni Islam bertambah bersinar, dan Imam Syafi'i adalah salah seorang di antara muridnya.

Suatu masa datang sendiri Khalifah Abu Jaafar al-Manshur memohon keizinan beliau, agar kitab hadits yang beliau susun al-Muwatha digantungkan di Ka'bah dan diadakan dekrit khalifah, bahwa kitab hadits tersebut akan dijadikan satu-satunya pedoman di dalam khalifah menetapkan hukum.

Khalifah pun mengakui bahwa beliau adalalah guru yang amat dikaguminya.

Cemeti yang mencambuk punggungnya dahulu tidaklah berkesan untuk mengubah pendirian beliau.

Sekarang pengakuan khalifah atas kebesaran beliau dan keinginannya hendaknya menggantungkan hasil karyanya di Ka'bah di samping Al-Qur'an tidak pula dapat mengubah pendiriannya.

Beliau tolak keinginan khalifah itu dengan ucapan beliau,

"Banyak lagi hadits-hadits lain yang dibawa oleh ulama-ulama ke negeri-negeri lain yang aku sendiri tidak sempat mencatatnya. Sebab itu tidaklah layak jika umat dipaksa menuruti satu catatan saja."

Oleh karena itu, dapatlah kita ambil kesimpulan:

"Sumpah yang dipaksakan, yang tidak sesuai dengan pendirian hati yang telah tuma'ninah dengan suatu keyakinan tidaklah berlaku kuat, tidaklah wajib membayar kafarat kalau dilanggar, dan tidaklah berdosa jika tidak dituruti."

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 370-373, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

HAMBA SAHAYA (BUDAK)

"Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka itu tidaklah tercela." (al-Ma'aarij: 30).

"Tetapi barangsiapa yang mencari juga di belakang itu, maka orang-orang begitu adalah orang-orang yang melanggar." (al-Ma'aarij: 31).

"Kecuali terhadap istri-istri mereka."

Persetubuhan dengan istri, yang telah dinikahi secara sah menurut agama. Yang demikian tidak lagi bernama menyia-nyiakan.

"Atau hamba sahaya yang mereka miliki."

Yaitu budak-budak perempuan yang didapat lantaran tertawan di waktu perang.

Ilmu fiqih menjelaskan pula bahwasanya tawanan yang boleh disetubuhi itu ialah yang ditawan dalam peperangan karena agama, bukan sembarang tawanan saja.

Dalam bahasa Melayu Kuno, hamba sahaya yang dipakai sebagai memakai istri itu dinamai gundik atau selir. Mereka tidak dinikahi, melainkan langsung disetubuhi, sebab dia adalah sama saja dengan barang kepunyaan dari tuan yang empunya dia. Tetapi agama Islam mengakui bahwa anak yang didapat dari selir itu adalah anak yang sah, yang sama kedudukannya dengan saudara-saudara yang didapat dari istri.

Menurut sejarah, raja-raja Bani Abbas sebagian besar adalah anak dari hubungan dengan selir atau gundik itu.

Di zaman pemerintahan Sayyidina Umar beliau membuat peraturan bahwa gundik-gundik yang telah melahirkan anak, dinamai "Ummul Walad" (ibu anak-anak). Mereka, apabila telah melahirkan anak tidak boleh dijual lagi.

Nabi kita Muhammad saw. membuat suatu contoh. Yaitu istri beliau yang bernama Shafiah binti Huyai adalah perempuan tawanan. Dia adalah anak perempuan dari Huyai bin Akhthab, salah seorang pemuka Yahudi yang sangat memusuhi Nabi dan meninggal dalam peperangan dengan Nabi dan anak perempuannya tertawan. Oleh Nabi saw. Shafiah itu tidak dijadikan gundik (selir), melainkan dimerdekakan dari perbudakan, dibebaskan dari tawanan, lalu beliau pinang Shafiah kepada dirinya sendiri, karena ayahnya tidak ada lagi. Mahar (mas kawin) ialah kemerdekaan yang diberikan Nabi itu.

Perbudakan ini ada sejak zaman purbakala.

Setengah dari kecurangan kaum Orientalis untuk memburukkan agama Islam ialah karena kata mereka Islam mengakui adanya perbudakan. Padahal perbudakan itu ada pada tiap-tiap bangsa sebelum Islam.

Dengan adanya peperangan-peperangan, maka orang-orang yang ditawan menjadilah budak, laki-laki jadi budak pekerja, perempuan jadi budak di rumah tangga. Kalau cantik boleh saja tuannya memakainya. Tidak ada public opinion yang melarang. Islamlah yang membuat peraturan bahwa anak dari hubungan dengan budak perempuan, adalah anak yang sah dari tuan yang menyetubuhinya. Kemudian datang pula peraturan Sayyidina Umar, bahwa budak perempuan yang telah menghasilkan anak tidak boleh dijual lagi. Dia tetap menjadi dayang-dayang terhormat dalam rumah tangga.

Sahabat Rasulullah saw. yang mendapat kehormatan mula-mula adalah seorang budak, kemudian dimerdekakan ialah Sayyidina Bilal bin Rabah, muadzin Rasul. Dia dianiaya dan dijemur di bawah cahaya matahari yang sangat terik oleh penghulunya karena menyatakan beriman kepada Nabi Muhammad saw. Ketika dia dijemur hampir mati, Sayyidina Abu Bakar lewat di tempat itu. Lalu dibelinya beliau, sesudah dibelinya, dimerdekakannya.

Kita mengetahui bahwa sejarah dunia penuh dengan perbudakan.

Bangsa Yunani mengakui adanya perbudakan. Bahkan Aristoteles pernah menyatakan syukurnya, sebab dia dilahirkan sebagai bangsa Yunani dan berguru kepada Plato dan dia bukan budak. Republik Plato tentang filsafat pemerintahan, demikian juga Politic Aristoteles yang begitu masyhur, hanya berlaku buat bangsa Yunani yang merdeka, bukan untuk budak-budak, tegasnya, tidak termasuk di dalamnya budak-budak.

Beratus bahkan beribu tahun perikemanusiaan menghadapi perbudakan. Amerika sebagai negara baru, tempat pengungsian (emigran dan pilgrim) orang Inggris di Abad ke-17, barulah dapat dibuka besar-besaran setelah memakai budak-budak. Orang kulit putih menjarahi negeri-negeri dan kampung-kampung orang Afrika yang masih biadab, membunuhi mana yang melawan, menawan mana yang tinggal, lalu diikat dan dirantai dan dibawa ke kapal, dijual ke Amerika. Kita mengenal Perang Saudara yang sangat dahsyat di antara bangsa Amerika Serikat sebelah utara dengan sebelah selatan. Karena utara hendak menghapuskan perbudakan dan selatan mempertahankannya. Selatan akhirnya kalah, tetapi sampai kini, orang-orang Negro itu masih dipandang bangsa kelas dua di Amerika oleh yang berkulit putih. Masih ada sampai sekarang restauran-restauran, hotel-hotel, bahkan kakus umum yang tidak boleh dimasuki oleh kulit hitam. Padahal bangsa Afrika yang seluruhnya disebut negro itu telah merdeka! Wakil-wakil mereka telah duduk dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sayyid Rasyid Ridha, ulama Islam yang terkenal pernah mengeluarkan fatwa 60 Tahun yang lalu bahwasanya budak-budak yang sah menurut peraturan agama Islam ialah budak yang berasal dari tawanan perang dan perang itu hendaklah perang karena agama, sebagai perang-perang jihad yang berlaku di zaman Nabi saw. dan Khalifah-khalifah yang dahulu. Sebab itu maka budak yang berasal dari tawanan perang yang bukan perang karena agama, tidaklah sah diperbudak. Itu adalah merampas kemerdekaan orang merdeka.

Demikian juga tidaklah sah perbudakan negeri-negeri yang dijarah, penduduknya ditawan lalu dijual ke pasaran budak, sebagaimana banyak dilakukan oleh Kompeni Belanda di kepulauan kita ini di zaman dahulu, sehingga di antara budak-budak itu ialah Surapati yang kemudian dapat mendirikan sebuah kekuasaan di Pasuruan.

Ketika Sayyid Rasyid Ridha mengeluarkan fatwanya itu banyaklah orang-orang besar di Istanbul yang murka dan mencari ulama-ulama yang suka membatalkan fatwa Sayyid Rasyid Ridha itu. Maka meskipun fatwa telah keluar, perbudakan semacam itu belum juga hilang. Terutama masih terdapat sisa-sisanya di Tanah Arab.

Sampai kepada Tahun 1927, penulis tafsir ini masih mendapati Pasar Budak di salah satu sudut kota Mekah. Pasar terbuka, laksana pasar penjualan sapi saja!

Umumnya yang diperjualbelikan itu ialah orang-orang Afrika.

Pada Tahun 1957 Duta Besar Arab Saudi di Indonesia selalu diladeni oleh seorang anak muda yang usianya baru kira-kira 25 Tahun. Dengan usaha Duta Besar tersebut saya pada bulan Februari 1958 jadi tetamu Raja Saud di Riyadh. Seketika saya bermalam di Hotel Alkandarah di Jeddah, saya bertemu kembali anak muda pengiring Duta Besar itu di Hotel tersebut. Sebab Duta Besar sedang cuti di negerinya. Ketika itulah si Said, demikian nama pemuda itu, lama duduk di hadapan saya, seketika tuannya sedang tidak ada. Dia menyatakan terus terang bahwa dia adalah raqiiq, artinya budak dari Yang Mulia Duta Besar dan sejak masih kecil tinggal dengan beliau. Tampaknya sebagai pemuda yang hidup di zaman modern, Abad ke-20, Said telah insaf bahwa kedudukan seperti dia itu tidak layak lagi di zaman sekarang.

"Namamu Said, tetapi engkau tidak merasa bahagia," kataku kepadanya.

"Memang, ya Ammi, namaku Said tetapi aku tidak berbahagia."

Setelah Raja Faishal asy-Syahid fi Sabilillah naik takhta pada Tahun 1964 beliau adakanlah peraturan yang sangat radikal. Mulai tahun itu dimaklumkan bahwa sekalian budak di Saudi Arabia tidak ada lagi. Untuk itu Baginda meminta fatwa kepada ulama-ulama, supaya keputusan Baginda kukuh dari segi agama. Ulama-ulama memutuskan bahwa budak-budak yang sah menurut agama ialah yang didapat dalam tawanan perang karena agama. Itu pun dianjurkan oleh agama supaya dimerdekakan. Apatah lagi sekarang. Budak sudah mesti dihapuskan karena sebabnya tidak ada lagi. Ulama-ulama Wahabi telah menyatakan pendapat yang sama dengan Sayyid Rasyid Ridha.

Untuk jangan sampai merugikan orang-orang yang amat berat bercerai dengan budaknya Baginda Faishal mengganti kerugian harga budak itu, menurut patutnya, yang diputuskan oleh satu panitia. Penebus budak-budak itu ialah uang negara. Orang-orang kaya dianjurkan menebus budak-budak itu dengan zakat atau dengan shadaqah tathawwu'. Di akhir Tahun 1964 habislah budak-budak itu dalam negara Saudi Arabia.

Propaganda Kaum Yahudi atau negara Israel ke dunia bahwa mereka masih perlu menduduki Palestina, bahkan menaklukkan Jazirah Arab untuk menghapuskan budak-budak dengan sendirinya sirna. Demikian juga propaganda Kaum Komunis yang masuk ke Tanah Arab dengan perantaraan Israel dengan sendirinya habis pula.

Budak-budak yang telah jadi orang merdeka itu diberi modal menurut kesanggupannya untuk hidup. Atau menjadi khadam yang digaji di rumah tuannya yang lama, yang muda diterima masuk sekolah, diterima masuk militer.

Sebagaimana telah kita ketahui tadi, yang terbanyak budak-budak yang telah merdeka itu ialah orang-orang Afrika hitam. Di zaman dahulu orang Afrika Hitam itu di Mekah disebut orang Takarani. Sekarang seluruh Negeri Afrika, seperti Ghana, Guinea, Nigeria, Nigeria Kongo, Volta Huju, Pantai Gading, Mali dan lain-lain telah jadi merdeka. Jika orang-orang dari negeri itu naik haji, perasaan mereka tidak tertekan lagi melihat orang sewarna dengan mereka jadi budak, melainkan warga negara Saudi yang bebas merdeka. Bahkan perasaan mereka sangat tersinggung jika mereka pergi menghadiri sidang umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York. Mereka masuk ke dalam sidang sebagai duta-duta dari negeri merdeka, tetapi apabila mereka masuk ke dalam restauran-restauran yang melarang kulit berwarna (coloured), sedang yang dimaksud dengan coloured itu hanya yang hitam, perasaan mereka sangat tersinggung.

Peraturan yang dibuat oleh Raja Faishal di negaranya sendiri itu jadi perhatian dan mendapat sambutan pula di negeri-negeri Arab yang lain. Perbudakan betul-betul habis dari daerah-daerah dan negara-negara Arab itu sekarang.

Orang-orang yang merasa dirinya menjadi bangsa yang berkesopanan tinggi di zaman sekarang mencela ayat-ayat tentang kebolehan menyetubuhi budak atau hamba sahaya perempuan ini, lalu anak yang lahir dari persetubuhan itu diakui anak yang sah bagi ayahnya dan mendapat kedudukan yang sama dengan saudara-saudaranya yang lain, yang dilahirkan dari istri yang dikawini.

Padahal sudah kita saksikan dua kali perang dunia yang besar dan jijiknya perbuatan serdadu-serdadu yang menang jika masuk ke dalam suatu negeri, yang dinamai daerah pendudukan.

Ingatlah masuknya tentara Jepang ke Cina, masuknya tentara Amerika ke Jepang, masuknya tentara Rusia ke Jerman dan masuknya tentara Amerika ke Vietnam.

Beribu-ribu anak di luar nikah telah lahir, karena perkawinan tipuan atau pergundikan.

Akhirnya anak-anak itu menjadi anak rumah pemeliharaan dengan tidak ada orang tua yang mengakuinya.

Oleh sebab itu tidaklah salah peraturan Islam jika suatu negeri ditaklukkan, penduduk negeri itu kalah, orang laki-lakinya banyak binasa di medan perang, sedang istri-istri mereka atau gadis-gadis mereka tinggal. Apakah mereka akan dibiarkan jadi perempuan lacur, atau diberikan jadi hak bagi yang menawan, lalu memeliharanya dan berbuat seperti kepada istrinya sendiri. Dapat anak dari dia, anak itu mendapat hak sama dengan anak dari perempuan yang merdeka.

Khalifah Bani Abbas, yaitu al-Hadi dan Harun al-Rasyid adalah anak gundik, ibu mereka bernama Khaizuran. Al-Ma'mun yang sangat terkenal, ibunya adalah gundik bernama Murajil. Al-Mu'tashim yang menggantikan al-Ma'mun ibunya gundik bernama Maridah. Al-Watsiq Billah Harun ibunya gundik bernama Qarathis, dari perempuan Rum. Al-Mutawakkil 'Alallah ibunya gundik bernama Syuja'. Al-Muntashir anak gundik bernama Habsyiyah. Al-Musta'in Billahi anak gundik namanya Mukhariq; al-Mu'taz, anak gundik bangsa Romawi bernama Qabihah (si jelek) karena sangat cantiknya, sehingga tuannya Khalifah al-Mutawakkil sangat tergila-gila kepadanya. Al-Muhtadi anak gundik namanya Wardah (kembang mekar). Al-Mu'tamid 'Alallah anak gundik namanya Fatyaan, orang Rum. Al-Mu'tadhid Billah anak gundik bernama Shawab. Al-Muktafi Billah anak gundik bangsa Turki namanya Jijak.

Begitu pun khalifah-khalifah Bani Abbas yang lain, anak gundik atau anak budak langsung: al-Muqtadir, al-Qahir, ar-Radhi, al-Muttaqi, al-Mustakfi, al-Muthi', ath-Tha'i, al-Qadir, al-Qaim, al-Muqta'i, al-Mustazhhir, al-Mustarsyid, ar-Rasyid al-Muqtafi, al-Mustanjid, al-Mustadhi', an-Nashir Lidinillah, azh-Zhahir, al-Mustanshir, al-Musta'shim (Khalifah penghabisan yang mati dibunuh Houlako Khan dari bangsa Tartar).

Cuma satu orang Khalifah yang bukan anak gundik atau anak budak dibeli. Yaitu al-Amin, anak Harun al-Rasyid. Sebab ibunya ialah Putri Zubaidah, saudara sepupu dengan Harun al-Rasyid sendiri.

Oleh sebab itu berlakulah kesamarataan kedudukan dalam Islam, karena keturunan diambil dari ayah, sebagaimana disebutkan oleh Saiyidina Ali bin Abi Thalib dalam salah satu syairnya,

"Tidak lain ibu-ibu manusia itu ialah tempat kandungan dan simpanan, dan anak-anak dibangsakan kepada ayahnya."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 314-318, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).