Selasa

BUYA HAMKA, TAUHID RUBUBIYAH DAN ULUHIYAH QS. AL-FAATIHAH, PELAJARAN TAUHID LANGSUNG DARI MELIHAT ALAM

SURAH AL-KAAFIRUUN (ORANG-ORANG KAFIR)

"Untuk kamulah agama kamu, dan untuk akulah agamaku." (al-Kaafiruun: 6).

Soal aqidah, di antara Tauhid mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampuradukkan dengan syirik.

Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 309, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEMURKAAN-KU DAN KEMURKAANMU!

"Demikianlah kamu karena apabila diseru Allah sendiri saja, kamu kafir. Dan jika Dia dipersekutukan, kamu pun beriman. Maka keputusan hukum adalah pada Allah Yang Maha Tinggi, Maha Besar." (al-Mu'min: 12).

Tidak ada berhala, tidak ada al-Laata, tidak ada al-Uzza, tidak ada Manaata dan yang lain. Jika di zaman sekarang tidak ada kubur keramat, wali anu dan keramat anu. Omong kosong!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 85, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENUHANKAN GURU

"Telah mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi Tuhan-Tuhan selain Allah ..." (at-Taubah: 31).

Gejala mendewa-dewakan guru, baik di waktu hidupnya maupun sesudah matinya. Di dalam kalangan Islam, tumbuhlah pemujian yang berlebih-lebihan kepada guru-guru yang dikeramatkan dan setelah si guru mati, kuburnya pun mulai dikeramatkan pula, yaitu diberhalakan. Mereka tidak akan mau mengaku bahwa mereka telah mempertuhan guru, sebagai juga orang Yahudi dan Nasrani tidak juga akan mengaku bahwa guru-guru dan pendeta yang mereka puja-puja itu tidak juga akui sebagai Tuhan. Adi bin Hatim pun mulanya membantah ayat ini, karena dia sebagai orang Nasrani tahu benar, bahwa kaumnya tidak mempertuhan pendeta. Samalah orang Yahudi, orang Nasrani dan orang Islam yang menuruti jejak mereka dalam satu pengakuan, yaitu bahwa mereka tidak mengaku dengan mulut bahwa pujaan itu adalah Tuhan, melainkan melangsungkan dengan perbuatan, memberikan kepada mereka pemujaan-pemujaan dan ibadah yang seharusnya hanya dihadapkan kepada Allah.

Termasuk juga dalam rangka ini, yaitu menganggap ada kekuasaan lain di dalam menentukan ibadah selain daripada kekuasaan Allah, ialah menambah-nambah ibadah atau wirid, doa dan bacaan pada waktu-waktu tertentu yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul saw. Ibadah tidak boleh ditambah dari yang diajarkan Rasul saw. dan tidak boleh dikurangi. Menambah atau mengurangi, memaksa-maksa dan berlebih-lebihan dalam ibadah adalah ghuluw. Dan, ghuluw adalah tercela dalam syari'at. Sama pendapat (ijma) sekalian ulama mencela perbuatan itu. Inilah dia Bid'ah!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 135-137, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Ya Tuhanku, penuhilah apa yang engkau janjikan kepadaku. Ya, Tuhanku, jika binasa rombongan Ahlul Islam ini tidaklah akan ada lagi orang yang akan menyembah-Mu di muka bumi ini!" (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi).

JANGAN MENGAMBIL TUHAN SELAIN ALLAH!

"Katakanlah! Tunjukkanlah kemari alasan kamu!" (al-Anbiyaa': 24).

Dari mana kamu dapat pelajaran mengambil Tuhan-Tuhan banyak itu? Sejak kapan? Siapa yang mengajarkan? Siapa gurunya?

Di sini kita diberi suatu petunjuk bahwa di dalam menegakkan suatu kepercayaan hendaklah ada alasan atau dalil yang akan dijadikan pegangan.

Rasulullah saw. disuruh melanjutkan keterangannya bahwa ajaran yang beliau bawa tidaklah berubah-ubah sejak dahulu sampai sekarang.

TAUHID ULUHIYAH DAN TAUHID RUBUBIYAH

Isi atau inti, pokok atau pangkal agama, ialah dua ini.

Kedatangan wahyu Allah yang dibawa oleh Rasul saw. mengajarkan Tauhid Uluhiyah dan Rububiyah, bukan saja menunjukkan pokok aqidah, bahkan kebenaran dalam segala cabangnya: Mengenai akhlak, pemerintahan, peraturan hidup.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 23, Jilid 4 Hal. 411, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KAMU TIDAK MEMPUNYAI TAUHID RUBUBIYAH

"Dan sesungguhnya kamu akan datang kepada Kami sendiri-sendiri sebagaimana telah Kami jadikan kamu pertama kali dan telah kamu tinggalkan apa yang telah Kami berikan kepada kamu di belakang punggungmu dan tidak Kami melihat ada beserta kamu orang-orang yang akan melepaskan kamu yang kamu anggap bahwa mereka itu pada kamu sebagai sekutu-sekutu (Allah). Sesungguhnya telah terputuslah di antara kamu dan telah menyesatkan kamu apa yang kamu anggap itu." (al-An'aam: 94).

Bahwa kamu masih tetap mengakui bahwa Allah Ta'aala itu memang Ada dan memang Esa dan hanya Dia sendiri yang menciptakan alam ini. Dasar kepercayaan itu memang ada padamu, yang dinamai Tauhid Uluhiyah. Setelah akan memohonkan apa-apa, kamu tidak langsung memohon kepada-Nya lagi, tetapi pada yang lain atau meminta tolong pada yang lain itu supaya menyampaikannya kepada Allah. Walaupun mengakui Dia Yang Menciptakan alam, kamu campur-aduk dengan yang lain. Kamu tidak mempunyai Tauhid Rububiyah.

TAUHID RUBUBIYAH DAN TAUHID ULUHIYAH

"Dan telah menentukan Tuhanmu, bahwa jangan engkau sembah kecuali Dia dan hendaklah kepada kedua ibu-bapak engkau berbuat baik. Jika kiranya salah seorang mereka atau keduanya telah tua dalam pemeliharaan engkau, maka janganlah engkau berkata 'uff' kepada keduanya dan janganlah dibentak mereka dan katakanlah kepada keduanya kata-kata yang mulia. Dan hamparkanlah kepada keduanya sayap merendahkan diri karena sayang dan ucapkanlah, 'Ya Tuhan! Kasihanilah keduanya sebagaimana keduanya memelihara aku di kala kecil.'" (al-Israa': 23-24).

TAUHID RUBUBIYAH

Pokok pertama budi terhadap Allah. Disinilah pangkalan tempat bertolak. Disini pohon budi yang sejati. Yang berjasa kepada kita, yang menganugerahi kita hidup, memberi rezeki, memberikan perlindungan dan akal, tidak ada yang lain, hanya Allah. Barangsiapa mempersekutukan-Nya dengan yang lain, akan tercelalah dia dengan terhina. Pengakuan bahwa hanya satu Tuhan, tiada berserikat dan bersekutu dengan yang lain, itulah yang dinamai Tauhid Rububiyah.

TAUHID ULUHIYAH

Oleh sebab itu, cara beribadat kepada Allah, Allah itu sendirilah yang menentukan. Maka tidak pulalah sah ibadat kepada Allah yang hanya dikarang-karang sendiri. Untuk menunjukkan peribadatan kepada Allah Yang Maha Esa itulah, Dia mengutus rasul-rasul-Nya. Menyembah, beribadah dan memuji kepada Maha Esa itulah yang dinamai Tauhid Uluhiyah. Itulah pegangan pertama dalam hidup Muslim.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 218, Jilid 5 Hal. 268-269, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SYIRIK

Inilah yang pokok dari ad-Din, agama.

Tidak ada yang lain yang berserikat atau yang bersekutu dengan Dia, baik dalam ketuhanan-Nya maupun dalam kekuasaan-Nya.

Segala dosa bisa diampuni, namun syirik tidak!

Inilah pokok pegangan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 317-318, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TIDAK MENEGUR

"Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah itu, adalah jadi bakaran neraka Jahannam." (al-Anbiyaa' pangkal ayat 98).

Kamu dan yang kamu sembah itu, baik kayu atau batu, apatah lagi sesama manusia, kalau sesama manusia itu menganjurkan supaya dirinya disembah seperti menyembah Allah. Atau dia orang, tidak menegur ketika manusia telah menuhankannya atau mendewa-dewakannya. Si penyembah dan yang disembah akan sama-sama jadi penyala api neraka Jahannam.

KEKAL DI NERAKA JAHANNAM

Ibnu Mas'ud berkata, "Orang yang diadzab kekal di Neraka Jahannam itu dimasukkan ke dalam peti dari api. Peti itu dalam peti lagi, hingga berlapis, lalu dipaku di luarnya, sehingga suatu pun tidak ada yang mendengar. Dan siapa-siapa yang telah dimasukkan ke dalam peti berlapis itu tidaklah melihat orang lain yang sama diadzab, sebab ia di dalam peti sendiri-sendiri."

"Mereka itu daripadanya akan dijauhkan." (al-Anbiyaa' ujung ayat 101).

Orang itu tidak usah khawatir. Sebab mereka itu akan dijauhkan Allah SWT daripada adzab semacam itu. Sebab tidak ke sana jalan yang ditempuhnya di kala hidupnya.

Berkata Ibnu Abbas, "Itulah orang-orang yang telah diangkat menjadi wali-wali Allah, yang mereka lalu saja di atas titian shirath secepat kilat. Sedang orang yang kafir merangkak menggapai-gapai."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 85-86, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-FAATIHAH 

(PEMBUKAAN)

"Dan bukan jalan mereka yang sesat." (ujung ayat 7).


Adapun orang yang sesat ialah orang yang berani-berani saja membuat jalan sendiri di luar yang digariskan Allah.

Tidak mengenal kebenaran atau tidak dikenalnya menurut maksudnya yang sebenarnya.

Orang-orang yang telah mengaku beragama pun bisa juga tersesat.

Kadang-kadang karena terlalu taat dalam beragama lalu ibadah ditambah-tambah dari yang telah ditentukan dalam syari'at sehingga timbul bid'ah.

Disangka masih dalam agama, padahal sudah terpesong ke luar.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 77-78, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KLIK DISINI: TENTANG PEMBERANTASAN LCBT (LINGKARAN CHURAFAT BID'AH TAHAYUL) TERKUTUK

QS. AL-FAATIHAH

TAUHID RUBUBIYAH DAN TAUHID ULUHIYAH

DAKWAH PERIODE MEKAH

"Dengan nama Allah Yang Maha Murah, Maha Penyayang."

Allah adalah Zat Yang Maha Tinggi, Maha Mulia, dan Maha Kuasa. Zat Pencipta seluruh alam, langit, dan bumi, matahari dan bulan, dan seluruh yang ada. Dia adalah yang wajibul Wujud, yang sudah pasti ada, yang mustahil tidak ada.

Menurut keterangan Raghib orang Isfahan, ahli bahasa yang terkenal itu, nama yang diberikan untuk Zat Yang Maha Kuasa itu ialah Allah. Kalimat ini telah lama dipakai oleh bangsa Arab untuk Yang Maha Esa. Kalimat Allah itu (demikian kata Raghib) adalah perkembangan dari kalimat al-ilah, yang dalam bahasa Melayu Kuno dapat diartikan dewa atau tuhan. Segala sesuatu yang mereka anggap sakti dan mereka puja, mereka sebut dengan al-ilah. Dan, kalau hendak menyebutkan banyak Tuhan, mereka pakai kata jamak, yaitu al-alilah. Akan tetapi, pikiran murni mereka telah sampai pada kesimpulan bahwa dari tuhan-tuhan dan dewa-dewa yang mereka katakan banyak itu, hanya satu jua Yang Maha Kuasa, Maha Tinggi, dan Maha Mulia. Maka, untuk mengungkapkan pikiran kepada Yang Maha Esa itu mereka pakailah kalimat ilah itu. Dan, supaya lebih khusus kepada Yang Esa itu, mereka cantumkan di pangkalnya alif dan lam pengenalan (alif-lam-ta'rif), yaitu al menjadi alilah. Lalu, mereka buangkan huruf hamzah yang di tengah, al-i-lah menjadi Allah. Dengan menyebut Allah itu, tidak ada lagi yang mereka maksud melainkan Zat Yang Maha Esa. Maha Tinggi, Yang Berdiri sendirinya itulah, dan tidak lagi mereka pakai untuk yang lain. Tidak ada satu berhala pun yang mereka namai Allah.

Dalam Al-Qur'an, banyak bertemu ayat-ayat yang menerangkan jika Nabi Muhammad saw. bertanya kepada kaum musyrikin penyembah berhala itu, siapa yang menjadikan semuanya ini, pasti mereka akan menjawab,

"Allah-lah yang menciptakan semuanya!"

"Padahal jika engkau tanyakan kepada mereka siapa yang menciptakan semua langit dan bumi, dan menyediakan matahari dan bulan, pastilah mereka akan menjawab, 'Allah!' Maka, bagaimanakah masih dipalingkan mereka." (al-'Ankabuut: 61).

Dan, banyak lagi surah-surah lain mengandung ayat seperti ini.

Setelah kita tinjau keterangan Raghib al-Isfahani dari segi pertumbuhan bahasa (filologi) tentang kata Allah itu, dapatlah kita mengerti bahwa sejak dahulu orang Arab itu di dalam hati sanubari mereka telah mengakui Tauhid Uluhiyah.

Sehingga, mereka sekali-kali tidak memakai kata Allah untuk yang selain dari Zat yang Maha Esa, Yang Tunggal, yang berdiri sendiri-Nya itu, dan tidak mau mereka menyebutkan Allah untuk beratus-ratus berhala yang mereka sembah.

Tentang Uluhiyah mereka telah bertauhid,

Hanya tentang Rububiyah yang mereka masih musyrik.

Maka, dibangkitkanlah kesadaran mereka oleh Rasul saw. supaya bertauhid yang penuh; mengakui hanya satu Allah yang menciptakan alam dan Allah Yang Satu itu sajalah yang patut disembah, tidak yang lain.

Dalam bahasa Melayu, kata yang seperti Ilah itu ialah dewa dan tuhan.

Pada batu bersurah Trengganu yang ditulis dengan huruf Arab, kira-kira tahun 1303 Masehi, kata Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah diartikan dengan Dewata Mulia Raya (batu bersurah itu sekarang disimpan di Museum Kuala Lumpur). Lama-lama, karena perkembangan pemakaian bahasa Melayu dan bahasa indonesia, bila disebut Tuhan oleh kaum Muslimin Indonesia dan Melayu, yang dimaksud ialah Allah dan dengan huruf Latin pangkalnya (huruf T) dibesarkan (kapital), dan kata-kata dewa tidak terpakai lagi untuk mengungkapkan Tuhan Allah.

Dalam perkembangan pemakaian bahasa ini, di dalam memakai kata Tuhan, haruslah diingat bahwasanya berbeda maksud pemakaian itu di antara orang Islam dan orang Kristen.

Kita orang Islam jika menyebut Tuhan, yang kita maksud ialah Allah. Zat Yang Berdiri Sendiri-Nya, kepada-Nya memohonkan segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada yang menandingi Dia sesuatu jua pun.

Akan tetapi, kalau orang Kristen menyebut Tuhan, yang mereka maksud ialah Yesus Kristus. Kadang-kadang bercampur-baur; sebab, menurut ajaran yang mereka pegang bahwa Tuhan itu adalah "Trinitas" atau "Tri-tunggal", yang tiga tetapi satu, yang satu tetapi tiga. Dia yang tiga, tetapi satu itu ialah Tuhan Bapa, Tuhan Putra (Isa al-Masih), dan Ruhul-Kudus. Dan, selalu mereka mengatakan "Tuhan Yesus".

Sebab itu, walaupun sama-sama memakai kata Tuhan, tidaklah sama arti dan pengertian yang dikandung.

Pemakaian kata Tuhan dalam kata sehari-hari akhirnya terpisah pula jadi dua:

Tuhan khusus untuk Allah dan Tuan untuk menghormati sesama manusia.

Untuk raja disebut Tuanku.

Hal yang terpenting ialah memupuk perhatian yang telah ada dalam dasar jiwa bahwa Zat Yang Maha Kuasa itu mustahil berbilang.

Adapun tentang pemakaian bahasa terhadap-Nya, dengan nama apa Dia mesti disebut, terserahlah pada perkembangan bahasa itu sendiri.

Selain dari pemakaian bahasa Melayu tentang Tuhan itu, sebagian bangsa kita pun memakai juga kata lain untuk Allah itu.

Dalam bahasa Jawa terhadap Allah disebut Gusti Allah, padahal dalam bahasa Melayu Banjar, Gusti adalah gelar bangsawan.

Demikian juga kata Pangeran untuk Allah dalam bahasa Sunda. Padahal, di daerah lain Pangeran adalah gelar orang bangsawan atau anak raja.

Dalam bahasa Bugis dan Makassar disebut Poang Allah Ta'aala, padahal kepada raja atau orang tua yang dihormati mereka mengucapkan Poang juga.

Orang Hindu-Bali, meskipun menyembah Kepercayaan agama Hindu pun sampai pada puncak tertinggi, yaitu Sang Hyang Tunggal.

Lantaran itu, dapatlah dipahami bahwa keterangan Raghib al-Isfahani yang menyatakan Allah itu berasal dari kata al-ilah yang berarti Tuhan itu. Adanya kata al-ilah membuktikan bahwa kepercayaan-kepercayaan tentang adanya Tuhan telah tumbuh sejak manusia berakal dan timbulnya kata Allah membuktikan bahwa pikiran manusia pun akhirnya sampai kepada bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa itu hanya satu.

Maka, kedatangan agama Islam ialah menuntun dan menjelaskan bahwa Dia memang satu adanya.

Maka, di dalam ayat pembukaan ini, kita telah bertemu langsung dengan Tauhid, yang mempunyai dua paham itu, yaitu:

Tauhid Uluhiyah pada ucapan Alhamdu Lillaahi dan Tauhid Rububiyah pada ucapan Rabbil Aalamiin.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 63-67, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dekat penutup kita dituntun dengan Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah yang terkandung di dalam dua surah, yaitu surah al-Ikhlaash dan surah al-Kaafiruun.

Dan di penutupnya sekali, kita disuruh kepada Allah Yang Maha Esa daripada segala bahaya yang ada di alam keliling kita, dan dari bahaya jin dan manusia pula, yaitu di surah al-Falaq dan an-Naas.

Bersyukurlah kita berkali-kali kepada Allah bila surah-surah ini dapat kita baca dengan fasih, selanjutnya dapat kita hapalkan sehingga dapat menjadi bacaan di tiap-tiap shalat; mana yang kita anggap patut dibaca di saat itu, dan dapat kita pahamkan apa isinya.

Akhirnya dapat kita amalkan, sehingga ridhalah Allah kepada kita.

Amin.

Karena dengan surah yang pendek-pendek tetapi mengandung berbagai ragam pengetahuan hidup dan bekal mengadapi akhirat ini, batin kita menjadi kaya dan iman kita bertambah teguh.

Alhamdulillah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 96, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AZ-ZUMAR

KEPERCAYAAN ASLI

"Dan sesungguhnya jika engkau tanyakan kepada mereka, (wahai Rasul), siapakah yang menciptakan semua langit dan bumi? Benar-benarlah akan mereka katakan, "Allah!" (pangkal ayat 38).

Mereka tidak akan menjawab lain.

Mereka tidak akan mengatakan bahwa yang menjadikan langit dan bumi ialah berhala al-Laata, al-Uzza, atau Manaata yang besar! Atau berhala mereka pun tidak akan mengatakan ada sesuatu yang lain.

Pasti mereka akan menjawab bahwa pencipta semua langit dan bumi itu tidak ada lain dari Allah!

Itulah kepercayaan asli yang terhunjam dalam jiwa mereka bahkan dalam jiwa manusia seluruhnya yang bersamaan tumbuh dengan akalnya.

Sebab sejak semula tumbuh akalnya telah bertanya dia dalam hatinya apakah yang ada di kelilingnya ini, dari mana datangnya, ke mana kesudahannya, betapa akhirnya dan siapakah penciptanya?

Sejak semula orang Arab, jauh sebelum Nabi Muhammad saw. datang, telah mengakui bahwa Maha Pencipta Yang Maha Agung itu hanya satu dan mereka namai dia Allah.

Kalau yang lain-lain yang mereka puja atau hormati, mereka sebutkan al-ilah, yang kita artikan dewa atau Allah.

Tetapi terhadap kepada Yang Satu itu, Yang Esa, Yang Tunggal mereka sebut Allah dengan mereka hilangkan huruf hamzah di pangkal Ilah, sehingga disebut Allah.

Kalau mereka telah menyebut Allah maka dalam pikiran mereka tidak ada yang lain lagi yang diingat, melainkan Yang Tunggal itu.

Begitu pulalah pada bangsa-bangsa dan suku lain yang memuja kepada berbagai dewa. Seumpama orang Hindu Bali; mereka memuja berbagai dewa, tetapi terhadap yang paling tinggi itu mereka sebut Sang Hyang Widhi. Widhi adalah bahasa Kaei yang berarti Esa. Di tempat lain disebut Sang Hyang Tunggal. Dan Tunggal berarti Esa juga.

Maka kedatangan nabi-nabi pada umumnya dan kedatangan Muhammad Rasulullah saw. pada khususnya ialah mengingatkan manusia bahwa perasaannya yang asli itu adalah benar. Allah itu memang Esa adanya, tidak bersekutu yang lain dengan Dia.

Oleh sebab itu, kalau Dialah Maha Pencipta Yang Tunggal, maka seyogianya pulalah kalau Dia Yang Maha Tunggal buat disembah.

"Katakanlah, "Apakah kamu pernah pikirkan apa yang kamu seru selain Allah itu, jika Allah hendak menimpakan kemudharatan kepadaku, adakah mereka itu" (yaitu berbagai berhala yang kamu puja dengan berbagai bentuk dari kayu, batu, pohon, dan sebagainya itu) "dapat melepaskan kemudharatan-Nya itu?" dari diriku sehingga aku terlepas dengan selamat? "Atau jika Dia hendak memberikan rahmat kepadaku, adakah mereka itu sanggup menahan rahmat-Nya itu?"

Meskipun di sini tidak disebutkan jawaban mereka, sudahlah terang bahwa mereka tidak akan dapat menjawab bahwa jika Allah hendak mendatangkan mudharat kepada seseorang, tidaklah ada satu berhala atau suatu barang yang dipuja-puja sanggup menghambat atau menahan datangnya malapetaka itu.

Demikian pula kalau Allah hendak mendatangkan rahmat-Nya kepada seseorang, tidak ada pula satu berhala, atau satu pohon kayu, atau satu puncak gunung satu hantu pun yang dapat menghalangi rahmat itu.

Dalam ayat ini Nabi saw. disuruh menyebut jika bahaya itu menimpa diri beliau sendiri, atau rahmat itu diturunkan Allah kepada diri beliau sendiri adalah suatu susun kata yang menunjukkan kerendahan hati berhadapan dengan Allah, bahwa meskipun beliau Nabi, beliau pun seorang manusia. Yang kalau Allah kehendaki bisa saja bahaya datang atau rahmat turun.

Setelah jelas bahwa mereka yang kafir menolak kebenaran itu tidak akan dapat memberikan jawaban, diperintahkan Allah-lah Rasul-Nya melanjutkan menegaskan pendirian,

"Katakanlah, "Bagiku cukuplah Allah saja!"

Kalau aku hendak ditimpa mudharat, yang mendatangkan mudharat itu ialah Allah sendiri, tidak ada yang lain. Dan yang Maha Kuasa mencabutnya hanya Allah pula, tidak ada orang lain atau barang lain yang sanggup mencabut. Demikian juga jika aku akan mendapat rahmat maka rahmat itu datang dari Allah, tidak ada dari sumber lain. Tidak ada satu pun yang bergerak, kalau tidak izin dari Allah. Dan tidak pula ada yang sanggup menahan rahmat itu, kecuali Allah pula.

Sebab itu maka buruk dan baik, mudharat atau manfaat, rahmat atau kecelakaan, semuanya itu dari Allah dan takdir Allah.

Oleh sebab itu maka aku berserah diri sebulatnya kepada Allah,

"Kepada-Nya-lah bertawakal sekalian orang yang bertawakal." (ujung ayat 38).

Karena kesempurnaan dari iman dan tauhid ialah bertawakal, yaitu berserah diri sebulat dan sepenuhnya.

Tawakal adalah buah dari iman.

Tidak mungkin jadi seorang yang mengaku beriman kalau tidak bertawakal.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 39-40, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-BAQARAH

PELAJARAN TAUHID LANGSUNG DARI MELIHAT ALAM

Di sini, kita bertemu lagi dengan apa yang telah kita tafsirkan di dalam surah al-Faatihah.

Di ayat 21, kita disuruh menyembah Allah, itulah Tauhid Uluhiyah; penyatuan tempat menyembah.

Sebab, Dia yang teiah menjadikan kita dan nenek moyang kita; tidak bersekutu dengan yang lain. Itulah Tauhid Rububiyah.

Di ayat 22, ditegaskan sekali lagi Tauhid Rububiyah, yaitu Dia yang menjadikan bumi sebagai hamparan, menjadikan langit sebagai bangunan dan Dia yang menurunkan hujan, sehingga tumbuhlah tanam-tanaman untuk rezeki bagi kamu. Ini adalah Tauhid Rububiyah.

Oleh sebab itu, janganlah disekutukan Allah dengan yang lain; itulah Tauhid Uluhiyah.

Maka, pelajaran tauhid didapat langsung dari melihat alam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 118-119, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DARI HAL AMIN

Setelah selesai imam membaca al-Faatihah, niscaya akan dikuncinya dengan menyebut "amin", dan bersamaan dengan itu seluruh makmum yang mengikuti di belakang pun membaca "amin" pula.

Ini adalah beralasan pada hadits juga.

Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda,

"Apabila imam telah ber-aamiin, hendaklah kamu ber-aamiin pula. Karena, barangsiapa yang bertepatan aminnya dengan amin malaikat, akan diampunilah dosa-dosanya yang telah lampau." (HR. Jamaah).

Dan hadits lagi,

Dari Abu Hurairah,

"Adalah Rasulullah saw. apabila telah membaca sampai ke ghairil maghdhubi 'alaihim waladh-dhaalliin, beliau sebut 'amin' sehingga didengar oleh orang-orang yang mengikutinya dari shaf yang pertama." (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Berkata Abu Hurairah pula,

"Sehingga didengar akan dia oleh ahli shaf pertama maka bergemalah suara itu di dalam masjid."

Menurut riwayat dari Wail bin Hajar, dia sendiri mendengar Rasulullah saw. memanjangkan suaranya seketika membaca aamiin itu (di-madd-kan), baik pada aa atau min.

Abu Dawud meriwayatkan bahwa suara beliau diangkatnya waktu membaca amin itu.

Oleh sebab itu, sebagaimana yang ditulis oleh asy-Syaukani di dalam Nailul Authaar, membaca aamiin itu, baik menyambutnya ketika selesai imam membaca al-Faatihah di shalat jahar maupun ketika setiap orang membaca al-Faatihah, adalah termasuk peraturan syara' juga.

Menurut pendapat jumhur, bacaan aamiin itu adalah sunnah.

Akan tetapi, Ibnu Buzaizah dan ulama-ulama ahli zahir berpendapat atas wajibnya. Dan, kenyataan zahir menunjukkan bahwa makmum diwajibkan dengan amar (perintah) supaya menyambut dengan aamiin pula bila dia telah dibaca oleh imam.

Bagi imam sendiri, membaca aamiin adalah nadab (sunnah).

Hal ini adalah seumpama mengucapkan dan menjawab salam, yang memulai adalah nadab, yang menjawab adalah wajib.

Demikian juga orang yang shalat munfarid (sendiri).

Namun, sungguh pun tentang amin itu sudah masyhur, di dalam seluruh naskah Al-Qur'an tidaklah amin itu dimasukkan sebab tidak ada dalam rangkaian wahyu al-Faatihah yang tujuh ayat itu.

Adapun arti amin itu sendiri, menurut keterangan kebanyakan ahli-ahli ilmu ialah:

"Ya Allah, perkenankanlah permohonan kami."

Di dalam kitab ash-Shihah, artinya:

"Demikianlah hendaknya."

Menurut Hilal bin Yasaaf dan Mujahid, amin itu ialah salah satu dari nama Allah.

Menurut Imam Tirmidzi, artinya:

"Jangan Tuhan kecewakan harapan kami."

Menurut riwayat dari Ibnu Abbas, dia sendiri menanyakan artinya kepada Rasulullah. Beliau menjawab artinya:

"Ya, Tuhanku. Bertindaklah."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 87-88, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Al-Qur'an itu berisi kabar yang menggembirakan bagi orang yang taat dan patuh.

Kebahagiaan di dunia dan surga di akhirat yang di dalam istilah agama disebut wa'ad, ini telah terkandung di dalam ayat shirathalladzina an'amta 'alaihim (jalan yang telah Engkau beri nikmat atasnya).

Kemudian Al-Qur'an pun memberikan ancaman siksa dan adzab bagi orang yang lengah dan lalai, kufur, dan durhaka, yang disebut wa'id.

Maka, tersimpul pulalah kata Al-Qur'an ini pada ujung surah, tentang orang yang maghdhub (terkena murka Allah) dan orang yang dhaallin (orang yang sesat).

Demikian pula, Al-Qur'an menceritakan keadaan umat-umat yang telah terdahulu, yang telah binasa dan hancur karena dimurkai Allah, dan diceritakan juga kaum yang sesat dari jalan yang benar; itu pun telah tersimpul di dalam kedua kalimat maghdhubi dan dhaallin itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 59, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TEGASNYA, JALAN YANG LURUS HANYA SATU

"Dan bahwa sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus. Sebab itu, turutilah dia." (pangkal ayat 153).

Tegasnya, jalan yang lurus hanya satu.

Yaitu yang digariskan oleh Allah.

Dengan petunjuk Allah, Nabi Muhammad saw. telah menempuh jalan Allah yang satu dan lurus itu.

Asal jalan Muhammad itu yang kamu turuti maka itulah jalan Allah.

Sebab Muhammad menempuh jalan itu dengan tuntunan wahyu.

Jalan inilah yang dijamin sampai pada tujuan.

Lain dari jalan yang satu itu, ada lagi bermacam-macam jalan, bersimpang-siur jalan.

Yakni jalan yang dibuat Setan atau jalan yang dibuat khayalan manusia,

Jalan syirik, jalan khurafat, dan jalan bid'ah.

Kadang-kadang diperbuat oleh manusia, dikatakannya agama, padahal bukan agama.

Datanglah lanjutan ayat tadi, jangan dituruti jalan yang bersimpang-siur itu.

Karena kalau masing-masing kamu menuruti salah satu jalan itu, niscaya kamu akan berpecah-belah, bercerai-berai.

Kadang-kadang di pangkal jalan seakan-akan sama, padahal di ujung jalan sudah jauh terpisah.

Maka ditafsirkanlah ayat ini oleh sabda junjungan kita sendiri Muhammad saw. yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al-Bazzaar, Abusy-Syaikh, Al-Hakim, dan sebagian besar dari ulama-ulama tafsir, mereka terima dari Abdullah bin Mas'ud. Berkata Abdullah bin Mas'ud,

Rasulullah saw. telah membuat suatu garis dengan tangannya, lalu beliau berkata:

"Inilah jalan Allah yang lurus."

(HR. Imam Ahmad, al-Bazzar, Abusy-Syaikh, dan al-Hakim).

Kemudian, beliau menggaris-garis pula dengan tangannya beberapa garis lain, di samping kanan garis pertama tadi dan di samping kirinya, lalu beliau berkata,

"Dan yang ini semua adalah jalan-jalan yang tidak ada daripadanya satu jalan pun, melainkan ada saja Setan yang menyeru kepadanya!"

Setelah berkata demikian, kata Ibnu Mas'ud, beliau membaca ayat ini,

"Dan bahwa sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, sebab itu turutilah dia, dan jangan kamu turuti jalan-jalan (lain) karena itu akan memecah-belahkan kamu daripada jalan-Nya!"

Dan ada lagi beberapa hadits lain.

Berkata Ibnu Arthiyah,

"Jalan yang bersimpang-siur banyak itu termasuk Yahudi, Nasrani, Majusi, dan sekalian agama-agama buatan manusia dan tukang-tukang bid'ah dan penyesat dan ahli-ahli hawa nafsu yang suka membuat-buat perkara ganjil dalam furu' dan yang lain-lain yang suka memperdalam berdebat dan menggali-gali ilmu kalam. Semuanya bisa membawa tergelincir dan membawa iktikad yang sesat."

Berkata pula Qatadah,

"Ketahuilah bahwasanya jalan yang benar hanya satu, yaitu jalan jamaah yang dapat petunjuk. Tujuannya berakhir adalah surga. Dan iblis membuat pula berbagai jalan yang bersimpang-siur. Yang dibentuknya ialah jamaah yang sesat dan tujuannya yang terakhir ialah neraka."

"Ash-Shirathal Mustaqim" memang hanya satu.

Lain dari itu adalah jalan bersimpang-siur tak tentu arah dan tujuan.

Meskipun ada yang bernama agama, ia adalah agama yang batil, bikinan dan khayal manusia, diubah-ubah, ditambah-tambah, sehingga hilang yang asli karena tambahan, hilang yang asal karena yang pasal.

Demikian juga segala maksiat karena menuruti jalan Setan.

Asal dituruti jalan yang bersimpang-siur itu, terpecah-belahlah umat, sengsaralah yang akan terjadi.

Di penutup, Allah menyatakan dengan tegas,

"Demikianlah Dia wasiatkan kepada kamu, supaya kamu semuanya bertakwa." (ujung ayat 153).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 340-341, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Maka Setanlah yang telah menipu mereka dan merayu mereka." (ujung ayat 25).

Perdayaan Setan tidak saja akan datang merayu orang bodoh, bahkan orang sangat pandai pun dapat dirayunya dengan kepandaiannya.

Seorang ulama besar, Syekh Ibnul Qayyim al-Jauziyah mengarang sebuah kitab bernama Naqdul Ilmi wal Ulamaa yang isinya ialah menguraikan bagaimana Setan merayu dan memperdayakan manusia dalam segala bidang.

Orang alim, ahli tasawuf, ahli fiqih dan berbagai macam keahlian agama, semuanya dicoba oleh Setan merayu mereka sampai jatuh.

Itulah sebabnya maka kita dianjurkan oleh Nabi Muhammad saw. agar membaca doa sehabis shalat,

"Ya Allah yang dapat memutarbalikkan hati manusia, tetapkanlah hatiku di dalam agama Engkau dan taat kepada Engkau."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 347, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-FAATIHAH 

"Tunjukilah kami jalan yang lurus." (ayat 6).

Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas, menurut beliau yang dimaksud dengan meminta ditunjuki jalan yang lurus, tafsirnya ialah mohon ditunjuki agama-Mu yang benar.

Menurut beberapa riwayat dan ahli-ahli hadits, dari Jabir bin Abdullah, yang dimaksud dengan Shirathal Mustaqim ialah agama Islam.

Dan, menurut beberapa riwayat lagi, Ibnu Mas'ud menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Shirathal Mustaqim ialah Kitab Allah (Al-Qur'an).

Menurut yang dirawikan oleh Imam Ahmad, Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir, Abu Syekh, al-Hakim, Ibnu Mardawaihi, dan al-Baihaqi, sebuah hadits Rasulullah saw. diriwayatkan dari an-Nawwas bin Sam'an, pernah Rasulullah saw. berkata bahwasanya

Allah Ta'aala telah membuat satu perumpamaan tentang Shirathal Mustaqim itu bahwa di kedua belah jalan itu ada dua buah dinding tinggi. Pada kedua dinding tinggi itu ada beberapa pintu terbuka, dan di atas tiap-tiap pintu itu ada lelansir penutup (gorden). Adapun di ujung jalan tengah yang lurus (Shirathal Mustaqim) itu ada seorang berdiri memanggil-manggil, "Wahai, sekalian manusia! Masuklah ke shirat ini semuanya, jangan kamu berpecah-belah." Dan ada pula seorang penyeru dari atas shirat. Maka, apabila manusia hendak membuka salah satu dari pintu-pintu itu, berkatalah dia, "Celaka! jangan engkau buka itu! Kalau dia engkau buka, niscaya engkau akan terperosok ke dalam."

Maka, kata Rasulullah selanjutnya,

"Jalan Shirat itu ialah Islam dan kedua dinding sebelah yang menyebelah itu ialah segala batas-batas yang ditentukan Allah. Dan, banyak pintu-pintu terbuka itu ialah segala yang diharamkan Allah. Penyeru yang menyeru di ujung jalan itu ialah Kitab Allah, sedangkan penyeru yang menyeru dari atas itu ialah Wa'izh (Pemberi Nasihat) dari Allah yang ada dalam tiap-tiap diri Muslim."

Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa hadits ini hasan lagi shahih.

Maka, semua penafsiran tadi dapatlah digabungkan menjadi satu:

Shirathal Mustaqim memang agama yang benar dan itulah agama Islam. Dan, sumber petunjuk dalam Islam itu tidak lain ialah Al-Qur'an. Semuanya dapat diambil contohnya dari perbuatan Nabi Muhammad saw. dan sahabat-sahabat beliau yang utama.

Hanya seorang ulama saja mengeluarkan tafsir agak sempit, yaitu Fudhail bin Iyadh.

Menurut beliau, Shirathal Mustaqim ialah jalan pergi naik haji.

Memang dapat menunaikan haji sebagai rukun Islam yang kelima, dengan penuh keinsafan dan kesadaran, sehingga mencapai haji yang mabrur, sudah sebagian daripada Shirathal Mustaqim juga.

Apatah bagi orang semacam Fudhail bin Iyadh sendiri, adapun bagi orang lain belum tentu naik haji itu menjadi Shirathal Mustaqim, terutama kalau dikerjakan karena riya, mempertontonkan kekayaan, mencari nama, atau sebagai politik untuk mencari simpati rakyat yang bodoh.

Dengan ayat ini, kepada kita telah ditunjukkan apa yang amat penting kita mohonkan pertolongan kepada-Nya.

Mohon ditunjuki jalan yang lurus.

"Jalan orang-orang yang telah Engkau karuniai nikmat atas mereka." (pangkal ayat 7).

Apabila Allah telah menganugerahkan nikmat ridha-Nya kepada seseorang hamba, tercapailah olehnya puncak kebahagiaan jiwa di dalam hidup yang sekarang ini.

Permulaan dari ridha Allah itu ialah bilamana telah tumbuh dalam jiwa keinsafan beragama, menjadi Islam yang berarti menyerah diri dengan sukarela kepada Allah dan iman yang berarti kepercayaan yang penuh.

Islam dan iman menimbulkan ihsan, yaitu bekerja terus memperbaiki dan mempertinggi mutu jiwa.

Maka, timbullah nur di dalam jiwa, cahaya yang memberi sinar pada kehidupan.

Dan, cahaya itu jualah yang akan menyuluhinya sampai ke akhirat.

Nikmat inilah yang kita mohonkan; tercapai hendaknya oleh kita kehidupan sebagaimana nabi-nabi, rasul-rasul, dan syuhada serta shalihin itu.

Karena kalau nikmat itu telah datang, telah tercapailah oleh kita kekayaan yang sejati.

Dengan kekayaan itu, kita tidak merasa takut menghadapi hidup dengan segala tanggung jawabnya.

Mereka pun bahkan tidak gentar menghadapi maut, sebab maut hanyalah perkisaran sejenak daripada hidup fana pada hidup yang khulud.

Berapa banyaknya orang yang mati menjadi korban karena menegakkan imannya kepada Tuhan, tetapi jejak kebenaran yang mereka tinggalkan dipusakai oleh anak-cucu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 73-76, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan." (ujung ayat 78).

Menurut penyelidikan ahli-ahli antropologi purbakala, memang bangsa Kaldan bangsanya Nabi Ibrahim itu mempunyai kepercayaan trimurti tentang 3 Tuhan,

Yaitu Tuhan yang bernama Sini, yaitu bulan. (Dalam bahasa Siryani bulan memang disebut sini, demikian juga dalam bahasa Sanskerta. Kadang-kadang disebut juga Sidi. Ingat malam Bulan Purnama Sidi yang diperingati di Bali negeri kita dan dianjurkan meramai dan menghormatinya oleh penganut-penganut kebatinan di Jawa). Dan setengah dan sebutan bulan menurut kepercayaan orang Kaldan dan Babilon ialah pemimpin dari segala dewa di langit dan di bumi disebut juga Dewa Pembangun (Baal Rona). Bulan mereka gambarkan dalam berbagai keadaannya, sejak bulan sabit sampai purnama sampai bulan susut. Di Ur mereka dirikan ma'bad (tempat memuja) bulan.

Yang kedua dari trimurti Kaldan itu ialah matahari yang disebut namanya San atau Sansi. Inilah yang kemudian menjalar ke dalam bahasa orang Aria Eropa menjadi Sun dan hari Minggu dijadikan Hari Matahari (Sunday). Dalam bahasa Ibrani, matahari itu disebut Shani. Dalam bahasa Sanskerta disebut Shuna. Dan setengah dari panggilan matahari ialah Dewa Api atau Perapian Bumi dan Langit. Di negeri-negeri besar didirikan rumah-rumah pemujaan kepada matahari.

Tuhan mereka yang ketiga ialah Ful dan disebutkan juga Eva, yaitu dewa udara, yang menguasai perjalanan angin, ombak, dan topan dan menentukan musim dan menganugerahkan hasil tani. Orang bertemu bekas runtuhan pemujaan Ful ini yang didirikan oleh Raja Kaldan, yang bernama Syamas Ful, 1850 Tahun sebelum Masehi.

Dalam lanjutan penyelidikan yang lain disebutkan bahwa Tuhan mereka yang paling tinggi ialah yang bernama Eel. Terhadap Tuhan ini masih terdapat sisa ajaran Nabi Nuh, bahwa Tuhan Eel itu tidak berbentuk, tidak berupa, sebab itu tidak diberhalakan. Katanya Tuhan ini beranak Ana dan Beel. Dan Tuhan yang kedua disebut Belos atau Beel atau Baal. Di antaranya namanya pula ialah Eel Enio dan kadang-kadang disebut Nebro dari sana kemudian menjadi Namrudz. Menjadi nama raja dan raja itu dianggap pula sebagai jelmaan Tuhan. Dan Tuhan mereka yang ketiga ialah Hua atau Haya; separuh badannya manusia dan separuhnya lagi ikan. Kata mereka, dia keluar dari Selat Persia untuk mengajar penduduk di antara dua sungai (Dajlah-Furat) menulis, membaca, dan kesusastraan.

Demikianlah kepercayaan kaum Kaldan di masa itu, kepercayaan kepada bintang, bulan, matahari, dan udara.

Yang kita bisa dapati pula di tempat lain sebagai juga pada bangsa-bangsa kita sendiri di zaman purba, inilah yang dibantah oleh Ibrahim sebagai yang diterangkan pada ayat-ayat ini.

Dan di sinilah menambah yakinnya orang beriman tentang nubuwwah Nabi Muhammad saw. yang hanya dengan wahyu itulah beliau mengetahui betapa adanya kepercayaan jahiliyyah purbakala itu, sebab beliau sendiri tidaklah pernah belajar sejarah dan tidaklah ada ahli sejarah hidup di Hejaz pada masa itu.

Jangankan sejarah bahkan yang pandai menulis dan membaca saja hanya 1 orang dalam 10 ribu orang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 196-197, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BENARKAH NABI MUHAMMAD SAW. PERNAH KENA SIHIR?

Ibnu Katsir setelah menyalinkan riwayat ini seluruhnya, membuat penutup demikian bunyinya, "Demikianlah mereka riwayatkan dengan tidak lengkap sanadnya, dan di dalamnya ada kata-kata yang gharib, dan pada setengahnya lagi ada kata-kata yang mengandung nakarah syadidah (sangat payah untuk diterima). Tetapi bagi setengahnya ada juga syawahid (kesaksian-kesaksian) dari segala yang telah tersebut itu."

Almarhum orang tua saya dan guru saya yang tercinta, Hadratusy Syekh Dr. Abdulkarim Amrullah, dalam tafsir beliau yang bernama al-Burhan menguatkan riwayat ini juga. Artinya, bahwa beliau membenarkan bahwa Nabi saw. kena sihir, dengan alasan hadits ini adalah shahih, riwayat Bukhari dan Muslim. Dengan menulis begitu beliau membantah apa yang ditulis oleh Syekh Muhammad Abduh di dalam Tafsir Juz 'Amma.

Beberapa ulama besar, di antara Imam Malik bin Anas sendiri banyak menyatakan pendirian yang tegas menolak hadits ahad, kalau berlawanan dengan ayat yang sharih. Misalnya beliau tidak menerima hadits bejana dijilat anjing mesti dibasuh 7 kali, 1 kali di antaranya dengan tanah. Karena dalam Al-Qur'an ada ayat yang terang jelas, bahwa binatang buruan yang digunggung anjing dengan mulutnya; halal dimakan sesudah dibasuh seperti biasa, dengan tidak perlu 7 kali, satunya dengan tanah.

Dan kita cenderunglah kepada pendapat bahwa jiwa seorang Rasul Allah tidaklah akan dapat dikenai oleh sihirnya seorang Yahudi. Jiwa manusia yang telah dipilih Allah (Mushthafa) bukanlah sembarang jiwa yang dapat ditaklukkan demikian saja.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 326-330, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DI NUSANTARA

V. BAHASA LAMA DAN AGAMA 

Dalam batu bersurat Trenggano (sekarang tersimpan di Museum Kuala Lumpur), yang ditaksir orang ditulis pada permulaan Abad ke-14, dengan huruf Arab nama Allah Subhaanahu wa Ta'aala masih disebut Dewata Mulia Raya. Tuhan adalah kata yang telah didapatkan oleh Islam dan terus dipakai. Padahal, arti asli kalimat Tuhan itu sama saja dengan dewa.

Suarga untuk ganti dari kata jannah. Malahan kata jannah itu boleh diartikan kebun, dan suarga tetap untuk nikmat hidup sesudah mati. Oleh ulama-ulama Islam Indonesia ditulis dengan huruf Arab yakni surga.

Neraka untuk ganti kata an-Nar. Padahal, an-Nar bisa diartikan api saja.

Pahala untuk arti ajrun. Padahal ajrun bisa diartikan upah saja.

Dosa, siksa, durhaka, puasa dan lain-lain.

Kebanyakan kata ini berasal dari bahasa Sanskerta dipakai setelah agama Hindu tersiar di Indonesia lalu disambut dan dipakai oleh Islam, dan telah menjadi bahasa Melayu, selanjutnya menjadi bahasa Indonesia.

(Buya HAMKA, Sejarah Umat Islam, Hal. 493-494, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

MAHA SUCI ALLAH SWT

Sebagian orang Quraisy itu mempunyai pula kepercayaan, bahwa Allah beranak. Anak Allah itu ialah malaikat-malaikat, dan jenisnya ialah perempuan.

Kepercayaan terhadap banyak Tuhan (Politeisme), adalah pusaka turun-temurun yang diterima dari bangsa Yunani dan bangsa Hindustan. Pengaruh kepercayaan bertuhan ini pun masuk pula ke Tanah Arab.

Ka'bah yang didirikan oleh Nabi Ibrahim dan putranya Isma'il, adalah perlambang dari kesatuan umat. Yaitu umat tauhid yang hanya menyembah satu Tuhan. Itulah yang bernama agama Hanif Nabi Ibrahim.

Tetapi lama kelamaan setelah wafat Nabi Ibrahim, Ka'bah itu telah menjadi tempat buat menyandarkan berhala-berhala.

Baik berhala pusaka kepercayaan orang Arab sendiri, ataupun karena perhubungan orang Arab Quraisy itu dengan bangsa-bangsa lain di dalam hubungan perjalanannya berniaga ke utara dan ke selatan.

Maka timbullah kepercayaan, bahwa Allah beranak. Anak itu malaikat dan malaikat itu perempuan.

Orang Yunani mempercayai, bahwa bintang-bintang terpenting di langit itu adalah tuhan, disebut juga Dewa. Ada tuhan dari kecantikan (Venus). Ada tuhan dari peperangan (March). Tuhan dari kegembiraan dan khamr (Bachus). Tuhan dari kekayaan (Minerva) dan lain-lain tuhan lagi. Tetapi tuhan tertinggi bernama Apollo (sebagaimana lambang-lambang dari matahari).

Dalam kepercayaan ini segala dewa atau tuhan itu memang ada juga pusatnya, atau Tuhan Tertinggi, Dewa Teragung.(3)

Maka adalah dewa itu yang disebut laki-laki atau perempuan. Homerus penyair kuno pujaan bangsa Yunani itu mengarang syair (epos) Ulysses dan Odyssee tentang kehidupan dewa-dewa dan tuhan-tuhan itu. Mereka berperang, mereka berkasih-kasihan, berebut kecintaan, cemburu-mencemburui, bunuh-membunuh, inilah yang dinamai mitologi.

(3) Di zaman purbakala bangsa kita (Melayu) masih memakai arti yang sama terhadap Dewa dan Tuhan. Pembesar Kerajaan Darmashraya di Jambi (cabang dari Kerajaan Sriwijaya) bernama "Dewa Tuhan". Dalam batu bersurah Trengganu, batu bersurah yang tertua menuliskan peraturan-peraturan agama Islam yang mulai tersiar di Indonesia dan Melayu (1303) "Allah Subhanahu wa Ta'aala" masih ditulis dengan "Dewata Mulia Raya". Lama-kelamaan pemakaian bahasa menjadi berkembang, sehingga untuk Allah kita memakai kata "Tuhan" dan "Dewa" kita pakailah sebagai lanjutan arti yang lama. Dewa-dewa itu bertempat di langit, dan langit disebut Kayangan, sebagai "perkawinan" kepercayaan asli dengan kepercayaan Hindu. Sebab Hyang artinya ialah nenek. Dan di bumi ini ada juga tempat berkumpulnya Hyang-hyang itu, disebut Parahyangan. Penyusunan bahasa kita itu adalah sebagai penyaluran dari aqidah yang pokok yang telah kita anut setelah kita memeluk agama Islam. Aqidah kita ialah "Laa Ilaha Illallah", Tiada Tuhan Melainkan Allah. Dalam bahasa Arab kata "ilah" itu bisa juga diartikan Dewa dan bisa juga diartikan Tuhan. Lantaran itu boleh juga diartikan Tiada Dewa melainkan Allah. Aqidah kita yang teguh menyebabkan, bahwa kata "Tuhan" tidak kita pakai lagi untuk yang lain, hanya semata-mata untuk "Allah Yang Maha Esa". Dan kata Dewa tinggallah menjadi dongeng-dongeng kemusyrikan yang tidak masuk dalam hati.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 222-223, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH THAAHAA

Di dalam surah al-Faatihaah terdapat lima nama Allah; (1) Allah (2) Ar-Rabb (3) Ar-Rahman (4) Ar-Rahim dan (5) Al-Malik.

Yang mula disebut ialah Allah sebagai nama-Nya yang pertama. Di dalam nama yang demikian terkandunglah Keagungan dan Kegagahperkasaan. Dengan satu nama itu saja tidaklah akan tertanggungkan oleh Ruh makhluk Kegagahperkasaan dan Keagungan itu. Lantaran itu diikutilah nama pertama itu dengan Rabbu, dan Rahman dan Rahim dan Malik.

Dengan sifat Allah sebagai ar-Rabbu terkandunglah makna mendidik dan mengasuh. Dirasakan di dalamnya bahwa dalam sifat sebagai pendidik dan pengasuh rasa kasih sayanglah yang tersimpan. Diiringi pula dengan nama Allah Rahman, Maha Pengasih, yang menjadi sifat Allah selalu, diiringi oleh Rahiim yang cepat membuktikan rasa kasih sayangnya itu. Maka terkandunglah di dalam kedua nama itu kasih sayang yang amat halus dan lemah lembut. Akhirnya ditutup dengan nama Allah sebagai Malik, yang berarti Raja atau Maharaja di Raja yang sangat tinggi, Raja dari segala raja, penguasa tertinggi yang mengatasi segala penguasa corak apa pun dalam dunia ini. Maka terkandunglah makna di dalamnya bahwasanya seorang Raja Yang Maha Agung, Pemberi Kuasa Tertinggi kepada sekalian penguasa di dunia ini, tidaklah akan berdendam kepada yang lemah, dan tidaklah akan menyia-nyiakan nasib si melarat.

Tersebutlah di dalam satu riwayat yang disampaikan oleh Muhammad bin Ka'ab al-Qurazhi, bahwa pada suatu hari bermunajatlah Nabi Musa a.s. kepada Allah,

"Ya Tuhanku! Hamba Engkau yang macam manakah yang lebih mulia pada sisi-Mu?"

Allah menjawab,

"Hamba-Ku yang lidahnya tidak pernah kering daripada menyebut nama-Ku."

Lalu Musa bertanya lagi,

"Manakah makhluk Engkau yang lebih alim?"

Allah menjawab,

"Orang yang sanggup memperhubungkan ilmunya dengan ilmu orang lain."

Lalu Musa bertanya lagi,

"Manakah makhluk Engkau yang lebih adil?"

Allah menjawab,

"Orang yang sanggup menghukumkan atas dirinya sendiri apa yang dihukumkannya kepada orang lain."

Musa pun meneruskan pertanyaannya,

"Manakah hamba-Mu yang paling besar kesalahannya?"

Allah menjawab pula,

"Ialah yang hatinya cemburu dan menuduh-Ku. Selalu dia memohon kepada-Ku, tetapi dia tidak ridha menerima keputusan-Ku."

Setelah mendengar jawab Allah demikian, bermunajatlah Musa:

"Wahai Tuhan kami! Kami tidaklah cemburu menuduh Engkau. Sesungguhnya kami tahu, apa saja yang Engkau berikan kepada Kami adalah anugerah yang mulia. Apa saja yang Engkau perbuat, adalah adil. Maka memohonlah kami, ya Tuhan kami, agar janganlah Engkau mengambil berat atas perbuatan kami yang tersesat."

Menurut keterangan al-Hasan al-Bishri pula,

"Bahwasanya apabila Hari Kiamat datang kelak, akan menyerulah Penyeru, "Semua yang bila berkumpul akan mengetahui sendiri siapa yang lebih utama untuk dimuliakan."

Semua yang berbuat demikian langsung berdiri dan maju ke muka, melalui kuduk-kuduk manusia.

Kemudian datang seruan lagi,

"Siapa-siapakah yang tidak diperdaya dan dibimbangkan oleh perniagaan atau jual-beli dari mengingat Allah?"

Berdiri serombongan lagi dan maju ke muka.

Kemudian terdengar lagi seruan,

"Siapa-siapakah yang di dalam segala hal selalu mengucapkan pujian kepada Allah?"

Mereka pun berdiri dan tampil ke muka.

Kemudian barulah dilanjutkan hisab (perhitungan) kepada yang selebihnya. Maka terdengarlah puji-pujian kepada Allah dari segala jurusan.

"Ya Tuhan kami! Kami telah memuji Engkau, kami telah menyanjung Engkau sekadar tenaga yang ada pada kami, dan sejangka kekuatan yang Engkau karuniakan pada kami. Sebab itu ampunilah kami dengan keutamaan Engkau dan dengan rahmat Engkau yang berkekalan."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 538-539, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-FAATIHAH

KESIMPULAN

Renungkanlah pengertian al-Faatihah sebaik-baiknya, niscaya akan terasa bahwa dia bukan semata-mata bacaan untuk ibadah, melainkan mengandung juga bimbingan untuk membentuk pandangan hidup Muslim. Mula-mula dipusatkan seluruh kepercayaan kepada Allah dengan sifat-Nya Yang Maha Pemurah dan Penyayang, disertai dengan keadilan-Nya yang berlaku sejak dari dunia lalu ke negeri akhirat. Dan, bila kita renungkan pula pengertian pengakuan kita bahwa yang kita sembah hanya Dia dan tempat kita memohonkan sesuatu hanya Dia, sampailah kita pada Islam yang sejati.

Setelah mengakui bahwa hanya Dia yang kita sembah, barulah kita mengajukan permohonan. Jangan sampai terbalik, sebagaimana kebanyakan orang-orang ghafil, yang lebih dahulu memohon, baru kemudian beribadah.

Sesudah pengakuan yang demikian, kita kemukakan permohonan yang pertama dan utama, yaitu minta ditunjuki jalan yang lurus. Maka, tidaklah kita meminta kepada Allah agar diberi benda atau diberi roti untuk makanan hari ini, sebagaimana bacaan sembahyang orang Kristen. Karena, apabila mengenal (makrifat) kita kepada Tuhan telah mendalam, tidaklah kita mengemukakan permohonan yang kecil-kecil dan remeh itu lagi, melainkan kita meminta yang pokok, yaitu jalan lurus dalam menempuh hidup. Dan, apabila permohonan itu telah diiringi supaya dikaruniai jalan yang dinikmati, timbullah pada kita cita-cita yang tinggi di dalam martabat iman, setaraf dengan kehidupan rasul-rasul, nabi-nabi, syuhada, dan shalihin. Bahkan di dalam surah al-Furqaan: 74, kita disuruh berdoa agar jangan tanggung-tanggung, jangan alang-kepalang.

Kita disuruh berdoa agar Allah menjadi Imam dari orang-orang yang muttaqin, artinya menjadi contoh teladan bagi orang lain.

Setelah kita memohonkan agar kiranya kita diselamatkan Allah, jangan tertempuh jalan yang dimurkai Allah. Dan, jangan pula jalan yang sesat, dengan secara tidak langsung kita sudah disuruh mempelajari ilmu sejarah, filsafat sejarah, dan ilmu kemasyarakatan (sosiologi), serta ilmu jiwa. Kita harus mempelajari bagaimana sebab-sebab suatu umat atau kaum naik martabatnya atau jatuh pamornya.

Dengan sendirinya, bila al-Faatihah kita renungkan, dapatlah kita pahamkan bahwasanya yang kita pegang di dalam hidup ini ialah 2 tali. Pertama, tali dengan Allah. Kedua, tali dengan alam, termasuk manusia sebagai alam yang lebih penting, dan kita termasuk pula di dalamnya.

Al-Faatihah inilah yang kita ulang-ulang bacaannya setiap hari, sekurang-kurangnya 17 kali sehari semalam. Moga-moga selain dari dia menjadi Fatihatul-Kitab, pembukaan dari Al-Qur'an, ia pun akan membuka hati sanubari kita sendiri sehingga hilanglah segala ragu-ragu dan terbukalah pintu hidayah, sehingga ia menjadi dasar persediaan bagi kita untuk mengenal lagi seluruh isi Al-Qur'an yang mengandung 6.236 ayat itu.

Kita misalkanlah shalat lima waktu, yang terdiri atas 17 rakaat, sebagai menghadap Allah yang rutin, yang wajib dilakukan dengan berkala. Bagaimana lagi kesannya dalam jiwa kita bila kita ikuti lagi dengan shalat nawafil, shalat sunnah? Shalat sunnah nawafil disediakan Allah, dengan perantaraan Rasul-Nya, dan untuk orang yang merasa belum puas dengan pertemuan "resmi" saja. Pertemuan di luar "dinas" kadang-kadang lebih mesra daripada pertemuan yang "rutin".

Segala shalat itu dimulai dengan Allahu Akbar, artinya dibulatkan ingatan kepada Allah. Dan, disudahi dengan assalaamu 'alaikum, artinya kita kembali lagi ke dalam masyarakat dan intinya ialah al-Faatihah.

Bertali dengan ketentuan agama bahwasanya shalat lima waktu, shalat Jum'at, shalat dua hari raya, dan shalat dua gerhana, dianjurkan dengan sangat supaya berjamaah, baik jamaah kecil-kecilan di antara keluarga di rumah, jamaah sekampung ataupun selorong di dalam sebuah surau kecil kepunyaan kampung. Jamaah lebih besar sekali saat shalat Jum'at, di dalam sebuah masjid jami. Jamaah dua hari raya, jamaah gerhana bulan dan matahari, dan jamaah memohon hujan (istisqaa). Dan, jamaah besar dan agung, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup dengan wuquf di Arafah saat haji. Semua jamaah ini membuat seorang Muslim menjadi anggota masyarakat yang aktif sehingga terbentuklah masyarakat Islam, ukhuwah, islamiyah, dan mu'awanah 'alal birri wat-taqwa. Semua itu sama bacaannya, yaitu surah al-Faatihah. Di dalam jamaah itu pun, dididik hidup yang berdisiplin. Jamaah mempunyai imam dan yang selebihnya menjadi makmum. Bahkan di zaman Nabi dan sahabat-sahabatnya, imam shalat berjamaah ialah Nabi, khalifah-khalifah, gubernur (wali) di tiap-tiap negeri. Tidak boleh seorang makmum mendahului mengangkat kepalanya seketika ruku' dan sujud sebelum imam. Sampai ada hadits mengatakan bahwa barangsiapa yang mengangkat kepalanya lebih dahulu daripada imam mengangkat kepala maka kepalanya itu akan berganti menjadi kepala keledai. Al-Faatihah pun mendidik kita memakai adab sopan santun yang tertinggi. Adab sopan santun yang tinggi itu dimulai terhadap Allah, akan membawa kesannya pula pada sikap hidup kita dalam masyarakat. Perhatikanlah susunan ayat yang tujuh itu.

Pada ayat pertama "Bismillaahir-Rahmaanir-Rahiim”, kita memujikan sifat Rahman dan Rahim-Nya.

Sesudah itu, pada ayat kedua "Alhamdulillaahi Rabbil 'Aalamiin" kita puji Dia, kita sanjung Dia sebab Dia yang menjadikan alam ini tempat kita hidup.

Pada ayat ketiga, kita ulang lagi menyebut sifat Rahman dan Rahim-Nya itu.

Di ayat keempat "Maliki Yaumiddiin", kita mengakui bahwa kekuasaan-Nya itu bukan meliputi hari sekarang saja, bahkan lanjutan lagi pada yang di seberang hidup ini.

Selesai kita mengakui segala Rahman dan Rahim, segala puji dan kekuasaan dunia akhirat hanya Dia yang empunya, tidak ada dicampuri yang lain, barulah kita menunjukkan sikap hidup pada ayat kelima "iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in".

Oleh sebab itu, kita harus menyembah-Nya dengan kesadaran bahwa hanya Dia yang patut disembah. Dan, memohon pertolongan kepada-Nya karena memang hanya Dialah yang sanggup mengabulkan segala permohonan.

Sesudah pengakuan ini, barulah kita langsung mengemukakan permohonan, sebelum kita mengenal atau menyebut tuah kebesaran dari tempat kita memohon itu. Adalah sangat tidak sopan, orang yang langsung saja mengemukakan satu keinginan sebelum dengan tulus ikhlas dia mengakui kemuliaan dari tempatnya memohon.

Kita mempunyai nyawa atau ruh dan ruh itu pun hendaklah dijiwai. Agama Islam adalah suatu agama yang menjadi ruh dari ruh kita. Tidak beragama, sama artinya dengan mati, walaupun kita masih hidup. Dan, al-Faatihah adalah isi yang utama. Sehingga dengan memahaminya, kita dapat mencapai hakikat hidup.

Aamiin!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 90-92, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HUBUNGAN MALAIKAT DENGAN ORANG YANG BERIMAN

Pada akhir dari surah az-Zumar yang lampau, yaitu di ayat 75 dijelaskan bahwa kelak kemudian hari, Nabi Muhammad saw. akan melihat bahwa malaikat akan beredar keliling Arsy mengucapkan tasbih dan memuji Allah. Maka di ayat 7 dari surah al-Mu'min atau Ghaafir ini diterangkan pulalah keadaan malaikat itu sekarang ini, jauh lagi masa sebelum Kiamat.

"Mereka yang memikul Arsy itu dan mereka yang berada di sekelilingnya adalah semuanya mengucapkan tasbih dengan memuji Tuhan mereka." (pangkal ayat 7).

Mereka semuanya mengucapkan tasbih mengakui kesucian Allah. Sebab mereka saksikan sendiri bagaimana Allah itu sebagai Rabbul 'Alamin, Pemelihara, Pendidik, Pengasuh, dan Penjaga dari seluruh alam yang Dia ciptakan ini dengan penuh kasih dan sayang. Tidak pernah lupa, tidak pernah lalai, tidak pernah tertidur, tidak pernah merasa lelah atau payah, dan tidak pernah pula merasa bosan. Melihat semuanya itu timbullah ucapan tasbih mengakui kesucian-Nya, Subhanallah! Mengucapkan kesucian diiringi dengan mengucapkan pujian. Karena semuanya itu berjalan teratur dengan beresnya. Matahari dan bulan, bintang-bintang di cakrawala, pasang naik dan turun, ombak menghempaskan diri ke pantai, burung terbang dan hinggap, kembang kuncup, mekar dan laras, kembang meninggalkan putik, putik menjadi buah, buah menyediakan biji untuk melanjutkan hidup, dan seluruh alam di langit dan di bumi dibiarkan berkembang menurut aturan tertentu; sedang manusia hidup di tengah alam itu dapat menyesuaikan diri sehingga dapat melanjutkan hidup, semuanya ini adalah atas aturan tertentu dari Allah, sehingga tidak ada yang kecewa. Malaikat menyaksikan semuanya ini dari alamnya yang tinggi, yang disebut alam malakuut; maka timbullah pujinya yang tulus kepada Allah: Alhamdulillah!

Maka ahli-ahli loghat dan ahli tafsir yang mendalam, yang diberi ilham oleh Ilahi dapatlah melihat ke jurusan mana daripada sifat Allah malaikat-malaikat pemikul Arsy dan yang dikelilinginya itu mengucapkan Subhanallah dan ke jurusan mana pula mengucapkan Alhamdulillah.

Ucapan Subhanallah adalah atas sifat rahman-Nya Allah yang Memelihara, Mendidik, Mengasih, dan Menjaga dalam ketuhanan-Nya sebagai Rabbun.

Ucapan Alhamdulillah adalah atas sifat rahim-Nya Allah dalam sifat-Nya memberikan sekadar gerak dengan ridha-Nya pada alam itu.

Semuanya itulah yang disaksikan selalu, siang dan malam, masa demi masa melalui abad dan azal oleh malaikat-malaikat mulia dalam mereka memikul Arsy.

"Dan percaya semua kepada-Nya."

Yakni bahwa malaikat semuanya percaya penuh, beriman kepada Allah, mengerjakan dengan setia apa saja yang diperintahkan. Maka jika malaikat bertanya kepada Allah, apakah dengan menjadikan khalifah di muka bumi itu Allah tidak akan menimbulkan orang yang akan merusak dan menumpahkan darah (surah al-Baqarah ayat 30), bukanlah karena malaikat enggan atau membantah kehendak Allah, melainkan cemas kalau-kalau khalifah itu kelak tidak akan taat dan beriman penuh kepada Allah sebagaimana keimanan mereka. Dan di ayat 34 dari surah al-Baqarah itu terbukti lagi bagaimana iman dan taat malaikat kepada Allah. Memang asal kejadian malaikat dari Nur atau cahaya sedang asal kejadian Iblis ialah dari gejala api.

"Dan mereka pun memohonkan ampun untuk orang orang yang beriman."

Ini pun suatu bukti yang nyata tentang imannya malaikat kepada Allah dan bahwa ketika malaikat bertanya kepada Allah, apakah Dia akan menjadikan orang yang akan merusak menumpahkan darah di muka bumi bukanlah karena membantah kehendak Allah, melainkan karena ketaatan kepada Allah jua.

Setelah malaikat melihat bagaimana makhluk Allah yang bernama manusia itu berjuang melawan setan dan iblis, hawa dan nafsu untuk menegakkan iman kepada Allah, timbullah kasihan malaikat kepada manusia yang beriman itu. Malaikat menyaksikan betapa payah manusia menegakkan iman, bagaimana jerih payahnya menentang musuhnya, berjihad bersungguh-sungguh, yang malahan kadang-kadang jatuh tersungkur karena licinnya jalan yang ditempuh, atau banyak batu besar yang merintangi, namun Mukmin itu bangun kembali dan meneruskan perjalanannya. Kadang-kadang nyaris putus rasanya napasnya karena hebatnya tanggung jawab, namun segala halangan diatasinya dan dia jalan terus.

Sebab itulah maka malaikat pemikul Arsy dan malaikat-malaikat lain sekitarnya yang melihat perjuangan orang yang beriman menegakkan keyakinannya itu memohon kepada Allah agar mereka itu dilindungi. Mereka itu berdoa,

"Ya Tuhan kami! Amat luaslah rahmat dan ilmu Engkau, meliputi segala sesuatu."

Artinya ialah bahwa Engkau lebih tahu ya Allah, betapa payahnya hamba-hamba Engkau itu menuju Ridha-Mu! Engkau beri mereka ruh. Sedang ruh Engkau sendiri, dari Engkau datangnya dan kepada Engkau akan pulangnya. Oleh sebab itu mereka selalu ingin mendekati Engkau, menuntut ridha Engkau, ingin hidup yang lebih mulia dan lebih suci. Tetapi mereka pun Engkau beri pula naluri ingin mempertahankan hidup; ingin makan dan minum agar dapat mempertahankan nyawa, ingin dipertemukan dan bergabung hidup laki-laki dengan perempuan untuk menyambung turunan. Kondisi jasmani adalah bahimiah, yaitu kebinatangan, namun jiwa atau ruh adalah rabbaniah, mendekati ketuhanan. Kebinatangan merunyutnya ke bawah lekat ke bumi, ruh yang berasal dari Allah selalu ingin pulang kembali kepada Allah dalam keadaan bersih sebagai sedia kala. Apatah lagi mereka selalu mendengar suara gaib: "Marilah kemari! Pulanglah kembali ke tempat asalmu!" Amat luas rahmat dan ilmu Engkau ya Ilahi, sehingga Engkau mengetahui sampai sedalam-dalamnya segi-segi kekuatan dan kelemahan manusia itu.

"Maka ampunilah kiranya bagi orang-orang yang bertobat dan yang mengikuti jalan Engkau."

Jelas oleh malaikat betapa hebat menegakkan iman. Tidak ada suatu pengakuan iman yang tidak kena ujian dengan cobaan. Kadang-kadang terlanjur, kadang-kadang tersesat, namun Mukmin lekas sadar, lalu dia segera tobat. Dia mohonkan ampunan, dia mohon dipimpin dalam perjalanan tobat. Tobat sama artinya dengan kembali. Setelah dia tobat segera diikutinya jalan yang telah digariskan Allah atau sabilillah.

"Dan peliharalah mereka daripada adzab yang bernyala-nyala." (ujung ayat 7).

Permohonan yang dikemukakan oleh malaikat ini sesuai dengan sifat kemuliaan Allah yang telah tersebut di ayat 3 tadi bahwa Dia adalah pengampun dosa, penerima tobat. Sesuai pula dengan tangan Allah yang telah dibukakannya kepada hamba-hamba-Nya yang Dia suruh sampaikan kepada Rasul-Nya, Muhammad saw. agar hamba-hamba-Nya itu janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Karena Allah itu sudi memberi ampun dosa semuanya, asal benar-benar memohonkan ampun dan menyatakan bertobat dan inaabat. Rahmat dan ilmu Allah pulalah yang disebut-sebut malaikat di dalam dia menjunjungkan doanya ke hadirat Allah SWT. Malaikat itu melanjutkan permohonannya lagi,

"Ya Tuhan kami! Dan masukkanlah mereka ke dalam surga-surga 'Adn yang telah Engkau janjikan untuk mereka." (pangkal ayat 8).

Memang di mana ada saja kesempatan Allah mengulangi janji-Nya itu. Yaitu bahwa barangsiapa yang beriman dan beramal saleh akan diberikan kepada mereka tempat yang mulia, surga-surga yang permai dengan air sungai indah jernih yang selalu mengalir membawa kesejukan, dengan berbagai perlengkapan. Malaikat itu pun tahu bahwa Allah tidak akan memungkiri janji-Nya. Namun di dalam doa itu bukanlah kurang percaya atau kecemasan yang terbayang, melainkan kasih dan sayang daripada pihak malaikat atau alam malakut kepada manusia yang bersungguh-sungguh menegakkan iman.

Jika kita baca ayat ini dan kita pertautkan dengan ayat 30 dari surah Fushshilat, sesudah surah yang tengah kita tafsirkan ini, maka bukanlah semata-mata malaikat yang memikul Arsy Ilahi itu saja yang membela kepada orang yang beriman, bahkan ada malaikat itu yang turun mendampingi dan membangkitkan keberanian dan semangat juang yang tinggi pada orang yang mengaku bertuhan kepada Allah dan tetap pada pendiriannya itu.

Hadits-hadits Nabi saw. yang shahih pun banyak menceritakan tentang hubungan malaikat dengan orang-orang yang beriman ini. Bertemu lebih dari pada sepuluh hadits Rasulullah saw. menyatakan apabila seorang iman dalam shalat membaca Amiin, lalu Amiin imam itu dituruti oleh makmum dengan ucapan Amiin pula, jika sambutan makmum tersebut bertepatan dengan sambutan malaikat, dosa makmum itu akan diampuni Allah. Dan ada lagi hadits yang lain menerangkan bahwa jika Allah telah mencintai seorang di antara hamba-Nya, maka Malaikat Jibril akan memberitahukan kepada seluruh malaikat yang di langit bahwa Allah mencintai si Fulan, maka seluruh malaikat di langit itu pun cinta pulalah kepada si Fulan itu. Lalu disampaikan pula berita itu ke bumi maka cinta pulalah yang di bumi. Dan jika Allah telah benci kepada si Fulan, diberi tahu kepada Jibril bahwa Allah telah benci kepada orang itu, Jibril pun memberitahu kepada sekalian malaikat di langit bahwa Allah telah membenci orang itu, maka malaikat-malaikat itu pun benci pulalah dan sampailah kebencian itu kepada siapa yang ada di bumi.

"Dan barangsiapa yang Engkau peliharakan dari yang buruk-buruk di hari itu maka sesungguhnya telah Engkau rahmatilah dia."

Permohonan malaikat yang seperti ini adalah pembuktian bahwasanya tidaklah ada seorang manusia pun yang sunyi dari khilaf dan alfa. Hari Kiamat adalah hari mempertimbangkan ke mana yang lebih berat, mana yang lebih banyak kebaikan seseorang daripada kejahatannya. Dan terbukti pulalah dengan doa malaikat itu bahwasanya masuk ke dalam surga itu terutama adalah rahmat dari Allah semata-mata; dan kalau Allah telah melimpahkan rahmat-Nya,

"Dan itulah dia kemenangan yang besar sekali." (ujung ayat 9).

Sehingga dapat dipasangkan pula dengan Hadits Qudsi yang terkenal dan shahih,

"Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 79-83, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

YANG MATI HIDUP KEMBALI

Di dalam ayat ini Allah mengemukakan lagi suatu perumpamaan tentang orang yang mati dalam dunia ini, bisa dihidupkan Allah kembali. Dan, sesudah dihidupkan, dia pun diberi cahaya dan dengan cahaya itu dia bisa keluar ke hadapan alam, untuk hidup di tengah orang banyak.

Allah memberi sabda dalam ayat ini bahwasanya orang yang seperti ini, hidup sesudah mati, tidaklah sama dengan orang yang masih dalam kegelapan, dan tidak dapat membebaskan diri dalam suasana gelap itu. Orang yang seperti ini tetaplah mati, walaupun masih hidup. Meskipun kita hidup di dalam dunia, menarik napas turun dan naik, kalau jiwa tidak mempunyai cahaya, samalah artinya dengan mati.

Hidup manusia tidaklah ada artinya, samalah dengan mati, kalau sekiranya dia tidak mempunyai aqidah, atau kepercayaan dan pegangan.

Manusia yang hidup di dunia tanpa kepercayaan dan pegangan, samalah hidupnya dengan kehidupan binatang yang melata di muka bumi.

Yang diingat oleh binatang siang dan malam hanyalah makan, minum, kawin, dan beranak, sesudah itu mati. Binatang di rimba tidak mempunyai peraturan sehingga diberi orang sebutan hukum rimba. Sedangkan binatang ternak diasuh dan dibesarkan orang hanya untuk disembelih.

Sejak mulai manusia mempunyai kepercayaan atau aqidah, sejak itulah dia mempunyai hidup yang sebenarnya. Sebab, pangkal hidup sejati itu adalah di dalam hati. Hati memancarkan cahaya pada mata. Dengan tidak ada aqidah, mata hati jadi buta. Timbul aqidah, mata hati jadi terang benderang. Terang nyata ke mana jalan yang akan dituju. Hidup yang sejati itu dapat memandang segala sesuatu, mendengar segala sesuatu dan menilai segala sesuatu dan merasakan segala sesuatu. Sedang sebelum aqidah itu masuk ke dalam hati, walaupun mata terkembang namun apa yang dilihat mata, yang didengar telinga, tidaklah dapat dirasakan dalam hati, sebab alat penampung tidak ada. Dengan adanya aqidah, segala sesuatu dilihat dengan penglihatan yang baru.

Dari mana kita memulai kehidupan itu?

Memulai kehidupan ialah dari mulai kesadaran kita atas hubungan kita dengan Allah. Perhubungan dengan Allah menyebabkan timbulnya hubungan sesama makhluk di dalam jalan Allah.

Sejak saat itu, kita yang tadinya mati, memulai hidup baru. Kita yang tadinya hilang, telah timbul kembali.

Jalan Allah itu (sabilillah) adalah kekal.

As-shirathal mustaqim adalah lurus tak berhenti, jalan terus, terus dan lurus, sampai pada perhentian terakhir, yaitu surga Jannatun Na'im.

Inti daripada surga itu, tidak lain ialah melihat wajah Allah.

Maka, bersatu-padulah setiap hamba Allah yang menempuh jalan itu, berjalan di atas garis itu, menjadi umat yang satu, tak terpisah.

Tauhidul-kalimah di dalam kalimat tauhid.

Orang-orang seperti ini tidak pernah merasa kecil sebab hidupnya terikat dalam kebesaran Allah.

Allahu Akbar!

Tidak pernah merasa takut mati.

Sebab maut itu hanya pembatas di antara dua suasana hidup, yaitu hidup fana dengan hidup baqa.

Tidak pernah merasa miskin sebab jiwa kaya dengan iman, kaya dengan takwa, kaya dengan hubungan cinta ke langit dan cinta di atas permukaan bumi.

Tidak merasa takut mati karena dia merasa bahwa pendiriannya dan aqidahnya tidak pernah berguncang.

Tidak merasa takut mati sebab dia yakin bahwa dengan kematiannya pun perjuangan ini akan diteruskan oleh orang lain.

Wahai saudaraku, kalau nur ini telah mulai ada dalam hati, pastilah hakikat kebenaran agama yang kita peluk ini akan dibukakan Allah kepada kita.

Iman yang dituruti amal, menyebabkan timbulnya kasyaf, rahasia itu terbuka sehingga tidak ada lagi jarak di antara langit dengan bumi, tidak ada lagi jarak di antara dunia dengan akhirat, tidak ada lagi pemisahan di antara dunia dengan agama, masjid dengan parlemen.

Dia rupanya bukanlah semata-mata upacara agama dan ibadah, tetapi hidup seluruhnya sehingga kalau kita jatuh cinta kepada hidup, bukanlah karena kita ingin hendak terus hidup dalam dunia ini. Kita mencintai hidup, ialah karena hidup itu buat beribadah. Dan, walaupun orang lain tidak melihat, kita ingin beramal juga, beramal yang baik.

Sebab kita telah tahu, apalah artinya hidup itu kalau tidak berbuat yang baik.

Nur ini menghilangkan segala keraguan, kecemasan, dan mundur-maju.

Ia menimbulkan rasa tenteram dan menimbulkan yakin.

Ia menimbulkan keberanian menghadapi kesukaran.

Karena iman belum ada artinya sebelum ia menempuh ujian.

Apabila ia akan menghadapi suatu tujuan yang mulia, dari semula dia telah bersedia menghadapi kesukaran dan rintangan.

Karena dia sudah tahu bahwa iman tidak mungkin subur kalau tidak disiram dengan air percobaan.

Seorang Mukmin dengan nur iman itu tenang terus, sebab dia yakin sesudah pasang turun, pasang itu akan naik.

Sebab, sesudah badai dan topan tengah malam, besok pagi matahari akan cerah kembali.

Oleh sebab itu, nur iman memancarkan hidup dan kufur menyebabkan mati.

Hidupnya laksana menghasta kain sarung, berputar-putar di sana sama saja.

Bahkan ajaib sekali pengaruh iman dalam dada itu pada sinar di mata. Dan, ajaib pula kegelapan kufur dalam hati itu pada gelapnya pandang mata. Amat halus rupanya urat saraf yang menyambungkan rasa hati dengan sinar mata.

Itulah sebabnya di dalam ayat ini Allah bertanya,

"Dan, apakah orang yang telah mati, lalu Kami hidupkan dia."

Yaitu Kami beri dia iman lalu timbullah cahaya dalam pribadinya lantaran iman.

Dengan cahaya itu, dia sanggup berdiri, bahkan berjalan melangkah lapang di antara manusia.

Apakah engkau sangka bahwa orang yang telah diberi Allah cahaya itu akan sama dengan orang yang hidup dalam kegelapan terus-menerus sebab hatinya gelap gulita?

Dan, dia tidak sanggup keluar dari suasana gelap itu?

Laksana orang yang tersentak dari tidurnya tengah malam, padahal kesadarannya belum pulih, lalu dia "dimaling oleh rumahnya sendiri?"

Sedikit tentang sebab turun ayat.

Orang yang diumpamakan telah mati adalah sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang utama itu.

Menurut riwayat Ibnu Abbas dan Zaid bin Aslam dan adh-Dhahhak, yang dimaksud dengan orang ini ialah Umar bin Khaththab.

Menurut Ikrimah ialah Amar bin Yasir.

Menurut suatu riwayat lagi yang dibawakan Ar-Razi dari Ibnu Abbas, ialah Hamzah bin Abdul Muthalib, paman Rasulullah saw.

Yang mana pun yang akan dikuatkan di antara riwayat itu, tetapi teranglah sahabat-sahabat yang tersebut itu, bahkan sahabat-sahabat yang lain pun, adalah sebelum mendapat hidayah Allah dan bimbingan Rasulullah saw. laksana orang yang telah mati belaka.

Kalau manusia hidup di dunia ini hanya semata-mata memikirkan isi perut, memenuhi syahwat, samalah artinya dengan mati.

Barulah hidup berarti sebenar-benar hidup apabila cahaya iman telah disinarkan Allah ke dalam kalbu, dan dengan sinar cahaya iman itulah mereka berjalan di tengah-tengah manusia.

Lantaran sinar iman itu mereka tidak merasa takut menghadapi hidup dan tidak duka cita memikirkan yang sesudah mati.

Dan, sinar jiwa mereka memancarkan juga pada wajah mereka.

Orang seperti ini niscaya tidak sama dengan orang yang masih hidup dalam kegelapan, yaitu kegelapan jahiliyyah dan syirik.

Ahli-ahli tafsir sependapat bahwa yang dituju dengan orang yang hidup dalam kegelapan ini, dan tidak mendapat jalan keluar, ialah Abu Jahal.

Susah jugalah hidupnya, orang yang laksana mati karena tidak mendapat cahaya itu. Mereka berkeliling-keliling di sekitar tempat yang gelap itu saja, tidak mendapat jalan keluar, sedang mereka tidak sadar bahwa mereka hidup dalam gelap, yang sama artinya dengan maut.

Dan, wajah orang yang begini pun gelap terus.

"Demikian itulah, telah dihiaskan bagi orang-orang yang kafir itu apa-apa yang telah mereka kerjakan." (ujung ayat 122).

Yang mereka kerjakan tidak lain daripada yang mungkar. Menyembah berhala, menyembelih kurban buat berhala, menghalangi kebenaran, menentang ajaran tauhid.

Mereka senang dengan perbuatan mereka yang salah itu, apalagi karena bisik rayuan Setan-setan selalu pula menghiaskan kata lemak manis memujikan sikap mereka, sehingga yang salah mereka pertahankan dan katakan benar.

Bertambah lama mereka akan bertambah keras mempertahankan pendirian yang salah itu.

Di dalam ayat ini dikatakan "dihiaskan", sebagai lanjutan dari kata pada ayat 112 yang lalu, zukhrufal-qauli ghururan kata lemak manis dari tipu daya atau dari kesombongan. Bisik iblis dan setan bisalah masuk ke dalam hati orang yang hidup dalam kegelapan itu sehingga yang buruk dihiaskan, lalu dikatakan baik dan kemusyrikan dihiaskan lalu dikatakan itulah yang sejati ibadah. Berhala dipujikan lalu dikatakan Allah. Karena di dalam batin sudah gelap, petunjuk tidak masuk, berputar-putarlah ia dari sana ke sana juga, sehingga sampai saat terakhir ia tidak mendapat jalan keluar dari kesulitan jiwa itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 265-268, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).