Selasa

BUYA HAMKA (KETIKA MADZHAB SALAF MEMBELA MADZHAB SYAFI'I) HAL QUNUT DAN TARAWIH



Mohammad Natsir bersama istri dan keluarga (Sumber Photo: NATSIR, Politik Santun Di Antara Dua Rezim, Hal. 144, Tempo Publishing - Gramedia, Cet.1, 2017).

Ulil Amri Itu Siapa? Bung Karno/Pak Natsir itu Wahabi tapi pernah menjadi Ulil Amri Indonesia

youtube.com/watch?v=JWOZfQ0pkgM

KONSEP PENDIDIKAN INTEGRAL

Sekeluarnya dari tahanan Orde Lama, Tahun 1966, M. Natsir mendapat tawaran hadiah dari Raja Faisal. Oleh M. Natsir, tawaran hadiah itu dialihkan dalam bentuk pemberian beasiswa kepada mahasiswa Indonesia untuk mengambil kuliah pada sejumlah universitas di Arab Saudi. Selain itu, Dewan Dakwah juga menjadi salah satu lembaga pemberi rekomendasi kepada para mahasiswa Indonesia yang akan kuliah di luar negeri, khususnya di dunia Islam. Mohammad Natsir pun melakukan penggalangan dana untuk memberi beasiswa kepada ratusan mahasiswa untuk melanjutkan program pendidikan ke jenjang S-2 dan S-3 pada berbagai kampus di luar negeri. Pada era 1980-an pula, M. Natsir memelopori terbentuknya pesantren-pesantren mahasiswa di sekitar kampus-kampus terkenal di Indonesia, seperti ITB, UGM dan IPB. Di bidang pemikiran, Tahun 1991, M. Natsir menerima gelar doktor honoris causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia.14

14) Tentang peran M. Natsir dalam pembentukan intelektual Muslim di Indonesia, silakan lihat Yudi Latif, Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, (Bandung: Mizan, 2005). Dalam rangka melanjutkan usaha-usaha M. Natsir membentuk kader-kader ulama dan cendekiawan. Sejak Tahun 2007, DDII juga melaksanakan program kaderisasi 1.000 ulama. Tujuannya adalah melahirkan ribuan cendekiawan dan ulama yang andal untuk menghadapi tantangan dakwah pada masa yang akan datang.

(Pemikiran & Perjuangan M. NATSIR & HAMKA dalam Pendidikan, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2020).

DANA WAHABI MENGALIR SAMPAI JAUH... | Seruput Kopi bersama Jajang Jahroni (Guru Besar UIN Jakarta)

youtube.com/watch?v=gR6d_L4tN7Q

ME"MUDA"KAN PENGERTIAN ISLAM

Panta rei -- segala sesuatu mengalir. Dapatkah aliran sungai kita bendung? Pembaca, meski seratus ideologi yang begitu keras sebagaimana ideologi Wahabisme pun, tak akan kuasa membendung aliran air sungai yang bernama zaman itu. Tembok beton dan besi yang bagaimanapun, akan pecahlah karena kekuatan air ideologi baru yang mengebah itu. Siapa yang memasang bendungan di sungai zaman, ia adalah orang yang sangat dungu. Orang bijaksana tidak membendung, orang bijaksana menerima dan mengatur. Ibn Saud termasyhur sebagai panglima perang, sebagai prajurit dan pejuang. Tetapi ia termasyhur pula sebagai ahli tata negara. Dapatkah ia selalu mengerjakan kebijakan ahli tata negara terhadap desakannya zaman itu? Sejarah akan membuktikan kelak.

SUKARNO

(ISLAM SONTOLOYO, Penerbit BASABASI, Tahun Terbit Elektronik, 2020).

"Langsung To The Point Aja, Gak Pake Basa-Basi" | Cinta Subuh

youtube.com/watch?v=ql187Wtb9jU

Ketua Majelis Ulama -Mufti- Indonesia: Buya HAMKA

mui.or.id/tentang-mui/ketua-mui/buya-hamka.html

IMAN, HIJRAH DAN JIHAD

Kalau toleransi ada, tetapi iman dan persatuan tidak ada, pihak kafir bukan lagi bekerja menghancurkan kekuatan Islam dengan terang-terang, tetapi dengan muslihat yang halus. Mereka tidak mengusir kita dari kampung halaman kita dengan jelas-jelas, tetapi memasukkan dan menusukkan jarum pengaruh mereka ke dalam kampung halaman dan rumah tangga kita. Mereka hendak membikin sehingga kampung halaman dan rumah tangga kita bertukar menjadi rumah tangga yang bukan Islam lagi.

MEMAKMURKAN MASJID

Menurut Ibnu Abbas, barangsiapa yang mendengar seruan (adzan) untuk shalat, tetapi tidak dijawabnya seruan itu dan tidak dia segera datang ke masjid, dan dia shalat saja di rumah, maka samalah dengan tidak shalat, dan sesungguhnya dia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Menurut Abdurrazaq yang diterimanya dari Ma'mar bin Ishaq dari Amar bin Maimun al-Audi. Dia berkata (seorang tabi'in), "Aku masih mendapati beberapa sahabat Rasulullah saw. Umumnya mereka berkata, 'Masjid-masjid itu adalah Rumah Allah di atas bumi ini!' Maka, adalah menjadi hak bagi Allah memuliakan setiap orang yang berziarah ke rumah-Nya."

CINTAKAN ALLAH

Maka, adalah orang-orang yang terpacul, tercampak ke luar dari rombongan. Ada yang mengaku cinta kepada Allah, tetapi bukan bimbingan Muhammad yang hendak diturutinya, dia pun tersingkir ke tepi. Dia maghdhub, dimurkai Allah. Ada yang mencoba-coba membuat rencana sendiri, memandai-mandai, maka dia pun terlempar ke luar, dia dhallin, dia pun tersesat. Orang-orang yang semuanya telah kafir.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Inovasi 'Polisi Santri' Polda Jatim Diapresiasi LEMKAPI, Sesuai Budaya dan Kearifan Lokal Daerah

surabaya.tribunnews.com/2022/04/24/inovasi-polisi-santri-polda-jatim-diapresiasi-lemkapi-sesuai-budaya-dan-kearifan-lokal-daerah

NASEHAT HADRATISY-SYAIKH HASYIM ASY'ARI TENTANG KHILAFIYAH

"Padahal hukuman meninggalkan sembahyang itu menurut Imam Syafi'i dan Imam Malik dan Imam Ahmad boleh dipotong lehernya dengan pedang. Tidak ada di kalangan kamu yang berani menegur tetangganya yang meninggalkan sembahyang, bahkan didiamkan saja."

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Penerbit Galata Media, Cet. I, 2018).

Hukum Sholat Berjamaah, Ustadz Abdul Somad: Madzhab Hambali Wajib

portalpekalongan.pikiran-rakyat.com/khazanah/pr-1916006415/hukum-sholat-berjamaah-ustadz-abdul-somad-madzhab-hambali-wajib

ULAMA-ULAMA YANG SEZAMAN DENGANNYA

Ditanyai orang pula beliau tentang Kiai Hasyim Asy'ari, beliau berkata, "Aku baru sekali bertemu dengannya dalam satu jamuan. Melihat bawaan badannya, aku tertarik. Dia adalah seorang ulama yang zahid (zuhud), dan dari tulisan-tulisannya, kelihatan penyelidikannya dalam Madzhab Syafi'i amat dalam dan luas."

IBADAHNYA

Ada sebuah bukunya berjudul Annida ila Shalatil jama'ati wal Iqtida (seruan sembahyang berjamaah dan mencontoh Sunnah Nabi). Menurutnya, sembahyang jamaah adalah wajib.

(Buya HAMKA, AYAHKU, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

Alasan Singapura Tolak UAS: Dikenal sebagai Ustaz Ekstremis Pemecah Belah

news.detik.com/berita/d-6082382/alasan-singapura-tolak-uas-dikenal-sebagai-ustaz-ekstremis-pemecah-belah

GURU ORDONANSI (1928 M)

"Aku yakin pemerintah agung tidak bermaksud hendak menyinggung perasaan kita. Namun, peraturan ini akan dijalankan adalah karena kesalahan kita selama ini. Kita, ulama-ulama, selalu berpecah-belah, selalu bersilang selisih -- Ketika itu, air mata beliau menitik iring gemiring. Inilah bahaya yang mengancam kita dan akan banyak bahaya lagi selama kita berpecah." Semua yang hadir bergerungan, menitikkan air mata. Syekh M. Siddik dan Mak Adam Pasar Baru sampai meraung, dan wakil-wakil pemerintah menyaksikan sendiri dengan mata kepala mereka bagaimana hebat keadaan hari itu. Kalau salah-salah bertindak, bahaya besarlah yang akan mengancam. "Sudikah Tuan-Tuan bersatu?" "Sudi," jawab suara gemuruh. Beliau hadapkanlah muka beliau kepada wakil-wakil pemerintah yang hadir, kepada Dr. de Vries yang mukanya telah agak pucat. "Sampaikan pada pemerintah tinggi, janganlah dijalankan ordonansi itu di sini. Kami tidak berpecah lagi. Kami telah bersatu."

MENGGEMBLENG UMAT

Kajian-kajian yang remeh tidak dibuka lagi. Justru, kalau ada ulama-ulama muda yang membangkit-bangkitkan hal itu, beliau tegur dengan keras.

(Buya HAMKA, AYAHKU, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

Deklarasi Dan Ikrar Anti Paham Wahhabi Pemecah Belah Ummat Islam

youtube.com/watch?v=si-7kzCCeG4

KARENA CARI MAKAN

Apakah ini dari agama? Terang-terang hadits menerangkan bahwa perbuatan ini adalah haram, sama dengan meratap. Sebaliknya, kalau di kampung itu juga ada orang kematian tidak mengadakan jamuan makan besar itu, dituduhlah dia menyalahi peraturan agama. Dikatakan bahwa orang yang telah mati itu tidak diselamatkan, sebagaimana mati anjing saja. Setelah itu, tidaklah putus makan-makan itu di hari ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, ke-7, hari memarit (menembok) kubur, hari ke-40 setelah matinya, hari ke-100, dan penutup hari yang ke-1000. Bahkan pada kubur-kubur orang yang dianggap keramat, kubur ulama atau kuburan keturunan sayyid yang tertentu, diadakan Haul sekali setahun, makan besar di sana sambil membaca berbagai bacaan. Rakyat yang awam dikerahkan menyediakan makanan, bergotong-royong menyediakan segala perbekalan. Malahan ada orang yang digajikan buat membaca surah Yaasiin di satu kubur tiap-tiap pagi hari Jum'at. Atas rayuan Setan, orang berkeras mengatakan bahwa itu adalah agama. Siapa yang tidak mengatakan dari agama, dia akan dituduh memecah persatuan! Kalau kita katakan ini bukanlah agama, ini adalah menambah-nambah dan mengatakan atas Allah barang yang tidak diketahui, maka kitalah yang akan dituduh merusak agama.

IMAN, HIJRAH DAN JIHAD

Sesampai di Madinah, mesti menyusun kekuatan, untuk terutama ialah memerdekakan negeri Mekah tempat Ka'bah berdiri daripada penyembahan kepada berhala. Dan, untuk membebaskan seluruh Jazirah Arab pada taraf pertama dari perbudakan makhluk. Perbudakan kepala-kepala agama dan raja-raja. Kemudian, untuk membebaskan seluruh dunia dari perhambaan benda. Sehingga tempat manusia berlindung hanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hijrah adalah untuk menyusun masyarakat Islam. Hijrah adalah untuk menegakkan sesuatu kekuasaan, yang menjalankan undang-undang yang timbul dari syari'at, dari wahyu yang diturunkan Allah. Dan, hijrah itu habis sendirinya bila Mekah sudah dapat dibebaskan dari kekuasaan orang-orang yang mengambil keuntungan untuk diri sendiri, dengan membelokkan ajaran Allah dari aslinya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Klaster Tahlilan di Grogol, Rumah Warga Disemprot Disinfektan

kompas.tv/article/96494/klaster-tahlilan-di-grogol-rumah-warga-disemprot-disinfektan

MEMULAI PERJUANGAN

Terjadilah perdebatan antara abang dengan adik karena ayah Hamka mengemukakan hadits dari Jarir bin Abdillah yang menyatakan bahwa berkumpul dan makan-makan di rumah orang kematian sama haramnya dengan meratap. Namun, Haji Muhammad Nur dimenangkan oleh tuanku laras. Apalagi, dia disokong pula oleh mamaknya, Datuk Makhudum, yang menjadi penghulu kepala dan anak dari tuanku laras. Kami berdebat di rumah tuanku laras sejak pukul sembilan pagi sampai pukul lima sore, hanya waktu sembahyang saja terhenti ... Kami dibenci orang. Ayah Hamka dituduh durhaka kepada ayahnya karena ruh ayahnya tidak dihormati, dipandang sebagaimana anjing mati saja. Haji Muhammad Nur dipuji karena dia tetap setia pada ruh ayahnya.

(Buya HAMKA, AYAHKU, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

SEMUA ARTIS HIJRAH HARUS TAU INI AGAR TIDAK TERPAPAR WAHABI

youtube.com/watch?v=NQ_77Nm2YrE

Surat dari Tanah Mangkasura:
Bersatu Dalam Akidah, Toleransi Dalam Furu' dan Khilafiyah
PERJALANAN TERAKHIR BUYA HAMKA:
Sebuah Biografi Kematian

Teladani Figur Buya Hamka untuk Hadapi Dinamika Bangsa

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius mengajak seluruh anak bangsa untuk meneladani figur dan pemikiran Abdul Malik bin Haji Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Buya Hamka.

jpnn.com/news/teladani-figur-buya-hamka-untuk-hadapi-dinamika-bangsa

POLAH "MANTRI" MALIK

Keheranan kali ini ditimbulkan oleh sikap sang abuyanya sendiri. Awalnya Malik mendapati kesedihan seorang ibu yang ditinggal pergi anak tunggalnya ke hadapan Ilahi. Iba melihat ibu yang berduka cita itu, Malik bocah menghubungi kawan-kawan permainannya. Malik memang figur pengepala yang tak sungkan buat diikuti. Dibuatlah sebuah misi: menghibur keluarga yang tengah lara itu. Alhasil, saban malam, Malik dan kawan-kawannya mengaji di rumah ibu itu. Tiga hari misi itu berjalan, Haji Rasul tahu. Dilarangnya Malik untuk pergi ke rumah itu. Yang belum dipahami Malik bocah, ayahnya merupakan penentang keras acara berkumpul-kumpul di rumah orang yang tengah ditimpa kematian salah satu anggota keluarganya, dengan alasan termasuk larangan meratapi almarhum.

(Yusuf Maulana, Buya HAMKA Ulama Umat Teladan Rakyat, Penerbit Pro-U Media, 2018).

Sindiran Kang Dede: Setelah Aksi Bela Toa Apakah Akan Muncul Aksi Bela Halal?

makassar.terkini.id/sindiran-kang-dede-setelah-aksi-bela-toa-apakah-akan-muncul-aksi-bela-halal

PANGGILAN JIHAD

Merindukan kembali hadirnya ulama besar seperti beliau...

Semoga menjadi inspirasi semangat generasi muda Islam...

eramuslim.com/video/mengenang-panggilan-jihad-buya-hamka-setiap-kuliah-subuh-di-rri.htm

TRIBUTE SONG UNTUK BUYA HAMKA DAN BUYA MUHAMMAD NATSIR - JALAN CINTA (VIDEO LYRIC OFFICIAL)

youtube.com/watch?v=hWk3GbT155o

YANG MATI HIDUP KEMBALI

Jalan Allah itu (sabilillah) adalah kekal. As-Shirathal Mustaqim adalah lurus tak berhenti, jalan terus, terus dan lurus, sampai pada perhentian terakhir; yaitu surga Jannatun Na'im. Inti daripada surga itu, tidak lain ialah melihat Wajah Allah. Maka, bersatu-padulah setiap hamba Allah yang menempuh jalan itu, berjalan di atas garis itu, menjadi umat yang satu, tak terpisah. Tauhidul-kalimah di dalam kalimat Tauhid. Orang-orang seperti ini tidak pernah merasa kecil sebab hidupnya terikat dalam kebesaran Allah. Allahu Akbar! Tidak pernah merasa takut mati. Sebab maut itu hanya pembatas di antara dua suasana hidup, yaitu hidup fana dengan hidup baqa. Tidak pernah merasa miskin sebab jiwa kaya dengan iman, kaya dengan takwa, kaya dengan hubungan cinta ke langit dan cinta di atas permukaan bumi. Tidak merasa takut mati karena dia merasa bahwa pendiriannya dan aqidahnya tidak pernah berguncang. Tidak merasa takut mati sebab dia yakin bahwa dengan kematiannya pun, perjuangan ini akan diteruskan oleh orang lain.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Bom Wahabi Saat MAULID NABI

youtube.com/watch?v=KN-4HR1NfQE

ISLAM SONTOLOYO

Ini, inilah memang kesukarannya kerja yang harus diselesaikan oleh kaum muda itu: membantras adat-adat salah dan ideologi-ideologi salah tapi tidak bermusuhan dengan kaum yang karena 'belum tahu', membela kepada adat-adat salah dan ideologi-ideologi salah itu, menawarkan adat-adat benar dan ideologi-ideologi benar zonder memusuhi orang-orang yang karena 'belum tahu', belum mau membeli adat-adat benar dan ideologi-ideologi benar itu, mengoperasi tubuh Islam dari bisul-bisulnya menjadi potongan-potongan yang membinasakan keselamatan tubuh itu sama sekali. Renaissance-paedagogie -- mendidik supaya bangun kembali itu, itulah yang harus dikerjakan oleh kaum muda, itulah yang harus mereka 'sistemkan', dan bukan separatisme dan 'perang saudara', walaupun kaum jumud mengajak kepada separatisme dan 'perang saudara'. Bahagialah kaum muda yang dikasih kesempatan oleh Tuhan buat mengerjakan renaissance-paedagogie itu, bahagialah kaum muda yang ditakdirkan oleh TUHAN menjadi pahlawan-pahlawannya renaissance-paedagogie itu.

SUKARNO

(ISLAM SONTOLOYO, Penerbit BASABASI, Tahun Terbit Elektronik, 2020).

WOW.. SANGAT MENGGELEGAR, INILAH PIDATO BUNG KARNO MEMPERINGATI MAULID NABI MUHAMMAD SAW

youtube.com/watch?v=iuzb94SVcWs

PERTOLONGAN TUHAN

Beliau tidak segan memberikan nasihat yang terus terang kepada orang yang disangkanya mau menjunjung tinggi nasihatnya. Ketika diundang makan di rumah Bung Karno, di Pegangsaan Timur, dengan terus terang beliau memberikan nasihat kepada Bung Karno, "Janganlah terlalu mewah, Karno! Kalau hidup pemimpin terlalu mewah, segan rakyat mendekati."

NIKAH SI KANI

Disinilah rahasia pertanggungjawaban seorang yang berani mengeluarkan fatwa (mufti) atau menjatuhkan hukum (hakim). Kemudian, beliau menyambung pula, "Kalian, ulama-ulama muda, haruslah berhati-hati, dalam masalah-masalah yang mengenai ushalli, talkin atau qunut, kalian boleh berkeruk arang (Berkeruk arang dalam bahasa Minangkabau bermakna berbesar mulut). Namun, yang berkenaan dengan fatwa terhadap susunan masyarakat, kalian harus hati-hati, karena banyak, malahan sebagian besar hukum agama itu, bertali-tali dengan kekuasaan."

BAKTI KEPADA GURU DAN AYAH BUNDA

Beliau (Haji Abdul Karim Amrullah) selalu menyebut gurunya, Tuan Ahmad. Beliau memujinya sehingga kita merasa bahwa Syekh Ahmad Khatib itu serupa malaikat -- ulama Mekah dikalahkannya semua.

ULAMA-ULAMA YANG MENENTANGNYA

Beliau (Syekh M. Jamil Jaho) mendirikan suraunya di Jaho, dekat Padang Panjang. Murid-muridnya pun banyak berdatangan dari seluruh Minangkabau dan Sumatra. Ketika Perserikatan Muhammadiyah mulai masuk ke Minangkabau, atas propaganda yang dilakukan oleh S.Y. Sutan Mangkuto, Engku Jaho telah masuk Muhammadiyah. Masuk juga bersamanya, Tuan Syekh Muhammad Zain Simabur dan Engku Tafakis. Padahal, mereka termasuk mempertahankan paham yang lama. Pada Tahun 1927 M, terjadilah Kongres Muhammadiyah yang ke-16 di Pekalongan. Kedua ulama itu pun turut hadir dalam kongres itu. Di sanalah, baru mereka tahu tujuan yang sebenarnya dari Muhammadiyah, yaitu membela paham Wahabi dan lain-lain yang selama ini sangat mereka tentang. Apalagi, setelah mendengar khutbah K.H. Mas Mansur yang pada waktu itu mengemukakan pentingnya Muhammadiyah mendirikan Majelis Tarjih untuk menarjihkan hukum dan jangan hanya bertaklid kepada ulama-ulama saja. Setelah kembali dari Pekalongan itu, beliau pun mengundurkan dirinya dengan teratur. Sebagai seorang ulama besar, (beliau) tidak banyak mulut, mencela, dan memburuk-burukkan. Kedudukannya sebagai Ketua Cabang Muhammadiyah Padang Panjang tidak beliau hadapi lagi sehingga akulah (Hamka), yang menjadi wakil ketua ketika itu, yang melancarkan pekerjaannya. Namun, sebelum beliau mengundurkan diri itu, sempatlah aku -- berbulan-bulan lamanya -- berdekat dengannya, sama-sama bertabligh dan melancarkan organisasi Muhammadiyah. Oleh karena itu, dapatlah aku ketahui bahwa tidaklah banyak perbedaan pendiriannya dalam urusan agama dengan ayahku.

TIGA ULAMA PULANG DARI MEKAH

Kaum Wahabi memiliki ajaran agama yang keras, yaitu supaya umat Islam kembali pada ajaran Tauhid yang asli (murni) dari Rasulullah saw. Mereka (kaum Wahabi) berkeyakinan bahwa umat Islam sudah menyimpang terlalu jauh dari ajaran agama. Mereka melarang keras membesar-besarkan kuburan orang yang dipandang keramat. Mereka membatalkan beberapa amal yang telah berubah dari pokok ajaran Nabi saw.

PESANNYA KEPADA MUHAMMADIYAH

Hanya satu yang akan Ayah sampaikan kepada Pengurus Besar Muhammadiyah, tetaplah menegakkan Islam! Berpeganglah teguh dengan Al-Qur'an dan Sunnah! Selama Muhammadiyah masih berpegang dengan keduanya, selama itu pula Ayah akan menjadi pembelanya. Namun, kalau sekiranya Muhammadiyah telah menyia-nyiakan itu dan hanya mengemukakan pendapat pikiran manusia, Ayah akan melawan Muhammadiyah biar sampai bercerai bangkai burukku ini dengan nyawaku!

(Buya HAMKA, AYAHKU, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

Tidak Perlu Ragu Lagi, Mengirim Pahala kepada Mayit itu Sunnah & Sampai! | Ust Dr. Abdul Somad Lc MA

youtube.com/watch?v=KC0phmVG7xQ

ISLAM SONTOLOYO

Dunia Islam menjadi mundur oleh karena banyak orang 'jalankan' hadits yang dhaif dan palsu. Karena hadits-hadits yang demikian itulah, maka agama Islam menjadi diliputi oleh kabut-kabut kekolotan, ketakhayulan, bid'ah-bid'ah, anti-rasionalisme, dan lain-lain. Padahal tak ada agama yang lebih rasionil dan simplistis daripada Islam.

SUKARNO

(ISLAM SONTOLOYO, Penerbit BASABASI, Tahun Terbit Elektronik, 2020).

JANGAN MEMOHONKAN AMPUN UNTUK MUSYRIKIN

"... telah jelas baginya bahwa dia itu musuh bagi Allah ..." (at-Taubah: 113-114).

Tiada Dia bersekutu dalam keadaan-Nya dengan yang lain. Demikian juga tentang mengatur syari'at agama, tidak ada peraturan lain, melainkan dari Dia.

PENDIRIAN YANG TEGAS

"Katakanlah, 'Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku adalah karena Allah, Tuhan sarwa sekalian alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya dan begitulah aku diperintah ... Dan tidaklah akan menanggung seorang penanggung akan tanggungan orang lain. Kemudian kepada Tuhan kamulah tempat kamu kembali. Maka Dialah yang akan memberitakan kepada kamu tentang apa yang telah pernah kamu perselisihkan.'" (al-An'aam: 162-164).

Dengan ayat ini, terutama yang menerangkan bahwa seorang tidak akan menanggung beban tanggungan orang lain, dapatlah dipahamkan, memberikan hadiah pahala bacaan al-Faatihah atau surah Yaasiin dan sebagainya untuk orang yang telah mati, menjadi percuma, tidak ada gunanya. Apalagi Salafush Shalihin pun tidak pula meninggalkan contoh yang dapat ditiru dalam amalan seperti ini. Sekarang kebiasaan tambahan itu telah merata di mana-mana. Dan kalau dicari dari mana asal mulanya menurut ilmiah, sebagaimana tuntutan kepada orang Quraisy tentang binatang larangan dan ladang larangan pada ayat 143 dan 144 di atas tadi, akan payah pula orang mencari dasarnya. Sunnah dan teladan dari Rasulullah saw. hanyalah mendoakan kepada Allah, semoga Muslimin dan Muslimat, yang hidup atau yang mati diberi rahmat, karunia dan kelapangan oleh Allah. Berdoa demikian memang berpahala dan pahalanya itu adalah untuk yang berdoa. Adapun doa itu dikabulkan atau tidak oleh Allah, terserah kepada Allah sendiri. Ini sangat jauh bedanya dengan membaca surah Yaasiin, lalu dapat pahala dan pahala itu dikirim kepada si mati, untuknya.

JANJI ILAHI DAN PENGHARAPAN

"... ialah karena mereka menyembah Aku dan tidak mempersekutukan Aku ..." (an-Nuur: 55).

Ayat inilah sumber inspirasi buat bangkit. Ayat 55 surah an-Nuur inilah pegangan Nabi Muhammad saw. bersama sekalian pengikutnya dari Muhajirin dan Anshar, selama 10 tahun di Madinah. Ayat inilah bekal Abu Bakar menundukkan kaum murtad, pegangan Umar bin Khaththab meruntuhkan dua kerajaan besar, yaitu Persia dan Rum. Kekuasaan pasti diserahkan ke tangan kita dan agama kita pasti tegak dengan teguhnya dan keamanan pasti tercapai. Perjuangan menegakkan cita Islam, mencapai tujuan menjadi penerima waris di atas bumi, bukanlah kepunyaan satu generasi, dan jumlahnya bukanlah sekarang, melainkan menghendaki tenaga sambung-bersambung. Di ayat 56 itu sudah jelas, cita-cita untuk menyambut warisan, melaksanakan kehendak Ilahi di atas dunia ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENUTUP

Hal yang penting bagi kami bukanlah menukar kulit atau memasang merek dengan leter besar-besar "NEGARA ISLAM". Hal yang penting bagi kami ialah agar negara ini benar-benar melaksanakan hukum yang didirikan Allah SWT yang telah Dia wahyukan dengan perantaraan rasul-rasul-Nya sejak Nabi Adam a.s. yang diturunkan Tuhan untuk mengembangkan manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi, serta diiringi oleh rasul-rasul dan nabi-nabi Allah SWT yang mulia dan sufi, mulai dari Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s. (anak Maryam), hingga nabi penutup (Nabi Muhammad saw.). Kami tahu bahwa orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhanlah yang akan benci dan sinis mendengarkan cita-cita ini.

(ceramah di Sekolah Tinggi Teologi Kristen, 21 April 1970).

(Buya HAMKA, Studi Islam, Penerbit Gema Insani, 2020).

Ketua MUI Komentari Pertemuan Jokowi-Elon Musk: Uang Lebih Kuasa dari Jabatan

kompas.tv/article/289134/ketua-mui-komentari-pertemuan-jokowi-elon-musk-uang-lebih-kuasa-dari-jabatan

KARENA CARI MAKAN

Setan masuk ke segala pintu menurut tingkat orang yang dimasuki. Kebanyakannya karena mencari makanan pengisi perut. Paling akhir Setan berusaha supaya orang mengatakan terhadap Allah apa yang tidak mereka ketahui. Kalau orang yang dia sesatkan sampai tidak mengakui lagi adanya Allah karena telah mabuk dengan maksiat, Setan pun dapat menyelundup ke dalam suasana keagamaan sehingga lama-kelamaan orang berani menambah agama, mengatakan peraturan Allah, padahal bukan dari Allah, mengatakan agama, padahal bukan agama. Lama-lama orang pun telah merasa itulah dia agama. Asalnya soal makanan juga.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Presiden dan Keluarga Gelar Tahlilan untuk Almarhumah Ibunda Presiden Jokowi

presidenri.go.id/siaran-pers/presiden-dan-keluarga-gelar-tahlilan-untuk-almarhumah-ibunda-presiden-jokowi

KARENA CARI MAKAN

"Dan setengah dari manusia ada yang mengambil yang selain Allah menjadi tandingan-tandingan ... Dan sekali-kali tidaklah mereka akan keluar dari neraka ... Dan supaya kamu katakan terhadap Allah hal-hal yang tidak kamu ketahui." (al-Baqarah: 165-169).

Hal-hal yang diterangkan di atas adalah nasib dari orang yang telah memperturutkan langkah-langkah Setan yang asalnya dari makanan sehingga agama pun telah dikorupsikan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Inti Dari Tahlilan, Banyak Orang Justru Tidak Tahu | Gus Baha

youtube.com/watch?v=gP8W2xH5F24

MENUHANKAN MANUSIA

Manusia tiada berhak menambah-nambah apa yang telah diatur oleh Allah.

PUNCAK SEGALA DOSA

Jelas kemurkaan Allah karena mengarang-ngarang yang bukan berasal dari ajaran agama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Bid'ah Cinta, Antara Cinta dan Bid'ah | TV9 News

youtube.com/watch?v=lE9fAIuDnjk

Dian Sastrowardoyo Sempat Mengira Islam Kejam, Kini Malah Rutin Khatam Al-Qur'an

lifestyle.sindonews.com/read/753651/187/dian-sastrowardoyo-sempat-mengira-islam-kejam-kini-malah-rutin-khatam-al-quran-1650873882

PEREMPUAN ITU SENDIRI ADALAH AURAT

Ananda menanyakan tentang batas aurat perempuan, "Sampai batas-batas manakah seorang perempuan muslim harus berpakaian?" Oleh karena Ananda yang bertanya tampaknya memang seorang perempuan Muslimat yang ingin mengikuti Nabi saw., ingatlah sebuah hadits yang dirawikan oleh at-Tirmidzi, "Perempuan itu sendiri adalah aurat. Bila ia telah keluar, Setan terus mendekatinya. Tempat yang paling dekat untuknya dalam perlindungannya adalah terang-terang di bawah atap rumahnya." Oleh sebab itu kalau tidak perlu benar, janganlah keluar. Misalnya pergi belajar. Pergi ke Masjid tidaklah dilarang. Namun, shalat di rumah adalah lebih afdhal.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Marissa Haque: UU Cipta Kerja Bikin 87 Persen Muslim Indonesia Murtad

kalbar.suara.com/read/2020/10/14/155346/marissa-haque-uu-cipta-kerja-bikin-87-persen-muslim-indonesia-murtad

MENJADI IBU RUMAH TANGGA YANG TERHORMAT

Karena tidak lain maksud Allah SWT ialah agar terbentuk rumah tangga Islam, rumah tangga yang aman damai, dipatrikan oleh ketaatan, bersih dari perangai yang tercela atau penyakit-penyakit buruk dalam hati. Dan penuhlah hendaknya suatu rumah tangga Islam dengan suasana Al-Qur'an. Kita pun insaf betapa hebatnya perjuangan di zaman jahiliyyah modern ini hendak menegakkan kebenaran Ilahi. Namun yang keji tetaplah keji walaupun banyak orang yang hanyut dibawa arusnya.

POKOK BERPIKIR

Peraturan Islam itu dari Allah dan Rasul, tidak dicampuri oleh pendapat umum manusia. Meskipun kadang-kadang ijtihad manusia masuk juga ke dalamnya, ijtihad itu tidak lebih tidak kurang daripada garis yang telah ditentukan. Hasil pendapat tidak boleh berubah dari maksud syari'at.

MEMPERSEKUTUKAN (MENGADAKAN TANDINGAN-TANDINGAN)

Mempersekutukan atau mengadakan tandingan-tandingan itu bukanlah semata-mata menyembah-nyembah dan memuja-muja saja, melainkan kalau pemimpin atau pemuka-pemuka membuat peraturan lalu peraturan mereka lebih diutamakan dari peraturan Allah maka terhitunglah orang yang mengikuti itu dalam lingkungan musyrik.

THAGHUT

Orang yang kafir itu, pemimpinnya ialah Thaghut, yaitu segala kekuasaan yang bersifat merampas hak Allah, yang tidak menghargai nilai hukum Ilahi. Thaghut itu pemimpin mereka, keluar dari tempat yang terang benderang bercahaya akan dibawa ke tempat yang gelap gulita dan mereka jadi ahli neraka dan kekal di dalamnya. Kalau orang yang beriman, dia berjuang ialah pada jalan Allah. Tetapi orang-orang yang kafir berjuangnya ialah pada jalan Thaghut. Pada lanjutan ayat diperintahkan kepada orang yang beriman, hendaklah perangi wali-wali Setan itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HABIS GELAP TERBITLAH TERANG: Pemahaman Kartini terhadap Ayat Al-Qur'an

youtube.com/watch?v=5ZeFMfyl3FA

Syirik Besar

Syirik besar atau yang juga disebut syirik akbar/jali adalah perbuatan yang jelas-jelas menganggap adanya tuhan selain Allah SWT dan menjadikannya sebagai tandingan-Nya. Syirik akbar dapat menyebabkan pelakunya diancam keluar dari agama Islam dan apabila meninggal dalam kondisi belum bertaubat maka dosanya tidak terampuni.

merdeka.com/jatim/syirik-adalah-perbuatan-menyekutukan-tuhan-yang-wajib-dihindari-ini-lengkapnya-kln.html

Duh! RI Dilanda Badai Pengangguran & Kemiskinan Ekstrem

cnbcindonesia.com/news/20210831180132-16-272675/duh-ri-dilanda-badai-pengangguran-kemiskinan-ekstrem

AIR MATA PENGHABISAN

Siapakah di antara kita yang kejam, hai perempuan muda? Saya kirimkan berpucuk-pucuk surat, meratap, menghinakan diri, memohon dikasihani sehingga saya, yang bagaimanapun hina dipandang orang, wajib juga menjaga kehormatan diri. Tiba-tiba kau balas saja dengan suatu balasan yang tak tersudu diitik, tak termakan diayam. Kau katakan bahwa kau miskin, saya pun miskin, hidup tidak akan beruntung kalau tidak dengan uang. Sebab itulah kau pilih hidup yang lebih senang, mentereng, cukup uang. Berenang di dalam mas, bersayap uang kertas. Siapakah di antara kita yang kejam? Siapakah yang telah menghalangi seorang anak muda yang bercita-cita tinggi menambah pengetahuan, tetapi kemudian terbuang jauh ke Tanah Jawa ini, hilang kampung dan halamannya? Sehingga dia menjadi seorang anak "komidi" yang tertawa di muka umum, tetapi menangis di belakang layar?

AIR MATA PENGHABISAN

Ya, demikianlah perempuan, dia hanya ingat kekejaman orang kepada dirinya, walaupun kecil, dan dia lupa kekejamannya sendiri kepada orang lain walaupun bagaimana besarnya.

(Buya HAMKA, TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK, Penerbit Gema Insani, 2019).

Melakukan Ini Sama Dengan Menantang Perang Pada Allah!!! | Buya Dr. Arrazy Hasyim, MA

youtube.com/watch?v=m3HTadfjnJc

GHURABAA

Saya salinkan ke dalam bahasa kita apa yang ditulis oleh Ibnul Qayyim ini dalam Madarijus Salikin tentang ghurabaa ini. "Muslim sejati di kalangan manusia adalah asing. Mukmin di kalangan orang Islam adalah asing, ahli ilmu sejati di kalangan orang beriman adalah asing, Ahli Sunnah yang membedakannya dengan ahli dakwah nafsu dan Bid'ah di kalangan mereka adalah asing dan ahli-ahli dakwah yang membawa orang kejurusan itu dan orang yang selalu disakitkan oleh orang yang tidak senang, pun adalah sangat asing. Namun, orang-orang itu semuanya adalah Wali Allah yang sebenarnya, sebab itu mereka tidak asing. Mereka hanya asing dalam pandangan orang kebanyakan ini."

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Sekolah Ajarkan Siswanya Rusak Belasan Makam, Gibran: Kurang Ajar, Tutup Saja!

surakarta.suara.com/read/2021/06/21/154453/sekolah-ajarkan-siswanya-rusak-belasan-makam-gibran-kurang-ajar-tutup-saja

GERAKAN WAHABI DI INDONESIA

Mungkin perkumpulan-perkumpulan yang memang nyata kemasukan paham Wahabi sebagaimana Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan lain-lain diminta supaya dibubarkan saja.

(Buya HAMKA, DARI PERBENDAHARAAN LAMA: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2017).

SYAIKH AHMAD SOORKATI

Beliau pun banyak memberikan inspirasi pada Kiyai H. A. Dahlan, dalam usaha beliau mendirikan Muhammadiyah. Karena persamaan cita hendak membersihkan agama dari Bid'ah, Khurafat, pemujaan kubur keramat dan Haul yang diadakan di kubur-kubur yang dikeramatkan itu setiap tahun pada beberapa kota besar di tanah Jawa.

SAYYID MUHAMMAD RASYID RIDHA

Beliau menulis dalam Al-Manar Juz 3, Jilid 32 demikian:

"... Maka lahirlah pada masa itu sebuah perkumpulan bernama "Al-Irsyad". Tujuannya ialah mendirikan sekolah-sekolah dan menyebarkan pelajaran agama dan ilmu-ilmu umum yang sesuai dengan zaman dan semangat kemerdekaan dan menghidupkan petunjuk dari Al-Qur'an dan Sunnah, dan membanteras segala Khurafat yang tersebar dengan jalan Bid'ah pada agama ..."

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Penerbit Galata Media, Cet. I, 2018).

Fenomena Salah Jurusan, Salah Siapa? | TirtoID

youtube.com/watch?v=nyNyXia2kig

KEPADA PEMUDA:

"Bebanmu akan berat. Jiwamu harus kuat. Tetapi aku percaya langkahmu akan jaya. Kuatkan pribadimu!"

HAMKA
Jayakarta, Januari 1950.

PERCAYA KEPADA DIRI SENDIRI

Di antara Al-Qur'an dan Sunnah Nabi sebagai pedoman beragama dengan seorang Muslim terdapat batas dan dinding yang terlalu banyak. Beberapa kitab fiqih dan karya para ulama dipandang sangat suci dan tidak boleh dibandingkan. Agama sangat mencela orang yang menjadi perantara yang membatasi manusia dengan Tuhan, padahal sangat jelas pengaruh tukang tenung dan orang-orang yang suka menyembah benda keramat dan kuburan.

(Buya HAMKA, PRIBADI HEBAT, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2014).

DOSA YANG LEBIH BESAR DARI DOSA SYIRIK

[4] Mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu). (Al A'raf: 33)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini, "... Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari'at-Nya." [I'lamul muwaqqi'in hal. 31, Dar Kutubil 'Ilmiyah].

muslim.or.id/41186-dosa-yang-lebih-besar-dari-dosa-syirik.html

MENUHANKAN GURU

"Telah mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi Tuhan-Tuhan selain Allah dan (juga) al-Masih anak Maryam, padahal tidaklah mereka diperintah, melainkan supaya menyembah kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa tidak ada Tuhan melainkan Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan itu." (at-Taubah: 31).

Ar-Razi ketika menafsirkan ayat ini di dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib telah membahas penyakit mempertuhan guru dan pendeta yang terdapat dalam Yahudi dan Nasrani itu jadi perbandingan kepada keadaan umat Islam di zaman itu. Ar-Razi berkata bahwa guru beliau pernah mengatakan kepadanya bahwa beliau menyaksikan suatu golongan dari fuqaha yang ber-taqlid itu, ketika aku bacakan kepada mereka ayat-ayat yang banyak dari kitab Allah dari beberapa masalah, padahal madzhab mereka berlain dari yang tersebut dalam ayat itu, maka tidaklah mereka mau menerima keterangan dari ayat-ayat itu dan tidak mereka mau memedulikannya, bahkan mereka memandang kepada ayat itu tercengang-cengang. Yaitu, mereka berpikir, bagaimana mungkin beramal menurut maksud ayat, padahal riwayat dari ulama-ulama ikutan kita berbeda dengan itu? Maka kalau engkau renungkan dengan sungguh-sungguh, akan engkau ketahuilah bahwa penyakit ini sudah sangat menular dalam kalangan ahli dunia.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Rayakan Ulang Tahun, Ustad Somad Diingetin Netizen: Selamat Murtad... Selamat Murtad...

wartaekonomi.co.id/read345865/rayakan-ulang-tahun-ustad-somad-diingetin-netizen-selamat-murtad-selamat-murtad

AMAL YANG PERCUMA

Banyak kelihatan orang berbuat baik padahal dia tidak beriman. Jangankan orang lain, sedangkan Nabi Muhammad saw. sendiri pun ataupun nabi-nabi dan rasul yang sebelumnya, jika dia menyerikatkan Allah dengan yang lain, amalnya pun tertolak dan percuma juga.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

SOK SUCI! TERIAK² ANTI BID'AH, TAPI DOYAN BID'AH - WAHABI MANGAP² OLEH TEORINYA SENDIRI

youtube.com/watch?v=wngoumrSyb4

BERPECAH SESUDAH MENDAPAT KETERANGAN

Orang yang berkeras mempertahankan suatu masalah ijtihadiyah, biasanya bukanlah orang yang luas pengetahuan, melainkan orang-orang yang diikat oleh taqlid kepada suatu paham, atau berkeras mempertahankan pendirian yang sudah diputuskan oleh segolongan.

Perkara khilafiyah atau ijtihadiyah yang begitu lapang pada mulanya, telah menjadi sempit dan membawa fitnah serta perpecahan, dan tidak lagi menurut ukuran yang sebenarnya sebagaimana yang tersebut dalam kitab-kitab ushul fiqih, yaitu kebebasan ijtihad, dan ijtihad tidaklah qath'i (pasti), melainkan zhanni (kecenderungan paham). Dan, tidak lagi hormat-menghormati paham, sebagaimana yang dikehendaki oleh agama. Timbul mau menang sendiri, yang tidak dikehendaki agama. Apatah lagi setelah orang awam berkeras mempertahankan suatu pendirian yang telah dipilihkan oleh guru-guru.

Inilah pangkal bencana umat Islam. Yaitu setelah umat dihukum oleh orang-orang muqallidin.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

GUS NURIL TAK BISA LAGI MENAHAN KEMARAHAN!! BERSIAPLAH KALIAN!!

youtube.com/watch?v=8BpkF2OuCBU

AGAMA DAN NEGARA

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam." (al-Anbiyaa': 107).

Suatu ijtihad pula yang berdasar zhanni yang bisa berubah karena datang yang lebih benar. Hanya satu yang tidak akan berubah selama-lamanya, yaitu kebenaran (al-haq).

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

SESAT DAN MENYESATKAN

Ibnul Qayyim mengingatkan, bahwa tradisi, motivasi, situasi, tempat dan waktu memengaruhi perubahan dan keragaman fatwa atau pemikiran hukum atau fikih. Ia mendeklarasikan adagiumnya (kaidah) yang berbunyi: "Perubahan dan keragaman fatwa (dimungkinkan terjadi) karena memperhatikan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat-istiadat." Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menegaskan bahwa melahirkan fatwa atau fikih tanpa memperhatikan lima faktor yang telah disebutkan merupakan keputusan yang sesat dan menyesatkan.

(Fikih Kebinekaan, Penerbit Mizan, Cet.1, 2015).

Akibat Salah Hijrah Dan Minimnya Ilmu

hwmi.or.id/2020/06/akibat-salah-hijrah-dan-minimnya-ilmu.html

ISLAM SUDAH SANGAT SEMPURNA

Dan kita pun maklum bahwasanya di dalam beberapa hal yang tidak berkenaan dengan ibadah syari'at, kita diberi kebebasan berpikir atau berijtihad. Tetapi ijtihad manusia itu tidaklah sama kuat kuasanya dengan nash Al-Qur'an dan Hadits. Ulama-ulama yang besar-besar bersungguh-sungguh memeras otak bagi memahamkan sesuatu nash yang masih meminta pembahasan. Tetapi mereka telah memberi ingat kepada kita bahwa hasil ijtihad mereka itu bukanlah yaqin, bukanlah pasti. Melainkan zhanni belaka, yaitu kecenderungan pikiran mereka belaka, yang bebas meninjaunya kembali. Jika salah atau tidak tepat menurut ruh syari'at, bolehlah ditolak. Dan kalau benar, melainkan nash Al-Qur'an itu sendirilah yang benar, lalu mereka diberi taufik mendekati kebenarannya itu. Dan Islam pun sudah sangat sempurna, sebab dia memberikan kebebasan kepada manusia yang mempunyai kelayakan buat berpikir dan berijtihad. Ini pulalah sebabnya terdapat fatwa Imam Syafi'i yang qadim, yaitu ketika beliau masih tinggal di Irak dan yang jadid, yaitu setelah beliau berpindah dan menetap di Mesir. Yang menunjukkan bahwa Islam itu sendiri telah sempurna, dan manusia yang berijtihad mempergunakan pikirannya pun mencari yang mendekati kesempurnaan itu pula, dengan menilik ruang dan waktu.

MEMECAH-BELAH AGAMA

Keempat Imam sama saja bunyi seruan mereka, yaitu pendapat mereka hanya boleh dipakai bila kenyataannya berlawanan dengan Al-Qur'an dan Hadits, Imam Syafi'i terkenal dengan perkataan beliau: "Kalau terdapat hadits yang shahih (benar) maka itulah madzhabku."

MEMPERSEKUTUKAN (MENGADAKAN TANDINGAN-TANDINGAN)

Seruan yang berkumandang di zaman kini dalam kebangunan umat Islam ialah agar kita semua kembali kepada Kitab dan Sunnah atau Al-Qur'an dan Hadits. Ini karena salah satu sebab dari kepecahan umat Islam ialah setelah Al-Qur'an ditinggalkan dan hanya tinggal menjadi bacaan untuk mencari pahala, sedangkan sumber agama telah diambil dari kitab-kitab ulama. Pertikaian madzhab membawa perselisihan dan timbulnya golongan-golongan yang membawa faham sendiri-sendiri. Bahkan dalam satu madzhab pun bisa timbul selisih dan perpecahan karena kelemahan-kelemahan sifat manusia. Orang-orang yang diikut, sebab mereka adalah manusia, kerapkali dipengaruhi oleh hawa nafsu, berkeras mempertahankan pendapat sendiri walaupun salah, dan tidak mau meninjau lagi. Sehingga masalah-masalah ijtihadiyah menjadi pendirian yang tidak berubah-ubah lagi. Bukan sebagaimana Imam Syafi'i yang berani mengubah pendapat sehingga ada pendapatnya yang qadim (lama) dan ada yang jadid (baru). Atau Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal dalam fi ihdaqaulaihi (pada salah satu di antara dua katanya). Dalam hal orang yang diikut itu berkeras pada suatu pendapat, si pengikut pun berkeras pula dalam taklid. Ini karena dengan sadar atau tidak, mereka telah menjadikan guru ikutan menjadi tandingan-tandingan Allah atau andadan.

DASAR ORANG MUSYRIK

Yang lebih disayangkan lagi ialah kesalahan penilaian mereka tentang arti wali Allah. Mereka pergi ke kuburan orang yang mereka anggap di masa hidupnya jadi wali, lalu dia memohon apa-apa di situ. Padahal ayat-ayat itu menyuruh orang bertauhid, mereka lakukan sebaliknya, jadi musyrik. Kalau ditegur dia marah, hingga mau dia menyerang orang yang menegurnya itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ISLAM SONTOLOYO,
SEBUAH OTOKRITIK YANG RELEVAN

Oleh: Edi AH Iyubenu

Soekarno lantas mengkritik kecenderungan pemberhalaan fiqih yang hakikatnya bukanlah dalil-dalil yang baku dan permanen, tetapi tafsir-tafsir manusia terhadapnya, sebagai biang kerok bagi kejumudan pemikiran keislaman itu. Konstruksi hukum Islam (fiqih) apa pun, kita mafhum, selain bersumber pada penafsiran terhadap dalil-dalil Al-Qur'an dan hadits serta berbagai item metodologis yang diambil, tetaplah semestinya diposisikan sebagai buah ijtihad yang tidak steril dari khazanah zaman, tempat, realitas, dan sekaligus kepentingan-kepentingan politis-kultural di dalamnya. Imam Syafi'i, misal, merevisi beberapa pandangan fiqih-nya dalam qaul qadim seiring hijrahnya beliau melalui qaul jadid yang datang belakangan. Maka membakukan fiqih beserta tafsir manusia terhadap dalil-dalil Al-Qur'an dan hadits merupakan anomali diskursif yang bukan hanya menjadikannya seolah sekudus Al-Qur'an dan hadits, tetapi sekaligus rawan memantik perkelahian klaim kebenaran di antara umat Islam sendiri.

(ISLAM SONTOLOYO, Penerbit BASABASI, Tahun Terbit Elektronik, 2020).

Mengapa Salafi-Wahabi Anti Madzhab? Sekte Sesat Sombong Amat!!!

youtube.com/watch?v=5uErvbWt6jM

Polemik Agama

Tahun 1950 an polemik agama yang terjadi sesama umat Islam tak kalah serunya seperti yang terjadi hari ini, tepatnya tahun 1956 terjadi perdebatan antara A. Hassan dengan Hussein Al Habsji seputar persoalan Mazhab, kalau hari ini istilahnya debat Wahhabi vs Aswaja. Dalam pengantar bukunya, "Haramkah Orang Bermazhab?" Hussein Al Habsij mengisahkan bahwa sedianya akan diadakan munazarah antara kedua kubu dan supaya adil maka diminta lah waktu itu Sheikh Ibrahim Musa (Inyiak Parabek), Buya Hamka, Buya A.R Sutan Mansur, A. Gafar Ismail rahimahumullah sebagai hakim agar munazarah mencapai matlamatnya. Pak Natsir pun juga diminta memfasilitasi munazarah tadi.. Kesemua ulama yang diminta berasal dari Minangkabau.

hariansinggalang.co.id/polemik-agama

TERNYATA MAZHAB WAHABI DAN MENGANGGAP UMAT TELAH SYIRIK SEMENJAK 600 TAHUN YANG LALU | Syekh Akbar

youtube.com/watch?v=P7x1nkgkGks

AGAMA ISLAM DALAM MEMBENTUK RIWAYATNYA

"Kamu akan mengikut jejak pemeluk agama yang sebelum kamu tapak demi tapak (Yahudi-Nasrani) ..." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dahulu kala ulama-ulama yang dahulu mengambil istinbat hukum dari Al-Qur'an sendiri, Hadits Nabi saw. disaring benar-benar karena telah banyak campuran buatan manusia yang mempunyai maksud untuk kepentingan sendiri. Lalu ulama itu mempergunakan ijtihad. Ijtihad itu mereka namakan "zan" tidak hukum "yakin". Ulama itu berkata, "Bahwa jika bertemu kataku itu dan bertemu pula hadits yang shahih tinggalkanlah kata-kataku itu dan ambil hadits yang shahih." Ada pula berkata, "Jangan dipegang perkataanku atau perkataan ulama yang lain, tetapi peganglah Al-Qur'an dan as-Sunnah yang shahih."

Setelah agama Islam mundur, arti ulama itu telah dipersempit. Ulama itu ialah yang tahu kitab suci, fiqih cara taqlid kepada pengarang-pengarangnya yang telah lama, budak dari matan karangan itu. Tidak berani keluar dari garis bunyi kitab sebab pikirannya sendiri tidak berjalan. Ia menjadi jumud, beku. Bunyi kitab karangan manusia itulah yang mereka namakan nash!

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

Ulama Sedunia Sepakat Wahhabi Bukanlah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

youtube.com/watch?v=Bt7_4baLIEs

MADZHAB ASY'ARI

Taklid kepada tukang tafsirkan tafsir dari tafsirnya tafsir.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

MAULID DI MABES POLRI | TRI TAUHIDNYA ISIS MIRIP WAHABI

youtube.com/watch?v=E2A7uwHoXUo

MENUHANKAN GURU

"Telah mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi Tuhan-Tuhan selain Allah dan (juga) al-Masih anak Maryam, padahal tidaklah mereka diperintah, melainkan supaya menyembah kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa tidak ada Tuhan melainkan Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan itu." (at-Taubah: 31).

Imam ar-Razi dalam tafsir beliau Mafatihul Ghaib, "Kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Arbab (Tuhan-Tuhan) terhadap pendeta itu bukanlah bahwa mereka berkepercayaan bahwa pendeta yang menjadikan alam ini, tetapi bahwa mereka patuhi segala perintah dan larangan mereka!" Inilah perkataan ar-Razi, yang mengarang tafsirnya pada abad-abad pertengahan dalam Islam. Beliau menegaskan bahwa penyakit-penyakit kepercayaan Yahudi dan Nasrani itu telah berjumpa pula dalam kalangan Islam. Lebih mementingkan kata ulama daripada Kata Allah dan Rasul saw. Taklid dalam soal-soal fiqih sehingga tidak mau lagi meninjau pikiran yang baru, sehingga agama menjadi membeku. Sehingga timbullah pertengkaran dan pertentangan dan sampai kepada permusuhan di antara muqallid suatu madzhab dengan muqallid madzhab yang lain. Kadang-kadang sampai memusuhi orang yang berlain madzhab sama dengan memusuhi orang yang berlain agama. Gejala mendewa-dewakan guru, baik di waktu hidupnya maupun sesudah matinya. Di dalam kalangan Islam, tumbuhlah pemujian yang berlebih-lebihan kepada guru-guru yang dikeramatkan, dan setelah si guru mati, kuburnya pun mulai dikeramatkan pula, yaitu diberhalakan. Mereka tidak akan mau mengaku bahwa mereka telah mempertuhan guru, sebagai juga orang Yahudi dan Nasrani tidak juga akan mengaku bahwa guru-guru dan pendeta yang mereka puja-puja itu tidak juga diakui sebagai Tuhan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Tidak ada yang tersisa di muka bumi kecuali dikafirkan oleh Salafi/Wahabi

youtube.com/watch?v=3mMpzS9fRSQ

ME"MUDA"KAN PENGERTIAN ISLAM

Maukah saudara mendengar pendapatnya seorang orientalis Belanda tentang keadaan umat Islam zaman sekarang? "Bukan Al-Qur'anlah kitab hukumnya orang Islam, tetapi apa yang ulama-ulama dari segala waktu cabutkan dari Al-Qur'an dan Sunnah itu. Maka ini ulama-ulama dari segala waktu adalah terikat pula kepada ucapan-ucapannya ulama-ulama yang terdahulu dari mereka, masing-masing di dalam lingkungan mazhabnya sendiri-sendiri. Mereka hanya dapat memilih antara pendapat-pendapatnya otoritet-otoritet yang terdahulu dari mereka... Maka syari'at seumumnya akhirnya tergantunglah kepada ijma', firman yang asli." Begitulah pendapatnya Profesor Snouck Hurgronje, yang tertulis di dalam ia punya Verspreide Geschriften jilid yang pertama. Dapatkah kita membantah kebenarannya? Maka kalau seorang bukan Islam sebagaimana Profesor Snouck Hurgronje itu tahu akan hal itu, yakni tahu akan menyimpangnya ijma' dari ruh Islam yang asli, alangkah aibnya pemuka-pemuka Islam Indonesia kalau tidak mengetahuinya pula!

SUKARNO

(ISLAM SONTOLOYO, Penerbit BASABASI, Tahun Terbit Elektronik, 2020).

AGAMA ISLAM DALAM MEMBENTUK RIWAYATNYA

"Kamu akan mengikut jejak pemeluk agama yang sebelum kamu tapak demi tapak (Yahudi-Nasrani) ..." (HR. Bukhari dan Muslim).

Nyatalah di zaman kemundurannya itu, ulama-ulama tadi telah dididik merasa diri rendah sehingga jika sekiranya ada orang yang hendak kembali mengambil hukum dari Al-Qur'an dan al-Hadits, dipandang sebagai orang sesat, yang memecah ijma', melawan ulama dan lain-lain tuduhan. Jika bertemu hukum yang tepat di dalam Al-Qur'an itu (tetapi bersalahan dengan tafsir atau fatwa yang dikeluarkan oleh ulama-ulama di dalam madzhabnya) yang dahulu dipakainya ialah fatwa ulama itu. Al-Qur'an singkirkan ke tepi dahulu.

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

Ternyata, Walisongo itu Anti Bid'ah, Tahlilan, Maulidan!! - Ustadz zainal abidin bin syamsuddin

youtube.com/watch?v=n6ZpezsDybw

Jika Jilbab Adalah Sebuah Budaya | Hikmah Buya Yahya

youtube.com/watch?v=K-UcEzzc8GA

YANG TIADA TIANG KAMI TEBAS

Kata orang kami tidak menghormati ulama. Sebab mereka pun telah memasukkan pula sebuah lagi tiang baru ke dalam Islam, yaitu wajib menghormati ulama. Wajib taklid kepada ulama! Wajib taat kepada guru. Hal ini akan saya uraikan dengan saksama. Kaum Muda amat hormat kepada ulama. Kaum Muda insaf bahwa pengetahuan yang kita dapat sekarang ini, manakan sampai ke tangan kita kalau bukan lantaran ulama. Kami sangat patuh kepada ulama ikutan kita keempat-empatnya yaitu Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Demikian cinta dan hormat kami kepada mereka sehingga kalau ada ulama yang menjadi pengawal di luar mencoba-coba menghalangi kami buat bertemu dengan pendapat-pendapat mereka (imam empat), akan kami sirwak (memalukan) ulama lain itu, dan kami berkata pinggirlah engkau, kami hendak bertemu dengan mereka! Maka bertemulah kami dengan kata Imam Malik, "Segala orang dapat diterima katanya dan dapat ditolak kecuali kata-kata yang empunya makam ini!" lalu ditunjukkannya makam Rasulullah SAW! Maka bertemulah kami dengan kata Imam Syafi'i. Beliau pun berkata, "Kalau bertemu hadits yang shahih maka itulah mazhabku!" Maka taat pulalah kami kepada nasihat beliau itu, kami cari hadits yang shahih. Dengan sendirinya Kaum Muda itu suka mengambil hadits shahih yang diakui oleh Imam Syafi'i sebagai penganut mazhabnya, walaupun diusir oleh Kaum Tua! Bertemu pula kami pedoman yang diberikan oleh Imam Abu Hanifah. Kata beliau, "Jika bertemu al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah SAW aku tunduk dan patuh. Bertemu athar sahabat aku timbang baik-baik. Tetapi jika berkata yang lain, mereka lelaki dan aku pun lelaki". Imam Abu Hanifah mengajar kami berani. Kami teruskan perjalanan itu menuju kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau pun berkata pula lebih tegas, "Jangan taklid kepada aku. Dan jangan taklid kepada Malik dan janganlah kepada al-Thauri dan jangan kepada al-Auza'i. Ambillah dari mana mereka mengambil." Kempat-empatnya menyuruh kami meneruskan perjalanan ke atas, ke hulu agama yaitu al-Kitab dan Sunnah serta keterangan-keterangan yang diberikan oleh orang terdekat kepadanya, yaitu sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Padahal tatkala kami masih di muara, banyak benar yang menghalangi. Datang syeikh fulan yang sudah jauh di bawah mutaakhirin, bahkan mutaakhiril mutaakhirin melarang keras perjalanan kami! Jangan pergi ke hulu. Jangan! Haram! Haram! Padahal kami tidak mau dihalangi lagi. Maka dituduhlah kami sesat! siapa kita yang sesat? Kalau hendak mencari siapakah yang paling taat memegang pula pimpinan keempat-empat mazhab, jawabnya ialah, "Kaum Muda" dan kalau hendak ditanya siapakah yang betul-betul memegang petunjuk Muhammad bin Idris pembangun mazhab Syafi'i, jawabnya jelas pula, "Kaum Muda".

KAUM TUA YANG MENAKUT-NAKUTKAN: "NANTI SALAH"

Kata Kaum Tua, "Janganlah kamu berijtihad kalau tidak cukup padamu ilmu al-Qur'an dengan ayat mujmal dan muqayyadnya, ijmal dan tafsil, am dan khas, nasakh dan mansukh, asbabul nuzul, al-Hadits dan al-Sunnah, qaulun nabi, wafa'iluhu wataqrir. Dan matan hadits dan sunnah hadits, jarh dan ta'dil, al-mutawatir dan al-ahad, shahih, hasan dan dhaif. Dan ilmu nahu dan sorof, mantiq dan ma'ani, adabul lughah dan, dan, dan." Tetapi mereka tidak juga belajar! Dan Kaum Muda berkata, "Pelajarilah olehmu segala ilmu yang tersebut itu supaya boleh kamu berijtihad!"

(BUYA HAMKA, TEGURAN SUCI DAN JUJUR TERHADAP MUFTI JOHOR, JT Books PLT Malaysia, Cet. II, 2021).

Kupas Tuntas Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), Awas Wahabi!!!!

youtube.com/watch?v=3nO3bWK_cdY

Gerakan Muhammadiyah Singapura menerbitkan semula buku "Teguran Suci Dan Jujur Terhadap Mufti Johor" oleh HAMKA yang telah diterbitkan oleh persatuan Muhammadiyah Singapura edisi pertama pada 1958; seterusnya melalui laman maya, internet, blog dan bermacam-macam saluran kesemuanya digunakan untuk merosakkan fahaman Ahli Sunnah wal Jamaah; Fahaman Wahhabi menggunakan istilah BID'AH sebagai manhaj atau metodologi fahaman mereka; Jadi untuk mengenali golongan ini, "bila sikit-sikit bid'ah" yang diperkatakan, itulah golongan Wahhabi.

mufti.johor.gov.my/images/uploads/dokumen/terbitan/albayan_9_bidah.pdf

ABA, CAHAYA KELUARGA

Natsir pun menegur para pelajar yang dinilainya cenderung meremehkan orang Islam tak berjilbab. Nur Nahar seperti laiknya orang Melayu dan umumnya warga Masyumi. Sehari-hari dia tampil berkebaya panjang atau baju kurung tanpa kerudung.

BELAJAR AGAMA

Sebenarnya, menurut pengakuan Natsir, ada tiga guru yang mempengaruhi pemikirannya A. Hassan, Haji Agus Salim dan Ahmad Sjoorkati. Yang terakhir adalah ulama asal Sudan pendiri Al-Irsyad, dan juga guru A. Hassan. Tapi intensitas pertemuanlah yang membuat Natsir lebih dekat kepada Hassan. Hassan yang lancar berbahasa Arab dan Inggris itu, bersama para pendiri Persis, memang memelopori pendekatan baru dalam beragama. Dia melarang taklid (membebek) pada pendapat ulama, membolehkan umat Islam membuat fatwa sendiri menurut zamannya, dan menghilangkan batas-batas Madzhab yang membelenggu. Bahkan tak segan ia mengubah pendapatnya jika muridnya mendapati dalil yang lebih shahih.

(NATSIR, Politik Santun Di Antara Dua Rezim, Tempo Publishing - Gramedia, Cet.1, 2017).

VIRAL! SALAFI KETAR-KETIR "MELAYU TANAH ASWAJA, BUKAN TANAH WAHABI" - USTADZ ALNOF DINAR Lc

youtube.com/watch?v=NLU0zZT1XTU

PERSAHABATAN

"Jujurlah, walaupun kejujuran itu akan membunuhmu."

Sekian fatwa Sayidina Umar bin Khaththab.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

Kisah Umar Tebas Ahli Bidaah

youtube.com/watch?v=N1jWzmQC7jM

VIRAL!!! SATU KITAB INI SUDAH CUKUP UNTUK MELAWAN WAHABI | DR. ZULHENDRI RAIS Lc.MA

youtube.com/watch?v=0gbsPtJob4Q

MENJAWAB MASALAH

Dzikir kalau tidak berasal dari Nabi saw. dengan sanad hadits yang shahih, itu Bid'ah hukumnya.

(Buya HAMKA, AYAHKU, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

KEKAL DALAM NERAKA

Tidak ada lagi kezaliman yang lebih dari ini karena menambah agama Allah dengan peraturan bikinan sendiri.

Disini terdapat dua keputusan. Pertama, pintu langit tidak terbuka bagi mereka. Kedua, tidak mungkin mereka masuk surga. Menurut Tafsir Ibnu Abbas, tidak ada amalan mereka yang diterima Allah. Dan dalam penafsiran yang lain Ibnu Abbas berkata, tidak terbuka pintu langit buat menerima amal mereka dan doa mereka. Dan dalam riwayat yang lain ditafsirkan lagi oleh Ibnu Abbas bahwa pintu langit tidak dibuka buat menerima ruh mereka setelah mereka mati. Suatu riwayat dari Ibnu Juraij mengumpulkan keduanya, amal tidak diterima dan ruh pun ditolak naik ke langit. Untuk menjadi peringatan bagi manusia agar jangan mereka sangka mudah-mudah saja masuk surga, setelah pokok kepercayaan kepada Allah itu yang telah dirusakkan dan puncak kezaliman yang telah ditempuh.

KEKAL DI NERAKA JAHANNAM

Ibnu Mas'ud berkata, "Orang yang diadzab kekal di Neraka Jahannam itu dimasukkan ke dalam peti dari api. Peti itu dalam peti lagi, hingga berlapis, lalu dipaku di luarnya, sehingga suatu pun tidak ada yang mendengar. Dan siapa-siapa yang telah dimasukkan ke dalam peti berlapis itu tidaklah melihat orang lain yang sama diadzab, sebab ia di dalam peti sendiri-sendiri."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Tokoh NU Kritik Arie Untung, Soal Pernyataan Pintu Surga Tertutup Bagi Warga Indonesia

banten.suara.com/read/2021/06/05/135316/tokoh-nu-kritik-arie-untung-soal-pernyataan-pintu-surga-tertutup-bagi-warga-indonesia

KATA MEREKA BERMADZHAB SYAFI'I

Dia imam besar di Masjidil Haram. Beliau sendiri pun melihat, memang masih banyak amal orang awam (jelata) Indonesia yang Bid'ah. Kata mereka bermadzhab Syafi'i, padahal dalam madzhab itu sendiri tidak ada contoh amal demikian.

(Buya HAMKA, KENANG-KENANGAN HIDUP, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

BANGUN DAN BENTUK SUATU BANGSA

"Dan bagi tiap-tiap umat ada ajalnya ..." (al-A'raaf: 34).

Perhatikanlah! Dahulu kaum Quraisy sebagai pelopor pertahanan jahiliyyah menguasai masyarakat Arab, menguasai peribadatan dan thawaf keliling Ka'bah dengan telanjang, dengan bersiul dan bertepuk-tepuk tangan dan Ka'bah mereka kelilingi dengan 360 berhala. Mereka runtuh karena keruntuhan akhlak. Waktu beribadah keliling Ka'bah mereka bertelanjang, mereka tidak memakai pakaian sehelai benang jua. Dengan alasan karena pakaian yang dipakai penuh najis dan dosa. Namun, kebatinan mereka sendiri, ruh mereka sendiri lebih telanjang lagi karena kejahatan-kejahatan yang mereka perbuat, yang zahir dan yang batin, kemesuman, perzinaan. Mereka berbuat dosa dengan niat yang salah (al-itsmu) dan mereka merugikan orang lain (al-baghyu) dan mereka persekutukan yang lain dengan Allah dan mereka berani membuat-buat suatu peraturan yang mereka katakan agama, padahal mereka katakan atas Allah hal-hal yang tidak mereka ketahui.

IMPERIALISME JIWA DAN KAPITALISME

"(Yaitu) pada hari yang akan dipanggang (harta benda itu) dalam api neraka Jahannam, lalu diseterikakan dengan dia kepada kening mereka dan rusuk mereka dan punggung mereka. 'Inilah apa yang telah kamu tumpuk-tumpukkan untuk diri kamu itu. Lantaran itu rasakanlah apa yang telah kamu tumpuk-tumpukkan itu.'" (at-Taubah: 35).

Korupsi, kata orang sekarang!

Inilah ayat celaan keras atau apa yang pada zaman kita disebut kapitalisme, dengan segala anak-cucu dan gejalanya. Dengan mengemukakan terlebih dulu contoh jahat yang dibuat oleh pemuka agama, maka kemudian diratakanlah dia sebagai celaan dan hardikan keras kepada manusia, agama apa pun yang dipeluknya, yang menghabiskan segala tenaga mengumpul harta, walaupun kadang-kadang tidak mengenal halal-haram serta yang haq dengan batil lagi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Bikin Geleng-geleng Kepala, Terungkapnya Motif Babi Ngepet di Depok | tvOne

tvonenews.com/channel/tvonenews/39924-bikin-geleng-geleng-kepala-terungkapnya-motif-babi-ngepet-di-depok-tvone

Ketua KPK Firli Bahuri Serukan Perang Badar ke Koruptor

viva.co.id/berita/nasional/1376778-ketua-kpk-firli-bahuri-serukan-perang-badar-ke-koruptor

MENGENANG BUYA HAMKA, APA BEDANYA KITA DENGAN KAUM MUSYRIKIN, JIKA BERIBADAH TIDAK MENGIKUTI NABI SAW?

youtube.com/watch?v=0hJQcFRad6o

KEMURKAAN-KU DAN KEMURKAANMU!

"Demikianlah kamu karena apabila diseru Allah sendiri saja, kamu kafir. Dan jika Dia dipersekutukan, kamu pun beriman. Maka keputusan hukum adalah pada Allah Yang Maha Tinggi, Maha Besar." (al-Mu'min: 12).

Kedatangan sekalian rasul ialah untuk mengajak orang kepada Tauhid. Tugas mereka ialah menyampaikan dakwah kepada manusia agar insaf bahwa Allah itu Esa adanya. Itulah yang kamu tolak, kamu kafir, kamu tidak mau menerima. Tetapi kalau ada disebut-sebut tuhan-tuhan lain, dewa-dewa lain, kalian gembira, kalian senang hati. Baru kalian mau percaya. Ditutup ujung ayat dengan ketegasan ini supaya jelas bagi kaum musyrikin bahwa keputusan terakhir tetap pulang kepada Allah jua, sebab Yang Maha Kuasa, Maha Tinggi hanya Allah, Yang Maha Besar hanya Allah, tidak ada berhala, tidak ada al-Laata, tidak ada al-Uzza, tidak ada Manaata dan yang lain. Jika di zaman sekarang tidak ada kubur keramat, wali anu dan keramat anu. Omong kosong!

DZIKIR RIBUT-RIBUT

"Dan tidaklah ada shalat mereka di sisi rumah suci itu melainkan bersiul-siul dan bertepuk tangan. Maka, rasakanlah olehmu adzab, akibat dari kekufuran kamu itu." (al-Anfaal: 35).

Ibnul Qayyim di dalam kitab Ighatsatul Lahfan, ayat ini menunjukkan bahwasanya segala macam cara-cara dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, tetapi tidak menurut yang digariskan oleh Nabi sebagai yang dilakukan oleh ahli-ahli tasawuf, ada yang ratib menyorak-nyorakkan dan menyebut nama Allah dengan suara keras tiada sependengaran dan ada yang memakai seruling, genderang, rebana dan sebagainya yang menyebabkan ibadah itu menjadi heboh, samalah keadaannya dengan orang jahiliyyah sembahyang atau thawaf sambil bersiul, bertepuk tangan dan ada yang bertelanjang mengelilingi Ka'bah itu. Ibnu Taimiyah, guru dari Ibnul Qayyim menerangkan pula dalam salah satu fatwanya bahwa ... Hal ini barulah diada-adakan orang (Bid'ah) setelah lepas kurun yang tiga. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa orang-orang yang benar-benar pengalamannya dalam soal-soal latihan keruhanian dan mengerti hakikat agama dan hal-ihwal hati, telah mendapat kesimpulan bahwa cara-cara demikian tidaklah ada manfaatnya bagi hati, melainkan lebih banyak mudharatnya. Bahayanya bagi jiwa sama dengan bahaya minuman keras bagi tubuh. Sekian kita salin beberapa perbandingan dari Ibnu Taimiyah, tentang dzikir ribut-ribut yang dilakukan orang-orang sufi, menyerupai apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah di Ka'bah itu.

SHAHIH

"... Dan mereka itu adalah terhadap ayat-ayat Kami amat yakin." (as-Sajdah: 24).

Ibnu Katsir memberikan komentar dalam tafsirnya tentang imam-imam Bani Israil itu, "... Tetapi setelah ada dalam kalangan mereka yang mengganti-ganti, menukar-nukar dan menta'wilkan arti ayat suci dari maksudnya yang sebenarnya, dicabut Allah-lah maqam jadi imam itu, dan jadilah hati mereka kesat dan kasar, sampai berani mentahrifkan kata-kata dari tempatnya yang sebenarnya. Tidaklah lagi mereka mengamalkan yang shahih, tidaklah lagi mereka beriktikad yang betul."

JANJI AHLI-AHLI PENGETAHUAN

"... Alangkah jahat tukaran yang mereka terima itu." (Aali 'Imraan: 187).

Teringatlah kita bila merenungkan ujung ayat ini kepada perkataan tabi'in yang besar, yaitu Qatadah. Beliau berkata, "Inilah perjanjian yang telah diambil Allah dengan ahli-ahli ilmu. Maka, barangsiapa mengetahui sesuatu ilmu, hendaklah diajarkannya kepada manusia. Sekali-kali jangan disembunyikannya ilmu itu, karena menyembunyikan ilmu adalah suatu kebinasaan."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Gempa Besar dan Tsunami 20 Meter, BMKG: Berpotensi Hampir di Seluruh Indonesia

nasional.okezone.com/read/2020/09/25/337/2283654/gempa-besar-dan-tsunami-20-meter-bmkg-berpotensi-hampir-di-seluruh-indonesia

BUYA HAMKA SOSOK TELADAN: Pengawal Akidah Umat

kemenag.go.id/home/artikel/12724

KEMENANGAN

Nabi Ibrahim dihukum, disuruh melompati api menyala karena dia menganut aqidah yang berlawanan dengan aqidah kaumnya. Dia bersedia menempuh mati dan dia tidak bersedia melepaskan aqidah. Meskipun dirinya tidak berdaya menolak hukuman, namun aqidah tidaklah tercabut dari dadanya. Sebab itu dia menang! Ketika para pejuang penegak agama dan pembela tanah air dapat dikalahkan dengan kekuatan senjata oleh musuh-musuhnya, seumpama Pangeran Diponegoro dan Imam Bonjol, apakah mereka kalah? Tidak! Ketika mereka telah ditangkap, ditawan dan diasingkan, sampai mati di tanah pembuangan, apakah mereka kalah? Tidak! Semuanya itu kemenangan!

Mati syahid, terbunuh di medan perang kadang-kadang lebih besar kemenangan yang dia capai lantaran dia mati, daripada misalnya kalau dia hidup 1.000 tahun! Memang kadang-kadang sangat pahit penderitaan karena menegakkan iman, karena jadi pengikut Rasul saw. Kadang-kadang dianggap orang bahwa mereka kalah, padahal itulah kemenangan!

INGIN PUJIAN ATAS USAHA ORANG LAIN

"Si pengecut berpendapat bahwa pengecut itu adalah satu perhitungan yang tepat. Itulah dia perangai nafsu yang hina."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Hamka dan Kilas Balik Beberapa Pengalaman dengan Komunis

Seorang pemuda yang imannya masih goyang memperlihatkan surat itu kepada beliau. "Adakan tabligh, saya hendak bicara", kata engku Duski. Di hadapan Tabligh itu pembicara agama yang terkenal itu mulai menghantam sifat "pengecut". "Pengecut adalah alamat tak beriman!" "Saya mendengar kabar", kata beliau, "bahwa di sini disiarkan orang surat berantai, [yang] mengatakan bahwa 275 pemimpin Masyumi-Muhammadiyah hendak disembelih. Lalu ada yang mengadu kepada saya dengan muka pucat! Seluruh Tanah Datar ini Islam, seluruhnya Masyumi! Muhammadiyah Perti. Seluruhnya bermesjid! Puluhan ribu rakyat di sini Islam semua dan Masyumi semua! Pemimpinnya 275 [orang] akan diculik! Akan disembelih! Sedangkan menangkap anak ayam, lagi susah. Apatah lagi hendak menculik 275 pemimpin dan pemuka rakyat! Siapa dan dari mana [orang] yang akan menculik itu? Saya tahu Kominis di Batusangkar ini tidak cukup seratus orang. Mungkinkah 100 orang, yang terpencar di sana dan di sini, dapat dicatat di mana rumahnya dan di mana kampungnya, dan semuanya dikenal namanya, hendak menculik 275 orang pilihan, yang hidup di tengah-tengah beribu-ribu rakyat? Apakah disangkanya [kita ini] batu semua?" "Awas", kata beliau pula: "Jika terdengar ada saja di antara pemuka Masyumi diganggu orang, 100 jiwa [pengikut komunis itu] akan menjadi tebusannya." Kemudian dilabraknya kembali sifat pengecut. Pengecut tidak ada dalam tarikh perjuangan Islam.

republika.co.id/berita/qcjc9p385/hamka-dan-kilas-balik-beberapa-pengalaman-dengan-komunis

TOBAT NASUHA

Oleh Universitas Muhammadiyah, Soekarno diberi gelar "Doctor Honoris Causa" dalam ilmu Tauhid. Sampai profesor dan sarjana perempuan yang kita banggakan, Ny. Bararah Baried menjadi promotor. Namun, di saat itu juga Allah menunjukkan bahwa Dia tidak ridha atas perbuatan itu. Sebab dalam promosinya, Bung Karno sendiri menganjurkan supaya orang ziarah ke kubur ibu atau bapaknya, meminta supaya ibu atau bapaknya itu menyampaikan permohonannya kepada Allah agar Allah memberikan pertolongan kepada yang meminta. Padahal, itulah yang oleh kalangan Muhammadiyah diberantas selama 54 tahun sampai sekarang ini. Itulah yang dikatakan "At-Tawassul wal Wasilah" yang dikarang oleh al-Imam Ibnu Taimiyyah. Buku "At-Tawassul wal Wasilah" ini adalah salah satu buku pegangan kaum mubaligh dan ulama Muhammadiyah. Inilah program pertama Muhammadiyah sejak ia berdiri, yaitu memberantas kemusyrikan.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 158, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

MAJELIS ULAMA INDONESIA

"Ayah sendiri melihat kursi Ketua Majelis Ulama itu sebagai sebuah kursi listrik, kita akan mati terkena aliran listriknya yang membunuh ..."

(Rusydi Hamka, Pribadi Dan Martabat Buya HAMKA, Penerbit Noura, Cet.I, 2017).

ULAMA RABBANI

Di dalam rangkaian ini dapatlah kita sambungkan lagi dengan orang-orang pengikut Rasul yang setia tadi, yang telah diberi gelaran yang amat mulia oleh Allah, yaitu Rabbani. Mereka itu adalah ulama yang menerima waris dari Nabi. Pengaruh mereka yang amat besar kepada murid-muridnya bisa menggelincirkan mereka ke dalam jurang kesesatan. Oleh karena pengaruh yang besar itu, mereka pun menanamkan perasaan kepada murid-muridnya itu bahwa fatwanya tidak pernah salah sebab dia telah dekat dengan Allah. Atau tidak dicegah dan dilarangnya murid-muridnya menghormatinya berlebih-lebihan, sehingga sudah dekat sekali kepada menyamai memuja Allah. Dan, murid-murid itu mesti taklid saja kepadanya, tidak boleh membantah. Kalau sudah demikian halnya, tidaklah layak lagi disebut ulama yang Rabbani, tetapi sudah luntur derajatnya menjadi syaithani.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 668-669, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Kisah 7 Kaum Muda Wahabi Tobat di Hadapan Ulama Mekkah

alif.id/read/ahmad-ginanjar/kisah-7-kaum-muda-wahabi-tobat-di-hadapan-ulama-mekkah

MENGADU KE MEKAH

Pihak-pihak yang tua rupanya tidak merasa puas melihat perkembangan paham yang muda-muda ini. Mereka diajak berdebat tidak bisa dan pengaruh mereka kepada rakyat bertambah lama bertambah kukuh. Mereka berani menentang ulama-ulama mana pun, asalkan dengan alasan yang cukup -- hujjah dengan hujjah, ushul dengan ushul dan mantiq dengan mantiq. Akhirnya, didapatlah jalan yang lain, yaitu mengirim surat kepada ulama-ulama Mekah -- ulama yang pada hakikatnya lebih jumud, lebih beku daripada ulama yang mengadu itu sendiri. Bagaimana mereka akan dapat mengukur masyarakat di Indonesia dengan di Mekah? Ketika itu, pahlawan ulama Indonesia yang tidak mau dibungkus-bungkusi saja, yaitu Syekh Ahmad Khatib, telah wafat. Oleh karena itu, leluasalah mereka melepaskan torpedo celaan. Disusunlah pertanyaan yang isinya belum membuka duduk masalah, hanya mencaci-maki 4 orang yang menjadi "biang keladi" dalam perkara ini, yaitu Abdullah Munir, Haji Rasul, Haji Jambek dan Labai Zainuddin yang telah menerbitkan majalah al-Munir, yang berisikan fatwa yang berpacul dari ijma' ulama. Kemudian, datanglah fatwa Mekah, yang terkenal dengan nama "17 Masalah". Di sana dihukumkanlah bahwa keempat orang itu telah keluar dari jalan Ahlus Sunnah wal Jama'ah sehingga kalau sekiranya mereka naik haji ke Mekah pada masa itu, tentu mereka akan langsung masuk penjara. Lucu juga nama Abdullah Ahmad diganti dengan Abdullah Munir (Abdullah yang bercahaya). Gelar ejekan itu menjadi kemasyhuran pula bagi beliau. Fatwa dari Mekah mereka sambut dengan senyuman saja. Pada suatu hari, tiba-tiba, datanglah ke Padang, seorang ulama yang telah bertahun-tahun mengajar di Mekah, yaitu Syekh Abdul Kadir Mandailing -- al-Mandili sebutan Mekahnya. Beliau sengaja datang ke Padang untuk menghadiri pertemuan yang diadakan dalam rangka menghormati beliau. Baru sama-sama mengaji, rupanya syekh itu tidak biasa berpidato -- kalah semangat. Kemudian, beliau mengaku saja, "Innama ana muqallid (aku hanya bertaqlid kepada ulama-ulama)."

ADAM BALAI-BALAI

Ada pula hal yang lucu ketika itu, datanglah pula dari Mekah seorang syekh bernama Abdul Hadi. Pihak Kaum Tua membuat propaganda besar-besaran, mereka mengatakan bahwa Abdul Hadi adalah seorang ulama Mekah yang keramat. Memang suaranya merdu ketika membaca Al-Qur'an. Dia diterima oleh Syekh Khatib Ali menjadi menantunya. Dia datang dari Mekah, sesudah ulama-ulama Mekah menjatuhkan tuduhan "sesat" bagi ulama-ulama Minangkabau. Dia berjalan ke mana-mana atau diundang ke mana-mana memberi fatwa. Tentu saja, bangkit kembali cara lama (sisanya dimakan, sepahnya dicucut, air ludahnya diambil berkat). Dia terkenal dengan nama Tuanku Syekh Arab. Pada suatu hari, Syekh itu membuat pidato nasihat di Jaho, Padang Panjang, atas undangan Syekh Jamil Jaho. Syekh Jamil Jaho ini berhaluan tua dan harus dipuji karena saleh dan luas ilmunya. Sebetulnya, berkelahi-kelahi, bertengkar-tengkar, itu tidaklah disukainya. Pendiriannya dalam banyak hal bersesuaian dengan Kaum Muda. Beliau merenggangkan diri dari Kaum Muda adalah urusan kehormatan belaka. Ayahku terlalu keras kalau menentang lawannya. Tatkala memanggil Syekh Abdul Hadi itu, beliau jaga benar supaya jangan terjadi keonaran. Namun, Syekh Abdul Hadi rupanya asyik benar berbicara pada malam itu. Katanya bahwa dia tidak pandai bahasa Melayu, dia berpidato bahasa Arab saja. Dia berpidato melantur, mencela menggasak Kaum Muda, Wahabi, Haji Rasul dan Haji Abdullah. Semua disikatnya dengan sikap yang gagah dan memaki-maki seakan-akan minta lawan. Rupanya, dalam majelis itu ada hadir murid ayahku yang terkenal palak (pemberani, tidak takut mati, atau nekat) dari Padang Panjang, yaitu Mak Adam Balai-Balai. Beliau adalah bekas parewa (penjahat) yang telah bertobat, guru pencak dan pemberansang. Waktu Thawalib berdiri, beliau tidak mau masuk lalu mendirikan sekolah sendiri karena tidak mau hak guru dibatasi. Setelah Syekh Abdul Hadi berhenti bicara, Mak Adam rupanya naik palak. Mak Adam mohon bertanya, Syekh Jamil Jaho telah gelisah. Sebenarnya, beliau pun tidak setuju dengan pembicaraan Syekh Abdul Hadi yang kasar itu. Mak Adam mohon bertanya. Mula-mula, Syekh Jaho berusaha supaya jangan ada pertanyaan sehingga terbit sedikit pertentangan antara Syekh Jaho dan Mak Adam. Rupanya, Syekh Abdul Hadi naik marah pula. Beliau berkata menentang Mak Adam, "Apakah engkau adalah murid Haji Rasul? Kenapa mau tanya? Panggil engkau punya guru kemari, aku tidak takut!" Mak Adam gelap mata, "Syekh pembohong! Engkau katakan bahwa engkau tak pandai bahasa Melayu. Rupanya, engkau tahu dan engkau gunakan menyebut nama guruku." "Yah, mana gurumu itu, bawa sini!" Syekh Jaho sudah payah menyabarkan kedua pihak, tetapi tak berhasil. Mendengar nama gurunya dipanggil-panggil, bertambah gelap mata Mak Adam. Beliau berkata, "Tak usah guruku, dengan aku pun selesai!" Kemudian, beliau tegak dan hendak tampil ke muka, hendak berdebat. Namun, orang banyak salah sangka. Orang menyangka Mak Adam berdiri hendak berkelahi, padahal hendak tampil ke muka, berhadap-hadapan dengan Syekh itu. Majelis menjadi ribut dan yang dahulu sekali lari, karena takut, adalah Syekh Arab sendiri. Beliau lari ke luar dan tergelincir masuk tebat! (Tambak untuk menyekat pengaliran air, atau empang, atau bending). Majelis rusuh dan bubar. Syekh itu pun disembunyikan oleh yang Mulia Syekh Jamil Jaho.

Adapun Mak Adam yang begitu keras mempertahankan gurunya itu, pada ketika itu, sedang renggang hubungannya dengan gurunya karena ketika dimulai menyusun Perserikatan Sumatra Thawalib dan pengajian disusun memakai kelas, beliau sangat tidak menyetujuinya. Beliau lebih suka pada susunan secara lama karena hubungan guru dengan murid langsung. Oleh karena sikapnya yang menentang kepada kawan-kawannya itu, beliau pun tidak disenangi oleh yang lain sehingga beliau mengundurkan diri lalu mendirikan surau sendiri di Pasar Baru Padang Panjang. Sejak itu, renggang pulalah hubungannya dengan gurunya (Haji Rasul). Namun, kerenggangan itu tidaklah berarti bahwa cintanya telah berkurang. Aku melihat sendiri, sekali-kali, beliau datang juga membawakan makanan, cempedak dan buah-buahan lain. Oleh karena itu, ketika nama gurunya disinggung orang di hadapan umum, tidaklah dapat beliau menahan hati sehingga kejadianlah insiden kecil di Jaho itu.

Rupanya, karena kejadian di Jaho itu, pikiran dan jiwa Syekh Abdul Hadi sangat terganggu. Setelah dia kembali ke Padang, dia ditimpa suatu penyakit. Segala orang yang dicela-celanya itu serasa mengejar-ngejarnya, dan di antaranya rupanya Mak Adam yang galak itu senantiasa terbayang di ruang matanya. Pada suatu hari, beliau berkhutbah di masjid Ganting Padang. Heran, dibawanya sebuah Kapak ke atas mimbar dan diacung-acungkannya akan dipukulkannya kepada seluruh orang yang mengejarnya itu. Kian lama kian nyata pikirannya yang berubah itu sehingga dengan segala tipu muslihat, dapatlah Kapak itu dirampas dari tangannya. Dia masih melawan lalu ditangkap bersama-sama dan diserahkan kepada polisi. Beberapa lama kemudian, dia pun dikirim ke rumah sakit jiwa di Sabang. Paling akhir, dia keluar dari sana. Bertemu oleh aku di Medan, dia berlagu, berkasidah, mencela Kaum Muda dan menjual azimat.

(Buya HAMKA, AYAHKU, Hal. 124-159, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

TENTARA ALLAH

"Dan sesungguhnya Tentara Kami, merekalah yang pasti akan menang." (ash-Shaaffaat: 173).

"Senantiasa akan ada suatu golongan dalam umatku orang-orang yang tegak membela kebenaran. Tidaklah mereka akan dapat diperdayakan oleh orang yang mencoba menggagalkan mereka dan tidak pula orang yang menantang mereka, sampai datang saat yang ditentu Allah (Kiamat). Dan merekalah yang menang." (HR. Bukhari dan Muslim). Imam Nawawi ketika menafsirkan hadits ini berkata bahwa yang dimaksud dengan Thaaifah atau golongan yang berbagai corak orang yang beriman, di antaranya ialah orang-orang yang di medan perang, di antaranya ialah ahli-ahli pikir agama (fiqih), di antaranya ialah ahli-ahli hadits, di antaranya ialah orang-orang yang zahid, di antaranya ialah orang yang berani melakukan amar ma'ruf nahi munkar dan di antaranya ialah macam ragam Mukmin yang lain yang suka dengan jelas mengerjakan yang baik-baik. Sebab itu tidaklah mesti bahwa mereka terkumpul. Mungkin mereka tersebar di negeri, namun corak perjuangan mereka adalah sama, yaitu menegakkan jalan Allah dengan gagah berani.

"... Sampai suatu ketika." (ash-Shaaffaat: 174).

Dalam ungkapan yang biasa terpakai di Indonesia kalimat sampai suatu ketika itu berdekatan artinya dengan "Tunggu tanggal mainnya."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 523-524, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"NEO-FEODALISME" KAUM AGAMA

Kaum moderenisasi-reformasi yang dipelopori di Indonesia ini oleh Kiyai H.A. Dahlan dan lain-lain mempunyai garis tertentu dalam menghadapi perbaharuan Islam. Pertama, aqidah dan ibadah Islam harus dikembalikan kepada ajaran asli Nabi Muhammad, menurut Al-Qur'an dan Hadits dan memakai ijtihad. Kita harus berani kembali meninjau pendapat-pendapat ulama yang datang di belakang, baik dia Imam Syafi'i sekalipun. Sunnah mesti ditegakkan dan Bid'ah mesti dibuangkan. Dalam hal ini mereka adalah "kolot" (orthodoks, salafi). Ketika soal kembali ke Al-Qur'an dan Sunnah ini dibicarakan niscaya timbul khilafiyah. Tidak mengapa khilafiyah timbul, sebab timbulnya khilafiyah adalah bukti nyata bahwa soal ini menjadi pemikiran. Kedua, soal-soal di luar ibadah dan aqidah, yaitu yang termasuk soal muamalah (kemasyarakatan), pun akan lebih banyak menimbulkan khilafiyah, sebab soalnya berkembang terus. Kecemasan menghadapi khilafiyah dalam hal-hal seperti ini, mungkin timbul dari "murakkabun naqshas", yaitu takut menghadapi kenyataan.

Saya sembahyang hari raya ke tanah lapang. Anda sembahyang hari raya ke masjid. Tetapi kita sama menjunjung tinggi haluan negara, Manipol-Usdek. Dan tidak ada di antara kita yang menuduh kawannya yang tidak sefaham misalnya anti-Pancasila dan anti-Manipol-Usdek, sebab faham agama tidak sama. Menuduh-nuduh adalah alat terakhir dari orang-orang yang telah kehilangan alat.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 65-66, Penerbit Galata Media, Cet. I, 2018).

KEKAL DALAM NERAKA

"Katakanlah, 'Sesungguhnya yang diharamkan oleh Tuhanku hanyalah kejahatan-kejahatan mana yang zahir daripadanya dan mana yang batin dan dosa keaniayaan dengan tidak benar dan bahwa kamu persekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak Dia turunkan keterangannya dan bahwa kamu katakan atas (nama) Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.'" (al-A'raaf: 33).

Dosa mempersekutukan yang lain dengan Allah, sudah lebih besar dari keempat dosa sebelumnya. Kemudian, datang lagi dosa keenam yang lebih hebat lagi, yaitu kamu katakan di atas nama Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui. Membuat-buat aturan yang seakan-akan bersifat keagamaan, dikatakan berasal dari Allah, padahal tidak ada Allah memerintahkan yang demikian. Tidak ada pengetahuan tentang hakikat agama, hukum perintah dan larangan Allah, semuanya gelap baginya. Namun, dia memandai-mandai dan menambah-nambah peraturan agama. Nyatalah bahwa dosa keenam adalah puncak dari kejahatan.

Ujung ayat ini pun adalah peringatan keras kepada kita agar dalam hal yang mengenai agama, kita jangan berani-berani saja membicarakannya kalau pengetahuan kita belum dapat menguasai persoalan itu. Dan sekali-kali jangan lancang membantah, kalau bantahan kita hanya semata-mata sangka-sangka. Mengikuti saja pikiran sendiri dengan tidak ditujukan terlebih dahulu kepada firman Allah dan Sunnah Rasul, adalah puncak segala dosa. Oleh karena itu, kalau telah mengenai hukum, halal dan haram, tidaklah boleh kita lancang-lancang saja, kalau tidak ada nash (keterangan yang jelas).

"Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat kedustaan atas nama Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya?" (al-A'raaf: 37).

Keduanya ini adalah puncak-puncak kezaliman yang tidak dapat dimaafkan.

Ini bertali dengan ujung ayat 33, yaitu berbicara di atas nama Allah barang yang tidak ada pengetahuan mereka padanya.

Tidak ada lagi kezaliman yang lebih dari ini karena menambah agama Allah dengan peraturan bikinan sendiri.

Tadi sudah diterangkan berbuat dusta atas nama Allah, menambah agama dengan kehendak sendiri, lalu menyombong tidak mau menerima kebenaran ayat Allah, adalah zalim aniaya yang paling besar, puncak yang tidak ada puncak di atas itu lagi. Neraka tempatnya. Sampai di sana boleh salah menyalahkan, tetapi yang terang ialah masuk neraka.

"... tidaklah akan dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit dan tidaklah mereka akan masuk ke dalam surga sehingga menyelusuplah seekor unta ke dalam lubang jarum ... Untuk mereka dari Jahannam adalah satu tempat yang sangat rendah dan di atas mereka ada beberapa penutup. Dan, sebagai demikianlah Kami membalas orang-orang yang zalim." (al-A'raaf: 40-41).

Maka, di ayat ini diterangkan lagi bahwa kesalahan yang demikianlah menyebabkan pintu langit akan tertutup bagi mereka dan tidak akan bisa masuk surga, sebagaimana tidak bisa masuknya seekor unta ke dalam lubang jarum.

Disini terdapat dua keputusan. Pertama, pintu langit tidak terbuka bagi mereka. Kedua, tidak mungkin mereka masuk surga.

Menurut Tafsir Ibnu Abbas, tidak ada amalan mereka yang diterima Allah. Dan dalam penafsiran yang lain Ibnu Abbas berkata, tidak terbuka pintu langit buat menerima amal mereka dan doa mereka. Dan dalam riwayat yang lain ditafsirkan lagi oleh Ibnu Abbas bahwa pintu langit tidak dibuka buat menerima ruh mereka setelah mereka mati. Suatu riwayat dari Ibnu Juraij mengumpulkan keduanya, amal tidak diterima dan ruh pun ditolak naik ke langit.

Untuk menjadi peringatan bagi manusia agar jangan mereka sangka mudah-mudah saja masuk surga, setelah pokok kepercayaan kepada Allah itu yang telah dirusakkan dan puncak kezaliman yang telah ditempuh.

"(Yaitu) orang-orang yang memalingkan (manusia) daripada jalan Allah ..." (al-A'raaf: 45).

Jalan Allah adalah jalan lurus. Orang yang bertujuan baik masuk ke dalam jalan itu. Namun, orang yang sekarang kekal dalam neraka ini kala di dunia telah berusaha menarik, menghimbau dan kalau perlu mencoba menghambat jalan lurus itu atau membendungnya sehingga manusia-manusia itu terpelanting ke jalan lain. Kalau diingat lagi janji sumpah Iblis kepada Allah bahwa mereka hendak memperdayakan Adam sampai kepada keturunannya agar mereka terpaling daripada jalan Allah yang lurus (ayat 15). Jelaslah bahwa orang-orang yang zalim ini telah menjadi kaki-tangan Setan. Maka, mereka inilah yang telah disebutkan Allah dalam ayat 18 bahwa mereka bersama Setan Iblis itu akan diambil sepenuh padatnya Jahannam.

GOLONGAN ADAT JAHILIYYAH

"... Orang-orang kafirlah yang membuat-buat atas nama Allah akan kedustaan. Dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang tidak berakal. Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Marilah kepada apa yang diturunkan oleh Allah dan kepada Rasul.' Mereka pun menjawab, 'Cukuplah bagi kami apa-apa yang telah kami dapati atasnya bapak-bapak kami.' Apakah walaupun bapak-bapak mereka itu tidak mengetahui sesuatu dan tidak dapat petunjuk?" (al-Maa'idah: 103-104).

Sumber agama, sebagai yang diserukan pada ayat ini sudah tegas sekali, yaitu peraturan dari Allah dan Rasul. Di luar itu, Bid'ah namanya. Segala perbuatan Bid'ah itu nyatalah tidak bersumber dari pengetahuan dan tidak dari petunjuk (hidayah Ilahi).

Golongan adat ini tidak semata-mata zaman sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi rasul, tetapi segala penyelewengan dari garis agama yang benar lalu dikatakan bahwa itu pun agama, termasuklah dalam jahiliyyah.

IMAN, HIJRAH DAN JIHAD

Hijrah itu habis sendirinya bila Mekah sudah dapat dibebaskan dari kekuasaan orang-orang yang mengambil keuntungan untuk diri sendiri, dengan membelokkan ajaran Allah dari aslinya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 409-423, Jilid 3 Hal. 55-56, Jilid 4 Hal. 55, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SAMPAIKAH DOA KITA YANG HIDUP UNTUK ORANG YANG TELAH MENINGGAL?

Kesimpulannya, tidak ada nasikh dan mansukh di antara ayat 152 surah al-Baqarah dan ayat 54 surah Yasin dengan hadits Aisyah tersebut. Karena kedua ayat itu mengenai keadaan pada hari Kiamat kelak, bukan mendoakan atau bersedekah atas nama orang yang telah meninggal ketika kita masih hidup di dunia ini. Dengan begitu, jelaslah, jika kita berdoa untuk keselamatan orang yang telah meninggal agar dilapangkan kuburnya, diringankan azabnya, dijauhkan dengan kesalahannya sejauh masyriq dengan maghrib dan sebagainya. Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bahwa sampailah orang yang telah meninggal itu segala kebajikan yang kita perbuat sebagaimana sedekah atau shalat, atau lainnya. Perselisihan sedikit hanya sekadar tentang menghadiahkan pahala. Dibiasakan orang membaca al-Fatihah itu untuk Nabi. Sampai atau tidak hadiah itu? Soalnya bukanlah sampai atau tidak. Persoalannya sekarang adalah, "Apakah Nabi berbuat ibadah seperti itu atau tidak?" Kalau tidak, niscaya kita telah menambah-nambah.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 68-69, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

BOHONG DAN SERBA-SERBI BENTUKNYA

Memotong-motong kebenaran, misalnya mengambil awal pangkalnya saja dan meninggalkan akhir ujungnya, atau sebaliknya. Dengan demikian, rusak maksud suatu perkataan. Dalam Al-Qur'an banyak perkataan, apabila dipotong, menjadi rusaklah maksudnya seperti contoh ayat, "Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya." (al-Maa'uun: 4-5). "Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan." (an-Nisaa': 43). Dalam berpolemik, cara orang-orang yang memotong-motong inilah yang sangat berbahaya. Tujuan seseorang yang awalnya baik dan maksud isinya suci, karena dipolemikkan, menjadi kacau-balau karena kesalahan lawannya yang memotong itu.

(Buya HAMKA, Bohong Di Dunia, Hal. 9, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2017).

BINATANG TERNAK

Islam menyerukan supaya terlepas dari waham, syak, dari ikatan was-was. Manusia diciptakan Tuhan bukan buat menjadi Pak Turut, sebab Pak Turut itu ialah binatang ternak. Islam pun memalingkan hati dari persangkaan yang berlebihan atas nenek-moyang, menyangka bahwa segala yang dari nenek-moyang itu benar semuanya, sehingga tak mau mengubah dengan yang lebih disetujui akal. Islam dengan keras mengritik orang yang berkata, "Demikian yang kami terima dari nenek-moyang kami!" Dalam Al-Qur'an perkataan yang demikian dijawab dengan kritik keras, "Bagaimana kalau nenek-moyangnya itu tidak berakal dan tidak beroleh petunjuk?"

(Buya HAMKA, TASAWUF MODERN: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 124-125, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

Kisah Persahabatan Haji Rasul dengan Kyai Ahmad Dahlan

Abdul Karim alias Inyiak Rasul atau Haji Rasul adalah ayah Buya Hamka. Dia kawan seperguruan Ahmad Dahlan. Meski tidak seangkatan, mereka pernah sama-sama berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, imam besar Masjidil Haram di Mekah.

historia. id/politik/articles/kisah-persahabatan-haji-rasul-dengan-kyai-ahmad-dahlan-vZ5VB

LEBIH DARI WAHABI

Jamal Syauqi putra Irak yang senantiasa memandu jalan saya selama di Irak, seorang pemuda yang luas pengetahuannya, baik budi dan amat besar khidmatnya kepada bangsa Indonesia sambil tersenyum, ia berkata kepada saya, "Di ruangan ini (sambil menunjukkan sebuah ruangan di antara ruangan-ruangan itu bangsa Indonesia bersembahyang. Almarhum Dahlan Abdullah pun bersembahyang di sini) ruang Madzhab Syafi'i." Dengan tersenyum, saya menjawab, "Bagi saya, dalam melakukan sembahyang, keempat madzhab boleh bersama-sama. Imam asy-Syafi'i sendiri, setiba di Irak lagi, ia memakai Qunut pada waktu sembahyang Shubuh. Berlainan madzhab jangan membawa perpecahan."

"Kalau begitu, Anda berpaham Wahabi," ujarnya. "Lebih dari Wahabi, saya berpaham Muhammadi karena Nabi Muhammad melarang umatnya berpecah." Mukhtar berkata, "Tuan Hamka di Indonesia termasuk Kaum Muda. Pahamnya memang agak dekat dengan Wahabi."

(Buya HAMKA, DI TEPI SUNGAI DAJLAH, Hal. 93-94, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

MEMBASMI TAKLID

Kita misalkan dengan Muhammadiyah. Dua orang pengubah besar telah berjasa menggambarkan bentuk cita-cita mereka dalam perserikatan ini, yaitu K.H. Ahmad Dahlan di Jawa dan Dr. Haji Abdul Karim Amrullah di Sumatra. Kalau penganut yang datang di belakang hanya merasa puas dengan tarikh dan jasa mereka, tetapi tidak melihat dan menilik perubahan zaman, pastilah perserikatan ini akan jumud, akan kolot dan akan ditinggalkan zaman pula. Ia hanya sanggup menunjukkan hasil pekerjaan yang lama, tetapi tidak sanggup menciptakan yang baru, atau sekurang-kurangnya yang tua-tua menghambat pertumbuhan semangat angkatan muda. Dengan demikian, mau atau tidak mau, sadar atau tidak sadar, perserikatan itu akan dimasukkan orang dalam "museum" sejarah sebagai satu perserikatan yang pernah berjasa besar "tempo hari", dan pekerjaannya yang dahulu akan disambung oleh yang lain, yang mungkin kalangan Muhammadiyah itu sendiri menghalang-halanginya, karena ia telah jumud. Mungkin, perserikatan-perserikatan yang menjadi lawannya dahulu -seperti Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa, Perti dan al-Jami'atul Washliyah di Sumatra atau Musyawaratuth Thalibin di Kalimantan- mengambil usaha Muhammadiyah itu karena di sana timbul semangat yang muda, yang insaf akan kewajibannya dan mengerti akan jalannya ilmu masyarakat (sociologie) bahwa gerak kemajuan hidup itu senantiasa mengalir dan tidak pernah terhenti, panta rai (atau suatu dorongan dari reaksi jiwa, tidak mau dituduh kolot atau jumud) sebab itu adalah suatu "titel" yang kurang bagus bunyinya. Oleh karena itu, mereka berusaha membersihkan tuduhan demikian dengan usaha yang mulia. Adapun pengikut dari si pengubah itu, karena telah merasa "bangga" dengan gelar bahwa merekalah kaum pengubah, kaum tajdid (pembaru), lalu digoyang-goyangnya kakinya di "kursi malas" sambil mencium-cium gelar yang dipusakainya dari gurunya yang telah lama hilang itu, dan matanya pun tertidur ....

(Buya HAMKA, AYAHKU, Hal. 314-315, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

BELENGGU TAKLID

Ahmad Rasyid Sutan Mansur bercerita, "Pada suatu hari, ketika aku mengiringi beliau dalam perjalanan dari Muara Pauh ke Kubu, sesampai di Batang Renggas, di bawah lindungan batang kapas bungkuk di tepi jalan, beliau berkata padaku, 'Ahmad! engkau telah aku ajar berpikir bebas. Engkau telah kuajar melepaskan taklid buta. Oleh karena itu, ke mana pun engkau pergi, hendaklah engkau berani mempertahankan kebenaran. Kalau engkau pengecut mempertahankan kebenaran, akan aku suapkan najis ke dalam mulutmu!'"

Bila terjadi peringatan-peringatan hari besar Islam, bila terjadi pidato-pidato menerangkan Islam, sebagian besar muridnyalah yang tampil ke muka membawa kebenaran Islam. Semua itu adalah amal usaha murid-muridnya, yang beliau tidak menyaksikan lagi dengan mata kepalanya, yaitu murid-murid yang diajar beliau bebas berpikir, melepaskan diri dari belenggu taklid.

(Buya HAMKA, AYAHKU, Hal. 406-411, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

SURAH AL-FAATIHAH (PEMBUKAAN)

"Tunjukilah kami jalan yang lurus." (al-Faatihah: 6).

Shirathal Mustaqim memang agama yang benar dan itulah agama Islam. Dan, sumber petunjuk dalam Islam itu tidak lain ialah Al-Qur'an. Semuanya dapat diambil contohnya dari perbuatan Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabat beliau yang utama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 74, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENUHANKAN GURU

Inilah dia Bid'ah!

TIDAK MENEGUR

Kamu dan yang kamu sembah itu, baik kayu atau batu, apatah lagi sesama manusia, kalau sesama manusia itu menganjurkan supaya dirinya disembah seperti menyembah Allah. Atau dia orang, tidak menegur ketika manusia telah menuhankannya atau mendewa-dewakannya. Si penyembah dan yang disembah akan sama-sama jadi penyala api neraka Jahannam.

KEKAL DI NERAKA JAHANNAM

Ibnu Mas'ud berkata, "Orang yang diadzab kekal di Neraka Jahannam itu dimasukkan ke dalam peti dari api. Peti itu dalam peti lagi, hingga berlapis, lalu dipaku di luarnya, sehingga suatu pun tidak ada yang mendengar. Dan siapa-siapa yang telah dimasukkan ke dalam peti berlapis itu tidaklah melihat orang lain yang sama diadzab, sebab ia di dalam peti sendiri-sendiri."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 137, Jilid 6 Hal. 85-86, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RENUNGAN BUDI

Yakinlah, mati yang biasa tidak lain hanyalah gaibnya nafas dari tubuh. Tetapi mati yang paling pahit ialah bila engkau masih hidup tetapi pertimbangan akalmu telah mati. Orang yang berpendirian dengan berakal dan berbudi tetap hidup walaupun dia telah mati. Dia masih ada walaupun tak ada lagi. Walaupun berpindah jasmaninya masuk kubur, namun jejaknya masih tinggal lebih jelas dari dahulu.

(Buya HAMKA, LEMBAGA BUDI: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 196, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

KLIK DISINI: NASEHAT HADRATISY-SYAIKH HASYIM ASY'ARI TENTANG KHILAFIYAH

RENUNGAN BUDI

Umur badan terbatas. Umur batu nisan kadang-kadang lebih panjang dari umur badan, tetapi umur jasa dan kenangan lebih panjang dari umur batu nisan. Sebab itu Jalaluddin Rumi pernah mengatakan ketika orang minta izin kepadanya hendak membuatkan kubah pada kuburannya nanti apabila dia telah mati,

"Tak usahlah nisan dan kubah pada kuburanku. Kalau hendak menziarahi aku, temuilah aku dalam hati orang yang mengenal ajaranku."

(Buya HAMKA, LEMBAGA BUDI: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 178, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

Bahkan, dalam konteks pertentangan antara Kaum Tua dan Kaum Muda, A. Hassan, pernah dihukumi kafir oleh Mufti Johor waktu itu.

Tuduhan ini dibantah oleh Buya HAMKA dalam bukunya Teguran Suci dan Jujur Terhadap Mufti Johor (1958).

persis.or.id/a-hassan-guru-utama-persatuan-islam-pertemuan-awal-dengan-persis

KAUM MUDA DAN WAHABI

Mufti Johor telah mengenal saya sebagai Kaum Muda dan Wahabi dari Indonesia.

Larangan Mufti Johor, meskipun sebuah negeri kecil, sebesar satu kecamatan atau kurang, dapat kita jadikan pula perbandingan bahwa memaksakan suatu paham agama dengan kekuasaan, payahlah akan berhasil, malahan itulah yang akan memecahkan persatuan.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 70, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

KERAPKALI AGAMA TERANCAM BAHAYA KARENA ULAH SERBAN BESAR

"... Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu ... (Faathir: 28).

Tentang ulama, atau orang-orang yang berpengetahuan, Ibnu Katsir telah menafsirkan, "Tidak lain orang yang akan merasa takut kepada Allah itu hanyalah ulama yang telah mencapai makrifat, yaitu mengenal Allah SWT menilik hasil kekuasaan dan kebesaran-Nya. Maha Besar, Maha Kuasa, Yang Maha Mengetahui, yang mempunyai sekalian sifat kesempurnaan dan yang empunya Asmaul Husna (nama-nama yang indah). Apabila makrifat bertambah sempurna dan ilmu terhadap-Nya bertambah matang, ketakutan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak." Ibnu Abbas mengatakan, "Alim sejati di antara hamba Arrahman ialah yang tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan yang halal tetap halal dan yang haram tetap haram, serta memelihara perintah-Nya dan yakin bahwa dia akan bertemu dengan Dia, lalu selalu menilik dan menghitung amalnya sendiri." Abdullah bin Mas'ud berkata, "Bukanlah seorang dikatakan alim karena dia banyak hafal hadits. Alim sejati ialah yang banyak khasyyah atau takutnya kepada Allah SWT." Imam Malik berkata, "Ilmu bukanlah karena banyak menghafal riwayat hadits, bahkan ilmu adalah Nur yang dinyalakan Allah SWT dalam hati."

Suatu riwayat yang dibawakan dari Sufyan Tsauri, "Ulama itu tiga macam, (1) Alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah (2) Alim yang mengenal Allah tetapi tidak mengenal perintah Allah dan (3) Alim yang mengenal perintah tetapi tidak mengenal Allah." Adapun Alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, ialah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batas dan perintah serta larangan. Alim yang mengenal Allah tetapi tidak mengenal perintah Allah ialah yang takut kepada Allah tetapi tidak melaksanakan perintah karena tidak tahu. Alim yang mengenal perintah Allah tetapi tidak mengenal Allah ialah yang sangat tahu batas-batas dan perintah Allah tetapi tidak ada rasa takut kepada Allah. Kita dapat mengatakan bahwa yang nomor tiga inilah yang banyak sekarang, sehingga Nur atau cahaya itu dicabut Allah SWT dari dirinya, sehingga pengetahuannya dari hal halal dan haram, hanyalah laksana pengetahuan seorang pokrol bambu yang dapat memutar-mutar ayat bagaimana yang akan senang hati orang yang menanyakan.

Apabila direnungkan ayat 27 dan 28 ini, jelaslah bahwa jangkauan ulama itu amatlah luas. Tampaklah bahwa guru bukanlah semata-mata kitab saja. Alam itu sendiri adalah kitab yang terbuka luas. Ada juga pepatah, "Alam terbentang jadikan guru." Setelah berguru kepada alam terbukalah hijab dan jelaslah Allah SWT dengan serba-serbi kebesaran dan keagungan-Nya, lalu timbullah rasa takut kalau-kalau umur telah terbuang percuma saja. Dengan demikian jelas pula bahwa ulama bukanlah sempit hanya sekadar orang yang tahu hukum-hukum agama secara terbatas, dan bukan orang yang hanya mengaji kitab fiqih, dan bukan pula ditentukan oleh jubah dan serban besar. Malahan kadang-kadang dalam perjalanan sejarah telah kerapkali agama terancam bahaya karena ulah serban besar. Teringatlah kita akan ucapan Syekh Muhammad Abduh ketika dekat-dekat ajalnya, "Aku beri ingat, jangan agama dirusakkan oleh pengaruh serban." Yang beliau maksudkan ialah orang-orang yang disebut golongan ulama karena pengetahuannya yang sangat terbatas tentang kitab-kitab agama, tetapi pahamnya sangat sempit, tidak dapat mempertimbangkan soal-soal yang di luar dari jangkauan pikirannya. Kadang-kadang dia sendiri tidak insaf akan kekurangannya, tidak pula pandai membatasi diri, sehingga banyaklah yang Bid'ah dijadikannya Sunnah, yang khurafat dijadikannya agama, dan serta-merta menuduh orang kafir kalau tidak sesuai dengan apa yang dipikirkannya. Atau bertengkar dalam soal-soal khilafiyah yang berkecil-kecil, seakan-akan itu sajalah yang ilmu dan pihak dia sajalah yang benar.

Nabi mengatakan, "Ulama-ulama adalah pewaris dari nabi-nabi." Padahal orang-orang yang seperti demikian tidaklah sanggup menerima yang pahit dari pewarisan itu. Sehingga keulamaan sudah menjadi salah satu feodalisme religi dalam kalangan umat, yang tidak ada didapati yang demikian itu sejak semula.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 372-374, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENIKAM DENGAN KERIS MAJAL

Gerakan Muhammadiyah adalah lambang dari rasa tidak puas rakyat terhadap pimpinan agama raja. Perbedaan pahaman yang kecil-kecil karena tersingung oleh sentimen politik sudah menjadi besar. Sultan-sultan mempertahankan agama berdasarkan Madzhab Syafi'i. Pada permulaan Jepang masuk, Sultan Deli bersetuju Muhammadiyah masuk ke dalam daerah kerajaan asal saja tidak mengambil jalan di luar Madzhab Syafi'i. Untuk menghindarkan perselisihan, HAMKA San bersetuju dan menandatangani persetujuan itu. Karena sebelum perjanjian itu ditandatangani, ketika dia mengadakan tabligh umum di Rampah, telah datang jaksa diiringi oleh polisi bersenjata membubarkan tabligh itu!

"Kami Muhammadiyah tidak terikat dengan Madzhab Syafi'i." Ulama-ulama kerajaan terkejut mendengar kata-kata itu.

"Memang, kami tidak terikat kepada Madzhab Syafi'i. Kami hanya memakai suatu madzhab untuk langkah menuju dasar Islam, yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Pada pendapat kami, Jum'at kami tidak sah selama kami masih bersatu dalam Jum'at kerajaan. Menurut pandangan kami, di sana terlalu banyak BID'AH, yang dalam Madzhab Syafi'i sendiri pun TIDAK ADA!" "Mendirikan kelenteng dan gereja, mengapa dibolehkan di tanah kerajaan?" Pihak kerajaan menjawab, "Kalau sudah terang Muhammadiyah tidak Islam, tentu diizinkan!" "Bukankah menurut keyakinan kerajaan, kami ini golongan yang sesat? Golongan Wahabi. Mu'tazilah, keluar dari Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah? Apa salahnya Tuan golongkan saja kami sebagai pemeluk agama yang lain? Sebab berbeda pendirian dengan Tuan-Tuan." Kedengaran suara bisik-bisik dan suara, "Masya Allah! Astaghfirullah!" "Tobat-Tobat!"

Teringat dia bagaimana setianya Yahya Pintor dan anggota-anggota di sana yang bersedia mati untuk melanjutkan Jum'at. Dia teringat kejadian di Bulilir dan Pancur Batu. Rakyat pengikut pemimpinnya berpuluh-puluh mati menjadi umpan peluru, dengan tuduhan hendak melawan raja.

Yahya Pintor dituntut oleh kerajaan. Dia menjawab bahwa pendirian Jum'at itu bukanlah atas kehendak dirinya, melainkan keputusan dari Majelis Pimpinan Muhammadiyah, HAMKA San dan kawan-kawannya. Kerajaan Deli mengirim surat dengan alasan apa Muhammadiyah membuka Jum'at sebuah lagi di Rampah? Muhammadiyah menjawab, dia mendirikan adalah atas dasar Madzhab Syafi'i juga (Dia ingat janjinya dahulu dengan sultan!).

Yahya Pintor taat menjalankan perintah. Jum'at diteruskannya juga. Kaum Muhammadiyah, yang jumlah laki-laki dan perempuan di Rampah baru 200 orang, bersedia mengikuti pemimpinnya walaupun ditembak semua!

Hari itu Rabu. Lusa sudah Jum'at! Terngiang-ngiang di telinganya kembali perkataan Usugane San,

"Pengikut Tuan sangat setia menuruti perintah Tuan. Tyokan Kakka tahu, Tuan tentu kasihan kepada mereka!" Dia masih belum sanggup menjawab. Dia kebingungan. "Kirimlah perintah ke sana Tuan HAMKA! Suruhlah tutup Jum'at itu sementara waktu saja. Sekarang perang!" Dia masih bungkam. "Bagaimana HAMKA San?"

Betul-betul hilang pertimbangannya. Dia tidak mau pengikutnya menjadi korban.

Biarlah dia mati daripada pengikut pemahamannya mati lebih 100 orang. Itulah perasaannya sewaktu itu. Tahun 1945, berusia 37 tahun!

"Bagaimana Tuan HAMKA?" "Baiklah Tuan!" "Bagaimana?" "Saya larang meneruskan Jum'at itu karena sekarang perang, karena sultan berkuasa, karena dia banyak bantu Nippon dan saya hanya membantu dengan lidah, dengan mulut parau!" "Jangan cakap macam itu Tuan HAMKA. Kami dapat rasakan apa yang Tuan deritakan di saat ini. Nanti-nanti kami mesti bantu Muhammadiyah!"

Bantu apa karena 2 bulan selepas itu Jepang telah gulung tikar!

Hanya dua orang yang berjaya mengobati hatinya, yaitu Yunan Nasution dan Haji Abdul Halim Hassan. Yunan berkata, "Saya sadar bagaimana berat perasaan Engku Haji. Cuma sayang, Engku tidak bawa pulang urusan itu lebih dahulu." H.A. Halim Hassan berkata, "Ini bukan kekalahan. Dibawa bicara berhadapan Pemimpin Muhammadiyah dengan raja adalah kemenangan. Tutup masjid bukan kekalahan. Kita belum pernah kalah berhujjah dengan mereka, tetapi kita sekarang berhadapan dengan sesuatu kekuasaan, dipaksa tunduk. Tetapi kita mulia!"

(Buya HAMKA, KENANG-KENANGAN HIDUP, Hal. 363-375, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

MUHAMMAD SALEH

Pada Tahun 1933, Muhammad Saleh di Serdang menjadi anggota Muhammadiyah. Dia amat tertarik dengan pengajian Tuan Syekh Muhammad Khayath yang sewaktu itu menjadi Penasihat Muhammadiyah. Ketika dia pulang ke Serdang dibawanya pengajian baru itu. Kenduri di rumah orang kematian, haram. Talkin mayat, Bid'ah. Kadang-kadang dibongkarnya kezaliman kerajaan dalam menjalankan hukum. Pada suatu hari terlompatlah rupanya kata-katanya yang amat keras sehingga disampaikan orang kepada kerajaan. Muhammad Saleh dipanggil ke hadapan Majelis Syar'i Kerajaan Serdang. Dibuatlah bermacam-macam titian berakuk sehingga Muhammad Saleh terperosok ke dalamnya, tersalah perkataannya. Datanglah tuduhan murtad. Terjadilah di tanah Islam, di dalam Abad ke-20 pemerintahan zalim seperti di Prancis di zaman Louis ke-14. Masih syukur, di atas kerajaan itu masih ada pemerintahan Belanda. Rupanya pemerintahannya masih lebih baik dari pemerintahan raja-raja abad-abad pertengahan, yang masih terselat di sudut Abad ke-20. Kalau tidak ada Belanda di atasnya, tentulah Muhammad Saleh telah dipecahkan lidahnya, dipatahkan kakinya, lalu dinaikkan ke atas pembakaran, seperti di Prancis pada zaman Voltaire. Oleh sebab Muhammad Saleh telah diputuskan murtad, hukumnya ialah nikahnya tidak sah dengan perempuan Islam. Kalau dia mati, dia tidak boleh dikuburkan di perkuburan Islam. Dia tidak sah menikahkan anaknya sendiri. Demikianlah 10 tahun lamanya Muhammad Saleh menderita di Serdang. Dia tetap mengerjakan agamanya dengan patuh. Dia tetap shalat lima waktu dan puasa bulan Ramadhan meskipun sendiri. Ketika anak perempuannya hendak kawin, orang lainlah yang menikahkan atau wali hakim. Dia tidak mau tobat di hadapan kerajaan karena dia tidak merasa salah.

Pada Tahun 1942, tentara Jepang masuk dan setelah didengarnya bahwa Konsul Muhammadiyah telah menjadi penasihat Jepang, dia pun datang! Pada suatu hari, Bapak Muhammad Saleh yang telah berusia lebih 60 tahun datang menemui HAMKA San. Dia membawa seorang perempuan muda berusia lebih kurang 30 tahun. Diiringi oleh wali dan saksi. Rupanya mereka hendak menikah! Muhammad Saleh menyatakan bahwa sudah terang kerajaan tidak akan sudi menikahkan mereka. Sebab itu dia datang, minta HAMKA San menyaksikan pernikahan mereka. HAMKA San bertanya kepada wali perempuan itu, "Bagaimana? Bukankah Pak Saleh murtad?" "Itu hanya karena dengki saja," kata wali itu, katanya pula dalam logat Serdang. "Ado nyo, rajokinyo orang ni, maye nak dibuat." (Ada rupanya pertemuan nasib di antara kedua orang ini. Apa lagi yang akan diperbuat). Mereka pun menikah di hadapan HAMKA San! Ketika mereka hendak pergi, tinggal Pak Saleh sendirian. Dengan senda gurau HAMKA San bertanya, "Sudah berumur 60 tahun, istri 30 tahun! Apa masih kuat?" "Alhamdulillah! Tiga kali lagi berkawin dengan perawan masih sanggup," jawab si tua itu sambil tertawa sehingga kelihatan gigi palsunya. "Patutlah Teungku-Teungku di Serdang menghukum bapak murtad sebab Pak Saleh sudah tua, tetapi tua keladi, semakin tua, semakin menjadi." Mereka tertawa terbahak-bahak.

(Buya HAMKA, KENANG-KENANGAN HIDUP, Hal. 326-328, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

TAUHID

Kalau diteliti 6.236 ayat dalam Al-Qur'an yang tergabung di dalam 114 surah, nyatalah bahwa maksud tujuan hanya satu, yaitu mengakui keesaan Allah.

JANGAN MEMOHONKAN AMPUN UNTUK MUSYRIKIN

"Tidaklah ada bagi Nabi dan orang-orang yang beriman bahwa memohonkan ampun untuk orang-orang yang musyrik, meskipun adalah mereka itu kaum kerabat yang terdekat, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang itu ahli neraka. Dan tidaklah permohonan ampun Ibrahim untuk ayahnya, melainkan karena suatu janji yang telah dijanjikan kepadanya. Tetapi tatkala telah jelas baginya bahwa dia itu musuh bagi Allah, berlepas dirilah dia darinya. Sesungguhnya Ibrahim itu seorang yang penghiba lagi penyabar." (at-Taubah: 113-114).


Tiada Dia bersekutu dalam keadaan-Nya dengan yang lain. Demikian juga tentang mengatur syari'at agama, tidak ada peraturan lain, melainkan dari Dia.

MUSUH-MUSUH ALLAH

"Dan (ingatlah) di hari akan dihantarkan musuh-musuh Allah ke dalam neraka lalu mereka akan dikumpul-kumpulkan. Sehingga apabila mereka sudah sampai ke sana menjadi saksilah atas mereka pendengaran mereka dan penglihatan mereka dan kulit-kulit mereka atas apa yang telah mereka amalkan. Mereka berkata kepada kulit mereka, 'Mengapa kamu jadi saksi atas kami?' Mereka menjawab, 'Yang membuat kami bercakap ialah Allah yang membuat bercakap segala sesuatu dan Dialah Yang Menciptakan kamu sejak semula dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.'" (Fushshilat: 19-21).

Dalam satu riwayat pula dari Ibnu Abbas, bahwa di hari Kiamat, akan datang suatu masa manusia itu dikumpulkan untuk ditanya, tetapi mereka tidak dapat berbicara dan tidak sanggup membela diri dan tidak dapat berkata-kata, sebelum dapat izin. Setelah diberi izin mulailah mereka mempertahankan diri dan mungkir bahwa mereka mempersekutukan yang lain dengan Allah, sampai ada yang bersumpah di hadapan Allah seperti mereka bersumpah dengan kamu saja. Oleh karena mereka bersikeras mempertahankan diri dan memungkiri kesalahan itu, dibangkitkan Allah-lah saksi-saksi yang datang dari dalam diri mereka sendiri, yaitu kulit-kulit mereka, pandangan mata mereka, tangan mereka, kaki mereka dan mulut mereka dikuncikan. Setelah selesai semuanya memberikan kesaksian, barulah mulut mereka dapat bercakap. Lalu mengomellah mereka sebagaimana tersebut dalam ayat, mereka mengomel kepada kulit mereka sendiri, mengapa kulit itu mau menjadi saksi buat mencelakakannya. Kulit menjawab bahwa dia bercakap adalah atas kehendak Allah, Yang Maha Kuasa membuat segala sesuatu dapat bercakap.

SESALAN ALLAH TERHADAP ANAK ADAM

"Bukankah sudah Aku pesankan kepada kamu, wahai Anak Adam supaya kamu jangan menyembah Setan. Sesungguhnya dia bagi kamu adalah musuh yang nyata. Dan bahwa hendaklah kamu menyembah kepada-Ku. Inilah jalan yang lurus. Dan sesungguhnya telah dia sesatkan di antara kamu golongan yang banyak. Apakah tidak pernah kamu pikirkan? Inilah Jahannam yang pernah diancamkan kepadamu. Berbenamlah kamu ke dalamnya hari ini dengan sebab kamu telah mengingkarinya. Pada hari ini Kami tutup atas mulut-mulut mereka dan Kami buat bercakap tangan-tangan mereka dan naik saksi kaki-kaki mereka atas apa yang mereka usahakan." (Yaasiin: 60-65).


Artinya, bahwa sudah berkali-kali Allah SWT memperingatkan kepada anak Adam, supaya janganlah Setan yang mereka sembah. Menyembah Setan ialah memperturutkan perdayaannya, mendengarkan bisikannya yang menyesatkan itu. Menyembah Setan bukanlah berarti bahwa benar-benar ada orang yang shalat atau ruku' atau sujud kepada Setan dalam upacara. Bahkan jika saja seseorang telah mengerjakan perbuatan yang salah dan jiwanya sendiri merasakan bahwa perbuatan itu memang salah, tetapi dikerjakannya juga, nyatalah bahwa orang itu telah menyembah Setan.

Dari Anas bin Malik berkata dia, Kami berada di sisi Rasulullah satu waktu. Lalu beliau tertawa. Maka berkatalah beliau, "'Apakah kalian tahu apa sebab aku tertawa?' Kami jawab, Allah dan Rasul-Nya-lah yang lebih tahu. Lalu sabda beliau, 'Aku tertawa mengenangkan seorang hamba akan menghadap kepada Allah, lalu dia berkata, 'Ya Allah! Bukankah Allah telah memastikan bahwa Allah tidak akan berlaku aniaya kepadaku?' Allah SWT bersabda, 'Memang, demikianlah.' Lalu hamba itu berdatang sembah lagi, 'Ya Allah! Aku tidak hendak menerima kesaksian tentang diriku melainkan dari dalam diriku sendiri.' Lalu Allah SWT bersabda, 'Cukuplah di hari ini dirimu sendiri jadi saksi atas dirimu! Dan Malaikat-malaikat pencatat yang mulia (Kiraaman Kaatibiin) saksi luar.' Lalu mulut si hamba itu pun ditutup. Maka diperintahkan Allah anggota tubuh si hamba itu supaya bercakap. Lalu bercakaplah anggota tubuhnya itu menjelaskan apa-apa yang telah dia amalkan. Setelah selesai, diberilah si hamba itu kesempatan berkata-kata kembali. lalu dia berkata, 'Celaka kalian, jauhlah kalian, sengsaralah kalian. Aku menutup mulut, kalian yang bercakap, padahal kalian yang aku perjuangkan.'" (HR. Muslim).

Ditambah lagi dari keterangan Abu Hurairah yang dirawikan Muslim juga, "'Kemudian Kami utus saksi kami sekarang juga kepada engkau. Lalu berpikirlah dia sendirinya, siapakah agaknya saksi yang akan menyaksikan atas aku.'" Maka ditutuplah mulutnya dan dikatakan kepada pahanya, dagingnya dan tulangnya, "Berbicaralah." Maka berbicaralah pahanya, dagingnya dan tulangnya, menerangkan amalnya. Dan yang demikian itu ialah untuk melemahkan dari dirinya. Dan itulah orang-orang yang munafik dan itulah orang-orang murka Allah telah menimpa dirinya." (HR. Muslim dari Abu Hurairah).

ISLAM SUDAH SANGAT SEMPURNA

"... Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu dan telah Aku lengkapkan atas kamu nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam itu untuk agama bagi kamu ..." (al-Maa'idah: 3).


Dalam hal-hal yang musykil berkenaan dengan urusan dunia, pun telah cukup pula agama memberikan bimbingan. Kenyataan pertama ialah agama murni menurut yang diturunkan dari langit, yang telah cukup dan sempurna, tidak dapat dikurangi atau ditambah lagi. Orang yang menambah-nambah, bernama tukang Bid'ah.

TUGAS RASUL

Ibnu Katsir dalam tafsirnya, "Umatnya telah memberikan kesaksian bahwa risalah itu telah beliau sampaikan dan amanah itu telah beliau tunaikan. Beliau telah bertanya kepada mereka itu di dalam suatu pertemuan yang besar, dalam khutbahnya seketika Haji Wada'. Sahabat-sahabatnya yang hadir di waktu itu lebih kurang berjumlah 40.000 orang. Sebagaimana terdapat sebuah hadits yang shahih, dirawikan oleh Muslim, dari Jabir bin Abdullah. Bahwasanya Rasulullah saw. di dalam khutbahnya pada hari itu telah berkata, 'Wahai sekalian manusia! Kamu semuanya ini bertanggung jawab. Apakah pendapatmu?' Mereka menjawab, 'Kami naik saksi bahwasanya engkau telah melakukan nasihat!' Mendengar jawaban itu, Rasulullah mengangkat kepalanya menadahkan tangannya ke langit lalu dikembangkannya menghadapi mereka semua, lalu dia berkata, 'Ya Allah! Bukankah telah aku sampaikan?'"

Dengan ini pula maka teranglah apa yang dimaksudkan oleh sabda Rasulullah saw. bahwa beliau telah meninggalkan ajaran agama yang lengkap tidak ada yang tersembunyi:

"Malamnya serupa dengan siangnya."


MUSYRIK

"Dan setengah dari manusia ada yang mengambil yang selain Allah menjadi tandingan-tandingan ... Dan sekali-kali tidaklah mereka akan keluar dari neraka." (al-Baqarah: 165-167).

Dalam Islam, sekarang bisa juga datang keruntuhan agama seperti yang menimpa umat-umat yang dahulu. Kerusakan agama umat yang dahulu ialah karena aturan agama sudah sangat dicampuri oleh kepala-kepala agama, oleh pendeta, uskup, rabbi dan sebagainya. Pemuka-pemuka agama itu yang menentukan halal-haram, menambah-nambah agama, sehingga hilang yang asli dibungkus oleh tambahan.

Dengan ayat ini jelaslah bahwasanya pimpinan yang diikut selain dari pimpinan Allah atau pemuka-pemuka yang menentukan pula peraturan halal dan haram, lain dari peraturan Allah, dan diikut pula peraturan itu menyerupai mengikut peraturan Allah, sudahlah menjadikan pemuka itu tandingan-tandingan Allah, sudahlah mempersekutukan mereka itu dengan Allah. Lantaran itu, mempersekutukan atau mengadakan tandingan-tandingan itu bukanlah semata-mata menyembah-nyembah dan memuja-muja saja, melainkan kalau pemimpin atau pemuka-pemuka membuat peraturan lalu peraturan mereka lebih diutamakan dari peraturan Allah maka terhitunglah orang yang mengikuti itu dalam lingkungan musyrik, mempersekutukan pemuka-pemuka itu dengan Allah.

KEPENTINGAN DAKWAH

"Tidaklah ada seorang jua pun nabi yang diutus Allah kepada umatnya sebelum aku, melainkan ada baginya di kalangan umatnya itu hawari-hawari dan sahabat-sahabat yang memegang teguh sunnahnya dan melaksanakan perintahnya. Kemudian, muncullah (sesudah mereka) keturunan-keturunan yang berkata, tetapi tidak mengerjakannya dan memperbuat apa yang tidak diperintahkan. Maka, barangsiapa yang menentang mereka dengan tangannya, itulah dia orang yang beriman. Barangsiapa yang menentang mereka dengan lidahnya, itulah orang yang beriman. Dan barangsiapa yang menentang mereka dengan hatinya, itulah dia orang yang beriman. Di belakang itu tidak ada yang patut disebut iman lagi, walaupun sebesar biji sawi." (HR. Muslim).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 521, Jilid 4 Hal. 304, Jilid 8 Hal. 158, Jilid 7 Hal. 438-442, Jilid 2 Hal. 599-600, Jilid 2 Hal. 745-750, Jilid 1 Hal. 305-306, Jilid 2 Hal. 27, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TAKWA DAN IMAN

Tersebutlah pada sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad, ad-Darimi, al-Baqawardi, dan Ibnu Qani di dalam Majma'ush-Shahabah dan ikut juga merawikan Imam Bukhari di dalam Tarikh-nya dan ath-Thabarani dan al-Hakim, mereka meriwayatkan daripada Abi Jum'ah al-Anshari. Berkata dia (Abu Jum'ah al-Anshari), "Aku bertanya, 'Ya, Rasulullah! Adakah suatu kaum yang lebih besar pahalanya daripada kami, padahal kami beriman kepada engkau dan kami mengikut akan engkau.' Berkatalah beliau, 'Apalah akan halangannya bagi kamu (buat beriman kepadaku), sedangkan Rasulullah ada di hadapan kamu, dan datang kepada kamu wahyu (langsung) dari langit. Namun, akan ada lagi suatu kaum yang akan datang sesudah kamu, datang kepada mereka Kitab Allah yang ditulis di antara dua Luh, maka mereka pun beriman kepadaku dan mereka amalkan apa yang tersebut di dalamnya. Mereka itu adalah lebih besar pahalanya daripada kamu.'" Dan mengeluarkan pula ath-Thayalisi, Imam Ahmad dan Bukhari di dalam Tarikh-nya, ath-Thabarani dan al-Hakim, mereka riwayatkan daripada Abu Umamah al-Baihili. Berkata dia (Abu Umamah) bahwa berkata Rasulullah saw., "Bahagialah bagi siapa yang melihat aku dan beriman kepadaku dan bahagia (pulalah) bagi siapa yang beriman kepadaku, padahal dia tidak melihat aku (tujuh kali)." Hadits ini dikuatkan lagi oleh yang dirawikan Imam Ahmad, Ibnu Hibban dari Abu Said al-Khudri. Bahwasanya seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah saw., "Bahagialah bagi siapa yang melihat engkau dan beriman kepada engkau." Beliau pun menjawab, "Bahagialah bagi siapa yang melihat aku dan beriman kepadaku dan berbahagialah bagi siapa yang beriman kepadaku, padahal dia tidak melihat aku."

Kita tidak melihat wajah beliau. Bagi kita, beliau adalah gaib. Kita hanya mendengar berita dan sejarah beliau atau bekas-bekas tempat beliau hidup di Mekah, tetapi bagi setengah orang yang beriman, demikian cintanya kepada Rasulullah sehingga dia merasa seakan-akan Rasulullah itu tetap hidup, bahkan kadang-kadang titik air matanya karena terkenang akan Rasulullah dan ingin hendak menjadi umatnya yang baik dan patuh, ingin mengerjakan sunnahnya dan memberikan segenap hidup untuk melanjutkan agamanya. Maka, orang seperti ini pun termasuk orang yang mendalam keimanannya pada yang gaib.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 99-100, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HUKUMAN KEPADA BANI QURAIZHAH

Penyerbuan ke Bani Quraizhah itu tampaknya dilakukan secara kilat dan mengejutkan dengan tiba-tiba. Sebab itu semua segera mesti sampai di sana, sebelum Ashar. Nabi bersabda, "Shalat Ashar kamu semua nanti di Bani Quraizhah saja." Maka bersiaplah semua dengan sigap dan bersemangat. Ada yang terus mengikuti menurut bunyi apa yang diperintahkan Nabi, yaitu shalat Ashar di Bani Quraizhah saja, ada pula yang berjalannya itu lebih cepat lagi, sehingga dia dapat membagi waktu sehingga sebelum waktu Ashar habis dia dapat shalat di tengah jalan dan apabila dia sampai di Bani Quraizhah ketika matahari mulai terbenam, dia tidak merasa ketinggalan waktu. Tetapi yang shalat di tengah jalan itu tidaklah mendapat teguran Nabi karena dia tidak menjalankan menurut bunyi perintah dengan tidak berubah sedikit juga. Dan yang terlambat dalam perjalanan, yang oleh karena teguh memegang perintah, walaupun Ashar telah habis di tengah jalan, sehingga Asharnya dishalatkannya malam hari di Bani Quraizhah tidak pula mendapat teguran. Artinya, bahwa keduanya telah bertindak yang betul. Yang pertama mengambil maksud yang terkandung dalam perintah. Yaitu Nabi mengatakan tak usah shalat di tengah jalan, biar di Bani Quraizhah saja, ialah dengan maksud agar cepat sampai di sana. Kecepatan sampai itulah yang mereka penuhi dan mereka pertenggangkan waktu sehingga mereka shalat di jalan. Dan yang benar-benar shalat di Bani Quraizhah, meskipun waktu Ashar telah habis, tidak pula kena teguran Nabi saw. sebab mereka telah bertindak sesuai dengan bunyi perintah, dengan tidak mengubah atau berpikir lain sedikit juga.

Dari kejadian seperti ini jelaslah bahwa di zaman Nabi saw. sendiri pun telah terdapat orang yang kuat teguh memegang bunyi perintah atau nash dengan tidak memikirkan maksud yang terkandung di dalamnya, inilah yang kemudian jadi Madzhab Ahlul Hadits. Dan yang berusaha menyelidiki lebih dalam apa maksud yang terkandung dalam perintah, yang disebut hubungan di antara 'illat dengan hukum, lalu mereka pakai ijtihad. Keduanya dibiarkan bertumbuh oleh Nabi saw. Yang penting ialah maksud tercapai, mengepung Bani Quraizhah.

Menurut riwayat yang dipancung leher itu adalah di antara 700 dengan 800 orang laki-laki dewasa. Rasa benci dan dendam itulah yang diteruskan oleh orang Yahudi dari masa ke masa, dari zaman ke zaman terhadap Islam terutama. Sampai di zaman tafsir ini dikarang, kebencian itu bertambah menyala, sampai membakar Masjidil Aqsha, dan sebelum dan sesudahnya, sudah beratus, beribu-ribu bahkan berlaksa orang Islam di Palestina yang dipotong leher pula oleh Bani Israil.

BANI QAINUQA

Ada seorang perempuan Arab masuk ke Pasar Bani Qainuqa membawa susu yang baru dia perah, akan dijual. Lalu dia berlepas sejenak di hadapan kedai seorang tukang celup kain. Maka berkerumunlah anak-anak muda Yahudi itu keliling perempuan itu sengaja hendak merenggutkan cadarnya supaya wajahnya lebih jelas kelihatan, namun perempuan itu tidak mau. Lalu Yahudi tukang celup itu dengan diam-diam mengikatkan ujung kain tutup badan perempuan itu ke atas dan menyangkutkannya. Kemudian setelah perempuan itu berdiri, terbukalah kain itu dari badannya dan dia jadi bertelanjang, terbukalah kemaluannya. Perempuan itu memekik meminta tolong, sedang pemuda-pemuda Yahudi itu tertawa bersama-sama. Di sana tiba-tiba melintas seorang pemuda Muslim yang naik darah melihat kejadian yang sangat menghinakan itu. Lalu disentaknya khanjarnya dan ditikamnya tukang celup itu sampai mati. Melihat itu datanglah pemuda-pemuda Yahudi yang tertawa-tawa tadi menyerang pemuda Muslim itu bersama-sama, mengeroyok. Mereka pukuli dan tikami pemuda Muslim itu beramai-ramai, lalu mati pula. Segera hal ini tersebar di kalangan kaum Muslimin dan timbullah kemurkaan yang meluap-luap kepada Bani Qainuqa.

Melihat Bani Qainuqa sudah terkepung dan sudah pasti Rasulullah yang akan memutuskan nasib mereka, tiba-tiba datanglah Abdullah bin Ubay bin Salul, pemimpin kaum munafik membela mereka di hadapan Rasulullah saw. Dia mengatakan bahwa Bani Qainuqa itu sejak dahulu telah bersumpah bersahabat dengan Bani Khazraj. Karena kerasnya permohonan Abdullah bin Ubay itu Rasulullah pun memperingan tekanannya. Mereka seluruh Bani Qainuqa dilepaskan dari tawanan, untuk segera keluar dari kota Madinah buat selama-lamanya. Boleh dibawa barang-barang kekayaan apa yang ada, kecuali senjata. Dan perintah ini mesti lekas dilaksanakan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 177-182, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BOLEH MEMBINCANG KHILAFIYAH

Yang mutlak benar adalah sabda Tuhan, yang ma'shum hanyalah nabi-nabi dan rasul-rasul.

Apatah lagi dalam ilmu ushul fiqih sudah dirumuskan bahwa perkara-perkara yang ijtihadiyah hanyalah menghasilkan zhanni, bukan yaqini. Artinya dia senantiasa boleh ditinjau dan dengan sendirinya tertinggal, kalau datang hasil penyelidikan yang lebih mendekati kebenaran. Khilafiyah perlu, demi untuk mengasah fikiran, untuk memajukan cara istinbath hukum, untuk meninjau soal. Karena hukum-hukum itu beredar menurut 'illat. Ada 'illat ada hukum, hilang 'illat hilang hukum. Dan suatu hukum dipengaruhi oleh ruang (makaan) dan waktu (zamaan).

Menutup membicarakan khilafiyah berarti menyetop edaran zaman, menutup pintu sekolah-sekolah tinggi Islam. Atau sekolah-sekolah tinggi Islam itu dicopotkan dari fungsinya yang sebenarnya, yaitu mendidik kebebasan berfikir, diganti sekalian dosen yang berani berijtihad dan dikisar-alihkan tempatnya dengan dosen yang membela taqlid dan lalu dipertahankan juga nama "Sekolah Tinggi Islam"-nya dan diberi juga mahasiswa-mahasiswa yang tamat gelaran-gelaran ilmiah B.A., M.A., Drs., Dra. Disuruh mereka menghapal "qila" (kata orang begini) dan tidak boleh dinyatakan "qultu" (aku berpendapat begini). Orang-orang yang mengerti maksud sekolah tinggi tentu malu jika menerima gelar dari "Sekolah Tinggi" yang demikian coraknya.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 43-45, Penerbit Galata Media, Cet.I, 2018).

MUBAHALAH

"Katakanlah, 'Wahai, Ahlul Kitab! Marilah kemari kepada kalimat yang sama di antara kami dan di antara kamu, yaitu bahwa janganlah kita menyembah melainkan kepada Allah dan jangan kita menyekutukan sesuatu dengan Dia dan jangan menjadikan sebagian dari kita akan sebagian menjadi Tuhan-Tuhan selain dari Allah.' Maka jika mereka berpaling, hendaklah kamu katakan, 'Saksikanlah olehmu bahwasanya kami ini adalah orang-orang yang Islam.'" (Aali 'Imraan: 64).

Kita harus berani mengikut Rasulullah, berani berhadapan dengan pemeluk agama lain, dengan mengadakan mubahalah. Akan tetapi, keberanian ini tidak akan ada kalau kita tidak mengerti agama kita sendiri.

Mubahalah ialah bersumpah yang berat, yang di dalam bersumpah itu dihadirkan anak dan istri dari kedua pihak yang bersangkutan, lalu diadakan persumpahan di dalam mempertahankan keyakinan masing-masing. Menilai kebenaran pendirian kedua belah pihak. Kalau ternyata kedua belah pihak berkeras kepala, tidak ada yang mau bertolak-angsur, biarlah Allah Ta'aala menurunkan kutuk laknat-Nya kepada barangsiapa yang masih saja bertahan pada pendirian yang salah.

Kemudian diterangkan pula, janganlah hendaknya kita menjadikan sebagian dari kita menjadi Tuhan-Tuhan pula selain dari Allah, yaitu meskipun tidak diakui dengan mulut bahwa mereka yang lain itu adalah Tuhan, tetapi kalau perintahnya atau ketentuannya telah disamakan dengan ketentuan dan perintah Allah Yang Tunggal, samalah itu dengan menuhankan.

Menurut suatu riwayat, seorang Nasrani yang besar, yaitu Ady bin Hatim, putra dari Hatim Thay yang masyhur karena dermawannya, ketika akan masuk Islam, telah datang kepada Rasulullah saw. memakai sebuah dokoh salib emas tergantung pada lehernya. Lalu panjanglah Rasulullah saw. memberikan keterangan tentang Tauhid sebagai pokok ajaran agama Allah dan disebut beliau pula tentang Ahlul Kitab menuhankan sesama manusia itu. Ady bin Hatim yang belum paham apa maksudnya, mengatakan bahwa di dalam agama Nasrani tidaklah ada menuhankan manusia-manusia itu. Lalu Rasulullah saw. menyatakan bahwa dalam agama Nasrani segala peraturan halal dan haram yang ditentukan oleh pendeta, wajib diterima sebagaimana menerima peraturan dari Allah sendiri. Waktu itu, barulah Ady bin Hatim paham dan mengakui bahwa dalam agama Nasrani memang ketentuan pendeta itu dianggap sebagai hukum Tuhan. Ady bin Hatim sesudah mendengar keterangan itu menjadi seorang Islam dan sahabat Rasulullah yang baik.

Akan tetapi, karena zaman beredar juga dan waktu berjalan, haruslah kita umat Muslimin mengakui bahwa kadang-kadang kita dengan tidak sadar telah terlampau dipantang pula. Ada orang yang lebih mengutamakan kata ulama dari Kata Allah, sehingga satu waktu Al-Qur'an tidak lagi buat dipahamkan dan buat digali sumbernya, melainkan buat dibaca-baca saja, sedangkan dalam hal hukum halal dan haram, taklid saja kepada ulama. Lama-lama orang yang mengajak kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasul menjadi celaan orang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 645-651, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENDAHULUAN

Ilmu dalam Islam adalah yang ada dasar dan dalilnya, terutama dari dalam Al-Qur'an dan dari As-Sunnah, termasuk juga penafsiran ulama-ulama yang telah mendapat kepercayaan dari umat, yang disebut Salafus Shalihin.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 305, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

TRADISI BELANDA

Setiap orang yang akan diberi jabatan tinggi disumpah terlebih dahulu, bahkan di negeri kita ini diadakan pula tradisi, bahwa setiap orang yang tengah disumpah itu, di belakangnya berdiri seorang haji mengangkat sebuah kitab suci Al-Qur'an, yaitu tradisi yang diwarisi dari Belanda dan diteruskan oleh pemerintah kita, dan sekali-kali tidak ada dari Nabi Muhammad saw. ataupun dari para sahabatnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 320, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BERMASYARAKAT

Inilah pendirian Ahlus Sunnah wal Jamaah! Bukan seperti kaum Syi'ah yang dengan berani menghukum kafir segala lawan politik dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dan bukan pula sebagai paham kaum Khawarij yang telah memandang tersesat khalifah-khalifah yang sesudah dua orang Abu Bakar dan Umar. Sampai golongan Khawarij itulah yang menganjurkan membunuh tiga orang yang mereka anggap sebagai pangkal pengacau, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu'awiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin al-Ash.

Kita teringat perkataan Abdullah bin Abbas ketika ditanyai orang mengapalah sampai terjadi perkelahian yang begitu hebat di antara golongan Ali dengan Mu'awiyah, Ibnu Abbas menjawab setelah kejadian itu lama lampau. Kata beliau, "Sebabnya ialah karena dalam kalangan kami tidak ada orang yang seperti Mu'awiyah dan dalam kalangan Mu'awiyah tidak ada orang yang seperti Ali." Alangkah tepatnya jawaban ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 423-424, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Perpustakaan Negara Malaysia

Tidak sependapat dengannya bukanlah alasan untuk HAMKA menuduh Syeikh Abu Bakar Ashaari menjadi kafir.

HAMKA turut menegaskan:

Saya pun tidak dapat menuruti al-Imam Malik di dalam perkara ini, kerana saya memandangnya dari segi lain!

Saya pun tidak sependapat dengan Almarhum Tuan Hasan Bandung dan Abu Bakar Ashaari di dalam perkara ini.

"ijtihad tidak dapat disanggah dengan ijtihad pula!".

Tetapi saya keberatan menuduh-nuduh orang kafir!

Kerana di dalam kitab-kitab hadith dan fikah sudah ada "Bab al-Riddah" yang menuliskan syarat-syarat yang dapat menyebabkan orang jadi kufur dan hukum yang mengkufurkan orang lain!

Agama ada mempunyai batas-batas dan kesopanan yang tidak boleh kita lampaui.

Di sini saya tegaskan bahawa al-Fadhil Abu Bakar Ashaari adalah seorang Muslim al-Sunni al-Salafi.

Saya berkata dengan mengingat tanggung jawab saya di hadapan Allah!

myrepositori.pnm.gov.my/bitstream/123456789/3026/1/JWIK_2011_Bil23_8.pdf

PRAKATA PENYUSUN

Sekalipun mengkritik taqlid dan ashabiyah golongan, HAMKA tidak lantas menjadi sosok garang tukang memvonis. Ia justru sebaliknya, menghadirkan ajakan persatuan sembari "mengobati" penyakit ummat. Salah satunya adalah membuka perbincangan masalah khilafiyah. Bukan untuk saling menjatuhkan marwah, apalagi merenggangkan persatuan.

HAMKA, dengan kata lain, ingin menganjurkan dijalankannya adab dan sikap ilmiah; inilah yang menjadi penekanan pada tulisan-tulisan di bagian kedua.

Agar ummat tak lagi cetek dalam berpikir.

Agar ummat tak hanya jadi gemar melabel sesama saudara seiman hanya berdasarkan emosi.

Dengan terjaganya adab dan ilmu, "kepanikan" tidak bakal ada lagi di tubuh ummat manakala mendapati sebuah perubahan dramatis, sebagaimana saudara-saudara seiman HAMKA temui di era Sputnik dan Lunik.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. xi-xii, Penerbit Galata Media, Cet. I, 2018).

IMAN BELUM! ISLAM YA!

"... Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Pengampun ..." (al-Hujuraat: 14).

Atas kelancangan mulut mengakui diri telah beriman.

Berapa banyaknya orang Islam, dia mengucapkan syahadat, dia mengerjakan shalat, dia berpuasa dan naik haji, namun imannya kepada Allah belum dihayatinya, belum disadarinya dan belum diinsafinya sehingga keislamannya itu tidak mengesan kepada hidupnya. Misalkan saja orang Islam yang taat mengerjakan ibadah, tetapi bila datang seruan berjihad pada jalan Allah, timbullah takutnya dan larilah dia dari masyarakat ramai, takut akan diajak masuk ke dalam arena perjuangan, lalu dia lari menyisihkan diri untuk lebih khusyu menurut pikirannya mengerjakan ibadah di tempat yang sunyi.

"Apakah menyangka manusia bahwa mereka akan dibiarkan saja mengatakan, 'Kami telah beriman', padahal mereka tidak kena percobaan?" (al-'Ankabuut: 29).

Bagi mereka itu, penderitaan itulah yang menjadi halawatul iman, manis dan lezat rasa keimanan.

Barangsiapa yang berani mati karena memperjuangkan nilai suatu pendirian, barulah berarti hidup yang dia jalani. Orang yang seperti ini sudah boleh menyebut bahwa dia beriman!

"Katakanlah, 'Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agama kamu? Padahal Allah Mengetahui apa yang ada di semua langit dan di bumi dan Dia atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Tahu!'" (al-Hujuraat: 16).

Maksudnya ialah menanyakan kepada manusia sendiri, apakah jika manusia mengaku bahwa dirinya telah beriman, dia akan memberitahu kepada Allah, "Ya Allah! Tahukah Engkau bahwa aku, si fulan, telah beriman?" Seakan-akan dengan bertanya begini orang itu merasa bahwa dirinya sangat penting sehingga Allah harus tahu akan hal itu. Tegasnya ialah bahwa tidak usahlah engkau memberitahu kepada Allah bahwa engkau memeluk Islam sedangkan seluruh hal-ihwal di semua langit dan di atas bumi, kecilnya dan besarnya, Allah pun tahu, kononlah dari hal engkau masuk Islam. Bahkan engkau sendirilah yang belum tahu bagaimana akibat keislamanmu itu, apakah akan langsung atau akan terhenti di tengah jalan.

"Mereka membanggakan kepada kamu karena mereka telah Islam. Katakanlah, 'Janganlah kamu banggakan kepadaku keislamanmu itu. Bahkan Allah-lah yang telah menganugerahi atas kamu karena Dia telah memberimu hidayah dengan iman. Jika adalah kamu semuanya benar-benar jujur.'" (al-Hujuraat: 17).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 433-435, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

QUNUT

Dalam tulisannya untuk mengenang HAMKA (dalam Nasir Tamara, dkk. 1996, HAMKA: di mata hati umat), Achmad Sjathari bercerita bahwa seusai shalat Subuh tersebut HAMKA diprotes keras teman-temannya. Apakah HAMKA berubah plin-plan seiring usia kian menua? Achmad Sjathari mendengar langsung cerita ini dari HAMKA, bersama-sama para peserta penutupan Musyawarah Nasional II MUI pada 1 Juni 1980. Atas keberatan teman-temannya, HAMKA menjawab dengan polos dan jujur. "Dahulu sewaktu saya masih muda memang paling gigih menentang Qunut, karena kitab-kitab yang saya baca baru satu dua," jelas HAMKA di depan hadirin. "Tetapi sekarang, dengan semakin bertambahnya usia dan pengalaman, maka semakin banyak pula kitab-kitab yang saya baca."

(Yusuf Maulana, Buya HAMKA Ulama Umat Teladan Rakyat, Hal. 178, Penerbit Pro-U Media, 2018).

BUKAN ULAMA YAHUDI

"Apakah hukum secara jahiliyyah yang mereka ingini? Padahal siapakah yang lebih baik daripada Allah hukum-Nya? Bagi kaum yang berkeyakinan?" (al-Maa'idah: 50).

Teringat kita kepada penafsiran Hudzaifah bin al-Yaman dan Ibnu Abbas di atas tadi. Apakah segala yang manis-manis hanya khusus buat kita dan yang pahit-pahit buat Ahlul Kitab. Buat Bani Israil? Bukankah dengan teguran ayat ini pun kadang-kadang bertemu pada kita kaum Muslimin sendiri? Kembali pada hukum jahiliyyah, bila kehendak Al-Qur'an berlawanan dengan hawa nafsu? Disinilah terasa beratnya memikul tugas menjadi ulama dalam Islam. Yakni di samping memperdalam pengetahuan tentang hakikat hukum, memperluas ijtihad, hendaklah pula ulama kita meniru meneladan ulama pelopor zaman dahulu itu, sebagai Imam Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi'i dan Ahmad bin Hambal dan lain-lain, yaitu keteguhan pribadi dan kekuatan iman, sehingga di dalam menegakkan hukum mereka itu tidak dapat dipengaruhi oleh harta benda dan tidak sampai mereka mengubah-ubah makna dan maksud ayat, karena tenggang-menenggang atau ketakutan, walaupun untuk itu diri-diri beliau kerapkali menderita. Itulah ulama Islam, bukan ulama Yahudi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 713, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ADAB SOPAN SANTUN TERHADAP RASULULLAH

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan takwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (al-Hujuraat: 1).

Artinya ialah bahwasanya orang yang telah mengaku bahwa dirinya beriman kepada Allah dan Rasul, tidaklah dia akan mendahului Allah dan Rasul. Menurut keterangan daripada ulama yang besar-besar, sejak daripada sahabat-sahabat Rasulullah sampai kepada ulama lain yang menjadi ikutan umat ialah dilarang janganlah seorang beriman itu mendahulukan pikiran dan pendapatnya sendiri di dalam hal-hal yang berkenaan dengan agama sebelum dia terlebih dahulu menilik, memandang dan memerhatikan firman Allah dan sabda Rasul. Janganlah dia mendahulukan pendapatnya sendiri. Untuk ini Imam Ibnu Katsir telah mengemukakan dalam tafsirnya suatu percontohan, yaitu ketika Rasulullah saw. akan mengutus sahabat Mu'az bin Jabal menyebarkan agama Islam ke negeri Yaman. Ketika akan berangkat itu Rasulullah bertanya kepadanya, "Dengan apakah engkau akan menghukum?" Mu'az bin Jabal menjawab, "Dengan Kitab Allah!" Lalu Rasulullah bertanya pula, "Kalau tidak engkau dapati di dalamnya dasar yang akan dijadikan hukum?" Mu'az menjawab, "Dengan Sunnah Rasulullah saw." Lalu Rasulullah bertanya pula, "Kalau tidak pula engkau dapat bagaimana?" Mu'az menjawab, "Saya akan ijtihad dengan pendapatku sendiri." Mendengar jawab demikian dengan gembira Rasulullah menepuk dada Mu'az, tepuk sayang, lalu beliau bersabda, "Alhamdulillah! Segala puji bagi Allah yang memberikan taufik bagi utusan Rasulullah mencari hukum yang diridhai oleh Rasulullah sendiri." (HR. Ahmad bin Hambal, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). Maksud yang terkandung dalam hadits ini ialah bahwa Mu'az mendahulukan pendapat Allah dan pendapat Rasul daripada pendapatnya sendiri. Didahulukannya menyelidiki firman Allah di dalam Al-Qur'an, kemudian itu Sunnah Rasul dalam pelaksanaannya, menurut ketentuan "Al-Isybaah wan Nazhaair", perserpaan dan penelitian dan kalau tidak bertemu baru dipakainya ijtihadnya sendiri. Maka Rasulullah saw. gembira mendengar jawabnya itu sehingga beliau saw. menepuk dada Mu'az menyatakan kegembiraan dan kesukaan beliau atas jawabannya yang tepat itu.

Oleh sebab itu kuat lagilah penafsiran ini dengan apa yang pernah dikatakan oleh Ali bin Abi Thalhah, bahwasanya arti firman Allah jangan mendahului Allah dan Rasul-Nya itu ialah jangan menyatakan pendapat yang berlawanan dengan Kitab dan Sunnah. Al-'Aufi mengatakan pula, "Jangan bercakap dengan perkataan yang sengaja hendak menggandingi firman Allah." Adh-Dhahhak berkata, "Janganlah kamu memutuskan suatu perkara yang berbeda dari apa yang dari Allah dan Rasul-Nya dalam hal-hal yang mengenai syari'at agama kamu." Sufyan ats-Tsauri mengatakan, "Jangan dengan kata-kata, jangan dengan perbuatan." Dengan demikian teranglah bahwasanya pendapat kita sendiri hendak disesuaikan terlebih dahulu dengan ukuran Kitab dan Sunnah. Karena konsekuensi dari iman memang demikian adanya. Tidak ada kata yang lebih benar daripada kata Allah dan kata Rasul. Baik ketika Rasulullah masih hidup ataupun setelah Rasulullah wafat, keduanya sama saja. Sebab segala perkataan (aqwaal), perbuatan (af'aal) dan perbuatan orang lain yang tidak mendapat bantahan dan beliau (taqariir) telah lengkap tercatat dalam hadits belaka, dirawikan oleh ahli-ahlinya yang kenamaan. Itulah yang bernama ilmu dalam Islam. Seperti tersebut dalam sebuah syair Imam Syafi'i, "Tiap-tiap ilmu lain daripada Al-Qur'an hanyalah membuang tempoh belaka: kecuali ilmu Hadits dan Fiqih dalam hal agama: Yang ilmu ialah yang memakai dasar "haddatsana". lain dari itu adalah Was-was Setan belaka."

Ujung ayat, yaitu sesudah di pangkal ayat diberi peringatan kepada orang yang beriman, maka di ujung ayat diberi peringatan kembali supaya takwa kepada Allah, artinya supaya menjaga perhubungan yang baik dengan Allah. Karena orang yang beriman lagi bertakwa sangatlah berhati-hati di dalam segala gerak langkahnya. Tidaklah mereka itu terburu-buru atau kesusu memutuskan suatu hukum. Seumpama imam-imam yang besar, sebagai Imam Malik atau Syafi'i, Ahmad bin Hambal atau Imam Abu Hanifah, tidaklah beliau-beliau segera saja mengambil keputusan sesuatu haram melainkan kalau dia merasa sesuatu perbuatan menurut pertimbangan ijtihadnya tidak baik, cukuplah beliau berkata saja, "Ukrihu hadzaa" artinya, "Saya benci atau saya kurang senang perbuatan demikian." Maka, orang yang merenungkan fatwa beliau-beliau itu dapatlah mengambil kesimpulan bahwa bagi beliau hal itu berat kepada haram. Sebabnya ialah karena masalah ijtihadiyah yang menghendaki kepada renungan pikiran, kesimpulannya tidaklah qath'i atau pasti, melainkan lebih berat kepada zhanni, sehingga di lain waktu dapat ditinjau kembali. Dan apabila mereka telah bertemu dengan nash yang sharih atau alasan yang jelas nyata, ijtihad terhenti dengan sendirinya dan mereka berlomba menganjurkan berbuat menurut yang dianjurkan. Sebab itu pulalah maka kita lihat misalnya di dalam Ihya' Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali bahwa imam-imam yang besar-besar itu, seperti Imam Malik, Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Abu Hanifah dan Ahmad bin Hambal dan imam-imam yang lain, selain dari beliau itu ahli-ahli fatwa kenamaan, pemuka dari Mujtahid yang mutlak, beliau-beliau adalah ahli-ahli ibadah yang tekun, sampai menamat-khatamkan membaca Al-Qur'an setiap hari. Gunanya ialah untuk meneguhkan iman dan takwa sehingga fatwa yang dikeluarkan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 412-413, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AL-QUR'AN: LAFAZH DAN MAKNA

Tafsir yang utama dan yang pertama dari Al-Qur'an, tidak lain ialah Sunnah, yaitu perkataan (aqwal) dan perbuatan (af'aal) Nabi dan perbuatan orang lain, yaitu sahabat-sahabatnya, yang mereka kerjakan di hadapan beliau, lalu dibiarkannya saja tidak dicegahnya (taqrir). Itulah Tafsir Al-Qur'an yang pertama. Sunnah Rasulullah adalah penjelasan dari Al-Qur'an, sehingga tidaklah boleh seseorang menafsirkan Al-Qur'an yang berlawan dengan Sunnah. Karena itu, segala hukum fiqihiyah yang ada dalam Al-Qur'an, baik berkenaan dengan ibadah maupun muamalah, ataupun untuk menyusun masyarakat kemanusiaan yang dimulai dasar pertamanya dari keluarga (usrah), sampai meningkat kepada berkampung halaman, berkota bernegeri, sampai pada bernegara dengan wilayah kekuasaannya dan hubungan di antara yang memerintah dengan diperintah, sampai pada hubungan kaum Muslimin dengan golongan lain dalam damai atau perang, semuanya itu dijelaskan oleh Sunnah Nabi. Syukur alhamdulillah Sunnah Rasul, sejak dari perkataan-perkataan beliau sampai perbuatan orang lain yang tidak beliau tegur, dengan kerja keras para ahlinya telah terkumpul menjadi kitab-kitab hadits, mana yang mustafidh (sangat dikenal), mana yang shahih, mana yang hasan dan mana yang dhaif.

Kami jelaskan sekali lagi.

Kalau ada orang yang berani menafsir-nafsirkan saja Al-Qur'an yang berkenaan dengan ayat-ayat hukum yang demikian, tidak berpedoman pada Sunnah Rasul, maka tafsirnya itu telah melampaui, keluar dari garis yang ditentukan oleh syari'at. Sebab itu, tidak seyogianya, tidak masuk akal bahwa seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul berani-berani saja menafsirkan Al-Qur'an yang berkenaan dengan halal dan haram menurut kehendaknya sendiri, padahal Sunnah Nabi telah ada berkenaan dengan itu. Nabi telah meninggalkan kepada kita jalan yang lurus dan jelas, malamnya sama terang dengan siangnya dan selama-lamanya kita tidak akan tersesat dari dalam agama ini atau terpesong keluar dari dalam garisnya, selama kita masih berpegang teguh pada yang dua itu, yaitu Kitab dan Sunnah. Maka, barangsiapa yang hendak mengenal fiqhil-Qur'an, tidaklah akan berhasil maksudnya kalau dia tidak mempelajari Sunnah. Seorang yang berani menafsirkan Al-Qur'an yang berkenaan dengan hukum dengan pendapatnya sendiri, padahal Sunnah ada, samalah halnya dengan orang yang masih saja memakai qiyas, padahal nash sudah ada dalam hal yang dia tinjau itu. Orang yang bertindak demikian tidaklah lagi berpikir di dalam garis yang ditentukan oleh Islam.

Penafsiran pertama hendaklah diambil dari sumber Sunnah Rasulullah saw., kedua dari penafsiran sahabat-sahabat Rasulullah saw. dan ketiga dari penafsiran tabi'in. Pendeknya, yang berkenaan dengan hukum, kita tidak boleh menambah tafsir lain. Sebab, tafsiran yang lain bisa membawa Bid'ah dalam agama.

Baik golongan Ibnu Taimiyah maupun golongan Imam Ghazali atau jalan lapang yang diberikan oleh al-Qisthallani, pendapat mereka sama bahwa menafsirkan Al-Qur'an menurut hawa nafsu sendiri atau mengambil satu-satu ayat untuk menguatkan satu pendirian yang telah ditentukan terlebih dahulu adalah terlarang (haram); penafsiran seperti ini adalah tafsiran yang curang. Yang kedua ialah segera saja, dengan tidak menyelidiki terlebih dahulu, menafsirkan Al-Qur'an, karena memahamkan zahir maksud ayat, dengan tidak terlebih dahulu memperhatikan pendapat dan penafsiran orang yang dahulu. Dan, tidak memperhatikan 'uruf (kebiasaan) yang telah berlaku terhadap pemakaian tiap-tiap kata (lafazh) dalam Al-Qur'an itu. Dan, tidak mengetahui uslub (gaya) bahasa dan jalan susunan. Hal yang semacam inilah yang dinamai berani-berani saja memakai pendapat sendiri (ra'yi) dengan tidak memakai dasar. Inilah yang dinamai tahajjum atau ceroboh dan bekerja dengan serampangan. Pendeknya, betapapun keahlian kita memahami arti dari tiap-tiap kalimat Al-Qur'an kalau kita hendak jujur beragama, tidak dapat tidak, kita mesti memperhatikan bagaimana pendapat ulama-ulama yang terdahulu, terutama Sunnah Rasul, pendapat sahabat-sahabat Rasulullah dan tabi'in serta ulama ikutan kita. Itulah yang dinamakan riwayah, terutama berkenaan dengan ayat-ayat yang mengenai hukum-hukum.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 25-36, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TAHU DIRI

Tahu diri dalam bahasa Arab disebut at-tawadhu'. Artinya kita menyadari kedudukan kita yang sebenarnya sehingga tidak sombong dan tidak pula rendah diri. Jadi, bukanlah merendahkan diri sebagaimana yang dikira orang. Orang yang mengangkat dirinya lebih dari yang semestinya, membesar-besarkan diri, tidak jujur dan sebagainya niscaya dalam waktu dekat akan kelihatan kebodohan atau kelemahannya.

Umar bin Khaththab mengatakan, "Saya berharap, hendaklah seorang Amirul Mukminin bergaul dengan rakyatnya. Serupa dengan rakyatnya, tetapi jelas bahwa dia adalah Amirul Mukminin." Karena tawadhu', seseorang ditinggikan. Karena sombong, seseorang direndahkan.

Ketika saya menjabat sebagai Ketua Front Nasional di Bukittinggi, ada orang yang datang ke kantor saya lalu memperkenalkan diri dengan membawa banyak surat keterangan dan banyak cap. Cap dari Wedana, dari Tentara, dari Camat dan lain-lain. Orang itu mengatakan, "Saya orang yang jelas, Tuan." Dia menjadi terang karena suratnya. Jika surat itu hilang, tentu ia menjadi gelap kembali.

(Buya HAMKA, PRIBADI HEBAT, Hal. 43-47, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2014).

BERSEMAYAM DI ATAS ARSY

Menurut pendirian dari Abul Hasan al-Asy'ari dan para pengikutnya, turuti sajalah sebagaimana yang tersebut: Allah Yang Rahman bersemayam di atas Arsy-Nya, dengan tidak ada pembatasan dan tidak ada pertanyaan: "Betapa semayam-Nya." Tetapi patut juga kita ketahui penafsiran dari penafsir dari kalangan Mu'tazilah. Yaitu Jarullah az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf. Dia menulis, "Oleh karena bersemayam di atas Arsy, dan arti Arsy itu ialah singgasana raja, yang kedudukan itu tidak akan tercapai kalau tidak mempunyai kekuasaan, maka dijadikanlah dia sebagai kinayah (perumpamaan) dari kekuasaan yang mutlak. Orang selalu mengatakan, 'Si anu bersemayam di negeri Anu', yang dimaksud ialah bahwa si anu itu berkuasa di sana, meskipun dia tidak selalu duduk di atas singgasana itu. Mereka membuat susunan kata atas hasilnya kekuasaan ialah dengan cara begitu. Karena begitulah yang lebih jelas dan lebih kuat untuk menunjukkan apa yang dimaksud Si Anu, 'Raja'." Tetapi ar-Razi dalam tafsirnya tidak setuju sama sekali cara ta'wil yang dipakai kaum Mu'tazilah itu. Kata ar-Razi, "Kalau kita buka pintu itu terus-menerus, tentu dapat pula masuk ta'wil-ta'wil yang dipakai oleh kaum Bathiniyah. Karena mereka itu pun pernah mengatakan tentang firman Allah kepada Nabi Musa seketika Musa dipanggil menghadap ke Lembah Thuwa."

SIFAT ALLAH

Bahkan, keadaan ini adalah seperti yang dikatakan salah seorang Imam ikutan, yaitu Nu'aim bin Hammad al-Khuza'i, guru dari Imam Bukhari. Kata beliau, "Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya adalah KAFIR, dan barangsiapa yang tidak mau percaya akan sifat Allah yang telah dijelaskan-Nya sendiri tentang dirinya, dia pun KAFIR." Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, "Pembicaraan orang tentang soal ini memang banyak. Tetapi, madzhab yang baik ditempuh dalam hal ini ialah Madzhab Salaf yang shalih, yaitu: Imam Malik dan al-Auzai dan ats-Tsauri dan al-Laits bin Sa'ad dan asy-Syafi'i dan Ahmad dan Ishaq bin Rahawaihi dan ulama-ulama ikutan kaum Muslimin yang lain, yang dahulu dan yang kemudian. Yaitu, membiarkannya sebagaimana yang tersebut itu, dengan tidak menanyai betapa dan tidak pula menyerupakan-Nya dan tidak pula menceraikan-Nya dari sifat." Dan ini pun menjadi pedomanlah bagi kita tiap-tiap bertemu ayat-ayat yang seperti ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 534-535, Jilid 3 Hal. 438, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

CINA BUTA (BANDOT PINJAMAN)

Dan siapa yang berpegang kepada hadits-hadits Nabi yang shahih menurut Madzhab Syafi'i sejati, mereka tuduhlah orang itu "Berpacul dari Madzhab atau keluar dari Ahlus Sunnah wal Jamaah".

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 217, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

BUYA HAMKA SOSOK TELADAN: Pengawal Akidah Umat

kemenag.go.id/home/artikel/12724

"Ibnu Taimiyah Nusantara." (Riwayat Hidup HAMKA - Dr Rozaimi Ramle).

youtube.com/watch?v=irIWCrvw9Hw

"HAMKA - The Single Fighter." (Dato Dr Asri).

youtube.com/watch?v=Wio8_VMDGsU

SYIRIK

"Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi ampun bahwa Dia diperserikatkan dan Dia akan memberi ampun yang selain demikian bagi barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang mempersekutukan dengan Allah, sesungguhnya dia telah membuat dusta suatu dosa yang besar." (an-Nisaa': 48).

Inilah yang pokok dari ad-Din, agama, yaitu mengakui adanya Tuhan dan Tuhan itu hanya satu. Tidak ada yang lain yang berserikat atau yang bersekutu dengan Dia, baik dalam ketuhanan-Nya maupun dalam kekuasaan-Nya. Sama sekali yang ada ini, apa saja adalah makhluk-Nya. Sebab itu kalau ada orang yang menganggap bahwa ada yang lain yang turut berkuasa di samping Allah, turut menjadi Tuhan pula, sesatlah paham orang itu. Tidaklah Allah akan memberinya ampun.

Segala dosa bisa diampuni, namun syirik tidak! Inilah pokok pegangan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 317-318, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENUHANKAN GURU

"Telah mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi Tuhan-Tuhan selain Allah ..." (at-Taubah: 31).

Termasuk juga dalam rangka ini, yaitu menganggap ada kekuasaan lain di dalam menentukan ibadah selain daripada kekuasaan Allah, ialah menambah-nambah ibadah atau wirid, doa dan bacaan pada waktu-waktu tertentu yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul saw. Ibadah tidak boleh ditambah dari yang diajarkan Rasul saw. dan tidak boleh dikurangi. Menambah atau mengurangi, memaksa-maksa dan berlebih-lebihan dalam ibadah adalah ghuluw. Dan, ghuluw adalah tercela dalam syari'at. Sama pendapat (ijma) sekalian ulama mencela perbuatan itu. Inilah dia Bid'ah!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 137, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MUBAHALAH

"Katakanlah, ... 'Dan jangan menjadikan sebagian dari kita akan sebagian menjadi Tuhan-Tuhan selain dari Allah.' Maka jika mereka berpaling, hendaklah kamu katakan, 'Saksikanlah olehmu bahwasanya kami ini adalah orang-orang yang Islam.'" (Aali 'Imraan: 64).

Akan tetapi, karena zaman beredar juga dan waktu berjalan, haruslah kita umat Muslimin mengakui bahwa kadang-kadang kita dengan tidak sadar telah terlampau dipantang pula.

Ada orang yang lebih mengutamakan kata ulama dari Kata Allah.

Lama-lama orang yang mengajak kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasul menjadi celaan orang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 651, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SESAT DAN BINGUNG

"Dan mereka sembah yang selain dari Allah, sesuatu yang tidak akan memudharatkan mereka dan tidak akan memanfaatkan dan mereka katakan: 'Mereka itu adalah pembela-pembela kami pada sisi Allah.' Katakanlah: 'Apakah kamu akan menerangkan kepada Allah, sesuatu yang tidak diketahui-Nya di semua langit dan tidak di bumi?' Maha Suci Dia dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan itu." (Yuunus: 18).

Menurut riwayat yang disampaikan oleh Ikrimah, bahwasanya seorang pemuka musyrikin bernama an-Nadhr bin al-Harits pernah mengatakan, "Bahwa berhala al-Laata dan al-Uzza yang mereka puja di Mekah itu akan menjadi syafaat mereka di hari Kiamat nanti. Pendeknya, jika datang pertanyaan-pertanyaan Allah, tuduhan, pemeriksaan dan sebagainya, si Laata dan Uzza akan tampil ke muka untuk mempertahankan mereka."

Semua perbuatan ini bukanlah memuja Allah, tetapi menghina dan mengurangi kemuliaan Allah. Dan inilah dasar dari segala persembahan pada berhala!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 386-387, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENGHORMATI KEMERDEKAAN BERPENDAPAT

Kerapkali benar agama itu diambil menjadi perkakas untuk menentang pendapat yang baru dan kemerdekaan bersuara, baik di Barat dan di Timur.

Hal ini telah diderita oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, yang dituduh kafir lantaran tidak mengakui adanya syafaat wali-wali keramat.

(Buya HAMKA, LEMBAGA HIDUP: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 167-168, Republika Penerbit, 2015).

KEMURKAAN-KU DAN KEMURKAANMU!

Tidak ada berhala, tidak ada al-Laata, tidak ada al-Uzza, tidak ada Manaata dan yang lain. Jika di zaman sekarang tidak ada kubur keramat, wali anu dan keramat anu. Omong kosong!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 85, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TEGASNYA, JALAN YANG LURUS HANYA SATU.

"Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus. Sebab itu turutilah dia. Dan jangan kamu turuti jalan-jalan (lain) karena itu akan memecah-belahkan kamu dari jalan-Nya. Demikian Dia wasiatkan kepada kamu supaya kamu semuanya bertakwa." (al-An'aam: 153).

Yaitu yang digariskan oleh Allah.

Dengan petunjuk Allah, Nabi Muhammad saw. telah menempuh jalan Allah yang satu dan lurus itu. Asal jalan Muhammad itu yang kamu turuti maka itulah jalan Allah. Sebab Muhammad menempuh jalan itu dengan tuntunan wahyu. Jalan inilah yang dijamin sampai pada tujuan. Lain dari jalan yang satu itu, ada lagi bermacam-macam jalan, bersimpang-siur jalan. Yakni jalan yang dibuat Setan atau jalan yang dibuat khayalan Manusia, jalan Syirik, jalan Khurafat dan jalan Bid'ah. Kadang-kadang diperbuat oleh Manusia, dikatakannya agama, padahal bukan agama. Datanglah lanjutan ayat tadi, jangan dituruti jalan yang bersimpang-siur itu. Karena kalau masing-masing kamu menuruti salah satu jalan itu, niscaya kamu akan berpecah-belah, bercerai-berai. Kadang-kadang di pangkal jalan seakan-akan sama, padahal di ujung jalan sudah jauh terpisah.

Maka ditafsirkanlah ayat ini oleh sabda junjungan kita sendiri Muhammad saw. yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al-Bazzaar, Abusy-Syaikh, Al-Hakim dan sebagian besar dari ulama-ulama tafsir, mereka terima dari Abdullah bin Mas'ud. Berkata Abdullah bin Mas'ud, "Rasulullah saw. telah membuat suatu garis dengan tangannya, lalu beliau berkata: 'Inilah jalan Allah yang lurus.' (HR. Imam Ahmad, al-Bazzar, Abusy-Syaikh dan al-Hakim). Kemudian, beliau menggaris-garis pula dengan tangannya beberapa garis lain, di samping kanan garis pertama tadi dan di samping kirinya, lalu beliau berkata, 'Dan yang ini semua adalah jalan-jalan yang tidak ada daripadanya satu jalan pun, melainkan ada saja Setan yang menyeru kepadanya.' Setelah berkata demikian, kata Ibnu Mas'ud, beliau membaca ayat ini, 'Dan bahwa sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, sebab itu turutilah dia dan jangan kamu turuti jalan-jalan (lain) karena itu akan memecah-belahkan kamu daripada jalan-Nya.'" Dan ada lagi beberapa hadits lain.

Berkata Ibnu Arthiyah, "Jalan yang bersimpang-siur banyak itu termasuk Yahudi, Nasrani, Majusi dan sekalian agama-agama buatan Manusia dan tukang-tukang Bid'ah dan penyesat dan ahli-ahli hawa nafsu yang suka membuat-buat perkara ganjil dalam furu' dan yang lain-lain yang suka memperdalam berdebat dan menggali-gali ilmu kalam. Semuanya bisa membawa tergelincir dan membawa iktikad yang sesat." Berkata pula Qatadah, "Ketahuilah bahawasanya jalan yang benar hanya satu, yaitu jalan jamaah yang dapat petunjuk. Tujuannya berakhir adalah surga. Dan Iblis membuat pula berbagai jalan yang bersimpang-siur. Yang dibentuknya ialah jamaah yang sesat dan tujuannya yang terakhir ialah neraka."

"Ash-Shirathal Mustaqim" memang hanya satu. Lain dari itu adalah jalan bersimpang-siur tak tentu arah dan tujuan. Meskipun ada yang bernama agama, ia adalah agama yang batil, bikinan dan khayal manusia, diubah-ubah, ditambah-tambah, sehingga hilang yang asli karena tambahan, hilang yang asal karena yang pasal. Demikian juga segala maksiat karena menuruti jalan Setan. Asal dituruti jalan yang bersimpang-siur itu, terpecah-belahlah umat, sengsaralah yang akan terjadi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 340-341, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERSAHABATAN

"Tidak ada kawan yang bisa dipercayai kalau dia tidak takut kepada Allah."

Sekian fatwa Sayidina Umar bin Khaththab.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 387, Republika Penerbit, Cet.IV, 2016).

MEMBENTUK PENDUKUNG CITA

"Dan sabarkanlah dirimu bersama orang-orang yang menyeru Tuhan mereka di pagi dan petang hari karena mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah berpaling kedua matamu dari mereka karena engkau mengharapkan perhiasan hidup di dunia. Dan janganlah engkau turuti orang-orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari ingatkan Kami dan memperturutkan hawa nafsunya. Dan adalah pekerjaannya itu melewati batas." (al-Kahf: 28).

Menurut Ibnu Abbas janganlah engkau palingkan mata kepada orang-orang yang sombong karena kebangsawanannya dan kekayaannya itu. Karena itu hanya perhiasan dunia saja. Orang-orang seperti itu hanya melagak, membusungkan dada dengan kekayaan dan kemegahan dunia, sedang pengikut-pengikutmu yang setia itu, yang senantiasa menyebut nama Allah mereka pagi dan petang, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan bertahlil, adalah orang-orang yang telah melepaskan hati mereka dari ikatan dunia dan lekatlah hati mereka kepada Allah semata-mata. Itulah kawan engkau yang sejati! Tegasnya lagi, janganlah engkau ikut rayukan atau kehendak dari mereka itu, bangsawan-bangsawan yang sombong itu. Karena orang-orang seperti itu tidak dapat dijadikan kawan. Sebab hati mereka telah tertutup dari ingat akan Allah. Petang dan pagi mereka hanya memperturutkan hawa nafsu. Yang mereka cari siang malam hanyalah harta benda, isi alam yang dijadikan Tuhan, sesuatu yang tidak kekal. Dan segala usaha dan kerjanya tidak lagi mengenal batas-batas halal dan haram. Itulah yang dinamai pada ujung ayat dalam bahasa Arab: Furuthaa. Artinya telah terlepas dari segala ikatan sopan santun, peraturan, budi bahasa, asal keuntungan didapat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 382-383, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TERGELINCIR DARI JALAN LURUS

"Wahai, orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kamu turut jejak-jejak Setan. Sesungguhnya, dia bagi kamu adalah musuh yang nyata. Maka apabila kamu tergelincir sesudah datang kepada kamu penjelasan-penjelasan maka ketahuilah olehmu bahwasanya Allah adalah Maha Gagah, lagi Maha Bijaksana." (al-Baqarah: 208-209).

PADAHAL, penjelasan-penjelasan sebagai panduan telah diberikan. Ijmal Al-Qur'an sudah ditafsirkan. Teladan dari Sunnah Rasul sudah terbentang nyata. Ijtihad dianjurkan, tetapi dalam rangka memelihara jalan itu dan kembali kepada itu. Kalau tidak awas, diri pun jatuh tergelincir masuk lubang kebinasaan. Kutukan Allah Maha Gagah, balasan-Nya amat pedih.

Tergelincir adalah dalam dua hal yang pokok. PERTAMA ialah tergelincir dari Tauhid kepada Syirik. Lantaran itu mereka jadikanlah yang batil menjadi ganti yang hak. Ini karena telah mereka persekutukan yang lain dengan Allah. Mereka telah menghabiskan tenaga buat memuja benda dan alam dalam berbagai bentuknya. Kalau di zaman purbakala benar-benar orang mendirikan patung dan berhala buat disembah. KEDUA ialah karena menurutkan purbasangka belaka. Mereka tidak mau mempelajari hakikat dan agama yang dipeluknya sehingga apa yang dikerjakannya hanyalah turut-turutan, sehingga hakikat agama hilang dalam selimut dan selubung dari Bid'ah dan Khurafat. Mereka telah tekun beramal, padahal yang diamalkannya itu tidak ada dalam Islam.

Jalan yang lurus dengan keterangan-keterangan yang nyata telah cukup diberikan Tuhan. Tempuhlah jalan itu, jangan sampai menempuh jejak yang digariskan oleh Setan-setan dan hati-hatilah jangan sampai tergelincir. Orang-orang yang tergelincir dari jalan lurus itu dan meninggalkan keterangan-keterangan itu mesti hancur dan sengsara.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 396-400, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KLIK DISINI: TENTANG MENUHANKAN MANUSIA

KLIK DISINI: TENTANG MENUHANKAN GURU (BID'AH)

Memang, dalam kenyataannya di zaman yang sudah-sudah perbincangan khilafiyah dalam masalah furu' kerapkali telah membawa bahaya. Membawa perpecahan, menghabiskan kalori. Sampai kafir-mengkafirkan, tuduh-menuduh, hina-menghinakan. Kadang-kadang menjangkit sampai kepada pertentangan politik.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 46, Penerbit Galata Media, Cet.I, Januari 2018).

SURAH AL-KAAFIRUUN (ORANG-ORANG KAFIR)

"Untuk kamulah agama kamu, dan untuk akulah agamaku." (al-Kaafiruun: 6).

Soal aqidah, di antara Tauhid mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampuradukkan dengan syirik.

Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 309, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

FIQIH BUKANLAH SUMBER HUKUM DALAM ISLAM

Sumber yang diakui oleh sekalian Madzhab dalam Islam adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadits).

Dimasukkan juga oleh sebagian madzhab, yaitu ijma' dan qiyas.

IJMA'

Sumber hukum Islam resmi ketiga, menurut sebagian besar ahli fiqih adalah ijma'. Arti yang populer adalah persamaan pendapat ulama dalam satu masalah, di dalam satu zaman. Ini pun boleh dijadikan sumber hukum resmi. Dalam peraturan ijma' itu pun dikatakan, meskipun hanya 1 orang yang membantah, dengan sendirinya ijma' itu gugur, dan tidak boleh lagi dijadikan hujjah atau hukum resmi!

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 219-223, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).


BERTENGKAR DAN BERDEBAT

Rasulullah saw. pernah bersabda,

"Jangan engkau mengejek, jangan mencemooh, jangan mempermainkan, dan jangan memungkiri janji yang telah dibuat."

Sabda Rasulullah saw. pula,

"Sebab-sebabnya suatu umat tersesat sesudah dapat petunjuk ialah bilamana suka berdebat."

Berkata Bilal bin Sa'ad, "Bilamana engkau lihat seorang laki-laki yang besar mulut, suka menghina lawannya, sangat bangga dengan pendapat sendiri, pertanda telah sempurna kerugiannya."

Ibnu Abu Layla berkata, "Saya tidak suka mematahkan perkataan kawanku dengan menuduhnya dusta dan membuatnya marah."

Sabda-sabda budiman yang mencegah debat dan berkaruk mulut itu amat banyak.

Bertukar pikiran dalam suatu perkara untuk mengetahui pendirian dan jalan pikiran lawan tidaklah tercela. Bertanya kepadanya untuk mengetahui dasar dan rujukan pahamnya tidaklah dibenci. Dalam menegur hendaklah bersifat menyadarkan, bukan ifham (memberi malu), bukan pula melemahkan, menghinakan, dan menuduhnya bodoh, jahil.

Debat seperti itu sangat besar bahayanya.

Ada satu kebiasaan yang bisa menimbulkan pertengkaran, yaitu mematahkan perkataan orang lain dengan maksud menghinakannya, kebiasaan ini disebut miras.

Misalnya, dua orang sedang berbicara, tiba-tiba seorang di antaranya menyimpang dari pokok pembicaraan atau dia salah mengucapkan lafazh yang memang belum ia ketahui. Kesalahan-kesalahan itu digunakan oleh yang lain untuk menghina dan mempermalukan seseorang di depan umum.

Oleh sebab itu, apabila bertemu suatu masalah yang tidak sesuai dengan pendapat sendiri, pilihlah sikap diam lebih dahulu.

Jika tidak bisa diam, uruslah dengan jalan ikhlas.

Maksud terutama ialah memilih mana yang benar, bukan hendak mengangkat diri, melebihkan diri dari lawan bahwasanya saya ini si Fulan. Lawan saya itu kurang ilmunya dari saya. Cara yang begini lebih banyak merusak dan menimbulkan kemarahan. Kemarahan akan menghilangkan kebenaran yang dicari. Jika keadaan ini terjadi, nafsu kedua belah pihak timbul sehingga keduanya mencari segala ikhtiar untuk mempertahankan pendiriannya, dengan segala daya upaya, baik dengan cara yang jujur maupun dengan cara yang curang.

Obatnya ialah menghindarkan takabur dari hati dan dalam segala perkara hendaklah "melahirkan kebenaran".

Uraian di atas kita ringkaskan dari keterangan Imam al-Ghazali dalam bukunya yang terkenal yaitu Ihya Ulumuddin. Al-Ghazali sendiri secara cermat memperhatikan debat ulama zamannya, seperti di antara Madzhab Sunni dengan Syi'ah. Amanah yang ditinggalkan al-Ghazali ini masih boleh kita pergunakan saat ini, ketika berdiskusi atau berpolemik di surat kabar dan lain-lain.

(Buya HAMKA, Akhlaqul Karimah, Hal. 37-39, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Desember 2017).

KESIMPULAN: "Pendapat bahwa shalat dalam musafir adalah 2 rakaat, sebab itu mengerjakan bukanlah rukhshah, melainkan suatu kemestian, jauh lebih kuat daripada pendapat yang mengatakan hanya rukhshah. Imam Syafi'i yang berpendapat rukhshah tadi, kalau bertemu hadits yang shahih, sudah pasti beliau akan berpegang kepada yang shahih itu jua. Sebab dengan TEGAS beliau telah pernah menjelaskan madzhabnya, yaitu bahwa hadits yang SHAHIH itulah madzhabku."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 425, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERATURAN PENYEMBELIHAN

Di antara segala pendapat ulama ini, lebih condonglah pendapat kita menyetujui pendapat Imam Syafi'i, bukan dengan taklid, melainkan menilik dalil-dalil yang beliau kemukakan. Yaitu, menyembelih dengan membaca bismillah adalah sunnah, bukan wajib.

Di tanah air kita Indonesia ini, banyaklah macam penyembelihan yang berasal dari zaman musyrik jahiliyyah lalu setelah datang agama Islam dibacakan juga "bismillah", tetapi tujuannya ialah hendak memuja jin atau hantu, sebagai terjadi pada penduduk Mekah yang dilarang Rasulullah saw. itu.

Kita kerapkali memilih orang untuk menyembelih seekor kerbau. Menyembelihnya itu tentu dengan membaca bismillah. Namun, kepala kerbau itu kelaknya dipotong lalu dikuburkan di pekarangan rumah yang akan didirikan, kadang-kadang bersama-sama dengan meletakkan batu pertama.

Dan, yang lebih merusak i'tikad lagi ialah persembahan Puja Laut. Sebagai yang selalu terjadi di pesisir laut Jawa, Kelantan, dan Trengganu (Malaysia). Namanya saja sudah puja laut. Nelayan-nelayan sekali setahun memotong kerbau, lalu mengantarkan kepala kerbau itu ke tengah laut untuk menjadi hidangan atau pujaan untuk yang dipercayai sebagai penguasa atau penghuni laut itu. Tentu dibaca juga "bismillah" ketika menyembelih sebab yang mengerjakan itu adalah orang Islam. Namun, terang bahwa yang dipuja bukan Allah, melainkan hantu laut.

Kalau para ulama dan mubaligh Islam tidak berusaha memberikan pengertian Tauhid kepada penduduk di tempat itu, tentu puja ini akan mereka teruskan juga dan tidak akan hilang dari jiwa mereka perasaan turun-temurun dari nenek moyang itu bahwa ada pula selain dari Allah yang menguasai lautan maka tetaplah mereka dalam kemusyrikan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 262-264, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BEBERAPA PENJELASAN

1. Ta'ashshub artinya ialah fanatik.

Kalimat ini satu rumpun dengan kata 'ashabiyah, yaitu membela golongan dan partai sendiri.

Maka apabila berkeras mempertahankan golongan sendiri, meskipun golongan itu berpendirian yang tiada benar, dinamailah ta'ashshub. Orang yang ditutup kedua belah matanya dengan kain, sehingga tidak dapat melihat lagi dikatakan 'Ushibat ainahu (dituntun kedua matanya).

2. Furu' artinya ranting.

Ranting berasal daripada ushul, dan ushul artinya pokok. Masalah furu' ialah perkara-perkara yang kerapkali diperselisihkan hukumnya oleh ahli-ahli fiqih.

Ada perlainan pendapat. Perlainan pendapat itu dinamai khilafiyah. Khilaf artinya selisih! Khilafiyah artinya berselisih pendapat tentang hal itu!

Kalau soal-soal demikian diperbincangkan dengan sebaik-baiknya, sangatlah besar faedahnya guna mengasah fikiran dan dapat masing-masing mengetahui pokok pendirian lawannya. Tetapi kalau diperdebatkan dengan pendirian terlebih dahulu bahwa "Akulah yang benar dan kamu salah!", timbullah ta'ashshub. Dan inilah yang sangat besar bahayanya.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 88-90, Penerbit Galata Media, Cet. I, Januari 2018).

JANGAN MENYUCIKAN DIRI

Bahkan Sayyidina Umar pernah mengatakan,

"Kalau ada orang yang mendabik dada mengatakan dia Islam sejati, tandanya dia masih kafir. Barangsiapa yang mengatakan dia segala tahu ('Alim), tandanya dia bodoh. Barangsiapa mengatakan dia masuk surga, tandanya dia akan jadi ahli neraka."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 321, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MANUSIA YANG SEMPURNA

Seorang muslim bercita-cita menjadi al-Insanul Kamil, manusia yang sempurna.

Adakah manusia yang sempurna?

Ada!

Yaitu manusia yang insyaf akan kekurangan, lalu berusaha mencapai kesempurnaan, itulah manusia yang sempurna.

(Buya HAMKA, LEMBAGA HIDUP: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 225, Republika Penerbit, 2015).

MENGHORMATI PENDIRIAN ORANG LAIN

Yang menjadi batasnya ialah,

"Jangan dilakukan kepada orang lain, sesuatu yang kita sendiri tidak suka kalau orang melakukan kepada kita."

(Buya HAMKA, LEMBAGA HIDUP: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 185, Republika Penerbit, 2015).



INTI TAUHID

"Tidak ada kewajiban bagi Rasul, melainkan menyampaikan." (al-Maa'idah pangkal ayat 99).

Rasul sekali-kali tidak membuat jalan sendiri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 47, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TAAT KEPADA ALLAH DAN RASUL

Para ulama memberi perincian tentang ketaatan kepada Rasul.

Pertama, ialah wahyu yang beliau terima, yang bernama Al-Qur'an dan sekarang telah berkumpul menjadi mushaf. Dia datang kepada kita melalui Rasul saw. dan keluar dari mulut beliau. Maka wahyu yang beliau sampaikan ini wajib ditaati dengan tidak memakai syarat. Malahan sejak zaman Rasul sampai kepada kita sekarang ini tidak ada orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an sabda Rasul saw., melainkan firman Allah, meskipun sampainya kepada kita dengan melalui mulut Rasul.

Kedua, yang wajib ditaati lagi ialah penafsiran beliau dengan sunnah-nya atas segala perintah Allah yang telah disampaikan dengan wahyu itu, baik penafsiran dengan perkataan (aqwal) maupun dengan perbuatan (af'aal), atau perbuatan orang lain yang beliau tahu, tetapi tidak beliau salahkan (taqrir).

Ketiga, ialah pendapat-pendapat pribadi, yang beliau sendiri mengakui sebagai manusia beliau pun bisa khilaf dan bisa salah. Misalnya ketika beliau menyatakan pendapat dalam mempertimbangkan Peperangan Uhud, mana yang baik bertahan dalam kota atau menyerbu ke luar kota. Pendapat pribadi beliau lebih baik bertahan saja, tetapi pendapat golongan terbanyak dari angkatan muda, ialah berperang di lapangan terbuka. Beliau tinggalkan pendapatnya tadi dan beliau ikuti pendapat suara terbanyak. Demikian pula dalam Perang Badar, beliau menyuruh berhenti dan memasang kemah di suatu tempat yang jauh dari air. Seorang sahabat bertanya, apakah berlabuh di sini ini pendapat beliau sendiri atau wahyu? Beliau jawab, "Pendapat sendiri!" Maka sahabat yang meminta penjelasan itu menyatakan bahwa tempat ini tidak tepat buat tempat berhenti sebab jauh dari air. Lebih baik kita pindah ke tempat itu (lalu dia menunjukkan satu tempat yang lebih baik), karena tempat itu ada air, sehingga kalau musuh datang, kita terlebih dahulu telah menguasai tempat yang ada airnya. Rasulullah saw. menurut kepada pendapat sahabatnya itu. Dalam urusan duniawi beliau sendiri pun menjelaskan bahwa "kamu lebih tahu". Kamu itu ialah bersama-sama. Sebab itu beliau selalu mengajak musyawarah dalam urusan demikian. Tetapi pimpinan tetap beliau pegang.

Perkataan beliau "kamu lebih tahu" ialah sesudah pada suatu ketika beliau mencampuri suatu soal yang tidak berkenaan dengan wahyu, yaitu tentang mengadakan pengawinan bibit kurma jantan dan betina.

Beliau sendiri kerapkali pula menjelaskan terlebih dahulu tentang suka tak suka pribadi itu. Misalnya pada suatu hari Khalid bin Walid membawa seekor dhab (semacam Bengkarung) yang telah dikeringkan. Khalid bin Walid suka makan dhab, lalu dia menawarkan, apakah Rasulullah suka. Terus terang beliau menyatakan bahwa beliau sendiri, pribadi, tidak menyukainya, tetapi tidak melarang orang yang memakannya. Lantaran itu beberapa ulama mengeluarkan pendapat bahwa memakan dhab itu makruh, kurang disukai.

"Maka tidaklah Kami utus engkau atas mereka sebagai pemelihara." (an-Nisaa' ujung ayat 80).

Artinya, jika mereka tidak mau taat kepada perintah-Ku yang Aku seru engkau menyampaikannya itu, Kami akan melakukan hukum Kami. Yang melanggar akan Kami jatuhi hukum yang setimpal, dia menjadi berdosa, dan engkau tidaklah akan memelihara atau mempertahankan mereka dari hukuman Kami itu.

Kewajiban engkau adalah semata-mata menyampaikan perintah, bukan turut menentukan hukum dengan kehendak sendiri dan bukan pula berkuasa buat membela dan memelihara mereka.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 373-375, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEMBALI KEPADA AL-QUR'AN DAN HADITS

Sekarang timbullah angin baru dalam dunia Islam kembali kepada Al-Qur'an dan hadits, tetapi janganlah kita lupa bahwa berlawanan pendapat mesti timbul juga. Kalau kita telah dibolehkan berijtihad atau mengasah pikiran dan ada kebebasan menyatakan pikiran itu, perlainan pendapat pasti ada. Itu bukanlah tanda kemunduran, tetapi itulah tanda kemajuan. Akan tetapi, perlainan pendapat karena kebebasan berijtihad bukanlah mesti mengakibatkan perpecahan dan permusuhan, sebab timbulnya adalah dalam suasana merdeka dan saling mengerti. Bekas dari kebebasan pikiran zaman dahulu itu sampai sekarang masih dapat kita lihat pada kitab-kitab karangan orang-orang dahulu. Apabila seorang ulama menyatakan pendapat dalam satu soal, tidak ketinggalan dia menerangkan pendapat ulama yang lain walaupun yang berjauhan pahamnya, dengan tidak mencela pendapat yang berbeda itu. Sehingga dibukanya kesempatan buat orang lain untuk menimbang dan meninjau. Setelah datang zaman Mutaakhkhirin (ulama-ulama yang datang kemudian), barulah kita berjumpa kata-kata yang mempertahankan golongan sendiri, misalnya perkataan wal-ashahhu 'indana (yang lebih sah di sisi kita, yaitu madzhab kita, adalah begini).

Pendeknya, kembali kepada Al-Qur'an dan hadits adalah perkara yang mudah. Bahkan kadang-kadang nyata sekali bahwa bahasa Al-Qur'an dan hadits itu jauh lebih mudah dipahamkan daripada bahasa yang dipakai ulama yang datang di belakang itu. Memang, menjauh dari Al-Qur'an dan hadits bukan saja merusak paham, bahkan juga merusak bahasa. Dan lagi, pokok utama dalam kembali kepada Al-Qur'an dan hadits itu mudah pula, yaitu niat yang suci dan ikhlas. Niat sama menjunjung kebenaran. Sebab, tali dalam ayat sudah diterangkan bahwa kebenaran hanya satu dan yang menentukannya ialah Allah, yang empunya kebenaran, bukan Kiai Fulan atau Tuan Syekh Anu. Kita semuanya hanyalah hamba belaka dari kebenaran. Dan, segala hasil usaha orang yang terdahulu ijtihad, qiyas, tarjih, dan istinbath dapat pula dijadikan bahan oleh kita yang di belakang untuk memudahkan usaha kita.

Berkata Imam Malik r.a.,

"Tidaklah akan jadi baik akhir dari umat ini melainkan dengan kembali kepada apa yang membaikkan umat yang dahulu."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 317-320, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SATU HAL YANG AMAT PENTING

"Adalah mereka itu penghuni surga. Mereka akan kekal di dalamnya." (ujung ayat 42).

Berimanlah dan beramallah. Perbuatlah amal sekadar tenaga yang ada, tidak usah dilebihi. Yang akan menentukan kapasitas tenaga itu ialah iman itu sendiri. Lemah iman, niscaya tenaga akan luntur. Dan kalau iman bertambah mendalam, yang berat bagi orang lain, adalah barang ringan saja bagi seorang Mukmin. Di sini ditegaskan bahwa Mukmin yang beramal itu akan kekal dalam surga.

Kemudian Allah terangkan lagi satu hal yang amat penting,

"Dan Kami cabut apa yang ada di dalam dada mereka dari rasa dengki." (pangkal ayat 43).

Firman Allah sepatah ini hendaklah direnungkan baik-baik.

Karena, di dalam berlomba menegakkan iman dan beramal saleh, kadang-kadang terjadilah perbenturan yang tadinya tidak disengaja, maklum kiranya di dalam masyarakat dan pergaulan hidup. Iman sama-sama ada, amal pun sama-sama ada, tetapi karena perputaran roda hidup, terjadi saja selisih yang tidak diingini. Sebagaimana kerapkali terjadi, timbul perpecahan karena berbeda pendapat, padahal orangnya bersahabat karib. Adapun perhitungan Allah amat berbeda dengan yang disangka-sangka manusia. Mungkinkah dua orang yang bermusuhan ketika hidup karena perbedaan pendapat, sampai ada benci dan dengki, keduanya dengan karunia Allah sama-sama masuk ke surga. Terbukalah pintu surga, soal perselisihan pendapat di dunia telah habis, keduanya sama-sama masuk surga, dan dari hati keduanya sama-sama hilanglah rasa benci dan dengki atau seumpama ambisi-ambisi dan nafsu kekuasaan politik di kala hidup. Sebab, keadaan sudah berubah.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika ditanyai orang tentang ayat ini telah menjawab dengan terharu,

"Moga-moga kami bersama saudaraku Zubair dan Talhah dan lain-lain sama diberi perkenan oleh Allah masuk ke dalam surga!"

Di saat itu habislah sudah segala rasa prasangka. Demikian karena mereka meninggal di dalam peperangan mereka menyokong Aisyah melawan Sayyidina Ali dalam peperangan Waqi'atul Jamal "Perang Berunta" (karena Siti Aisyah mengendarai unta) yang terkenal itu, seperti yang pernah tersebut di dalam hadits.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 421, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENUNTUT ILMU

Dalam menuntut ilmu cara yang terbaik ialah pada seorang guru yang banyak pengalaman, luas pengetahuan, bijaksana dan pemaaf, tenang dalam memberi pengajaran, tidak lekas bosan lantaran pelajaran itu tidak lekas dimengerti oleh murid. Hendaklah si murid rindu dan cinta pada ilmu, percaya pada keutamaannya dan yakin pada manfaatnya.

Hendaklah yang menimbulkan keinginannya menuntut ilmu itu keridhaan Allah SWT. Sebab dengan ilmu yang luas itulah dapat mengenal Tuhan dan membangun budi pekerti. Bukanlah ilmu sekadar untuk mencari makan dan mencari gaji. Jangan menuntut ilmu karena hendak riya. Orang yang riya itu sebenarnya tidaklah menjadi besar, tetapi orang terhina. Pengambil muka tidaklah hormat, tetapi tersisih. Di mukanya orang menganggukkan kepala, di belakangnya orang mencibir. Sepandai-pandai membungkus, yang busuk berbau juga.

Apabila suatu ilmu hendak dituntut, hendaklah dimulai dari pangkalnya. Supaya dengan teratur kepada akhirnya. Siapa saja yang memulai suatu perkara dengan kusut, sampai kepada akhirnya pun akan kusut jua. Dan orang yang seperti demikian adalah menipu diri sendiri.

Menuntut ilmu tidaklah mudah. Di dalamnya akan bertemu bagian-bagian yang susah. Tapi janganlah ditinggalkan yang susah karena mencari yang mudah. Karena kalau cuma mencari yang mudah-mudah saja, tidaklah dia menjadi ilmu. 2 kali 2 sama dengan 4, anak umur 7 Tahun pun tahu. Banyakkan menyelidiki sendiri, supaya terbuka rahasia perkara-perkara yang belum dipelajari. Karena ada pula ilmu yang tidak dipelajari dengan berguru, tetapi diperoleh sendiri dari pengalaman.

Jangan putus asa jika otak tumpul dan akal kurang cerdas. Karena kadang seseorang yang tumpul otak tetapi tidak putus asa, lebih berhasil daripada seorang yang cerdas tetapi pemalas.

Jangan lalai menuntut ilmu, karena diri merasa kaya atau mampu atau berkedudukan tinggi. Karena bertambah tinggi kedudukan bertambah banyak persoalan yang dihadapi, dan bertambah pentinglah ilmu.

Sabar dan teguhkan hati dalam menuntut ilmu, jangan lekas bosan dan kecewa. Bukan saja menuntut ilmu, bahkan segala perkara, pekerjaan, usaha, semuanya berkehendak kepada kesabaran.

Jangan diringankan pergaulan dengan guru, walaupun guru memberi hati. Jangan cepat melintas di hadapannya, walaupun dia yang mengulurkan tangan. Meskipun telah pandai, telah pintar dan otak terang, janganlah berpikir hendak mengalahkan guru. Sebab dengan sikap yang tidak hormat, hilanglah martabat ilmu. Jangan pula membesarkan guru lebih daripada mestinya. Sehingga apa katanya dituruti walaupun salah. Pendapatnya ditampung saja dengan taklid, walaupun sesat, iktikadnya ditelan saja walaupun membawa bahaya. Tetapi hendaklah bersikap kritis. Terima mana yang rajah, tinggalkan mana yang marjuh. Dan ingat bahwa tanda gading ialah retak, tanda manusia ialah terdapat kesalahan padanya. Jangan malu bertanya di waktu ragu.

Hadapi majelis guru dengan penuh khusyuk. Jangan biasakan berpikir lalai. Penuhkan perhatian jangan lengah. Pandang matanya tanda paham, dan pandang pula kitab sendiri bila guru membaca kitabnya. Jangan melengong kiri-kanan. Jangan dijawab sebelum ditanya, terutama jangan dijawab kalau pertanyaan kepada yang lain. Jangan ditertawakan dan diejekkan kalau ada sesama murid yang bertanya salah, atau menanyakan suatu perkara yang mudah bagi kita sendiri menjawabnya, padahal dia belum paham. Jangan tertawa dengan tidak ada sebab, jangan pula bersenda-gurau. Kalau ada kawan yang kena marah sedang belajar, jangan yang lain menertawakan. Tutuplah pintu cedera dan permusuhan.

Dengan demikian terdapat berkah ilmu.

(Buya HAMKA, LEMBAGA HIDUP: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 283-287, Republika Penerbit, 2015).

JEJAK-JEJAK SYAFI'IYAH DI ALAM NUSANTARA

Di Tahun 1916 terbit Al-Munir yang kedua kali di Padang Panjang yang telah mulai mengemukakan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayim.

Di Tahun 1914 dengan terang-terang H. Abdulkarim Amrullah menyatakan bahwa "faham yang mengatakan pintu ijtihad telah tertutup dan kita wajib taqlid saja, adalah satu faham yang salah. Dan mulai kini (kata beliau) kalau selama ini saja berfaham begitu, maka faham itu saya cabut. Karena pada masa itu saya baru turut-turutan saja kepada ulama-ulama yang dahulu dan belum menyelidiki sendiri."

Sejak gerakan-gerakan Al-Imam di Singapura dan seterusnya sebagai tersebut tadi, Madzhab Syafi'i di Indonesia mendapat tinjauan yang baru, sehingga timbul "Kaum Tua" yang mempertahankan taqlid kepada Imam Ramli dan Ibnu Hajar, dengan "Kaum Muda" yang menilik lebih luas, bahkan terus kepada Al-Qur'an dan Hadits.

Di Tahun 1940 seorang ulama Kaum Muda, Tuan Ahmad Hasan di Bandung (kemudian Bangil) terus terang mengatakan bahwa dia tidak mau terikat dengan salah satu madzhab pun. Terutama lagi karena sejak permulaan Abad ke-20 bukan saja kitab-kitab Madzhab Syafi'i lagi yang masuk ke Indonesia, karena majunya percetakan di Mesir dan di Mekkah. Padahal dalam Abad ke-19 kitab-kitab sebagaimana Tuhfah dan Nihayah masih disalin dengan tangan dari satu naskah ke satu naskah.

Sejak majunya percetakan itu banyaklah orang-orang haji membawa kitab-kitab itu dari Mekkah, atau orang Indonesia dan Tanah Melayu memesannya sendiri kepada penerbit-penerbitnya di Mesir. Mulailah tersiar kitab-kitab dari keempat madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hambali), bahkan tersebar juga kitab-kitab karangan Madzhab Ahli Zhahir seumpama Ibnu Hazm.

Demikian juga karangan-karangan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim yang banyak merombak faham-faham lama yang telah jauh dari pangkalan ajaran Nabi, padahal keduanya dari Madzhab Hambali.

Lantaran itu tidaklah patut diherankan jika timbul tinjauan baru yang lebih luas tentang fiqih, yang tidak terikat dengan kitab-kitab ulama mutaakhkhirin Syafi'iyah saja lagi.

Maka timbullah perkumpulan Nahdlatul Ulama dan Jam'iyatul Washliyah, yang meskipun berpangkalan pada Madzhab Syafi'i, namun mereka di dalam men-tarjih-kan hukum tidak lagi berpegang dengan dua tiga kitab, malahan telah lebih luas.

Dan timbul pula golongan Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan Al-Irsyad yang mempergunakan segenap madzhab itu, termasuk Madzhab Syafi'i menjadi alat-alat peninjau belaka di dalam menuju sumber hukum dan asli, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Sungguh pun demikian namun di dalam pokok-pokok agama (ushuluddin) tidaklah ada pertikaian faham di Indonesia dan Tanah Melayu. Sefaham menghormati segenap sahabat Rasulullah saw., dengan tidak membeda-bedakan.

Bukan seperti faham Syi'ah dan Khawarij.

Sehingga dalam memperhitungkan kelompok-kelompok kaum Muslimin seluruh dunia, Muslimin Indonesia bolehlah digolongkan kepada penganut Sunni belaka.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 35-37, Penerbit Galata Media, Cet. I, Januari 2018).

KENANG-KENANGAN HIDUP

Tiga kali karangan saya dicuri. Sekali di Almanak Muhammadiyah, nama saya ditukar dengan nama seorang anggota redaksi. Dua kali di Padang, di surat kabar Cahaya Sumatra dan satu harian lain! Karangan dimuatkan, tetapi nama ditukar! Namun, pencuri-pencuri itu tidak juga mereka terkenal sebagai pengarang.

Tuan A. Hassan Bandung dan kemudiannya dikenali sebagai Tuan A. Hassan Bangil, menyerang saya habis-habisan karena beliau menganggap saya telah mengeluarkan pendapat-pendapat yang jelas tidak sama dengan pendapat beliau.

Tuan A. Hasan sampai mengeluarkan majalah al-Lisan satu keluaran khusus diberi nama "Keluaran HAMKA" yang di dalamnya Tuan A. Hassan meluahkan segala caci maki dan penghinaan, ejek dan tudingan, yang kalau jiwa tidak kuat bisa menghancurkan mental. Bahkan sampai Indonesia merdeka pun Tuan A. Hassan masih mengeluarkan majalah semacam itu kembali untuk menghantam, mencaci tiap-tiap orang yang menurut keyakinan beliau telah menyeleweng dari jalan benar menurut keyakinan beliau. Caci maki yang dikeluarkan Tuan A. Hassan itu lain tidak ialah karena saya telah menyatakan pendirian dan pendapat sendiri yang berbeda dengan pendirian dan pendapat beliau, di dalam Pedoman Masyarakat.

(Buya HAMKA, KENANG-KENANGAN HIDUP, Hal. 215, 255-256, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2018).

AYAHKU

"Hanya satu ulama yang saya hormati di tanah Jawa ini", kata beliau.

"Yang teguh pendiriannya dan kuat imannya. Sayang dia telah mati."

"Siapa?", tanyaku.

"Syeikh Ahmad Soorkati! Itu memang ulama!"

"Jangan Abuya katakan 'Syeikh', orang Al-Irsyad keberatan. Mereka mengucapkannya Sayid Ahmad Soorkati", jawabku sambil tertawa.

"Lebih pantas dia bergelar Syeikh, kerana bagi orang alim besar seperti dia, gelaran Syeikh lebih mulia dan tinggi dari Sayid", kata beliau.

Dan pujian kepada Syeikh Ahmad Soorkati itu hampir setiap hari diulangnya.

(Buya HAMKA, Ayahku, 313, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

PERSAHABATAN

Orang yang berakal tidak mau berkawan dengan orang yang rendah budi. Sebab orang yang rendah budi samalah dengan ular, badannya lunak tetapi membelit, lidahnya halus tetapi bercabang dua, kepalanya tidak runcing tetapi penuh bisa. Dia masuk ke dalam rumah diam-diam karena hendak menggigit kita. Bersahabat jangan karena mengharap apa-apa, dan bersahabat jangan karena takut kena apa-apa. Apabila orang bersahabat karena takut kena, alamat persahabatan itu telah mengandung bahaya.

Persahabatan budiman sama budiman tidak berkehendak kepada pertemuan tiap hari. Sebab ada orang bersahabat yang hanya bertemu sekali selama hidup, dan ada juga yang tidak pernah bertemu selama-lamanya, tetapi selalu ada hubungan batin. Raja Habsyi (Negus, Najasyi) di negeri Habsyi yang semasa dengan Nabi saw. bersahabat dengan beliau, padahal mereka tak pernah bertemu. Nabi memandangnya sahabat setia, sampai diwakilkan kepadanya menikahi istrinya Ummu Habibah. Dan ketika dia meninggal, Nabi menyembahyang-gaibkan jenazahnya di Madinah. Padahal dia berdiam di negeri Habsyi.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 385-386, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

SURAH AT-TIIN

"Telah dibentangkan bagiku muka bumi ini seluruhnya, sehingga aku lihat Timurnya dan Baratnya. Akan sampailah umatku ke seluruh bumi yang terbentang itu." (HR. Muslim).

Maka bersumpahlah Allah, demi buah tin, demi buah zaitun.

"Demi Bukit Thurisinina, demi negeri yang aman ini."

Allah bersumpah dengan tin dan zaitun, itulah lambang dari pegunungan Jerusalem, Tanah Suci, yang di sana kedua buah-buahan itu banyak tumbuh, dan di sana al-Masih diutus Allah dengan Injilnya.

Dan bersumpah pula Allah dengan Thursina, yaitu gunung tempat Allah bercakap dengan Musa dan tempat Allah memanggil dia, di lembahnya yang sebelah kanan, di tumpak tanah yang diberi berkat yang bernama Thuwa, di pohon kayu itu.

Dan bersumpah pula Allah dengan negeri yang aman sentosa ini, yaitu negeri Mekah, di sanalah Ibrahim menempatkan putranya tertua Ismail bersama ibunya, Hajar. Dan negeri itu pulalah yang dijadikan Allah sebagai Tanah Haram yang aman sentosa. Sedang di luar batasnya orang rampas-merampas, rampok-merampok, culik-menculik. Dan dijadikan-Nya negeri itu aman dalam kejadian, aman dalam perintah Allah, aman dalam takdir, dan aman menurut syara'.

Seterusnya Ibnu Taimiyah berkata,

Maka firman Allah, "Demi buah tin, demi buah zaitun. Demi Bukit Thurisinina. Demi negeri yang aman ini;" adalah sumpah kemuliaan yang dianugerahkan Allah kepada ketiga tempat yang mulia lagi agung, yang di sana sinar Allah dan petunjuk-Nya dan di ketiga tempat itu diturunkan ketiga Kitab-Nya: Taurat, Injil dan Al-Qur'an, sebagaimana yang telah disebutkannya ketiganya dalam Taurat, "Datang Allah dari Torsina, telah terbit di Seir dan gemerlapan cahayanya dan gunung Paran."

Sekadar itu kita salinkan dari Ibnu Taimiyah.

Selanjutnya ada pula penafsir-penafsir zaman sekarang sebagaimana disebutkan oleh al-Qasimi di dalam tafsirnya berpendapat bahwa sumpah Allah dengan buah tin yang dimaksud ialah pohon Bodhi tempat bersemadinya Budha Gaotama ketika mencari hikmah tertinggi. Budha adalah pendiri dari agama Budha yang di kemudian harinya telah banyak berubah dari ajarannya yang asli. Sebab ajarannya itu tidak ditulis pada zamannya melainkan lama sesudah matinya. Dia hanya diriwayatkan seperti riwayat-riwayat dalam kalangan kita Muslimin, dari mulut ke mulut, lama kemudian baru ditulis, setelah pemeluk-pemeluknya bertambah maju.

Menurut penafsir ini pendiri agama Budha itu nama kecilnya ialah Sakiamuni atau Gaotama.

Mula kebangkitannya ialah ketika dia berteduh di bawah pohon kayu Bodhi yang besar.

Di waktu itulah turun wahyu kepadanya, lalu dia diutus menjadi rasul Allah.

Setan berkali-kali mencoba memperdayakannya, tetapi tidaklah mempan.

Pohon Bodhi itu menjadi pohon yang suci pada kepercayaan penganut Budha, yang mereka namai juga Acapala.

Besar sekali kemungkinan bahwa penafsir menafsirkan buah tin dalam Al-Qur'an itu dengan pohon Bodhi tempat Budha bersemadi, belum mendalami benar-benar filsafat ajaran Budha.

Menurut penyelidikan ahli-ahli, Budha itu lebih banyak mengajarkan filsafat menghadapi hidup ini, dan tidak membicarakan ketuhanan. Lalu pengikut Budha yang datang di belakang memuaskan hati mereka dengan menuhankan Budha itu sendiri.

Tetapi seorang ulama besar dari Arabia dan Sudan, Syekh Ahmad Soorkati yang telah mustautin di Indonesia ini pernah pula menyatakan perkiraan beliau, kemungkinan yang dimaksud seorang rasul Allah yang tersebut namanya dalam Al-Qur'an Dzulkifli, itulah Budha!

Asal makna dari Dzulkifli ialah yang empunya pengasuhan, atau ahli dalam mengasuh. Mungkin mengasuh jiwa manusia.

Maka Syekh Ahmad Soorkati menyatakan pendapat bahwa kalimat Kifli berdekatan dengan nama negeri tempat Budha dilahirkan, yaitu Kapilawastu.

Dan semuanya ini adalah penafsiran.

Kebenarannya yang mutlak tetaplah pada Allah sendiri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 245-248, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Pada aqidah pokok, Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah adalah sama. Timbul perselisihan kalau pengikut kedua belah pihak telah fanatik pada golongan atau setelah dicampuri oleh pertarungan politik. Pada saat-saat yang penting, telah ada tempat mereka kembali yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Kalau tidak demikian, niscaya mereka akan hancur; tikam-menikam, bunuh-membunuh sama sendiri, sehingga berlaku bunyi ujung ayat bahwa Allah berbuat apa yang Dia kehendaki, yang tidak dapat dielakkan!" (Buya HAMKA).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 506, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BAB AQIDAH KLIK DISINI: (Aqidah Abul Hasan al-Asy'ari dan para pengikutnya, Imam Malik, al-Auzai, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa'ad, asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaihi, dan ulama-ulama ikutan kaum Muslimin yang lain, yang dahulu dan yang kemudian).

AYAHKU

Ketika mereka dituduh kafir lantaran memfatwakan bahawa cepiau, seluar panjang dan dasi tidaklah menyerupai kafir, maka timbullah nekad mereka.

Dalam sebentar waktu sahaja, dengan seluar panjang, dasi dan cepiau! Topi Panama!

Bertahun-tahun lamanya Syeikh Abdullah Ahmad dan Syeikh Abdul Karim Amrullah memakai dasi dan seluar panjang, dengan di kepalanya memakai tarbus, bahkan kadang-kadang cepiau!

Mahu apa? Siapa mahu menentang? Siapa mahu mengaji?

(Buya HAMKA, Ayahku, 155, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

MENGHORMATI KEMERDEKAAN BERPENDAPAT

Kerapkali benar agama itu diambil menjadi perkakas untuk menentang pendapat yang baru dan kemerdekaan bersuara, baik di Barat dan di Timur.

Galilei seketika mula-mula menyatakan pendapat bahwasanya bumi itu bulat, seluruh gereja di Eropa mengafirkan dan memutuskan pendapatnya itu sesat lagi menyesatkan. Dia diancam kalau tidak mencabut pendapatnya itu, dia akan dihukum murtad dari agama. Dia hanya menjawab, "Ya, meskipun tuan-tuan hukumkan saya murtad dari agama, lantaran perbuatan tuan-tuan itu, bumi ini tidaklah akan berubah menjadi picak, tetapi bulat terus dan beredar dikelilingi matahari".

Kesempitan hati menerima pendapat baru itu telah lama hapus dari benua Eropa. Orang telah merdeka menyatakan pendapat; agama tidak dibawa-bawa lagi untuk melepaskan sakit hati dan menimbulkan nafsu si awam.

Penyakit itu telah habis dari Eropa sejak 200 atau 300 Tahun yang lalu, cuma sayang kemudian berpindah dan mengalir ke negeri-negeri Islam. Sehingga agama Islam yang mulanya mengajarkan kebebasan menyatakan pikiran, telah dipersempit daerahnya, tidak boleh menyatakan pendapat, tidak boleh mengeluarkan qaul yang baru dan menghukum pendapat baru sebagai murtad.

Hal ini telah diderita oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, yang dituduh kafir lantaran tidak mengakui adanya syafaat wali-wali keramat.

(Buya HAMKA, LEMBAGA HIDUP: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 167-168, Republika Penerbit, 2015).

MUKADIMAH

Madzhab yang dianut oleh penafsir ini adalah Madzhab Salaf.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 38, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Ada pula yang membela diri mengatakan bahwa golongan kamilah yang sejati penganut Madzhab Salaf, sedangkan golongan yang lain tukang bid'ah semuanya.

Kita umat Islam sendirilah yang menimbulkan sektarisme dalam Islam.

Sektarisme ini pernah menular dalam kalangan yang mengakui kaum Sunni di Mekah sendiri beratus tahun sehingga pernah shalat jamaah lima waktu dalam Masjidil Haram sampai empat rombongan berganti-ganti; Maliki, Syafi'i, Hanafi, dan Hanbali.

Mana madzhab yang berkuasa, merekalah yang didahulukan, sehingga ada suatu masa di Mekah, Madzhab Hanbali terakhir shalat, sehingga setelah imam mengucap salam pada shalat Shubuh, matahari pun terbit. Golongan yang mendapat prioritas pertama adalah madzhab Syam, karena syarif-syarif bermadzhab Syam.

Namun setelah Hijaz dikuasai oleh Ibnu Saud (Hanbali, Wahabi), shalat jamaah itu disatukan, dan imam-imam berganti-ganti saja pada tiap waktu.

Hasil ijtihad adalah zhanni atau kemungkinan atau kecenderungan.

Karena itu, dalam pikiran yang sebanyak itu, bersimpang-siur, hanya satu yang benar, yaitu pikiran yang sesuai dengan pedoman yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saw., dan karena itu sahabat beliau yang melanjutkan perjuangan itu.

Oleh karena itu, sekalian umat Muhammad saw. yang mempunyai jalan pikiran yang bersimpang-siur sampai 73 atau lebih itu hendaklah berusaha membawa pikiran mereka kepada "batu ujian" asli, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Nabi saw.

Moga-moga tercapailah kebenaran.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 41-43, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

BAHAN DAKWAH DAN PEMBENTUKAN JAMAAH

Meskipun setiap hari kita mendengar mulut usil yang mencaci-maki Muhammadiyah, sebagai Madzhab Wahabi.

Kaum Muda yang tidak bermadzhab dan berbagai caci-maki yang lain, tetapi Muhammadiyah membalasnya dengan mengumpulkan zakat fitrah dari anggota-anggotanya sendiri lalu membagikannya ke rumah-rumah orang yang berhak menerimanya, meskipun Muhammadiyah mengetahui bahwa yang akan diberi pembagian itu termasuk orang-orang yang mencaci-makinya selama ini. Namun, pembagian zakat fitrah itu mereka terima juga dengan segala senang hati.

Gerak Muhammadiyah yang menyebar merata di seluruh Indonesia sekarang ini, sejak dari Sabang (memang ada cabang Muhammadiyah di Sabang), sampai ke Merauke (dan memang ada cabang Muhammadiyah di Merauke) dapatlah dibuktikan karena giatnya dakwah pada masa itu.

Penulis ini adalah orang yang turut terseret ke dalam lapangan dakwah itu, sejak dari masa muda remaja (1924) sampai usia 70 Tahun sekarang (1978).

(Buya HAMKA, PRINSIP DAN KEBIJAKSANAAN DAKWAH ISLAM, Hal. 112-114, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

BUKAN BERLOMBA MENYALAHKAN GOLONGAN LAIN

Sabda Nabi tentang 73 pecahan dan golongan itu, hanya 1 yang masuk surga yaitu yang masuk al-Jama'ah, atau yang berpegang pada yang aku bersama sahabat memegangnya, dapatlah tiap-tiap golongan mendabik dada mengatakan bahwa kamilah golongan yang satu itu dan yang lain salah semuanya. Sehingga perpecahan bertambah hebat. Sebab si manusia sendiri telah menentukan surga hanya monopoli kepunyaan golongannya.

Namun, kalau hadits ini dipahamkan kembali dengan saksama, niscaya tiap-tiap golongan itu akan sama-sama berusaha mencari manakah amalan yang diridhai oleh Allah dan Rasul supaya dia masuk surga.

Bukan berlomba menyalahkan golongan lain, melainkan tiap-tiap golongan berlomba membuat amalan yang lebih baik.

Pedoman ini telah diberikan Allah pula di dalam surah al-Hujuraat ayat 11. Yaitu, supaya suatu kaum jangan menghina kaum yang lain dan segolongan perempuan jangan menghina golongan perempuan yang lain, karena mungkin pada yang dihinakan itu ada amalannya yang lebih baik daripada amalan si penghina itu.

Oleh sebab itu, supaya pikiran kita yang banyak simpang-siurnya itu jangan membawa kesesatan hendaklah masing-masing kita selalu berusaha mendekati mana yang sesuai dengan kehendak Rasulullah saw.

Dan kalau kita memperoleh pendapat yang baru lalu menurut pendapat kita apa yang dipegang oleh golongan lain salah, janganlah terburu nafsu menyalahkannya. Karena barangkali penyelidikannya belum sampai pada apa yang kita selidiki.

Dan jika ada orang yang menyatakan pendapat baru, kita jangan pula lekas marah. Karena, kerapkali yang menghalangi kita menerima kebenaran baru itu bukanlah karena benarnya apa yang kita pegang, melainkan karena tiap-tiap manusia itu menurut ilmu jiwa amat berat bercerai dari kebiasaannya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 355-356, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERSELISIHAN adalah rahmat dan nikmat yang sempurna kalau manusia pandai membawakannya. Sebab itu, hendaklah dipertinggi kecerdasan dan kesadaran beragama sehingga perselisihan dan pertikaian benar-benar menguntungkan bagi perikemanusiaan.

Tetapi ada setengah manusia, perselisihan menumbuhkan hasad dan dengki, ribut dan perang. Dia hendak memonopoli dunia untuk kepentingan dirinya sendiri. Di waktu dia naik, hendak menginjak orang lain. Di waktu dia mendapat nikmat, dia lupa kepada yang memberi nikmat. Yang begitu ada dalam kalangan manusia dan ada juga dalam kalangan jin.

Maka berfirmanlah Allah selanjutnya sebagai penegasan dari kalimat-Nya atau keputusan yang telah diambil-Nya,

"Akan Aku penuhkan Jahannam dengan jin dan manusia sekaliannya." (ujung ayat 119).

Artinya, mana yang tidak dapat menerima rahmat Allah karena perselisihan atau perbedaan kedudukan manusia itu, menyelewenglah dia dari jalan yang benar. Petunjuk Allah ditinggalkannya, jalan yang sesat ditempuhnya. Maka adalah ketentuan yang wajar dari Allah, kalimat atau keputusan, bahwa orang yang demikian, tidak dapat tidak, tentu masuk ke Jahannam.

Di ujung ayat disebut jin dan manusia sekaliannya.

Artinya, bila tiba ke dalam neraka Jahannam itu samalah hukum yang mereka terima semuanya, jami'ah, tidak ada perbedaan. Sebagaimana masuk surga pun diperlakukan sama di antara jin dan manusia adanya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 629, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Wahai kaum Muslimin! Taqwalah kepada Allah dan kembalilah semua kepada kitab Tuhan-mu, dan beramallah menurut sunnah Nabi-mu, dan ikutilah jejak salaf-mu yang saleh, supaya kamu beroleh kemenangan, sebagaimana kemenangan yang dahulu telah mereka capai."

MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI

Tebuireng, Jombang.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 88, Penerbit Galata Media, Cet. I, Januari 2018).

Ada seorang yang mengakui alim sendiri di Pare-Pare Sulawesi Selatan, mengeluarkan fatwa bahwa dalam Al-Qur'an tidaklah ada tersebut waktu yang lima: Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya.

Dan dia mengeluarkan fatwa bikinannya sendiri pula bahwa orang hanya diwajibkan shalat dua rakaat, tidak ada yang empat rakaat.

Rupanya orang ini baru membaca salinan-salinan Al-Qur'an ke dalam bahasa Indonesia dan tidak menyelidiki tafsir dari hadits-hadits sehingga disesatkannyalah murid-muridnya dengan fatwanya itu.

Padahal kalau dia benar-benar menyelidiki agama dari sumber aslinya, tidaklah dia akan membuat agama sendiri seperti yang telah dilakukannya itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 621-622, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JANGAN SUKA MEMBICARAKAN AIB DAN CELA SAUDARAMU DI BELAKANGNYA

Inilah penyakit masyarakat yang paling hebat.

Tidak terlepas daripadanya, baik ahli agama atau ahli politik, laki-laki atau perempuan.

Sengaja menggali-gali kecelaan lawan, seakan-akan yang mencela itu malaikat dan yang dicelanya manusia yang tidak boleh salah.

Perbuatan itu namanya mengumpat atau menggunjing. Gunjing bagi orang yang tidak beradab menjadi perhiasan duduk. Perbuatan itu dalam ayat ini disamakan dengan makan bangkai kawan yang digunjing itu sendiri. Bila ditanyakan, bagaimana rasanya bangkai manusia?

Tentu semua orang menjawab tidak enak. Maka perbuatan membuka aib orang di belakangnya adalah lebih hina dari makan bangkai.

Pekerjaan itu hanya menghitung kesalahan, bukan menerangkan dan melahirkan kebaikan.

Terutama apabila yang digunjingkan itu seorang yang ternama atau berjasa; senang benar rupanya hati tukang gunjing mencari-cari kesalahannya, itulah "kabar baik" yang akan dijadikannya hidangan ke dalam masyarakat umum, yang dijadikan bahan pembicaraan.

Islam melarang perbuatan itu, walaupun orang yang dibicarakan itu memang bersalah.

Sebab tidak ada manusia yang lepas daripada salah.

Allah Ta'ala tidaklah suka menerang-nerangkan kebusukan, seakan-akan membongkar kubur untuk menjemur bangkai di muka khalayak ramai.

Meskipun dia salah, boleh jadi kesalahannya dilakukannya lantaran khilaf. Boleh jadi dia telah taubat.

Mengapa manusia melebihi hukuman Tuhan?

Itulah sebabnya kalau ada orang menuduh orang lain berzina, Tuhan meminta supaya si penuduh itu mengemukakan 4 orang saksi, yang nyata melihat zina itu dilakukan. Kalau dia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri, dilihatnya (maaf), sebagai memasukkan keris ke sarungnya, maka dakwa dan tuduhan itu wajib ditolak oleh hakim. Meskipun dilaporkannya bahwa dia melihat kelambu bergoyang, laporan itu belum boleh diterima, karena boleh jadi bergoyang karena dia bersenda gurau saja, belum zina. Demikianlah seterusnya. Kalau tidak cukup alasan yang terang dengan 4 saksi, si pendakwa boleh dihukum dera (pukul) dengan rotan 80 kali.

Siapakah orang berakal budi, berempat banyaknya yang sudi menjadi tukang intip kelambu orang?

Sampai demikian penjagaan agama dalam perkara kabar buruk. Walaupun kejadian itu sebenarnya kejadian.

Itulah yang dinamai gunjing, itulah yang dilarang keras oleh agama.

Kalau yang disiarkan itu kabar bohong, fitnah namanya. Dan itu pun sudah nyata besar bahayanya dalam masyarakat.

Menggunjing merusakkan budi pekerti tukang gunjing sendiri, kerjanya tidak akan ada yang lain melainkan itu.

Perempuan yang tidak terdidik, yang biasa menganggur, apabila ziarah ke rumah kawannya, suka sekali membukakan aib cela orang lain.

Sekali-kali tidak terbuka hatinya hendak melihat aib celanya sendiri. Tidak teringat olehnya hendak memikir-mikirkan adakah agaknya orang yang diburuk-burukkannya itu berbuat baik, atau semata salah sajakah dia?

Di zaman modern ini surat-surat kabar dapat menjadi pendidik rakyat, tetapi dapat pula jadi alat penyesat rakyat karena dipenuhi dengan berita fitnah dan gosip.

Wartawan mempunyai tugas berat dalam mengendali budi rakyat.

Itulah sebabnya maka dahulu, pekerjaan menjadi wartawan dan menjadi pokrol (pengacara) dipandang sebagai pekerjaan hina.

Sebab wartawan hanya mencari rahasia rumah tangga orang buat dibeberkan di surat kabar.

Pokrol bergelar "pokrol bambu"; sebab kosong di dalam keras di luar. Perkara yang salah dibelanya dan dijanjikannya akan menang dan bebas kalau dia yang menolong, asal bayar sekian!

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 128-130, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

MENGHORMATI KEHORMATAN ORANG DAN HARTA BENDANYA

Kehormatan, syarat, prestise, gengsi, martabat, adalah nama dari hak manusia yang dipelihara dan dijaga dalam kehidupan ini, yang mahal dan tidak dapat dibeli. Untuk menjaga agar kehormatan orang dan kehormatan kita sendiri, dilarang keras bergunjing, mencela, memaki, memfitnah dan mengucapkan kata-kata yang merendahkan orang itu.

Bergunjing atau mengumpat ialah membicarakan aib orang yang di belakangnya. Kalau gunjing itu hanya "isapan jempol", artinya buat-buatan si pembawa kabar saja, bernamalah dia dusta, lebih buruk lagi membuat fitnah.

Kedua-duanya merupakan penghinaan kepada orang lain.

Menghina atau mencela, ialah membeberkan aib dan cela orang lain dalam surat kabar atau dengan siaran.

Perbuatan itu tercela, walaupun yang disiarkan itu benar.

Karena menyimpan rahasia adalah kewajiban orang banyak, dan tiap-tiap orang berhak menyembunyikan rahasianya sendiri, walaupun dia bersalah membunuh orang sekalipun.

Dia masih sanggup memperbaiki kesalahannya itu, apalagi kalau tidak diketahui orang.

Dia dapat menyesal, dapat insyaf, dan masih terbuka baginya kesempatan berbuat baik.

Adapun jika kita menjadi saksi di atas suatu perkara jahat, misalnya kita melihat seorang membunuh manusia, lalu kita nyatakan kesalahan-kesalahan si pembunuh itu di muka hakim, tidaklah bernama membeberkan aib dan membuka rahasia lagi. Tetapi membela undang-undang.

Ada juga penyiaran yang wajib dilakukan, yaitu memberi ingat kepada umum dan mempertahankan keadilan dan menjaga masyarakat, bukan karena dengki dan cemburu, tetapi karena hendak mengeruhkan masyarakat, misalnya menyampaikan kabar dari seorang yang bermusuh kepada musuhnya, dengan maksud supaya permusuhan itu bertambah hebat.

Perbuatan demikian namanya "namimah". Orang yang menerima namimah itu haruslah menyelidiki dahulu kebenaran berita, supaya orang yang dituduh tidak mendapat tuduhan dalam suatu perkara yang bukan kesalahannya.

Inilah yang bernama provokasi.

Dalam suatu negeri itulah yang mempercepat adanya perpecahan, dan perpecahan membawa kelemahan.

Dalam masyarakat yang sedang kacau misalnya masa revolusi sekitar Tahun 1945-1950, kabar-kabar bohong mudah benar merenggangkan satu golongan dengan lain golongan, menimbulkan huru-hara dan pertumpahan darah antar sesama.

Ketika Wakil Presiden Mohammad Hatta, menganjurkan membentuk berdirinya Front Nasional di Sumatra Barat sesudah Agresi Belanda pertama (Juli 1947) penulis buku ini dipilih jadi ketua.

Orang kenal semboyan penulis "basuo-suo", mari bertemu-temu, bersua-sua di antara pemimpin yang bertanggung jawab. Kerap bertukar pikiran, memudahkan urusan, yang tadinya dirasa sukar. Sampai Wakil Presiden mengadakan pertemuan bertukar pikiran itu setiap hari Jum'at.

Kata-kata provokasi, hasut, fitnah, dan umpat gunjing, biasanya hanya timbul dari orang yang berjiwa kecil, dan kerap datang dari rasa rendah diri, rasa ditinggalkan, rasa tidak dibawa serta.

Pertemuan hati ke hati dapat menghilangkan ini, atau bawa kepada umum, dengan perantara surat kabar. Mana yang tidak ikhlas terbentang sendiri.

Pemimpin yang berhati jujur dan berjiwa besar dapat mengatasi semuanya ini.

(Buya HAMKA, Lembaga Hidup: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 185-187, Republika Penerbit, 2015).

ANCAMAN TERHADAP PENYEBAR BERITA DUSTA

"Sesungguhnya orang-orang yang suka sekali supaya tersebar berita-berita keji dalam kalangan orang-orang yang beriman, mereka akan mendapat adzab yang pedih di dunia dan akirat. Allah-lah yang Maha Mengetahui dan kamu semua tidaklah mengetahui." (ayat 19).

Di dalam ayat 19 sudah dinyatakan, bahwa menyebut-nyebut kabar bohong dan dusta dalam kalangan orang-orang yang beriman bukanlah pekertinya orang yang beriman sejati.

Seorang Mukmin tidaklah mempunyai masa terluang buat menyebarkan kabar berita keji.

Sedangkan jika benar berita itu, lagi disuruh menutupnya, apalagi jika hanya semacam provokasi belaka untuk menambah kekacauan.

Tukang siarkan berita bohong akan disiksa Allah SWT di dunia dan di akhirat.

Di dunia ialah hilangnya nilai perkabaran, sehingga karena sekali lancung keujian, orang yang berakal budi tidak percaya lagi kepada berita yang datang di belakang, walaupun benar.

Masyarakat yang demikian menjadi tersiksa sebab percaya-mempercayai tidak ada lagi.

Masyarakat yang adil dan makmur ialah masyarakat yang percaya-mempercayai.

Jika hanya kabar berita bohong yang tersiar dalam masyarakat, maka keamanan jiwa raga dan perasaan tak ada lagi.

Betapapun besarnya kekayaan benda, tidaklah lagi memberikan keamanan.

Apabila orang luar masuk ke dalam masyarakat yang demikian, jiwanya rasa tertekan, dan apabila dia keluar kembali dadanya terasa lapang.

Lantas Allah SWT menerangkan pula ancaman adzab siksa di akhirat, dalam neraka Jahannam bagi orang-orang yang berbuat demikian.

Neraka Jahannam adalah tempat bagi orang yang tidak menegakkan maksud-maksud yang mulia dalam kehidupan dunia ini.

Di akhir ayat Allah SWT menyatakan hak mutlak-Nya yang tertinggi, pengetahuan sejati hanya ada di tangan-Nya, dan manusia tidak tahu apa-apa.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 280, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BAGI YANG TURUT MENYEBARKANNYA

Rasulullah saw. bersabda: "Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan." (HR. Muslim No. 6 dsb).

BUDI YANG MULIA PADA PENGARANG

(Nasihat Abdul Hamid al-Kathib untuk Pengarang)

(ringkasan).

Meskipun surat itu telah berusia 1.000 Tahun sampai sekarang, namun isinya masih tetap bernilai menjadi salah satu pegangan bagi pengarang di zaman modern ini, terutama pengarang-pengarang Islam. Setelah selesai pembukaan surat itu dengan mengucapkan pujian kepada Allah dan shalawat kepada Rasul saw., Abdul Hamid menulis,

Amma ba'du, Allah memelihara kamu wahai seluruh rekan yang bekerja sebagai pengarang, semoga Tuhan melindungi kamu, memberi taufik dan petunjuk.

Janganlah terlalu mementingkan yang kecil-kecil, yang remeh-temeh karena hal itu merendahkan mutu dan merusakkan karangan.

Bersihkan usahamu daripada isi yang rendah, peliharakan diri dan pantangkan, daripada mengumpat, bergunjing, memfitnah, karena yang demikian itu adalah perbuatan orang yang tidak berpendidikan.

Sekali-kali jangan takabur, sombong, menepuk dada mengatakan diri segala tahu karena semuanya itu hanyalah akan membawa rasa benci orang dan tampang-tampang yang akan membawa permusuhan atas dirimu.

Hendaklah berkasih-kasihan (solidaritas) di antara sesama pengarang karena Allah, saling mengingatkan, saling mewasiati dengan jalan yang baik di antara orang-orang budiman dan mengenal keadilan dari keutamaan.

Semoga Allah senantiasa melindungiku dan melindungi kamu sekalian, wahai segala penuntut ilmu dan pengarang-pengarang;

Dengan perlindungan yang telah terdahulu ilmu-Nya dengan karunia-Nya dan tuntunan-Nya.

Sebab yang demikian itu adalah datang daripada-Nya dan terpeganglah dalam tangan-Nya.

Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

(Buya HAMKA, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 135-137, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

BERMASYARAKAT

"Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kamu orang yang fasik membawa berita maka selidikilah; agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum dengan tidak mengetahui maka jadilah kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (ayat 6).

Di zaman peperangan, ketika Jepang mulai menyerbu Indonesia, Pemerintah Belanda telah habis dan hilang wibawanya lama sebelum Jepang masuk.

Sebab Belanda tidak sanggup membendung berita-berita semacam ini.

Inilah yang dinamai pada waktu itu dengan "Radio Dengkul", karena tidak tahu dari mana asal mulanya.

Orang-orang tidak lagi mempunyai kecerdasan pikiran sehingga tidak dapat menimbang di antara benar dengan salah!

Maka dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini, agama Islam telah memberikan pedoman yang jelas bagi kita yang beragama Islam.

Jangan lekas menerima berita yang dibawa orang.

Selidiki lebih dahulu dengan saksama.

Kabar berita semacam itu tidak sedikit yang membahayakan bagi orang yang tidak bersalah.

Di zaman Jepang saya sendiri difitnah orang, dikatakan mendapat beras dari Tyokan Kakka (gubernur Jepang) satu guni tiap awal bulan.

Orang ketika itu tidak ingat lagi hendak memegang ayat ini.

Tidak ada yang pergi mengintip ke rumah saya sejak Maret 1942 sampai Agustus 1945, agak sekali saja pun cukuplah, menyelidiki dari mana beras itu dibawa orang, dari pintu belakangkah atau dari pintu muka, siangkah dibawa atau malam, dengan pedatikah atau dengan mobil, dengan serdadu Jepangkah atau saya sendiri.

Namun berita itu tersebar amat luas di seluruh Sumatera Timur.

Maka kalau memang agama Islam ini akan kita jadikan pedoman hidup kaum Muslimin di Indonesia, rasanya ayat inilah yang patut kita pegangi jika kita mendengar gosip-gosip yang demikian dalam masyarakat kita, sehingga tanah air kita tidak jadi subur untuk gosip seperti demikian.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 417-419, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Kadang-kadang soal amalan yang kecil-kecil membawa tumpahnya darah, bahkan sampai menghancurkan negara.

Di Baghdad pernah terjadi bunuh-membunuh di antara pemeluk Islam Madzhab Syafi'i dan pemeluk Madzhab Hanbali karena perkara men-jahar-kan bismillah.

Perkelahian penganut Madzhab Syafi'i dengan Madzhab Hanafi telah sampai menghancurleburkan negeri Merv sebagai pusat ibukota wilayah Khurasan.

Di dalam Abad ke-19, Kerajaan Turki menyuruh Mohammad Ali Pasya penguasa Negeri Mesir memerangi penganut paham Wahabi di Tanah Arab. Untuk ini, dibuat propaganda di seluruh Dunia Islam bahwa Wahabi itu telah keluar dari garis Islam yang benar, sehingga sisa dakinya sampai sekarang masih bersarang dalam otak golongan tua dalam Islam.

"Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah mereka akan berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang Dia kehendaki." (ujung ayat 253).

Manusia itu selalu mencari mana yang lebih benar dan mana yang lebih manfaat. Akal manusia dijadikan pula tidak sama pertumbuhannya: bertinggi berendah. Di samping itu, kehidupan manusia dan pertumbuhan akalnya itu selalu dipengaruhi oleh alam sekelilingnya, oleh lingkungannya. Oleh sebab itu, penilaiannya terhadap kebenaran tidak pulalah sama. Ada orang yang pintar yang disebut khawash. Ada orang yang pendapat akalnya hanya sederhana saja yang disebut awam. Kadang-kadang orang hidup sebagai katak di bawah tempurung, menyangka bahwa yang di sekelilingnya itu sudah langit. Sebab itu, disalahkannya orang yang menyatakan bahwa yang melingkunginya itu belumlah langit, barulah tempurung. Di sini sudah mulai timbul tampang dari perselisihan.

Kadang-kadang manusia terpengaruh dalam lingkungannya. Katanya didengar orang, perintahnya diikuti. Golongan semacam ini tidak mau ada tandingan dan gandingan terhadap dirinya. Sebab itu, bilamana saja terdengar suara baru, yang berbeda dari yang disuarakannya, dia pasti menentang walaupun suara baru itu benar.

Di dalam ayat ini kita telah bertemu bahwasanya perpecahan dan pertumpahan darah setelah menerima agama, setelah menerima keterangan rasul-rasul, pada hakikatnya tidaklah dikehendaki Allah. Akan tetapi, karena manusia memperturutkan hawa nafsunya maka agama telah membawanya kepada perpecahan.

Maka, hendaklah pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh manusia di atas permukaan bumi ini dalam berabad-abad ini dijadikan iktibar oleh manusia yang datang di belakang.

Khusus bagi umat Islam sendiri, diberi ingatlah mereka, apabila terjadi selisih pikiran, supaya segera kembali kepada pokok. Menurut pepatah, "Kusut di ujung tali, kembalilah ke pangkal tali." Terjadi selisih dalam agama maka kembalilah kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul.

Dan, jika terjadi perselisihan dalam soal-soal politik, kembalilah kepada keputusan ulil amri, sebagaimana yang diatur oleh syara', yaitu yang dinamai ahlusy' syura, yang di dalam zaman modern dinamai "wakil-wakil rakyat" atau orang-orang yang dipercaya oleh umat.

Ulil amri melakukan musyawarah memutuskan perselisihan yang berkenaan dengan urusan dunia politik sehingga tidak timbul diktator.

Dalam urusan yang berkenaan dengan agama, dilarang taklid. Di dalam Islam, kedudukan ulama agama bukanlah sebagai kedudukan pendeta dalam agama Nasrani. Bukanlah fatwa ulama suatu amar yang tidak boleh dibanding dan disanggah.

Fatwa itu hanya berlaku selama sesuai dengan isi Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

Dalam Dunia Islam, mencari titik-titik pertemuan ini lebih mudah daripada dalam agama Kristen, asal ada kemauan.

Kembali ke dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul bukan berarti menghentikan kebebasan pikiran. Di antara orang mujtahid dan mujtahid yang lain selalu terdapat perbedaan pendapat.

Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal dikenal oleh setiap orang yang mengetahui riwayat hidup mereka bahwa mereka itu adalah guru dengan murid. Imam Ahmad bin Hanbal adalah murid dan Imam Syafi'i, sedangkan Imam Syafi'i adalah murid dari Imam Malik. Ketiganya telah bersimpang menjadi tiga madzhab dan empat dengan Madzhab Imam Hanafi. Di antara mereka timbul rasa hormat-menghormati pendapat.

Baru timbul selisih pada pengikut yang taklid sehingga madzhab pendapat pikiran sudah berganti menjadi satu agama tersendiri.

Kita ambil misal dua perkumpulan terbesar di negeri kita ini, yakni Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.

Keduanya masih tetap menganggap sah shalat masing-masing. Tidak ada orang Nahdhatul Ulama yang memfatwakan bahwa tidak sah menjadi makmum di belakang imam orang Muhammadiyah, demikian pula sebaliknya.

Dan, tidak sampai ada masjid sendiri-sendiri sebagaimana Gereja Baptist, Metodist, Adventist, Prysbiterian, dan lain-lain.

Sebab, pada aqidah pokok, Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah adalah sama.

Timbul perselisihan kalau pengikut kedua belah pihak telah fanatik pada golongan atau setelah dicampuri oleh pertarungan politik.

Pada saat-saat yang penting, telah ada tempat mereka kembali yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.

Kalau tidak demikian, niscaya mereka akan hancur; tikam-menikam, bunuh-membunuh sama sendiri, sehingga berlaku bunyi ujung ayat bahwa Allah berbuat apa yang Dia kehendaki, yang tidak dapat dielakkan!

Maka, di dalam segala perselisihan pikiran di antara sesama umat Allah, tetapi di hati sanubari kedua pihak selalu tersimpan sesuatu yang amat diingatkan, yang mencari kebenaran Allah. Keberanian manusia memerangi hawa nafsunya, memanglah satu perjuangan yang menjadi pusat dari segala perjuangan. Allah menghendaki karena kita sesama manusia sama bebas berpikir supaya perselisihan hilang. Di diri masing-masing kita ada satu bakat atau benih yang baik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 503-506, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

WAHABI!! WAHABI!! WAHABI!!

Dulu, banyak orang atau organisasi yang bangga ketika disebut memiliki keterkaitan dengan Wahabi, termasuk Muhammadiyah.

Buya HAMKA yang menjadi juru kampanye Muktamar Muhammadiyah pada Tahun 1930-an, misalnya, menyebutkan bahwa panggilan terhadap Muhammadiyah sebagai gerakan Wahabi adalah sebuah kehormatan. Untuk gambaran bagaimana sebagian anggota Muhammadiyah bangga akan Wahabi, lihat misalnya, HAMKA, Moehammadijah Melaloei Tiga Zaman (Soematra Barat: Markaz Idarah Moehammadijah, 1946), h. 10 dan 108.

Julukan atau ejekan "Wahabi di Indonesia" kepada Muhammadiyah dianggap sebagai kehormatan oleh Muhammadiyah.

Sebutan ini menjadi sorakan sambutan dari orang-orang Borneo (Kalimantan) pada Kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin Tahun 1932.

Mereka berteriak,

"Wahabi!! Wahabi!! Wahabi!!"

(Ahmad Najib Burhani, MUHAMMADIYAH BERKEMAJUAN: Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopolitanisme, Hal. 35, Penerbit Mizan, Cet.1, 2016).

"Ma'asyiral Muslimin! Allah, Allah! Mengapa kamu bangkit-bangkit kembali dakwa jahiliyyah? Padahal aku masih ada di tengah-tengah kamu? Sesudah Allah memberi kamu hidayah dengan Islam? Sesudah kamu dimuliakan-Nya dengan Islam dan dipotong akar-akar jahiliyyah itu? Sesudah kamu dicabutkan dari kekafiran? Sesudah kamu dipersatukan? Lalu kamu hendak kembali jadi kafir?"

Mendengar perkataan Rasulullah itu, sadarlah kaum itu akan diri, insaflah mereka bahwa Setan telah mengacaukan mereka dan mereka telah ditipu oleh musuh mereka, Yahudi itu. Maka, senjata-senjata yang telah mereka siapkan, mereka lemparkan, mereka menangis lalu berpeluk-pelukan satu sama lain, Aus dan Khazraj. Kemudian, mereka tinggalkan tempat itu, mereka ikut Rasulullah meninggalkan tempat itu dengan patuh dan taat. Maka, dipadamkan oleh Allah api jahiliyyah yang telah dikobarkan oleh Setan dan oleh Syaas bin Qais, Yahudi itu.

Berkata Ibnu Jarir dalam tafsirnya, "Maka turunlah ayat ini. Wahai Ahlul Kitab! Mengapa kamu palingkan dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman (sampai ujung ayat ini), sebagai teguran kepada si Syaas bin Qais pengacau itu."

Dan terhadap kepada Aus bin Qaizhij dan Jabbar bin Shakhr, kedua pemuka Aus dan Khazraj yang telah gelap mata itu beserta kaum mereka masing-masing turun pulalah ayat berikutnya yang demikian bunyinya,

"Wahai orang-orang yang beriman! Jikalau kamu ikuti (kehendak) segolongan dari orang-orang yang keturunan Ahlul Kitab itu, niscaya mereka akan mengembalikan kamu jadi kafir, sesudah kamu beriman." (ayat 100).

Dalam zaman modern kita ini, selalu kita mendengar apa yang dinamai provokasi atau intimidasi dan ketika kitab tafsir ini diselesaikan, timbul lagi kata lain yang disebut gerpol atau gerilya politik. Pihak musuh berusaha membuat berbagai hasut fitnah supaya persatuan yang kompak dan teguh menjadi pecah belah, di antara satu golongan dan golongan yang lain tidak ada percaya-memercayai lagi.

Demikianlah pula yang dibuat oleh Yahudi di Madinah terhadap kaum beriman yang telah bersatu-padu. Bersatu-padu antara Muhajirin dan Anshar. Bersatu-padu antara Aus dan Khazraj. Bersatu-padu antara kabilah dengan kabilah. Yahudi insaf bahwa kalau persatuan ini terus, mereka tidak akan naik lagi. Satu kekuatan baru telah tumbuh di bawah pimpinan Muhammad saw.

Sebab itu, mereka selalu akan berusaha memecahkan persatuan itu.

"Dan berpegang teguhlah kamu sekalian pada tali Allah." (pangkal ayat 103).

Apa yang disebut sebagai tali Allah sudah terang pada ayat di atas tadi, ialah ayat Allah yang dibacakan kepada kamu, tegasnya Al-Qur'an. Berjalin berkelindan dengan Rasul yang ada di antara kamu. Yaitu Sunnahnya dan contoh bimbingan yang diberikannya. Di ayat ini ditegaskan, bahwa berpegang pada tali Allah itu ialah "kamu sekalian". Artinya telah bersatu-padu. Karena kalau pegangan semuanya sudah satu, maka dirimu yang terpecah-belah itu sendirinya pun menjadi satu. Lalu dikuatkan lagi dengan lanjutan ayat,

"Dan janganlah kamu bercerai-berai."

Di sini tampak pentingnya jamaah. Berpegang pada tali Allah sendiri-sendiri tidaklah ada faedahnya. Kalau tidak ada persatuan antara satu dengan yang lain. Di sinilah kepentingan kesatuan komando, kesatuan pimpinan. Pimpinan tertinggi ialah Rasul saw. Dengan ajaran yang demikian, kebanggaan kabilah tidak ada lagi. Tidak ada kemuliaan Arab atas Ajam, atau kulit putih atas kulit hitam, sebab ayat yang terdahulu telah menyebutkan kepastian takwa. Maka, yang lebih mulia di sisi Allah ialah siapa yang lebih takwa kepada-Nya.

"Sehingga dengan nikmat Allah kamu menjadi bersaudara."

Apakah nikmat yang paling besar daripada persaudaraan sesudah permusuhan? Itulah nikmat yang lebih besar daripada emas dan perak. Sebab, nikmat persaudaraan adalah nikmat dalam jiwa. Dengan persaudaraan yang berat dapat sama dipikul, yang ringan dapat sama dijinjing.

"Demikianlah Allah menyatakan tanda-tanda-Nya kepada kamu, supaya kamu mendapat petunjuk." (ujung ayat 103).

Di dunia mereka beroleh bahagia dengan kemenangan, sehingga dapat melaksanakan tugas suci, yaitu menjadi Khalifatullah di muka bumi.

Maka, tercapailah maksud itu, sehingga pernahlah satu ketika kekuasaan Islam sebagai umat Tauhid itu, sebelah kakinya menancap di Delhi Industan dan sebelah kakinya lagi menancap di Andalusia, Semenanjung Iberia.

Dan ini pun akan tercapai kembali bila kita kembali kepada ajaran-ajaran ayat ini.

In syaa Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 20-23, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

UMAT MANUSIA ADALAH SATU

"Dan ketahuilah bahwasanya ini semua adalah umatmu, umat yang satu. Dan Akulah Tuhanmu, maka takwalah kepada-Ku." (ayat 52).

Namun setelah Nabi wafat, kian lama umat Muslim pun ditimpa penyakit itu pula.

Mereka pun membanggakan, bahwa mereka sajalah yang benar sendirinya, merekalah umat yang terpilih, meskipun mereka tidak pernah menuruti dan mematuhi ajaran Nabi Muhammad saw.

Di antara Madzhab Sunni sesama Sunni pun timbul perpecahan dan putus hubungan, pengikut Syafi'iyah merendahkan pengikut Maliki, Hanafi menyalahkan Hambali padahal asalnya hanyalah karena perlainan pendapat Ijtihadiyah. Timbullah ta'ashub. Madzhab akulah yang benar. Madzhab-mu salah belaka.

"Mereka putuskan sendiri hubungan di antara mereka, sampai terpecah-belah, cerai-berai, centang-perenang, porak-poranda." (al-Mu'minuun: 53).

Hai orang-orang yang mengaku dirinya pengikut Muhammad, yang mengaku sebaik-baik umat dikeluarkan di antara manusia, mengapa begini jadinya kita?

Perpecahan timbul adalah karena kebodohan, karena kesempitan paham, karena hendak benar sendiri.

Salah satu pokok kesalahan berpikir adalah karena yang disangka agama hanyalah perkara hukum-hukum ijtihadiyah atau soal furu.

Atau karena hendak memaksa orang taqlid.

Dan lebih celaka lagi kalau kekuasaan memerintah dipaksakan menyuruh orang taqlid.

Orang lupa, bahwa agama bukanlah semata-mata membincang hukum halal haram, bukan haram kata si anu dan makruh kata si fulan.

Bukan wajib kata Syekh kami dan sunnah kata Syekh engkau.

Pokok agama adalah akhlak karimah, budi yang mulia. Ukhuwah Islamiyah, persaudaraan dalam Islam dan dasarnya ialah tauhid keesaan Ilahi.

Apabila umat manusia mengukur kepentingan yang besar kepada diri sendiri, menjadi besarlah urusan yang kecil. Tetapi kalau kepentingan diri dileburkan kepada kesatuan yang besar, maka urusan yang besar pun dipandang kecil.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 199-201, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dan siapa yang berpegang kepada hadits-hadits Nabi yang shahih menurut Madzhab Syafi'i sejati,

Mereka tuduhlah orang itu "Berpacul dari Madzhab atau keluar dari Ahlus Sunnah wal Jamaah".


(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 217, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Ada yang mengatakan, kononnya dari kalangan Madzhab Syi'ah bahwa Azar itu bukanlah ayah Ibrahim, tetapi saudara ayahnya (pamannya); Pendapat itu pun mempunyai ekor yang lanjut, yaitu buat menegakkan pendapat bahwa ayah bunda nabi kita, Muhammad saw. pun bukanlah kafir; Rasa cinta kepada Rasulullah saw. dan kepada neneknya Ibrahim, menyebabkan orang "tidak sampai hati" akan menyebut bahwa ibu-bapak Nabi saw. atau ibu-bapak Ibrahim tidak Islam atau kafir atau masuk neraka.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 190-192, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KLIK DISINI: UNTOLD STORY BUYA HAMKA DAN MAULID NABI SAW./MADZHAB YANG BENAR DARI AHLI SUNNAH WAL JAMAAH (ASWAJA)

AYAHKU

Suatu hari saya mengganggu beliau.

Saya katakan:

"Ada ulama mengatakan bahawa membuat ta'liq itu bid'ah, tidak berasal dari Nabi!"

Beliau marah dan berkata:

"Ulama Tea! Tidak dapat dia membezakan mana urusan ibadat dan mana urusan nikah!"

*Tea, bahasa Minangkabau bererti tolol.

(Buya HAMKA, Ayahku, 179, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

NIKAH SI KANI

Fasakh yang berbelit-belit sudah tidak banyak terdengar lagi, demikian juga seorang perempuan yang terpaksa murtad karena ingin membebaskan diri dari kezaliman seorang laki-laki yang dibantu oleh kejahilan hakim agama.

Bunyi shighat taliq itu amat ringkas dan jelas,

"Jika istriku bernama Si Anu, tidak suka lagi bersuami saya, hendaklah dia datang kepada qadhi dalam negeri atau jorong Anu, atau wakilnya, menyatakan dia tidak suka. Kalau qadhi menerima pengaduannya itu dan dia menyerahkan uang banyaknya Rp 2.50, -- (seringgit) kepada qadhi, Khulu' namanya, jatuhlah talakku kepada istriku nama Si Anu itu satu kali."

Sejak itu pula laki-laki sudah lebih hati-hati di dalam menegakkan rumah tangga, tidak lagi berlaku sewenang-wenang kepada istri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 286-288, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KLIK DISINI: KISAH NIKAH SI KANI, MANFAATNYA SAMPAI MASA KINI

RENUNGAN BUDI

Orang yang pengetahuannya baru sedikit, kerapkali menyangka dirinya telah mengetahui semua.

Tetapi orang yang luas pandangannya dan mendalam ilmunya tidaklah berani lagi mengatakan bahwa dia tahu segala-galanya.

Bahkan dia lebih suka berkata,

"Banyak yang belum saya ketahui."

(Buya HAMKA, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 162, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

"Hawa nafsu yang pantang kelintasan inilah yang kerapkali menyesatkan orang daripada jalan lurus kebenaran, pada segala zaman di dalam dunia." (Buya HAMKA).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 539, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Membongkar struktur masyarakat yang berurat berakar sekaligus, bukanlah kekuatan manusia.

Lihatlah contoh kecil, yaitu daerah Minang yang berdasarkan masyarakat keibuan.

Di situlah yang paling banyak ulama Islam di Indonesia.

Syekh Ahmad Khatib yang berpendapat bahwa harta pusaka adalah harta syubhat, terpaksa meninggalkan negeri itu, untuk menghindarkan diri supaya jangan dipukul oleh fatwanya sendiri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 185, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KLIK DISINI: TENTANG PEMBERANTASAN LCBT (LINGKARAN CHURAFAT BID'AH TAHAYUL) TERKUTUK

KLIK DISINI: TENTANG TAHLILAN, KIRIM HADIAH FATIHAH, TAWASSUL DAN WASILAH

MADZHAB SYAFI'I SEJATI

Madzhab saya Syafi'i. Saya belum pernah sejak menceburkan diri ke dalam perjuangan Islam mengatakan saya tidak bermadzhab. Periksalah segera buku yang saya karang,

"Madzhab Syafi'i sejati: yaitu hadits yang shahih adalah madzhabku." (Buya HAMKA).

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 219-220, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Imam Syafi'i mengatakan, meskipun betapa lanjut dan istimewa pendapat beliau, hanyalah dijaminnya kebenarannya selama pendapatnya itu sesuai dengan hadits yang shahih.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 256, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DAKWAAN KAMU HANYA SANGKAAN

Siapakah yang tahan dan teguh hati menempuh jalan yang benar?

Ayat selanjutnya mengatakan,

"(Yaitu) orang-orang yang menjauh dari dosa-dosa yang besar dan yang keji-keji." (pangkal ayat 32).

Dosa-dosa yang besar ialah mempersekutukan Allah dengan yang lain, berkata tentang Allah tetapi tidak dengan pengetahuan,

Lancang memperkatakan soal-soal agama, padahal ilmu tentang itu tidak ada.

Itu semuanya adalah termasuk dosa yang besar.

Adapun yang keji-keji adalah yang menyakiti orang lain dan merusakkan budi pekerti, sebagai mencuri harta kepunyaan orang lain, berzina, membunuh sesama manusia.

Ini termasuk yang keji.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 550-551, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENUHANKAN MANUSIA

Inilah yang dijelaskan lagi oleh Imam ar-Razi dalam tafsir beliau Mafatihul Ghaib.

"Kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Arbab (tuhan-tuhan) terhadap pendeta itu bukanlah bahwa mereka berkepercayaan bahwa pendeta yang menjadikan alam ini, tetapi bahwa mereka patuhi segala perintah dan larangan mereka!"

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 131, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENUHANKAN GURU

Taklid dalam soal-soal fiqih sehingga tidak mau lagi meninjau pikiran yang baru sehingga agama menjadi membeku.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 135, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENJADI BAYANG-BAYANG ORANG LAIN

Orang yang hanya menjadi bayang-bayang orang lain berkata dan menulis, bahkan sampai kepada gerak dan geriknya, hanya menjadi "Pak Tiru'.

Orang yang seperti itu tentulah akan lenyap pribadinya ditelan oleh pribadi orang yang ditirunya.

Tidak jelas lagi bagaimana sebenarnya diri sendiri.

Kita pun mengaku bahwa manusia tidaklah tumbuh sendiri, melainkan ada hal-hal sekeliling, lingkungan dan keturunannya yang memengaruhi pertumbuhannya.

Keempat imam dalam Islam, yaitu Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Ahmad bin Hanbal pun begitu juga.

Mereka awalnya ada hubungan sebagai guru dengan murid, tetapi akhirnya mempunyai pribadi dan pendirian masing-masing.

Saya teringat ketika ayah saya, Dr. H.A. Karim Amrullah, mengajar agama di Padang Panjang dari Tahun 1916 sampai Tahun 1926.

Beliau selalu membangkitkan semangat pada murid-muridnya supaya menyelidiki sendiri dan merdeka dalam memahami.

Jangan hanya menjadi "Pak Turut" dan menjadi taklid buta.

Tidak mengapa jika sekiranya beliau sendiri dibantah, dengan alasan yang cukup. Padahal pada masa itu masih sangat ganjil di kalangan guru agama, jika ada murid-murid yang mencoba membantah pendapat gurunya.

Dalam beberapa tahun kemudian tumbuhlah muridnya lalu memegang peranan yang penting dalam kemajuan agama di Sumatera Barat. Banyak ulama di Sumatera Barat, tetapi tidak ada yang mempunyai murid besar-besar seperti beliau. Di antara murid-muridnya adalah Zainuddin Labay, yang mendirikan Sekolah Diniyah dan memimpin s.k. al-Munir; Abdul Hamid Hakim Engku Mudo, guru besar di Madrasah Sumatera Tawalib; H. Jalaluddin Thaib, ketua Permi; H. Mukhtar Luthfi, pemimpin Permi yang terkenal; Rahmah el-Yunusiyah, pemimpin Sekolah Diniyah Perempuan; A.R. St. Mansur, pemimpin Muhammadiyah; dan H. Dt. Batuah yang kemudian masuk PKI, semuanya itu mempunyai pribadi masing-masing dan tidak hanya membebek kepada gurunya.

Ilmu memang ada perguruannya, tetapi murid yang tidak merdeka dari gurunya adalah murid yang tidak berpribadi.

Barangkali gurunya tidak pandai atau tidak ingin muridnya beroleh kemajuan.

Didikan salah kedua adalah didikan taklid dalam agama atau didikan "Pak Turut".

Di antara Al-Qur'an dan Sunnah Nabi sebagai pedoman beragama dengan seorang Muslim terdapat batas dan dinding yang terlalu banyak.

Beberapa kitab fiqih dan karya para ulama dipandang sangat suci dan tidak boleh dibandingkan.

(Buya HAMKA, PRIBADI HEBAT, Hal. 112-113, 59, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2014).

KHILAFIYAH YANG MENGHABISKAN TENAGA

Memang, dalam kenyataannya di zaman yang sudah-sudah perbincangan khilafiyah dalam masalah furu' kerapkali telah membawa bahaya. Membawa perpecahan, menghabiskan kalori. Sampai kafir-mengkafirkan, tuduh-menuduh, hina-menghinakan. Kadang-kadang menjangkit sampai kepada pertentangan politik.

Apakah sebabnya?

Ini harus diselidiki dengan seksama.

Perlu diselidiki, apakah membincangkan khilafiyah yang salah?

Ataukah cara membincangkannya yang salah?

Salah satu sebab yang terbesar ialah cara membawakannya.

Ahli-ahli yang merasa berhak membincangkan suatu masalah menyatakan pendapatnya, lalu mengajarkannya kepada muridnya.

Oleh si murid diterima sebagai suatu keyakinan, lalu disebarkannya kepada masyarakat dengan sikap menantang.

Dia baru murid. Ilmunya baru sekedar isi kitab yang dikarang gurunya.

Tetapi karena ilmunya pun masih singkat, maklum masih murid, dia sudah berkeyakinan bahwa itulah yang mutlak benar.

Dia pun telah menuduh-nuduh pula bahwa orang lain yang tidak mau menerima pendapat gurunya itu sebagai tukang bid'ah, yang tidak berpedoman kepada Qur'an dan Hadits.

Niscaya timbullah reaksi yang hebat dan timbullah pertentangan.

Dia menuduh golongan lain "taqlid buta", tetapi dia tidak sadar bahwa dia sendiri pun adalah taqlid buta kepada gurunya pula.

Kalau disinggung orang saja sedikit nama gurunya, dia pun marah.

Bagi dia tidak ada yang murni berpegang kepada Qur'an dan Hadits, melainkan gurunya itulah.

Apatah lagi kalau pengetahuannya dalam bahasa Arab tidak ada.

Yang dibacanya hanya kitab-kitab bahasa Indonesia karangan gurunya dan pendapat gurunya.

Hal ini jadi berlarut-larut; yang berdasar Qur'an dan Hadits hanya dia, hanya gurunya dan hanya golongannya.

Orang lain tidak.

Dia benar sendiri.

Dia berani berdebat dengan siapa saja.

Dengan itu timbullah isolasi diri.

Maksud masalah khilafiyah yang timbul dari kebebasan berijtihad, yang hasilnya ialah zhanni, dengan sendirinya berubah sifatnya dengan pertentangan "keyakinan".

Di suatu kota di Jawa Timur timbul satu gerakan bernama "Ahlul Hadits", kabarnya konon gurunya menganjurkan membakar sekalian buku yang tidak berdasar Qur'an dan Hadits. Yang tidak berdasar Qur'an dan Hadits menurut keyakinan guru itu. Sehingga kitab-kitab fiqih hasil karya ulama-ulama besar pun wajib dibakar. Hasil-hasil renungan filsafat dari Qur'an dan Hadits yang timbul dari ijtihad seorang Muslim, pun turut dibakar. Kabarnya konon dalam satu demonstrasi pembakaran kitab-kitab, senaskah kitab Al-Umm karangan Imam Syafi'i pun turut dibakar. Apatah lagi kalau hanya kitab Tasawuf Moderen karangan HAMKA, itu sudah nyata menjadi "kayu api" pembakaran.

Kemudian setelah diselidiki, ternyata sebahagian terbesar daripada pengikut guru itu pun adalah orang yang sama sekali tidak pandai membaca kitab bahasa Arab. Dia hanya membaca terjemah dari Qur'an dan Hadits, yang diterjemahkan oleh orang yang dipandangnya sebagai guru, yang dia sendiri tidak kuasa menyelidiki benar atau tidaknya penterjemahan itu. Dan dia pun tidak sanggup atau tidak mau memperbandingkan di antara gurunya dengan guru lain.

Karena sempitnya pengalaman, ada di antara mereka yang tidak faham lagi apa yang dikatakan masalah ijtihadiyah atau khilafiyah, yang menyebabkan timbulnya perlainan pendapat.

Misalnya terdapat khilafiyah apakah azan (bang) sekali saja di hari Jum'at atau dua kalikah. Menurut suatu pendapat lebih baik sekali saja, karena itulah yang lebih dekat kepada Sunnah. Yang lain berpendapat baiklah dua kali juga, sebab yang membuat dua kali itu adalah Sayyidina Utsman, untuk pengumpul orang. Maka adalah di antara pembangkit khilafiyah yang tidak mau sembahyang di satu masjid, bahkan lebih keras lagi, ditinggalkannya masjid itu karena di sana azannya dua kali, karena menurut pengajiannya hanya sekali. Atau sebaliknya, ditinggalkannya masjid itu, karena di sana azannya hanya satu kali. Bahkan ada orang yang rumahnya berdekat dengan sebuah masjid, tidak pernah dia sembahyang Jum'at ke masjid itu, sebab azannya satu kali, atau azannya dua kali, sebab berlain dengan fahamnya.

Dengan demikian, tidak disadarinya lagi bahwasanya dia telah tenggelam ke dalam khilafiyah, padahal arti khilafiyah ialah masalah yang dipertikaikan faham atasnya.

Dilupakannya bahwa menghadiri Jum'at tidak uzur adalah dosa. Sampai tiga kali adalah dosa besar, akan dihitamhanguskan mukanya dan dikelamkan hatinya.

Ini pulalah gejala yang menimbulkan ditempelengnya tangan seseorang yang datang singgah sembahyang subuh di satu langgar, sebab orang itu pakai qunut.

Padahal berqunut atau tidak berqunut adalah khilafiyah, tetapi mengganggu orang sedang sembahyang adalah dosa besar, tidak khilafiyah lagi.

Inilah gejala bahaya yang dibayangkan oleh Imam Ghazali, dengan memetik suatu Hadits, "Tidaklah tersesat suatu qaum sesudah mendapat petunjuk, hanyalah sesudah mereka membawa debat-berdebat."

Kalau khilafiyah sudah jatuh ke dalam lembah jidal bersitegang urat leher ini memanglah sangat berbahaya.

Berbahaya bagi negara dan berbahaya bagi agama sendiri.

Sejarah sudah berkali-kali menunjukkan bahaya itu.

Di zaman pemerintahan Khalifah Ar-Radhi di Baghdad (memerintah dari Tahun 322 sampai 329 H, atau 934 sampai 940 M) telah timbul kekacauan dalam negeri karena khilafiyah.

Penganut Madzhab Hambali yang sangat "diktator" memaksakan fahamnya. Mereka geledah rumah orang, kalau-kalau di sana ada nabisz, semacam tapai, yang menjadi khilafiyah apakah dia menyerupai khamar (tuak). Beberapa ulama berpendapat bahwa nabisz tidak haram diminum, tetapi orang-orang Hambali mengharamkannya. Sebab itu mereka geledah rumah orang, mencari nabisz dan memecahi botol orang kalau bertemu nabisz. Padahal mereka bukan polisi. Mereka geledah rumah orang, kalau-kalau di sana ada perempuan tukang nyanyi. Kalau bertemu alat-alat musik mereka pecahkan. Kalau bertemu orang berjalan dengan wanita di tengah jalan, mereka bertindak memeriksai surat nikah orang. Kalau tidak jelas keterangan, mereka pun bertindak memukuli orang itu, atau paling ringan mereka bawa ke muka polisi minta supaya orang itu dihukum. Kalau ada orang fanatik telah mengambil tindakan sembahyang menjadi imam membaca Bismillah dengan jahar, mereka ajak berdebat. Kalau ada penganut Madzhab Syafi'i masuk masjid, disuruhnya mengolok-olokkan kepada orang-orang buta dalam masjid.

Melihat kekacauan yang dibawa orang-orang yang mengakui merekalah yang sejati berpegang kepada Qur'an dan Hadits ini, Kepala Polisi Baghdad mengambil tindakan menindas mereka, sehingga habislah kekacauan itu.

Inilah macamnya kalau orang awam telah mengendalikan khilafiyah.

Mari kita selidiki hal ini, dari mana sebabnya?

Ialah setelah hal yang penting dan halus, diperdebatkan, oleh orang awam.

Setelah orang awam mengakui dirinya alim pula.

Mengakui mujtahid karena dia belum tahu benar apa yang dimaksud dengan ijtihad itu.

Sebagaimana kita terangkan tadi, bahwa khilafiyah-nya yang salah [sic!]. Tetapi orang-orang yang membincangkannya yang masih awam, atau "bagai bujang jolong berkeris".

Padahal membincang khilafiyah dengan secara berdiskusi, bertukar fikiran secara ilmiah, baik mengenai furu' syari'at ataupun mengenai pokok kepercayaan atau soal-soal yang lain, amatlah besar faedahnya bagi mempertinggi pengetahuan dan kecerdasan.

Apabila akhlak, sopan-santun, harga-menghargai, ukhuwwah dijaga dengan baik, maka orang akan dapat mengoreksi fahamnya sendiri, dan ruju' (kembali) kepada kebenaran kalau dia merasa bahwa fahamnya ternyata salah.

Dengan bertukar fikiran yang tidak bersifat jidal dan miraak, dengan rendah hati dan insaf bahwa kita adalah manusia, tidak akan sunyi dari khilaf dan tersalah, dan memandang pula bahwa yang kita hadapi bukanlah musuh, tetapi kawan dalam satu tujuan, yaitu "thalabul haqq", mencari kebenaran, maka khilafiyah itu akan dengan sendirinya mempertinggi kecerdasan kita dan menambah majunya cara kita memikirkan agama.

Lihatlah, dalam satu pergerakan perlainan pendapat itu terjadi dengan pendapat.

Kadang-kadang kalau sekiranya berlainan pendapat itu terjadi dengan orang lain, mungkin akan menimbulkan retak yang besar.

Tetapi karena kokohnya ukhuwwah, perlainan pendapat itu telah dapat menunjukkan bahwa gerakan itu mempunyai kepribadian yang harus dihormati.

Alangkah baiknya kalau ini terdapat di antara sesama Islam.

Hal yang kita sebutkan ini adalah salah satu sebab yang menjadikan memburuknya perbincangan khilafiyah.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 46-52, Penerbit Galata Media, Cet. I, Januari 2018).

AYAHKU

Saya masih ingat pula jawapan ayahku:

"Tidak! kita tidak boleh meninggalkan daerah ini. Kita wajib berjuang menolaknya dengan segala jalan yang sah. Biar cuma tinggal tulang dada kita sahaja. Di mana masanya lagi berjihad dalam jalan Allah, kalau bukan sekarang," jawab beliau dengan mata berapi-api.

"Saya tidak takut," jawab beliau.

"Biar orang kiri-kanan telah jatuh, kita akan tegak teguh mempertahankan kebenaran."

"Sejak saya mendengarkan maksud pemerintah hendak menjalankan ordonansi ini di Minangkabau, bergoncang persendianku, lemah longlai seluruh tulang belulangku. Saya insaf, sebetulnya maksud pemerintah agung tidak bermaksud hendak menyinggung perasaan kita. Tetapi peraturan ini akan dijalankan adalah kerana kesalahan kita selama ini. Kita ulama-ulama selalu berpecah belah, selalu bersilang selisih! ..... (Ketika itu air mata beliau menitis). Inilah bahaya yang mengancam kita dan akan banyak bahaya lagi, selama kita berpecah!"

Semua yang hadir bergerungan, menitikkan air mata. Syeikh M. Siddik dan Mak Adam Pasar Baru sampai melolong!

Dan wakil-wakil pemerintah menyaksikan sendiri dengan mata kepalanya, bagaimana hebatnya keadaan sehari itu. Kalau salah-salah bertindak, bahaya besarlah yang akan mengancam!

"Sudikah tuan-tuan bersatu?"

"Sudi!", jawab suara gemuruh!

Maka dihadapkannyalah mukanya kepada wakil-wakil pemerintah yang hadir. Kepada Dr. de Vries yang mukanya telah agak pucat!

"Sampaikanlah kepada pemerintah tinggi, janganlah dijalankan ordonansi itu di sini, kami tidak berpecah lagi. Kami telah bersatu!"

(Buya HAMKA, Ayahku, 236-240, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

Oleh ahli-ahli dibagilah amanah itu kepada tiga bagian,

2. Amanah terhadap sesama Hamba Allah.

Ulama-ulama yang membangkit-bangkit masalah khilafiyah yang membawa fitnah dalam kalangan umat adalah pengkhianat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 339, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Persatuan Khilafiyah 212, Buya HAMKA dan Imam Syafi'i

panjimas.com/citizens/2017/02/10/persatuan-khilafiyah-212-buya-hamka-dan-imam-syafii

DI MATA BELANDA, sekolah Islam seperti Thawalib, Diniyah, dan Muhammadiyah adalah sumber subversi.

Meskipun diawasi seperti itu, Rasul melanjutkan perjuangan, melawan aturan kolonial yang mewajibkan pencatatan sipil pernikahan (selain aturan Islam).

Ketika beberapa mantan muridnya membentuk partai politik Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) pada 1930 dengan berbasis Sumatra Thawalib dan menggunakan semboyan "Islam dan Kebangsaan", dia menolak, dan berkata "Islam saja".

Dia bersedia menghadapi Belanda, tapi "Jangan politik, jangan komunis, jangan kebangsaan. Islam, sekali lagi Islam!"

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 60-61, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

RENUNGAN BUDI

Tasamuh berlapang dada adalah hasil dari latihan budi.

Tetapi tasamuh saja belumlah cukup sebelum kita sanggup memahami pendirian orang lain.

Dan mengetahui pokok pendirian orang lain untuk dihormati dan untuk memperkuat pula pokok pendirian kita sendiri.

Tasamuh yang sampai mengabaikan pendirian sendiri bukan lagi tasamuh namanya, tetapi kelemahan.

***

Orang Islam di zaman modern selalu menganjurkan ijtihad dan ijtihad adalah hasil dari kemerdekaan berpikir,

Tetapi kerapkali kejadian, orang yang telah mengeluarkan pendapat dan kebebasan pikirannya amat fanatik mempertahankan pendapat itu, dan memaksa supaya pikiran orang lain sejalan dengan pikirannya.

Kadang-kadang kalau orang mengeluarkan pendapat yang berlainan dengan pendapatnya, orang itu dianggap lawan atau musuhnya.

Itulah orang yang pembanteras fanatik dan pengikut-pengikutnya, adalah penyerang orang lain yang dituduhnya taklid, karena orang itu tidak taklid kepada gurunya.

(Buya HAMKA, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 201-202, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

TASAMUH

Oleh sebab itu, di dalam masalah ijtihadiyah itu, tidak ada halangannya bertasamuh, berlapang dada, memberi-menerima.

Orang yang berkeras mempertahankan suatu masalah ijtihadiyah, biasanya bukanlah orang yang luas pengetahuan, melainkan orang-orang yang diikat oleh taqlid kepada suatu paham, atau berkeras mempertahankan pendirian yang sudah diputuskan oleh segolongan.

Sebagaimana di satu waktu, penulis ini pernah datang ke satu tempat, penulis masih saja membaca al-Faatihah dengan sirr, di belakang imam yang sedang menjahar, lalu sehabis shalat telah dikeroyok oleh beberapa teman yang perkumpulannya telah ganti memutuskan, bahwa mereka telah memilih pendirian di belakang imam yang membaca jahar, si makmum tidak usah membaca lagi.

Atau di suatu tempat yang lain lagi, penulis dipersilakan menjadi imam, lalu ketika membaca salam penutup shalat tidak membaca salam dengan wabarakatuh, padahal Majelis Tarjih perkumpulan telah memutuskan bahwa mereka memilih salam memakai wabarakatuh.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 36-37, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

QUNUT DAN TARAWIH

Penulis tafsir ini pada Tahun 1966 diajak oleh Ikatan Masjid dan Mushalla Indonesia di Makasar (IMMIM) buat mengadakan dakwah pada tiap-tiap waktu Shubuh pada masjid-masjid di Kota Makassar selama 8 kali Shubuh.

Saya selalu diminta menjadi imam shalat Shubuh pada masjid-masjid yang menganut berbagai pendapat itu.

Sebab itu ketika akan tampil ke muka saya tanyakan lebih dahulu apakah kebiasaan di masjid ini memakai qunut di waktu Shubuh atau tidak.

Kalau dijawab memakai qunut, langsunglah saya memakai qunut sebagaimana terdapat dalam Madzhab Syafi'i; dan kalau dijawab tidak memakai qunut, teruslah saya tidak memakai qunut.

Sebab kalau tidak demikian akan timbullah perdebatan-perdebatan yang tidak diingini, karena soal khilafiyah telah jatuh ke tangan orang awam dan nasihat yang akan diberikan kelak tidak lagi akan dihargai oleh mereka, sebab imam yang tadinya mereka harapkan, ternyata tidak sesuai dengan selera mereka.

Demikian juga kalau penulis dipersilakan menjadi imam tarawih di salah satu masjid di Jakarta.

Terlebih dahulu ditanyakan kepada pengurus masjid, berapa rakaat tarawih yang dipakai di masjid ini.

Lalu dituruti menurut kebiasaan yang ada di masjid itu, jangan sampai kita sebagai tamu mengacaukan kerukunan orang awam dengan masalah khilafiyah.

Karena untuk menunjukkan bahwa diri kita adalah seorang ahli fiqih bukanlah hanya semata-mata memamerkan kesanggupan kita berdebat mempertahankan pendirian dalam masalah khilafiyah itu.

Yang lebih penting di zaman sekarang ialah mengukuhkan ukhuwah kaum Muslimin dan menimbulkan kesadaran mereka kembali, bahwa mereka semuanya adalah dari satu umat dan kelainan pendapat tidaklah akan membawa permusuhan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 77-78, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RAKAAT DALAM SHALAT TARAWIH

Ibnu Taimiyah di dalam fatwanya menulis,

"Shalat Ramadhan tidaklah ditentukan oleh Nabi saw. dengan ketentuan tertentu. Bahkan, Nabi shalat di bulan Ramadhan yang lain hanya 13 rakaat, tetapi panjang-panjang rakaatnya. Kemudian setelah masa Umar bin Khaththab, Umar menyuruh mereka mengerjakannya secara berjamaah dengan Ubay bin Ka'ab, dia shalat 20 rakaat tambah witir 3 rakaat. Apabila rakaat ditambah, dia pendekkan bacaan sebab untuk meringankan Mukmin."

Kemudian ada pula segolongan ulama salaf shalat 40 rakaat tambah 3 witir. Yang lain 36 tambah 3 witir. Semua itu berlaku, dan mana saja yang hendak dilaksanakan, semuanya baik.

Yang afdhal ialah memperhatikan keadaan orang-orang yang shalat.

Barangsiapa yang tidak sanggup berdiri lama, shalatlah menurut Nabi saw. yaitu 8 atau 10 tambah 3 witir.

Apabila mereka tahan berdiri lama, 20 rakaat juga lebih baik.

Itulah yang banyak diamalkan kaum Muslimin di mana-mana dan 20 adalah pertengahan di antara 10 dengan 40. Jika dilakukan 40 atau lainnya, itu pun boleh, tidak ada yang disalahkan.

Dalam hal ini, bukanlah seorang saja imam yang mengatakannya, seperti Imam Ahmad dan lainnya.

Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa rakaat shalat Tarawih di bulan Ramadhan ditentukan oleh Nabi saw., tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi salahlah dia.

(Majmu Fatawa karya Ibnu Taimiyah jilid 1 hlm. 401).

Kita rujuk secara lengkap pendapat Ibnu Taimiyah ini untuk dijadikan perbandingan bagi orang-orang yang suka mencap bid'ah segala macam shalat Tarawih yang dilakukan.

Dengan tegas kita nyatakan, tidak ada yang bid'ah.

Asal hal itu dikerjakan secara betul.

(Buya HAMKA, Tuntunan Puasa, Tarawih dan Shalat Idul Fitri, Hal. 98-99, Penerbit Gema Insani, Cet.1, April 2017).

Tetapi orang lain yang turut pula mencap bid'ah orang yang men-jahar-kan Bismillaah, berkata demikian hanyalah karena taklidnya belaka.

Ada di beberapa tempat satu "mubaligh" mendabik dada mengatakan bahwa yang benar adalah pegangannya sendiri bahwa Bismillaah mesti di-sirr-kan dan barangsiapa yang men-jahar-kan Bismillaah adalah berbuat bid'ah.

Orang ini bebas untuk tidak men-jahar-kan Bismillaah, tetapi menuduh orang lain, termasuk sahabat-sahabat perawi hadits sebagaimana Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah menjadi tukang bid'ah, adalah suatu perbuatan yang jauh dari sopan santun agama.

Karena tidak dapat menundukkan soal menurut keadaan yang sebenarnya dan tidak dapat pula memberikan penjelasan kepada pengikut, timbullah perselisihan dan pertentangan batin yang tidak dikehendaki.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 86, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Sungguh pun demikian, ada juga perselisihan ijtihad di antara ulama-ulama fiqih tentang membaca di belakang imam yang sedang men-jahar itu.

Kata setengah ahli ijtihad, kalau imam membaca jahar, hendaklah makmum berdiam diri mendengarkan sehingga al-Faatihah pun cukuplah bacaan imam itu saja didengarkan.

Maka, buah ijtihad dari golongan yang kedua ini, meskipun dihormati juga golongan yang pertama, tidaklah dapat menggoyahkan pendirian mereka bahwa walaupun imam membaca jahar, makmum masih wajib membaca al-Faatihah di belakang imam.

Sebab, (kata mereka) baik hadits yang dirawikan Abu Hurairah tersebut maupun ayat dari akhir surah al-A'raaf itu ialah perintah yang 'aam, sedangkan hadits Ubadah dan hadits-hadits yang lain itu ialah khash.

Maka, menurut ilmu ushul dalam hal yang seperti ini ada undang-undangnya, yaitu:

"Membinakan yang 'aam atas yang khash, adalah wajib."

Jadi, kalau kita nyatakan secara lebih mudah dipahami ialah:

isi ayat surah al-A'raaf ialah memerintahkan kita mendengar dan berdiam diri ketika Al-Qur'an dibaca orang. Itu 'aam atau umum di mana saja, kecuali seketika menjadi makmum di belakang imam yang men-jahar.

Maka pada waktu itu, perintah mendengar dan berdiam diri itu tidak berlaku lagi sebab Nabi telah mengatakan bahwa tidak sah shalat barangsiapa yang tidak membaca al-Faatihah.

Maka, kalau dia mendengarkan bacaan imam saja dan berdiam diri, padahal dia disuruh membaca sendiri di saat itu, tidaklah sah shalatnya.

Oleh sebab itu, golongan pertama tadi menjalankanlah kedua maksud ini, yaitu mereka menetapkan membaca al-Faatihah di belakang imam yang menjahar, tetapi tidak boleh keras supaya jangan terganggu imam yang sedang membaca.

Dan, apabila telah selesai membaca al-Faatihah, mereka pun menjalankan maksud hadits, yaitu berdiam diri mendengarkan segala bacaan imam yang lain.

Masalah ini adalah masalah ijtihadiyah,

Yang kalau ada orang yang berhenti sama sekali membaca al-Faatihah karena berpegang pada hadits Abu Hurairah dan ayat 204 surah al-A'raaf tadi,

Pegangannya ialah semata-mata ijtihad hendaklah dihormati.

Adapun penulis tafsir ini, kalau orang bertanya, manakah di antara kedua paham itu yang penulis merasa puas hati memegangnya?

Maka penulis menjawab:

"Aku memegang paham yang pertama, yaitu walaupun imam men-jahar-kan bacaannya, tetapi sebagai makmum, penulis tetap membaca al-Faatihah untuk diri sendiri."

Adapun waktu saat membaca al-Faatihah itu, apakah ketika imam berdiam diri sejenak atau ketika dia membaca?

Maka, ulama-ulama dalam Madzhab Syafi'i berpendapat bahwa boleh didengarkan imam itu terlebih dahulu membaca al-Faatihah dan dianjurkan supaya imam berhenti sejenak memberi kesempatan kepada makmum supaya mereka membaca al-Faatihah pula.

Akan tetapi, kalau imam itu tidak berhenti sejenak, melainkan terus saja membaca ayat atau surah-surah yang mudah sehabis membaca al-Faatihah.

Maka, sehabis imam itu membaca al-Faatihah, terus pulalah si makmum membaca al-Faatihah, sedangkan imam itu membaca surah.

Dan, sehabis membaca al-Faatihah itu, hendaklah si makmum berdiam diri mendengarkan apa yang dibaca imam sampai selesai.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 81-82, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Jangan sampai guru itu mencela muridnya kalau taklid kepada seorang ulama, wajib langsung pada Al-Qur'an dan hadits,

Tetapi dengan tidak disadari, si guru telah memaksakan dengan halus kepada muridnya supaya jika mereka memahamkan Al-Qur'an dan hadits wajiblah menurut yang dipahamkan oleh gurunya itu.

Tanpa sadar, si guru telah mengangkat dirinya menjadi wali atau aulia selain Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 108, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TAMBAHAN

Saya pernah terdapat surat teguran dua kali dari peminat Panjimas yang menyatakan kurang senang karena di dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan saya selalu membawa qaulul ulama.

Sebagai ulama modern, katanya, Abuya harus tegas, langsung kepada Al-Qur'an dan Hadits saja.

Dengan ini saya menyatakan bahwa kalau ada orang yang bertanya kepada saya mengenai persoalan agama dan meminta jawaban tegas dari saya, tandanya ia percaya bahwa saya seorang ulama tempat bertanya.

Apa yang saya fatwakan akan diikutinya, yaitu fatwa saya yang berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits itu.

Oleh karena itu, heranlah dengan "modernnya" orang zaman sekarang tentang agama.

Dia percaya keterangan langsung dari HAMKA tentang Al-Qur'an Hadits, yang masanya sudah 14 Abad jaraknya dengan Nabi,

Tetapi ia tidak mau terima jika diterangkan pendapat Imam Syafi'i, Imam Malik bin Anas, Imam Hanafi, dan Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain yang telah sepakat seluruh isi dunia menerima dan mempertimbangkan pendapat-pendapat beliau itu, sehingga beliau disebut "imam-imam madzhab."

Memang tidak kenal maka tidak cinta, sehingga karena diajar guru jangan taklid kepada ulama, mendengar pendapat ulama-ulama itu pun tidak mau, dengan tidak disadari mereka taklid kepada ulama yang melarangnya itu.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 75, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Agama bukan melarang kita membahas dan menyelidiki soal-soal agama, ushul dan furu', ijtihadiyah dan khilafiyah.

Agama bukan melarang itu, bahkan menganjurkannya.

Sebab kita disuruh berpikir, berpaham, dan mempergunakan akal.

Yang dilarang adalah memaksakan pendapat sendiri kepada orang lain atau dengan paksa mempertahankan pendirian sendiri dan memandang musuh atau lawan terhadap orang lain yang tidak sepaham.

Dan lebih celaka lagi kalau perselisihan paham dalam soal-soal yang demikian sudah dijadikan latar belakang politik, untuk mempertahankan kedudukan golongan.

Apalagi kalau sudah saling mengafirkan.

Bersatu bukanlah persatuan paham yang dipaksakan; bersatu ialah hormat-menghormati.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 354, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PESAN-PESAN ISLAM: KH. AGUS SALIM

Tapi, ini sama sekali suatu perkembangan yang terpisah dari perkembangan Islam, yang menurut Al-Qur'an dan Hadits.

Para pemimpin Syi'ah, masing-masing secara terpisah berhak memberikan penafsiran dari Al-Qur'an, dan kemudian pengikut-pengikutnya dibenarkan untuk mengikutinya.

Tentu saja ini sesuatu perkembangan agama dengan sistem kependetaan.

Jika diakui oleh para pendetanya barulah benar.

Demikianlah mengenai kaum Syi'ah.

(KH. AGUS SALIM, PESAN-PESAN ISLAM: KULIAH-KULIAH MUSIM SEMI 1953 DI CORNELL UNIVERSITY AMERIKA SERIKAT, Hal. 246, Penerbit Mizan, Cet.I, Mei 2011).

ISLAM DAN NEGARA

Dan tidak perlu negara itu dikutak-katikkan oleh segolongan ulama karena la Ruhbaniyata fil Islami, Islam tidak mengenal sistem kependetaan,

Sehingga kalaupun ada kelompok ulama dalam Islam itu hanyalah keahlian bukan kelompok yang berkuasa mengutak-atikkan agama.

Sebagaimana pernah dikatakan oleh Liquat Ali Khan ketika Pakistan mulai berdiri,

"Di negeri kami ulama tidaklah mempunyai kekuasaan yang istimewa".

Sekianlah tinjauan kita tentang hubungan negara dengan agama menurut pandangan Islam.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 346, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

Dalam Islam tidak ada kekuasaan pendeta, itulah yang ditentang oleh Nabi Muhamad saw. sejak mula dia diutus. "La ruhbaniyyata fil Islami".

Sebab itu tidaklah berkuasa satu majelis untuk bersidang memutuskan menghukum satu pendapat baru yang bertentangan dengan penafsiran majelis itu.

Sehingga ijma', yang dipandang oleh ulama-ulama Ahli Sunnah sebagai satu di antara empat sumber hukum, tidaklah pernah terjadi karena keputusan satu konferensi ulama.

Ulama-ulama Ushul Fikih telah membuat definisi (istilah) ijma' demikian: "Persamaan pendapat segolongan besar ulama, dalam satu perkara, di dalam satu zaman."

Ijma' tidaklah berkuasa buat mengubah Nash yang Qath'iy.

Ijma' khususnya dan ijtihad umumnya adalah mengenai perkara-perkara yang belum ada hukum sharih (jelas) dari Al-Qur'an dan Hadits.

Pendapat seorang ulama boleh dibandingkan dengan ulama yang lain.

Bahkan jika terjadi ijma' segolongan ulama, maka ulama yang tidak sepaham, tidaklah terikat dengan dia.

Ijma bukan ijtima'; Sepaham dalam satu soal bukan berapat untuk menyatukan paham dalam satu soal.

Oleh sebab itu, kemunduran yang terdapat dalam kaum muslimin sekarang ini, bukanlah karena dia berpegang teguh kepada agamanya, melainkan sebaliknya.

Yaitu setelah dia tidak berpegang lagi kepada pokok ajaran agama itu.

Itulah yang menyebabkan terhenti kemajuan sementara waktu, namun apinya belum padam selama Al-Qur'an masih ada.

Islam akan bangkit kembali dan sekarang telah mulai bangkit, karena umatnya telah mulai sadar akan dirinya.

Islam yang menganjurkan kebebasan berpikir dengan nama ijtihad.

Islam yang menyuruh berjuang menegakkan keyakinan dengan nama jihad!

-Gema Islam, 1962.

(Buya HAMKA, Renungan Tasawuf, Hal. 118-120, Republika Penerbit, Cet.I, Januari 2017).

Dalam urusan yang berkenaan dengan agama, dilarang taklid.

Di dalam Islam, kedudukan ulama agama bukanlah sebagai kedudukan pendeta dalam agama Nasrani.

Bukanlah fatwa ulama suatu amar yang tidak boleh dibanding dan disanggah.

Fatwa itu hanya berlaku selama sesuai dengan isi Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 505, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dengan segalanya itu nyatalah bahwa Al-Qur'an, Islam sangat menyeru supaya orang berpaham dan berilmu.

Islam benci kalau Al-Qur'an hanya dibaca dan dilagukan saja, tidak dikorek rahasia yang tersimpan di dalamnya.

Al-Qur'an tidak membedakan tingkatan orang bawah dengan tingkatan pemangku agama dalam Islam, tidak ada pendeta-pendetaan.

Semua orang bisa jadi pendeta, semua orang boleh memperhatikan Al-Qur'an dan hadits Nabi.

Itulah sebabnya kalau bukan karena kebodohan, sukar orang Islam yang dapat tertarik oleh agama lain, sebab mereka lekas paham akan agamanya.

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 129, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

Memang kebebasan pikiran adalah rahmat!

Setelah kita baca ayat ini, lalu kita pertalikan dengan sejarah timbulnya ilmu ushul fiqih dan fiqih dalam Islam, bertemulah kita dengan pelopor-pelopor ijtihad yang besar-besar, sebagaimana keempat imam yang terkenal dan beberapa imam yang lain. Memanglah mereka telah berlomba berijtihad, memeras keringat buat meng-qiyas-kan furu' kepada ashal. Menimbulkan yang tafshil daripada yang ijmal.

Mereka benar-benar telah berlomba berbuat kebajikan. Benar-benarlah buah usaha mereka menjadi rahmat bagi kita yang datang di belakang. Mereka telah memudahkan jalan bagi kita melanjutkan usaha, sebab dunia tidak berhenti berputar, dan keadaan ruang serta waktu selalu berkembang. Maka sesuailah Syari'at Islam dengan ruang dan waktu.

Barulah perselisihan pendapat menjadi bala bencana bagi kaum Muslimin setelah pintu ijtihad ditutup dan taqlid dijadikan kemestian.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 711-712, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Orang yang berkeras mempertahankan suatu masalah ijtihadiyah, biasanya bukanlah orang yang luas pengetahuan, melainkan orang-orang yang diikat oleh taqlid kepada suatu paham, atau berkeras mempertahankan pendirian yang sudah diputuskan oleh segolongan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 36-37, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Meskipun sebagai seorang anggota Muhammadiyah, saya tidak begitu terikat kepada satu Madzhab, namun anutan Madzhab Syafi'i dari kecil memengaruhi juga kepada jiwa.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 612, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Bahwasanya agama Islam telah sempurna, dengan arti bahwa pokok yang mengenai hukum ibadah tidak dapat ditambah lagi, dan Nabi baru tidak akan datang lagi. Dan Islam pun sudah sangat sempurna, sebab dia memberikan kebebasan kepada manusia yang mempunyai kelayakan buat berpikir dan berijtihad.

Ini pulalah sebabnya terdapat fatwa Imam Syafi'i yang qadim, yaitu ketika beliau masih tinggal di Irak, dan yang adid yaitu setelah beliau berpindah dan menetap di Mesir. Yang menunjukkan bahwa Islam itu sendiri telah sempurna, dan manusia yang berijtihad mempergunakan pikirannya pun mencari yang mendekati kesempurnaan itu pula, dengan menilik ruang dan waktu, sebab hukum dan akibat hukum.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 602-603, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

GELAR SAYYID

Oleh karena itu, baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Allahuyarham Habib Ali di Kwitang Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah ke Hadramaut itu, dan Ahmad bin Isa tersebut adalah cucu tingkat ke-6 dari cucu Rasulullah Husain bin Ali bin Abi Thalib itu.

Kepada keturunan-keturunan itu semuanya kita berlaku hormat dan cinta, yaitu hormat dan cintanya orang Islam yang cerdas, yang tahu harga diri, sehingga tidak diperbodoh oleh orang-orang yang menyalahgunakan keturunannya itu, dan mengingat juga akan sabda Rasulullah saw.,

"Janganlah sampai orang lain datang kepadaku dengan amalnya, sedang kamu datang kepadaku dengan membawa nasab dari keturunan kamu."

Pesan Rasulullah saw. pula kepada putri kesayangannya, Fathimah, ibu dari cucu-cucu itu, "Hai Fathimah binti Muhammad. Beramallah, Sayangku. Tidaklah dapat aku, ayahmu menolongmu di hadapan Allah sedikit pun."

Pernah Nabi saw. bersabda, "Walaupun anak kandungku sendiri, Fathimah, jika mencuri aku potong jua tangannya."

Sebab itu kita ulangilah seruan dari salah seorang ulama besar Alawiy yang telah wafat di Jakarta ini, yaitu Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bin Syahab, agar generasi-generasi yang datang kemudian dan keturunan Alawiy memegang teguh agama Islam, menjaga pusaka nenek moyang, jangan sampai tenggelam ke dalam peradaban Barat. Seruan beliau itu pun akan tetap memelihara kecintaan dan kehormatan umat Muhammad kepada mereka.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 420-421, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

HAKIKAT ISLAM

"Sesungguhnya, yang agama di sisi Allah ialah Islam." (pangkal ayat 19).

Lantaran itu, dapat ditegaskan pula, walaupun dia mengakui orang Islam, keturunan Islam, ibu-bapak Islam, tinggal dalam negeri Islam, kalau akal dan hatinya tidak bersih dari pengaruh lain, selain Allah maka tidaklah sesuai nama yang dipakainya dengan hakikat yang sebenarnya.

Dia mengaku Islam, tetapi tempatnya menyerahkan dirinya ialah gurunya; dia taklid saja kepada guru itu.

Atau, dia mengaku Islam, tetapi kuburan yang dikatakannya keramat lebih diramaikannya daripada masjid tempat menyembah Allah. Dia lebih banyak meminta dan memohon kepada yang mengisi kubur itu atau mereka itu dijadikan perantara buat menyampaikan permohonannya kepada Allah.

Orang semacam ini semuanya mungkin telah termasuk golongan Islam di dalam perhitungan (statistik) dan dalam geografi (ilmu bumi), tetapi belum tentu jiwanya sendiri adalah Muslim, yang menyerah bulat kepada Allah Subhanahu wa Ta'aala.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 598, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IMAN, AKAL DAN TAKLID

"Apakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui." (az-Zumar: 9).

Oleh karena itu, iman atau Islam yang hanya dipusakai belaka atau hanya dikerjakan karena ikut-ikutan, belum tentu kesempurnaannya. Meskipun bagaimana teguhnya mereka memegang segala pokok agama, pegangan itu mudah lepas karena pertahanannya tidak ada di dalam lubuk kesadaran jiwa sendiri.

Seumpama orang-orang kampung dalam masyarakat, mereka yang telah menjadikan agama sebagian dari kehidupan sehari-hari, tiba-tiba pindah ke kota. Semakin hari semakin hilang, tinggallah agama itu pada dirinya karena orang di sekitarnya sudah berubah sama sekali dari yang dipergaulinya dahulu.

Seorang pujangga Jerman yang masyhur, Goethe, pernah berkata,

"Jika begini yang dikatakan Islam, mengapa aku tidak masuk ke dalam golongan Muslim?"

Maka saat-saat penting, yaitu menyerah dengan segala senang hati, percaya dengan penuh kesadaran, mungkin pernah datang kepada setiap orang yang berpikir dan mempergunakan akalnya, walaupun bangsa apa atau beragama apa.

Mungkin pula orang-orang yang telah mengakui dirinya Islam, umat Islam dan orang tuanya Islam, serta hidup dalam masyarakat Islam, harus memeriksa kepercayaan itu kembali, sebab sudah terlalu jauh keluar dari pokok asalnya.

Sangat jauh perbedaan antara arti percaya (iman) dengan sikap mengikut saja.

Sebab iman adalah pendapat sendiri, di dalam perjalanan hidup mencari kebenaran, yakni kesungguh-sungguhan yang tidak pernah berhenti sehingga insaf kelemahan diri di hadapan Kebesaran Yang Maha Besar.

Adapun sikap percaya saja adalah mengikuti orang lain dengan membuta tuli apa yang dikatakan orang lain, atau apa yang diterima dari guru, sehingga akal sendiri menjadi beku tidak bergerak.

Apabila telah timbul kebekuan itu, beku pulalah paham agama dan sinarnya tidak lagi bercahaya.

Itulah yang bernama taklid.

Taklid adalah musuh kemerdekaan akal.

(Buya HAMKA, FALSAFAH KETUHANAN, Hal. 18-19, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2017).

Jangankan orang lain yang akan dapat diinsafkan, bahkan yang telah ada di dalam pun bisa tercampak keluar.

Apatah lagi kalau agama itu hanya tinggal nama. Bernama Islam atau Muslim, tetapi mereka tidak menyerah diri kepada Allah.

Akibat dari penyerahan diri itu tidak lain ialah kepatuhan dan taat; mengerjakan yang diperintahkan dan menghentikan yang dilarang. Penyerahan itu menjadi bulat kepada yang satu, itulah Tauhid. Itulah dia Islam yang sejati. Siapa yang tidak insaf, mereka pun menyerah diri kepada Thaghut dan Setan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 600-601, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

THAGUT

Ulul-albaab, tidaklah takut, tidaklah cemas mendengarkan pendapat orang yang berbeda dengan pendapatnya dan mendengar pengajian yang berlainan dengan pengajiannya.

"Orang yang merdeka tidaklah gentar menghadapi kemerdekaan orang lain."

Kebenaran itu bisa dijemur di cahaya Matahari, dia tidak akan lekang. Biar ditinggalkan kena hujan lebat, dia tidak akan busuk.

Menurut keyakinannya kebenaran yang paling baik, yang baik sekali ialah firman Allah dan Rasul.

Dia adalah kebenaran mutlak.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 24, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Tadi sudah diterangkan kewajiban Rasul ialah menyampaikan. Hukum halal dan haram, baik dan buruk, manfaat dan mudharat, semuanya sudah diterangkan oleh Rasul.

Bahkan kisah-kisah umat yang terdahulu pun beliau sampaikan, sebagai wahyu dari Allah untuk kamu jadikan pengajaran dan perbandingan. Dalam pada itu, pergunakanlah akalmu sendiri dengan dasar takwa untuk menyisihkan buruk dengan baik itu.

Dapatlah kita pengertian yang langsung dari Al-Qur'an bahwa menerima agama hendaklah dengan akal dan yang merasai nikmat beragama ialah orang yang ulul albab, berpikiran cerdas yang didasarkan pada takwa.

Meskipun hadits-hadits yang menyatakan keutamaan akal yang banyak disalin oleh Imam Ghazali di dalam Al-Ihya' banyak hadits yang lemah (dhaif) menurut ilmu hadits. Namun ijtihad kita dalam menerima Al-Qur'an sudah memastikan bahwa terlepas hadits-hadits itu lemah, artinya telah menjadi kuat, sebab Al-Qur'an mengatakan demikian.

Oleh sebab itu, terimalah segala apa yang telah disampaikan Nabi dengan akalmu dan tak usahlah kamu banyak bertanya dan mengorek-ngorek lagi.

Sebab, kadang-kadang pertanyaan itu kalau mendapat jawaban, hanyalah akan mempersulit dirimu sendiri.

"Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu tanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu akan menyusahkan kamu." (pangkal ayat 101).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 50-51, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Untuk perlengkapan tafsir ayat ini saya salinkan satu kisah manusia ...

Nama orang besar Wahabi itu Syekh Abdul Aziz al-Atiiqiy.

Abdul Aziz al-Atiiqiy memberikan keterangan,

Muhammadiyah adalah gerakan agama yang menegakkan Madzhab Salaf seperti gerakan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab juga.

Semoga Tanah Jawa akan mencapai cita-citanya, (Indonesia belum merdeka, -pen).

"Al-Jawiyyuuun rijaal thayyibuun" (orang jawa orang baik-baik semua).

Kalimat "Jawa" masih lebih populer pada masa itu dari "Indonesia" sekarang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 22-24, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERTEMUAN ULAMA SUMATERA-MALAYA DI SINGAPURA

Ketika ada kawan-kawan yang "nakal" memberitahu bahawa saya anak Haji Rasul, mata ulama itu "melotot" serupa biji rambutan melihat saya!

Dan saya pun jadi nekad pula, sebagaimana nekadnya ayah saya.

Takut benar ulama-ulama di sana pada waktu itu, bahawa Madzhab Syafi'i akan berubah lantaran Kaum Muda Sumatera, atau Muhammadiyah di Jawa.

(Buya HAMKA, Ayahku, 164-165, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

HAMKA selalu mengerti bahwa dia berada dalam pertarungan dan para Muslim modernis yang taat perlu membujuk sesama orang Indonesia agar ikut jalan mereka yang benar.

Itulah tujuan Muhammadiyah sejak awal, dan misi pribadi HAMKA -- cita-cita yang mendasari Adiceritanya.

Kemerdekaan membuat taruhannya makin besar. Sukarno telah menjadi "jiwa besar" bagi pergerakan revolusioner, tapi jiwa Sukarno pun dianggap belum cukup besar untuk menyelesaikan perebutan kekuasaan yang rumit.

Dalam perebutan kekuasaan itu, harapan HAMKA sendiri, yang secara umum mencerminkan harapan umat Islam modernis yang terorganisasi dan diwakili Muhammadiyah, berhadapan dengan harapan pihak lain.

Hal-hal yang dia terima itu ditolak dan ditakuti pihak lain.

Fakta itu bukan hanya mencerminkan orientasi ideologi dan agama yang saling bertentangan, melainkan juga variabel-variabel lain seperti suku, daerah, hierarki sosial, dan perbedaan kota-desa semuanya tercakup dalam konstelasi politik yang terkait partai-partai politik tertentu.

Pada pertengahan 1950-an, ketika Indonesia mengadakan pemilihan umum pertama, ada empat konstelasi besar.

Masyumi mewakili kelompok modernis yang cenderung ke Muhammadiyah.

Nahdlatul Ulama (NU) mewakili kelompok Muslim tradisionalis yang sebagian besar berada di Jawa, dipimpin para kiai yang berkuasa dengan pesantren-pesantren di desa-desa serta teologi dan budaya yang mencakup unsur-unsur mistis dan ketaatan terhadap Kitab Kuning, yang ingin disisihkan kaum modernis.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 148-150, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

AL-AZHAR DI INDONESIA

Yang terjadi berikutnya sungguh membuka mata.

Pada pagi hari sesudah terbitnya nomor pertama Gema Islam, pemerintah Sukarno menangkap Mohammad Roem, M. Yunan Nasution, Prawoto Mangkusasmito, dan pemimpin-pemimpin Masyumi lain yang menjadi orang-orang terdekat HAMKA, juga pemimpin-pemimpin PSI seperti Sutan Sjahrir dan Anak Agung Gde Agung.

Mohammad Natsir sudah ditahan terlebih dulu.

Mereka tokoh-tokoh politik tingkat tinggi.

Sjahrir dan Natsir pernah menjadi perdana menteri.

Roem dan Prawoto pernah menjadi wakil perdana menteri.

HAMKA cepat-cepat meminta penjelasan kepada teman-teman militernya.

Mereka tidak tahu apa-apa. "Kita pun menunggu saja apa yang akan terjadi," kata kontaknya, Fakih Usman, perantara ke Jenderal Nasution.

Fakih Usman memperingatkan HAMKA bahwa walau penangkapan tahap pertama itu mengincar pemimpin-pemimpin partai, gilirannya akan datang juga.

HAMKA menyibukkan diri dengan majalah dan pergerakan dakwah yang telah dia luncurkan di Masjid al-Azhar.

Pada masa prahara itu makin banyak jamaah baru, dan beberapa pemimpin nasional yang gelisah juga datang ke kuliah HAMKA dan shalat jumat di sana.

Dua kali masjid itu diancam bom.

Pada Agustus 1962, dalam suasana Maulid Nabi Muhammad, dia menjenguk teman-temannya di penjara dan memberi ceramah mengenai Ibnu Taimiyah, ulama besar Damsyik yang dipenjara karena keyakinannya.

Baru pada September HAMKA mengetahui apa yang dihadapinya.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 171-172, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

Boleh jadi sebagian orang tergoda mencari benih Islamisme Indonesia zaman sekarang di HAMKA dan Adiceritanya.

Seperti telah kita sebutkan, HAMKA adalah seorang perintis gerakan dakwah Indonesia dan bercita-cita membangkitkan Islam.

Tapi keliru kiranya mencari asal-usul Islamisme radikal Indonesia hari ini di Adicerita HAMKA.

Pada 1997 Muhammadiyah mengganti nama universitasnya di Jakarta menjadi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (atau disingkat UHAMKA).

Masjidnya yang berpengaruh, Masjid Agung al-Azhar, sekarang dilengkapi sekolah yang mencakup 12 kelas pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah atas, juga universitas sendiri; di sana, acara-acara besar diselenggarakan di Auditorium HAMKA.

Pada 2011 HAMKA dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia.

Pelajaran-pelajaran penuh harapan dalam Tasawuf Modern masih bergema di Indonesia, Malaysia, dan di luarnya.

Edisi baru buku-bukunya masih terus dicetak.

Yang paling penting, Tafsir al-Azhar tetap menjadi standar.

Sementara bagi buku-buku HAMKA lain yang ditulisnya sepanjang hidup, eksemplar-eksemplar langka buku-buku cetakan murah dan majalah-majalahnya masih ada di arsip-arsip dan koleksi-koleksi, tapi sebagian besar telah musnah karena iklim Indonesia, hancur dan lenyap. Anekdot, pepatah, puisi, pelajaran sejarah, kisah pribadi, dan catatan perjalanannya yang mengisi wadah-wadah sementara itu telah meresap ke aliran luas wacana Indonesia modern yang HAMKA sebut "muara Indonesia". Di sanalah Adiceritanya berada sekarang, membingkai masa lalu dan masa kini bagi jutaan orang yang tanpa mengenali suara HAMKA yang mendasari, menerima keyakinannya yang tak tertundukkan akan kemampuan manusia,

Kepercayaannya bahwa Islam adalah agama yang memerdekakan, dan impiannya mengisi kehidupan Indonesia modern dan negara itu sendiri dengan kebijaksanaan dan kebenaran Islam.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 255-259, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

MASALAH KHILAFIYAH DAN TENTANG TAKLID DAN IJTIHAD

Menurut berita Antara tanggal 27 November 1963 di negara bagian Johor dalam apa yang dinamai Malaysia, yang kepala negaranya ialah seorang sultan, pihak kerajaan telah mengeluarkan larangan peredaran buku Soal Jawab karangan Hassan Bandung.

Antara mengabarkan bahwa buku itu telah beredar selama 20 tahun. Alasan melarangnya ialah karena isinya tidak sesuai dengan paham agama Islam yang dipakai di negeri itu. Setelah 20 tahun beredar, baru sekarang rupanya ulama-ulama Kerajaan Johor sempat mengeluarkan larangan bagi peredaran buku itu.

Menurut pengetahuan kita, buku Soal Jawab karangan almarhum A. Hassan itu telah beredar bukan 20 tahun, tetapi lebih dari 32 tahun yang lalu, semasa Tuan A. Hassan masih tinggal di Bandung dan telah berulang kali dicetak, sampai kepada masa sekarang ini. Sehingga, namanya lebih masyhur waktu itu dengan Hassan Bandung. Kira-kira pada tahun 1940 beliau pindah dan mendirikan Pesantren di Bangil, lalu disebut orang pula beliau dengan Hassan Bangil. Bukunya telah tersiar di seluruh Semenanjung Tanah Melayu sejak 30 tahun dan telah banyak pengikut pahamnya di seluruh negeri itu.

Bahkan, di dalam Kerajaan Perlis, Undang-Undang Dasar Kerajaan itu telah terpengaruh oleh paham Ustadz Hassan, yaitu tidak lagi semata-mata mempertahankan Madzhab Syafi'i sebagai sumber hukum, melainkan telah langsung mengambil dari sumber aslinya, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah, sedang madzhab yang empat, termasuk Madzhab Syafi'i hanyalah sebagai alat peninjau (perbandingan) saja.

Apakah kesan yang dapat kita ambil dari berita di atas?

Tuan A. Hassan almarhum, sebagai salah seorang pelopor paham-paham baru dalam Islam di Indonesia dan Semenanjung Tanah Melayu telah menjawab berpuluh-puluh masalah yang ditanyakan orang, yang tidak lagi hanya semata-mata dijawab dengan jawaban kaum yang taklid, malahan telah dinyatakannya pendapatnya sendiri dan istimbath-nya sendiri, berdasar Al-Qur'an dan Sunnah.

Kaum kolot di Malaysia, yang dipelopori oleh Mufti Johor yang dahulu, pernah mengeluarkan larangan membaca tafsir Al-Furqan karangan A. Hassan, dengan alasan bahwa Tuan Hassan adalah memakai paham Darwin dan paham Sigmund Freud. Padahal, setelah dibaca orang dengan teliti tafsir itu, ternyata bahwa sama sekali A. Hassan tidak menyatakan paham yang menyerupai paham Darwin dan Freud.

Pernah juga dikeluarkan larangan membaca kitab-kitab karangan almarhum Kiai H. Munawar Khalil, karangan Prof. Hasbi ash-Shadiqqiy, pendeknya segala karangan yang dikeluarkan dari pertimbangan (pemikiran) yang bebas, yang tampak berbeda dengan kitab-kitab karangan ulama Muta'akhirin Madzhab Syafi'i. Tegasnya lagi, segala karangan yang tidak taklid terus disapu bersih.

Nyatalah bahwa larangan membaca buku-buku yang berbeda dengan pandangan kaum taklid itu suatu bukti kecemasan hati karena takut "kedaulatan" (privilege) akan runtuh karena pertahanan lain tidak ada. Tidak berani berhadapan dengan bertukar-pikiran, lalu menuduh siapa pun berpaham seperti Tuan A. Hassan itu adalah mengganggu kententeraman umum.

Paham yang membeku dalam agama adalah reaksioner. Mereka takut akan ada sumber fatwa lain yang keluar, yang akan mengurangi wibawa mereka. Mereka tidak mempunyai kesanggupan menentang hujjah dengan hujjah. Pada tahun 1957 H. Abu Bakar Asy'ariy dari Perlis mengeluarkan sebuah buku berjudul, Ibadah Rasulullah, pun ia mengeluarkan pendapat-pendapat yang baru bagi kaum taklid, tetapi soal biasa bagi orang yang berpandangan luas, dari Johor jugalah keluar larangan membaca dan mengedarkan buku itu.

Kerajaan Johor yang penduduk Melayunya hanya kurang lebih 300.000 orang mengeluarkan larangan. Namun, larangan saja yang keluar, padahal buku yang lebih dari Soal Jawab tetap keluar juga dan dibaca orang juga. Buku-buku yang membukakan peninjauan baru mengalir dari Mesir dan mengalir dari Indonesia.

Buku-buku hanya hasil kerja manusia yang mempunyai tinjauan aliran baru dalam Islam. Yang demikian akan keluar terus sebab pembatuan akan berjalan terus.

Kaum Tua di Johor dan sebagai umumnya kaum yang berpaham kolot hanya sanggup berbuat perbuatan yang negatif, menghalangi atau menghambat kebebasan paham, tetapi tidak sanggup menciptakan yang baru.

Jika mereka mengarang tentang fiqih, yang diulang-ulangnya hanyalah fiqih lama untuk 800 tahun yang lalu, tidak berani menyatakan fiqih (paham) yang baru. Jika mereka membuat tafsir, mereka hanya sanggup mengulang-ngulang karangan Assadiy Ka'bul Abbar dan Qatadah. Kalau ada penafsiran baru, akan dipanjang haram.

Syukurlah agama Islam mempunyai pokok dari Al-Qur'an dan Sunnah. Syukurlah Imam Syafi'i sendiri mengatakan bahwa, "Hadits yang shahih itulah madzhabku", kalau tidak, niscaya akan berkepanjanganlah daulat (kuasa) golongan yang menamakan dirinya ulama, Syekhul Islam, Mufti, Chief Qadhi yang menentukan hukum yang tidak boleh dibantah sehingga tidak begitu jauh lagi perbedaan kita dengan agama Katolik, yang siapa pun mengeluarkan pendapat yang berlainan dengan apa yang ditentukan kepala-kepala agama akan dikucilkan dari gereja.

Syukur pula di negara kita Indonesia ini tidak terdapat lagi perkongsian antara para sultan dengan para ulama kerajaan untuk menghambat kemajuan berpikir tentang agama. Perkongsian kanjeng bupati dengan kanjeng penghulu di zaman kolonial yang sengaja hendak membuat ketentuan agama dari Pengulon dan Kabupaten telah lama sirna, terutama sejak kita merdeka.

Sebagaimana juga Presiden Soekarno pernah menyatakan kita pun berkeyakinan bahwa hidup suburnya ruhul ijtihad dalam agama, yakni kebebasan berpikir, adalah salah satu syarat mutlak bagi timbulnya kepribadian bangsa.

Khilafiyah adalah cencang air tidak putus, yang satu berpendapat begini, dipandangnya dari satu sudut. Yang lain berpendapat begitu, dipandangnya dari sudut lain. Orang banyak sudah dapat memilih, dan jika dipilihnya satu pihak bukanlah artinya merugikan. Sebab, yang demikian itu menjadi alamat (pertanda) bahwa bangsa dalam negeri itu berpaham bebas dan bersemangat toleransi.

Namun, kalau mufti kerajaan Johor telah memulai memalui kekuasaan untuk menghentikan peredaran buku Soal Jawab, apatah lagi setelah 30 tahun paham Soal Jawab itu beredar, adalah tanda bahwa mereka tidak mempunyai lagi kekuatan pendirian dan keyakinan akan teguh-tahannya pendirian yang mereka pegang.

Oleh karena itu, tidak ada lagi alat lain, melainkan memakai kekuatan. Mereka tidak sanggup, atau istilah sekarang tidak becus untuk mengarang sebuah buku yang menarik hati supaya orang segera meninggalkan buku Soal Jawab itu, lalu pindah kepada buku yang dikeluarkan oleh mufti.

Saya sudah mengalami satu bukti bagaimana bangkrutnya (gagalnya) kekolotan dipertahankan dengan kekuasaan di Johor itu pada tahun 1960.

Mufti Johor telah mengenal saya sebagai Kaum Muda dan Wahabi dari Indonesia. Setelah mendengar bahwa saya akan datang ke beberapa negeri dalam Kerajaan Johor, mufti memerintahkan kepada seluruh qadhi dalam Kerajaan Johor untuk tutup pintu sekalian masjid dalam Kerajaan Johor buat HAMKA mengadakan syarahan (tabligh-ceramah).

Akhirnya apa yang terjadi? Saya masih berada dalam sebuah Guesthouse di Malaka, telah datang utusan dari D.O Muar (District Officer), setingkat Bupati di Indonesia, meminta supaya saya datang ke Muar mengadakan syarahan (tabligh-ceramah). Bukankah mufti melarang saya bersyarah di masjid? Tanya saya. Utusan D.O itu menjawab sambil tersenyum, "Kuasa mufti hanya di masjid, di tempat-tempat di luar masjid, seumpama tanah lapang tidak ada kuasa mufti. Apatah lagi kalau Tuan HAMKA yang bersyarah (tabligh) di masjid pun tidak juga akan muat."

Begitulah saya terus bersyarah di Sindian, Kluang, Batupahat, dan Kota Johor sendiri, di klub pertemuan atau di tanah lapang.

Apa jadinya kekuasan mufti kalau alat kerajaan yang lain, yang berkuasa pula di bidang lain tidak menghormati lagi larangan itu? Sebab, memang sudah satu kenyataan bahwa tidak lagi setiap orang merasa terikat atau taklid kepada Hassan Bandung atau buku-buku lain dari Sumatra dan Jawa?

Larangan Mufti Johor, meskipun sebuah negeri kecil, sebesar satu kecamatan atau kurang, dapat kita jadikan pula perbandingan bahwa memaksakan suatu paham agama dengan kekuasaan, payahlah akan berhasil, malahan itulah yang akan memecahkan persatuan.

Di zaman Khalifah Al-Ma'mun dari Bani Abbas yang memegang paham Mu'tazilah pun telah dipakainya pula kekuasaannya buat memaksakan paham Mu'tazilah-nya kepada ulama-ulama Ahlus Sunnah yang ada waktu itu. Menurut doktrinasi paham beliau, Al-Qur'an itu Kalam Allah, niscaya menurut logikanya, Kalam Allah itu qadim. Kalau dikatakan Kalam Allah, disamakanlah sifat-Nya dengan zat-Nya dalam keadaan sama-sama qadim, niscaya berserikatlah Allah dengan Kalam-Nya, dan sesatlah orang yang berpaham demikian.

Beliau membuat perintah harian dalam seluruh kerajaan supaya para ulama dipanggil ke istana dan diuji-paham. Siapa yang berkata Al-Qur'an kalam Allah, hendaklah disuruh tobat.

Imam Ahmad bin Hambal tidak mau menuruti paksaan itu. Beliau tetap pada pendiriannya, Al-Qur'an kalam Allah, titik. Tidak perlu disambung lagi.

Karena tidak mau menuruti logika Al-Ma'mun, beliau ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Ketika ia dalam penjara, Al-Ma'mun mangkat, digantikan oleh adiknya Al-Mu'thasim. Khalifah yang baru ini meneruskan rencana almarhum abangnya, dengan bantuan Qadhi Ibnu Abi Dawud.

Para ulama ditangkapi, ditanyai, siapa yang penakut menuruti saja yang didiktekan kerajaan. Siapa yang tak tahan, lari meninggalkan Baghdad, tetapi di negeri di luar Baghdad pertanyaan ini terus dilakukan, di-screening.

Akhirnya setelah 8 bulan dalam penjara, Imam Ahmad bin Hambal dijemput dari penjara dan ditanyai apakah pendiriannya masih tetap, Al-Qur'an kalam Allah? Dia menjawab tegas, "Tetap".

Dia mengeluarkan pendapat demikian, Al-Qur'an adalah Kalam Allah, dan seterusnya bahwa kalau ia kalam Allah, tentu ia qadim, tidak perlu diperbincangkan. Sebab, sejak dari Nabi Muhammad saw. tidak ada perbincangan demikian.

Ia tidak mau beranjak (bergeser) dari pendiriannya itu walaupun dipaksa.

Khalifah marah, ia pun dipukul, didera. Semua ia tahankan, sampai mengalir darah dari lukanya, padahal hari bulan puasa. Dengan penuh luka-luka ia dikembalikan ke penjara. Tengah malam datang utusan membujuk ia supaya taat kepada khalifah, menurut saja, in syaa Allah ia segera akan dikeluarkan. Namun, ia tetap tidak mau.

Ia taat kepada khalifah, tetapi ia tidak dapat mengubah keyakinan dalam agama.

Permohonannya kepada Allah hanya satu, kalau ia dipukul lagi janganlah kiranya kemaluan (aurat)nya terbuka dalam majelis pemeriksaan itu. Ia sudah bersedia untuk mati.

Akhirnya ia-lah yang menang. Khalifah membebaskannya dari tahanan dan al-Mu'thasim menyuruh dihentikan saja pemaksaan mengubah paham agama itu. Setelah al-Mu'thasim wafat, penggantinya al-Mutawakkil mengeluarkan perintah baru untuk mengubah perintah lama, orang tidak boleh dipaksa dengan kekerasan mengubah keyakinan agamanya. Asal ia tidak mengganggu ketenteraman umum.

Akhirnya bagaimana? Yaitu, setelah puluhan tahun di belakang?

Imam Ahmad bin Hambal dimasyhurkan orang dengan gelar, "Imam yang lulus ujian". Adapun ulama yang mengubah pendirian karena ketakutan, apabila bertemu nama mereka di dalam sanad riwayat hadits maka ahli hadits berkata, "Hadits yang dirawikan beliau ini tidak dapat dipercaya karena ia telah mengubah pendiriannya karena takut".

Syukurlah kita sekarang telah mempunyai negara merdeka dan berdaulat dalam abad XX, dan syukur pula karena presiden kita menghargai, bahkan pelopor dari kemerdekaan ijtihad sehingga praktik mufti di Johor, negara bagian Malaysia, tidak akan terjadi di sini.

Satu bukti lagi bahwa penjajahan selalu memupuk orang-orang ala mufti Johor.

Kita harus menyadari bahwa umat Islam seluruh dunia itu hanyalah satu. Meskipun terdapat beberapa perbedaan madzhab karena perbedaan peninjauan (sudut pandang), bukanlah itu gejala perpecahan, tetapi pertanda dari kemerdekaan berpikir.

Tidak ada perubahan juz dan surah, sekalipun perubahan titik dan baris.

Terutama di Indonesia ini. Kalau ada orang membuat propaganda (kampanye), barangsiapa berani menyatakan paham yang baru tentang khilafiyah bahwa orang itu telah keluar dari Islam, ketahuilah itu propaganda (kampanye) murahan yang hanya laku untuk golongan jahil yang terbatas.

Di dalam peta dunia yang disusun secara ilmiah, melalui riset yang mendalam tentunya, oleh sebuah universitas di Amerika (Princeton), Indonesia adalah termasuk penganut paham Sunni.

Titik temu paham lebih banyak daripada titik perbedaan. Yang jadi pokok dalam agama adalah aqidah. Pada umumnya aqidah pegangan umat Islam Indonesia adalah paham Asy'ariy, dan yang sedikit radikal, yaitu paham Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Namun demikian, ulama-ulama besar yang bertanggung jawab tidak ada yang menuduh bahwa Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim adalah "keluar dari Islam".

Pendirian tegas dari Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim adalah menentang keras ziarah kubur yang berlebihan dan me-wasilah-kan guru di dalam menghadap Allah.

Segi-segi yang mempertemukan umat Islam di Indonesia ini lebih banyak dari segi yang memisahkannya. Ia berselisih dalam hal furu' (cabang), bukan dalam hal ushul (pokok). Shalatnya masih sama, lima waktu. Perselisihan dalam hal penentuan awal puasa, apakah dengan ru'yah atau dengan hisab. Demi setelah Kementerian Agama, sejak 1951 benar-benar mengadakan ru'yah yang teliti sudah lebih sering terdapat persamaan memulai dan menutup puasa daripada perbedaan. Kalaupun sekali-sekali terjadi perbedaan, asal saja orang berlapang dada, tidak saling tuduh, dan tidak hendak menekan lawan, perbedaan permulaan dan penutupan puasa tidaklah perlu menjadi sebab perpecahan.

Kalau demikian, mengapa kadang-kadang timbul seakan-akan "perang dingin" di antara golongan-golongan umat Islam karena berlainan khilafiyah?

Padahal, khilafiyah mesti ada selama Islam memberi kebebasan ijtihad? Padahal, kedua belah pihak sama mengetahui bahwa khilafiyah yang timbul selama ini kebanyakan bukanlah mengenai hal pokok. Sebabnya ada 2:

1. Ada yang ingin mencari popularitas dengan membangkit-bangkitkan khilafiyah, dan disebarkan kepada orang awam,

2. Ada yang merasa popularitasnya terancam hilang kalau ada orang yang membawa soal (ide) baru.

Karena itu, khilafiyah yang tadinya semata-mata karena pertumbuhan keyakinan beragama, telah menjadi panas, dicampuri oleh perebutan pengaruh. Kian lama kian memanas hingga masuklah kepentingan politik.

Syekh Muhammad Abduh pernah berkata, "Laknat Tuhan atas politik. Kalau ia ( politik), telah masuk kepada perkara yang bersih, senantiasa dikotorkannya." Kata beliau pula, "Apabila politik telah masuk dari pintu depan, kebenaran terdesak lari ke pintu belakang."

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 67-73, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

KENANG-KENANGAN HIDUP

Setelah angin menjadi reda dan langit pun cerah, zaman lampau telah terlukis menjadi kenangan yang indah, dia datang ke Medan. Dia telah disambut sebagai ayah yang dicintai. Bukan saja oleh kaum Muhammadiyah, tidak kurang dari al-Jamilatul Washliyah. Terbayang dalam kenangan mereka wajah pemimpin mereka yang tidak ada lagi, Abdur Rahman Syihab (alm.), yang di kala hebatnya zaman Jepang itu, di mana kelihatan HAMKA, di sana kelihatan Syihab. Silaturahim diteruskan oleh pengganti-pengganti dan penyambut tugas almarhum sampai sekarang.

Kasih sayang yang terpadu dengan kaum Muhammadiyah lebih tampak lagi setelah dia datang ke Medan bersama istrinya, tidak berapa lama setelah dia keluar dari tahanan yang 2 tahun 4 bulan itu (Januari 1964 sampai Mei 1966). Di situlah, di dalam sambutan besar-besaran di Jalan Kamboja, Ustadz Haji Bustami Ibrahim meluahkan rasa hati yang terpendam selama ini, "Dia adalah guru kita... Tidak ada kita yang dapat melupakan dia. Bertambah jauh jarak masa perpisahan kita dengan dia bertambah jelas jejak langkah yang ditinggalkannya pada kita. Bertambah jauh tempat tinggalnya sekarang, bertambah dekat dia di hati kita. Ke mana saja kita pergi di daerah ini, yang tampak ialah pimpinannya." Dia bercakap sambil air matanya mengalir, yang hadir pun menitikkan air mata.

Dia, HAMKA yang perapuh hati itu pun, tidak sanggup mengangkat mukanya karena matanya basah karena air matanya mengalir lebat di pipinya. Dia pun tidak sanggup lagi membalas pidato sambutan sahabatnya itu. Ketika dia melihat ke kiri, dilihatnya istrinya pun tidak pula dapat menahan air matanya dan sapu tangannya menghapus hidungnya.

(Buya HAMKA, KENANG-KENANGAN HIDUP, Hal. 447-448, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2018).

AL-QUR'AN: LAFAZH DAN MAKNA

Sunnah Rasul, sejak dari perkataan-perkataan beliau sampai perbuatan orang lain yang tidak beliau tegur, dengan kerja keras para ahlinya telah terkumpul menjadi kitab-kitab hadits, mana yang mustafidh (sangat dikenal), mana yang shahih, mana yang hasan, dan mana yang dhaif.

Sunnah adalah pensyarah, penafsir, dan penjelasan bagi Al-Qur'an. Adapun Al-Qur'an itu sendiri bila diteropong dari segi Sunnah itu terbagi pada tiga bagian. Bagian Pertama, yaitu ia mengandung hukum-hukum yang bersangkutan dengan halal dan haram, faraidh dan wajibat (suruhan dan perintah yang mesti) atau yang dianjurkan (mandubat), atau yang dilarang dan dihukum siapa yang melanggarnya (mahzhurat).

Disamping itu, ialah beberapa peraturan, undang-undang, dan hukum yang berkenaan dengan Daulah Islamiyah (Kenegaraan Islam), atau lebih jelas lagi. Hal-hal ini dinyatakan dengan tegas tafsirnya oleh Sunnah Nabi dan akal tidak banyak kesempatan buat menerawang lagi mencari penafsiran yang lain daripada yang telah ditentukan oleh Nabi.

Kami jelaskan sekali lagi.

Kalau ada orang yang berani menafsir-nafsirkan saja Al-Qur'an yang berkenaan dengan ayat-ayat hukum yang demikian, tidak berpedoman pada Sunnah Rasul maka tafsirnya itu telah melampaui, keluar dari garis yang ditentukan oleh syari'at.

Sebab itu, tidak seyogianya, tidak masuk akal bahwa seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul berani-berani saja menafsirkan Al-Qur'an yang berkenaan dengan halal dan haram menurut kehendaknya sendiri, padahal Sunnah Nabi telah ada berkenaan dengan itu.

Nabi telah meninggalkan kepada kita jalan yang lurus dan jelas, malamnya sama terang dengan siangnya, dan selama-lamanya kita tidak akan tersesat dari dalam agama ini atau terpesong keluar dari dalam garisnya, selama kita masih berpegang teguh pada yang dua itu, yaitu Kitab dan Sunnah.

Maka, barangsiapa yang hendak mengenal fiqhil-Qur'an, tidaklah akan berhasil maksudnya kalau dia tidak mempelajari Sunnah. Seorang yang berani menafsirkan Al-Qur'an yang berkenaan dengan hukum dengan pendapatnya sendiri, padahal Sunnah ada, samalah halnya dengan orang yang masih saja memakai qiyas, padahal Nash sudah ada dalam hal yang dia tinjau itu. Orang yang bertindak demikian tidaklah lagi berpikir di dalam garis yang ditentukan oleh Islam.

Demikianlah kita uraikan tentang tiga sumber dari penafsiran, mengenai empat bidang dari isi Al-Qur'an yang akan ditafsirkan itu. Penafsiran Pertama hendaklah diambil dari sumber Sunnah Rasulullah Saw, Kedua dari penafsiran Sahabat-sahabat Rasulullah Saw, dan Ketiga dari penafsiran Tabi'in.

Bolehkah kita menambah pula? Tadi sudah dikatakan panjang lebar bahwa mengenai halal-haram, cara ibadah, nikah-talak-rujuk, pendeknya yang berkenaan dengan hukum, kita tidak boleh menambah tafsir lain.

Sebab, tafsiran yang lain bisa membawa bid'ah dalam agama.

Akan tetapi, dalam hal yang lain-lain terdapat pula perlainan pendapat ulama. Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa menafsirkan Al-Qur'an dengan ra'yi (pendapat sendiri), dengan tidak berdasar pada sumber yang telah ditentukan itu adalah haram.

Kalau beliau -Ibnu Taimiyah- tidak mendapat lagi bahan tafsir dari kata-kata Sahabat Rasulullah, beliau pun pindah ke pendapat Tabi'in. Namun, disini beliau lakukan saringan lebih keras, yaitu beliau ambil mana yang ijma di antara mereka. Kalau ada satu pendapat yang mereka perselisihkan, beliau pilihlah pendapat yang lebih dekat kepada bahasa Al-Qur'an (loghat) dan pengetahuan tentang Sunnah (ilmu Sunnah). Dengan pendirian dan cara demikian, beliau mempunyai keyakinan bahwa tidak ada satu ayat pun dari ayat yang 6.236 itu, yang tidak dapat ditafsirkan. Beliau dan orang-orang yang sepaham dengannya tetap berpendirian bahwa penafsiran Al-Qur'an tidak boleh dicampuri dengan pendapat sendiri.

Baik golongan Ibnu Taimiyah maupun golongan Imam Ghazali atau jalan lapang yang diberikan oleh al-Qisthallani, pendapat mereka sama bahwa menafsirkan Al-Qur'an menurut hawa nafsu sendiri atau mengambil satu-satu ayat untuk menguatkan satu pendirian yang telah ditentukan terlebih dahulu adalah terlarang (haram);

Penafsiran seperti ini adalah tafsiran yang curang.

Yang kedua ialah segera saja, dengan tidak menyelidiki terlebih dahulu, menafsirkan Al-Qur'an, karena memahamkan zahir maksud ayat, dengan tidak terlebih dahulu memperhatikan pendapat dan penafsiran orang yang dahulu. Dan, tidak memperhatikan 'uruf (kebiasaan) yang telah berlaku terhadap pemakaian tiap-tiap kata (lafazh) dalam Al-Qur'an itu. Dan, tidak mengetahui uslub (gaya) bahasa dan jalan susunan.

Hal yang semacam inilah yang dinamai berani-berani saja memakai pendapat sendiri (ra'yi) dengan tidak memakai dasar.

Inilah yang dinamai tahajjum atau ceroboh dan bekerja dengan serampangan.

Pendeknya, betapapun keahlian kita memahami arti dari tiap-tiap kalimat Al-Qur'an kalau kita hendak jujur beragama, tidak dapat tidak, kita mesti memperhatikan bagaimana pendapat ulama-ulama yang terdahulu, terutama Sunnah Rasul, pendapat Sahabat-sahabat Rasulullah, dan Tabi'in, serta ulama ikutan kita. Itulah yang dinamakan riwayah, terutama berkenaan dengan ayat-ayat yang mengenai hukum-hukum.

Dalam hal lain tadi, akal dan luasnya penyelidikan kita dalam berbagai ilmu adalah amat penting dan perlu dalam menafsirkan Al-Qur'an. Dengan syarat asal saja, akal itu jangan sampai menyeleweng dari Nur yang telah diterangkan oleh Syari'at!

Ulama-ulama yang terkemuka di dalam soal-soal tafsir telah pula menentukan dua syarat di dalam seseorang penafsir mengeluarkan pendapat yang baru dalam menafsirkan Al-Qur'an. Pertama, hendaklah sesuai pokok-pokok alasan yang dikeluarkannya dengan bahasa Arab, bahasa AI-Qur'an itu. Kedua, hendaklah paham baru itu jangan menyalahi pokok-pokok ajaran agama yang pasti (Ushuluddin al-Qath'iyah).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 25-36, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IMAM

"Ingatlah hari itu, yang akan Kami panggil tiap-tiap manusia dengan imam mereka. Maka barangsiapa yang diberikan kitabnya di tangan kanannya, mereka itu akan membaca kitab mereka dan tidak dianiaya sedikit jua pun. Dan barangsiapa di sini buta, maka di akhirat pun dia akan buta dan lebih sesatlah jalannya." (al-Israa': 71-72).

Menjadi perbincangan juga di antara ahli-ahli tafsir, siapa dan apa yang dimaksud dengan imam dalam ayat 71 ini.

Mujahid dan Qatadah menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan imam ialah nabi-nabi yang diutus Allah kepada tiap-tiap kaum. Sebab nabi-nabi atau rasul-rasul itu kelak akan dipanggil Allah menjadi saksi atas perbuatan umat mereka. (surah an-Nisaa' ayat 41). Malahan seketika ayat ini dibaca oleh Abdullah bin Mas'ud di hadapan Rasulullah saw. tidak tertahan air mata beliau.

Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, "Imam ialah kitab yang diturunkan Allah kepada seorang rasul dan disampaikan kepada umatnya, maka kitab itu kelak akan jadi saksi atas perbuatan mereka."

Tetapi, Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya, Mungkin sekali yang dimaksud dengan imam mereka di sini artinya ialah tiap-tiap kaum mengikut siapa yang diimamkannya. Orang-orang yang beriman, berimamlah mereka kepada nabi-nabi mereka, dan orang-orang kafir berimam pula kepada imam kafirnya. Sebab ada juga tersebut di dalam Al-Qur'an tentang imam-imam ikutan yang membawa orang ke neraka itu. (surah al-Qashash ayat 41). Dan pada sebuah hadits yang shahih bunyinya, "Sesungguhnya tiap-tiap umat itu akan mengikut apa yang dia sembah. Mana yang mengikut thawaghit (berhala-berhala atau manusia-manusia yang diberhalakan), maka mereka itulah yang diiringkannya." (Hadits Shahih). Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yang panjang, diriwayatkan oleh al-Bazzaar dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. pernah menerangkan tentang arti "setiap manusia akan dipanggil dengan imam mereka". Berkata beliau saw., "Seorang di antara mereka pun dipanggil lalu diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka bertambah tinggi semampailah tubuhnya, putih bersinar wajahnya, dan diletakkanlah ke atas kepalanya sebuah mahkota yang bertatahkan mutiara-mutiara yang berkilau-kilauan. Setelah itu kembalilah dia kepada teman-temannya. Dari jauh mereka itu telah melihat dia. Lalu mereka berkata, 'Ya Allah, beri pulalah kami yang serupa itu, dan beri berkatlah kami pada yang seperti itu.' Maka dia pun datang dan berkata, 'Senangkanlah hati kalian karena tiap-tiap kalian akan mendapat yang seperti ini pula.' Adapun orang yang kafir maka hitamlah mukanya dan tertonjollah tubuhnya, dan kelihatan pula dia oleh teman-temannya, lalu mereka pun berkata, 'Kami berlindung kepada Allah dari yang semacam ini, ya Allah, janganlah kami diberi yang semacam ini.' Maka kembalilah dia kepada mereka, lalu serentak berkata, 'Ya Allah, celakalah dia!' Orang itu pun berkata, 'Dijauhkan Allah kamu setiap kamu akan mendapat seperti aku juga.'"

Di sini dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa yang dijadikan imam itu ialah siapa yang kita pilih dari masa kita hidup ini. Kalau terpilih imam yang membawa kepada kesesatan, karena kurangnya perjalanan akal sendiri, kecelakaanlah yang akan menimpa. Apatah lagi pada ayat 61 sampai 65 di atas telah dijelaskan oleh Allah bahwa Iblis telah mengatakan bahwa dia akan merayu membujuk dan menipu agar keturunan Adam dapat mengikuti perintahnya dan dapat mengangkatnya jadi imam. Dan Allah telah mengizinkan Iblis berbuat begitu. Dan Allah pun menegaskan bahwa hamba-hamba-Ku ('Ibadi) tidaklah dapat engkau kuasai dan engkau pengaruhi. Maka diutuslah oleh Allah imam-imam sejati yang akan diikut.

Imam kita umat Muhammad ialah Muhammad saw. itu sendiri. Bagaimana langkah kita menuruti jejak beliau tertulislah di dalam kitab yang kelak akan kita terima pada Yaumul Hisab, hari perhitungan. Kalau benar-benar Muhammad yang kita ikut, kitab kesaksian imamah itu akan kita terima dari sebelah kanan dan kita akan membacanya dengan gembira, sepicing kelam pun kita tidak akan teraniaya. Karena tulisan itu jelas, yang kita teladan pun jelas. Imam selain dari Muhammad adalah imamat yang buta. Jalan tak tentu ujung, meraba-raba dalam gelap. Sampai ke ujung gelap juga.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 315-316, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HIKMAT ILAHI

Di dalam surah al-Baqarah ayat 257, diterangkan perbandingan jiwa orang yang berwali kepada Allah dengan orang yang berwali kepada Setan. Adapun orang yang berwali kepada Allah, Allah akan mengeluarkan mereka dari gelap gulita ruhani-ruhani pada terang benderang (nur) iman. Namun, orang yang berwali pada thaghut, yaitu Setan halus dan Setan kasar, berhala atau manusia yang diberhalakan, atau yang disebut tirani, yang di dalam bahasa Arabnya disebut juga thaghiyah, yang satu rumpun bahasanya dengan thaghut tadi, thaghut ini mencabut mereka dari terang kepada gelap. Kalau tadinya iman mereka sudah ada, lantaran berwali pada thaghut, iman itu kian lama kian kabur, yang akhirnya bisa habis. Mereka kadang-kadang menyesal, tetapi tidak dapat lagi melepaskan diri dari ikatan thaghut itu.

Tepatlah apa yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah tatkala beliau telah dipenjarakan karena hasad dengki musuh-musuhnya. Pada waktu beliau hidup, dia hanya manusia biasa, bukan berpangkat, bukan berkuasa. Maka, pihak-pihak yang berkuasa mempergunakan kekuasaan untuk menahan beliau sehingga bertahun-tahun lamanya beliau meringkuk dalam penjara. Sebabnya hanya satu, yaitu jiwanya tidak bisa dibeli dengan pangkat. Maka, berkatalah beliau kepada muridnya, Ibnul Qayyim, yang sama-sama dipenjarakan orang, "Apakah lagi yang didengkikan oleh musuh-musuhku kepadaku? Penjara itu bagiku adalah untuk berkhalwat dan pembuangan adalah untuk menambah pengalaman! Orang yang terpenjara ialah yang dipenjarakan oleh hawa nafsunya dan orang yang terbelenggu itulah yang telah dibelenggu oleh Setan."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 51, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEMULIAAN JIWA

"Katakanlah, 'Ya, Tuhan yang memiliki segala kekuasaan. Engkau berikan kekuasaan kepada barangsiapa yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari barangsiapa yang Engkau kehendaki dan Engkau muliakan barangsiapa yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan barangsiapa yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebaikan. Sesungguhnya, Engkau atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Kuasa.'" (Aali 'Imraan: 26).

Ulama-ulama yang memegang waratsah (pusaka) dari nabi-nabi adalah mempunyai kemuliaan jiwa, yang raja-raja sendiri bila berhadapan dengan dia adalah laksana khadamnya. Kalau Imam Malik masuk ke majelis khalifah-khalifah Bani Abbas, semua yang hadir terpaksa berdiri sebab yang berdiri terlebih dahulu adalah Khalifah sendiri. Khalifah merasa dirinya hina dan kotor, munafik di hadapan ulama-ulama yang jujur dan bersedia mati untuk menegakkan kebenaran Allah itu. Itulah sebabnya, raja-raja dan penguasa kerapkali mempergunakan jabatan tinggi, gaji besar, kehormatan, uang bertumpuk-tumpuk untuk membeli kemuliaan ulama itu. Itu sebabnya, al-Mu'tashim yang gagah perkasa, yang telah menangkap Imam Hambali dan membenamkannya dalam penjara selama 30 bulan, akhirnya kalah oleh semangat Imam Hambali yang tidak mau mengubah pendiriannya walaupun dipaksa dengan berbagai ancaman dan penghinaan. Adapun ulama-ulama yang lemah jiwanya, yang hanya otaknya yang penuh dengan ilmu-ilmu agama, inilah yang kerapkali terjual dan tergadai ke dalam istana raja-raja dan penguasa-penguasa tertinggi. Kalau ada ulama semacam ini, penguasa itu merasa legalah berbuat maksiat dalam negara, menindas rakyat, mengisap darah dan mengganggu rumah tangga orang. Sebab, ulama yang akan menegurnya yang cukup mempunyai 'izzah (pribadi) tidak ada lagi. Mulut ulama yang telah mendekati istana itu sudah tidak bisa bicara lagi sebab telah disumbat dengan emas. Na'udzu billahi min dzalik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 608, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RENUNGAN BUDI

Ada sabda Nabi, "Bahwa orang-orang yang berpengetahuan itu (ulama) adalah penerima warisan daripada nabi-nabi." Orang yang merasa dirinya telah berpengetahuan banyak dan luas dalam agama lalu merasa dirinya telah patut bergelar ulama pula kerapkali berbangga dengan hadits ini. Mereka rupanya lupa bahwa yang diwarisi dari nabi-nabi itu bukanlah semata-mata ilmunya saja, tetapi kebebasan pribadinya. Ulama-ulama seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i dan Imam Hambali dan ulama lain yang mengikuti jejak mereka patutlah disebut penerima waris nabi-nabi. Tetapi orang-orang yang pendiriannya dapat dibeli atau disewa lalu menyebut dirinya ulama bukanlah penerima waris nabi melainkan perusak agama nabi.

(Buya HAMKA, LEMBAGA BUDI: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 188, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

MENGULANGI KENANGAN

Sesudah Jepang jatuh, namanya menjadi tumpuan segala fitnah dan penghinaan, terutama kepada pihak-pihak yang merasa.

1. Tidak patut orang yang bukan bangsawan, yang bukan berdarah raja tampil ke hadapan hendak memimpin rakyat di Sumatra Timur ini.

2. Tidak patut seorang pemuka dari golongan Islam Kaum Muda, Sumatra Thawalib, apatah lagi Muhammadiyah, yang berpahaman Wahabi, berjalan ke mana-mana di seluruh Kesultanan dan Kerajaan di Sumatra Timur.

(Buya HAMKA, KENANG-KENANGAN HIDUP, Hal. 441-442, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2018).

APA YANG AKAN DIDAKWAHKAN?

SATU DENGAN DUA PENJELASAN

Pertama, yang utama sekali ialah menjelaskan aqidah islamiyah, yaitu pokok-pokok kepercayaan Islam atau di dalam bahasa yang sangat populer dalam kalangan umat Muslimin ialah rukun iman. Dasar aqidah Islam itu ialah Tauhid, artinya pengakuan atas keesaan Allah SWT. Pokok utama dari kepercayaan ini diambil langsung dari Al-Qur'anul Karim. Di sanalah terdapat ajaran Tauhid yang satu dengan dua penjelasan, yaitu Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah.

(Buya HAMKA, PRINSIP DAN KEBIJAKSANAAN DAKWAH ISLAM, Hal. 287, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

SIFAT ALLAH

Bahkan, keadaan ini adalah seperti yang dikatakan salah seorang Imam ikutan, yaitu Nu'aim bin Hammad al-Khuza'i, guru dari Imam Bukhari. Kata beliau, "Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya adalah KAFIR, dan barangsiapa yang tidak mau percaya akan sifat Allah yang telah dijelaskan-Nya sendiri tentang dirinya, dia pun KAFIR." Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, "Pembicaraan orang tentang soal ini memang banyak. Tetapi, madzhab yang baik ditempuh dalam hal ini ialah Madzhab Salaf yang shalih, yaitu: Imam Malik dan al-Auzai dan ats-Tsauri dan al-Laits bin Sa'ad dan asy-Syafi'i dan Ahmad dan Ishaq bin Rahawaihi dan ulama-ulama ikutan kaum Muslimin yang lain, yang dahulu dan yang kemudian. Yaitu, membiarkannya sebagaimana yang tersebut itu, dengan tidak menanyai betapa dan tidak pula menyerupakan-Nya dan tidak pula menceraikan-Nya dari sifat." Dan ini pun menjadi pedomanlah bagi kita tiap-tiap bertemu ayat-ayat yang seperti ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 438, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MUSYRIK

"Setengah dari manusia ada yang mengambil yang selain Allah menjadi tandingan-tandingan ... Dan sekali-kali tidaklah mereka akan keluar dari neraka." (al-Baqarah: 165-167).

Sebab itu, masa buat memperbaiki diri bukanlah pada waktu itu, melainkan di masa sekarang ini, sedang kesempatan masih ada. Dengan ayat ini, jelaslah bahwasanya pimpinan yang diikut selain dari pimpinan Allah atau pemuka-pemuka yang menentukan pula peraturan halal dan haram, lain dari peraturan Allah dan diikut pula peraturan itu menyerupai mengikut peraturan Allah, sudahlah menjadikan pemuka itu tandingan-tandingan Allah, sudahlah mempersekutukan mereka itu dengan Allah. Lantaran itu, mempersekutukan atau mengadakan tandingan-tandingan itu bukanlah semata-mata menyembah-nyembah dan memuja-muja saja, melainkan kalau pemimpin atau pemuka-pemuka membuat peraturan lalu peraturan mereka lebih diutamakan dari peraturan Allah maka terhitunglah orang yang mengikuti itu dalam lingkungan musyrik, mempersekutukan pemuka-pemuka itu dengan Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 306, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

LEBIH JAHAT

"Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling daripadanya padahal kamu mendengar. Dan, janganlah kamu jadi seperti orang-orang yang berkata, 'Kami telah mendengar', padahal tidaklah mereka mendengar. Sesungguhnya sejahat-jahat makhluk yang merayap di sisi Allah ialah orang-orang yang pekak, tuli, bisu dan yang tidak mempergunakan akal." (al-Anfaal: 20-22).

Kalau akal budi yang padam, hidupnya sebagai manusia tidak berarti lagi. Dia menjadi lebih hina daripada binatang, sebab dia menjadi manusia yang tidak berguna.

Maka, di dalam tiga ayat ini berturut-turut kita telah diberi tahu nilai pendengaran, memasang telinga dan memasang hati. Niscaya maksud pendengaran yang terutama di sini ialah mendengar ajaran Rasulullah, mendengar pengajaran agama sebaik-baiknya buat diamalkan. Mendengar Al-Qur'an dibacakan dan hadits Rasulullah diperkatakan.

Niscaya yang dimaksud dan yang utama buat didengar, ialah perintah-perintah Allah dan larangan-larangan-Nya untuk kebahagiaan hidup kita sendiri. Mendengar buat dipahamkan dan mendengar buat diamalkan.

Kembali ke pangkal surah tadi, yaitu sehendaknya mendengar pembacaaan ayat-ayat Allah itu menambah bagi iman kita. Kalau iman tidak bertambah lantaran mendengar pembacaan Al-Qur'an, samalah kita dengan seburuk-buruk binatang merayap yang disebutkan oleh ayat tadi, atau lebih jahat dari itu, yaitu bertambah mendengar, bertambah jauh dari Al-Qur'an.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 684-685, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BERSUMPAH

"Dan janganlah kamu jadikan Allah sebagai penghalang bagi sumpah kamu (yang menghalangi kamu) berbuat kebajikan dan bertakwa dan mendamaikan di antara manusia. Dan, Allah adalah Maha Mendengar dan Mengetahui. Tidaklah diperhitungkan oleh Allah apa yang sia-sia pada sumpah kamu. Akan tetapi, akan diperhitungkan kamu oleh apa yang diusahakan dia oleh hati kamu. Sedang Allah adalah Maha Pengampun, lagi Maha Penyayang." (al-Baqarah: 224-225).

Untuk penafsiran kedua ayat ini, baik ayat 224 yang melarang kita menjadikan Allah jadi sasaran sumpah atau penghalang berbuat baik maupun ayat 225 yang memberi ampun kepada orang yang telanjur berkata sumpah yang bukan dari hati, baiklah kita jadikan pegangan perkataan Imam Syafi'i. Beliau berkata, "Aku tidak pernah memakai sumpah, baik pada yang benar maupun pada yang dusta." Kalau kita tiru pula kebiasaan orang-orang Arab, yang sampai diberi maaf oleh Al-Qur'an karena tersendat-sendat mulutnya, sebentar-sebentar menyebut wallah, kita takut nama Tuhan akan diperingan-ringan saja sehingga turun mutunya karena kealpaan kita. Hendaknya janganlah sampai kita menyebut-nyebut nama Allah dan bersumpah-sumpah dalam hal yang kecil-kecil, kadang-kadang hanya dalam perkara menguatkan suatu perkataan kecil, sehingga lama-lama kepercayaan orang kepada kita pun menjadi luntur karena sudah murah-murah saja bersumpah, yang kian lama kian dapat diketahui orang bahwa kita adalah seorang pembohong. Orang mudah bersumpah seperti inilah yang dicela Tuhan, sebagai pertanda dari orang kafir, sebagai tersebut di dalam surah al-Qalam: 10, "Dan janganlah kamu turuti tiap-tiap orang yang suka bersumpah yang rendah hina."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 432-433, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-FAATIHAH (PEMBUKAAN)

Di dalam ayat pembukaan ini, kita telah bertemu langsung dengan Tauhid, yang mempunyai dua paham itu, yaitu: Tauhid Uluhiyah pada ucapan Alhamdu Lillaahi dan Tauhid Rububiyah pada ucapan Rabbil 'Aalamiin.

Al-Qur'an itu berisi kabar yang menggembirakan bagi orang yang taat dan patuh. Kebahagiaan di dunia dan surga di akhirat yang di dalam istilah agama disebut wa'ad, ini telah terkandung di dalam ayat "shirathalladzina an'amta 'alaihim (jalan yang telah Engkau beri nikmat atasnya)." Al-Qur'an pun memberikan ancaman siksa dan adzab bagi orang yang lengah dan lalai, kufur dan durhaka, yang disebut wa'id.

Maka, tersimpul pulalah kata Al-Qur'an ini pada ujung surah, tentang orang yang maghdhub (terkena murka Allah) dan orang yang dhaallin (orang yang sesat).

Demikian pula, Al-Qur'an menceritakan keadaan umat-umat yang telah terdahulu, yang telah binasa dan hancur karena dimurkai Allah, dan diceritakan juga kaum yang sesat dari jalan yang benar, itu pun telah tersimpul di dalam kedua kalimat maghdhubi dan dhaallin itu.

Dalam Al-Qur'an, banyak bertemu ayat-ayat yang menerangkan jika Nabi Muhammad saw. bertanya kepada kaum musyrikin penyembah berhala itu, siapa yang menjadikan semuanya ini, pasti mereka akan menjawab, "Allah-lah yang menciptakan semuanya!"

"Padahal jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan semua langit dan bumi dan menyediakan matahari dan bulan, pastilah mereka akan menjawab, 'Allah!' Maka, bagaimanakah masih dipalingkan mereka." (al-'Ankabuut: 61).

Dan, banyak lagi surah-surah lain mengandung ayat seperti ini.

Tentang Uluhiyah mereka telah bertauhid, hanya tentang Rububiyah yang mereka masih musyrik. Maka, dibangkitkanlah kesadaran mereka oleh Rasul saw. supaya bertauhid yang penuh.

Siapakah yang dimurkai Allah? Ialah orang yang telah diberi kepadanya petunjuk, telah diutus kepadanya rasul-rasul telah diturunkan kepadanya kitab-kitab wahyu, tetapi dia masih saja memperturutkan hawa nafsunya. Telah ditegur berkali-kali, tetapi teguran itu, tidak juga dipedulikannya. Dia merasa lebih pintar dari Allah, rasul-rasul dicemoohkannya, petunjuk Allah diletakkannya ke samping, perdayaan Setan diperturutkannya.

Maka, betapalah perasaan kita, wahai insan yang ghafil, kalau Allah yang murka kepada kita? Kita pun akan dihadirkan juga ke hadapan Allah bersama orang yang lain. Namun, kalau Allah murka kepada kita, akan betapalah sikap kita. Dan, Allah pun berfirman memang ada orang yang tidak akan dilawan bercakap oleh Allah pada waktu itu karena murka-Nya, sebagaimana tersebut di dalam surah Aali 'Imraan: 77 tentang orang yang memperjualbelikan janji Allah dan mempermudah-mudah sumpah karena mengharapkan harga yang sedikit. Padahal, walaupun mendapat tukaran harga sebesar bumi dan langit, masih amat sedikit juga, karena ada yang akan dibawa ke akhirat.

"Itulah orang yang tidak ada bagian untuk mereka di akhirat dan tidaklah Allah akan bercakap dengan mereka dan tidak akan memandang kepada mereka di Hari Kiamat dan tidak Dia akan membersihkan mereka, dan bagi mereka adzab yang pedih." (Aali 'Imraan: 77).

Orang yang dimurkai ialah yang sengaja keluar dari jalan yang benar karena memperturutkan hawa nafsu, padahal dia sudah tahu. Orang yang telah sampai kepadanya kebenaran agama lalu ditolak dan ditantangnya. Dia lebih berpegang pada pusaka nenek moyang, walaupun dia telah tahu bahwa itu tidak berat. Maka, siksaan adzablah yang akan dideritanya.

Adapun orang yang sesat ialah orang yang berani-berani saja membuat jalan sendiri di luar yang digariskan Allah. Tidak mengenal kebenaran atau tidak dikenalnya menurut maksudnya yang sebenarnya.

Orang-orang yang telah mengaku beragama pun bisa juga tersesat. Kadang-kadang karena terlalu taat dalam beragama lalu ibadah ditambah-tambah dari yang telah ditentukan dalam syari'at sehingga timbul Bid'ah. Disangka masih dalam agama, padahal sudah terpesong ke luar.

Nasrani tersesat karena sangat cinta kepada Nabi Isa al-Masih. Mereka katakan Isa itu anak Allah, bahkan Allah sendiri menjelma menjadi anak, datang ke dunia menebus dosa manusia.

Maka, bagi kita umat Islam yang membaca al-Faatihah ini sekurangnya 17 kali sehari semalam, hendaklah diingat jangan sampai kita menempuh jalan yang akan dimurkai Allah pula, sebagai Yahudi. Apabila satu kali kita telah memandang bahwa pelajaran yang lain lebih baik dan berguna daripada pelajaran Nabi Muhammad saw., mulailah kita diancam oleh kemurkaan Allah. Di dalam surah an-Nisaa': 65, sampai dengan sumpah Allah menyatakan bahwa tidaklah mereka beriman sebelum mereka ber-tahkim kepada Nabi Muhammad saw. di dalam hal-hal yang mereka perselisihkan dan mereka tidak merasa keberatan menerima keputusan yang beliau putuskan, dan mereka pun menyerah sebenar-benar menyerah. Kalau ini tidak kita lakukan, pastilah kita kena murka seperti Yahudi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 57-78, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).