Jumat

BUYA HAMKA BERCERITA NIKAH SI KANI, MANFAATNYA SAMPAI MASA KINI

AYAHKU

Suatu hari saya mengganggu beliau.

Saya katakan:

"Ada ulama mengatakan bahawa membuat ta'liq itu bid'ah, tidak berasal dari Nabi!"

Beliau marah dan berkata:

"Ulama Tea! Tidak dapat dia membezakan mana urusan ibadat dan mana urusan nikah!"

-Tea, bahasa Minangkabau bererti tolol.

(Buya HAMKA, Ayahku, 179, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

PEREMPUAN

Hendaklah seorang yang beriman mengingat benar-benar bahwasanya jenis kaum perempuan yang lemah adalah salah satu isi dari khutbah Nabi Muhammad saw. yang terakhir di waktu Haji Wada'. Ketika itulah beliau berkata antara lain,

"Takutlah kamu sekalian kepada Allah berkenaan dengan perempuan; sesungguhnya dia adalah teman hidup sejati di sisi kamu."

Dan perempuan pulalah pesan dan petaruhnya yang terakhir seketika beliau akan meninggal dunia. Ada dua pesan beliau waktu akan meninggal dunia, yang sangat diperingatkannya. Pertama, shalat di awal waktu dan kedua, perempuan. Aku takut, kata beliau bahwa kedua soal inilah yang akan terlebih dahulu kamu sia-siakan.

SYIQAQ

"Dan jika kamu takut perselisihan di antara mereka berdua, maka hendaklah kamu utus seorang hakam dari ahlinya (si laki-laki) dan seorang hakam dari ahlinya (si perempuan)." (an-Nisaa' pangkal ayat 35).

Meskipun pada ayat 34 di atas sudah dijelaskan hak dan kewajiban masing-masing bahwa si laki-laki sebagai pemimpin bagi istrinya dan si perempuan hendaklah taat, kadang kalanya tidak juga dapat dielakkan perselisihan, yang kerapkali menyebabkan pergaulan menjadi retak. Sebab yang menimbulkan perselisihan mesti salah satu dari dua atau sekali keduanya. Atau si suami zalim dalam melakukan pimpinan. Atau si perempuan durhaka dari pimpinan (nusyuz). Atau karena si laki-laki bertambah zalim, maka si perempuan bertambah nusyuz; dan si perempuan bertambah nusyuz, maka si laki-laki pun bertambah zalim.

Kalau ditanya satu demi satu, satu pihak menyalahkan yang lain. Si suami mengatakan istrinya sangat nusyuz sebab itu dia berhak menghukum, bahkan tidak wajib nafkah. Si istri mengadu, mengatakan bahwa suaminya tidak mempedulikan dia lagi, tidak ada nafkah lahir dan batin, jadi si suami zalim. Keduanya telah mempertahankan pendirian masing-masing. Tidak ada perdamaian lagi sehingga syiqaq telah tumbuh.

Arti asal dari syiqaq ialah retak menghadang pecah. Padahal belum cerai. Kalau orang lain (tangan ketiga) tidak campur, hal ini bisa berlarut-larut. Maka datanglah perintah supaya kamu, yaitu keluarga kedua pihak, atau masyarakat sekitarnya, sekampung sehalaman, atau pemerintah (sebab pemerintahan yang memegang tampuk masyarakat) supaya segera mencampuri hal itu. Datanglah perintah Allah: Maka utuslah seorang hakam dari ahli si laki-laki dan seorang hakam dari ahli si perempuan. Hakam yang pokok artinya sama dengan Hakim. Hakam ialah penyelidik duduk perkara yang sebenarnya sehingga mereka dapat mengambil kesimpulan. Kedua hakam itu diutus oleh kedua masyarakat kaum Muslimin atau keluarga terdekat kedua belah pihak. Hakam si laki-laki menyelidiki pendirian si laki-laki dengan saksama, hakam si perempuan menyelidiki pendirian si perempuan dengan saksama pula. Setelah lengkap diketahui, mereka bertemu kembali, lalu soal itu dikaji dengan kepala dingin. "Jika keduanya mau akan perdamaian, niscaya akan diberi taufik oleh Allah di antara mereka keduanya."

Perdamaian atau ishlah, itulah hendaknya yang menjadi kedua hakam. Asal kedua-duanya benar-benar mau ishlah, niscaya Allah akan memberi taufik, yakni akan dapat persetujuan paham di antara mereka berdua, apakah yang ishlah di antara kedua suami istri yang berselisih ini? Adakah ishlah itu dengan mendamaikan mereka kembali sehingga segala perselisihan hilang dan mereka hidup rukun karena apa yang disukai atau apa yang menjadi keberatan kedua pihak sudah sama-sama diketahui? Atau apakah akan lebih timbul perdamaian, surut semula sebagai Muslim sesama Muslim dengan bercerai saja? Karena kalau diteruskan akan lebih besar bahayanya karena memang tidak ada kecocokan lagi? Kalau benar-benar kedua hakam ini mendapat kesimpulan bahwa ishlah hanya didapat dengan bercerai, itu pun mesti mereka katakan dengan terus terang.

Perceraian dengan damai tersebut juga kelak pada ayat 130.

Menurut riwayat Imam Syafi'i di dalam al-Umm, al-Baihaqi di dalam as-Sunan, dan beberapa riwayat lain, riwayat itu dari Ubaidah al-Sulamani, bahwa pada suatu hari datanglah seorang laki-laki dan seorang perempuan kepada Ali bin Abi Thalib (moga-moga Allah memuliakan wajahnya) dan bersama dengan mereka turut pula segolongan besar orang-orang. Rupanya mereka mengadukan perselisihan atau syiqaq yang telah tumbuh di antara kedua orang suami istri itu. Maka Ali memerintahkan supaya diutus seorang hakam dari ahli si laki-laki dan seorang hakam dari ahli si perempuan, kemudian beliau (Ali) berkata kepada kedua hakam itu, "Apakah kamu keduanya tahu apa kewajiban kamu? Kewajiban kamu ialah menyelidiki, kalau pada pandangan kamu berdua masih dapat orang-orang ini dikumpulkan kembali, hendaklah kamu kumpulkan, dan kalau kamu berdua berpendapat lebih baik bercerai saja, maka perceraikan mereka!"

Mendengar itu berkatalah si perempuan, "Hamba tunduk kepada Kitab Allah dan apa yang tersebut di dalamnya." Tetapi si laki-laki menyanggah, "Kalau keputusan bercerai, aku tak mau!"

Ali menjawab, "Kalau begitu, engkau adalah seorang yang mendustakan Allah. Kalau tidak engkau tunduk kepada apa yang telah aku tetapkan itu, engkau tidak akan kubiarkan pulang."

Demikianlah penetapan dari Ali bin Abi Thalib tatkala beliau menjadi khalifah.

Serupa dengan itu pula pendapat Ibnu Abbas, menurut riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Jarir. Kata Ibnu Abbas, "Ayat ini ialah mengenai laki-laki dan perempuan yang telah rusak hubungan rumah tangga. Allah menyuruh utus seorang laki-laki yang saleh dari ahli si laki-laki dan seorang laki-laki yang saleh dari ahli si perempuan. Keduanya menyelidiki siapa yang bersalah. Kalau si laki-laki yang salah, maka istrinya ditarik dari dia dan nafkahnya wajib dibayarnya terus. Kalau perempuan yang salah, dia dipaksa pulang ke rumah lakinya dan tidak wajib diberi nafkah. Tetapi kalau kedua hakam berpendapat mereka diceraikan saja atau diserumahkan kembali, sedang yang seorang suka dan yang seorang tidak suka, kemudian mati salah seorang, maka yang suka berkembalian menerima waris dari yang mati, dan yang tidak suka berkembalian tidaklah menerima waris." Demikian Ibnu Abbas.

Dalam kedua pendapat dari dua orang sahabat Rasulullah saw. yang besar ini (Ali dan Ibnu Abbas) tampak bahwa kedua hakam mempunyai hak penuh, bukan saja untuk mempertemukan kembali, bahkan juga menceraikan, kalau cerai itulah yang ishlah. Tetapi ulama-ulama madzhab banyak yang membatasi ishlah itu hanya pada mempertemukan kembali, tidak berhak menceraikan.

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, "Telah sependapat para ulama bahwa kedua hakam itu berhak mempersatukan kembali di antara suami istri yang berselisih itu dan berhak juga memisahkan."

Ibrahim an-Nakha'i berkata, "Jika kedua hakam itu hendak memisahkan keduanya dengan talak satu, atau talak dua, atau talak tiga, boleh saja."

Begitu pula satu riwayat dari pendapat Imam Malik.

Tetapi Hasan Bishri berpendapat bahwa kedua hakam hanya berhak mengumpulkan kembali, bukan memisahkan. Demikian juga paham Qatadah dan Zaid bin Aslam. Itu juga perkataan Imam Ahmad dan Abu Tsaur dan Dawud az-Zuhri. Mereka berpendapat demikian karena dalam ayat tersebut bahwa jika kedua hakam itu menginginkan ishlah, niscaya keduanya akan diberi taufik oleh Allah. Ishlah, mereka pahamkan ialah perbaikan dengan arti berkumpul kembali, bukan bercerai.

Tetapi golongan pertama yang mengatakan apa yang diputuskan oleh kedua hakam akan berlaku (baik berkumpul kembali maupun bercerai) ialah karena mengutus kedua hakam adalah perintah wajib kepada keluarga kedua pihak. Keputusan hukum dari kedua hakam sudah barang tentu tidak selalu akan disukai saja oleh yang diberi hukum.

Untuk menghilangkan keraguan, Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah memberi syarat supaya kedua suami istri yang berselisih itu benar-benar menyerahkan kekuasaan mengambil apa saja keputusan kepada kedua hakam itu, dan mereka akan taat menerimanya. Sebab Sayyidina Ali belum mau melepaskan laki-laki yang tidak mau menyerah kalau mau diceraikan itu sebelum dia menyerahkan keputusan kepada hakam sepenuhnya.

NIKAH SI KANI

Setelah pada suatu hari penulis tafsir ini bertanya kepada guru dan ayahnya tentang adanya hakam dari pihak laki-laki dan hakam dari pihak perempuan kalau terjadi syiqaq, beliau telah menyatakan bahwa inilah langkah yang sebaik-baik dan seaman-amannya kalau terjadi syiqaq. Kata beliau bahwa di dalam kitab-kitab fiqih telah banyak diperbincangkan tentang fasakh nikah dan hak hakim buat menfaraq (memisahkan) di antara kedua suami istri. Tetapi ahli-ahli fiqih pun banyak sekali menyebut syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Beliau menyebut pengalamannya tentang fasakh nikah si Kani yang pada tahun dua puluhan menjadi perbincangan agak hebat di alam Minangkabau. Beliau telah berani memfasakhkan nikah si Kani dengan suaminya. Karena suaminya itu ternyata tidak sanggup memberikan nafkah kepada si Kani dengan secukupnya.

Pada suatu hari seorang perempuan bernama si Kani datang mengadukan nasibnya kepada beliau sebagai seorang ulama besar tempat orang mengadu dan meminta hukum. Bahwasanya sudah sekian lama dia kawin dengan suaminya ternyata suaminya itu tidak sanggup memberinya nafkah dengan sepatutnya sehingga kehidupannya sangat melarat. Perempuan itu berkata pula bahwa jika pergaulan suami istri mereka teruskan juga, kemelaratanlah yang akan menimpa mereka kedua belah pihak untuk selama hidup.

Lalu ayahku bertanya, "Apakah engkau benci atau suka kepada suamimu itu?"

Si Kani menjawab, "Aku tetap suka kepadanya."

Kemudian diadakanlah penyelidikan tentang kehidupan si suami. Memang ada alasan buat menetapkan bahwa si suami memang tidak sanggup meneruskan pergaulan ini walaupun keduanya suka sama suka. Lalu beliau mengambil keputusan, sesudah mengadakan beberapa penyelidikan, bahwa nikah si Kani difasakhkan. Artinya mereka dipisahkan, diceraikan dengan keputusan beliau sendiri. Wibawa beliau dalam agama di Minangkabau pada waktu itu menyebabkan tidak ada bantahan yang tegas dari ulama-ulama yang lain.

Pihak laki-laki akhirnya mengadu kepada Adviseur voor Inlandsche Zaken di Betawi. Ketika itu Kepala Kantor Inlandsche Zaken ialah Dr. Hazen, seorang Orientalis Belanda yang terkenal.

Terjadilah surat-menyurat di antara ayahku dengan Dr. Hazen dan akhirnya Dr. Hazen tidak dapat membantah keputusan itu, walaupun Dr. Hazen telah meminta nasihat pula kepada ulama-ulama lain di Jawa pada waktu itu.

Ayahku, Dr. Syekh Abdulkarim Amrullah, telah mengambil dasar keputusan ini dari hadits Rasulullah saw.,

"Jangan ada yang memberi mudharat dan jangan ada kemudharatan."

Kemudian ayahku memberi ingat kepada kami, murid-muridnya, di antaranya ialah pamanku, Syekh Yusuh Amrullah, yang menjadi qadhi di dalam negeri kami, Sungai Batang, 50 Tahun lamanya, bahwa jalan fasakh yang telah beliau tempuh itu bukanlah jalan yang mudah. Banyak belat-belitnya.

"Misalnya," kata beliau, "Kalau sekiranya mulai ditanya, sukakah engkau kepada suamimu itu atau tidak? Lalu dia menjawab dia benci atau dia tidak suka kepada suaminya itu, sukar untuk difasakhkan. Karena perempuan itu bisa dihukum nusyuz, durhaka. Sebab orang yang benci kepada suaminya dengan tidak ada alasan, tiadalah wajib suaminya itu memberinya nafkah, baik nafkah lahir ataupun nafkah batin." Sehingga perempuan itu bisa tinggal "tera gantung tidak bertali".

Tetapi kalau dia menjawab bahwa dia tetap suka kepada suaminya, cuma dia tidak sanggup membayar nafkah, barulah ada jalan buat fasakh. Tetapi hendaklah diselidiki benar-benar lebih dahulu berapa patutnya nafkah perempuan itu dan berapa pula kesanggupan si laki-laki. Kalau teryata sesudah diselidiki memang si laki-laki tidak sanggup memberikan yang patut, barulah hakim boleh memutuskan fasakh karena pergaulan tidak dapat diteruskan.

Kemudian ayahku berkata bahwasanya jalan yang sebaik-baiknya ditempuh ialah memutuskan dan mengutus hakam dari keluarga si laki-laki dan keluarga si perempuan. Hendaklah kedua belah pihak menyerahkan keputusan perkara ini kepada kedua hakam itu.

Beliau tampaknya menganut pendapat golongan yang mengatakan bahwa keputusan hakam terus berlaku, walaupun mengumpulkan kedua suami istri itu kembali ataupun menceraikan.

Dahulu hakim-hakim agama belum berani mengambil tindakan ini. Mereka masih saja berpegang kepada pendapat fiqih ulama-ulama mutaakhkhirin Syafi'iyah yang menyatakan bahwa perempuan yang nusyuz tidak wajib diberi nafkah.

Maka banyaklah perempuan yang hidup terkatung-katung, bersuami tetapi tidak pernah bergaul dan tidak pernah diberi nafkah, tetapi tidak pula diceraikan.

Apabila dia mengadu kepada hakim agama, dialah yang disalahkan karena dia nusyuz, tidak taat kepada suami.

Akhirnya berkali-kali kejadian seorang perempuan masuk ke masjid ketika orang akan Jum'at atau sehabis Jum'at mengatakan bahwa mulai hari itu dia tidak lagi bertuhan kepada Allah dan bernabi kepada Muhammad. Dia telah murtad dari Islam. Karena ada orang yang mengajarkan kepadanya bahwa apabila seseorang perempuan telah murtad dengan sendirinya putuslah nikahnya dengan suaminya.

Inilah suatu kekacauan pikiran yang tumbuh karena hakim-hakim agama berpaham terlalu sempit, hanya taqlid kepada pendapat ahli-ahli fiqih dan tidak ada kesanggupan memikirkan inti sari ajaran agama dan tidak mengerti maksud hadits Nabi yang kita salinkan tadi, bahwa maksud segala hukum agama bukanlah memberi mudharat dan kemudharatan.

Alhamdulillah sekarang berpikir tentang agama kian lama kian maju sehingga hukum zalim dituduh nusyuz kepada perempuan sudah jarang terdengar.

Fasakh yang berbelit-belit sudah tidak banyak terdengar lagi, demikian juga seorang perempuan yang terpaksa murtad karena ingin membebaskan diri dari kezaliman seorang laki-laki yang dibantu oleh kejahilan hakim agama.

Sekarang mengutus hakam karena syiqaq telah menjadi hal biasa.

Untuk membebaskan perempuan dari siksaan laki-laki yang tidak bertanggung jawab, sejak Tahun 1916 di nagari Sungai Batang dan Tanjung Sani (Minangkabau), atas anjuran ayahku telah diadakan satu Shighat Ta'liq Thalaq yang akan menolong bagi kaum perempuan. Bunyi shighat taliq itu amat ringkas dan jelas,

"Jika istriku bernama si Anu, tidak suka lagi bersuami saya, hendaklah dia datang kepada qadhi dalam negeri atau jorong Anu, atau wakilnya, menyatakan dia tidak suka. Kalau qadhi menerima pengaduannya itu dan dia menyerahkan uang banyaknya Rp. 2.50 (seringgit) kepada qadhi, Khulu' namanya, jatuhlah talakku kepada istriku nama si Anu itu satu kali."

Dengan ta'liq semacam ini, terbukalah pintu luas bagi si istri, kalau tidak suka boleh mengadu kepada qadhi. Kalau qadhi menerima pengaduan itu dan perempuan itu membayar uang khulu', dengan sendirinya talak satu jatuh. Tidak usah pusing-pusing, tidak usah memperkatakan bernafkah atau tidak, atau gaib dari rumah 3 bulan, jalan laut 6 bulan, dan sebagainya. Asal tidak suka boleh mengadu kepada hakim. Diterima oleh hakim, cerai jatuh dengan sendirinya.

Sejak itu tidak pernah lagi terdengar hal nusyuz, hal fasakh, hal murtad, dan sebagainya itu.

Inilah salah satu ketangkasan paham guru saya dan ayah saya.

Sejak itu negeri-negeri yang lain di Minangkabau meniru cara Shighat Ta'liq yang ringkas itu.

Sejak itu pula laki-laki sudah lebih hati-hati di dalam menegakkan rumah tangga, tidak lagi berlaku sewenang-wenang kepada istri. Sebagai akibatnya pula, perempuan yang tahu malu jaranglah yang melakukan kesempatan yang diberikan ini. Apatah lagi seorang qadhi yang berpengetahuan luas terlebih dahulu memberi nasihat dan menyelidiki sebab dan musabab sehingga bukan jarang kejadian seorang perempuan yang telah mendatangi qadhi dengan uang seringgit pulang saja dengan "tangan kosong" karena telah dapat nasihat dari qadhi.

Dan telah menjadi pendapat umum di kampung kami bahwa perempuan yang "minta ta'liq-talak" itu mendapat nama yang kurang baik di kampung.

Dan mengutus hakam ketiga ditakuti timbulnya syiqaq suami istri itu tidaklah keluar dari garis Madzhab Syafi'i sebagai suatu madzhab yang mempunyai penganut terbanyak dalam negeri kita ini, asal orang kembali kepada pendiri madzhab yang sebenarnya, bukan terikat dengan taqlid kepada ulama yang jauh berabad-abad sesudah Syafi'i.

Karena salah seorang ulama madzhab yang menyokong pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas, sebagai dua ulama sahabat Rasulullah yang terkemuka dalam hukum, adalah Imam Syafi'i sendiri, sebagai tersebut di dalam kitabnya al-Umm.

Sebagai penutup dari ayat syiqaq Allah berfirman,

"Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi sangat Mengerti." (an-Nisaa' ujung ayat 35).

Artinya, bahwasanya Allah Maha Mengetahui dan sangat mengerti gerak-gerik kedua hakam. Apakah mereka keduanya betul-betul mau mencari ishlah, yaitu perbaikan dan perdamaian. Asal mereka keduanya betul-betul mau mencari ishlah, akan terdapatlah persetujuan di antara mereka keduanya. Keduanya akan sama-sama mendapat taufik dari Allah, artinya sesuai keputusan mereka berdua dengan yang diridhai oleh Allah.

Itu sebabnya Sayyidina Abdullah (Ibnu Abbas) di dalam menafsirkan ini memberi perisyaratan hendaklah kedua hakam itu orang yang saleh. Sebab orang yang saleh itu niscaya jujur di dalam mencari kebenaran. Sesudah menyelidiki dan mengkaji fakta (kenyataan) dari kedua belah pihak, mereka bisa sepakat mendamaikan kedua orang suami istri ini kembali. Yang kusut diselesaikan dan yang keruh dijernihkan. Jika ternyata bahwa penyelesaiannya hanya akan didapat dengan perceraian, mereka akan bersesuaian paham menceraikannya.

Oleh sebab Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengerti, hendaklah kedua hakam itu berhati-hati benar menjalankan tugas dan jangan mengkhianati kepercayaan yang ditimpakan orang kepada mereka.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 283-288, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).