Senin

BUYA HAMKA TENTANG PEMURNIAN TASAWUF SUFI YANG SESAT

BUYA HAMKA SOSOK TELADAN: Pengawal Akidah Umat

kemenag.go.id/home/artikel/12724

Pengabdian dan pengorbanan Buya HAMKA dalam membangun kesadaran umat Islam mendapat apresiasi dari Pemerintah berupa gelar Pahlawan Nasional pada Tahun 2011.

kebudayaan.kemdikbud.go.id/buya-hamka-sosok-suri-tauladan-bermulti-talenta

RUMAH LABA-LABA

Kalau ada yang lain yang menyangka dirinya berkuasa sendiri di luar dari kekuasaan yang diberikan Allah, seperti yang dilakukan oleh Fir'aun, atau ada orang yang merasa bahwa kekayaan yang ada padanya adalah atas usahanya sendiri, tidak ada hubungan dengan Allah, seperti kelakuan Qarun, itu semuanya adalah Thaghut. Atau batu, atau kayu, atau berhala, atau keris, atau kuburan tua, ataupun barang-barang pusaka peninggalan orang tua-tua, atau tempat-tempat yang dianggap keramat dan sakti oleh manusia, maka manusia itu telah mengangkat barang-barang itu menjadi Thaghut, meletakkan kekuasaan kepada yang tidak berkuasa, meletakkan kebesaran kepada yang tidak besar, memberikan hak Allah kepada alam buatan Allah. Sama sekali itu adalah akar lapuk, atau berpegang dengan tali yang terdiri dari jaring lawah, jaring laba-laba, yang akan meruntuh diri yang memegangnya sendiri.

MENUHANKAN GURU

Termasuk juga dalam rangka ini, yaitu menganggap ada kekuasaan lain di dalam menentukan ibadah selain daripada kekuasaan Allah, ialah menambah-nambah ibadah atau wirid, doa dan bacaan pada waktu-waktu tertentu yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul saw. Ibadah tidak boleh ditambah dari yang diajarkan Rasul saw. dan tidak boleh dikurangi. Menambah atau mengurangi, memaksa-maksa dan berlebih-lebihan dalam ibadah adalah ghuluw. Dan, ghuluw adalah tercela dalam syari'at. Sama pendapat (ijma) sekalian ulama mencela perbuatan itu. Inilah dia Bid'ah!

DASAR ORANG MUSYRIK

Yang lebih disayangkan lagi ialah kesalahan penilaian mereka tentang arti wali Allah. Mereka pergi ke kuburan orang yang mereka anggap di masa hidupnya jadi wali, lalu dia memohon apa-apa di situ. Padahal ayat-ayat itu menyuruh orang bertauhid, mereka lakukan sebaliknya, jadi musyrik. Kalau ditegur dia marah, hingga mau dia menyerang orang yang menegurnya itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 678, Jilid 4 Hal. 137, Jilid 6 Hal. 156, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ORANG MUSYRIK MASUK MASJID

Ayat "kaum musyrikin adalah najis" yang dikemukakan disini adalah najis paham mereka, karena mereka mempersekutukan Allah dengan yang lain, bukan najis badan mereka, sehingga tidak boleh disentuh.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 328, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

SYEKH SITI JENAR DAN WALI-WALI YANG LAlN-LAIN

Mengenai Syekh Siti Jenar, kadang-kadang dimasukkan orang juga ia dalam golongan Wali Songo (sembilan). Untuk itu kadang-kadang Maulana Malik Ibrahim dikeluarkan dari golongan yang sembilan sebab ia dipandang seperti guru dari para wali, terdahulu zamannya. Kadang-kadang dimasukkan juga sebagai Maulana Ishak (saudagar Arab, ayah Raden Paku) lalu ditinggalkan disebut Sunan Muria. Setelah diselidiki tokoh yang disebut Syekh Siti Jenar, kian lama kian ragulah orang akan adanya seseorang yang benar-benar bernama Siti Jenar. Besar sangat kemungkinan bahwa pribadi ini "diada-adakan" untuk menyatakan pertentangan antara paham Tasawuf ajaran al-Hallay (yang berpendapat bahwa Tuhan pun bisa menjelma dalam manusia, dan manusia pun bisa bersatu dengan Tuhan, yang dinamakan paham Hulul atau Wihdatul Wujud) dan paham Tasawuf yang menuruti Sunnah, seperti yang diajarkan oleh al-Ghazali dan lain-lain. Pelopor paham al-Hallay mulanya tersebar di Aceh, disebarkan oleh Hamzah (orang Fansur) dan Syamsuddin (orang Sumatra/Samudra Pasai). Paham-paham kedua ulama Tasawuf Aceh yang timbul jauh kemudian hari (yaitu permulaan Abad ke-17) mengalir juga ke Tanah Jawa. Bahkan, pernah ulama Indonesia menanyakan masalah ini kepada seorang ulama besar di negeri Madinah, yaitu Syekh Ibrahim al-Kuran (lihat pada pembahasan surat pertanyaan dari Jawa, yang telah diterangkan sebelumnya).

Hikayat dan kisah tentang Syekh Siti Jenar sangat serupa jalannya dengan kisah al-Hallay. Dikatakan bahwa Syekh Siti Jenar meninggal dibunuh sebab ia mengajarkan paham agama yang tidak boleh diajarkan kepada orang awam. Demikian juga hukuman yang diterima al-Hallay. Dikatakan pula bahwa ketika ia akan ditangkap oleh pesuruh para wali, ia mulanya menjawab bahwa disini tidak ada Siti Jenar, yang ada hanya Tuhan. Pada kedatangan pesuruh yang kedua kali, barulah ia menyerahkan diri dan mengakui bahwa ia memang Siti Jenar. Demikian pula riwayat orang tentang al-Hallay ketika ia hendak ditangkap. Dikatakan bahwa ketika ia telah dibunuh, darahnya mengalir dari lukanya, kedengaran darah itu bersuara Tuhan. Demikian juga diceritakan orang tentang al-Hallay. Dikatakan bahwa Syekh Siti Jenar disalahkan oleh para wali sebab ia mengatakan, "Sayalah Tuhan," kawula Gusti. Demikian pula kisah asal tuduhan terhadap al-Hallay sebab ia pernah berkata, "Anal Haqqu”, sayalah al-Haqqu. Bertambah jelaslah bahwa cerita semacam ini terdapat pula di Banjarmasin tentang seorang guru Tasawuf bernama Syekh Abdul Hamid yang ditangkap dan dibunuh karena mengajarkan paham Tasawuf yang salah atas fatwa Syekh Arsyad, Mufti Kerajaan Banjarmasin. Ceritanya seperti itu pula. Terdapat pula cerita seperti demikian di Makasar tentang guru yang mula-mula membawa agama Islam ke Sulawesi, yaitu Datuk di Tiro, Datuk di Bandang dan Datuk Patimang. Dikatakan bahwa Datuk Patimang dibunuh oleh kedua kawannya sebab mengajarkan Tasawuf yang tidak boleh diajarkan kepada orang awam.

Apalagi nama Siti dan Jenar bahasa Jawa lama yang berarti tanah dan merah. Di Cirebon dan Banten ada pula guru lain dengan nama lain, yaitu Kiai Lemah (Tanah) Abang (Merah). Oleh sebab itu, sarjana Islam Indonesia, Prof. Dr. H. Rasyidi, telah mengemukakan dalam disertasinya di Universitas Sorbonne (1956) bahwa pribadi yang dinamakan Syekh Siti Jenar itu tidaklah ada. Itu hanya suatu cerita, hanyalah untuk memberi peringatan bahwa ilmu Tasawuf yang cenderung kepada panteisme amat berbahaya jika diajarkan kepada orang awam. Akan tetapi, cerita ini pun, meskipun pada lahirnya menunjukkan bahaya mempelajari Tasawuf demikian, pada batinnya adalah menimbulkan keinginan orang hendak mengetahui rahasia itu lebih mendalam lagi. Akibatnya, di Tanah Jawa, terutama Jawa Tengah, kitab primbon Jawa kuno lebih berpengaruh kepada jiwa orang daripada syari'at Nabi Muhammad saw. yang sejati.

(Buya HAMKA, Sejarah Umat Islam, Hal. 556-557, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

MENYAKITI ALLAH DAN RASUL-NYA

Satu hal yang lebih berbahaya daripada memarahi sesama manusia ialah memarahi atau memaki Allah SWT. Ini harus kita jaga dan dalam Al-Qur'an diterangkan,

"Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat dan menyediakan adzab yang menghinakan bagi mereka." (al-Ahzaab: 57).

Misalnya, ada orang yang ditimpa suatu musibah, entah kematian ayah, kematian anak, istri, atau mengalami kerugian dalam berdagang dan sebagainya, karena yang demikian pasti kita temui dalam hidup ini. Dalam menghadapi keadaan demikian, kerapkali secara tidak sadar ia menggerutu, menyesal dan perasaan lainnya yang menjurus kepada pelimpahan kesalahan kepada Allah. Ada orang yang tidak sadar bahwa perkataannya tersebut mendekati kepada kekafiran. Jika memang disengaja, ia sudah kafir. Contoh ia mengatakan, "Orang lain selalu senang, tetapi saya selalu susah. Saya sudah berturut-turut mendapat cobaan, sudah jatuh ditimpa tangga, ayah mati, ibu sakit, dagangan rugi, dan sebagainya."

Dalam bahasa Melayu, orang berkata, "Benar ada, percaya tidak." Dia mengakui Allah SWT ada, tetapi dia tidak percaya.

ILMU KEBAL

Kita pernah juga mendengar dari guru-guru yang sesat, yang mengajar ilmu kebal. Mereka mengatakan syaratnya adalah shalat sehingga tidak satu peluru pun yang dapat menembus kulitnya jika ditembak. Apabila dia ditusuk dengan pisau, kulitnya tidak akan terluka. Air tidak dapat membasahinya dan api tidak dapat menghanguskan kulitnya.

Ajaran itu tidak benar. Jika mau belajar ilmu kebal, silakan pergi ke tapekong Cina. Di sana kita melihat orang berjalan di atas api, tetapi agamanya bukan Islam dan ibadahnya pun tidak seperti yang kita kerjakan. Jadi, yang kita minta dari Allah bukanlah ilmu kebal badan. Sahabat-sahabat Nabi yang besar, yang iman kita belum sekuku (sebanding) dengan iman mereka, seperti Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam termasuk sepuluh sahabat pilihan yang semuanya meninggal karena kena tikam. Iman kita belum sekuku dengan iman mereka, tetapi tubuh mereka mempan kena pedang hingga luka dan akhirnya meninggal. Jadi, yang kita cari dengan shalat dan puasa bukanlah kebal badan kena pisau atau peluru, tetapi kekebalan jiwa dari segala godaan sehingga Setan tidak berani menggoda. Bahkan, Setan kasar maupun halus akan lari berhadapan dengan kita.

(Buya HAMKA, Tuntunan Puasa, Tarawih dan Shalat Idul Fitri, Hal. 66-77, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2017).

GEMA PEKIK ZIKRULLAH

Karena efek zikrullah, dengan pekik kumandang Allahu Akbar, terjadi perlawanan terhadap tentara Sekutu di Surabaya pada November 1945. HAMKA juga tak mengabaikan cerita putranya, Rusjdi, yang menerangkan kekuatan di sebalik kaki dan bahu para pemuda yang menghancurkan Gedung Aliarcham di Pasar Minggu, selepas kegagalan pemberontakan Partai Komunis pada 30 September 1965. Gedung milik Partai Komunis itu diserbu para pemuda, lalu dirobohkan hanya dengan tenaga badan bersama-sama. Kekuatan takbir mereka mampu menghancurkan bangunan, tanpa bantuan linggis atau peralatan lainnya. Sepasukan tentara yang menyaksikan pemandangan itu, tutur HAMKA, hanya terheran-heran.

"Zikir dengan suara keras sebagai penimbul semangat dalam hebatnya pertempuran perang, barangkali tidak terlarang dalam agama, meskipun dalam ayat-ayat yang lain terdapat larangan berzikir keras di luar perang," papar HAMKA. Ayat-ayat yang dimaksud, misalnya saja, al-A'raf (7) ayat 205 dan Maryam (19) ayat 3.

(Yusuf Maulana, Buya HAMKA Ulama Umat Teladan Rakyat, Hal. 40-41, Penerbit Pro-U Media, 2018).

ADAB SOPAN SANTUN BERDOA

Seperti tersebut dalam adab sopan santun berdoa, di dalam surah al-A'raaf ayat 55,

"Serulah Tuhan kamu di dalam keadaan merendahkan diri dan dengan suara yang lembut; karena sesungguhnya Dia tidaklah suka kepada orang-orang yang melampaui batas." (al-A'raaf: 55).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 451, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENGINGAT ALLAH DI DALAM HATI

"Dan, sebutlah Tuhan engkau di dalam hatimu dengan merendah diri dan takut; dan tidak dengan kata-kata yang keras, pada pagi hari dan petang; dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai." (al-A'raaf: 205).

Berkata Ibnu Katsir, "Lantaran itu sebaiknya janganlah berdzikir itu dengan bersorak-sorai atau suara keras."

Diriwayatkan daripada Abu Musa al-Asy'ari r.a. berkata dia, "Diangkat orang suaranya tinggi-tinggi karena berdoa suatu perjalanan. Maka, bersabda Nabi Muhammad saw. terhadap mereka, 'Hai sekalian manusia! Tahanlah diri kalian, karena kalian tidak menyeru orang tuli dan tidak pula Dia gaib. Yang kamu seru ini adalah Maha Mendengar lagi sangat dekat. Lebih dekat kepadamu daripada duduk kendaraanmu sendiri!'"

Tegasnya, janganlah bersuara keras-keras sehingga berubah sifatnya daripada khusyu kepada hiruk-pikuk.

Lantaran itu maka jelaslah dzikir yang dilakukan oleh kebanyakan penganut ajaran Tasawuf, sebagai ratib-tahlil beramai-ramai, bersama-sama dengan suara keras, sampai saking asyik dan lupa diri, terjadi yang mereka namai jadzab sampai pingsan, bukanlah dzikir ajaran Nabi Muhammad saw., melainkan yang dibuat-buat kemudian (Bid'ah) yang tidak berasal dari ajaran agama.

Dzikir yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. ialah tasbih: Subhaanallah, tahmid: Alhamdulillah, tahlil: La Ilaha Illallah, takbir: Allahu Akbar, hauqalah: La Haula wala Quwwata Illa Billahi dan istighfar: Astaghfirullah.

Maka, datanglah ahli-ahli Tasawuf membuat berbagai dzikir ciptaan sendiri, yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul. Ada dzikir yang hanya membaca Allah saja berkali-kali dengan suara keras-keras, bersorak-sorak sampai payah dan sampai pingsan. Ada dzikir yang huw saja. Karena kata mereka huwa yang berarti Dia, ialah Dia Allah itu sendiri. Kadang-kadang mereka adakan semacam demonstrasi sebagai menentang terhadap orang yang teguh berpegang kepada Sunnah. Maka, dzikir-dzikir semacam itu adalah berasal dari luar Islam atau telah menyeleweng sangat jauh dari pangkalan Islam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 651-652, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JANGAN MENGERASKAN SUARA!

"Serulah Tuhanmu dengan merendahkan diri dan bersunyi. Sesungguhnya Dia tidaklah suka kepada orang-orang yang melewati batas." (al-A'raaf: 55).

Sebab, Allah yang diseru itu bukanlah pekak atau tuli. Sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits yang dirawikan Bukhari dan Muslim dari Abu Musa al-Asy'ari, di dalam satu perjalanan bersama-sama dengan Rasulullah saw. ada beberapa orang yang membaca takbir dengan suara keras. Maka, bersabdalah Rasulullah saw. menegur mereka itu, "Wahai manusia, batasilah dirimu karena yang kamu seru itu bukanlah pekak dan bukan pula gaib di tempat jauh. Sesungguhnya kamu menyeru yang selalu mendengar dan dekat dan Dia adalah besertamu selalu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Lantaran itu, Imam Nawawi mengatakan bahwa ini menunjukkan bahwa saat mengerjakan dzikir hendaklah dengan suara rendah dan jangan keras kalau bukan sangat perlu, karena dengan bersunyi lebih memperdalam rasa kemuliaan-Nya dan membesarkan-Nya.

Kemudian Allah menyatakan bahwa Dia tidak suka kepada orang-orang yang melewati batas. Berdoa merendahkan diri atau bersunyi diri sehingga putus hubungan sama sekali dengan masyarakat, tidaklah pula disukai Allah. Berdzikir dan berdoa keras-keras sehingga mengganggu ibadah orang lain, tidaklah disukai Allah. Dan, berpanjang-panjang, bersajak berirama, tidak disukai Allah. Mendoa meminta yang tidak-tidak, tidaklah disukai Allah. Berdoa meminta celaka bagi orang lain, tidaklah disukai Allah. Tekun beribadah dan berdoa sehingga terlalai dari keperluan sehari-hari, tidaklah disukai Allah. Maka, bersihkanlah hati, mohonkanlah kepada Allah perlindungan dan petunjuk sambil berdoa, sambil berusaha.

Dari keterangan ayat ini, ditambah lagi dengan hadits larangan Rasulullah saw. berdzikir keras-keras karena Allah tidaklah pekak dan tidaklah jauh dari kita ini, penulis tafsir ini pernah dianjur-anjurkan oleh seorang guru tarekat yang datang ke Jakarta dari Sumatera Timur. Sehabis shalat lima waktu atau dalam waktu-waktu tertentu yang lain, pengikut tarekat yang mereka namai "Tarekat Mufradiyah" itu telah dzikir membaca, "Allah, Allah, Allah" bersama-sama dengan suara keras sambil menggeleng-gelengkan kepala, sehingga kadang-kadang saking sangat kerasnya mereka dzikir, ada di antara mereka yang lupa diri. Dan, kebanyakan yang menjadi pengikutnya bukanlah orang yang telah ada pengertian terlebih dahulu dalam hal ilmu-ilmu agama yang perlu, sehingga dzikir yang mereka sangka memuja Allah itu telah melanggar kepada larangan Allah sendiri. Demikian juga, sewaktu penulis tafsir ini masih kecil, usia 15 tahun, berjangkit penyakit cacar sehingga penulis dihinggapi penyakit itu (di Napal Putih 1923). Maka, seorang guru di Napal Putih itu menggerakkan murid-muridnya mengadakan apa yang mereka namai "Ratib Tolak Bala". Berjalan beriringan di jalan raya, sambil membakar kemenyan dan mengucapkan kalimat syahadat "Laa ilaha illallah" dengan suara keras bersama-sama, beramai-ramai dan berdzikir dengan suara keras-keras, "Laa ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah, Nabiyun akhirun zaman." Sebagaimana yang penulis lihat pula dilakukan orang di Makassar (Ujung Pandang) sewaktu penulis berada di sana pada 1932.

Perbuatan yang telah menyalahi ayat yang tengah kita tafsirkan ini, yakni mengada-ada dalam hal agama (Bid'ah), bahkan dengan terang-terang melanggar apa yang dilarang Allah. Itulah Bid'ah yang lebih dahsyat lagi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 440-441, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DZIKIR RIBUT-RIBUT

"Dan tidaklah ada shalat mereka di sisi rumah suci itu melainkan bersiul-siul dan bertepuk tangan. Maka, rasakanlah olehmu adzab, akibat dari kekufuran kamu itu." (al-Anfaal: 35).

Menurut Ibnul Qayyim di dalam kitab Ighatsatul Lahfan, ayat ini menunjukkan bahwasanya segala macam cara-cara dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, tetapi tidak menurut yang digariskan oleh Nabi sebagai yang dilakukan oleh ahli-ahli tasawuf, ada yang ratib menyorak-nyorakkan dan menyebut nama Allah dengan suara keras tiada sependengaran dan ada yang memakai seruling, genderang, rebana dan sebagainya yang menyebabkan ibadah itu menjadi heboh, samalah keadaannya dengan orang jahiliyyah sembahyang atau thawaf sambil bersiul, bertepuk tangan dan ada yang bertelanjang mengelilingi Ka'bah itu. Sampai beliau meminta perhatian kita. Adapun apabila laki-laki menjadi makmum di belakang imam, lalu imam kelupaan, tidaklah boleh laki-laki itu bertepuk tangan atau bersorak langsung menegur, hanyalah disuruh membaca tasbih, supaya suasana shalat jangan sampai berubah. Hanya perempuan yang disuruh mempertepukkan tangannya sedikit menegur imam yang khilaf itu karena kalau suara perempuan terdengar dalam shalat, bisa pula mengganggu suasana khusyu. Ibnu Taimiyah, guru dari Ibnul Qayyim menerangkan pula dalam salah satu fatwanya bahwa orang yang mendakwakan diri melakukan dzikir, yaitu penganut-penganut tasawuf, dengan bernyanyi, menabuh rebana, meniup seruling dan berkumpul ramai-ramai, yang menyangka bahwa itu adalah agama, untuk mendekatkan diri dan tarikat kepada Allah, semuanya itu bukanlah dari ajaran Islam dan tidak ada menurut syari'at yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Tidak pula dari salah seorang khalifah-khalifahnya. Dan, tidak ada pula salah seorang pun daripada imam-imam kaum Muslimin yang mengatakan baik. Bahkan tidak ada orang yang ahli dalam agama yang melakukan itu, baik di zaman Nabi, sahabat, tabi'in atau di zaman tabi' tabi'in. Tidak pula dikerjakan oleh orang yang ahli dalam agama di tiga zaman permulaan pada tiga buah negeri yang terkenal. Tidak di Hejaz, Syam, Yaman, Irak, Khurasan, Maghribi dan tidak pula di Mesir, pendeknya tidak ada orang berkumpul-kumpul buat mengadakan dzikir semacam itu. Hal ini barulah diada-adakan orang (Bid'ah) setelah lepas kurun yang tiga. Sebab, itulah maka Imam Syafi'i berkata, "Ketika saya meninggalkan Baghdad, saya lihat satu perbuatan orang-orang yang tergelincir dari Islam, yang mereka namai majelis dzikir yang sangat menghambat menghalangi orang untuk membaca Al-Qur'an." Ketika ditanyai orang Imam Ahmad tentang itu, beliau jawab bahwa beliau sangat benci melihatnya. Dan, ketika ditanyai apakah beliau suka hadir dalam majelis itu. Tegas beliau jawab, "Saya tidak mau hadir!" Demikian juga syekh-syekh dan ulama yang jadi ikutan, tidak seorang jua pun yang menyukainya. Ibrahim bin Adam, tidak menghadirinya, begitu pula Fudhail bin Iyadh, Ma'ruf al-Karakhi, Abu Sulaiman ad-Daraani, Ahmad bin Abil Hawari, as-Sirri, as-Saqthi dan yang lain-lain yang seumpama mereka, tidak ada yang menghadiri majelis yang semacam itu. Syekh-syekh yang terpuji, yang pada mulanya menghadiri majelis semacam itu, akhirnya insaf lalu tarik diri. Akhirnya Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa orang-orang yang benar-benar pengalamannya dalam soal-soal latihan keruhanian dan mengerti hakikat agama dan hal-ihwal hati, telah mendapat kesimpulan bahwa cara-cara demikian tidaklah ada manfaatnya bagi hati, melainkan lebih banyak mudharatnya. Bahayanya bagi jiwa sama dengan bahaya minuman keras bagi tubuh. Sekian kita salin beberapa perbandingan dari Ibnu Taimiyah, tentang dzikir ribut-ribut yang dilakukan orang-orang sufi, menyerupai apa yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah di Ka'bah itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 706-707, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Ya Tuhanku, penuhilah apa yang engkau janjikan kepadaku. Ya, Tuhanku, jika binasa rombongan Ahlul Islam ini tidaklah akan ada lagi orang yang akan menyembah-Mu di muka bumi ini!" (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi).

PEMBARUAN IBNU TAIMIYAH

Tidak ada petunjuk jalan yang lain, melainkan petunjuk yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Apabila seorang muslim telah menjalankan sepanjang yang diajarkan Nabi Muhammad saw. dengan tidak menambah atau mengurangi, maka iman si muslim itu akan bertambah tinggi mutunya. Semua orang bisa menjadi waliyullah, yang tidak merasa takut dan tidak merasa rusuh hati dan duka-cita dalam hidup ini, asal sistem hidup yang dipakainya persis menurut yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

(Buya HAMKA, Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, Hal. 309, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

LAKSANA GELEDEK DI SIANG HARI

Pendeknya, suasana pada waktu itu adalah suasana kuburan.

Niscaya suara Ibnu Taimiyah telah mengejutkan, laksana geledek di siang hari.

Ulama-ulama Fiqih sendiri mencari dalil buat membantah teguran Ibnu Taimiyah itu.

(Buya HAMKA, Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, Hal. 313, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

KEMURKAAN-KU DAN KEMURKAANMU!

Tidak ada berhala, tidak ada al-Laata, tidak ada al-Uzza, tidak ada Manaata dan yang lain. Jika di zaman sekarang tidak ada kubur keramat, wali anu dan keramat anu. Omong kosong!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 85, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

GERAKAN WAHABI DI INDONESIA

Wahabi dijadikan kembali sebagai alat, untuk menekan semangat kesadaran Islam oleh beberapa golongan tertentu, yang bukan surut ke belakang di Indonesia ini, melainkan kian maju dan tersiar.

Kaum komunis Indonesia telah mencoba menimbulkan sentimen umat Islam dengan membangkit-bangkit nama Wahabi.

(Buya HAMKA, DARI PERBENDAHARAAN LAMA: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Hal. 215, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Agustus 2017).

MENGHORMATI KEMERDEKAAN BERPENDAPAT

Kerapkali benar agama itu diambil menjadi perkakas untuk menentang pendapat yang baru dan kemerdekaan bersuara, baik di Barat dan di Timur.

Hal ini telah diderita oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, yang dituduh kafir lantaran tidak mengakui adanya syafaat wali-wali keramat.

(Buya HAMKA, LEMBAGA HIDUP: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 167-168, Republika Penerbit, 2015).

WASILAH

"Wahai orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan carilah jalan yang menyampaikan kamu kepada-Nya, dan bersungguh-sungguhlah pada jalan-Nya, mudah-mudahan kamu mendapat kejayaan." (al-Maa'idah: 35).

Wasilah itu ialah amal dan usaha sendiri. Bukanlah wasilah itu dengan memakai perantaraan orang lain.

Tetapi kemudian di kurun-kurun pertengahan, jauh dari zaman Nabi, yang biasanya timbul dari kaum Sufi, suatu perbuatan yang sudah sangat jauh daripada contoh yang diberikan Rasulullah saw. itu. Dan dinamai orang juga al-Wasilah. Yaitu orang pergi ke kuburan orang yang telah mati, baik ke kubur Nabi, atau kubur orang yang dipandang wali, atau guru, atau ulama besar. Lalu meminta tolong, memakai orang yang telah di dalam kubur itu menjadi wasilah atau jalan buat menyampaikan doa kepada Allah.

Dengan nama tawassul dan wasilah itulah orang mempertahankan pemujaan kubur, sehingga banyak orang memusuhi Ibnu Taimiyah, yang keras menentang pemujaan kubur itu. Padahal perbuatan demikian sudah sangat bertentangan dengan ajaran Tauhid. Kemudian ajaran Ibnu Taimiyah itu dibangkitkan kembali oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri ajaran Wahabi dalam lingkungan Madzhab Hambali. Tentu saja ajaran Wahabi ini pun menjadi tantangan keras dari negeri-negeri Islam yang telah terpengaruh oleh pemujaan kubur dengan nama tawassul dan wasilah itu. Sehingga sampai sekarang masih saja terasa reaksi yang hebat dari golongan Islam yang telah menjadikan kubur-kubur orang yang dianggap keramat itu sebagai tempat pemujaan. Baik di dalam negeri-negeri penganut paham Sunnah, apatah lagi dalam negeri penganut Madzhab Syi'ah. Dan juga di negeri-negeri kita Indonesia ini.

Maka ayat ini menunjukkan dengan jelas garis yang wajib kita tempuh sebagai Muslim di dalam menuju kejayaan dan kemenangan jiwa. Yaitu, Pertama, takwa kepada Allah. Kedua, wasilah yaitu mengatur jalan supaya dapat cepat sampai (kurban) kepada Allah dengan ibadah, amal saleh dan doa. Ketiga, berjihad bersungguh-sungguh atau bekerja keras mengatasi segala penghambat perintang yang akan menghambat kita akan sampai kepada keridhaan Allah.

Lain daripada jalan yang telah ditentukan itu adalah jalan sesat dan kufur.

"Sesungguhnya orang-orang yang kufur, walaupun mereka mempunyai apa yang ada di bumi ini semua, dan seumpama itu pula sertanya karena hendak menebus diri mereka dengan dia daripada siksaan hari Kiamat, niscaya tidaklah akan diterima dari mereka. Dan bagi mereka adalah siksaan yang pedih. Mereka ingin bahwa keluar dari neraka, padahal tidak mereka akan keluar dari dalamnya, sedang bagi mereka adalah siksaan yang tetap." (al-Maa'idah: 36-37).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 685-688, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Ibnu Taimiyah Nusantara." (Riwayat Hidup HAMKA - Dr Rozaimi Ramle).

youtube.com/watch?v=irIWCrvw9Hw

"HAMKA - The Single Fighter." (Dato Dr Asri).

youtube.com/watch?v=Wio8_VMDGsU

AL-IMAM adalah musuh yang amat bengis bagi sekalian Bid'ah dan Khurafat dan ikut-ikutan dan adat yang dimasukkan orang pada agama.

(Buya HAMKA, Ayahku, 144, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

BOHONG DI DUNIA

Ibnu Taimiyah berkata, "Yang salah itu tidak ada hakikatnya."

Orang yang telah membohongi, artinya mengada-ada yang tidak ada, adalah orang yang tidak beres akalnya atau sakit jiwanya. Perlulah orang yang sakit itu diobati sampai sembuh. Dengan kesembuhan itu, hilanglah kedustaan dan itulah yang benar.

Sekian.

(Buya HAMKA, Bohong Di Dunia, Hal. 122, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2017).

DAJJAL

Yang sebaik-baik kepercayaan ialah tiada menafsirkannya dan tunggu saja, apa pun yang akan terjadi. Selama nama Allah SWT masih bersemayam dalam hati, bagaimanapun besar cobaan dan kebohongan (Dajjal), kita tidak akan kena "dajjal", artinya tidak akan dapat "dibohongi".

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Hal. 338, Penerbit Gema Insani, Cet.1, September 2018).

JANGAN MENGAMBIL TUHAN SELAIN ALLAH!

"Katakanlah! Tunjukkanlah kemari alasan kamu!" (al-Anbiyaa': 24).

Dari mana kamu dapat pelajaran mengambil tuhan-tuhan banyak itu? Sejak kapan? Siapa yang mengajarkan? Siapa gurunya?

Di sini kita diberi suatu petunjuk bahwa di dalam menegakkan suatu kepercayaan hendaklah ada alasan atau dalil yang akan dijadikan pegangan.

SUDAH TEGAS SEKALI

"... Marilah kepada apa yang diturunkan oleh Allah dan kepada Rasul ..." (al-Maa'idah: 104).

Sumber agama, sebagai yang diserukan pada ayat ini sudah tegas sekali, yaitu peraturan dari Allah dan Rasul. Di luar itu, Bid'ah namanya.

PUNCAK SEGALA DOSA

"Katakanlah, '... kamu katakan atas (nama) Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.'" (al-A'raaf: 33).

Dan sekali-kali jangan lancang membantah, kalau bantahan kita hanya semata-mata sangka-sangka. Mengikuti saja pikiran sendiri dengan tidak ditujukan terlebih dahulu kepada firman Allah dan Sunnah Rasul, adalah puncak segala dosa.

"Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat kedustaan atas nama Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya?" (al-A'raaf: 37).

Keduanya ini adalah puncak-puncak kezaliman yang tidak dapat dimaafkan.

Tidak ada lagi kezaliman yang lebih dari ini karena menambah agama Allah dengan peraturan bikinan sendiri.

TIDAK MUNGKIN MEREKA MASUK SURGA

"... Tidaklah mereka akan masuk ke dalam surga ... Untuk mereka dari Jahannam adalah satu tempat yang sangat rendah dan di atas mereka ada beberapa penutup. Dan, sebagai demikianlah Kami membalas orang-orang yang zalim." (al-A'raaf: 40-41).

Jelaslah bahwa orang-orang yang zalim ini telah menjadi kaki-tangan Setan.

Maka, mereka inilah yang telah disebutkan Allah dalam ayat 18 bahwa mereka bersama Setan Iblis itu akan diambil sepenuh padatnya Jahannam.

PERINGATAN BAGI MANUSIA agar jangan mereka sangka mudah-mudah saja masuk surga, setelah pokok kepercayaan kepada Allah itu yang telah dirusakkan dan puncak kezaliman yang telah ditempuh.

MUSYRIK

"Setengah dari manusia ada yang mengambil yang selain Allah menjadi tandingan-tandingan ... Dan sekali-kali tidaklah mereka akan keluar dari neraka." (al-Baqarah: 165-167).

Sebab itu, masa buat memperbaiki diri bukanlah pada waktu itu, melainkan di masa sekarang ini, sedang kesempatan masih ada. Dengan ayat ini, jelaslah bahwasanya pimpinan yang diikut selain dari pimpinan Allah atau pemuka-pemuka yang menentukan pula peraturan halal dan haram, lain dari peraturan Allah dan diikut pula peraturan itu menyerupai mengikut peraturan Allah, sudahlah menjadikan pemuka itu tandingan-tandingan Allah, sudahlah mempersekutukan mereka itu dengan Allah. Lantaran itu, mempersekutukan atau mengadakan tandingan-tandingan itu bukanlah semata-mata menyembah-nyembah dan memuja-muja saja, melainkan kalau pemimpin atau pemuka-pemuka membuat peraturan lalu peraturan mereka lebih diutamakan dari peraturan Allah maka terhitunglah orang yang mengikuti itu dalam lingkungan musyrik, mempersekutukan pemuka-pemuka itu dengan Allah.

KAFIR

"Katakanlah, 'Jika memang kamu cinta kepada Allah maka turutkanlah aku, niscaya cinta pula Allah kepada kamu dan akan diampuni-Nya dosa-dosa kamu.' Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Penyayang. Katakanlah, 'Hendaklah kamu taat kepada Allah dan Rasul. Akan tetapi, jika kamu berpaling maka sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang kafir.'" (Aali 'Imraan: 31-32).

Maka, adalah orang-orang yang terpacul, tercampak ke luar dari rombongan. Ada yang mengaku cinta kepada Allah, tetapi bukan bimbingan Muhammad yang hendak diturutinya, dia pun tersingkir ke tepi. Dia maghdhub, dimurkai Allah. Ada yang mencoba-coba membuat rencana sendiri, memandai-mandai, maka dia pun terlempar ke luar, dia dhallin, dia pun tersesat.

Orang-orang yang semuanya telah kafir.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 23, Jilid 3 Hal. 55, Jilid 3 Hal. 410-423, Jilid 1 Hal. 306, Jilid 1 Hal. 617-618, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

FIQIH BUKANLAH SUMBER HUKUM DALAM ISLAM

Sumber yang diakui oleh sekalian Madzhab dalam Islam adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah (Hadits).

Dimasukkan juga oleh sebagian madzhab, yaitu ijma' dan qiyas.

IJMA'

Sumber hukum Islam resmi ketiga, menurut sebagian besar ahli fiqih adalah ijma'. Arti yang populer adalah persamaan pendapat ulama dalam satu masalah, di dalam satu zaman. Ini pun boleh dijadikan sumber hukum resmi. Dalam peraturan ijma' itu pun dikatakan, meskipun hanya 1 orang yang membantah, dengan sendirinya ijma' itu gugur, dan tidak boleh lagi dijadikan hujjah atau hukum resmi!

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 219-223, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

TUGAS SEORANG MUBALIGH

Tugas seorang mubaligh itu adalah bekerja dan berjuang untuk umat, mengajak mereka kembali pada Allah dan Rasul-Nya.

Syekh Abdul Karim Amrullah

(Haidar Musyafa, BUYA HAMKA SEBUAH NOVEL BIOGRAFI, Hal. 347, Penerbit Imania, Cet.I April 2018).

JIKA ENGKAU DIHINA

Berjuanglah terus, hai mubaligh, menegakkan citamu, dan serahkanlah dirimu kepada Tuhan. Terhadap sesama pemeluk Islam ambillah satu sikap yang paling baik. Jika engkau dipandang musuh, pandanglah mereka kawan. Jika engkau dihina, muliakan mereka! Jika engkau diinjak, angkat mereka ke atas biar sampai tersundak ke langit. Adapun kemuliaan yang sejati, hanyalah pada siapa yang lebih taqwa kepada Allah. Oleh sebab itu, di dalam orang rebut-merebut keuntungan duniawi, mari kita merebut taqwa!

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 78-79, Penerbit Galata Media, Cet.I, Januari 2018).

KEMULIAAN

Jika dia dihinakan, dicela dan dimaki karena pikirannya yang merdeka, maka ucapannya ialah sebagaimana syair Arab,

Biarkan daku berkata, dan namailah saya apa pun yang kau suka namakan,
Saya adalah pemaaf dan pemurah.
Cuma satu yang saya tak sanggup menjualnya, yaitu kemerdekaan hati saya sendiri,
Cobalah katakan kepadaku, siapakah yang sudi menjual kemerdekaan hatinya?

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 285-286, Republika Penerbit, Cet.IV, 2016).

PERCUMA

Suatu dakwah yang mendahulukan hukum halal dan hukum haram, sebelum orang menyadari agama, adalah perbuatan yang percuma, sama saja dengan seseorang yang menjatuhkan talak kepada istri orang lain.

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 25, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

APA YANG AKAN DIDAKWAHKAN?

TAUHID ULUHIYAH DAN TAUHID RUBUBIYAH

Pertama, yang utama sekali ialah menjelaskan aqidah islamiyah, yaitu pokok-pokok kepercayaan Islam atau di dalam bahasa yang sangat populer dalam kalangan umat Muslimin ialah rukun iman. Dasar aqidah Islam itu ialah Tauhid, artinya pengakuan atas keesaan Allah SWT. Pokok utama dari kepercayaan ini diambil langsung dari Al-Qur'anul Karim. Di sanalah terdapat ajaran Tauhid yang satu dengan dua penjelasan, yaitu Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah.

Kedua, sebagai iringan dari mengenal Al-Qur'an dan memperkenalkannya pula kepada masyarakat, hendaklah dengan menerangkan pula ar-risalatul Muhammadiyah atau maksud utama diutusnya Nabi kita Muhammad saw. oleh Allah SWT. Bahwasanya kedatangan Nabi Muhammad saw. pada khususnya dan kedatangan rasul-rasul yang terdahulu dari beliau adalah dengan maksud yang satu, yaitu memperkenalkan Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah tadi kepada umat. Sejak dari Nabi Nuh a.s., Ibrahim a.s., Hud a.s., Shalih a.s., Syu'aib a.s., Musa a.s., Harun a.s., Isa a.s. serta nabi-nabi dan rasul-rasul yang lain, maksudnya yang utama ialah mengajak umat kepada Tauhid itu. Tauhid inilah pokok asli segala agama.

SIFAT 20

Sementara itu, dalam mempelajari Sifat 20, dengan tidak disadari, kadang-kadang kita menjadi ragu tentang adanya Tuhan. Misalnya pelajaran, "Allah SWT itu tidak di atas, tidak di bawah, tidak di kiri, tidak di kanan, tidak dikandung tempat, tidak dikandung masa." Padahal kesimpulan dari semuanya itu dapat membawa kita kepada suatu kesimpulan bahwa Allah SWT itu tidak ada! Padahal ada!

(Buya HAMKA, PRINSIP DAN KEBIJAKSANAAN DAKWAH ISLAM, Hal. 287-289, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

ALLAH BERTANGAN?

Bahkan Allah itu mempunyai banyak mata (Lihat surah al-Mu'minuun, ayat 27). Dia bertangan, bermata dan semayam, sebab Dia sendiri yang mengatakan dan kita WAJIB IMAN. Di antara ulama mutaakhirin yang keras menganut paham Salaf ini adalah Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim pada zaman terakhir adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan terakhir sekali adalah Sayyid Rasyid Ridha. Ibnu Taimiyah sampai dituduh oleh musuh-musuhnya berpaham "mujassimah" (menyifatkan Allah bertubuh) karena kerasnya mempertahankan paham ini.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 34-35, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

KEKAL DI NERAKA JAHANNAM

Ibnu Mas'ud berkata, "Orang yang diadzab kekal di Neraka Jahannam itu dimasukkan ke dalam peti dari api. Peti itu dalam peti lagi, hingga berlapis, lalu dipaku di luarnya, sehingga suatu pun tidak ada yang mendengar. Dan siapa-siapa yang telah dimasukkan ke dalam peti berlapis itu tidaklah melihat orang lain yang sama diadzab, sebab ia di dalam peti sendiri-sendiri."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 86, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-KAAFIRUUN (ORANG-ORANG KAFIR)

"Untuk kamulah agama kamu, dan untuk akulah agamaku." (al-Kaafiruun: 6).

Soal aqidah, di antara Tauhid mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampuradukkan dengan syirik.

Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 309, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEMURKAAN-KU DAN KEMURKAANMU!

Tidak ada berhala, tidak ada al-Laata, tidak ada al-Uzza, tidak ada Manaata dan yang lain. Jika di zaman sekarang tidak ada kubur keramat, wali anu dan keramat anu. Omong kosong!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 85, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEMBALILAH KEPADA ALLAH!

"Katakanlah! 'Apakah kepada yang selain Allah kamu suruh aku menyembah, wahai orang-orang yang bodoh?' Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepada engkau dan kepada mereka yang sebelum engkau (yaitu), 'Sesungguhnya jika kamu mempersekutukan, niscaya akan gugurlah amalmu dan sesungguhnya akan termasuklah kamu dalam golongan orang-orang yang rugi.'" (az-Zumar: 64-65).

Apakah kelebihannya yang lain itu makanya kamu suruh pula aku menyembahnya?

Yang sudah nyata tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat.

Allah saja yang Tuhan, tidak ada Tuhan yang lain.

Tuhan Yang Maha Esa itulah yang bernama Islam!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 61-62, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KAMU TIDAK MEMPUNYAI TAUHID RUBUBIYAH

Bahwa kamu masih tetap mengakui bahwa Allah Ta'aala itu memang Ada dan memang Esa dan hanya Dia sendiri yang menciptakan alam ini. Dasar kepercayaan itu memang ada padamu, yang dinamai Tauhid Uluhiyah. Setelah akan memohonkan apa-apa, kamu tidak langsung memohon kepada-Nya lagi, tetapi pada yang lain atau meminta tolong pada yang lain itu supaya menyampaikannya kepada Allah. Walaupun mengakui Dia Yang Menciptakan alam, kamu campur-aduk dengan yang lain. Kamu tidak mempunyai Tauhid Rububiyah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 218, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TAUHID ULUHIYAH

Oleh sebab itu, cara beribadat kepada Allah, Allah itu sendirilah yang menentukan. Maka tidak pulalah sah ibadat kepada Allah yang hanya dikarang-karang sendiri. Untuk menunjukkan peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa itulah, Dia mengutus rasul-rasul-Nya. Menyembah, beribadah dan memuji kepada Maha Esa itulah yang dinamai Tauhid Uluhiyah.

Itulah pegangan pertama dalam hidup Muslim.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 269, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MUBAHALAH

"Katakanlah, ... 'Dan jangan menjadikan sebagian dari kita akan sebagian menjadi Tuhan-Tuhan selain dari Allah.' Maka jika mereka berpaling, hendaklah kamu katakan, 'Saksikanlah olehmu bahwasanya kami ini adalah orang-orang yang Islam.'" (Aali 'Imraan: 64).

Inilah yang diperingatkan Allah, dengan perantaraan Rasul-Nya, di dalam ayat ini. Yang pertama mengajak mari kita kemari kepada pokok ajaran agama yang menjadi pegangan kita bersama, yaitu bahwa Allah adalah Esa. Kedua, marilah kita bebaskan diri dari menuhankan sesama manusia, yaitu penguasa-penguasa agama.

Inilah suatu penegasan, yaitu bahwa pendirian kami ialah menyerahkan diri kepada Allah saja, tidak mempersekutukan Dia dengan yang lain, tidak menuhankan manusia, baik nabi ataupun pemuka-pemuka agama.

Akan tetapi, karena zaman beredar juga dan waktu berjalan, haruslah kita umat Muslimin mengakui bahwa kadang-kadang kita dengan tidak sadar telah terlampau dipantang pula.

Ada orang yang lebih mengutamakan kata ulama dari Kata Allah.

Lama-lama orang yang mengajak kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Rasul menjadi celaan orang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 651, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JANGAN MENGAMBIL TUHAN SELAIN ALLAH!

"Katakanlah! Tunjukkanlah kemari alasan kamu!" (al-Anbiyaa': 24).

Dari mana kamu dapat pelajaran mengambil tuhan-tuhan banyak itu? Sejak kapan? Siapa yang mengajarkan? Siapa gurunya?

TAUHID ULUHIYAH DAN TAUHID RUBUBIYAH

Isi atau inti, pokok atau pangkal agama, ialah dua ini.

Kedatangan wahyu Allah yang dibawa oleh Rasul saw. mengajarkan Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah, bukan saja menunjukkan pokok aqidah, bahkan kebenaran dalam segala cabangnya: Mengenai akhlak, pemerintahan, peraturan hidup. Sekarang coba kamu jawab, adakah sekutu-sekutu yang kamu sembah itu mengemukakan lagi tuntunan kebenaran seperti yang diturunkan Allah dan disampaikan Rasul saw.? Kalau ada cobalah tunjukkan. Tentu mereka pun tidak akan dapat menjawab, sebab memang tidak ada, malahan segala peraturan menyembah berhala, memuja patung atau ruh-ruh orang-orang yang dihormati itu adalah bikinan dari si pemuja itu sendiri.

"Bagaimana kamu ini?"

Apakah kamu ini telah miring? Apakah keadaan kamu berpikir telah kacau? Tidak normal lagi?

Orang yang memikul nama Islam, tetapi aqidah agamanya bukan soal-jawab (dialog) akal sebagai yang dicantumkan pada ayat-ayat tadi, orang-orang yang seperti itu karena agamanya hanya sangka-sangka, merekalah yang kerapkali terperosok jadi orang fasik. Atau menjadi Ateis, atau Komunis yang menolak segala kepercayaan akan adanya Allah. Sebab mereka membatas pandangan hanya sehingga benda (materi) saja, tidak mau menuruti jalan akal wajar yang hendak meneruskan perjalanannya pada yang di belakang benda. Orang-orang yang seperti ini adalah musyrik atau jahiliyyah di zaman modern.

"Dan setengah dari mereka ada yang percaya kepadanya dan setengahnya ada yang tidak percaya kepadanya. Tetapi Allah engkau lebih mengetahui akan orang-orang yang berbuat binasa." (Yuunus: 40).

Keadaan setelah Muhammad saw. berbeda dengan keadaan pada zaman dahulu tadi. Di kalangan kaum Muhammad saw. ini orang menjadi terbagi dua, setengahnya percaya dengan setengahnya tidak mau percaya. Dan kadang-kadang di dalam kalangan umat yang telah mengakui percaya tadi, setengahnya mulutnya saja yang mengaku, hatinya belum. Keadaan pada waktu ayat diturunkan di Mekah pun demikian pula, setengahnya telah beriman dan setengahnya bertahan pada syiriknya. Dan keadaan setelah Islam tersebar pun demikian. Ada yang benar-benar memegang Islam dengan percaya teguh dan ada yang geografi saja atau keturunan saja. Maka yang hanya mulutnya saja yang mengakui beriman, atau Islamnya hanya keturunan belaka, kelak ternyata juga dari amal usaha masing-masing. Allah mengetahui mana yang berbuat syirik, zalim, aniaya, merusak, jahat dan nakal karena jiwa telah rusak, fitrah telah dipengaruhi Setan. Orang-orang seperti ini pasti akan mendapat siksaan di dunia ini juga, yaitu kegagalan dan kekecewaan. Sedang engkau, wahai utusan-Ku, pasti menang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 23, Jilid 4 Hal. 411-418, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DOSA YANG LEBIH BESAR DARI DOSA SYIRIK

[4] Mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu). (Al A’raf: 33)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini,

“... Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.” [I’lamul muwaqqi’in hal. 31, Dar Kutubil ‘Ilmiyah].

muslim.or.id/41186-dosa-yang-lebih-besar-dari-dosa-syirik.html

PUNCAK SEGALA DOSA

"Katakanlah, '... kamu katakan atas (nama) Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.'" (al-A'raaf: 33).

PERINGATAN KERAS kepada kita agar dalam hal yang mengenai agama, kita jangan berani-berani saja membicarakannya kalau pengetahuan kita belum dapat menguasai persoalan itu. Dan sekali-kali jangan lancang membantah, kalau bantahan kita hanya semata-mata sangka-sangka. Mengikuti saja pikiran sendiri dengan tidak ditujukan terlebih dahulu kepada firman Allah dan Sunnah Rasul, adalah puncak segala dosa.

"Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat kedustaan atas nama Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya?" (al-A'raaf: 37).

Keduanya ini adalah puncak-puncak kezaliman yang tidak dapat dimaafkan.

Artinya, bermacam-macam sikap dan perbuatan aniaya diperbuat manusia di dalam bumi ini, tetapi puncak yang di atas sekali dari keaniayaan itu ialah membuat-buat atau mengarang-ngarangkan kedustaan atas nama Allah.

Ini bertali dengan ujung ayat 33, yaitu berbicara di atas nama Allah barang yang tidak ada pengetahuan mereka padanya.

Orang-orang yang menyembah berhala dan benda selain Allah itu mengaku juga bahwa Allah Esa adanya, tidak berserikat dengan yang lain, tetapi kemudiannya mereka tambahilah peraturan Allah itu dengan peraturan-peraturan yang mereka karangkan sendiri dan mereka perbuat dusta di hadapan pengikut mereka yang bodoh bahwa upacara tambahan itu, seumpama kaum Quraisy menyembah berhala, mereka tambahkan kepada menyembah Allah menurut agama Hanif Nabi Ibrahim, atau pada zaman kemudian ini orang pergi dengan memuja-muja kubur keramat, sebagai tambahan dari agama yang dibawa Muhammad saw., lalu dengan dusta pula mereka bahkan mengatakan bahwa yang mereka buat itu adalah peraturan dari Allah juga. Kalau ditegur dengan dasar pokok perintah Allah, yaitu Tauhid, dikemukakan berbagai ayat-ayat Allah, mereka pun dustakan ayat-ayat yang diterangkan itu.

Tidak ada lagi kezaliman yang lebih dari ini karena menambah agama Allah dengan peraturan bikinan sendiri.

TIDAK MUNGKIN MEREKA MASUK SURGA

"... Tidaklah mereka akan masuk ke dalam surga ... Untuk mereka dari Jahannam adalah satu tempat yang sangat rendah dan di atas mereka ada beberapa penutup. Dan, sebagai demikianlah Kami membalas orang-orang yang zalim." (al-A'raaf: 40-41).

Jelaslah bahwa orang-orang yang zalim ini telah menjadi kaki-tangan Setan.

Maka, mereka inilah yang telah disebutkan Allah dalam ayat 18 bahwa mereka bersama Setan Iblis itu akan diambil sepenuh padatnya Jahannam.

PERINGATAN BAGI MANUSIA agar jangan mereka sangka mudah-mudah saja masuk surga, setelah pokok kepercayaan kepada Allah itu yang telah dirusakkan dan puncak kezaliman yang telah ditempuh.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 410-423, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ILMU DALAM ISLAM

Ilmu dalam Islam adalah yang ada dasar dan dalilnya, terutama dari dalam Al-Qur'an dan dari As-Sunnah, termasuk juga penafsiran ulama-ulama yang telah mendapat kepercayaan dari umat, yang disebut Salafus Shalihin.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 305, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

SIAPAKAH YANG TAHAN DAN TEGUH HATI MENEMPUH JALAN YANG BENAR?

"(Yaitu) orang-orang yang menjauh dari dosa-dosa yang besar dan yang keji-keji." (an-Najm pangkal ayat 32).

Dosa-dosa yang besar ialah mempersekutukan Allah dengan yang lain, berkata tentang Allah tetapi tidak dengan pengetahuan, lancang memperkatakan soal-soal agama, padahal ilmu tentang itu tidak ada.

Adapun yang keji-keji adalah yang menyakiti orang lain dan merusakkan budi pekerti, sebagai mencuri harta kepunyaan orang lain, berzina, membunuh sesama manusia.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 550-551, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KECUALI ORANG-ORANG YANG BERTOBAT

"Kecuali orang-orang yang bertobat." (al-Baqarah pangkal ayat 160).


Tobat, artinya kembali, yaitu kembali kepada jalan yang benar. Karena jalan menyembunyikan kebenaran itu adalah jalan yang sesat. "Dan berbuat perbaikan." Maka, langkah yang salah selama ini diperbaiki kembali lalu mereka jelaskan kebenaran dan tidak ada yang disembunyi-sembunyikan lagi. Atau mana-mana keadaan yang salah dalam masyarakat segera diperbaiki, sediakan seluruh waktu buat ishlah. "Dan mereka yang memberikan penjelasan." Terangkan keadaan yang sebenar-benarnya, jangan lagi berbelok-belok karena kedustaan tidaklah dapat dipertahankan lama. "Maka mereka itulah yang akan Aku beri tobat atas mereka." Inilah penegasan dari Allah bahwa apabila orang telah kembali ke jalan yang benar, telah insaf, dan keinsafan itu dituruti dengan kegiatan menyelesaikan yang kusut, menjernihkan yang telah keruh, memperbaiki yang telah rusak dan tidak bosan-bosan memberikan penjelasan, segeralah Allah akan memberikan tobatnya. Segeralah pula keadaan akan berubah sebab yang berubah itu ialah orang yang bersalah sendiri.

"Kekal mereka di dalamnya, tidak akan diringankan adzab atas mereka dan tidaklah mereka akan dipedulikan." (al-Baqarah: 162).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 296, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BAB AQIDAH KLIK DISINI

KLIK DISINI: TENTANG BID'AH, WASIAT ALLAH DAN ASWAJA (AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH) SEJATI

KLIK DISINI: TENTANG PEMBERANTASAN LCBT (LINGKARAN CHURAFAT BID'AH TAHAYUL) TERKUTUK

KLIK DISINI: TENTANG TAHLILAN, KIRIM HADIAH FATIHAH, TAWASSUL DAN WASILAH


SURAH AL-BAQARAH

PENGANTAR

Di akhir-akhir juz kedua itu kita mendapat pengajaran bahwa seorang Rasulullah itu bukanlah sebagaimana yang kerap kali digambarkan oleh orang yang bodoh-bodoh bahwa mereka hanya mengajak kepada jalan akhirat atau laksana digambarkan pada tokoh guru-guru tasawuf yang mengajak pengikut dan muridnya supaya mengutuk dunia.

Sebaliknya, seorang rasul Allah itu selain menyampaikan wahyu Tuhan kepada manusia, mereka pun pemimpin. Kalau keadaan menghendaki, rasul itu pun bisa menjadi kepala perang dan juga menjadi raja dari satu negeri, sebagaimana yang telah terlihat pada diri Nabi Dawud.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 497, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan beberapa Rasul (lagi) yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada engkau."

Dalam ayat ini Allah menjelaskan kepada Rasul-Nya, Muhammad saw. bahwasanya selain dari yang telah Allah wahyukan nama-nama dan perjuangannya kepada beliau, ada lagi rasul-rasul lain yang lain, di bagian dunia yang lain. Berdasarkan kepada isyarat Allah ini, tidaklah ada salahnya bahkan menjadi wajiblah kita percaya bahwa di negeri-negeri yang lain pun, selain dari daerah Arab dan Mesopotamia, tempat timbulnya umat Yahudi dan umat Arab itu yang disebut bangsa keturunan Sam (Semiet), telah ada juga rasul-rasul.

Isyarat ini membuka pintu bagi ahli-ahli pengetahuan untuk menyelidiki sisa-sisa purbakala dari lain-lain daerah: Hindustan, Tiongkok, Benua Eropa, Amerika, bahkan juga ke sebelah kita di sini.

Yaitu manusia-manusia yang telah pernah diberi wahyu oleh Allah untuk dituntunkan kepada manusia.

Kita dapat memahami jika tidak semua nama mereka dikisahkan kepada Nabi kita Muhammad saw. sebab pada waktu itu, dalam masa yang hanya pendek, 25 Tahun, yang beliau hadapi hanyalah bangsa Arab dan Bani Israil, yang keduanya dari satu keturunan, yaitu Ibrahim, atau yang dikenal sekarang dengan sebutan bangsa-bangsa Semiet.

Sebab itu, mungkin Lao Tze, Kong Fut Tze, Zarasustra, Budha Gauthama adalah semuanya rasul-rasul juga.

Mungkin Socrates pun seorang rasul ataupun nabi. Cuma karena berlama masa, kurang lengkap catatan dan banyaknya bid'ah yang timbul di belakang dari pemuka-pemuka agama yang melanjutkan sehingga berubahlah ajaran-ajaran itu, menjauh dari tauhid.

Sedangkan Islam sendiri, kalau bukanlah Al-Qur'an benar-benar terjamin keaslian isinya, niscaya agama Muhammad ini akan tertimbun pula keasliannya oleh bid'ah-bid'ah yang diadakan orang yang datang di belakang.

Setengah ahli penyelidik telah menghitung nabi-nabi dan rasul-rasul yang tersebut di dalam Taurat dan Zabur dan Injil, diperdapat sekitar 50 orang. Ada pula hadits-hadits Nabi kita yang membicarakan tentang nabi-nabi dan rasul-rasul itu, di antaranya ialah yang diterima dari Abu Dzar, yaitu 124.000. Tersebut pula bahwa yang 124.000 itu ialah nabi-nabi, artinya yang menerima wahyu. Adapun yang sampai menjadi rasul, yaitu nabi yang menerima syari'at buat disampaikan kepada umat manusia, menurut keterangan hadits itu 313 orang banyaknya. Riwayat ini dipandang shahih oleh Ibnu Hibban.

Sebab itu jelaslah bahwa nabi dan rasul itu banyak.

Tidak semua nama mereka dikisahkan Allah kepada Nabi Muhammad saw. di dalam Al-Qur'an.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 558-559, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

YANG SEBAIK-BAIK UMAT

Di dalam memahami ayat 109 surah Aali 'Imraan ini, hendaklah kita ambil mafhumnya dari bawah, dibaca dengan sungsang.

1. Beriman kepada Allah. Itulah awal permulaan kebebasan jiwa.

2. Berani melarang yang mungkar. Itulah akibat pertama iman kepada Allah.

3. Berani menyuruhkan dan memimpin sesama manusia kepada yang ma'ruf.

Itulah tugas hidup!

Belum sanggup untuk seluruh dunia, mulailah dalam masyarakat negara sendiri. Belum sanggup untuk negara, mulailah di kampung halaman. Belum sanggup di rumah tangga, mulailah dalam diri sendiri.

TALI ALLAH DAN TALI INSAN

Penafsiran yang kita nyatakan di atas bahwa gangguan yang mereka timpakan kepada kamu tidaklah akan membahayakan, ditegaskan oleh ayat yang berikutnya,

"Mereka itu ditimpa kehinaan di mana saja mereka berada." (pangkal ayat 112).

Yaitu golongan yang fasik tak mau menerima kebenaran tadi.

"Kecuali (jika mereka berpegang) kepada tali Allah dan tali manusia."

Dengan demikian, jalan untuk memperbaiki masih tetap terbuka untuk mereka. Pegang dua tali; tali kepada Allah, ke langit, dengan iman yang teguh; tali kepada manusia, ke bumi, dengan menghapuskan perasaan bahwa awak tinggi sebenang dari orang lain, bahwa orang lain hina semua. Memasuki pergaulan Mukmin dan menjadi Muslim sejati. Kalau kedua tali ini tidak dipegang teguh, tentu mereka akan bertambah tenggelam dalam kufur.

Sehingga bertambah lama bertambah tenggelam dalam fasik. Sebabnya ialah karena anak cucu yang datang kemudian telah mewarisi kepercayaan-kepercayaan yang salah dari orang-orang tua dan berkeras mempertahankan kepercayaan itu.

Ayat-ayat Allah, betapa pun benarnya, tidak mau mereka menerima lagi. Sebab, agama mereka itu telah membeku jadi kepunyaan golongan, dikutak-katikkan oleh pendeta-pendeta dan imam-imam, sehingga berani mereka membunuh nabi-nabi Allah, padahal nabi-nabi itu datang membawa wahyu Ilahi untuk perbaikan mereka. Sebab itu, tidaklah mengherankan jika sampai kepada zaman kedatangan Nabi Muhammad saw., sebagian besar mereka menjadi fasik. Agama bukan lagi penyerahan diri kepada Allah, melainkan suatu pendirian, yang benar ataupun tidak benar, mesti dipertahankan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 43-47, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Maka jelaslah sekarang bahwasanya Wahabi dan Sanusi adalah pembukaan jalan baru bagi Islam, untuk mengembalikan Tasawuf pada pangkalnya." (Buya HAMKA).

Seluruh Masyarakat Nejd adalah penganut Madzhab Hanbali. Kita telah mempelajari perbandingan Madzhab-Madzhab keempatnya, dan mengetahuinya bahwa Madzhab Hanbali adalah madzhab yang keras mempertahankan hadits. Iman Ahmad bin Hanbal berkeras mempertahankan pendirian Ahlus Sunnah atau Madzhab Salaf di hadapan al-Mu'tashim, Khalifah Bani Abbas ke-8, ketika beliau dipaksa mengakui pendirian yang dipilih oleh kerajaan Bani Abbas sejak zaman al-Ma'mun yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Beliau menolak paksaan itu bukan karena beliau mengakui sebelumnya yaitu Al-Qur'an Qadim adanya, melainkan karena memegang pendirian bahwa memperkatakan Nabi, biar pun dia disiksa dan dipaksa, namun beliau tidak mau beranjak daripada pendiriannya itu. Dan pendirian seperti ini pulalah yang menjadi dasar tempat tegak Muhammad bin Abdil Wahab.

(Buya HAMKA, Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, Hal. 308-316, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

MAKNA WALI BERUBAH

Itulah yang dimaksudkan dengan wali atau aulia dalam Al-Qur'an. Yaitu orang-orang yang beriman, beramal saleh dan bertakwa, yang terus melatih diri dalam ibadah. Apabila kita pergi ke hulu pangkal agama, yaitu Al-Qur‘an, kita pun mendapat keterangan yang sejelas ini. Dan ini pun pegangan dari sahabat-sahabat Rasulullah saw. dan ulama-ulama salaf.

Tetapi kemudian, setelah di sekitar kurun-kurun ke-3 Hijriyah, setelah timbul berbagai macam gerakan tasawuf, timbullah arti yang lain dari kalimat wali itu, yang sudah sangat jauh menyimpang daripada maksudnya yang pertama, yang jelas nyata dalam ayat Al-Qur'an tadi. Dikatakanlah bahwasanya yang disebut waliyullah ialah manusia-manusia istimewa yang sangat tinggi derajatnya, dan berkuasa atas seluruh alam ini, bisa menahan jalan matahari, bisa dengan isyaratnya saja menahan air sungai mengalir, bisa pula tiap hari Jumat shalat Jum'at di Masjidil Haram dan thawaf keliling Ka'bah, walaupun tempat tinggalnya di Pulau jawa dan Sumatera misalnya.

Maka adalah orang yang tersesat lantaran karunia Allah, atau sesat murid-murid mereka, atau cerita yang satu hasta dijadikan satu depa sehingga timbullah khayal dan takhayul, atau timbul pelajaran ilmu sihir. Sehingga ada orang yang belajar ilmu kebal, dengan memakai syarat-syarat dengan mengerjakan puasa dan shalat tahajjud pula. Artinya dipergunakannya ibadah kepada Allah buat membangun suatu sihir! Disangka keramat dan wali juga, padahal sudah jadi wali setan.

Padahal tidak ada di antara kita yang akan memungkiri, sahabat Rasulullah saw. yang berempat, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali adalah wali Allah belaka. Tetapi tiga orang dari keempat sahabat itu (Umar, Utsman dan Ali) mati terbunuh, dan salah satu penyakit yang melekaskan wafatnya Abu Bakar ialah bekas termakan racun di Khaibar bersama Nabi Muhammad saw. Bahwa Nabi saw. sendiri pun dekat akan wafatnya mengatakan pula bahwa bekas racun itu ada dalam dirinya, yang akan menjadi salah satu penyebab dari wafatnya jua. Jadi tidak ada yang kebal!

Agak panjang kita menguraikan soal aulia Allah ini, supaya kita semua kembali ke dalam garis yang ditentukan agama dengan sewajarnya, dan bebas dari takhayul, khayal, bid'ah dan khurafat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 451, 461, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DONGENG (IV)

Al-insan al-kamil, manusia yang maha sempurna, menurut ahli tasawuf Dialah Allah Ta'aala sendiri yang menyatakan dirinya, dan itulah Nur Muhammad saw. atau al-haqiqatul Muhammadiyah, dialah permulaan wujud, tetapi ia pula kesudahan Nabi saw. Insan Kamil tidaklah mati, selamanya dia hidup. Mungkin dia menyatakan dirinya dengan bentuk yang berlain-lain, seumpama menjadi tubuh Nabi Adam a.s., atau Nabi Isa a.s., atau yang lain. Akan tetapi, kesempurnaan mazhar-nya ialah pada tubuh Nabi Muhammad saw. Bila Nabi Muhammad saw. wafat, hanya tubuh Muhammad saw. yang wafat. Adapun Insan Kamil terus menjelma dalam tubuh yang lain.

Menurut kepercayaan setengah mereka, Insan Kamil itu menjelma pada diri Sayyidina Ali bin Abi Thalib,

Dan menurut kepercayaan setengahnya lagi, Insan Kamil itu terus menjelma dalam tubuhnya wali-wali (Aulia) yang tinggi martabatnya yang disebut juga ghaust atau quthub. Di antara Insan Kamil itu ialah Sayyid Abdul Qadir Jailani, yang kakinya di atas pundak segala wali.

Tidak perlu diragukan bahwa pelajaran seperti ini sekali-kali tidaklah berasal dari Islam. Ia adalah inti filsafat hinduisme yang bernama Atman, yang masuk pengaruhnya ke dalam tasawuf Islam. Ia adalah Panteisme yang terdapat juga dalam Neo Platoisme dan berpengaruh juga ke dalam agama Kristen, yang bahkan dijadikan dasar kepercayaan Agama Nasrani tentang Ketuhanan Nabi Isa a.s.

Kepercayaan tasawuf Iran, diseludupkan ke dalam legenda Minangkabau sehingga menjadi salah satu bentuk kepercayaan Indonesia. Barulah kalah pengaruh cerita atau mitos ini setelah pergerakan kaum Paderi, atau kaum ulama di permulaan Abad ke-19, yang telah menurunkan martabat dewa atau wali itu ke dalam gelanggang kemanusiaan dan dituntut di muka mahkamah segala keturunan raja, yang tidak patuh mengerjakan hukum Syari'at Islam.

(Buya HAMKA, DARI PERBENDAHARAAN LAMA: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Hal. 189-191, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Agustus 2017).

PEMBARUAN IBNU TAIMIYAH

Di zaman-zaman mulai perkembangannya agama Islam di tanah air kita ini lahirlah seorang alim, kelaknya akan memegang peranan besar dalam peninjauan perkembangan Tasawuf yang telah jauh terpisah dari Tauhid.

Orang itu ialah Ibnu Taimiyah (meninggal pada Tahun 728 H - 1327 M).

Ajaran Ibnu Taimiyah ialah mengembalikan pangkalan tempat bertolak pikiran dan pandangan hidup muslimin kepada tauhid yang bersih!

Sebagaimana yang terdapat dari Nabi Sahabat-sahabatnya (Salafus-Shalihin). Hubungan seorang makhluk dengan Tuhannya ialah hubungan yang langsung. Tidak boleh memakai perantaraan (wasilah) dan tidak boleh memohon pertolongan kepada makhluk buat menyampaikan kepada Tuhan (Istighatsah).

Untuk membuat hubungan langsung dengan Tuhan! Tidak ada petunjuk jalan yang lain, melainkan petunjuk yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.

Apabila seorang muslim telah menjalankan sepanjang yang diajarkan Nabi Muhammad saw. dengan tidak menambah atau mengurangi, maka Iman si muslim itu akan bertambah tinggi mutunya. Semua orang bisa menjadi waliullah, yang tidak merasa takut dan tidak merasa rusuh hati dan duka-cita dalam hidup ini, asal sistem hidup yang dipakainya persis menurut yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. dan Muhammad itu adalah hamba Tuhan (abduhu) dan Pesuruh-Nya (wa Rasuluhu).

Amatlah berbeda pandangan hidup Ibnu Taimiyah dengan pandangan hidup Iman al-Ghazali, meskipun keduanya sama-sama bertasawuf,

Tasawuf al-Ghazali, seakan-akan menolak hidup, takut menempuh hidup, lalu menyisihkan diri sehingga kadang-kadang tidak mempedulikan hal kiri-kanan. Sebagaimana ditulis oleh Dr. Zaki Mubarak, bahwa di kala al-Ghazali hidup, dunia Islam sedang ditimpa malapetaka serangan Kaum Salib. Beberapa negeri telah dibakar musnah dan penduduk telah beribu-ribu yang dibunuh, namun Al-Ghazali "tenggelam" dalam Khalwatnya.

Akan tetapi Ibnu Taimiyah kalau datang seruan berjihad pada jalan Allah tampil ke medan perang, dialah yang terlebih dahulu mengambil tombak dan pedangnya, dan mengajar, menghasung orang supaya bersama-sama mengorbankan jiwa raga mempertahankan agama.

Di waktu itu Raja Ghazan keturunan ketiga dari Gengis Khan menyerang Damaskus, padahal dia telah memeluk Islam. Ibnu Taimiyah turut mempertahankan negerinya dari serangan musuh. Dan seketika Raja Ghazan telah menduduki kota dialah salah seorang Ulama yang menjadi anggota delegasi menghadap Ghazan dan memberikan teguran-teguran yang jitu kepada Raja yang menang perang itu!

Ibnu Taimiyah mengakui adanya Wali Allah. Tetapi beliau tidak dapat menerima jika makhluk Allah yang lain menyandarkan pengharapan kepada orang yang dikatakan Wali Allah itu. Dia berpegang kepada hadits:

"Apabila engkau hendak memohonkan pertolongan, langsunglah minta tolong kepada Allah."

Sebab itu beliau mencela keras orang, yang me-"Rabithah"-kan gurunya atau mengambil wasilah gurunya buat menyampaikan permohonan atau kebaktikan kepada Ilahi.

Selain daripada itu beliau bersikap tegas membersihkan pengaruh Filsafat dan Mistik yang bukan dari Islam daripada pokok ajaran Islam.

Sebagai seorang penganut Madzhab Hanbali di dalam garis kaum Sunni, beliau berusaha menegakkan paham Salaf. Yaitu kembali kepada kemurnian ajaran Nabi Muhammad saw. dengan tidak dipengaruhi oleh Ta'wil. Ayat-ayat yang disebut "Mutasyabih" hendaklah diterima dengan "Bila-Kaifa"; Sebab, kita tidak disuruh buat memikirkan itu. Sebab selalu ternyata bahwa suatu lingkungan setempat, dapat pula berubah setelah tempat itu beralih.

Dr. Mohammad al-Bahay, Maha Guru Filsafat Islam di al-Azhar University dalam bukunya "Al-Janubil Ilahi min'at Tafkiril Islamy" dan dalam bukunya yang baru "Al-Fikrul Islamy al-Hadits" ada karangan pendeknya yang pernah dimuat dalam Majalah "Al-Muslimun" menekankan pendapatnya bahwa Ibnu Taimiyah adalah pelopor pertama dari pengembalian pikiran muslimin umumnya dan Tasawuf khususnya ke dalam pangkalan tauhid!

Kalau pandangan hidup yang bersemangat. Zuhud dari kemegahan dunia untuk mencapai kebesaran jiwa menantang segala penderitaan hidup, lalu menegakkan kepala, dan tunduk kepada Allah yang satu, kalau itu dapat disebut sebagai Tasawuf juga, maka ajaran Ibnu Taimiyah adalah Tasawuf yang sejati!

Kita dapat membaca "Fatwa Ibnu Taimiyah", kumpulan fatwa-fatwa beliau, (35 Jilid) yang merintis jalan pikiran kita mengembalikan hidup ber-tasawuf kepada Tauhid sejati.

Tetapi untuk mengetahui ajaran Ibnu Taimiyah lebih mendalam, tidaklah cukup membaca karangan-karangan Ibnu Taimiyah saja.

Tetapi bacalah karangan muridnya Ibnul Qayyim, yang mengenal guru itu lebih dekat. Seperti, jika kita hendak mengenal Muhammad Abduh, bacalah karangan Sayid Rashid Ridha.

Kitab-kitab "Madarijus Salikin", "Ighatsatul Lahtan", "Tabus Iblis" yang disebut juga "Naqdul Ilmi wal Ulama" dan beberapa kitab yang lain karangan Ibnul Qayyim semuanya membayangkan jiwa Ibnu Taimiyah.

Seorang Sufi menurut ajaran Ibnu Taimiyah adalah seorang yang keras menegakkan kebenaran. Tengah malam bangun ber-tahajjud, siang hari pergi berusaha. Dan jika Negara dalam bahaya serangan musuh, bersedia meninggalkan segala yang merintang, lalu masuk ke dalam barisan tentara, di tempat yang ditentukan oleh Komando.

Beliau berkali-kali ditahan dalam penjara, berganti penjara Mesir dengan penjara Damaskus. Tetapi dengan tegas dia mengatakan kepada muridnya Ibnul Qayyim yang turut terpenjara dengan dia:

"Apalagi yang akan didengkikan oleh musuh-musuh kepadaku! Bagiku dibuang dari kampung halaman, adalah mengembara mencari kebenaran. Masuk penjara karena mempertahankan keyakinan adalah kesempatan yang luas bagiku untuk berkhalwat dan tafakkur mengingat Tuhan, dan dapat membaca ayat-ayat Al-Qur'an sehingga berkali-kali dapat aku khatamkan. Tahukah engkau sayang. Bahwasanya orang yang terbelenggu ialah yang dibelenggu oleh hawa-nafsunya, dan orang yang tertawan, ialah yang ditawan setan iblis."

Ucapan ini boleh dibaca di dalam kitab kumpulan do'a dan zikir yang bernama "Al-Wabilu'ah-Shaib" karangan Ibnul Qayyim.

REAKSI

Niscaya tidak sekaligus orang dapat menerima paham Ibnu Taimiyah.

Sudah beratus tahun Tasawuf yang telah jauh berbelok dari pangkalannya itu memengaruhi masyarakat muslim. Berpuluh-puluh didirikan orang makam-makam yang dikeramatkan itu di setiap negeri Islam. Di Mesir berpusat pada kuburan Syaikh Ahmad al-Fira'iy (1118-1183), di Baghdad pada kuburan Syaid Abdul Qadir Jailani (1077-1166), di Damaskus pada kuburan Syaikh Akbar Muhyiddin Ibnu 'Araby (1165-1240). Dan ziarah kepada kuburan Rasullullah saw. sudah menyamai, bahkan kadang-kadang melebihi Ka'bah. Belum pula yang dilakukan kaum Syi'ah pada makam Sayidina Ali di kufah (Najaf) dan Sayidina Husain di Karbala.

Pendeknya, suasana pada waktu itu adalah suasana kuburan.

Niscaya suara Ibnu Taimiyah telah mengejutkan, laksana geledek di siang hari. Ulama-ulama Fiqih sendiri mencari dalil buat membantah teguran Ibnu Taimiyah itu. Di antara yang menentangnya ialah Ibnu Hajar al-Haitsami al-Makki (1504-1506 M 920-977 H), seorang Ulama Madzhab Syafi'i yang karangannya banyak tersiar di negeri kita.

Kalau kita ingat bahwa Ibnu Hajar al-Haitsami hidup di dalam Abad ke-16 Masehi, atau Abad ke-10 Hijri, yaitu Abad perkembanbiakan Agama Islam di Indonesia dan permulaan banyaknya orang Islam Indonesia berlayar ke Mekah naik Haji, dapatlah kita simpulkan pengaruh Ibnu Hajar itulah yang lebih banyak melekat dalam masyarakat muslimin Indonesia. Kitab-kitab: "Al-Fatawal Haditsiyah" dan "Az-Zawazir" dan "Tuhfah" adalah pegangan utama dari ulama-ulama kita. Jika para ulama kita mempertahankan pendirian "Taqlid" dalam Fiqih, maka Ibnu Hajar-lah yang utama di Taqlid-i; di belakangnya baru Ramli, baru an-Nawawi, baru al-Ghazali, kemudian sekali baru asy-Syafi'i.

Oleh sebab itu maka mempertahankan kedaulatan kubur, menuju keramat, mengadakan "Haul" setiap tahun kepada kuburan tertentu, adalah didasarkan kepada Ibnu Hajar-Ibnu Taimiyah.

Maksud Ibnu Taimiyah menegur ziarah kubur yang membayangkan syrik, telah disalahartikan.

WAHABIYAH DAN SANUSIYAH

Ajaran Ibnu Taimiyah disambut oleh Syekh Muhammad bin Abdil Wahab (1112-1198 H 1703-1783 M).

Seluruh Masyarakat Nejd adalah penganut Madzhab Hanbali. Kita telah mempelajari perbandingan Madzhab-Madzhab keempatnya, dan mengetahuinya bahwa Madzhab Hanbali adalah madzhab yang keras mempertahankan hadits.

Iman Ahmad bin Hanbal berkeras mempertahankan pendirian Ahlus Sunnah atau Madzhab Salaf di hadapan al-Mu'tashim, Khalifah Bani Abbas ke-8, ketika beliau dipaksa mengakui pendirian yang dipilih oleh kerajaan Bani Abbas sejak zaman al-Ma'mun yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Beliau menolak paksaan itu bukan karena beliau mengakui sebelumnya yaitu Al-Qur'an Qadim adanya, melainkan karena memegang pendirian bahwa memperkatakan Nabi, biar pun dia disiksa dan dipaksa, namun beliau tidak mau beranjak daripada pendiriannya itu.

Dan pendirian seperti ini pulalah yang menjadi dasar tempat tegak Muhammad bin Abdil Wahab. Dalam perjalanannya ke Irak dilihatnya bagaimana orang memuja kuburan Abdul Qadir Jailani sendiri, sebagai penganut Madzhab Hanbali pula. Dilihatnya pengaruh kuburan, pengaruh pemujaan, pengaruh Rabithah dan Wasilah telah meliputi seluruh tanah Arab. Hanya tinggal namanya yang Islam; pada hakikatnya telah jauh menyimpang.

Ini harus dibersihkan, kalau perlu dengan pedang!

Sejak Tahun 1517 tanah Arab bersama Mesir telah jatuh ke bawah kuasa anak hakikat Islam, dilatih yang tua-tua berzikir mengingat Allah dan dilatih pemuda-pemuda memegang senjata.

"Ber-tasawuf, tetapi harus sanggup berjuang di tengah masyarakat".

Malam bercermin kitab suci, siang bertongkat tombak besi.

Maka seketika Italia merebut negeri itu dari kuasa Turki (1912) kaum Sanusi itu didapati telah siap bertempur untuk melawan penjajah. Dan seketika tentara Turki di bawah pimpinan Anwar Pasya terpaksa mundur menarik tentaranya dan mengikat perjanjian dengan Italia, serta menyerahkan daerah itu bulat-bulat kepada Italia, karena Sanusi meneruskan perang. Mereka telah berperang melawan penjajahan Italia, selama 35 Tahun. Dan akhirnya (1950) kemerdekaan negeri itu diakui oleh PBB. Dan diangkatlah sidi Muhammad Idris as-Sanusi menjadi raja Libya Pertama. Dialah satu-satunya Raja Islam yang tidak mau dipanggilkan "Sri Paduka Yang Mulia" (Syahitul Jalalah).

Maka ketika kerajaan Sanusi di Libya itu adalah sebuah Kerajaan Kaum Sufi, tetapi Sufi yang tidak menyembah kubur dan tidak pula memakai Rabithah!

Syaikh Mohammad Abduh yang kemudian akan mengembalikan Tasawuf pula kepada pangkalnya, adalah pengaruh Tasawufnya oleh ajaran Sanusi. Hal ini diterangkan oleh Dr. Ahmad Amin dalam bukunya "Zu'ama'ul Ishlah".

Seketika dia nyaris putus asa belajar di al-Azhar karena metode pelajaran yang sudah sangat kolot, dia pulang ke kampung halamannya dan berniat tidak hendak belajar lagi, Lebih baik bertani saja!

Waktu itu pulanglah dia ke kampung dan berjumpa dengan Syaikh Darwish.

Dr. Ahmad Amin berkata tenang Pribadi Syaikh Darwish:

"Dia terpengaruh oleh ajaran Sanusiyah yang bersamaan tujuannya dengan Wahabi, menyerukan agar kembali kepada Islam pertama dalam keasliannya dan pembersihan dari bid'ah-bid'ah. Yaitu setelah dia kembali dari Tripoli Barat dan berkumpul di sana dengan penganut penganut Sanusiyah".

Syaikh itulah yang mengkritik Muhammad Abduh, yang mulanya nyaris jadi ulama yang mementingkan pembersihan diri sendiri dengan berbagai-bagai zikir dan do'a, tetapi tidak memperdulikan masyarakat sekelilingnya. Dibawanya Mohammad Abduh ke tempat pergaulan kampungnya, supaya dirasakannya apa yang dirasakan orang lain, supaya dapat menilik apa penyakit dan apa obatnya. Syaikh Darwish oleh yang membantah dan memberantas ajaran al-Azhar selama ini, bahwa ilmu terbagi dua, dan yang lahir dan ada yang bathin! Dan ilmu bukanlah semata-mata ilmu agama. Filsafat dan manthik pun perlu dipelajari!

Kata Dr. Ahmad Amin selanjutnya:

"Yang mengisinya bermula ialah Syaikh Darwish. Adapun kedatangan Jamaluddin al-Afghani ialah menunjukkan yang mana yang akan diperbaiki itu".

Maka jelaslah sekarang bahwasanya Wahabi dan Sanusi adalah pembukaan jalan baru bagi Islam, untuk mengembalikan Tasawuf pada pangkalnya.

(Buya HAMKA, Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, Hal. 308-316, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

SALIK BUTA DAN PENGAJIAN TUBUH

Ramai dan makmurlah negeri Aceh. Bersemarak agama Islam, terutama di zaman Iskandar Muda dan Iskandar Istani itu. Tercapai cota Iskandar Muda agar Aceh menjadi Serambi Mekah. Nama Aceh telah masyhur ke atas angin.

Terkenallah bahwa raja-raja Aceh itu amat sayang kepada ulama, amat gembira memajukan ilmu pengetahuan Islam. Kemasyhuran Aceh sampai ke Hindustan, Mekah, Mesir, hingga sampai ke Turki.

Sultan menyediakan belanja yang seakan-akan tidak berbatas banyaknya untuk membelanjai perkembangan ilmu pengetahuan.

Iskandar Muda sendiri boleh dikatakan tidak berhenti berperang. Dalam perjalanan dibawanya dua orang ulama, untuk menjadi muallim mengajari para pahlawan. Di Aceh sendiri ramailah penuntut ilmu datang dari segala pelosok tanah Indonesia. Ada yang datang dari Minangkabau, Tanah Melayu, Makassar, Banten, dan Jawa Timur. Itu pula sebabnya di zaman kedua orang Sultan Iskandar itu datang Syekh Hamzah, Syekh Syamsuddin, Syekh Fadiullah Burhanpuri, Syekh Rijal, semua dari Hindustan, dan datang pula dari Mekah, Tuan Syekh Abul Khair dan Syekh Muhammad al-Yamin.

Dipelajarilah ilmu fiqih menurut Madzhab Syafi'i sedalam-dalamnya. Apalagi bahasa Arab dengan segala alat kelengkapannya: nahwu, saraf, manthiq ma'ani. Malahan maju pulalah mengarang dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu sehingga perkembangan bahasa Melayu sekarang ini, yang telah menjadi bahasa Indonesia, haruslah dipelajari dengan mendalam tentang peranan yang diambil oleh ulama-ulama di Aceh.

Dalam pada itu maju pula ilmu tasawuf.

Dalam pada itu macam puyang murni, senantiasa tumbuh keinginan dan kerinduan mengenal (Ma'rifat) Allah SWT, ilmu kalam (Sifat 20) yang mengajarkan dan mengasah pikiran untuk mempertahankan aqidah telah dimulai oleh Abu Hasan al-Asy'ary dan Syekh Abu Mansur al-Maturidiy dan telah disempurnakan oleh al-Ghazali.

Apabila kita telah mempelajari ilmu kalam, ilmu berbicara, kita telah dapat mempertahankan pendirian bahwa Allah Ta'aala ada. Tanda adanya Allah Ta'aala adalanya alam.

Dipinjam manthiq Aristoteles.

Disusun Muqaddimah Sughra (Praemise I), ditambahkan dengan Muqaddimah Kubra (Praemise II), lalu dibuat Natijah (konklusi). Aku melihat alam berubah-ubah (Mukaddimah I). Tiap-tiap yang berubah-ubah adalah baru (Mukaddimah II). Dihapuskan kata berulang (berubah), dipertemukan pangkal mukaddimah pertama (alam) dengan ujung mukaddimah kedua (baru), jadilah konklusinya. Alam itu baru.

Dibicarakan perkara Wujud. Mana wujud yang pasti dan mana wujud yang mungkin. Kemudian, timbullah hasil penalaran bahwa yang pasti ada hanyalah yang tidak diikat oleh ruang dan tidak ditentukan oleh waktu. Itulah Wujud yang mutlak, dan itulah Allah SWT.

Kian lama kian terasalah, bahwa Allah SWT menurut ilmu kalam tidaklah memuaskan dahaga jiwa. Hanya otak yang cerdas mengakui adanya Allah SWT, tetapi jiwa merasa kosong. Aku tidak mau hanya sekedar berpengetahuan bahwa Allah Ta'aala ada dengan otakku. Aku merasai adanya Allah SWT dengan jiwaku. Meskipun ada ilmu kalam atau tidak ada sama sekali.

Hati nuraniku merasa rindu-dendam kepada-Nya, bahkan merasai 'asyiq dan cinta. Jika boleh aku ingin Fana (lebur) ke dalam-Nya, supaya aku Baqa' (kekal) selama-lamanya.

Inilah rasa atau dzauq yang menjadi pokok pangkal tasawuf.

Nabi Muhammad saw. menunjukkan pelbagai rupa ajaran bagaimana cara mendekati Allah SWT, tetapi demikian masih ada insan yang belum puas. Ia hendak mencari lagi, supaya lebih terobat rendu-dendam ini.

Berbagai rupalah usaha dan ikhtiar untuk ma'rifat kepada Allah SWT. Rabi'atul Adawiyah, guru tasawuf perempuan itu mengajarkan cinta. Abu Yazid Bustami mengajarkan 'Isyiq (18). al-Hallaj mengajarkan berpaduan di antara aku dan Dia.

Al-Ghazali menyuruh berhati-hati, jangan sampai terperosok ke jalan lain dalam mencari hubungan dengan Allah SWT.

Alangkah banyaknya guru-guru yang telah menghadapkan jurusan pikiran ke lapangan tasawuf. Terutama di dalam Abad-abad ke-7 H, yakni di Abad jatuhnya Baghdad 656 H.

Rupanya pembicaraan tasawuf ini sampai juga ke Aceh.

Datanglah beberapa orang ulama ahli tasawuf dari Mekah sendiri, di antaranya Syekh Abul Khair dan Syekh Muhammad al-Yamin, keduanya mengajarkan,

"Siapa yang mengenal akan dirinya, niscaya kenallah ia akan Tuhannya."

Oleh sebab itu, mencari Allah SWT ialah dari pintu diri. Diri ini adalah hijab (dinding) yang membatas engkau dengan Tuhanmu.

Berkata pula Syekh Muhammad Fadlullah al-Burhanpuri:

"Sesungguhnya segala yang wujud (ada) ini, dipandang dari segi adanya. Dialah 'ain al-Haaq, Allah Ta'aala, dan dari segi 'ain adalah lainnya."

Bersama dengan itu datang pulalah dua orang ulama dari Hindustan yang lain, yaitu Hamzah dan Saifur Rijal. Diadu pengajian dalam rahasia di antara Syekh dari Mekah dengan Syekh dari Hindustan, rupanya dapatlah persesuaian. Hamzah rupanya lebih alim lagi pendeta. Cintanya kepada Allah SWT adalah laksana cintanya al-Hallaj:

"Kita alam ini hanyalah bayang-bayang belaka daripada Allah SWT Betapakah dapat diceraikan di antara bayang-bayang dengan yang empunya bayang?"

Datang pula muridnya Syamsuddin Sumatrani, dia pun berkata bahwa kembalikan sesuatu kepada pangkalnya, pulangkan insan pada asalnya, barulah bertemu hakikat tasawuf. Nama yang berbilang, adapun hakikat hanya satu, Allah SWT Adam a.s. dan Muhammad saw., semuanya adalah satu belaka pada hakikatnya. Apabila diadakan dzikir yang sejati, kata Syamsuddin:

"Nafkanlah diri, jangan lagi diingat akan adanya diri. Yang ada hanyalah yang sebenarnya ada. Ada Aku dalam ada-Nya."

"Tidak ada Aku kecuali Dia."

Lanjutkan lagi,

"Tidak ada Dia kecuali Aku."

Akhirnya engkau akan sampai kepada,

"Saya Dia."

Di kala Iskandar Muda Mahkota Alam masih lagi hidup, meskipun baginda tahu akan pengajian itu, biarkan ada pengajian begitu. Tidak mengapa karena suatu paham akan dibantah oleh paham yang lain.

Akan tetapi, setelah Raja Perkasa itu wafat, pengajian Hamzah dan Syamsuddin telah tersebar kepada orang awam.

Orang awam telah memperkatakan tarikat, syari'at, ma'rifat, dan hakikat.

Mereka mengerjakan Suluk, sebab itu bernamalah mereka Salik.

Mata pandangan mereka tertuju hanya kepada satu belaka, yaitu Allah SWT dan Allah SWT dalam diri.

Buta mereka dari yang lain, nyalang mata mereka kepada Yang Esa.

Disebutlah mereka oleh orang Aceh Salik Buta.

Pengajian mereka bernama Wujudiyah (Existensialisme).

Tak perlu ke sawah atau ladang lagi karena hati sudah ma'rifat.

Tidak perlu shalat lagi karena syari'at hanya bagi orang mubtadi (cara mula-mula menempuh jalan).

Mereka mengerjakan dzikir sampai jauh malam.

"Allah... Allah... Allah..."

Akhirnya kacau balaulah di antara laki-laki dengan perempuan.

Mereka merasa diri Tuhan.

Waktu itulah muncul seorang ulama besar yang kemudiannya akan berjasa besar menyiarkan Madzhab Syafi'i dan memberantas tasawuf yang salah.

Beliau sama seperti Hamzah dan Syamsuddin, sama-sama berasal dari Hindustan. Beliau pun penganut Tharikat Qadariyah, yang disebut berasal dari ajaran Sayyid Abdul Qadir al-Jailany, tetapi beliau menolak paham Wujudiyah.

Beliau berantas paham itu dan beliau tegakkan paham Salaf, paham yang diterima dari Nabi saw. dan sahabat-sahabatnya, yang disebut juga Paham Ahlus Sunah wal Jamaah. Peneliti Barat menamai paham itu orthodox, yaitu arti asal dari kalimat Salaf. Sehingga orang-orang Indonesia yang mencoba-coba membicarakan hal ini sebelum mengetahui pokok pikiran Islam kerap kali mengartikan bahwa paham beliau ini kolot dan paham Hamzah itulah modernisasi.

Beliau itulah Syekh Nuruddin bin Muhammad Jailany bin Hasanji bin Muhammad Hamid ar-Raniri.

Beliau berantas paham itu dalam tabligh-tablighnya, karangan-karangannya dan dalam fatwanya sehingga gegerlah masyarakat Aceh karenanya.

Di zaman pemerintahan Iskandar Istani pertengkaran ini sampai ke puncaknya, sampai Kerajaan Aceh mencampuri soal itu dan memanggil Syekh Nuruddin meminta fatwanya yang tegas.

Apabila ternyata paham Hamzah itu bertentangan dengan pokok syari'at, kerajaan akan mengambil sikap tegas dan Syekh Nuruddin berani bertanggung jawab, bersoal jawab di mana saja.

Kata setengah riwayat yang diterima dari mulut ke mulut di Aceh, bahwa kedua Syekh dari Mekah, Abul Khair dan Muhammad al-Yamin, telah pulang ke negerinya. Syekh Hamzah orang Fansur itu sedang menebarkan Tharikatnya ke Pariaman, Minangkabau, sedang Syekh Syamsuddin, murid Hamzah telah lama wafat.

Yang dapat dihadirkan hanya beberapa guru yang menjalankan Tharikat Wujudiyah itu di Aceh dan berpuluh-puluh pengikut yang lain.

Diadakanlah pertemuan besar di istana, di hadapan Sultan Iskandar Istani sendiri.

Diadakan bahas hujjah.

Syekh Nuruddin menetapkan kafirnya paham demikian karena alam terjadi bukanlah sebagai bayang-bayang dari Allah SWT, tetapi tercipta atas kehendak Allah SWT dengan kalimat-Nya Kun. Dzat Allah SWT adalah Qadim dan dzat alam adalah hadits, terjadi alam atas kehendak-Nya.

Itulah yang diterima dari Nabi saw. Adapun kepercayaan lain adalah pengaruh paham Zindiq yang masuk dari luar ke dalam Islam, setelah banyak tukang bid'ah mencampur aduk Islam dengan ajaran agama lain.

Niscaya tidaklah ada yang berani berdebat bertantangan dengan ulama yang kuat hujjahnya itu. Suaranya keras melengking dan keningnya sempit lekas marah. Sebagaimana bawaan ulama-ulama dari India, walaupun sudah lama makan sirih dan pinang cara Aceh. Apalagi ilmu itu selama ini dirahasiakan, tidak dibuka kepada ulama. Sekarang beliau buka, beliau kupas, dan akhirnya dengan tegas ia memohon kepada Sultan agar kerajaan menentukan sikap tegas, supaya negeri jangan binasa. Supaya ladang dan sawah jangan ditinggalkan orang dan masjid-masjid jadi lengang karena orang merasa tidak perlu shalat lagi bagi yang sudah wushul (sampai) kepada Allah SWT.

Beliau usulkan supaya orang belajar Tauhid terlebih dahulu sampai matang, barulah dibolehkan belajar Tharikat atau masuk Suluk. Beliau usulkan supaya para ulama yang memegang teguh syari'at, diberi kesempatan terus mengarang buku-buku yang berguna bagi menuntun kepada jalan yang benar.

Tidak ada di kalangan pengikut Wujudiyah yang dapat menegakkan alasan karena memang ilmu tasawuf pada hakikatnya bukanlah ilmu, melainkan rasa (dzauq) sehingga al-Ghazali sendiri memesan berkali-kali supaya apa yang dirasai di dalam kasyaf jangan diajarkan kepada orang awam, tetapi simpanlah sendiri.

Musyawarahlah Sultan dengan abangnya, Panglima Polka dan Permaisurinya, Sri Ratu Shafiyatuddin, dan beberapa ulama yang lain, mengambil sikap tegas.

Akhirnya, keluarlah keputusan kerajaan menyatakan larangan kepada paham Wujudiyah atau Sala Bute diperintahkan membakar kitab-kitab karangan Hamzah dan Syamsuddin, disuruh bongkar tempat-tempat kaum itu mengerjakan Suluk.

Pengikutnya disuruh taubat. Mana yang tidak mau taubat, dibunuh.

Ada yang bertaubat dan ada yang dibunuh.

Kata setengah riwayat, Hamzah mati dibunuh sebagaimana membunuh al-Hallaj di Baghdad dahulu dan kata setengahnya lagi, menurut riwayat yang saya terima dari Tuan Haji Harun ath-Thubuhi al-Faryamani di Padang Panjang, Hamzah ketika itu sedang berada di Pariaman.

Mendengar keputusan pemerintah Aceh itu ia tidak berani pulang lagi ke Aceh. Ia meneruskan mengajarkan Tharikat itu sampai ke Calau Sijunjung dan di sanalah ia meninggal. Kata Tuan Haji Harun tersebut, makamnya ada di Calau dan Tharikatnya sampai sekarang masih dianut orang di sana, dimasyhurkan orang Tuanku Calau.

Ajaran Hamzah Fansuri itu dikenal di beberapa negeri dengan nama Pengajian Tubuh, disebut juga Martabat karena menurut wujud melalui proses tujuh tingkat, ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam misal, alam ajsam, dan alam insan.

Tersebar pula ajaran ini ke daerah Jawa, dalam primbon Jawa namanya disebut Kiai Hamzah dan ajarannya disebut Kawula Gusti.

Tersebar pula ajaran ini ke Makassar, dinamai Tharikat Haji Paloppo.

Adapun Syekh Nuruddin ar-Raniri karena sikapnya yang gagah perkasa mempertahankan sunnah atau Madzhab Salaf, yang disebut dalam istilah Orientalis Barat Orthodox karena ketegasan dan kekerasan sikapnya itu, di zaman Sultanah Tajul Alam Shafiyatuddin, diangkatlah beliau menjadi Mufti Kerajaan Aceh.

Waktu itulah dikarangnya buku at-Tibyan fi ma'rifatil adyan. (Penjelasan, untuk mengetahui agama-agama), khusus membantah paham Wujudiyah, diceritakannya dalam buku itu pertentangannya dengan kaum Wujudiyah.

Di waktu itu pula dikarangnya kitab ash-Shirathal Mustaqim tentang hal ilmu fiqih dan dari buku inilah Syekh Arsyad Mufti Banjar mengambil dasar mengarang kitabnya Sabilal Muhtadin yang terkenal itu.

Dalam kitab ash-Shirathal Mustaqim itu, Syekh Nuruddin menjelaskan pahamnya, bahwa seorang Muslim tidak sah shalat menjadi ma'mum di belakang orang yang berpaham Wujudiyah.

Atas perintah Sultanah Tajul Alam, kitab-kitab karangan Syekh Nuruddin disalin banyak-banyak dan dikirim ke seluruh rantau jajahan takluk negeri Aceh, akan adanya.

Wallahu a'lam bish shawabi, wailahil marji'u wal ma'aabu.

(18) Kata 'isyiq adalah istilah kaum sufi dalam ajaran tasawuf yang bermakna kerinduan. (Peny).

(Buya HAMKA, DARI PERBENDAHARAAN LAMA: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Hal. 234-240, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Agustus 2017).

PENDAHULUAN

Ilmu dalam Islam adalah yang ada dasar dan dalilnya, terutama dari dalam Al-Qur'an dan dari As-Sunnah, termasuk juga penafsiran ulama-ulama yang telah mendapat kepercayaan dari umat, yang disebut Salafus Shalihin, serta sesuai dengan akal yang sehat.

Kalau tidak ada dasar-dasar yang tersebut itu, bukanlah itu suatu ilmu, melainkan hanya dongeng, khurafat, takhayul, kepercayaan karut yang membawa beku otak orang yang menganutnya atau hanya boleh dipercayai oleh orang yang tidak beres akalnya.

Ada juga sebagian orang, mereka tidak mendalami Tauhid, tidak mempunyai aqidah yang teguh, tidak mengenal Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah, dan tidak beramal menurut Sunnah Nabi Muhammad saw., lalu mencari seorang guru untuk belajar doa-doa Nabi Muhammad saw., wirid-wirid, ayat ini dan ayat itu.

Orang ini tidaklah akan terlepas dari bahaya penyakit batin.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 305, 410-411, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

AL-IMAM adalah musuh yang amat bengis bagi sekalian bid'ah dan khurafat dan ikut-ikutan dan adat yang dimasukkan orang pada agama. Itulah dia "Al-Imam".

(Buya HAMKA, Ayahku, 143-144, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

Golongan adat ini tidak semata-mata zaman sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi rasul, tetapi segala penyelewengan dari garis agama yang benar lalu dikatakan bahwa itu pun agama, termasuklah dalam jahiliyyah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 56, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MEMPERTAHANKAN AQIDAH

"Apakah mengira manusia bahwa mereka akan dibiarkan berkata, "Kami telah beriman", padahal mereka masih belum diuji lagi?" (al-'Ankabuut: 2).

Kadang-kadang adat istiadat jahiliyyah yang masih dipegang teguh.

Si Mukmin tahu benar bahwa adat istiadat itu bukan berasal dari Islam.

Ujian pun datang!

Kalau ditegur, orang pun marah.

Tidak ditegur, Allah yang marah!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 652-653, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Bukanlah kita mencela tasawuf dalam keseluruhannya.

Tetapi, kita menuruti akan pendapat Imam Ghazali yang melarang orang belajar thariqat-thariqat ahli tasawuf itu kalau persediaan iman, tauhid, dan Sunnah Rasul saw., sebagai dasar, belum diketahui.

Kalau dasar itu belum ada, kesesatanlah yang akan timbul.

Awak merasa sudah bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah kepada Allah, mendekati Allah (taqqarrub), dan sebagainya,

Padahal dengan tidak sadar, awak telah memakai sistem lain yang diajarkan oleh Muhammad Rasulullah saw., padahal awak mengakui orang Islam.

Disangka mendekati Allah, padahal membawa jauh dari Allah.

Sehingga tepatlah untuk orang yang seperti demikian perkataan Imam Syafi'i:

"Barangsiapa yang bertasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu petang dia sudah gila."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 137, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan, sesungguhnya Tuhan engkau, Dialah yang lebih mengetahui, siapa orang-orang yang melanggar batas." (ujung ayat 119).

Ujung ayat ini pun menjadi peringatan sangat keras bagi umat Muhammad saw. sendiri jika mereka diberi Allah nikmat menjadi penyambut waris nabi-nabi, menjadi imam orang banyak, jadi ulama atau guru atau syekh mursyid, sebagai istilah ahli tasawuf.

Supaya mereka berhati-hati memimpin umat, jangan sampai mereka yang menyesatkan umat, yang tadinya bertujuan menyembah Allah yang SATU, lama-lama menjadi penyembah guru waktu hidupnya, kemudian menyembah guru sesudah matinya, kemudian memuja kuburnya tempat penyimpan tulang-tulangnya, lalu menjadikan dia berhala atau wasilah untuk menyampaikan permohonan kepada Allah.

Allah tahu siapa yang melanggar batas itu, menyesatkan orang awam dengan tidak ada ilmu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 259, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MAKNA WALI BERUBAH

Maka terdapatlah di negeri-negeri Islam yang besar-besar, baik di Mesir maupun di Baghdad, di Isfahan atau di Turki, kubur-kubur yang luar biasa dibesarkan atau diagungkan, tempat orang berziarah meminta syafa'at dan berkat dari wali dan aulia; satu perbuatan yang sudah sangat jauh menyimpang dari pokok ajaran tauhid.

Dan kalau ada ulama yang berani menentang perbuatan yang sudah menjadi syirik ini, dituduh sajalah orang itu dengan serta-merta bahwa dia telah keluar dari Madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Dan banyak jugalah kubur-kubur semacam itu yang dijadikan mata pencarian dari juru kunci yang menjaganya.

Sebagai Ibnu Hazm di Andalusia, Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, dua kurun yang telah lalu dibangkitkan lagi oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab.

Tetapi tiap-tiap teguran itu datang, bukan sedikit pukulan yang mereka terima dari pihak yang mempertahankan.

Apatah lagi kalau pihak yang mempertahankan itu dibela oleh pihak yang berkuasa, yaitu sultan-sultan dan ulama-ulama yang telah menjual dirinya kepada sultan.

Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim sampai meringkuk dalam penjara.

Karangan-karangan Ibnu Hazm pernah disuruh bakar.

Kekuasaan Kerajaan Turki Osmani memerintahkan Muhammad Ali Pasya, Raja Mesir menghancurkan kekuasaan kaum Wahabi yang mulai tumbuh di tanah Arab yang berdasar kepada ajaran tauhid itu.

Yang sangat merusak agama pula, yang ditimbulkan oleh golongan-golongan tasawuf semacam itu ialah tentang adanya Kasyaf.

Kasyaf artinya pembukaan rahasia yang tersembunyi.

Menurut mereka, seorang yang telah mencapai martabat wali bisa diberi Allah kelebihan, dengan dikasyafkan kepadanya oleh Allah rahasia-rahasia yang tersembunyi, yang gaib.

Kadang-kadang mereka mengubah hukum agama yang tertulis dalam Al-Qur'an dan hadits, sebab tuan Syekh telah mendapat kasyaf dari Allah, baik di dalam satu mimpi maupun ilham, supaya dikerjakan begini atau begitu, yang tidak ada dari pokok syari'at dari Al-Qur'an dan hadits itu.

Imam Ghazali, setelah beliau menyelami kehidupan tasawuf sedalam-dalamnya, dapatlah menyisihkan mana tasawuf yang sejati dan mana yang penipuan.

Maka menulislah beliau di dalam buah tangannya yang besar Ihya Ulumiddin di dalam kitab al-Ghurrur (Penipuan), bahwa banyak orang yang tertipu atau menipu dengan soal-soal kasyaf itu.

Jika disebut perkara wali, tidaklah dilepaskan dengan soal karamah, atau kiramat, dalam bahasa Minang, atau keramat, dalam bahasa Jakarta.

Kata mereka, kalau nabi mendapat irhaash, dan rasul mendapat mukjizat dan orang saleh mendapat ma'unat, maka wali-wali itu mendapat karamah, atau keramat.

Di sinilah bermain segala macam khayal atau takhayul yang telah banyak kita lukiskan di atas tadi.

Bahwa Wali Fulan mendapat keramat dari Allah sehingga bisa shalat dalam 30 masjid dalam satu hari Jum'at dan wali yang lain ber-Jum'at di Mekah, "banyak" orang melihat, padahal dia tinggal di Jakarta.

Syekhuth Thaifah sendiri, Junaid al-Baghdadi, terkenal apa yang beliau katakan berkenaan dengan soal-soal keramat ini,

"Meskipun engkau lihat seseorang berjalan di atas air, atau terbang di udara, janganlah engkau lekas percaya kepadanya, sebelum nyata olehmu bahwa dia berjalan menurut garis al-Kitab dan as-Sunnah."

Perkataan ini memang tepat!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 451, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Perjuangan menentang Tasawuf yang tersesat, yang bercampur aduk dengan ajaran yang bukan asli dari Islam, tetap masih ada.

Sekali-kali timbullah orang-orang besar yang memberikan bantahan, kadang-kadang lunak dan kadang-kadang keras.

Yang amat masyhur menentang Wihdatul Wujud, Hulul dan Ittihad itu ialah Imam Besar Ibnu Taimiyah (meninggal tahun 727 H/1329 M), dan muridnya Ibnul Qayyim al-Jauziyah.

Ibnu Taimiyah adalah seorang alim besar dalam Madzhab Hanbali yang sangat luas pengetahuannya dalam hadits dan ilmu-ilmu yang lain.

Muridnya Ibnul Qayyim pun laksana Plato yang menjadi murid Socrates.

Kita banyak mengenal Ibnu Taimiyah karena membaca buku-buku Ibnul Qayyim yang sangat banyak, mengenai berbagai soal.

Kedua beliau pun menyukai Tasawuf, tetapi sangat menentang akan paham Ibnu 'Arabi.

Karangan Ibnu Taimiyah "At-Tawassul wal Wasillah" menentang sekeras-kerasnya praktek membesar-besarkan kubur yang rupanya sudah sangat merusak kepercayaan sejak Abad ke-7 itu.

Pendiriannya yang tegas dan sikapnya yang keras tak kenal damai dengan ulama-ulama yang berpengaruh dan dapat muka dari Kerajaan, menyebabkan dia dimasukkan berulang-ulang ke dalam penjara.

Dan Ibnu Taimiyah pun meninggal dalam penjara.

Ibnul Qayyim kerap kali bersama meringkuk dengan gurunya dalam penjara.

Tetapi berulang-ulang dalam penjara itu telah menambah bersih pendirian hidup kedua orang utama itu.

Oleh karena tantangannya yang hebat-hebat itu, maka kedua beliau dipandang musuh besar oleh ulama-ulama yang lain.

Buah pikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim-lah yang menimbulkan inspirasi bagi Syekh Muhammad Ibnu Wahhab dalam Abad ke-18 (Abad ke-12 Hijriyah), buat membangun paham "kembali kepada Wahabi" sebagai lanjutan dari Madzhab Hanbali inilah yang diperjuangkan oleh raja-raja Ibnu Sa'ud di tanah Arab,

Yaitu Tauhid!

Ibnul Qayyim yang luas paham dan ilmu pengetahuan itu, kadang-kadang membela juga kalau ada kaum sufi yang berpaham Wihdatul Wujud, kalau hanya karena dimabuk cinta belaka.

(Buya HAMKA, Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, Hal. 265-266, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

MUNDURNYA TASAWUF DI TANAH PERSIA

Pada Tahun 907 H/1502 M, naiklah Kerajaan Shafawi di Persia.

Kerajaan ini telah berjasa mempersatukan kebangsaan Persia di bawah suatu kerajaan besar yang berhak memakai gelar "Syahin Syah" (Sri Maharaja di Raja), setelah sekian lama dalam rebutan Bangsa Mongol Islam, Turki, dan Arab.

Rajanya yang amat masyhur ialah Syah Isma'il.

Beliau mengatakan bahwasanya madzhab yang resmi ialah Syiah.

Beliau amat benci kepada Tasawuf, seperti bencinya kepada segala paham yang berbau Ahli Sunnah.

Beliau anjurkan ulama-ulama dan Pujangga kalau mengarang, hendaklah yang bersangkut dengan propaganda Syiah semata-mata.

Syair memuji keturunan Hasan Husin, mendapat sokongan kerajaan.

Tetapi syair-syair Tasawuf amat dibenci dan ahli-ahli Sufiyah dikejar-kejar.

Maka hilanglah keistimewaan Tasawuf Persia sesudah berkembang sekian ratus tahun.

Berganti dengan perkembangan Madzhab Syiah.

Bahkan pernah ulama-ulama Tasawuf itu disiksa dan dibunuh.

Sejak itu tidak banyak dikenal orang lagi Ulama Tasawuf di Persia, hanya seorang yang tersebut namanya yaitu Hatif.

Peresmian Persia memakai Madzhab Syiah dan bagian Dunia Islam yang lain-lain rata-rata bermadzhab Sunnah, menyebabkan beratus tahun hubungan terputus antara Persia dengan Dunia Islam yang lain.

Sekarang telah timbul hubungan kembali setelah Abad ke-20.

(Buya HAMKA, Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, Hal. 258-259, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

TENTANG TASAWUF

KH. Mas Mansur berkata,

"80% didikan Islam kepada keakhiratan dan 20% kepada keduniaan. Tetapi kita telah lupa mementingkan yang tinggal 20% lagi itu sehingga kita menjadi hina."

Sayid Rasyid Ridha berkata ketika memberi syarah akan hadits,

"Zuhudlah kepada dunia supaya Allah cinta kepadamu dan zuhud pulalah kepada yang di tangan manusia, supaya manusia pun suka kepadamu."

Ketika memberi syarah hadits ini, Imam Nawawi telah mengutip perkataan Imam Syafi'i yang berkata tentang mencari harta dunia demikian:

"Menuntut berlebih harta benda, walaupun pada yang halal, adalah siksa yang diberikan Allah kepada hati orang yang mukmin,"

Maka Sayid Rasyid Ridha berkata,

"Perkataan itu jauh dari kebenaran. Sebab, meminta tambahan harta yang halal itu tidaklah haram, tidaklah siksa. Kalau sekiranya meminta tambah yang halal itu haram, dan siksa pula, mengapa dia dihalalkan? Dan bukan pula dia makruh. Jatuh hukum haramnya, jika harta yang halal menjadi tangga untuk mencapai yang haram, dan dimakruhkan jika menyababkan perbuatan tercela. Sahabat-sahabat yang besar, demikian juga ulama-ulama tabi'in dan beberapa orang yang shaleh-shaleh ialah orang kaya-raya yang mempunyai harta benda lebih daripada yang perlu. Sehingga menjadi pertikaian paham di antara ulama-ulama, manakah yang utama di sisi Allah, seorang kaya syukur dengan seorang fakir yang sabar. Adapun berlebih-lebihan memasukkan rasa kebencian terhadap harta kekayaan dunia itu ke dalam hati sanubari, adalah salah satu sebab kelemahan kaum muslimin dan salah satu sebab mereka dapat dikalahkan oleh musuhnya. Kesenangan yang menyebabkan sombong atau lalai dari melakukan kewajiban atau menyebabkan suka kepada haram",

Demikian Rasyid Ridha.

Dengan segala keterangan itu jelaslah maksud kita dengan buku ini.

Kita namai "Tasawuf", ialah menuruti maksud tasawuf yang asli, sebagaimana kata Junaid tadi. Yaitu:

"Keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji."

Dengan tambahan keterangan "Modern".

Kita tegakkan kembali maksud semula dari tasawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang lebih dari keperluan untuk kesejahteraan diri.

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 7-8, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

SURAH AL-BAQARAH

PENGANTAR

Dengan cerita itu kita mendapat kesan bahwasanya fi'atan atau golongan kecil bisa saja mengalahkan golongan yang besar dengan izin Allah. Keizinan Allah akan diberikan asal saja golongan kecil teguh disiplinnya, setia kepada pemimpinnya, dan inti sari dari semuanya, yaitu beriman dan takwa.

Di akhir-akhir juz kedua itu kita mendapat pengajaran bahwa seorang Rasulullah itu bukanlah sebagaimana yang kerap kali digambarkan oleh orang yang bodoh-bodoh bahwa mereka hanya mengajak kepada jalan akhirat atau laksana digambarkan pada tokoh guru-guru tasawuf yang mengajak pengikut dan muridnya supaya mengutuk dunia.

Sebaliknya, seorang rasul Allah itu selain menyampaikan wahyu Tuhan kepada manusia, mereka pun pemimpin. Kalau keadaan menghendaki, rasul itu pun bisa menjadi kepala perang dan juga menjadi raja dari satu negeri, sebagaimana yang telah terlihat pada diri Nabi Dawud.

Dalam rangka zaman Madinah, zaman membentuk umat Islam yang hidup yang dibangun dengan satu fikrah, yaitu dasar pemikiran, satu ideologi, dapatlah kita maklumi apa maksud kisah Thalut diangkat menjadi raja itu dan kemudian muncul Dawud membunuh Jalut. Lalu kemudian dia yang menggantikan tempat Thalut menjadi maharaja Bani Israil.

Pada lanjutan surah al-Baqarah ini kita mendapat banyak tuntunan lagi. Di antaranya, penjelasan Kalimat Tauhid, mutlak kekuasaan Allah yang tertera pada ayat 255, yang lebih masyhur dengan sebutan "Ayatul Kursi". Diketengahkan pendirian Islam dalam ayat ini. Pendirian yang dapat diketengah-ketepikan, yang dapat dipertanggungjawabkan pada seluruh ruang dan waktu. Dalam ayat itulah dirumuskan pendirian dan pegangan hidup seorang Muslim sehingga Muslim berani menghadapi segala tantangan dalam zaman mana jua pun atau tempat mana jua pun. Sehingga, pada ayat selanjutnya, ayat 256, Allah menegaskan bahwa dalam agama tidak ada paksaan. Agama yang dimaksudkan di sini ialah Islam. Islam tidak akan dijalankan dengan paksaan. Orang tidak akan dipaksa dengan pistol supaya menerima pendirian ini karena pendirian yang benar dengan pendirian yang salah sudah nyata perbedaannya. Asal orang sudah berani membebaskan dirinya dari mempertuhan "thagut", yaitu segala macam keberhalaan, dan dia percaya kepada Allah, pasti agama ini diterimanya. Sebab, Allah mengeluarkan orang dari gelap gulita kepada lapangan yang terang-benderang, sedangkan thaghut membawa orang dari tempat yang terang-benderang kepada ruangan yang gelap gulita, kelam picik.

Setelah menjelaskan pendirian demikian, diuraikanlah dua peristiwa mengenai Nabi Ibrahim dalam menegakkan Kalimat Tauhid, (ayat Kursi) itu. Dia berhadapan dengan seorang thaghut, yang merasa diri sangat berkuasa sebab menjadi raja. Ketika Ibrahim mengatakan bahwa Allah itulah yang menghidupkan dan mematikan, si raja dengan sombong mengatakan bahwa dia pun berkuasa menghidupkan dan mematikan. Dia merasa dirinya berserikat dengan Allah menguasai alam ini. Ibrahim lalu menantangnya. Kalau benar engkau merasa kuasa menghidupkan dan mematikan, sebab engkau raja, cobalah terbitkan matahari dari Barat sebab Allah menerbitkan matahari dari Timur. Si raja terdiam.

Dengan hujjah yang demikian, si raja pasti terpaksa, mau tidak mau terpaksa terdiam, terpaksa tidak dapat mengangkat muka lagi.

Maka, orang tidak dapat dipaksa memeluk atau menganut suatu agama kalau jiwanya sendiri tidak dapat menerima karena tidak benar. Sebaliknya, hati orang terpaksa menerima, walaupun tidak dipaksakan, kalau yang dikatakan itu benar.

Memang tidak ada paksaan dalam agama. Akan tetapi, kalau agama itu benar dan manusia tidak sanggup lagi membantahnya, tentu yang memaksanya untuk mengakui ialah jiwa murninya sendiri.

Sehingga, pada saat itu, jika ada orang datang memaksanya melepaskan keyakinannya, dia bersedia mati.

Peristiwa kedua ialah Nabi Ibrahim memohon kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya bagaimana caranya Allah menghidupkan kembali makhluk yang telah mati. Allah lalu memerintahkan mengumpulkan 4 ekor burung. Keempat burung itu dicincang lumat lalu Nabi Ibrahim disuruh Allah mengantarkan keempat ekor burung itu ke puncak 4 buah bukit. Mereka lalu dipanggil kembali dan mereka pun datang sebagaimana sediakala.

Pergiliran di antara benda yang diberi nyawa lalu mati, lalu benda itu diberi nyawa kembali, baik ditukar bentuk atau tidak, adalah hal yang dapat kita renungkan sehari-hari dalam alam ini. Sebab itu, tidaklah mustahil kalau kelak kemudian hari tulang-tulang kita yang telah mumuk di-bajui kembali dengan tubuh. Entah berapa lama prosesnya, Allah-lah yang Maha Tahu. Akan tetapi, di ayat ini Tuhan memperlihatkan kepada hamba kekasih-Nya Ibrahim proses yang hanya sebentar waktu.

Di tengah, di antara kedua cerita Ibrahim itu, diselingi Allah pula dengan kisah sebuah desa yang mati telah 100 Tahun lalu dihidupkan kembali. Peristiwa ini dan kedua peristiwa Nabi Ibrahim adalah pengukuh dari Ayatul Kursi (ayat 255 surah al-Baqarah) tadi.

Sesudah itu, amanah yang telah digembleng dengan iman dan tauhid itu disuruh beramal, disuruh membebaskan dirinya dari pengaruh benda atau thaghut tadi. Disuruh, dihasung, diberi ingat bahwasanya bakhil adalah satu gejala dari syirik. Umat yang telah mengakui keesaan Allah tidak mungkin menjadi orang bakhil. Umat ini akan tetap kukuh berdiri selama mereka masih berani melepaskan dirinya dari pengaruh harta benda. Dianjurkan berkorban, bernafkah, berlomba mengeluarkan harta benda untuk menegakkan jalan Allah. Sejak dari ayat 261 sampai ayat 274, artinya 14 ayat, adalah ayat hasungan menyuruh menafkahkan harta pada jalan Allah. Bagaimana manfaatnya bagi orang yang dermawan, bagaimana kebahagiaan mereka di dunia dan ganjaran mulia di akhirat serta bagaimana cara melakukan pengorbanan itu, semua diuraikan. Sesudah itu, diterangkanlah bahaya "riba", membungakan harta benda dengan memeras keringat orang lain, dari ayat 274 sampai ayat 281, yaitu delapan ayat.

Sesudah itu, bertemulah satu ayat panjang, ayat yang paling panjang terdapat di seluruh Al-Qur'an, yaitu ayat 282, memberikan tuntunan kalau terjadi perjanjian utang-piutang dan perianjian-perjanjian yang berkenaan dengan pemindahan hak, hendaklah ditulis dengan terang, memakai dua saksi. Kalau tidak dapat melengkapkan dua saksi maka satu laki-laki boleh digantikan oleh dua orang perempuan. Di ayat 283 diperkuat lagi dengan menyuruh catatkan keterangan yang jelas kalau dalam perjalanan, sedangkan orang yang bisa menulis tidak ada, boleh diadakan agunan. Pemegang agunan hendaklah memegang amanah dengan setia berdasarkan takwa kepada Allah.

Sesudah semuanya itu diterangkan, kita dibawa kembali ke pangkalan, yaitu di dalam meletakkan dasar-dasar hubungan di antara manusia, sesama manusia, jangan lupa bahwa kita ini selalu dalam tilikan Allah, yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa batas semua langit dan bumi, dan apa saja yang kita nyatakan atau sembunyikan, teguh janji dan setia, atau mungkir dan khianat, tetapi Allah Tahu (ayat 284).

Sesudah itu, datanglah dua ayat penutup surah. Pada ayat 285 diingatkan bahwa kita ini adalah di bawah bimbingan Rasul. Rasul itu sendiri percaya teguh kepada apa yang diturunkan Allah kepadanya. Niscaya orang-orang yang beriman pun demikian pula.

"Engkaulah Tuhan kami, berilah kami pertolongan di dalam menghadapi orang-orang yang tidak mau percaya."

Doa penutup surah al-Baqarah ini menunjukkan bahwa masyarakat Islam telah mulai terbentuk. Ibarat sebuah bahtera, dia telah mulai berlayar mengarungi lautan besar. Ombak dan gelombang akan ditempuh, angin badai akan bertemu. Nabi Muhammad saw. menjadi nakhoda dari bahtera itu. Mohon Allah memberikan kekuatan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 497-500, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).