Selasa

BUYA HAMKA TENTANG BID'AH, WASIAT ALLAH DAN ASWAJA (AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH) SEJATI

Waspadalah! Strategi Licik Felix Siauw Pengasong Khilafah Londoniyah untuk Merebut Hati Warga NU

suaraislam.co/waspadalah-strategi-licik-felix-siauw-pengasong-khilafah-londoniyah-merebut-hati-warga-nu

MENCINTAI AHLI BAIT

Dituduh kami kaum Wahabi. Siapa kaum Wahabi? Ia ialah pengikut ajaran Muhammad Abdul Wahab an-Najdi yang hidup pada kurun ke-12 Hijrah al-Mustafa (kurun kelapan belas Miladiyah). Dari mana dia mengambil pelajarannya? Dari karangan-karangan Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dan mazhab mereka ialah Hanbali. Oleh itu, mereka bermazhab Ahli Sunnah Wal Jama'ah juga. Mengapa nama Wahabi itu sangat dicela dan dibenci orang? Sebab mereka berontak melawan pemerintah Turki Uthmani yang beratus tahun menjajah Tanah Arab. Maka, karena Turki amat benci kepada kaum yang telah mulai membuka mata bangsa Arab ini, berlomba-lombalah ulama yang condong kepada kuasa Turki mengarang buku-buku buat mencela kaum ini, sehingga Almarhum al-Sayyid Zaini Dahlan tidak segan-segan menuduh bahwa Muhammad Abdul Wahab itu ada pertalian keturunannya dengan Musailamah al-Kazab. Lihat kitab Futuhat al-Islamiyah. Sebab-sebab yang diambil alasan buat mencela kaum Wahabi adalah karena mereka sangat menentang pemujaan kepada kubur yang telah dipandang orang sebagaimana orang musyrikin menyembah berhala. Buku-buku mencela Wahabi itu tersebarlah di negeri kita sehingga kata Wahabi dipandang sebagai kata penghinaan.

Memang, apabila orang yang telah kehabisan hujjah dan alasan, mereka pun kembali memakai perkakas fitnah. Dan inilah yang menyebabkan berpecah-belah umat Islam, berkaum tua berkaum muda. Bagi kami yang dikatakan Kaum Muda itu tidaklah keberatan jika dituduh sebagai Wahabi. Kalau 20 atau 30 tahun yang lalu, semasa pengetahuan agama hanya boleh dipercayai oleh mufti-mufti saja, mungkin orang takut dikatakan Wahabi. Tetapi sekarang orang telah tahu pula bahwasanya Wahabi tidak lain daripada penganut Mazhab Hanbali dan memang Mazhab Hanbali terkenal akan mazhab yang keras mempertahankan Sunnah. Dan orang yang berpengaruh dalam memperbaharui fahaman Mazhab Hanbali itu ialah Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim. Oleh sebab itu, bagi kami dituduh Wahabi bukanlah penghinaan. Jika dituduh pula kami pengikut Ibnu Taimiyah atau Ibnul Qayyim, maka tidaklah pula bagi kami penghinaan. Kaum Tua pun suka kepada kitab Zaadul Ma'ad, karangan Ibnul Qayyim seperti kami juga. Cuma kami memakai pangkal kitab dan Kaum Tua suka kepada kitab itu karena ada satu fasal dalamnya tentang ilmu jadi dukun atau tabib. Kedua-dua ulama besar itu juga sangat dicela oleh penganut Mazhab Syafi'i yang berkuasa pada waktu itu. Ibnu Taimiyah seorang alim besar, bebas dan tajam berfikir, maka timbullah hasad dengki daripada pihak yang berkuasa pada waktu itu. Lawannya yang paling besar ialah al-Subki ulama Syafi'i yang berkuasa, sehingga berkali-kali Ibnu Taimiyah masuk penjara.

(BUYA HAMKA, TEGURAN SUCI DAN JUJUR TERHADAP MUFTI JOHOR, JT Books PLT Malaysia, Cet. II, 2021).

BANGUN DAN BENTUK SUATU BANGSA

"Dan bagi tiap-tiap umat ada ajalnya ..." (al-A'raaf: 34).

Perhatikanlah! Dahulu kaum Quraisy sebagai pelopor pertahanan jahiliyyah menguasai masyarakat Arab, menguasai peribadatan dan thawaf keliling Ka'bah dengan telanjang, dengan bersiul dan bertepuk-tepuk tangan dan Ka'bah mereka kelilingi dengan 360 berhala. Mereka runtuh karena keruntuhan akhlak. Waktu beribadah keliling Ka'bah mereka bertelanjang, mereka tidak memakai pakaian sehelai benang jua. Dengan alasan karena pakaian yang dipakai penuh najis dan dosa. Namun, kebatinan mereka sendiri, ruh mereka sendiri lebih telanjang lagi karena kejahatan-kejahatan yang mereka perbuat, yang zahir dan yang batin, kemesuman, perzinaan. Mereka berbuat dosa dengan niat yang salah (al-itsmu) dan mereka merugikan orang lain (al-baghyu) dan mereka persekutukan yang lain dengan Allah dan mereka berani membuat-buat suatu peraturan yang mereka katakan agama, padahal mereka katakan atas Allah hal-hal yang tidak mereka ketahui.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DOSA TAHLILAN DAN YASINAN LEBIH BESAR DARI DOSA MEN-ZINAHI IBU KANDUNG SENDIRI!?

youtube.com/watch?v=wHOuTcUy7ys

DOSA YANG LEBIH BESAR DARI DOSA SYIRIK

[4] Mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu). (Al A'raf: 33)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini, "... Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari'at-Nya." [I'lamul muwaqqi'in hal. 31, Dar Kutubil 'Ilmiyah].

muslim.or.id/41186-dosa-yang-lebih-besar-dari-dosa-syirik.html

Adanya Bencana dan Wabah dengan Sebab Dosa dan Maksiat, Berdasarkan Penjelasan Imam Ibnul Qoyyim | Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

youtube.com/watch?v=Hl6roEmUiw0

Gerakan Muhammadiyah Singapura menerbitkan semula buku "Teguran Suci Dan Jujur Terhadap Mufti Johor" oleh HAMKA yang telah diterbitkan oleh persatuan Muhammadiyah Singapura edisi pertama pada 1958; seterusnya melalui laman maya, internet, blog dan bermacam-macam saluran kesemuanya digunakan untuk merosakkan fahaman Ahli Sunnah wal Jamaah; Fahaman Wahhabi menggunakan istilah BID'AH sebagai manhaj atau metodologi fahaman mereka; Jadi untuk mengenali golongan ini, "bila sikit-sikit bid'ah" yang diperkatakan, itulah golongan Wahhabi.

mufti.johor.gov.my/images/uploads/dokumen/terbitan/albayan_9_bidah.pdf

Madu Saffron dari Tersangka Teroris untuk Densus 88

Jauh sebelum rentetan kejadian penangkapan, Farid bercerita mengagumi Buya Hamka yang bisa menghasilkan buku Tafsir Al-Azhar dari dalam penjara.

suara.com/news/2021/12/07/080500/madu-saffron-dari-tersangka-teroris-untuk-densus-88

Teladani Figur Buya Hamka untuk Hadapi Dinamika Bangsa

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol Suhardi Alius mengajak seluruh anak bangsa untuk meneladani figur dan pemikiran Abdul Malik bin Haji Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Buya Hamka.

jpnn.com/news/teladani-figur-buya-hamka-untuk-hadapi-dinamika-bangsa

Klaster Tahlilan di Grogol, Rumah Warga Disemprot Disinfektan

kompas.tv/article/96494/klaster-tahlilan-di-grogol-rumah-warga-disemprot-disinfektan

Surat dari Tanah Mangkasura:
Bersatu Dalam Akidah, Toleransi Dalam Furu' dan Khilafiyah
PERJALANAN TERAKHIR BUYA HAMKA:
Sebuah Biografi Kematian

PANGGILAN JIHAD

Merindukan kembali hadirnya ulama besar seperti beliau...

Semoga menjadi inspirasi semangat generasi muda Islam...

eramuslim.com/video/mengenang-panggilan-jihad-buya-hamka-setiap-kuliah-subuh-di-rri.htm

BID'AH

Kalau bukanlah Al-Qur'an benar-benar terjamin keaslian isinya, niscaya agama Muhammad ini akan tertimbun pula keasliannya oleh Bid'ah-Bid'ah yang diadakan orang yang datang di belakang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 559, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AL-QUR'AN TERPELIHARA

PERINGATAN RASULULLAH

Dari al-Haris bin Awar (semoga Allah meridhainya), sesungguhnya dia berkata, aku pernah lalu di dalam masjid, maka kelihatan olehku orang berkumpul-kumpul membicarakan beberapa hal berdalam-dalam. Maka masuklah aku menghadap Ali bin Abi Thalib, lalu aku kabarkan kepadanya hal itu. Dia pun bertanya, "Sudah mereka perbuatkah begitu?" Aku jawab, "Memang!" Maka beliau pun berkata: Adapun saya telah mendengar Rasulullah saw. berkata:

"Ketahuilah olehmu bahwasanya akan timbul kelak fitnah." Lalu aku bertanya: "Bagaimanakah jalan keluar dari fitnah itu, ya Rasulullah?" Beliau pun menjawab: "Jalan keluar ialah kitab Allah. Di dalamnya diceritakan keadaan yang sebelum kamu dan perkabaran yang sesudah kamu, dan menghukum di antara kamu. Katanya pasti, bukan olok-olok. Siapa saja yang meninggalkannya, karena takut akan suatu kekuasaan, bermusuhanlah dia dengan Allah. Siapa saja yang mencari petunjuk keluar dari ketentuannya, niscaya dia akan disesatkan Allah. Dialah tali Allah, yang teguh. Dialah peringatan yang bijaksana. Dialah jalan yang lurus. Dia tak dapat diputarbalikkan oleh hawa-nafsu manusia. Dia tidak dapat diperkacaukan oleh lidah. Dan tidaklah akan kenyang-kenyangnya ulama daripadanya. Dan tidaklah dia akan usang dan luntur karena kerap dibaca. Dan tidaklah akan habis-habis keajaibannya. Dialah yang tidak tertahankan oleh jin bila mendengarnya hingga mereka berkata: "Kami mendengar akan Al-Qur'an yang amat ajaib, memberi petunjuk kepada jalan yang cerdik, maka percayalah kami dengan dia." Maka siapa saja yang berkata dengan dia, benarlah perkataannya. Siapa saja yang beramal dengan dia diberi pahala. Dan siapa saja yang menjatuhkan hukum dengan dia, adillah hukumnya. Dan siapa saja yang menyeru manusia kepadanya, memberi petunjuklah dia kepada jalan yang lurus." (HR. Imam Tirmidzi).

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM Jilid 2, Hal. 73-74, Republika Penerbit, Cet.1, April 2018).

MUSYRIK

"Dan sekali-kali tidaklah mereka akan keluar dari neraka." (al-Baqarah ujung ayat 167).

Mempersekutukan atau mengadakan tandingan-tandingan itu bukanlah semata-mata menyembah-nyembah dan memuja-muja saja, melainkan kalau pemimpin atau pemuka-pemuka membuat peraturan lalu peraturan mereka lebih diutamakan dari peraturan Allah maka terhitunglah orang yang mengikuti itu dalam lingkungan musyrik, mempersekutukan pemuka-pemuka itu dengan Allah.

IKUTLAH APA YANG DITURUNKAN ALLAH!

"... Ikutlah apa yang diturunkan Allah! ..." (al-Baqarah: 170).

Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah Setan. Janganlah kamu mencari tandingan-tandingan yang lain lagi bagi Allah. Janganlah kamu katakan terhadap Allah hal-hal yang kamu tidak tahu.

SUDAH TEGAS SEKALI

"... Marilah kepada apa yang diturunkan oleh Allah dan kepada Rasul ..." (al-Maa'idah: 104).

Sumber agama, sebagai yang diserukan pada ayat ini sudah tegas sekali, yaitu peraturan dari Allah dan Rasul.

Di luar itu, BID'AH namanya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 306-310, Jilid 3 Hal. 55, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SEPENUH PADATNYA JAHANNAM BERSAMA IBLIS

"Dia berkata, 'Demi sebab Engkau telah menyesatkan daku, maka sungguh akan aku halangi mereka dari jalan Engkau yang lurus itu.'" (al-A'raaf: 16).

Allah telah menghukum dia termasuk golongan yang sesat, martabatnya telah dijatuhkan dari kedudukan yang mulia pada kehinaan, sesudah dianggap orang besar, sekarang sudah jatuh jadi kecil karena sombongnya. Dalam ayat ini diterangkan, dia tidak menyesal atas hukuman yang demikian, malahan sebagai pepatah bangsa kita dia telah bersikap: "Kepalang mandi, lebih baik basah kuyup". Jangan tanggung-tanggung. Oleh sebab itu, dia nyatakanlah maksudnya, yaitu kesempatan luas panjang yang diberikan kepadanya itu akan dipergunakannya menghalangi manusia itu dari jalan Allah yang lurus.

"Kemudian itu." (al-A'raaf pangkal ayat 17).

Artinya setelah keinginan itu diberikan kepadanya, menghalangi manusia di dalam menempuh jalan Allah yang lurus, Ash-Shirathal Mustaqim, Iblis menyatakan rencananya kepada Allah: "Aku akan mendatangi mereka dari hadapan mereka dan dari belakang mereka dan dari kanan mereka dan dari kiri mereka." Artinya, dari segala pelosok aku akan datang menghalangi jalan mereka itu dari muka belakang dari kanan dan dari kiri sehingga tidaklah mereka akan aku biarkan berjalan di atas jalan itu dengan mudah.

"Dan tidaklah akan Engkau dapati kebanyakan mereka itu berterima kasih." (al-A'raaf ujung ayat 17).

Dengan ujung ayat 17 ini, Allah memberi peringatan kepada kita bahwa sebab yang terbesar makanya manusia tidak berterima kasih ialah karena mereka telah kena oleh rencana perdayaan Setan dan Iblis! Telah kena subversi dengan berbagai gangguan dari Setan dan Iblis.

"Dia berfirman, 'Keluarlah engkau daripadanya dalam keadaan terhina dan terusir. Sesungguhnya barangsiapa yang mengikuti engkau dari mereka, sesungguhnya akan Aku penuhkan Jahannam dengan kamu sekalian.'" (al-A'raaf: 18).

Dapat kita simpulkan bunyi ayat bahwa dengan murka Allah, Iblis diusir dengan hina dari tempat yang mulia itu. Dia boleh menjalankan rencananya yang jahat itu. Namun, awaslah karena barangsiapa yang memasuki tipu daya Iblis itu akan dimasukkan ke dalam Jahannam bersama-sama si Iblis. Dengan ini, si Iblis diancam dan orang-orang yang mengikutinya itu pun diancam. Keduanya kelak akan menjadi isi neraka.

Kisah dari Adam dan Iblis ini diulang-ulangi Allah di dalam beberapa surah. Sejak surah al-Baqarah, al-A'raaf, al-Hijr, al-Israa', al-Kahf dan Thaahaa, semuanya yang satu melengkapkan yang lain. Di dalam surah al-Hijr ayat 42 dan di dalam surah al-Israa' ayat 65, disebutkan sambutan Allah kepada Iblis ketika dia meminta kesempatan hendak memperdayakan manusia itu bahwa Allah dengan tegas menjawab, bahwa hamba-hamba-Ku atau orang-orang yang menghambakan dirinya kepada-Ku tidaklah dapat engkau kuasai. Dan dahulu di dalam surah al-Baqarah ayat 38 pun ditegaskan pada pesanan Allah ketika Adam dan Hawa disuruh keluar dari dalam surga itu bahwa barangsiapa yang mengikuti akan petunjuk-Ku tidaklah dia ketakutan atas mereka dan tidak pula akan ada duka cita! Artinya usah gentar gangguan Iblis!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 382-383, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BERAGAMA TURUT-TURUTAN SAJA (TAKLID)

"Apakah kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui." (al-A'raaf ujung ayat 28).

Apa sebab kamu katakan atas Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui?

Inilah pertanyaan yang tepat kepada orang yang mengamalkan sesuatu amalan tidak berdasar pengetahuan.

Ayat ini memberikan pimpinan kepada kita bahwa sesuatu amalan agama, suatu ibadah tidaklah sah kalau hanya karena turut-turutan kepada nenek moyang saja.

Kita wajib mencari sumber ibadah itu dari sumber asalnya, dari Allah dan tuntunan Rasul saw. dan yang tidak bersumber dari sana, mengada-ada, itulah yang disebut Bid'ah.

Oleh sebab itu, menjadi kewajibanlah bagi ahli-ahli agama mengadakan amar ma'ruf nahi munkar terhadap perbuatan mengada-ada yang berkenaan dengan ibadah itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 398-399, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SIAPAKAH YANG TAHAN DAN TEGUH HATI MENEMPUH JALAN YANG BENAR?

"(Yaitu) orang-orang yang menjauh dari dosa-dosa yang besar dan yang keji-keji." (an-Najm pangkal ayat 32).

Dosa-dosa yang besar ialah mempersekutukan Allah dengan yang lain, berkata tentang Allah tetapi tidak dengan pengetahuan, lancang memperkatakan soal-soal agama, padahal ilmu tentang itu tidak ada.

Adapun yang keji-keji adalah yang menyakiti orang lain dan merusakkan budi pekerti, sebagai mencuri harta kepunyaan orang lain, berzina, membunuh sesama manusia.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 550-551, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENDAHULUAN

Ilmu dalam Islam adalah yang ada dasar dan dalilnya, terutama dari dalam Al-Qur'an dan dari As-Sunnah, termasuk juga penafsiran ulama-ulama yang telah mendapat kepercayaan dari umat, yang disebut Salafus Shalihin.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 305, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

TANDA KIAMAT TELAH DEKAT

"Katakanlah, 'Sukakah kamu, Kami beritahukan kepada kamu yang serugi-rugi amalan? (Yaitu) orang-orang yang sesat usahanya di kala hidup di dunia, padahal mereka menyangka bahwa mereka telah mengerjakan yang baik.'" (al-Kahf: 103-104).

Tenaga sudah habis, padahal sejak semula telah sesat memilih jalan. Allah telah menunjukkan dan memimpinkan jalan yang lurus dan bahagia, mereka tidak mau menempuh jalan itu. Mereka membuat jalan sendiri semaunya. Mereka mendahulukan kehendak hati sendiri dan mengabaikan dan tidak mengacuhkan tuntunan Allah.

Akhirnya bertemulah sebagai pepatah,

"Arang habis besi binasa, tukang mengembus payah saja."

"Maka gugurlah amalan-amalan mereka."

Di sini terdapat perkataan habithat yang kita artikan gugur dan dalam bahasa yang popular di Minangkabau ialah melepas hawa. Arti habithat ialah laksana perut yang gembung besar karena masuk angin. Kelihatan sepintas lalu, perutnya besar karena kenyang, padahal isinya hanya angin! Serupa dengan orang yang ditimpa penyakit busung lapar. Maka gugurlah amalan yang tidak mempunyai rencana yang diridhai oleh Allah! Perut gembung isinya tak ada. Akhirnya jadi penyakit. Angin keluar dan perut yang buncit jadi kempis dan yang keluar itu sangatlah busuknya!

"Seraya tidak akan Kami adakan bagi mereka pertimbangan di hari Kiamat." (ujung ayat 105).

Sudah pasti begitulah jadinya. Yaitu tidak akan ada amalannya yang patut masuk timbangan di hari Kiamat, karena amalan itu hanya besar bungkus tak berisi. Tidak ada yang penting buat dimasukkan ke dalam mizan (timbangan), tidak ada harganya! Inilah yang tersebut di dalam sebuah hadits yang dirawikan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah,

Dari Abu Hurairah, berkata dia, berkata Nabi saw., "Sesungguhnya akan datanglah seorang laki-laki besar dan gemuk di hari Kiamat itu kelak namun berat timbangannya di sisi Allah tidaklah sampai seberat sehelai sayap nyamuk." (HR. Bukhari dan Muslim).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 436-437, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

NABI MENYERU KEPADA JALAN YANG LURUS

"Sesungguhnya engkau mengajak mereka kepada jalan yang lurus." (al-Mu'minuun ayat 73).

Garis lurus adalah jarak yang paling dekat di antara dua titik. Titik pertama ialah pihak hamba ('abdun) dan pihak kedua ialah pihak tempat menghambakan diri (ma'bud).

Meskipun garis itu lurus dalam ukuran namun dalam kenyataan dia banyak berbelok. Dan banyak gangguan buat sampai ke dalam garis itu. Gangguannya yang utama ialah Setan Iblis dan hawa nafsu manusia. Dengan jalan lurus itu manusia diangkat martabatnya dari tabiat aslinya, yaitu kebinatangan. Yang mempunyai nilai-nilai tujuan hidup hanyalah manusia. Kedatangan nabi-nabi dan rasul-rasul ialah menuntut insani dalam mencari jalan yang lurus itu. Yang sukar hanyalah sebelum jalannya bertemu. Apakah insan mempunyai pangkalan tempat bertolak pertama, yaitu kepercayaan kepada Allah SWT dan tujuan perhentian terakhir, hidup yang kedua kali sesudah hidup ini, bertemulah dia sudah dengan jalan itu. Sebab "ash-Shirathal Mustaqim" adalah iman itu sendiri. "Ash-Shirathal Mustaqim" ialah jalan yang di muka sekali dipandui oleh Rasulullah saw.

Tetapi rayuan untuk keluar kembali dari jalan itu, atau menyeleweng dan mengencong banyak sekali. Iman menyuruh kita percaya kepada perkara-perkara yang tidak tampak oleh mata. Hanya sekali-kali tampak orang mati, lalu timbul keinsafan melihat mayat terbujur. Nanti sore hilang lagi. Rayuan duniawi, kemegahan dan kemewahan, ketenangan yang hanya sebentar, fatamorgana, bayangan panas di padang pasir yang disangka air. Nanti kalau sudah ditempuh barulah ketahuan, bahwa itu bukan air, melainkan gejala panas.

Seorang Nabi menerima tugas berat untuk membawa manusia ke dalam garis lurus itu. Orang yang sakit kadang-kadang tidak mau kalau penyakitnya diobati. Dia mau menempeleng muka dokter seketika suntikan ditusukkan ke dalam lengannya, padahal yang dituju dokter adalah kesehatan dirinya. Sebab itu dijelaskan pada ayat yang berikutnya,

"Tetapi sesungguhnya orang-orang yang tidak percaya akan hari Kemudian, berpaling jua dia dari jalan yang lurus itu."

Sebab itu di dalam menegakkan jalan yang lurus tidaklah diadakan tolak-angsur.

"Supaya Dia kukuhkan kebenaran dan Dia hancur-leburkan kebatilan walaupun orang yang durjana tidak menyukainya." (al-Anfaal: 8).

Jalan yang lurus membujuk merayu kepada yang mau, tetapi tidak memberi kepada yang ingkar. Sebab di antara hak dengan batil tidaklah dapat didamaikan, dikompromikan.

Maka diberilah mereka peringatan, sekali lagi peringatan, supaya kembali segera ke dalam jalan yang lurus. Sebab bagi Allah SWT membukakan satu pintu yang di dalamnya bergelora adzab dan siksaan adalah perkara mudah belaka. Telah berapa banyak umat yang terdahulu hancur musnah karena adzab siksa itu, tidak seorang pun yang dapat membebaskan dirinya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 214-215, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DISIPLIN PENDIRIAN

"Katakanlah: 'Wahai sekalian manusia! Sungguh telah datang kepada kamu suatu kebenaran dari Allah kamu. Maka barangsiapa yang inginkan petunjuk, maka tidaklah dia mengambil petunjuk itu, melainkan untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat, maka tidaklah lain kesesatannya itu ialah kecelakaan atas dirinya sendiri. Dan tidaklah aku ini menjadi wakil atas kamu.'" (Yuunus: 108).

Seruan ini pun selalu menjadi baru, menjadi hidup, untuk selama-lamanya, walau berapa pun jauh jarak zamannya dengan Nabi Muhammad saw. kepada seluruh manusia, termasuk umat yang dalam pengakuannya atau dalam silsilah keturunannya, mengaku atau disebut umat Muhammad saw.

Bahwa kalau umat yang menyebut diri umat Muhammad itu tidak lagi beragama dengan mempergunakan akal dan berpikir, dan telah terpesong jauh dari garis Tauhid, tidaklah lagi dia menjunjung kebenaran dan jauhlah anutannya dari yang diajarkan Muhammad saw.

"Maka barangsiapa yang inginkan petunjuk, maka tidaklah dia mengambil petunjuk itu melainkan untuk dirinya sendiri."

Artinya, kalau kebenaran yang dibawa Rasul saw. ini telah diterima, disambut, ditampung, dan dijalankan sebagaimana mestinya sehingga sesuailah hidup itu dengan kebenaran wahyu, yang akan beruntung bukanlah orang lain, melainkan diri sendiri. Sebaliknya,

"Dan barangsiapa yang sesat, maka tidaklah lain kesesatannya itu ialah kecelakaan atas dirinya sendiri."

Ini jalan kebenaran sudah ditunjukkan!!!

Jika manusia tidak mau menuruti jalan itu, niscaya sesatlah dia. Karena jalan yang lurus yang ditentukan Allah itu, atau kebenaran itu hanya satu, tidak dua.

Kalau manusia menempuh jalan selain dari yang satu itu, pastilah dia tersesat. Kalau tersesat, pastilah dia rugi dan celaka.

Jalan Allah hanya satu, lurus dan tidak bersimpang-siur.

Di samping jalan Allah yang satu itu terdapatlah berbagai jalan yang bersimpang-siur.

Nabi pernah membuat garis lurus di atas pasir, dengan telunjuknya yang mulia. Kemudian beliau berkata,

"Inilah jalan-Ku!"

Setelah itu beliau buat pula garis-garis lain, menghadap ke kiri atau ke kanan, dan beliau pun berkata,

"Sekalian garis ini adalah jalan Setan, dan akan tersesatlah kamu kalau jalan-jalan ini yang kamu tempuh."

Sekiranya umat yang telah berjarak dengan Rasul saw. sampai berabad-abad seperti kita ini akan mencari dalih, mengatakan bahwa kami tidak tahu-menahu, sebab kami tidak berjumpa dengan Rasul saw., bukankah segala ajaran Rasul itu telah dijadikan Kitab? Bukankah ulama-ulama mempunyai tanggung jawab, sebagai penerima waris Rasul melanjutkan kewajiban itu?

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 512, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

WASIAT ALLAH

10. "Dan bahwa sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus. Sebab itu, turutilah dia." (al-An'aam pangkal ayat 153).

Kesembilan wasiat Allah yang dimulai pertama dengan melarang syirik menegakkan tauhid, diakhiri dengan menyempurnakan segala janji dengan Allah, dikumpul dan dikebat menjadi satu, jadilah ia jalan yang lurus. Jalan Nabi Muhammad saw. atau jalan Allah yang ditunjukkan kepada Muhammad saw.

Maka, disampaikanlah seruan umum kepada manusia, khususnya umat yang telah beriman, supaya bersama-sama menempuh jalan lurus itu, jalan Rasul itu. Dan dengan menyuruh tempuh jalan lurus itu, menjadilah wasiat sepuluh perkara.

"Dan jangan kamu turuti jalan-jalan (lain), karena itu akan memecah-belahkan kamu daripada jalan-Nya."

TEGASNYA, JALAN YANG LURUS HANYA SATU.

Yaitu yang digariskan oleh Allah.

Dengan petunjuk Allah, Nabi Muhammad saw. telah menempuh jalan Allah yang satu dan lurus itu. Asal jalan Muhammad itu yang kamu turuti maka itulah jalan Allah. Sebab Muhammad menempuh jalan itu dengan tuntunan wahyu. Jalan inilah yang dijamin sampai pada tujuan. Lain dari jalan yang satu itu, ada lagi bermacam-macam jalan, bersimpang-siur jalan. Yakni jalan yang dibuat Setan atau jalan yang dibuat khayalan manusia.

Jalan Syirik, jalan Khurafat, dan jalan Bid'ah.

Kadang-kadang diperbuat oleh manusia, dikatakannya agama, padahal bukan agama. Datanglah lanjutan ayat tadi, jangan dituruti jalan yang bersimpang-siur itu. Karena kalau masing-masing kamu menuruti salah satu jalan itu, niscaya kamu akan berpecah-belah, bercerai-berai. Kadang-kadang di pangkal jalan seakan-akan sama, padahal di ujung jalan sudah jauh terpisah.

Di dalam praktik sehari-hari, kita diwajibkan bershalat menghadap ke kiblat. Dengan sedaya upaya ijtihad kita, dari tempat yang dekat dari Ka'bah kita yakinkan letak Ka'bah dengan mata. Di luar Masjidil Haram, kita jelaskan di mana letak masjid. Di luar Kota Mekah kita ijtihad di mana letak negeri Mekah. Hendaklah kita berusaha agar kiblat kita itu tepat hendaknya. Karena kalau terkencong saja sedikit, niscaya ujung penglihatan sudah jauh letak ukurannya daripada kiblat yang sejati.

Maka ditafsirkanlah ayat ini oleh sabda junjungan kita sendiri Muhammad saw. yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al-Bazzaar, Abusy-Syaikh, Al-Hakim, dan sebagian besar dari ulama-ulama tafsir, mereka terima dari Abdullah bin Mas'ud. Berkata Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah saw. telah membuat suatu garis dengan tangannya, lalu beliau berkata:

"Inilah jalan Allah yang lurus." (HR. Imam Ahmad, al-Bazzar, Abusy-Syaikh, dan al-Hakim).

Kemudian, beliau menggaris-garis pula dengan tangannya beberapa garis lain, di samping kanan garis pertama tadi dan di samping kirinya, lalu beliau berkata,

"Dan yang ini semua adalah jalan-jalan yang tidak ada daripadanya satu jalan pun, melainkan ada saja Setan yang menyeru kepadanya."


Setelah berkata demikian, kata Ibnu Mas'ud, beliau membaca ayat ini,

"Dan bahwa sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, sebab itu turutilah dia, dan jangan kamu turuti jalan-jalan (lain) karena itu akan memecah-belahkan kamu daripada jalan-Nya."

Dan ada lagi beberapa hadits lain.

Berkata Ibnu Arthiyah,

"Jalan yang bersimpang-siur banyak itu termasuk Yahudi, Nasrani, Majusi, dan sekalian agama-agama buatan manusia dan tukang-tukang bid'ah dan penyesat dan ahli-ahli hawa nafsu yang suka membuat-buat perkara ganjil dalam furu' dan yang lain-lain yang suka memperdalam berdebat dan menggali-gali ilmu kalam. Semuanya bisa membawa tergelincir dan membawa iktikad yang sesat."

Berkata pula Qatadah,

"Ketahuilah bahwasanya jalan yang benar hanya satu, yaitu jalan jamaah yang dapat petunjuk. Tujuannya berakhir adalah surga. Dan iblis membuat pula berbagai jalan yang bersimpang-siur. Yang dibentuknya ialah jamaah yang sesat dan tujuannya yang terakhir ialah neraka."

"Ash-Shirathal Mustaqim" memang hanya satu.

Lain dari itu adalah jalan bersimpang-siur tak tentu arah dan tujuan. Meskipun ada yang bernama agama, ia adalah agama yang batil, bikinan dan khayal manusia, diubah-ubah, ditambah-tambah, sehingga hilang yang asli karena tambahan, hilang yang asal karena yang pasal. Demikian juga segala maksiat karena menuruti jalan Setan. Asal dituruti jalan yang bersimpang-siur itu, terpecah-belahlah umat, sengsaralah yang akan terjadi.

Di penutup, Allah menyatakan dengan tegas,

"Demikianlah Dia wasiatkan kepada kamu, supaya kamu semuanya bertakwa." (ujung ayat 153).

Di ayat 151, diperingatkan supaya mengerti dan mempergunakan akal. Sebab hanya dengan mempergunakan akal sajalah pengertian akan tumbuh, sehingga agama dipeluk dengan keinsafan. Di ayat 152 diperingatkan supaya selalu ingat. Ingat kepada Allah dan ingat akan batas-batas yang tidak boleh dilampaui, agar selamat. Maka, di ayat 153 ini diperingatkan pula agar kamu semuanya bertakwa.

Kita pun telah mengerti apa maksud yang luas dari takwa itu, yaitu memelihara dan menjaga. Memelihara hubungan yang baik dengan Allah dan memelihara juga hubungan yang baik dengan manusia. Karena apabila kita terlepas dari kedua tali kendali itu, yakni tali Allah dan tali manusia, akan sengsaralah hidup kita, dunia dan akhirat. Dengan tetap pada jalan yang lurus yang satu itu, yaitu jalan Allah yang ditempuh Nabi, dijamin Allah bahwa kita akan terpelihara dari segala mara bahaya hidup yang akan mengganggu iman kita. Karena dengan iman yang disertai amal, dengan itulah kita akan selamat menempuh hidup ini, dunia dan akhirat.

Berkata an-Nasa'i,

"Ingat dan perhatikanlah! Mula-mula ayat ini diujungi dengan 'afalaa ta'qiluna', apakah tidak kamu pergunakan akal? Ayat sesudah itu ditutup dengan 'afalaa tadzakkaruuna', apakah tidak kamu ingat? Dan setelah itu diujungi dengan 'tattaquuna', menyuruh takwa. Karena apabila mereka telah mempergunakan akal, niscaya mereka selalu beringat-ingat, artinya mereka mengambil pengajaran dari peringatan itu. Kalau mereka telah ingat, niscaya mereka takwa, artinya selalu menjaga diri jangan sampai berbuat yang dilarang oleh Allah."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 340-341, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Padahal cukuplah Jahannam jadi pembakar." (ujung ayat 55).

Jalan yang benar hanya satu.

Jalan yang salah bersimpang-siur.

Menolak kebenaran, tidak lain, hanyalah mempersulit diri sendiri.

Di ujung ayat yang lampau telah dikatakan Allah, barangsiapa yang membelok daripada jalan yang lurus, Jahannam atau neraka, itulah akan tempatnya.

Tidak lain.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 328, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SOAL JAWAB AHLI SURGA DENGAN AHLI NERAKA

"(Yaitu) orang-orang yang memalingkan (manusia) daripada jalan Allah." (pangkal ayat 45).

Jalan Allah adalah jalan lurus.

Orang yang bertujuan baik masuk ke dalam jalan itu.

Namun, orang yang sekarang KEKAL DALAM NERAKA ini kala di dunia telah berusaha menarik, menghimbau dan kalau perlu mencoba menghambat jalan lurus itu atau membendungnya sehingga manusia-manusia itu terpelanting ke jalan lain.

Kalau diingat lagi janji sumpah Iblis kepada Allah bahwa mereka hendak memperdayakan Adam sampai kepada keturunannya agar mereka terpaling daripada jalan Allah yang lurus (ayat 15).

Jelaslah bahwa orang-orang yang zalim ini telah menjadi kaki-tangan Setan.

Maka, mereka inilah yang telah disebutkan Allah dalam ayat 18 bahwa mereka bersama Setan Iblis itu akan diambil sepenuh padatnya Jahannam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 422-423, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-FAATIHAH. Maka, semua penafsiran tadi dapatlah digabungkan menjadi satu: Shirathal Mustaqim memang agama yang benar dan itulah agama Islam. Dan, sumber petunjuk dalam Islam itu tidak lain ialah Al-Qur'an. Semuanya dapat diambil contohnya dari perbuatan Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabat beliau yang utama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 74, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan kalau kiranya Kami binasakan mereka dengan satu siksa dari sebelumnya, niscaya mereka akan berkata: "Ya Allah kami! Mengapa tidak Engkau utus kepada kami seorang rasul, agar kami ikut ayat-ayat-Mu, sebelum kami jadi hina dan kami jadi rendah?"

Oleh sebab itu tidaklah Allah tiba-tiba menyiksa orang saja lantaran bersalah, padahal belum diberitahukan oleh Allah dengan perantaraan utusannya mana dia yang salah itu.

Ayat inilah satu di antara beberapa ayat yang jadi pokok perselisihan pendapat di antara Madzhab Ahlus Sunnah atau Madzhab Salaf dengan Kaum Mu'tazilah.

Menurut Kaum Mu'tazilah, yang buruk dan yang baik itu telah sedia diketahui oleh manusia semata-mata dengan akalnya, meskipun syariat belum datang.

Tetapi Madzhab Ahlus Sunnah yang dipelopori oleh Abul Hasan al-Asy'ari dan Abul Manshur al-Maturidi menantang pendapat Mu'tazilah itu dan mengatakan yang buruk dan baik ditentukan oleh Allah. Mungkin dalam hal yang ringan akal dapat mengetahui perbedaan yang buruk dengan yang baik, namun yang demikian itu belumlah dijamin kekukuhannya. Karena mungkin ada yang baik menurut suatu kaum, tetapi buruk pada pandangan kaum yang lain. Atau mungkin ada yang buruk pada suatu masa, dipandang baik di masa yang lain. Sedang buruk dan baik setelah ditentukan Allah dengan wahyu menetaplah dia dalam ukuran kemanusiaan dan bilamana ditimbang-timbang kembali dengan akal, ternyata kemudian bahwa buruk dan baik yang dituntunkan oleh Allah dengan wahyu itulah yang lebih sesuai dengan akal yang murni.

Dan dalam hal sesuainya ketentuan wahyu dengan akal yang murni itu, kembali pula terdapat persamaan pendapat di antara Ahlus Sunnah dan Mu'tazilah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 634, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BAB AQIDAH KLIK DISINI: (Aqidah Abul Hasan al-Asy'ari dan para pengikutnya, Imam Malik, al-Auzai, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa'ad, asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaihi, dan ulama-ulama ikutan kaum Muslimin yang lain, yang dahulu dan yang kemudian).

BUYA HAMKA SOSOK TELADAN: Pengawal Akidah Umat

kemenag.go.id/home/artikel/12724

KLIK DISINI: TENTANG PEMBERANTASAN LCBT (LINGKARAN CHURAFAT BID'AH TAHAYUL) TERKUTUK

KLIK DISINI: TENTANG TAHLILAN, KIRIM HADIAH FATIHAH, TAWASSUL DAN WASILAH

Nasrani dapat kita ketahui serba sedikit, sebab zending dan misi agama ini berusaha menyebarkan agama mereka. Mereka bukan saja menjadi 71 atau 72 golongan, yang disebut Sekte, bahkan golongan Protestan yang memisahkan diri dari Katholik saja, tidak kurang dari 200 sekte, masing-masing mendakwakan bahwa gereja merekalah yang benar, dan yang lain sudah agama lain. Pengikut Sekte Method's misalnya, tidak akan suka memasuki gereja Baptis. Apalagi orang Katholik akan masuk ke gereja Protestan.

Dalam Islam, belumlah sampai separah itu. Namun, karena kurang hati-hati, sampailah di Mekah sendiri pada 1925 itu pengikut Madzhab Hanafi tidak mau shalat di belakang imam Madzhab Syafi'i dan demikian pula yang lain.

Syukurlah Raja Abdul Aziz Ibnu Sa'ud bertindak menyatukan shalat kembali. Dengan kenyataan sejarah ini, nyarislah bertemu ancaman Rasulullah saw. bahwa umatnya akan mengikuti jejak Bani Israil, terompah atas terompah (setapak demi setapak). Sampai beliau ancamkan bahwa perpecahan itu bukan lagi madzhab, bahkan telah menjadi millah, yang berarti agama juga. Peringatan Rasulullah saw. yang demikian, bukanlah menerangkan suatu takdir yang mesti diikuti, melainkan menyuruh agar jangan sampai meniru. Sebab, beliau katakan bahwa yang akan selamat hanya satu, yaitu yang mengikuti ajaran beliau dan sahabat-sahabat beliau jua.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 353, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

INSAN DAN IBLIS

Ini jadi peringatan dari Allah bahwa selama manusia masih tetap berjalan di atas jalan ash-Shirathal Mustaqim itu, perdayaan setan iblis tidaklah akan mempan.

Tempat kesudahan bagi insan yang mengikut setan iblis sudah nyata, yaitu Jahannam.

Dan tempat untuk orang yang bertakwa pun telah terang pula,

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa adalah di dalam surga dan telaga-telaga." (ayat 45).

"Beritakanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Aku adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang." (ayat 49).

Ayat ini diturunkan Allah, setelah Dia menerangkan nikmat yang akan diterima oleh orang-orang yang disesatkan oleh iblis. Sebab Allah Yang Maha Kuasa mengetahui perasaan hamba-Nya pada waktu menerima rangkaian ayat-ayat ini. Kita akan bertanya dalam hati kita sendiri, demi membaca janji-janji Allah itu, "Betapalah nasibku ini! Aku sudah banyak berbuat salah. Aku sudah kerapkali digoda setan dan iblis, aku selalu memperturutkan hawa nafsuku, akan dapatkah agaknya aku merasakan juga nikmat surga yang dijanjikan itu."

Laksana doa dan munajat yang terkenal dari Imam Syafi'i,

Ya Tuhanku! Tidaklah orang semacam aku ini pantas buat masuk ke dalam surga Firdaus.

Tetapi aku pun tidak kuat jika Engkau masukkan ke dalam neraka Jahim.


Maka anugerahilah tobat dan ampuni dosaku.


Karena sungguhlah Engkau pengampun bagi dosa betapa pun besar.


Rintihan jiwa hamba-hamba-Nya yang demikianlah yang disambut oleh Allah dengan ayat 49 ini.

Janganlah kamu berputus asa hai hamba-Ku. Lekaslah engkau sadar dan kembalilah kepada-Ku. Jangan dituruti juga kehendak iblis itu. Aku sambut pulangmu. Jika selama ini telah terlanjur memperturutkan kehendak hawa nafsu dan perdayaan iblis, mulai sekarang kembalilah ke jalan yang benar. Tidak ada jalan lain yang lebih selamat dari itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 140-144, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KETAATAN KEPADA PENGUASA

KESIMPULAN

Dua ayat 58 dan 59 dari surah an-Nisaa' adalah dasar yang dipimpinkan oleh Allah dengan wahyu sebagai pokok pertama di dalam mendirikan sesuatu kekuasaan atau sesuatu pemerintahan. Yang pertama ialah menyerahkan amanah kepada ahlinya. Tegasnya, hendaklah seluruh pelaksana pemerintahan, seluruh aparat pemerintah diberikan kepada orang yang bisa memegang amanah, orang yang ahli. Hak yang pertama ialah pada rakyat atau dalam istilah agama, pada umat. Pilihan pertama ialah pucuk pimpinan negara, atau sultan, atau khalifah, atau presiden. Angkatan orang banyak yang pertama ialah dengan baiat. Orang banyak berjanji pula akan tetap memegang amanah.

Setelah dia terpilih, dia pun diberi kewajiban oleh Allah menyerahkan atau menunaikan amanah kepada ahlinya pula. Tidak pandang pilih kasih anak atau keluarga.

Setelah itu hendaklah dia menegakkan keadilan. Kalau menghukum di antara manusia hendaklah menghukum dengan adil.

Apakah ada pemisahan di antara pelaksanaan pemerintahan dengan kehakiman? Atau Trias Politika?

Ini tidak dibicarakan oleh Al-Qur'an. Ini adalah menilik perkembangan masyarakat itu sendiri. Tetapi Sayyidina Umar bin Khaththab dalam masa pemerintahannya telah mengangkat hakim terpisah dari kekuasaan beliau. Itulah Qadhi Syuraih yang terkenal. Qadhi Syuraih betul-betul terkenal keadilannya menjalankan hukum.

Setelah ulil amri terpilih, dengan sendirinya dia mempunyai hak buat ditaati. Tetapi dia sendiri pun mempunyai kewajiban. Sebab, setiap hak ada imbangannya dengan kewajiban. Supaya dia ditaati dia mesti menjalankan sepanjang Al-Qur'an dan as-Sunnah dan ijtihad yang tidak terlepas dari dalam rangka Al-Qur'an dan as-Sunnah.

"Dan inginlah Setan hendak menyesatkan mereka, sesat sejauh-jauhnya." (ujung ayat 60).

Keinginan Setan ialah supaya orang itu jangan bulat percaya kepada Allah. Jangan yakin bahwa peraturan Allah adalah sumber telaga dari segala peraturan. Sedang hukum-hukum buatan manusia, kalau tidak bersumber dari peraturan Allah adalah membawa sesat bagi si pengikutnya. Memang keinginan Setan agar jiwa seseorang menjadi belah, porak-poranda. Mengaku beriman kepada Allah dalam separuh hati, tetapi mengingkari Allah dalam banyak hal yang lain. Mengakui umat Muhammad dalam hal ibadah, tetapi mengingkari peraturan Muhammad di dalam pergaulan. Kadang-kadang ada yang memandang bahwa agama hanya hubungan pribadi tiap-tiap orang dengan Allah. Adapun jika mengenai hukum atau muamalat (pergaulan sesama manusia), tidak perlu tunduk kepada Allah, dan tidak salah kalau melanggar kehendak Allah.

Kita sudah tahu, yang menjadi Setan itu bukan yang halus saja. Manusia juga ada yang menjadi Setan. Negeri-negeri penjajah kerapkali menjadi Setan, merayu kaum Muslimin yang dijajah agar jangan memakai peraturan Allah.

Lantaran itu, dengan ayat ini kita mendapat pengajaran bahwasanya percaya kepada hukum Allah dan Rasul janganlah separuh-separuh; Islam yang berintikan tauhid, sekali-kali tidaklah mau dicampuri dengan kepercayaan-kepercayaan syirik, mempercayai jibti dan thagut; Janganlah orang Islam setelah jauh dari Nabi Muhammad saw. mengakui umat Muhammad padahal kepercayaannya bersimpang-siur kepada yang lain, kepada jibti dan thagut, kepada kubur dan kayu, kepada batu dan tukang ramal. Jangan pula dalam ibadah menurut perintah Allah, tetapi di dalam urusan yang lain meniru peraturan yang bukan bersumber dari Allah.

Sedangkan orang yang kasar sikapnya kepada anak yatim dan tidak ada rasa iba kasihan kepada fakir miskin, lagi dikatakan mendustakan agama. Sedangkan orang yang shalat karena hanya mengambil muka kepada masyarakat (riya), lagi dikatakan akan merasakan siksaan neraka wailun, apatah lagi orang yang shalat menyembah Allah, tetapi menolak hukum-hukum Allah! Di ayat 65 akan kita baca penegasan Allah, dengan sumpah bahwa orang yang tidak mau menerima Tahkim dari Allah dan Rasul-Nya, tidaklah termasuk orang yang beriman, "Walau shallaa, walau shaama!" Walaupun dia shalat, walaupun dia puasa.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 346-353, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TEGUHKAN PRIBADIMU

"Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu! Tidaklah akan membahayakan bagi kamu orang yang telah tersesat, apabila kamu telah mendapat petunjuk." (pangkal ayat 105).

Hendaklah terlebih dahulu tiap-tiap Mukmin itu menjaga dirinya sendiri, memupuk imannya, memperdalam pengetahuannya tentang agamanya, belajar dan berguru, dan bertanya kepada yang pandai supaya mengetahui mana-mana perintah Allah dan Rasul yang dilarang, mana yang sunnah, dan mana yang bid'ah.

Ayat ini memerintahkan tiap Mukmin agar mempertinggi mutu pribadinya, memperdalam iman, dan memperbanyak amalnya.

Dengan kedua keterangan ini, dari Rasul dan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, tidak ada yang patut kita ragukan lagi. Orang-orang yang telah menerima tanggung jawab dari Rasulullah saw. agar menegakkan kebenaran di dunia ini, wajiblah terlebih dahulu memperkuat pribadinya dengan petunjuk Allah, dengan ibadah, dengan dzikir, dan dengan menjauhi perbuatan yang haram.

Sehingga tidak ada tempat takut lagi, selain Allah.

Dan mulailah amar ma'ruf nahi munkar.

Bertawakal kepada Allah, walau apa pun yang akan terjadi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 57-61, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEPADA PEMUDA:

"Bebanmu akan berat. Jiwamu harus kuat. Tetapi aku percaya langkahmu akan jaya. Kuatkan pribadimu!"

-HAMKA-

(Buya HAMKA, PRIBADI HEBAT, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2014).

DAKWAH

Suatu dakwah yang mendahulukan hukum halal dan hukum haram, sebelum orang menyadari agama, adalah perbuatan yang percuma,

Sama saja dengan seseorang yang menjatuhkan talak kepada istri orang lain.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 25, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MAKSUD AGAMA

Disini dapatlah diketahui maksud agama, yaitu Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 21, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Nabi kita Muhammad saw. diberi bekal untuk perjuangannya.

Dijelaskan inti perjuangan, yaitu menegakkan Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 643, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Ketenteraman jiwa yang timbul lantaran dipupuk oleh tauhid dan ihsan menyebabkan tidak ada rasa keberatan dan tidak ada pokrol-pokrolan terhadap sekalian hukum agama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 299, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Kalau kita masih ragu, menyangka ada jalan lain selain jalan Muhammad saw. yang kita anggap benar, batal-lah Islam kita.

Jalan lain tidak ada dan tidak benar.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 121, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Jika ada keyakinan bahwa ada ajaran lain untuk mengatur masyarakat yang lebih baik dari Islam, kafir-lah orangnya, walaupun dia masih shalat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 357, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KESIMPULAN

Tidaklah termasuk orang yang beriman,

"Walau shallaa, walau shaama!"

Walaupun dia Shalat, walaupun dia Puasa.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 352-353, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Tiap-tiap orang yang beriman itu adalah dia Islam, tetapi tidaklah tiap-tiap orang Islam itu beriman." (Syeikhul Islam IBNU TAIMIYAH).

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir." (pangkal ayat 6).

Yaitu orang-orang yang sengaja menolak, membohongkan, dan memalsukan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

"Adalah di neraka Jahannam, yang akan kekal mereka padanya."

Di sanalah mereka akan mendapat adzab dan siksanya tanpa kesudahan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 266-267, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Akan digandakan bagi mereka adzab."

Mengapa dilipatgandakan?

Sebab kesalahan mereka pun berlipat ganda.

Berbuat dosa atas nama Allah, menghambat jalan Allah, membuat jalan Allah itu jadi bengkok.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 539, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEBENARAN ALLAH ITU SATU, TIDAK ADA KATA DUA.

Pendeknya, kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits adalah perkara yang mudah.

Dan lagi, pokok utama dalam kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits itu mudah pula, yaitu niat yang suci dan ikhlas.

Niat sama menjunjung kebenaran.

Sebab, tali dalam ayat sudah diterangkan bahwa kebenaran hanya satu dan yang menentukannya ialah Allah, yang empunya kebenaran, bukan Kiai Fulan atau Tuan Syekh Anu.

Dan, segala hasil usaha orang yang terdahulu ijtihad, qiyas, tarjih, dan istinbath dapat pula dijadikan bahan oleh kita yang di belakang untuk memudahkan usaha kita.

Berkata Imam Malik,

"Tidaklah akan jadi baik akhir dari umat ini melainkan dengan kembali kepada apa yang membaikkan umat yang dahulu."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 319-320, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Kerapkali yang menghalangi kita menerima kebenaran baru itu bukanlah karena benarnya apa yang kita pegang, melainkan karena tiap-tiap manusia itu menurut ilmu jiwa amat berat bercerai dari kebiasaannya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 356, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JANGAN PUTUS ASA DARI RAHMAT ALLAH

"Katakanlah, "Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas atas diri mereka, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah akan memberi ampun dosa sekaliannya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

Lekas-lekaslah minta tobat dan segeralah perbaiki kesalahan itu, yaitu jika kesalahan tersebut timbul dari kebodohan, belum ada pengalaman.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 163, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TEGUHKAN PRIBADIMU

"Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu! Tidaklah akan membahayakan bagi kamu orang yang telah tersesat, apabila kamu telah mendapat petunjuk." (pangkal ayat 105).

Pada zaman sahabat-sahabat sendiri rupanya ayat ini sudah menjadi perbincangan juga. Perintah amar ma'ruf nahi munkar tetap berlaku dan dikerjakan terus, dan ayat ini bertemu pula, memerintahkan orang menjaga diri sendiri. Menurut riwayat dari Abu Ja'far ar-Razi yang diterimanya dari Rabi dan Rabi menerima dari 'Abul Aliyah dan Abul Aliyah menerimanya dari Abdullah bin Mas'ud, ayat ini pernah dibicarakan orang di dalam majelis Ibnu Mas'ud. Ada dua orang rupanya bertengkar di hadapan majelis itu sehingga hampir berkelahi. Melihat kejadian itu, seorang yang duduk dalam majelis Abdullah bin Mas'ud itu berkata, "Lebih baiklah saya berdiri dan saya adakan amar ma'ruf nahi munkar kepada kedua orang yang hendak berkelahi ini." Kemudian, seorang lagi yang turut duduk juga di dalam majelis itu berkata, "Biarkan sajalah! Bukankah sudah ada ayat yang mengatakan jaga sajalah dirimu!" Pengertian (takwil) ayat itu belum datang hingga sekarang. Sebab, ketika ayat-ayat Al-Qur'an diturunkan, ada yang pengertiannya telah ada terlebih dahulu sebelum ayat diturunkan.

Ada pula ayat yang pada zaman Rasulullah sendiri sudah diturunkan pengertiannya. Dan pula ayat-ayat yang pengertiannya diturunkan sedikit masa sesudah Rasulullah saw. dan ada pula ayat-ayat yang pengertiannya baru datang kelak sesudah Yaumal Hisab, yaitu yang memperkatakan soal hisab (perhitungan), soal surga dan neraka. Oleh karena itu, selama hati kamu masih bersatu, kehendak keinginan kamu masih satu, belum kamu berpecah-belah menjadi beberapa golongan, dan belum setengah kamu menderita dari sebab serangan yang setengah maka hendaklah kamu tetap beramar ma'ruf nahi munkar. Namun, apabila hati kamu telah berpecah-belah bergolong-golongan, yang setengah telah menyerang yang setengah maka pada waktu itu menjaga diri sendirilah yang mesti kamu pentingkan. Pada waktu itulah datangnya takwil ayat ini. Demikian keterangan Ibnu Mas'ud. Dirawikan riwayat ini oleh Ibnu Jarir.

Abdullah bin Umar pun pernah berkata seperti itu. Kata beliau, "Ayat ini belum berlaku terhadap diriku dan kawan-kawanku karena Rasulullah telah memerintahkan agar orang-orang yang pernah menyaksikan beliau, seperti kami ini, supaya menyampaikan kepada yang tidak hadir. Maka, kamilah yang hadir di hadapan beliau dan kamulah yang gaib tempat kami menyampaikan itu. Tetapi, ayat ini akan berlaku di atas kaum yang akan datang sesudah kita yang kalau mereka menyampaikan suatu peringatan tidak lagi akan diterima orang."

Riwayat Ibnu Jarir juga.

Dalam suatu majelis pada zaman Khalifah Utsman bin Affan di Madinah, pernah juga orang membicarakan ayat ini. Sebagian besar menyatakan bahwa takwil ayat ini belum ada sekarang. Menilik kata-kata para sahabat yang besar-besar itu, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar, dan dalam majelis Sayyidina Utsman, mengertilah kita bahwa memang ayat-ayat Al-Qur'an itu, termasuk ayat ini, ada yang baru didapat pengertiannya lama sesudah Rasulullah saw. wafat dan lama sesudah sahabat-sahabat Rasulullah saw. sendiri. Sebab, pada zaman sahabat-sahabat, belum terlihat suatu sebab pun buat menjalankan ayat ini. Semua orang masih wajib beramar ma'ruf nahi munkar. Namun, di belakang beliau akan datang suatu masa, kekacauan memuncak, orang hidup nafsi-nafsi, perpecahan dan cemburu, salah menyalahkan, nasihat tidak berharga, kejujuran menjadi tertawaan. Hal yang sebenarnya tidak boleh dibicarakan, ambil muka terlalu banyak. Maka saat itu ingatlah diri sendiri, peliharalah iman kepada Allah dan tidak perlu terlalu banyak melihat orang lain.

Menilik kata-kata dan pertimbangan sahabat-sahabat Rasulullah yang utama itu, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Affan, kita mendapat kesan bahwa mereka berpendapat pada zaman mereka ayat ini belum akan berlaku. Artinya, amar ma'ruf nahi munkar terus mesti dijalankan. Barangkali nanti pada kemudian hari, amar ma'ruf nahi munkar terpaksa didiamkan karena pada zaman itu kekacauan kelak akan memuncak. Zaman ketika orang yang berani mengatakan yang benar akan dianiaya orang. Dan hal yang beliau isyaratkan itu memang telah terjadi pada zaman kita ini.

Pihak-pihak yang berkuasa dalam satu negeri menyuruh rakyat menyatakan terus terang apa yang salah. Namun, kalau yang salah itu dikatakan terus-terang, mereka akan marah dan awak bisa mendapat bahaya, misalnya dihukum, dipenjara, diasingkan, bahkan disingkirkan. Menurut paham Ibnu Mas'ud, kalau keadaan sudah serupa itu nanti, jaga sajalah dirimu menurut ayat ini. Asal engkau sudah langsung mengambil petunjuk dari Allah, betapa pun sesatnya orang lain mereka tidak akan memberi bahaya bagi kamu. Adapun sekarang ini (pada zaman Ibnu Mas'ud zaman gemilang sahabat Rasulullah), amar ma'ruf dan nahi munkar mesti terus dilakukan.

Namun, paham Ibnu Mas'ud dan paham Ibnu Umar dan satu pembicaraan dalam majelis Khalifah Utsman bin Affan ini, dengan sendirinya telah terbantah oleh hadits Rasulullah sendiri dan satu isi khutbah Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq.

Tirmidzi telah merawikan dari Abi Umayyah asy-Syaibani. Dia berkata, "Saya pernah datang bertanya kepada Abi Tsalabah al-Khusyani, 'Bagaimana sikapmu terhadap ayat ini? Wahai orang yang beriman! Jagalah dirimu, tidaklah akan memberi mudharat kepada kamu orang yang telah tersesat, asal engkau telah mencari petunjuk! Dia menjawab, 'Sungguh, demi Allah! Hal ini telah pernah saya tanyakan kepada orang yang lebih mengerti akan maksudnya, yaitu Rasulullah saw. sendiri. Beliau telah menjawabnya!"

Pangkal ayat ini adalah peringatan yang sangat mendalam kesannya bagi tiap orang yang beriman. Oleh karena itu, dimulailah seruan kepada orang yang beriman! Hendaklah terlebih dahulu tiap-tiap Mukmin itu menjaga dirinya sendiri, memupuk imannya, memperdalam pengetahuannya tentang agamanya, belajar dan berguru, dan bertanya kepada yang pandai supaya mengetahui mana-mana perintah Allah dan Rasul yang dilarang, mana yang sunnah, dan mana yang bid'ah. Ayat ini memerintahkan tiap Mukmin agar mempertinggi mutu pribadinya, memperdalam iman, dan memperbanyak amalnya. Orang yang Mukmin hidup dalam jamaah. Tiap waktu shalat yang lima selalu mereka diperintah mencampurkan diri ke dalam masyarakatnya, sekurangnya masyarakat sekampungnya dalam surau dan langgar, mushala kecil dan masjid besar. Meskipun melihat orang yang sesat, dia tidak akan turut hanyut dalam kesesatan itu kalau dia waspada memelihara imannya sendiri. Dia tidak akan terpesona oleh banyaknya yang buruk dan sedikit yang baik. Yang buruk tetap buruk, walaupun lebih banyak sebagai yang disebutkan dalam ayat ke-100 tadi. Orang diperintahkan selalu melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat munkar. Namun, kalau seseorang hanya pandai menyuruh dan melarang, padahal dirinya sendiri tidak dijaganya, tidaklah akan ada harga ucapan yang diucapkannya itu. Oleh karena itu, tiap-tiap Mukmin, di samping menyuruh dan mencegah orang lain, hendaklah terlebih dahulu sanggup menyuruh dan mencegah diri sendiri. Tepat apa yang dikatakan oleh setengah pujangga, "Orang yang tidak sanggup mengatur dirinya sendiri, tidaklah dia akan sanggup mengatur orang lain." Oleh karena itu, kalau tiap Mukmin itu telah sadar akan dirinya, walaupun di kiri-kanan dia melihat kesesatan belaka, tidaklah dia akan turut tenggelam dalam kesesatan itu. Dengan demikian, menjaga diri sendiri itu berakibat dua. Pertama, kebesaran jiwa, sehingga sanggup menegur kesalahan orang yang salah. Kedua, kalaupun nasihatnya tidak diacuhkan orang, dia sendiri akan tetap selamat dalam imannya.

Apabila Mukmin telah menjaga dirinya sendiri-sendiri, mempertinggi mutu imannya, tidak silau melihat orang yang tersesat, terjadilah perlombaan yang sehat dalam memajukan pribadi sendiri-sendiri. Orang tidak lagi hanya mengalah, menyatakan kesalahan, dan keburukan orang lain karena masing-masing sudah menyelidiki kekurangan yang ada pada dirinya. Kerapkali keburukan masyarakat memuncak sebab masing-masing orang hanya ingat kesalahan orang lain, atau kesalahan golongan lain, lalu mengeluh. Masing-masing orang lupa menilik di mana sebenarnya letak kesalahan itu, yaitu pada masing-masing diri kita. Oleh sebab itu, pernahlah orang bertanya kepada penulis tafsir ini, "Bagaimana akal memerangi krisis akhlak dalam masyarakat sekarang ini?" Penulis hanya menjawab, "Adakan satu panitia besar, seluruh orang jadi anggotanya. Dan tiap-tiap seseorang hanya diberi tugas satu saja, yaitu memperbaiki dirinya sendiri!"

Penulis belum berani masuk ke dalam kesimpulan yang penulis tafsirkan sebelumnya, sebelum penulis menilik pendapat penafsir-penafsir salaf. Karena kalau hanya menilik sepintas lalu saja pada ayat ini, seakan-akan dia hanya menyuruh orang mementingkan diri sendiri saja. Asal diri sendiri sudah teguh iman, apa peduli kita kalau orang lain sesat. Padahal agama dengan keras menyuruh menegakkan amar ma'ruf nahi-munkar. Oleh sebab itu, ada juga ahli tafsir salaf yang berkata, "Takwil yang sebenarnya tentang ayat ini kalau bertemu pada zaman kita, niscaya kelak akan terang juga apa maksudnya." Namun, Sa'id bin al-Musayyab memberikan tafsir yang tegas, yaitu, "Apabila engkau sudah menyuruh yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar maka sekali-kali tidaklah akan membahayakan kepada kamu yang tersesat, bila engkau telah dapat petunjuk."

Memang, suatu waktu kadang kalanya akan bertemu keadaan yang kita tidak bebas lagi mengadakan amar ma'ruf nahi munkar. Sudah terlalu memuncak kejahatan dan amat berbahaya bagi keadaan kita kalau ditegur. Oleh sebab itu, Ibnu Jarir berpendapat, "Kalau sudah jelas atau sudah ada bukti-bukti yang kuat bahwa melancarkan amar ma'ruf nahi munkar akan membahayakan, membawa diri ke dalam kebinasaan, amar ma'ruf nahi munkar tidaklah lagi faridhah (kewajiban), melainkan fadhilah (perangai utama), yakni kalau masih akan ada faedahnya. Akan tetapi, kalau faedah tidak ada, lebih baik diam daripada binasa. Imam Ghazali pun menyatakan pendapat menyerupai Ibnu Jarir itu di dalam al-Ihya'. Sungguh pun demikian, datang lagi sebuah hadits shahih yang telah kita kenal.

"Barangsiapa melihat yang munkar, hendaklah dia ubah dengan tangannya. Kalau dia tidak sanggup, hendaklah ubah dengan lidahnya. Dan kalau dia tidak juga sanggup, hendaklah ubah dengan hatinya. Tetapi (dengan hati), itu adalah selemah-lemah iman." (HR. Imam Ahmad dan Muslim).

Setelah menilik ini, hilanglah kesamaran karena melihat ayat ini sepintas lalu. Sebagai Mukmin, kita masing-masing wajib menjaga diri kita, mempertinggi mutu iman kita. Sehingga kita tidak dapat disesatkan oleh orang yang sesat karena kita telah mendapat hidayah Allah. Dalam pada itu, amar maruf nahi munkar sekali-kali tidak boleh dihentikan. Kalau keadaan tidak mengizinkan untuk amar ma'ruf nahi munkar yang tegas, tetapi dengan sikap hidup dan "hijrah hati" hendaklah amar ma'ruf nahi munkar itu diteruskan. Seperti pepatah syair Arab:

"Kalau engkau tak sanggup mengerjakan sesuatu, tinggalkan dia dan ambil mana yang engkau sanggupi."

"Bahkan hendaklah kamu suruh-menyuruh berbuat ma'ruf, cegah-mencegah berbuat munkar sehingga, walaupun telah engkau lihat kebakhilan yang ditaati dan hawa nafsu yang diperturutkan, dunia lebih dipentingkan, dan setiap yang mengemukakan suatu pendapat merasa megah dengan pendapatnya. Waktu itu, hendaklah engkau perkuat pribadimu dan jangan memedulikan orang awam. Karena sesungguhnya di belakangmu ini akan datang hari-hari yang kesabaran padanya adalah laksana memegang bara panas. Orang yang bekerja pada masa itu akan mendapat pahala 50 orang laki-laki yang beramal seperti amalmu."

Abdullah bin Mubarak menambahkan, "Ditambah penjelasannya oleh orang yang lain dari Uthbah kepadaku, "Ditanya orang kepada Rasulullah saw. pahala 50 orang yang mana yang beliau maksud, apakah 50 orang yang hidup pada zaman Rasul (sahabat-sahabat Rasulullah)? Ataukah pahala 50 orang dari mereka yang hidup pada zaman akan datang itu?' Rasulullah saw. menjawab tegas, "Pahala 50 orang daripada kamu!"

Dari hadits ini kita mendapat pengajaran yang tegas bahwa maksud ayat ini berlaku untuk seluruh zaman, yaitu semua Muslim Mukmin wajib memperteguh pribadinya dengan mencari selalu petunjuk Allah. Karena kalau petunjuk Allah telah memenuhi jiwa, kita tidak akan ditimpa rasa takut berhadapan dengan siapa pun yang sesat dari jalan Allah. Dan setelah pribadi diperkuat, hendaklah segera melakukan amar ma'ruf nahi munkar. Dengan bertambah kacaunya dunia ini, hendaklah bertambah seorang Mukmin mendekati petunjuk Allah. Dan setelah kuat oleh petunjuk itu, dia wajib meneruskan tugasnya melakukan amar ma'ruf nahi munkar.

Datang pula riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal, dari Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. bahwa suatu hari beliau berdiri berkhutbah, lalu beliau mengucapkan puji-pujian dan sanjungan kepada Allah, lalu beliau berkata:

"Wahai sekalian manusia. Kamu membaca ayat Allah. Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu, tidaklah akan memberi mudharat kepada kamu orang yang telah sesat apabila kamu tetap mencari petunjuk. Sesungguhnya kamu telah meletakkan ayat ini bukan pada tempatnya. Aku telah mendengar sendiri dari Rasulullah saw. beliau bersabda, "Sesungguhnya manusia, jika melihat perbuatan yang munkar tidak diubahnya, pastilah mereka akan dilingkupi oleh Allah Ta'aala dengan siksaan-Nya!" (HR. Imam Ahmad).

Dengan kedua keterangan ini, dari Rasul dan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, tidak ada yang patut kita ragukan lagi. Orang-orang yang telah menerima tanggung jawab dari Rasulullah saw. agar menegakkan kebenaran di dunia ini, wajiblah terlebih dahulu memperkuat pribadinya dengan petunjuk Allah, dengan ibadah, dengan dzikir, dan dengan menjauhi perbuatan yang haram. Sehingga tidak ada tempat takut lagi, selain Allah. Dan mulailah amar ma'ruf nahi munkar. Bertawakal kepada Allah, walau apa pun yang akan terjadi. Dengan demikian, datanglah kepastian di ujung ayat,

"Kepada Allah-lah tempat kembali kamu sekalian."

Peringatan Allah pada ayat ini menambah kuat pribadi lagi. Kuatlah diri dengan petunjuk Allah, tegakkan jamaah islamiyah, berani mengadakan amar ma'ruf nahi munkar, dan ingat bahwa kita akan kembali kepada Allah, tempat kita mempertanggungjawabkan segala usaha.

"Maka dia akan menjelaskan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan." (ujung ayat 105).

Karena semua amal dan usaha akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah dan Allah mengetahui nilai dari usaha kita itu, apa beramal karena Allah atau karena yang lain, tidak ada jalan lain yang harus ditempuh, melainkan ikhlas beramal karena Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 57-61, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERTANYAAN

Bagaimanakah arti yang sebenarnya dari hadits, Nabi Muhammad saw. bersabda bahwa pada akhir zaman, umat beliau akan berpisah-pisah menjadi 73 golongan, sedangkan yang diakui hanya 1 saja. Manakah yang 1 itu?

(Mandi Aensjah, Sindang Mandi, Serang).

JAWABAN

Ulama-ulama lama, seperti Syahrastani dalam Al-Milalwan Nihal, demikian juga yang lain, mengatakan bahwa Muktazilah terdiri dari sekian banyak firqah. Syiah sekian pula. Khawarij sekian pula, dan seterusnya, sehingga kemudian dijumlahkan menjadi 73 firqah. Padahal kemudian ada firqah itu yang bertambah dan ada pula yang telah habis musnah.

Penyelidikan terakhir atas hadits itu bukan lagi demikian.

Memakai angka 73 bukanlah menunjukkan persis sekian jumlahnya.

Menurut pemakaian bahasa Arab, kalau puluhan dipakai 70.

Jadi, dapatlah dikatakan bahwa pikiran-pikiran umat Nabi Muhammad itu akan beraneka warna macamnya, sampai berpuluh.

Tidaklah layak ditentukan bahwa yang dimaksud adalah kaum yang sesat itu jalan Muktazilah, kaum Syiah, dan sebagainya dengan segala cabang-cabangnya itu.

Karena terbukti bahwa di setiap golongan itu ada juga yang benar dan ada juga yang salah.

Misalnya dalam soal kenegaraan, kaum Khawarij berpendapat bahwa kepala negara hendaklah dipilih oleh orang ramai, sedangkan kaum Ahlus Sunnah pada zaman lampau berpendirian hendaklah kepala negara (Khalifah) dari Quraisy.

Pada zaman sekarang yang disebut Ahlus Sunnah di mana-mana telah condong kepada kaum Khawarij itu.

Kalau kita turuti pembagian-pembagian yang klasik dari as-Syahrastani itu, akan timbullah suatu bahaya besar sesama Islam,

Yaitu tiap-tiap madzhab atau firqah mendakwakan bahwa golongan merekalah yang benar, dan golongan yang lain salah semuanya.

Bahkan sampai sekarang terbawa-bawalah cara yang demikian,

Sehingga ada golongan dalam Islam yang mendabik dada mengatakan bahwa hanya merekalah yang Ahlus Sunnah wal Jamaah,

Sedangkan golongan yang lain adalah Khawarij, Muktazilah, Wahabi, dan lain-lain.

Adanya berbagai ragam buah pikiran bukanlah suatu kesalahan, umat Muhammad diperintahkan untuk berpikir dan berijtihad, dan segala hasil ijtihad tidaklah ada yang mutlak benar.

Hasil ijtihad adalah zhanni atau kemungkinan atau kecenderungan.

Karena itu, dalam pikiran yang sebanyak itu, bersimpang siur, hanya 1 yang benar, yaitu pikiran yang sesuai dengan pedoman yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad saw., dan karena itu sahabat beliau yang melanjutkan perjuangan itu.

Oleh karena itu, sekalian umat Muhammad saw. yang mempunyai jalan pikiran yang bersimpang siur sampai 73 atau lebih itu hendaklah berusaha membawa pikiran mereka kepada "batu ujian" asli,

Yaitu Al-Qur'an dan Sunnah Nabi saw.

Moga-moga tercapailah kebenaran.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 36-43, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

JANGAN MENGHINA

Sabda Nabi tentang 73 pecahan dan golongan itu, hanya 1 yang masuk surga yaitu yang masuk al-Jama'ah, atau yang berpegang pada yang aku bersama sahabat memegangnya, dapatlah tiap-tiap golongan mendabik dada mengatakan bahwa kamilah golongan yang satu itu dan yang lain salah semuanya.

Sehingga perpecahan bertambah hebat.

Sebab si manusia sendiri telah menentukan surga hanya monopoli kepunyaan golongannya.

Namun, kalau hadits ini dipahamkan kembali dengan saksama, niscaya tiap-tiap golongan itu akan sama-sama berusaha mencari manakah amalan yang diridhai oleh Allah dan Rasul supaya dia masuk surga.

Bukan berlomba menyalahkan golongan lain, melainkan tiap-tiap golongan berlomba membuat amalan yang lebih baik.

Pedoman ini telah diberikan Allah pula di dalam surah al-Hujuraat ayat 11.

Yaitu, supaya suatu kaum jangan menghina kaum yang lain dan segolongan perempuan jangan menghina golongan perempuan yang lain, karena mungkin pada yang dihinakan itu ada amalannya yang lebih baik daripada amalan si penghina itu.

Lantaran kita kaum Muslimin yang datang di belakang ini pun karena meninjau kembali beberapa keterangan dari orang-orang dahulu yang banyak membicarakan soal 73 partai ini.

Seumpama Ibnu Hazmin datam al-Fashl atau as-Safarani di dalam kitab aqidahnya, bahwa Amir Syakib Arsalan sendiri di dalam komentarnya atas kitab Hadhirul Alamil Islamy pun menuruti cara itu.

Yaitu ketika menerangkan 73 golongan dalam Islam lalu disebut: Golongan Syi'ah itu terdiri dari Syi'ah Itsna 'Asyariyah, Syi'ah Isma'iliyah, Syi'ah Qaramithah, Kaisaniyah, Zaidiyah, dan lain-lain.

Adapun Mu'tazilah itu terdiri dari sekian banyak. Kemudian, dihitung pula beberapa pecahannya.

Adapun Khawarij itu terdiri dari Hururiyah dan Ibadiyah dan... lalu didaftarkan pula beberapa nama sehingga semuanya jadi berjumlah 72.

Kemudian, diterangkan bahwa Ahli Sunnah wal Jama'ah ialah ini!

Padahal orang Syi'ah membuat pula daftar demikian dan pada penutupnya mereka mengatakan bahwa yang benar hanya 1, yaitu madzhab Ahlul Bait.

Moga-moga berdekatlah paham penulis tafsir ini dengan kebenaran.

Pada pendapat penulis jika Rasulullah saw. menyebut bahwa umatnya akan berpecah menjadi 73 golongan, artinya ialah akan terdapat banyak sekali persimpang-siuran pikiran.

Kita teringat bahwa di dalam pemakaian bahasa Arab, yang berlaku juga dalam Al-Qur'an bahwa kalimat "7 atau 70" adalah menunjukkan banyak, bukan berarti tepat 70 buah.

Karena ini bukan kelompok, hanyalah penggolongan pikiran maka jalan pikiran yang banyak bersimpang-siur itu bisa sesat semua, kecuali mana yang berpegang teguh pada apa yang dipegang Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya.

Oleh sebab itu, supaya pikiran kita, yang banyak simpang-siurnya itu jangan membawa kesesatan hendaklah masing-masing kita selalu berusaha mendekati mana yang sesuai dengan kehendak Rasulullah saw.

Kita pakailah akal, ijtihad mashalihil mursalah, qiyas, istihsan dan sebagainya.

Dengan demikian, kita mengharapkan selalu semoga hasil yang kita usahakan itu sesuailah hendaknya dengan kehendak Allah dan Rasul.

Dan kalau kita memperoleh pendapat yang baru lalu menurut pendapat kita apa yang dipegang oleh golongan lain salah, janganlah terburu nafsu menyalahkannya.

Karena barangkali penyelidikannya belum sampai pada apa yang kita selidiki.

Dan jika ada orang yang menyatakan pendapat baru, kita jangan pula lekas marah.

Karena, kerap kali yang menghalangi kita menerima kebenaran baru itu bukanlah karena benarnya apa yang kita pegang, melainkan karena tiap-tiap manusia itu menurut ilmu jiwa amat berat bercerai dari kebiasaannya.

Dan masing-masing kita memperdalam iman dan memperbanyak amal.

Dan masing-masing kita tidak merasa golongan tersendiri.

Namun, masing-masing kita sadar bahwa Nabi kita Muhammad saw. tetap mengatakan bahwa kita semuanya ini adalah "umati" umatku semua.

Tersebutlah di ujung ayat,

"Lain tidak, perkara mereka itu kepada Allah. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan." (QS. Al-An'aam, ujung ayat 159).

Membaca ujung ayat ini setiap kita Muslimin, yang telah disebut oleh Rasul "umati" umatku.

Berusahalah berbuat baik, bukan fanatik, bukan menyalahkan orang lain, lalu mendabik dada mau benar sendiri.

Bukan mempertebal pertentangan dan bukan memperuncing golongan dan sekali-kali tidak memisah dari agama.

Semoga di hadapan Allah kita menerima perhitungan yang baik, bukan umat yang menjadi biang keladi dari perpecahan yang telah menyebabkan Islam menjadi mundur dan penjajahan asing telah masuk karena kelemahan kita.

Mari kita hormati kebebasan pikiran, biarpun sampai lebih dari 73 macam, asalkan semua bukan mendakwakan dia yang paling benar, melainkan semuanya berusaha mencari yang lebih benar.

Berpadu dan bersatu, saling menolong, mempertahankan kemerdekaan agama dan tanah air, menolak penjajahan dan menentang segala campur tangan asing yang akan merusak binasakan quwwah yang ada dalam Islam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 355-357, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belahkan agama mereka dan jadilah mereka bergolong-golongan, bukanlah engkau daripada mereka, pada apa jua pun. Lain tidak, perkara mereka itu kepada Allah. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka apa yang mereka kerjakan." (QS. Al-An'aam: 159).

Menurut penafsiran dari setengah penafsiran salaf, ayat ini adalah mengenai kepada Ahlul Kitab yang telah terdahulu.

Karena agama yang asal hanyalah 1, yaitu agama tauhid.

Agama itulah yang ditegakkan oleh Ibrahim, Musa, dan Isa.

Namun, kemudian oleh pengikut-pengikut yang datang di belakang, agama yang asli itu telah dipecah-belah, ada yang menyebut mereka Yahudi dan ada yang menyebut mereka Nasrani,

Masing-masing mengatakan bahwa mereka adalah di pihak yang benar lalu satu golongan memusuhi golongan yang lain.

Dan ahli tafsir yang lain menerangkan bahwa ayat ini adalah peringatan khusus pada umat Muhammad saw. sendiri,

Yang persatuan mereka dalam 1 aqidah akan terpecah-belah oleh karena timbulnya bermacam pendapat, lalu timbul tambahan-tambahan yang bukan-bukan, yang disebut bid'ah,

Tiap-tiap golongan mendakwakan, merekalah yang benar, dan yang lain salah semuanya.

Pendeknya ke mana pun hendak dibawa ayat ini, teranglah yang menjadi intinya memberi peringatan keras tentang bahaya perpecahan.

Baik dalam kalangan Ahlul Kitab maupun kalangan umat Muhammad.

Ibnu Abbas berkata,

Sebelum Muhammad saw. diutus Allah, Yahudi dan Nasrani telah berselisih-selisih.

Setelah Muhammad diutus datanglah ayat,

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan jadilah mereka bergolong-golongan."

Abu Hurairah berkata,

Bahwa tujuan ayat ini ialah kepada umat Muhammad ini, Dan menurut hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu Juraij, ath-Thabrani, dan lain-lain, Nabi Muhammad saw. mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat ini ialah ahli bid'ah dan ahli ahwaa' (beragama menurut hawa nafsu sendiri) yang terdapat dalam umat ini.

Dan keterangan ini pun dikuatkan suatu hadits yang dirawikan Ibnu Abi Hatim, Abusy-Syaikh, ath-Thabrani, dan al-Baihaqi di dalam kitabnya, Syu'abul Iman yang diterima dari Umar bin Khaththab, bahwa Nabi saw. pernah berkata kepada Aisyah,

"Wahai Aisyah, sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi bergolong-golongan, ialah orang-orang yang empunya bid'ah, dan yang memperturutkan hawa nafsu dalam beragama dan orang-orang yang membawakan kesesatan (dhalalah) daripada umat ini.

Mereka itu tidak ada bagi mereka tobat.

Wahai Aisyah, tiap-tiap orang yang berdosa, bisa diberi tobat, kecuali tukang-tukang bid'ah dan tukang hawa nafsu.

Mereka tidak diberi tobat.

Aku berlepas diri dari mereka dan mereka pun lepas diri dariku."

Arti hadits ini bukanlah bahwa mereka telah tahu bahwa perbuatan mereka telah terang bid'ah dan sudah jelas bagi mereka bahwa mereka memang salah lalu mereka kembali pada kebenaran dan tobat, lalu tobat mereka tidak diterima.

Bukanlah demikian makna hadits ini.

Namun, maksudnya ialah bahwa mereka tidak mau tobat, karena mereka tetap menyangka bahwa mereka di pihak benar.

Sekianlah yang tertulis di dalam Tafsir ad-Durrul Mantsur.

Demikianlah hadits tentang perpecahan-perpecahan 71 atau 72 Ahlul Kitab dan 73 umat Muhammad saw. itu tersebut dalam tafsir-tafsir dan di dalam kitab-kitab hadits, dengan berbagai lafazh, dan lagi riwayat lain yang tidak kita salinkan dalam tafsir yang kecil ini, sebab artinya dalam bahasa kita adalah sama.

Sekarang, marilah kita bicarakan hadits-hadits yang dapat menambah jelas ayat ini untuk kita pahamkan lebih mendalam.

Imam Malik pernah berkata,

"Rasulullah saw. telah meninggal dan telah sempurna urusan ini semuanya dan lengkap. Maka, yang mestinya kita ikut ialah jejak yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw. Dan sekali-kali jangan diikut ra'yi (pendapat orang). Karena, apabila engkau ikuti pendapat seseorang, akan datang pulalah seorang yang lain dengan ra'yi-nya pula, yang lebih kuat ra'yi-nya dari ra'yi engkau lalu engkau ikuti pula. Pada pandanganku hal ini tidak akan habis-habisnya."

Yang dimaksud ra'yi oleh Imam Malik disini ialah yang bersangkut dengan sekalian urusan agama, mengenai aqidah, ibadah, dan halal-haram.

Bukan yang berkenaan dengan dunia dan kepentingan negara, siasat, dan pelaksanaan hukum.

Sebab, dalam hal yang berkenaan dengan urusan-urusan dunia itu, Imam Malik mempunyai suatu ajaran yang bernama al-mashalihil mursalah, yaitu kemuslihatan umum, yang memang jadi tujuan juga oleh diutusnya Rasul.

Oleh sebab itu, Asy-Syatibi di dalam kitabnya al-I'tisham pada Bab IX menyatakan bahwa mujtahid yang menggunakan ijtihadnya di dalam masalah-masalah ijtihadiyah tidaklah kena oleh ayat ini.

Tentu saja tidak kena para mujtahid itu oleh ayat ini.

Karena kalau mereka kena, tentu agama menjadi sempit.

Padahal dalam perkembangan zaman, banyak timbul soal yang wajib diselesaikan secara ijtihad, yang pada zaman Rasul sendiri belum ada.

Masalah ijtihadiyah ialah masalah yang tidak ada nash padanya, dan belum pernah ulama yang dahulu, terutama salaf, memperbincangkan soal itu.

Ijtihad dalam hal fiqih, yang berarti memahamkan agama telah dimulai oleh ulama-ulama yang dahulu.

Sejak sahabat-sahabat sampai kepada tabi'in dan ulama mutaqaddimin sudah ada ijtihad.

Namun, ulama-ulama yang dahulu itu selalu mengatakan bahwa pendapat ijtihad mereka adalah zhanni belaka, tidak pasti dan tidak yakin.

Keempat Imam sama saja bunyi seruan mereka, yaitu pendapat mereka hanya boleh dipakai bila kenyataannya tidak berlawanan dengan Al-Qur'an dan hadits.

Imam Syafi'i terkenal dengan perkataan beliau:

"Kalau terdapat hadits yang shahih (benar), maka itulah madzhabku."

Maka yang menimbulkan perpecahan bukanlah beberapa ijtihad, tetapi apabila suatu hasil ijtihad telah dipegang dengan yakin, dan tidak boleh ditinjau atau diubah lagi.

Kemudian, timbul berbagai madzhab dan tiap madzhab mengatakan bahwa pihak merekalah yang benar.

Kadang-kadang, ternyata pendapat seorang mujtahid itu setelah diselidiki dengan saksama, berbeda dengan maksud suatu hadits yang shahih.

Hadits shahih itu tidak dipakai orang karena orang telah memegang hasil ijtihad imamnya, dengan tak mau beranjak lagi.

Dan ... timbul perpecahan!

Imam-imam yang berempat tidaklah berselisih.

Mereka sendiri hormat-menghormati di dalam pendapat masing-masing dan dapat bertolak angsur.

Namun, pengikut yang datang di belakang telah pecah, seakan-akan madzhab menjadi suatu agama tersendiri.

Sampai menjadi pembicaraan di kalangan Madzhab Hanafi, apa bolehkah seorang laki-laki bermadzhab Hanafi kawin dengan seorang perempuan bermadzhab Syafi'i?

Di negeri Mekah sendiri, pusat perhimpunan kiblat kaum Muslimin, pernah beratus tahun lamanya terjadi shalat berjamaah di Masjidil Haram empat imam bergilir pada tiap waktu karena pengikut madzhab yang ini tidak mau mengikut imam madzhab yang itu, sebab amalan dalam soal furu' ada perbedaan berkecil-kecil.

Barulah pada 1925 setelah negeri Mekah ditaklukkan oleh Ibnu Sa'ud, shalat berjamaah di Masjidil Haram dijadikan hanya 1 kali pada tiap waktu.

Sebelum itu, menurut cerita orang-orang tua, penganut Madzhab Hanafi akan duduk saja menganggur ketika jamaah dengan imam madzhab lain, dan mereka baru mau shalat setelah imam mereka tampil ke muka yaitu yang paling penghabisan.

Pengetahuan kita tentang pecah-pecahan agama Yahudi tidaklah luas.

Namun, Nasrani dapat kita ketahui serba sedikit, sebab zending dan misi agama ini berusaha menyebarkan agama mereka.

Mereka bukan saja menjadi 71 atau 72 golongan, yang disebut Sekte, bahkan golongan Protestan yang memisahkan diri dari Katholik saja, tidak kurang dari 200 sekte, masing-masing mendakwakan bahwa gereja merekalah yang benar, dan yang lain sudah agama lain.

Pengikut Sekte Method's misalnya, tidak akan suka memasuki gereja Baptis.

Apalagi orang Katholik akan masuk ke gereja Protestan.

Dalam Islam, belumlah sampai separah itu.

Namun, karena kurang hati-hati, sampailah di Mekah sendiri pada 1925 itu pengikut Madzhab Hanafi tidak mau shalat di belakang imam Madzhab Syafi'i dan demikian pula yang lain.

Syukurlah Raja Abdul Aziz Ibnu Sa'ud bertindak menyatukan shalat kembali.

Dengan kenyataan sejarah ini, nyarislah bertemu ancaman Rasulullah saw. bahwa umatnya akan mengikuti jejak Bani Israil, terompah atas terompah (setapak demi setapak).

Sampai beliau ancamkan bahwa perpecahan itu bukan lagi madzhab, bahkan telah menjadi millah, yang berarti agama juga.

Peringatan Rasulullah saw. yang demikian, bukanlah menerangkan suatu takdir yang mesti diikuti, melainkan menyuruh agar jangan sampai meniru.

Sebab, beliau katakan bahwa yang akan selamat hanya 1,

Yaitu yang mengikuti ajaran beliau dan sahabat-sahabat beliau jua.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 350, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Di Baghdad pernah terjadi bunuh-membunuh di antara pemeluk Islam Madzhab Syafi'i dan pemeluk Madzhab Hanbali karena perkara men-jahar-kan Bismillah.

Perkelahian penganut Madzhab Syafi'i dengan Madzhab Hanafi telah sampai menghancur-leburkan Negeri Merv sebagai pusat ibukota wilayah Khurasan.

Di Abad-abad ke-15 Masehi, amat hebat pertarungan Kerajaan Turki dengan Kerajaan Iran dan dengan terang-terangan kedua pihak mengatakan bahwa mereka berperang karena mempertahankan kesucian madzhab mereka masing-masing, sebab Turki adalah Sunni Hanafi, sedangkan Iran Syi'ah.

Di dalam Abad ke-19, Kerajaan Turki menyuruh Mohammad Ali Pasya penguasa Negeri Mesir memerangi penganut paham Wahabi di Tanah Arab.

Untuk ini, dibuat propaganda di seluruh dunia Islam bahwa Wahabi itu telah keluar dari garis Islam yang benar, sehingga sisa dakinya sampai sekarang masih bersarang dalam otak Golongan Tua dalam Islam.

Di tanah air kita Indonesia, di zaman-zaman yang lampau, kuranglah kita mendengar terjadi pertumpahan darah karena perlainan madzhab di dalam Islam karena kebetulan madzhab yang masuk ke sini pada umumnya hanyalah satu, yaitu Madzhab Sunni Syafi'iyah.

Akan tetapi, kemudian, setelah tersebar pula buku-buku agama yang lebih luas dan pandangan yang lebih jauh, timbullah berlainan pendapat dan timbul perselisihan di antara ulama dan ulama lalu memengaruhi orang-orang awam.

Di permulaan Abad ke-20 ini (1906) mulai timbul selisih di antara ulama-ulama yang mempertahankan tawassul dan wasilah, me-rabithah-kan guru ketika melakukan suluk, dan ulama yang membantah dan mengatakannya tiada berasal dari ajaran Rasul dan telah jatuh kepada syirik.

Di Sumatra Barat timbul pertentangan ulama-ulama Kaum Tua dengan Kaum Muda.

Di Jawa, sejak Tahun 1910 timbul perselisihan demikian pula.

Golongan Muda menjelma jadi Muhammadiyah pada 1912, sedangkan Golongan Tua menjelma menjadi Nahdhatul Ulama pada 1925.

Di kalangan orang Arab yang hijrah ke Indonesia timbul perselisihan di antara kaum keturunan sayyid yang dikenal dengan sebutan Alawiyin dan yang bukan sayyid yang menjelma menjadi Perkumpulan al-lrsyad, dan sampai juga terjadi pertumpahan darah di Banyuwangi kira-kira Tahun 1930.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 503-504, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dalam Agama Islam, betapa pun adanya perselisihan paham, misalnya antara Khawarij dan Syi'ah, Muktazilah atau Jahmiyah, tetapi pegangan pada Al-Qur'an adalah 1.

Oleh sebab itu, jalan kepada persatuan umat mudah dalam Islam daripada dalam agama yang lain-lain.

Perselisihan dalam hal aqidah tidaklah menyebabkan timbulnya jurang yang dalam di antara pihak-pihak yang berselisih.

Sungguh pun hebat pertentangan kepercayaan di antara Dunia Kristen, tetapi dalam Abad ke-20 ini pemuka-pemuka agama mereka telah berusaha hendak mencari titik-titik pertemuan.

Maka, dalam Dunia Islam, mencari titik-titik pertemuan ini lebih mudah daripada dalam agama Kristen, asal ada kemauan.

Apatah lagi setelah zaman akhir-akhir ini terasa benar tekanan negara-negara penjajah terhadap Islam.

Kembali ke dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul bukan berarti menghentikan kebebasan pikiran.

Di antara orang mujtahid dan mujtahid yang lain selalu terdapat perbedaan pendapat.

Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hanbal dikenal oleh setiap orang yang mengetahui riwayat hidup mereka bahwa mereka itu adalah guru dengan murid.

Imam Ahmad bin Hanbal adalah murid dari Imam Syafi'i, sedangkan Imam Syafi'i adalah murid dari Imam Malik.

Ketiganya telah bersimpang menjadi tiga madzhab dan empat dengan Madzhab Imam Hanafi.

Di antara mereka timbul rasa hormat-menghormati pendapat.

Baru timbul selisih pada pengikut yang taklid sehingga madzhab pendapat pikiran sudah berganti menjadi satu agama tersendiri.

Kita ambil misal dua perkumpulan terbesar di negeri kita ini, yakni Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama.

Keduanya masih tetap menganggap sah shalat masing-masing.

Tidak ada orang Nahdhatul Ulama yang memfatwakan bahwa tidak sah menjadi makmum di belakang imam orang Muhammadiyah, demikian pula sebaliknya.

Dan, tidak sampai ada masjid sendiri-sendiri sebagaimana Gereja Baptist, Metodist, Adventist, Prysbiterian, dan lain-lain.

Sebab, pada aqidah pokok, Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah adalah sama.

Timbul perselisihan kalau pengikut kedua belah pihak telah fanatik pada golongan atau setelah dicampuri oleh pertarungan politik.

Pada saat-saat yang penting, telah ada tempat mereka kembali yaitu Al-Qur'an dan Sunnah.

Kalau tidak demikian, niscaya mereka akan hancur; tikam-menikam, bunuh-membunuh sama sendiri, sehingga berlaku bunyi ujung ayat bahwa Allah berbuat apa yang Dia kehendaki, yang tidak dapat dielakkan!

Maka, di dalam segala perselisihan pikiran di antara sesama umat Allah, tetapi di hati sanubari kedua pihak selalu tersimpan sesuatu yang amat diingatkan, yang mencari kebenaran Allah.

Keberanian manusia memerangi hawa nafsunya, memanglah satu perjuangan yang menjadi pusat dari segala perjuangan.

Allah menghendaki karena kita sesama manusia sama bebas berpikir supaya perselisihan hilang.

Di diri masing-masing kita ada satu bakat atau benih yang baik.

Sebab itu, di dalam al-Baqarah ini juga, yang dahulu telah kita tafsirkan (ayat 148), berfirmanlah Allah,

"Berlomba-lombalah kamu berbuat kebaikan." (al-Baqarah: 148).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 505-506, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AWAS DENGAN BAHAYA FITNAH

"Dan jauhilah olehmu suatu fitnah yang tidak akan menimpa orang-orang yang zalim di antara kamu saja." (pangkal ayat 25).

Sehubungan dengan peringatan atas kemenangan dalam Peperangan Badar yang dicapai karena ketaatan kepada Allah dan Rasul, persatuan yang bulat, disiplin yang keras laksana baja, lalu diiringi dengan kesediaan tiap-tiap diri menyambut seruan Allah dan Rasul maka disini diperingatkanlah bahaya besar yang selalu akan mengancam.

Yaitu bahaya fitnah.

Hendaklah fitnah itu sangat dijauhi dan sangat dijaga jangan sampai kemasukan fitnah, sebab fitnah itu adalah amat berbahaya.

Arti yang asal dari fitnah ialah percobaan.

Kemudian berartilah dia perpecahan yang timbul di antara sesama sendiri dan keamanan pikiran tidak ada lagi.

Di antara satu dengan yang lain timbullah tuduh-menuduh, cemburu-mencemburui, salah-menyalahkan, sehingga kehancuran timbul dari dalam.

Maka, apabila fitnah itu telah menjalar, yang akan kena bukan saja lagi orang yang aniaya atau yang bersalah, atau keladi asal mula fitnah, melainkan meratalah mengenai semua orang, baik orang curang ataupun orang jujur.

Yang bersalah atau tidak bersalah, semua terlibat dalam fitnah.

Inilah bahaya besar yang merusakkan kesatuan agama atau kesatuan suatu bangsa atau keteguhan suatu pemerintahan.

Sebab, pokok kesatuan suatu umat ialah karena persatuan kepercayaan dan lebih mementingkan kebesaran Allah dari kepentingan diri dan golongan.

Jika kepentingan diri dan golongan sudah lebih terkemuka daripada kebesaran Allah, fitnah mesti datang.

Akan terjadi huru-hara dan berkecamuk di antara kamu sesama kamu.

Maka, yang dibangun selama ini akan runtuh dan hancur.

Berbagai macam riwayat telah diterangkan berkenaan dengan ayat ini.

Apa yang diperingatkan oleh ayat ini telah terjadi setelah Rasulullah saw. wafat.

Fitnah yang paling besar ialah mati terbunuhnya khalifah yang ketiga, Utsman bin Affan, karena telah timbul golongan-golongan yang tidak puas dengan pemerintahan beliau, lalu mengadakan desakan-desakan kepada beliau agar gubernur di Mesir diganti, agar gubernur di tempat lain ditukar Agar beliau jangan terlalu mementingkan mengangkat keluarga beliau sendiri untuk jabatan-jabatan penting.

Kemudian setelah beberapa permintaan mereka dikabulkan, datang fitnah besar karena surat yang dikirimkan orang atas nama beliau, memakai cap tanda tangan beliau, menyuruh bunuh utusan yang membawa surah pencopotan gubernur Mesir dan menentukan ganti gubernur baru.

Padahal, setelah surat itu diperlihatkan kepada beliau, beliau tidak mengakui, atau tidak tahu-menahu dan tidak pernah memerintahkan membuat surat seperti demikian.

Sedang cincin cap beliau dipegang oleh sekretaris beliau, Marwan bin Hakam.

Setelah Marwan ditanyai, dia pun mengatakan bahwa tidak ada dia menyuruh buat atau membuat sendiri surat itu.

Orang percaya, bahwa dengan menilai keadaan Sayyidina Utsman selama ini, bahwa apa yang beliau katakan adalah benar, yaitu bahwa surat itu dibuat orang atas namanya, padahal beliau tidak tahu-menahu.

Akan tetapi, pemberontak tidak mau percaya, sampai rumah beliau dikepung dan beliau dibunuh.

Untuk menetapkan tuduhan kepada Marwan bin Hakam pun tidak ada bukti yang nyata, sehingga sampai kepada zaman kita sekarang ini, ahli-ahli sejarah masih tetap mengakui bahwa siapa sebenarnya yang membuat surat palsu itu adalah gelap.

Akan tetapi, kaum pemberontak yang datang dari Mesir itu sudah tidak dapat dikendalikan lagi.

Akhirnya Sayyidina Utsman, Khalifah yang sudah berumur itu mati dibunuh sedang membaca Al-Qur'an.

Istri beliau, Nailah, yang mencoba mempertahankan suaminya putus jari-jari tangannya kena pedang.

Inilah pangkal fitnah besar yang hebat.

Sayyidina Ali diangkat dengan terburu-buru menjadi khalifah oleh suara kaum pemberontak.

Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidullah lari meninggalkan Madinah, menuruti ibu kita Aisyah yang sedang pergi naik haji ke Mekah; lalu ketiganya menggabungkan satu kekuatan buat menentang Sayyidina Ali; sebab menurut mereka dia diangkat dengan paksaan, bukan dengan suara sukarela.

Dalam pada itu, Mu'awiyah di Syam (Damaskus) belum mau mengakui keangkatan Ali, dengan dalih menuntut bela atas kematian Utsman, sebab dia adalah keluarga Utsman yang terdekat, sama-sama Bani Umaiyah.

Akhirnya tentara Muslimin yang ada di Madinah terpaksa dikerahkan oleh Ali buat menaklukkan Aisyah, Zubair, dan Thalhah terlebih dahulu, sehingga terjadilah Peperangan Unta yang terkenal. Sebab, Aisyah pemimpin peperangan itu dengan menaiki seekor unta.

Sayang sekali Zubair dan Thalhah terbunuh dalam peperangan itu dan Aisyah tertawan, lalu diiringkan kembali ke Madinah.

Selesai itu Ali menghadapkan kekuataannya memerangi Mu'awiyah, yang telah menyatupadukan kekuataannya dengan kekuatan Amr bin Ash di Syam.

Maka, terjadi pulalah Peperangan Shiffin yang terkenal, yang memusnahkan 35.000 tentara Ali dan 45.000 orang tentara Mu'awiyah.

Kemudian terjadilah gencatan senjata dan perundingan di Daumatul Jandai di antara utusan Mu'awiyah dengan utusan Ali.

Utusan Mu'awiyah ialah Amr bin Ash dan utusan Ali ialah Abu Musa al-Asy'ari.

Dalam perundingan itu Abu Musa kalah siasat dan Amr bin Ash menang diplomasi.

Maka, timbullah satu haluan pemuda yang berhaluan sangat kiri yang bernama "gerakan Khawarij", yang memandang bahwa sebab-sebab timbulnya perpecahan umat ialah tiga orang, yaitu Ali, Mu'awiyah, dan Amr bin Ash.

Mereka bermufakat hendak membunuh ketiga orang ini.

Akan tetapi, yang berhasil sampai terbunuh ialah Ali di Kufah.

Amr bin Ash tidak pergi ke masjid di pagi yang nahas itu sebab dia sakit lalu digantikan oleh Kharijah. Maka, Kharijah yang terbunuh.

Mu'awiyah keluar juga pagi itu, tetapi ketika diserbu oleh si pembunuh, tidaklah tepat kenanya, hanya mendapat luka enteng.

Maka, dengan sebab fitnah pertama yang timbul di Madinah tadi tidak diawasi permulaan terjadinya, pecah-belahlah kaum Muslimin, yang sampai sekarang ini bekasnya masih dirasai, yaitu dengan timbulnya firqah-firqah dan golongan.

Perpecahan di antara kaum Syi'ah dengan kaum Ahlus Sunnah dan kaum Khawarij.

Sebagai tersebut dalam ayat ini, dia telah diperingatkan oleh Allah pada sehabis Peperangan Badar supaya awas, waspada dan pelihara benar-benar jangan sampai kemasukan fitnah, atau provokasi yang akan melemahkan kekuatan.

Cobalah perhatikan orang-orang yang sebagai Ali bin Abi Thalib, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidullah. Ketiganya termasuk sahabat pilihan dan termasuk "Sahabat yang Sepuluh." Ikut dalam Peperangan Badar, semua tewas karena perselisihan sesama sendiri.

Dan, orang-orang yang masuknya ke dalam Islam terkemudian, terutama Mu'awiyah, dengan dalih menuntut darah Utsman merebut kuasa mendirikan kerajaan dari keluarganya sendiri Bani Umaiyah.

Di ujung ayat berfirmanlah Allah,

"Dan ketahuilah bahwasanya Allah amatlah pedih siksa-Nya." (ujung ayat 25).

Adzab siksaan Allah yang timbul karena fitnah merupakan adzab dunia yang paling pedih.

Bukan mainlah siksaan batin yang menimpa kaum Muslimin sesudah terjadi fitnah besar pembunuhan Sayyidina Utsman.

Seluruh umat terlibat ke dalam kancah perpecahan bertahun-tahun lamanya.

Orang-orang penting sebagai pembangun Islam, sejak Utsman, Ali, Zubair, Thalhah, tewas bukah karena perang dengan musuh dari luar, melainkan karena pedang kawan sendiri.

Hanya dua saja orang besar yang tidak mau campur, lalu mengundurkan diri dari sekalian kegiatan politik, yaitu: Sa'ad bin Abu Waqqash dan Abdullah bin Umar.

Padahal ini semuanya terjadi belum 25 Tahun setelah Rasulullah saw. wafat.

Di dalam sebuah riwayat dikabarkan bahwa pernah orang bertanya tentang ayat peringatan fitnah ini kepada Zubair bin Awwam.

Dengan mengeluh beliau menjawab, kami tidak sadar bahwa kamilah rupanya yang dituju oleh ayat ini.

Maka, pada Tahun ke-40 Hijriyah, Hasan bin Ali menyerahkan kekuasaannya kepada Mu'awiyah bin Abu Sufyan, untuk meredakan suasana dan mencapai keamanan.

Tahun ini dinamai orang "Tahun Persatuan" ('aamul jama'ah).

Namun, 'aamul jama'ah itu kemudian terganggu lagi.

Sebab, setelah Hasan meninggal, yang kata setengah riwayat kena racun, muncul adiknya Husain menentang Yazid, anak Mu'awiyah, yang telah diangkat saja oleh ayahnya akan menjadi penggantinya di kala dia masih hidup, dengan kekuatan pedang.

Akan tetapi, Husain dengan tentaranya yang kecil, dapat dihancurkan oleh tentara Yazid di Padang Karbala dan Husain sendiri mati terbunuh.

Kematian Husain menjadi buah ratap kaum Syi'ah sampai sekarang ini.

Dan, Abdullah bin Zubair mendirikan pemerintah sendiri di Mekah, tidak mengakui kekuasaan Bani Umaiyah di Syam.

Dia pun dihancurleburkan oleh tentara Bani Umaiyah di bawah pimpinan Hajjaj bin Yusuf.

Berlarut-larut ujung fitnah itu, sampai kerajaan Bani Umaiyah yang telah berdiri 80 Tahun dapat ditumbangkan lagi oleh kekuatan Bani Abbas.

Bekas dan Jejak daripada fitnah besar yang pertama, surat palsu yang dibuat orang atas nama Utsman, dan berpangkal dari Pemerintahan beliau yang terlalu mengutamakan keluarga, sampai sekarang masih dirasai oleh Dunia Islam.

Sebab itu, ayat ini menjadi peringatan bagi kaum Muslimin sebelum terjadinya.

Dan, banyak hadits Rasulullah saw. memberi peringatan akan bahaya fitnah.

Sesudah peringatan Al-Qur'an dan Hadits-hadits Rasulullah saw. itu, sudah 14 Abad usia Islam sampai sekarang.

Musuh yang paling berbahaya ialah fitnah dari dalam, prasangka, tuduh-menuduh, dan provokasi atau intimidasi dari dalam dan dari luar.

Melihat betapa besar dan hebatnya fitnah yang datang, sepintas lalu dapatlah dipikirkan sudah lama Islam ini akan hancur dan hilang dari muka bumi, karena tikam-menikam sesama sendiri.

Syukurlah dia masih utuh dan di dalam hebatnya fitnah sesama sendiri, masih ada yang tidak terlibat, yang terus menjalankan rencana perluasan Islam ke Afrika, bahkan ke Andalusia dan juga ke Asia Tengah, daerah-daerah Samarkand dan Isfahan, Kabul, bahkan sampai masuk ke anak benua India.

Sehingga fitnah-fitnah itu tidaklah sampai merusakkan kepada pokok Islam sendiri, sebab Al-Qur'an masih ada.

Namun, demikian, peringatan Allah dalam ayat ini perlulah menjadi pedoman bagi umat Islam di mana-mana, bahwasanya fitnah adalah amat berbahaya.

Yang kena bukan saja yang zalim, bahkan meliputi juga kepada orang-orang yang tidak bersalah, dan adzab siksanya amat mendalam bekasnya ke dalam jiwa, telah meremukkan kekuatan Islam di zaman lampau.

Sehingga pernah kejadian ada khalifah Bani Abbas di Baghdad, ada khalifah Bani Umaiyah di Andalusia, dan ada khalifah keturunan Ali di Mesir.

Semuanya saling cemburu-mencemburui, yang satu tidak mengaku yang lain, sehingga akhirnya khalifah Baghdad dihancurkan Houlako Khan dari bangsa Mongol.

Khalifah Bani Umaiyah di Andalusia runtuh karena orang-orang besarnya tak ada lagi, lalu berganti dengan kerajaan-kerajaan Islam kecil-kecil di tiap-tiap kota,

Sehingga mudah bagi kerajaan Nasrani mematahkan satu demi satu.

Dan, khalifah Fathimiyah di Mesir akhirnya hancur juga karena tidak mendapat sokongan rakyatnya yang bermadzhab Sunnah.

Dan, yang paling menyedihkan atas kejatuhan khalifah Bani Abbas di Baghdad, ialah karena Perdana Menteri adalah orang Syi'ah dan khalifah sendiri orang Sunni.

Perdana Menteri berkhianat, memudahkan masuknya musuh ke negeri yang jaya itu.

Padahal, dia sendiri pun mati dibunuh oleh tentara musuh yang telah menghancurkan negerinya, karena musuh memandang bahwa orang seperti ini tidak ada perlunya dihidupi.

Islam masih ada dan hidup.

Al-Qur'an pun masih utuh.

Kita akan membangkitkan Islam kembali.

Maka, ayat ini adalah pedoman penting bagi kita, yaitu awaslah bahaya fitnah.

"Dan, ingatlah olehmu seketika kamu masih sedikit dan ditindas orang di bumi, takut akan diperkucilkan orang." (pangkal ayat 26).

Ayat ini adalah sambungan, peringatan kepada kaum Muslimin sehabis Peperangan Badar.

Sesudah diberi peringatan supaya berawas diri dari bahaya fitnah, diperingatkan bagaimana nasib mereka sebelum Islam tegak dengan kekuasaannya yang gemilang itu.

Tidak ada lagi satu bahagian pun dari jazirah Arab itu pada masa itu yang tegak berdiri merdeka, kecuali di Mekah yang sedikit itu.

Di Timur, Arabia sudah di bawah kekuasaan Parsi, di Utara di bawah kekuasaan Romawi, di Selatan di bawah kekuasaan Habsyi. Yang tinggal merdeka hanya sedikit di sebelah Barat, yaitu Mekah dan sekitarnya. Hanya yang sedikit itulah, itu pun ditindas orang pula, sehingga pernah Ka'bah hendak dihancurkan oleh tentara Abrahah, Panglima Perang Habsyi yang datang dari Yaman. Sehingga sejak itu rasa takutlah yang meliputi hati penduduk, takut akan diperculikkan orang, yaitu bangsa Parsi, Romawi, dan Habsyi.

"Maka, Dia telah memperlindungi kamu dan menyokong kamu dengan pertolongan-Nya dan dikaruniai-Nya kamu dengan sebagian yang baik-baik; supaya kamu berterima kasih." (ujung ayat 26).

Inilah peringatan Allah kepada kaum Muslimin, dan peringatan lagi bagi kaum Musyrikin yang masih menentang Islam bahwa sesudah peperangan Badar keadaan telah berubah.

Bangkitnya Islam adalah satu zaman baru bagi bangsa Arab.

Kepada orang Muhajirin yang terpaksa pindah dari Mekah ke Madinah, ayat ini memperingatkan nikmat Allah kepada mereka, sebab Allah telah melindungi mereka dari sebab kaum Anshar telah bersedia menerima mereka supaya hidup bersama menegakkan Islam di Madinah.

Dan, Allah menyokong kamu, yaitu dengan kemenangan yang gilang-gemilang di Peperangan Badar itu; dan mereka, Muhajirin dan Anshar diberi rezeki yang baik-baik, yaitu rampasan perang yang benar-benar diambil dengan tenaga perjuangan.

Semuanya itu hendaklah mereka syukuri.

Menurut riwayat dari Ibnul Mundzir dan Abusy-Syaikh dan Ibnu Jarir, dari Qatadah, ketika beliau menafsirkan ayat ini, "Dan ingatlah olehmu ketika kamu masih sedikit" dan seterusnya, beliau berkata, "Penduduk negeri ini (Mekah, peny) dahulunya adalah rendah serendah-rendahnya, hidup yang paling melarat, perut yang paling lapar, badan telanjang, otak pun gelap. Tertegun di atas puncak batu, di antara dua kekuasaan, yaitu Parsi dan Romawi." Tidak ada, demi Allah, di dalam negeri mereka apa yang akan dikagumkan orang; yang hidup, hiduplah dalam kemelaratan. Yang mati pergilah masuk neraka. Hanya dimakan orang saja, tidak pernah memakan. Tidak ada, demi Allah, satu kabilah pun di muka bumi ini yang lebih sengsara kehidupannya daripada mereka, sampai datangnya Islam. Maka, setelah Islam datang, berkuasalah mereka dalam negeri dan diluaskanlah oleh Allah rezeki untuk mereka, dan telah dijadikan-Nya kamu jadi raja di atas leher manusia. Dengan sebab Islamlah Allah Ta'aala telah memberikan kepada kamu apa yang kamu lihat sekarang ini. Oleh sebab itu, syukurilah Allah atas nikmat-Nya itu kepada orang-orang yang bersyukur; dan orang-orang yang bersyukur selalu akan ditambahi oleh Allah nikmatnya atas mereka." Demikian tafsiran Qatadah.

Menurut riwayat Abusy-Syaikh pula, bahwa Ibnu Jarir menafsirkan bunyi ayat "Diperkucilkan orang kamu." Dilarikan orang kesana-kemari, ditentukan, bukan menentukan, yaitu di Mekah di zaman jahiliyyah. "Maka, Dia telah melindungi kamu," yaitu dengan sebab datangnya agama Islam. Dan, menurut Ibnu Abbas pula, ditanyai orang Rasulullah saw. siapakah yang dimaksud dengan kata diperkucilkan orang? Dan siapa yang dimaksud dengan orang itu? Rasulullah menjawab, "lalah orang Parsi!

As-Suddi menafsirkan "diberi perlindungan kamu" ialah perlindungan karena terbuka hati orang Anshar menerima mereka di Madinah dan "menyokong kamu dengan pertolongan-Nya," ialah pertolongan karena kemenangan di Perang Badar.

Maka, kumpulan ayat ini, sejak dari peringatan supaya berawas diri dari bahaya fitnah, lalu disambut dengan ayat ini, memperingatkan kepada kaum Muslimin di zaman Rasul tentang perubahan nasib mereka, daripada bangsa yang hina-dina, tidak dihargai orang, malahan ditindas dan diperkucilkan; kemudian menjadi bangsa besar karena Islam, sampai menguasai sebahagian besar dunia, patutlah menjadi peringatan lagi bagi seluruh kaum Muslimin di zaman kita.

Berpuluh bahkan beratus tahun negeri-negeri Islam jatuh dalam cengkeraman bangsa-bangsa lain yang kuat dan gagah, diperkucilkan dan ditindas.

Maka, sekarang, Alhamdulillah, telah merdekalah sebagian besar dari negeri Islam, dan termasuklah negeri Islam Indonesia.

Maka, awaslah diri dari fitnah dan syukuri Allah atas nikmat kemerdekaan yang telah diberikan, dan jadikanlah kemerdekaan itu menjadi jembatan emas untuk mencapai tujuan yang terakhir,

Yaitu menegakkan ridha Allah dalam negeri sendiri dan untuk memancarkan pula sinarnya ke seluruh dunia.

Al-Qur'an sebagai pedoman pertama masih ada.

Dan, kita akan bangkit kembali, menyambung perjuangan Muhammad saw. menegakkan kebenaran dan keadilan di atas permukaan bumi ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 690-694, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

UKHUWAH ISLAMIYYAH

"Muhammad adalah utusan Allah!" (pangkal ayat 29).

Inilah pedoman hidup dan pedoman perjuangan bagi kaum Muslimin dalam menghadapi dunia. Kita mengakui kerasulan beliau ialah dengan konsekuensinya sekali; akan meniru meneladan langkah, mencontoh sepak terjangnya, menjunjung tinggi sunnahnya. Muhammad Rasulullah itu adalah laksana cahaya yang memberikan terang bagi kita buat melanjutkan perjuangan ini.

Setelah terjadi persatuan keyakinan, persatuan aqidah dan ibadah dan persatuan dalam pandangan hidup, dengan sendirinya timbullah persaudaraan yang rapat.

Lantaran persaudaraan yang rapat maka timbullah persatuan sikap dan perangai yaitu,

"Dan orang-orang ada besertanya bersikap keras terhadap orang-orang yang kafir; sayang-menyayangi di antara sesama mereka."

Begitulah sikap hidup dari umat yang telah mengaku tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad Rasulullah itu.

Dia sesama sendiri, bersatu aqidah, bersatu pandangan hidup adalah cinta-mencintai, seberat seringan, sehina semalu, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing dengan sesama beriman.

Di antara "awak sama awak" yang sepaham tidak ada soal. Tidak ada kusut yang tidak terselesaikan, tidak ada keruh yang tidak dijernihkan.

Itulah yang dinamai ukhuwah islamiyah.

Inilah yang dikuatkan oleh sabda Nabi Muhammad saw.,

"Perumpamaan persaudaraan orang-orang yang beriman itu dalam cinta-mencintai dan berkasih sayang adalah laksana tubuh yang satu. Apabila mengeluh satu bagian tubuh, menjalarkan ke segala bagian tubuh rasa demam dan tidak tidur."

Dan sabda beliau saw. pula,

"Orang yang beriman dengan sesamanya orang yang beriman adalah laksana satu bangunan jua: satu bagian menguatkan kepada yang lain."

Kedua hadits ini shahih dan terkenal.

Lalu sambungan ayat selanjutnya,

"Engkau lihat mereka itu rukuk, sujud mengharapkan karunia daripada Allah dan ridha-Nya."

Tampak tertonjol lagi sifat Mukmin yang ketiga, yaitu mereka selalu memperkukuh iman yang telah tumbuh dalam dada dengan memperkuat ibadah, rukuk dan sujud, shalat dengan khusyu, tidak ada yang mereka harapkan dan yang lain, kecuali semata-mata dari Allah, yaitu karunia Allah dan ridha Allah.

Maka bertambah kuat ibadahnya yang demikian, niscaya bertambah kuat pulalah hubungan dan kasih sayang di antara satu sama lain dan bertambah pula keras disiplin mereka menghadapi musuhnya.

Mereka bukan fanatik!

Karena fanatik bukanlah tanda dari teguhnya iman, melainkan tanda dari gelapnya pikiran.

Tetapi dalam sikap Mukmin yang lemah lembut itu, lunak lembutnya tidaklah mudah saja buat disudu, dan kerasnya tidak mudah buat ditukik.

Dia bersikap baik kepada orang lain, tetapi aqidahnya jangan dipermainkan, agamanya jangan dihinakan.

Orang yang beradab pastilah pandai pula menghormati keyakinan orang lain walaupun dia sendiri tidak sesuai dengan keyakinan itu.

Lalu ditunjukkan lagi tanda yang istimewa pada orang-orang beriman itu,

"Ada tanda-tanda mereka pada wajah-wajah mereka dari sebab bekas sujud."

Wajah mereka bersinar, tidak cemberut, tidak beringis, melainkan memancarkan kejernihan selalu, sehingga tidak ada kusut yang tidak selesai, tidak ada keruh yang tidak jernih apabila telah berhadapan dengan orang shalat.

Sebab dengan selalu bersujud itu orangnya tidak menjadi sombong.

Dia telah selalu menundukkan kepalanya bersujud kepada Allah. Di waktu sujud itu insaflah dia akan kerendahan dirinya di hadapan ketinggian dan kemuliaan, Allah.

As-Suddi mengatakan,

"Shalat itu membuat wajah orang jadi cerah."

Sesuai dengan pantun Melayu,

Sayang-sayang buah tempayang,

Sugi-sugi mengarang benih,

Alangkah elok orang sembahyang,

Hati suci mukanya jernih.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 406-408, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AKHLAK MUSLIM (I)

Ayat-ayat ini, mulai dari sini, menerangkan dasar budi dan kehidupan Muslim.

Pokok pertama budi terhadap Allah.

Di sinilah pangkalan tempat bertolak.

Di sini pohon budi yang sejati.

Yang berjasa kepada kita, yang menganugerahi kita hidup, memberi rezeki, memberikan perlindungan dan akal, tidak ada yang lain, hanya Allah.

"Dan telah menentukan Tuhanmu, bahwa jangan engkau sembah, kecuali Dia." (pangkal ayat 23).

Pada ayat 22 di atas tujuan hidup dalam dunia ini telah dijelaskan, yaitu mengakui hanya satu Tuhan itu, yaitu Allah.

Barangsiapa mempersekutukan-Nya dengan yang lain, akan tercelalah dia dengan terhina.

Pengakuan bahwa hanya satu Tuhan, tiada berserikat dan bersekutu dengan yang lain, itulah yang dinamai Tauhid Rububiyah.

Kemudian, datanglah ayat 23 ini, bahwa Allah itu sendiri yang menentukan, yang memerintah, dan memutuskan bahwa Dialah yang mesti disembah, dipuji, dan dipuja.

Tidak boleh, dilarang keras menyembah selain Dia.

Oleh sebab itu, cara beribadat kepada Allah, Allah itu sendirilah yang menentukan.

Maka tidak pulalah sah ibadat kepada Allah yang hanya di karang-karang sendiri.

Untuk menunjukkan peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa itulah, Dia mengutus rasul-rasul-Nya.

Menyembah, beribadah, dan memuji kepada Maha Esa itulah yang dinamai Tauhid Uluhiyah.

Itulah pegangan pertama dalam hidup Muslim.

Dan tidaklah sempurna pengakuan bahwa Allah itu Esa kalau pengakuan tidak disertai dengan ibadah, yaitu pembuktian keimanan. Arti ibadah itu dalam bahasa Indonesia (Melayu) adalah menghambakan diri, atau pembuktian dari ketundukan. Mengerjakan segala yang telah dinyatakan baik oleh wahyu dan menjauhi segala yang telah dijelaskan buruknya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 268-269, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AKHLAK MUSLIM (II)

Dalam ayat 30 telah diterangkan bahwa ada manusia yang diberi rezeki yang luas, ada pula yang kesempitan selalu, tidak mencukupi.

Allah mengetahui dan melihat bagaimana manusia menerima nasibnya.

Orang yang mampu sudah diberi tuntunan supaya dermawan dan pemurah.

Teranglah bahwa wahyu Ilahi adalah rata untuk seluruh bangsa manusia.

Bukan orang Arab saja.

Karena takut miskin, memang banyak orang yang kesal mendapat anak banyak.

Orang Arab sama dengan orang Tionghoa, mendasarkan keluarga kepada perbapaan, (patriaarchat), sebab itu mereka lebih suka anak laki-laki.

Tetapi, orang Minangkabau di negerinya berkeluarga peribuan.

Mereka lebih suka anak perempuan.

Di dalam kehidupan kota di zaman industrialisasi ini, banyak anak menjadi beban berat, orang-orang miskin ada yang menjual anak.

Orang-orang kaya ada yang mengadakan operasi pada rahim untuk mencegah jangan dapat anak.

Maka Al-Qur'an memberikan ajaran budi buat seluruh manusia dalam segala zaman.

Jangan membunuh anak karena takut miskin.

Kesukaran hidup dapat diatasi, baik secara sendiri-sendiri atau secara bersama.

Islam menyediakan satu pintu dalam harta orang kaya, yang wajib dikeluarkannya untuk membantu orang miskin.

Itulah zakat.

Penguasa dapat mengambil harta itu dari tangan si kaya dan diberikan kepada si miskin.

Dalam masyarakat Islam tidak boleh ada orang yang melarat.

Ibnu Hazmi, mujtahid Andalusia yang terkenal itu, berkata,

"Kalau di dalam sebuah kampung (lorong) kedapatan orang mati kelaparan, seisi kampung itu dikenakan hukuman adat."

Perhatikanlah ayat ini kembali, bersama ayat-ayat yang sebelumnya.

Ayat 31 yang melarang membunuh anak karena takut miskin adalah sesudah ayat-ayat 25 sampai 30 yang menuntun orang-orang yang mampu supaya membantu yang miskin.

Tersebab ayat ini timbullah pendapat-pendapat ulama tentang membatasi kelahiran atau keluarga berencana.

Ulama-ulama Islam ada yang berpendapat boleh azl, yaitu menggelicikkan mani keluar dari faraj perempuan supaya jangan jadi anak.

Tetapi kebanyakan ulama pula mengatakan perbuatan itu makruh. (Boleh! Tetapi dibenci. Atau tercela, meskipun tidak terlarang).

Ada juga ulama modern berpendapat bahwa untuk menjaga kesehatan perempuan yang karena banyak melahirkan anak, sehingga badannya sudah lemah, boleh diadakan operasi pada rahimnya hingga tidak beranak lagi.

Tetapi, tidak ada ulama Islam yang berijtihad untuk membolehkan membunuh anak.

Ijtihad hanya berlaku pada perkara-perkara yang tidak jelas nashnya.

Ulama mujtahid pun sependapat bahwa menggugurkan anak yang dalam kandungan, yang telah bernyawa, sama juga dengan membunuh.

Menurut hadits, nyawa mulai ditiupkan setelah dikandung 3x40 hari = 120 hari; atau dalam kandungan 4 bulan.

Tetapi, penyelidikan menunjukkan bahwa di waktu berpadunya mani si laki-laki dengan mani si perempuan pada yang dikandung itu sudah mulai ada hidup.

Sebab itu, mulai anak dikandung sudah wajib kita memeliharanya sampai lahir.

Di sini dapatlah kita merenungkan betapa nilai hidup menurut agama.

Suatu nyawa wajib dipelihara.

Ada hidup ada rezeki.

Jangan bosan mengasuh anak karena cemas tentang makannya.

Jaminan hidup untuk dia dan untuk yang mengasuhnya ada selalu dari Allah.

Kehidupan masyarakat Islam yang dikehendaki Allah bukanlah hidup yang nafsi-nafsi, yang kaya melupakan yang miskin.

Dalam pada itu, Islam memerintahkan amal di samping iman.

Tidak boleh ada orang yang tidak beramal.

Beramal artinya berusaha.

Agama memerintahkan.

Dan negara yang teratur pun mencita-citakan itu.

Jangan ada dalam masyarakat orang yang melarat, yang tidak kebahagian pekerjaan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 279-280, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Peliharalah olehmu dengan sungguh-sungguh shalat-shalat itu dan shalat yang paling tengah, dan berdirilah kamu karena Allah dengan khusyu." (ayat 238).

Apa lagi tandanya keislaman kalau shalat yang telah runtuh?

Perhatikanlah dengan saksama apabila kita masuk ke satu daerah. Yang kita maksudkan ialah daerah-daerah yang di dalam "perhitungan" disebut daerah yang berpenduduk Islam.

Apabila di negeri itu masjid berdiri dan shalat terpelihara baik, penduduknya aman dari pencuri, perampok, dan kicuh tipu amat berkurang. Muka orang jernih-jernih, penghidupannya sederhana, dan kegiatan mencari rezeki tidak kendur.

Sebaliknya, kalau kita masuk ke satu daerah lagi, tegasnya suatu desa atau dusun atau kampung, kalau di sana shalat tidak berdiri atau sudah redup cahayanya karena tidak ada yang memimpinkan agama dengan aktif, di sanalah yang banyak pencurian, penipuan, huru-hara, dan dari sana banyak perempuan melacur ke kota.

Ayat menyuruh memelihara shalat ini bertali dengan ayat yang sebelumnya tentang hubungan bersuami-istri beserta anak keturunan dalam rumah tangga berdasar takwa.

Maka, rumah tangga yang tidak menjalankan shalat lagi, tidak mengenal apa yang dikatakan shalat, padahal masih mengakui diri orang Islam, dalam rumah tangga beginilah hidup yang hambar, memuakkan, kosong, dan tidak ada tujuan.

Mudah melepaskan cerai, mudah melakukan segala macam usaha asal perut kenyang biar tidak halal sekalipun.

Tidak ada kegembiraan jiwa lain selain berpiknik, menonton bioskop, membeli baju baru, dan mementingkan diri sendiri.

Shalat penghambat dari kekejian dan kemungkaran; dia adalah pendinding dari kejahatan.

Di tempat terpencil sendiri pun orang yang shalat tidak akan berbuat jahat sebab dia merasa bahwa Tuhan selalu ada di dekatnya.

Orang yang memelihara shalat bisa dipercaya kalau berjanji dan suka mencampurkan diri kepada masyarakat sebab dia dididik dalam jamaah dan shalat Jum'at.

Orang yang memelihara shalat adalah orang yang setia.

Setia kepada tanah air dan bangsanya, setia kepada kaum dan keluarganya, sebab dia setia kepada Tuhan.

Dia tidak pembenci, dia tidak pendendam.

Bertambah dia tekun dan khusyu dalam shalat, bertambah dia menjadi al-insan al-kamil, manusia yang sempurna dalam lingkungan kemanusiaannya.

Boleh tuan bantah keterangan ini karena tuan melihat kenyataan.

Tuan banyak melihat orang shalat yang penipu, bodoh, penuh takhayul, penuh khurafat.

Memang!

Sebab yang tuan lihat itu hanya orang yang memelihara tubuh shalat, tetapi tidak memelihara jiwanya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 469-471, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Maka Setanlah yang telah menipu mereka dan merayu mereka." (ujung ayat 25).

Perdayaan Setan tidak saja akan datang merayu orang bodoh, bahkan orang sangat pandai pun dapat dirayunya dengan kepandaiannya.

Seorang ulama besar, Syekh Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengarang sebuah kitab bernama Naqdul Ilmi wal Ulamaa yang isinya ialah menguraikan bagaimana Setan merayu dan memperdayakan manusia dalam segala bidang.

Orang alim, ahli tasawuf, ahli fiqih dan berbagai macam keahlian agama, semuanya dicoba oleh Setan merayu mereka sampai jatuh.

Itulah sebabnya maka kita dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. agar membaca doa sehabis shalat,

"Ya Allah yang dapat memutarbalikkan hati manusia, tetapkanlah hatiku di dalam agama Engkau dan taat kepada Engkau."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 347, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENDIRIAN YANG TEGAS

"Dan aku adalah yang mula pertama menyerah diri." (ujung ayat 163).

Sifat-sifat ketuhanan Allah sudah terang dan nyata, jalan lurus menuju-Nya pun sudah terang. Teranglah bahwa Dia Esa dalam seluruh kekuasaan-Nya. Oleh sebab itu, kepada-Nya-lah tiap-tiap orang yang berpikiran waras akan menyerahkan dirinya.

Dan bebas merdeka tiap-tiap orang yang berpikiran waras dari pengaruh yang lain.

Sebab yang lain itu adalah alam belaka, makhluk belaka, dan benda belaka.

Diriku ini ingin bebas, ingin merdeka dari segala benda itu lalu menyerah kepada Dia, Allah Yang Esa itu.

Menyerah diri itulah yang disebut Muslim, dan penyerahan diri itulah yang disebut Islam.

Dan ini pulalah tuntunan tegas kepada manusia seluruhnya supaya bersama-sama menempuh jalan menyerah diri kepada Allah itu, menjadi Muslimin.

Ucapan yang diajarkan Allah kepada Rasulullah saw. ini adalah inti sejati tauhid, tawakal yang sempurna kepada Allah, dalam tiap gerak jantung dan gerak hidup. Setiap ibadah, sejak dari shalat, puasa, zakat dan naik haji, semuanya untuk Allah.

Hidup dan mati diserahkan kepada Allah.

Kehidupan yang nyata dan kehidupan dalam cita, sama sekali meyakinkan penyerahan yang bulat kepada Allah dan keridhaan menerima ketentuan-Nya.

Di pangkal ayat dijelaskan,

"Katakan!"

Artinya ialah bahwa ucapan ini, yaitu bakal hidup, tauhid yang sejati dan pengabdian yang sempurna, semuanya hanya kepada Allah Rabbul 'alamin.

Timbul ucapan yang demikian karena hati telah sampai pada puncak keyakinan bahwa yang menjaga memelihara, yang melindungi dan menentukan hanya Allah saja. Ditegaskan lagi bahwa Dia tidak bersekutu dengan yang lain. Laa syarika lahu. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan segala yang aku kerjakan ini, aku kerjakan sebab demikian aku diperintahkan.

Dan untuk buktinya, aku pun tampil ke muka, aku orang yang pertama.

Dan segala akibat dari pengakuanku ini, walau mati sekalipun aku sudi menerimanya.

Dalam satu doa iftitah pembukaan shalat, sebelum kita membaca al-Faatihah, Nabi pun mengajarkan agar kita umatnya membaca pula ayat ini.

Kita sebagai umat Nabi hendaklah meniru Nabi dalam segala langkahnya, agar sampai ke akhirat kelak pun kita tetap di dalam rombongan yang mengiringkannya.

Kita pun disuruh Islam yang kamil, menyerah yang sepenuhnya mengabdikan diri, beribadah kepada Allah.

Dan kita diperintah mengerjakan ibadah menurut yang dicontohkan oleh Rasul, maka kita pun taat.

Sami'na wa atha'na, kami dengar dan kami patuhi.

Ayat ini dilanjutkan lagi dengan penegasan lain, sebagai tantangan kepada orang yang masih ragu-ragu atas pendirian ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 363, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AL-ANSHAR

"Maka orang-orang inilah yang beroleh kemenangan." (ujung ayat 9).

Yaitu terutama sekali kemenangan menguasai diri sendiri.

Di ujung ayat ini dapatlah seorang beriman mengambil kesimpulan bahwa orang yang dapat mengatasi atau menekan sifat kikir yang jadi bawaan setiap diri, sehingga kikir itu tidak menghalanginya lagi buat berkorban adalah satu kemenangan utama bagi seseorang atas dirinya sendiri.

Dan hal kikir atau lokek atau kedekut kejai ini. Rasulullah saw. pernah bersabda,

"Jauhilah olehmu perbuatan aniaya. Karena aniaya itu akan membawa kegelapan di hari Kiamat kelak, dan peliharalah dirimu daripada pengaruh kikir. Karena kikir itulah yang telah membinasakan mereka yang sebelum kamu. Kikir itulah yang telah menyebabkan mereka menumpahkan darah dan memandang halal apa yang diharamkan bagi mereka." (HR. Muslim dan Imam Ahmad).

Maka kita dapati lima kelebihan dan pujian bagi kaum Anshar.

Pertama, mereka telah menunggu saudaranya Muhajirin di kota tempat mereka dengan tetap dalam iman.

Kedua, mereka mencintai saudara-saudara mereka yang datang menumpangkan diri itu.

Ketiga, mereka tidak merasa dengki ataupun keberatan jika kaum Muhajirin itu diberi pembagian lebih banyak, bahkan harta rampasan Bani Nadhir sebagian besar hanya untuk Muhajirin.

Keempat, mereka lebih mengutamakan saudara-saudara mereka yang baru hijrah itu, lebih dari mengutamakan diri mereka sendiri.

Kelima, mereka telah sanggup mengatasi sifat kikir mereka, sehingga mereka mendapat kemenangan. Oleh sebab itu tegaklah Islam dengan teguhnya karena adanya kedua kaum ini, yaitu Muhajirin dan Anshar.

"Dan (pula) orang-orang yang datang sesudah mereka." (pangkal ayat 10).

Ada dua tiga macam penafsiran tentang siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang datang sesudah Muhajirin dan Anshar ini.

Setengah ulama menafsirkan ialah yang datang sesudah era sahabat, yang diberi sebutan tabi'in, yaitu mereka yang mendapati sahabat-sahabat Rasulullah dan berguru belajar kepada mereka.

Tetapi setengah ahli tafsir lagi menafsirkan bahwa yang datang sesudah Muhajirin dan Anshar itu ialah segala orang yang mengaku percaya kepada risalah Nabi Muhammad saw., walaupun telah jauh jarak waktunya.

Pertemuan di antara jiwa kaum Muslimin di seluruh tempat dan di seluruh zaman, tidaklah ada yang membatasinya.

Walaupun kita yang 14 Abad sesudah Nabi ini, masuklah juga dalam golongan "orang-orang yang datang sesudah mereka", asal kita setia memegang teguh ajarannya, menjalankan Sunnah-nya.

Meskipun jarak sudah sejauh itu, namun jiwa ini masih terasa amat dekat, sehingga dibuktikan dengan doa,

"Mereka itu berkata, "Ya Tuhan kami! Ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan iman.""

Oleh sebab mereka telah lebih dahulu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sedang kami ini datang kemudian, sudilah kiranya Allah memberi ampun kepada kami kalau ada kesalahan kami, bersamaan juga hendaknya Engkau memberi ampunan kepada orang-orang yang beriman lebih dahulu dari kami.

"Dan janganlah Engkau jadikan di dalam hati kami rasa dengki kepada orang-orang yang beriman."

Karena dengki adalah penyakit yang paling berbahaya dalam merusakkan iman itu sendiri dalam jiwa orang yang pendengki.

"Tuhan kami! Sesungguhnya Engkau adalah Maha Penyantun, Maha Penyayang." (ujung ayat 10).

Ayat diujungi dengan menyebut dua sifat Allah yang sesuai dengan perasaan halus orang beriman, yang meskipun mereka datang jauh di belakang hari, namun mereka mempunyai harapan kepada Ilahi agar diberi kedudukan berdekat dengan kaum Muhajirin dan Anshar itu, dalam imannya kepada Allah.

Dan isi ayat pun memberikan kejelasan, bahwa jika terjadi jihad fi Sabilillah, yang memang tidak akan berhenti sampai hari Kiamat, maka Mukmin dan Mujahid yang datang jauh di belakang Rasul, pertemukan juga Ya Allah dengan orang-orang yang telah terdahulu itu.

Apa yang diharapkan oleh kita, umat Muhammad yang datang jauh di belakang ini, dirasakan juga rupanya oleh Rasulullah saw. dengan perasaan beliau yang amat halus dan mendapatkan tuntunan Ilahi.

Maka tersebutlah di dalam hadits yang shahih riwayat Muslim,

"Bahwasanya pada suatu ketika Nabi saw. pergi ke kuburan, lalu beliau baca, "Assalamu'alaikum wahai isi kampung yang beriman, dan sesungguhnyalah kami ini in syaa Allah akan menyusul kamu. Inginlah aku melihat ikhwanuna, saudara-saudara kita." Lalu para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah! Bukankah kami ini saudara-saudara engkau?" Rasulullah menjawab, "Bahkan kamu ini adalah sahabat-sahabatku. Saudara-saudara kita belumlah datang sekarang. Aku akan menemui mereka di telaga al-Haudh." (HR. Muslim).

Al-Haudh sendiri ialah nama sebuah telaga di surga nanti.

Dan ada lagi hadits-hadits lain yang menguatkan hadits ini, di antaranya ialah yang telah kita salinkan pada Tafsir al-Azhar Juz 1, bahwa Rasulullah menjanjikan 7 kali lipat kebahagiaan bagi orang-orang yang datang jauh di belakang beliau, tidak pernah melihat wajah beliau, namun beriman kepada beliau.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 46-48, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).