Sabtu

BUYA HAMKA TENTANG MASJID DHIRAR DAN FATWA IMAM SYAFI'I ADZAN JUM'AT ADALAH 1 KALI

Dan kita sepaham dengan Imam Syafi'i bahwa adzan 1 kali saja yang diperbuat oleh Rasulullah dan kedua sahabat Abu Bakar dan Umar "lebih disukai di sisi kita".

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 140, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KATA MEREKA BERMADZHAB SYAFI'I

Dia imam besar di Masjidil Haram.

Beliau sendiri pun melihat, memang masih banyak amal orang awam (jelata) Indonesia yang Bid'ah. Kata mereka bermadzhab Syafi'i, padahal dalam madzhab itu sendiri tidak ada contoh amal demikian.

(Buya HAMKA, KENANG-KENANGAN HIDUP, Hal. 82, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2018).

ISTINJA

Sufyan bin Uyainah mengabari kami, dari Muhammad bin Ajlan, dan Qa'qa' bin Hakim, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda,

"Sesungguhnya aku bagi kalian adalah seperti seorang ayah. Jika ada seorang dari kalian pergi buang air besar, maka janganlah dia menghadap kiblat dan jangan pula dia membelakangi kiblat, ketika buang air besar atau ketika kencing. Hendaklah dia beristinja menggunakan tiga batu."

Rasulullah saw. melarang istinja menggunakan tahi dan rimah.

Beliau juga melarang seseorang beristinja menggunakan tangan kiri.

(Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi'i, Hal. 32, Penerbit Amzah, Ed.1 Cet.2, 2015).

SHALAT ORANG MURTAD

Rasulullah memberi kebaikan kepada orang-orang musyrik, bahkan Allah mengharamkan darah Ahlul Kitab serta melindungi harta mereka dengan pembayaran jizyah.

Orang murtad sama sekali tidak seperti itu.

Allah justru menggugurkan semua amal orang murtad disebabkan kemurtadannya.

Rasulullah menyatakan bahwa orang murtad harus dihukum mati jika menolak bertobat kembali kepada keimanan yang pernah dimilikinya.

(Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi'i, Hal. 153, Penerbit Amzah, Ed.1 Cet.2, 2015).

"Wahai kaum Muslimin! Taqwalah kepada Allah dan kembalilah semua kepada kitab Tuhan-mu, dan beramallah menurut sunnah Nabi-mu, dan ikutilah jejak salaf-mu yang saleh, supaya kamu beroleh kemenangan, sebagaimana kemenangan yang dahulu telah mereka capai."

MUHAMMAD HASYIM ASY'ARI

Tebuireng, Jombang.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 88, Penerbit Galata Media, Cet. I, Januari 2018).

Syaikh Hasyim Asy'ari menyatakan fahamnya bahwa memukul beduk memanggil orang sembahyang adalah menyerupai naqus (lonceng) orang Kristen, sebab itu maka bid'ah dhalalah hukumnya.

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 56-57, Penerbit Galata Media, Cet. I, Januari 2018).

SHALAT DAN KHUTBAH HARI RAYA

Perempuan dan Anak-Anak Pergi ke Masjid

Dengan segala kerendahan hati, saya nyatakan bahwa almarhum guru dan ayah saya, Dr. Syaikh Abdul Karim Amrullah pernah mengeluarkan pendapat bahwa perempuan tidak usah ikut serta shalat ke tanah lapang. Beliau beralasan berdasarkan pernyataan Aisyah, bahwa jika Nabi masih hidup niscaya akan dicegahnyalah perempuan pergi shalat ke tanah lapang melihat bagaimana banyak berubahnya perangai perempuan sekarang.

Ibnu Quddamah berkata di dalam al-Mughni, "Sunnah Rasulullah saw. tetap berlaku, tetapi peringatan Aisyah itu hanya peringatan untuk perempuan yang berlaku demikian."

Melihat perkembangan zaman, di mana kaum perempuan sudah teramat bebas, sebaiknya dibebaskan juga mereka mengerjakan ibadah ke tempat umum agar mereka juga turut mendengarkan ajaran-ajaran agama.

(Buya HAMKA, Tuntunan Puasa, Tarawih dan Shalat Idul Fitri, Hal. 111, Penerbit Gema Insani, Cet.1, April 2017).

AYAHKU

BELIAU MURKA

Tetapi sungguh pun begitu, beliau pernah murka besar kepada Muhammadiyah, iaitu pada Tahun 1928.

Perempuan berpidato di hadapan kaum lelaki, menurut keyakinan beliau adalah "haram", sebab dapat mendatangkan fitnah.

Dan seluruh badan perempuan itu adalah aurat.

Demikian juga, walaupun beliau menyetujui sembahyang ke tanah lapang, tetapi beliau tidak dapat menyetujui kaum perempuan mengikut pula ke tanah lapang itu. Meskipun ada hadits menyatakan bolehnya perempuan untuk pergi.

Tetapi berdasarkan kepada perkataan Siti Aisyah, bahawa jika nabi masih hidup, tentu dilarangnya perempuan-perempuan ini turut pergi sembahyang ke tanah lapang, beliau berpendapat tidak boleh.

Beliau sangat tidak bersetuju utusan-utusan Aisyiah itu pergi ke salah satu perjumpaan yang jauh dari kampungnya, tidak ditemani oleh mahramnya. Dalam beberapa pertemuan agama, telah beliau menyatakan pendirian beliau tentang segala soal itu. Tetapi rupanya tidak ada perubahan, lalu beliau susunlah sebuah buku bernama "Cermin Terus". "Berguna untuk pengurus, pencari jalan yang lurus".

Dalam buku itu, panjang lebar beliau terangkan pendapat beliau tentang kedudukan perempuan dalam agama sampai kepada kewajipan nafkahnya, batas auratnya, ukuran pakaiannya dan lain-lain. Falsafah pandangan hidup beliau kepada kaum perempuan terlukis semua dalam buku itu, iaitu pandangan yang kalau dibaca oleh pergerakan Vrouwen Emancipatie, tidak dapat diterimanya.

Dan tentu sahaja semuanya itu adalah pendapat beliau sendiri, ijtihad beliau!

Pada Tahun 1930, terjadilah Kongres Muhammadiyah di Bukit Tinggi. Panitia Kongres Muhammadiyah telah memutuskan bahawa Siti Rasyidah, seorang remaja puteri Aisyiah yang cantik akan berbicara di hadapan perjumpaan umum, yang dihadiri oleh lelaki dan perempuan. Beliau sengaja diundang dalam Kongres itu. Dan Pengurus Besar Muhammadiyah insaf bagaimana pengaruh besar beliau dan banyak bantuannya kepada Muhammadiyah.

Bagaimana akal? Buku beliau sudah keluar, menyatakan "haram" perempuan berpidato di hadapan lelaki!

(Buya HAMKA, Ayahku, 259-260, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

SERBA-SERBI SEPUTAR HARI JUM'AT

Ibnu Katsir menulis dalam tafsirnya,

"Dinamai hari Jum'at, diambil dari kata al jam'u yang berarti berkumpul. Karena orang Islam berkumpul tiap hari itu di rumah-rumah ibadah yang besar-besar. Dan pada hari itu pulalah disempurnakan kejadian sekalian makhluk, karena dia adalah hari keenam Allah menciptakan semua langit dan bumi. Dan di hari itu Adam diciptakan, di hari Jum'at juga dia dimasukkan ke dalam surga dan di hari Jum'at juga dia dikeluarkan dari dalamnya. Di hari Jum'at Kiamat akan berdiri, dan pada hari Jum'at ada suatu saat yang tiap-tiap apa pun kebaikan yang dimohonkan oleh hamba Allah, bila bertepatan dengan saat itu pastilah akan dikabulkan, sebagaimana telah teguh disebut dalam hadits-hadits yang shahih."

Sebagaimana disalinkan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya,

"Ka'ab bin Luai di zaman jahiliyyah yang mula pertama menamainya hari Jum'at. Dan dinamai juga hari 'Arubah. Tetapi riwayat yang dikenal dalam Islam yang mulai menamainya Jum'at ialah kaum Anshar, sebelum Rasulullah saw. pindah ke Madinah. Ibnu Sirin mengatakan memang kaum Anshar yang menamainya Hari Jum'at. Sebabnya ialah setelah mereka melihat orang Yahudi berkumpul sekali dalam sepekan, yaitu pada hari Sabtu, dan mereka melihat pula orang Nasrani berkumpul pula di hari Ahad, lalu mereka berkata, "Marilah kita tentukan pula hari tempat kita berkumpul di waktu itu kita mengingat Allah, kita shalat dan kita mengaji. Kalau orang Yahudi ada hari Sabtunya, orang Nasrani ada hari Ahadnya; mari kita adakan pula hari kita berkumpul itu, yaitu di hari 'Arubah." Buah pikiran itu diterima oleh bersama, lalu mereka berkumpullah di hari Arubah di rumah As'ad bin Zurarah, atau lebih terkenal dengan panggilan Abu Amamah. Mereka shalat di waktu Zhuhur dua rakaat, setelah habis shalat mereka mengaji. Mereka namai hari itu hari Jum'at yang berarti berkumpul. Biasanya As'ad memotong kambing dan mereka makan tengah hari sampai makan malam bersama-sama dalam bilangan yang masih sedikit. Itulah Jum'at pertama dalam Islam."

Demikian riwayat Ibnu Sirin sebagaimana yang tersebut dalam Tafsir al-Qurthubi.

Yang jadi guru dalam pertemuan-pertemuan itu ialah mubaligh yang dikirim oleh Rasulullah kepada mereka, yaitu Mush'ab bin Umair. Bertahun-tahun di belakang, jauh setelah Nabi wafat, setelah Ka'ab bin Malik tua dan matanya telah buta, bila didengarnya orang adzan Jum'at, dia selalu mengenang As'ad bin Zurarah yang menyediakan rumah tempat berkumpul yang mula-mula itu.

Nabi saw. sendiri pun setelah mulai menginjak Madinah dalam hijrahnya, mulai waktu itu pulalah beliau mengadakan Jum'at.

Tersebut dalam riwayat hidup beliau, bahwa dalam perjalanan hijrah itu, beliau berhenti di Quba' sebagai perhentian penghabisan akan masuk ke Madinah. Dia masuk ke kampung Bani Amer bin Auf di Quba' pada hari Senin, 12 Rabi'ul Awwal pada waktu Dhuha; dari waktu itulah dimulai tarikh Tahun Hijriyah. Beliau berhenti di Quba' dari Senin waktu Dhuha sampai hari Kamis, 15 Rabi'ul Awwal. Hari itu beliau meninggalkan Quba' menuju Madinah, dan bermalam di kampung Bani Salim bin Auf malam Jum'at itu; satu perkampungan yang telah masuk bagian kota Madinah. Setelah datang waktu Zhuhur bershalatlah beliau di sana, diikuti oleh sahabat-sahabat Muhajirin yang bersama beliau dan Anshar yang telah menunggu;

Di sanalah beliau memberikan khutbah Jum'at yang pertama dan waktu itulah beliau shalat Jum'at yang pertama.

lbnu Katsir mengatakan pula dalam tafsirnya,

Bahwa umat-umat telah memilih satu hari untuk berkumpul, sayangnya mereka telah salah memilih. Yahudi memilih hari Sabtu, padahal bukan di hari itu Adam diciptakan. Nasrani memilih hari Ahad, padahal hari Ahad adalah hari pertama penciptaan makhluk, dan Allah telah memilihkan bagi umat ini Hari Jum'at, yang di waktu itulah Allah menyempurnakan ciptaan-Nya.

Tafsiran ini semua dengan sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim.

"Disesatkan Allah umat yang sebelum kita sehingga mereka tidak kena memilih hari Jum'at. Maka adalah bagi Yahudi hari Sabtu dan bagi Nasrani hari Ahad. Lalu Allah mendatangkan kita, maka diberinyalah kita petunjuk kepada hari Jum'at, sehingga jadilah berturut Jum'at, Sabtu, dan Ahad. Akan demikian teruslah kelak di hari Kiamat mereka menurut di belakang kita. Kita adalah terakhir datang dari ahli dunia, tetapi kitalah yang pertama akan diperiksa dan diberi keputusan di antara makhluk-makhluk Allah di Hari Akhirat kelak."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 140-142, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DARI HAL ADZAN

Al-Mawardi menyatakan bahwa adzan pertama itu adalah muhdats (diada-adakan kemudian), dibuat oleh Utsman bin Affan setelah penduduk Madinah bertambah banyak, supaya orang segera masuk ke Masjid.

Ibnul Arabi ulama terkemuka dalam Madzhab Maliki mengatakan tentang hadits shahih yang berbunyi,

"Di antara dua adzan ada shalat, bagi barangsiapa yang mau."

Kata beliau,

"Banyak orang menyangka bahwa shalat sunnah itu ialah di antara dua adzan, yaitu adzan tambahan Utsman dengan adzan yang asli dari Rasulullah saw. Padahal yang dimaksud dengan dua adzan ialah adzan dan iqamat karena keduanya adalah panggilan kepada shalat."

Lalu beliau jelaskan bahwa tambahan adzan Sayyidina Utsman itu adalah perbuatan yang diadakan kemudian.

Tegasnya tidak tepat lagi menuruti sunnah.

Kalimat muhdats adalah kata lain yang lebih hormat tentang bid'ah.

Oleh sebab yang memulai tambahan adzan itu Sahabat Rasulullah saw., orang merasa segan memakai kalimat bid'ah terhadap diri beliau, lalu disebut yang lebih halus, meskipun artinya bersamaan, yaitu muhdats.

Di Indonesia umumnya Madzhab yang dipakai ialah Madzhab Syafi'i,

Maka kalau ada orang memperkatakan hendak menghilangkan adzan 2 kali itu dan memilih yang 1 kali, banyak orang yang bertahan mengambil alasan dengan mengatakan bahwa kita bermadzhab Syafi'i.

Setelah beliau menguraikan terlebih dahulu, menurut riwayat Rabi, bahwa Imam Atha mengatakan bukan Utsman yang memulai tambahan adzan itu melainkan Mu'awiyah, maka,

Imam Syafi'i berkata,

"Yang mana pun di antara keduanya itu yang terjadi (Utsman atau Mu'awiyah), namun perbuatan yang dikerjakan di zaman Rasulullah saw. itulah yang lebih disukai di sisi saya." (Lihat al-Umm, Juz 1).

Memang kita menghormati sangat-sangat kepada sahabat Nabi kita saw.

Tetapi apabila kita memilih mana yang dikerjakan Rasulullah sendiri dan meninggalkan tambahan yang dari sahabat beliau, tidaklah berarti bahwa kita kurang hormat kepada beliau, melainkan kita telah meletakkan Nabi lebih tinggi daripada sahabatnya, niscaya sahabat-sahabat itu sendiri akan bersuka hati jika sikap kita demikian.

Apatah lagi tidak pula boleh kita lupakan kemajuan zaman kita sekarang, dengan adanya alat-alat listrik pengeras suara, adanya mikrofon dan loudspeaker, sehingga suara adzan sudah dapat didengar dari tempat yang ukurannya sudah lebih jauh daripada di zaman Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau dahulu kala itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 132-133, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KHUTBAH JUM'AT

Sudah nyata bahwa yang terpenting dari shalat Jum'at itu ialah karena akan mendengar khutbah imam.

Sekali dalam sepekan kita berkumpul, sehingga di hari Jum'at itu Shalat Zhuhur yang 4 rakaat dijadikan 2 rakaat dan dinamai Jum'at, ditambah dengan khutbah.

Yang jadi pokok dari memberikan khutbah ialah memberi pelajaran, pendidikan, peringatan dan kesadaran beragama, mengulang-ulangkan peringatan ke dalam hati orang yang beriman agar mereka memperteguh takwanya kepada Allah dengan anjuran yang benar-benar menawan hati dan menimbulkan keinsafan.

Dalam Madzhab Syafi'i disebutlah rukun-rukun khutbah. Yaitu:

1) memuji Allah dengan ucapan Alhamdulillah,

2) mengucapkan shalawat dan salam untuk Rasulullah saw.,

3) memberikan nasihat agar bertakwa kepada Allah dalam kedua khutbah,

4) bacakan ayat Al-Qur'an walaupun hanya satu ayat,

5) mendoakan kaum Muslimin.

Dalam Madzhab Hambali hanya 4; bagian mendoakan kaum Muslimin tidak masuk.

Dalam Madzhab Malik, rukun khutbah hanya 1, yaitu asal khutbah itu mengandung satu hal saja yang amat penting, yaitu memberikan kesadaran beragama kepada jamaah yang mendengarkan, sehingga meresap padanya kesadaran beragama.

Dalam Madzhab Hanafi pun hanya 1 saja, yaitu asal khutbah itu mengandung dzikir (menyebut dan mengingat Allah).

Memang, sudah biasa apabila orang berkhutbah yang berdasarkan agama, baik tabligh agama, baik ceramah atau pengajian, dituruti orang Sunnah Nabi, yaitu dimulai dengan memuji Allah.

Maka kalau dalam Madzhab Syafi'i hal itu dijadikan rukun, maka oleh Madzhab Hanafi dan Maliki tidak mewajibkan membaca Alhamdulillah sebagai kemestian, melainkan kepada isi khutbah.

Hendaklah kita tinjau dan simpulkan pendapat-pendapat dari madzhab-madzhab itu dengan sebaik-baiknya.

Kalau kita hanya membeku saja menurut rukun Khutbah yang digariskan dalam madzhab Syafi'i, niscaya mudah saja seorang Khathib naik mimbar lalu berkhutbah,

"Segala puji bagi Allah Shalawat dan Salam atas Rasulullah. Wahai sekalian manusia, takwalah kepada Allah Katakanlah bahwa Allah itu adalah Satu. Ya Tuhanku, ampunilah Muslimin dan Muslimah."

Cuma itu saja, lima patah kata; dia pun turun sebentar dan naik lagi untuk khutbah kedua, dibacanya itu juga.

Dalam 3 menit selesai dia baca khutbah.

Atau menurut Madzhab Hambali, dibacanya semua kecuali yang kelima dengan cara begitu pula.

Semua sah!

Tetapi hambar saja!

Atau turuti Madzhab Hanafi; baca saja Alhamdulillah, Laa Ilaha Illallah, Allahu Akbar!

Lalu turun.

Cara-cara begini mungkin bisa terjadi di kampung yang bapak imam dan khathibnya telah lama mati dan hanya seorang yang berani menggantikan dengan cara begitu.

Yang sebaiknya ialah perhatikan Madzhab Maliki, isi khutbah itu dengan pelajaran bagi kaum Muslimin dan hiasi khutbah itu menurut tuntunan madzhab Syafi'i; tetapi kalau berkurang-kurang, tidak persis 5 (Madzhab Syafi'i) atau 4 (Madzhab Hambali), janganlah langsung khathib disuruh turun dari mimbar dan dikatakan bahwa khutbahnya tidak sah.

Yang penting hendaklah orang yang jadi Khathib itu seorang yang patut dijadikan teladan yang baik.

Hendaknya imam merangkap jadi khathib.

Dalam shalat dia imam, sebelum shalat dia memberikan nasihat dan ajaran mendalam di khutbahnya.

Sebab pada hakikatnya beliau itu adalah penerus dari tugas nabi dan tugas khalifah-khalifahnya.

Yang penting sekali diperhatikan ialah bahwa khutbah itu ialah pidato.

Dia adalah semacam seni yang halus untuk menawan dan menaklukkan hati pendengar.

Pernah ditanyakan orang kepada Abdul Malik bin Marwan; belum sampai 2 tahun dia memegang pemerintahan, rambutnya telah memutih, telah tumbuh banyak uban.

Ditanyakan orang, mengapa sampai begitu?

Beliau menjawab bahwa yang menambah banyak uban di kepalanya itu ialah karena tiap-tiap hari Jum'at naik tangga mimbar. Karena sejak sehari sebelumnya sudah dipikirkan apa yang patut dikhutbahkan, apa yang sesuai dengan keadaan jamaah yang akan mendengar.

Apatah lagi Nabi saw. sendiri memberi ingat menurut sebuah hadits,

"Sesungguhnya panjang shalat seseorang dan pendek khutbahnya, adalah alamat dari fiqihnya. Sebab itu panjangkanlah shalat kamu dan pendekkan khutbah." (HR. Ahmad dan Muslim dari hadits Amar bin Yasir).

Arti tanda dari fiqihnya ialah tanda dari mendalam pahamnya tentang hikmah-hikmah agama dan kesanggupannya mengetahui kepentingan orang banyak.

Jabir bin Samurah berkata,

"Shalat Rasulullah saw. itu sederhana dan khutbahnya pun sederhana."

Abdullah bin Abu Aufau berkata,

"Rasulullah saw. itu kalau shalatnya panjang khutbahnya pendek." (HR. an-Nasa'i, dengan sanad shahih).

Berkata Jabir bin Abdullah,

"Rasulullah itu kalau beliau berkhutbah merah kedua matanya, tinggi suaranya, penuh semangat seakan-akan beliau mengerahkan tentara; (beliau berkata) 'Awaslah pagi-pagi kamu, petang-petang kamu!" (HR. Muslim dan Ibnu Majah).

Imam Nawawi berkata,

"Sangat disukai khathib itu kalau berkhutbah hendaklah dengan bahasa yang fasih, menarik, dan terasa ke hati, tersusun dan jelas, dengan tidak usah kata-kata yang berlebih-lebihan dan berdalam-dalam. Dan jangan pakai kalimat-kalimat yang rendah mutunya atau yang dibuat-buat, sebab yang demikian itu tidak akan berpengaruh ke dalam hati dengan sempurna. Jangan pula kata-kata yang kasar, sebab yang demikian tidak akan menghasilkan maksud. Tetapi pilihlah kata-kata sederhana yang dapat segera dipahamkan."

Dalam kongres yang diadakan Rabithah 'Alam al-Islami, di masjid Mekah pada Ramadhan 1398 (September 1975), dibahas juga tentang pentingnya khutbah. Masjid dengan khutbah yang baik dianggap sebagai pembangkit yang baik dari kesadaran beragama. Di sana pun dianjurkan agar imam-imam dan khatib Jum'at itu hendaknya orang yang berkeahlian dan mempunyai wibawa pribadi. Dikaji juga di situ bahwa setelah islam mundur, masjid tidak berperan lagi dan khutbah Jum'at pun mundur sama sekali.

Kita pun dapat melihat khatib-khatib kampung membawa khutbah-khutbah yang telah dikarang 60 tahun yang lalu masih ditemui kitab khutbah yang dikarang oleh Syekh Ahmad Khatib di Mekah dan dikirim ke masjid-masjid di tanah air kita buat dibaca. Khutbah itu bahasa Arab. Khatib-khatib membacanya dengan dilagukan, jamaah yang hadir tidak paham apa yang dibaca khatib, bahkan khathib itu sendiri pun tidak paham apa yang dia baca. Bahkan pengetahuannya tentang agama hanya sekadar melagukan khutbah itu saja. Di dekat mihrab digantungkan sehelai jubah, yang apabila khatib akan naik mimbar jubah itu dipakai lebih dahulu, dan disediakan tongkat yang akan dipegang selama berkhutbah. Tongkat itu biasanya berupa tombak, karena Sunnah Nabi memakai tombak, namun tombak itu ialah tombak kayu. Kadang-kadang ada pula memakai pedang, pedang itu pun pedang kayu. Dan sesudah selesai shalat nanti, mereka pun menyusun shaf kembali, lalu melaksanakan Shalat Zhuhur. Sebab mereka sendiri memutuskan bahwa Jum'at yang baru mereka lakukan itu tidak sah, sebab bilangan 40 orang dengan syarat-syarat yang ditentukan, tidak tercapai!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 136-138, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

APABILA BERTEMU DUA HARI RAYA

Menjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama-ulama salaf kalau bertemu dua hari raya, yaitu jatuh sebelum shalat Hari Raya Fitri atau Hari Raya Adha pada hari Jum'at.

Banyak ulama berpendapat kalau terjadi demikian, Jum'at tidak wajib lagi.

Artinya boleh orang yang telah melakukan shalat Hari Raya itu tidak ke Jum'at lagi.

Yang dengan tegas menyatakan tidak wajib Jum'at lagi kalau sudah shalat Hari Raya, di antaranya ialah Imam Ahmad bin Hambal.

Beliau beralasan karena di zaman Rasulullah saw., pernah kejadian demikian, beliau pernah berkata,

"Barangsiapa yang ingin handak bershalat, shalatlah." (HR. Lima Imam Hadits, disahkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim).

Maksudnya adalah Shalat Jum'at.

Dan hadits dari Abu Hurairah,

"Jika harimu ini telah berkumpul dua hari raya, maka siapa yang suka, bolehlah dia mengadakan Hari Raya itu dari Jum'at, tetapi sesungguhnya kami tetap berjum'at." (HR. Abu Dawud).

Tetapi tidak semua ulama menganut pendapat itu.

Imam Syafi'i menjelaskan pendirian beliau di dalam al-Umm, bahwa yang diberi kelapangan meninggalkan Jum'at pada pertemuan dua hari raya itu hanyalah orang dusun yang jauh dari kota yang di sana tidak berdiri Jum'at. Dalam hadits mereka itu disebut orang al-Awwali, yang berarti mereka-mereka yang tinggal di pegunungan atau di kampung ketinggian. Oleh karena rumah mereka jauh, terserahlah kepada mereka apakah mereka akan menunggu di Madinah sampai selesai shalat Jum'at, atau akan pulang saja kembali ke kampung mereka sehabis Shalat Hari Raya, sehingga mereka tidak ikut berjum'at lagi.

Ini berlaku di zaman Rasulullah saw. dan lebih diperjelas lagi oleh yang terjadi di zaman pemerintahan Khalifah yang ketiga, Utsman bin Affan, yaitu orang pegunungan beliau persilakan memilih sendiri apa akan pulang sehabis Shalat Hari Raya, atau akan menunggu sampai selesai Jum'at. Ujung sabda Nabi tadi,

"Sesungguhnya kami adalah berjum'at."

Artinya ialah kami tetap mengumpulkan kedua hari raya itu, sama-sama kami kerjakan. Sebab Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatyang lain tinggal dalam kota Madinah sendiri. Sebab itu kalau kiranya rukhshah (keringanan) tidak berjum'at bagi semuanya, niscaya Rasulullah akan membuat contoh yang patut ditiru, yaitu tidak usah berjum'at lagi. Padahal beliau telah jelaskan dengan tegas, "Kami berjum'at."

Al-Imam Ibnu Hazm al-Andalusi, imam madzhab Zhahiri dalam kitabnya al-Muhalla, bahwa beliau tidaklah dapat menerima pendapat itu.

Alasannya sederhana saja, yaitu Jum'at adalah wajib, sedang shalat hari raya yang kedua itu adalah sunnah. Bagaimana perintah yang wajib akan boleh ditinggalkan karena telah melakukan yang sunnah?

Kemudian itu dikemukakan orang pula suatu hadits bahwa di zaman Abdullah bin Zubair menguasai Hejaz, bahwa berdasar kepada pendapat dua hari raya berkumpul di satu hari Jum'at, beliau shalat hari raya agak tinggi hari (siang), dan beliau tidak shalat Jum'at lagi; bahkan tidak pula shalat Zhuhur, terus Ashar saja.

Ketika cerita ini didengar oleh Abdullah bin Abbas, beliau katakan bahwa perbuatan Abdullah bin Zubair yang diakui oleh Ibnu Abbas ini, adalah pendapat bahwa jika bertemu dua Hari Raya, bukan saja berjum'at tidak wajib lagi, bahkan Shalat Zhuhur pun tidak wajib (karena sudah dilakukan Shalat Hari Raya).

Setengah orang menta'wilkan kejadian ini dengan berkata,

"Mereka Shalat Zhuhur juga di tempat masing-masing, tetapi tidak berjamaah. Setengah lagi mengatakan memang Abdullah bin Zubair tidak bershalat Zhuhur lagi."

Pendapat penyusun tafsir ini lebih condong kepada yang pertama, bahwa tidak mungkin Abdullah bin Zubair telah meninggalkan Jum'at dan Zhuhur sama sekali karena telah melaksanakan Shalat Hari Raya.

Kalau itu kejadian, dengan tegas kita tidak dapat mengikuti perbuatan Abdullah bin Zubair itu.

Sedangkan perbuatan Sayyidina Utsman bin Affan menambah adzan 1 lagi untuk menyuruh orang berkumpul menunggu Shalat Jum'at di masjid, dan disuruhnya muadzin itu ke az-Zauraa, dekat pasar, padahal maksud beliau baik, kita tinggalkan juga;

Dan kita sepaham dengan Imam Syafi'i bahwa adzan 1 kali saja yang diperbuat oleh Rasulullah dan kedua sahabat Abu Bakar dan Umar "lebih disukai di sisi kita", apalagi perbuatan Abdullah bin Zubair yang meninggalkan satu waktu yang wajib, yaitu waktu Zhuhur karena sudah diselesaikan dengan Shalat Hari Raya saja.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 139-140, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KHUTBAH SELAIN BAHASA ARAB

Madzhab Maliki dengan tegas menyatakan bahwa khutbah Jum'at mesti bahasa Arab, meskipun jamaah yang berjum'at bukan orang Arab.

Khatibnya wajib mempelajari khutbah yang bahasa Arab itu dan membacanya, walaupun hadirin tidak mengerti.

Kalau tidak ada khutbah demikian, gugurlah kewajiban jum'at bagi mereka.

Madzhab Hanafi,

"Boleh saja memakai khutbah bahasa selain bahasa Arab, walaupun atas orang yang mengerti bahasa Arab. Atau jamaah itu orang Arab.

Madzhab Hambali,

"Kalau khathib sanggup berkhutbah bahasa Arab tidaklah boleh memakai khutbah dalam bahasa selain Arab. Lain perkara kalau tidak sanggup, waktu itu baru boleh memakai bahasa yang lain. Tetapi ayat-ayat Al-Qur'an wajib dibaca menurut aslinya."

Menurut Madzhab Syafi'i,

Disyaratkan kedua khutbah itu dalam bahasa Arab. Tidaklah memenuhi syarat berkhutbah dengan bahasa selain Arab kalau masih bisa dipelajari bahasa Arab; tetapi kalau tidak mungkin, barulah boleh dipakai bahasa selain Arab. Peraturan ini berlaku jika jamaahnya itu bukan orang Arab, tidaklah disyaratkan rukun-rukun khutbah itu mesti bahasa Arab juga. Kalau terpaksa dia memakai bahasa selain bahasa Arab, namun ayat-ayat Al-Qur'an hendaklah dibaca menurut asli Arabnya. Kalau ayat itu tidak hafal dalam bahasa Arabnya, boleh diganti dengan doa-doa dalam bahasa Arab. Selain dari rukun-rukun khutbah yang lima perkara, boleh saja diucapkan dalam bahasa selain Arab.

Dalam hasil Permusyawarahan Kongres di Mekah memusyawarahkan soal masjid pada Ramadhan 1395 itu segenap hadirin bersetuju bahwa terhadap bangsa Arab sendiri hendaklah dipakai bahasa Arab yang fasih.

Adapun terhadap kaum Muslimin yang bukan Arab, hendaklah dipakai untuk khutbah bahasa yang dapat mereka pahamkan.

Karena tujuan khutbah ialah memberi ajaran agama kepada jamaah.

Wajiblah bagi jamaah mendengarkan khutbah dengan tertib dan hening, jangan ribut supaya khutbah bisa didengarkan dengan baik.

Sehingga jika ada yang ribut janganlah yang lain menegur yang ribut itu pula, supaya jangan bertambah ribut.

Karena ada hadits dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw. pernah bersabda,

"Apabila engkau katakan kepada kawan engkau 'diamlah' pada hari Jum'at, sedang imam berkhutbah, maka jadi gagallah engkau." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan bila imam itu telah naik ke atas mimbar menghadap kepadanya baik-baik, artinya supaya tertuju perhatian kepada isi khutbah yang akan beliau khutbahkan.

Karena begitulah yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Rasulullah kepada diri beliau setelah beliau naik ke atas mimbar.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 138-139, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MALAM JUM'AT

Tentang malam Jum'at berkata Ibnul Qayyim,

Sangat disukai memperbanyak membaca shalawat bagi Nabi Muhammad saw. pada hari Jum'at dan malam Jum'at, sebab Rasulullah saw. berkata,

"Perbanyaklah shalawat untukku pada hari Jum'at dan malam Jum'at."

Memang Rasulullah saw. sendiri adalah penghulu dari sekalian manusia dan Jum'at adalah penghulu dari sekalian hari; oleh sebab itu mengucapkan shalawat untuk beliau pada saat-saat itu mempunyai keistimewaan yang lain daripada hari-hari yang lain, disertai pula oleh kandungan hikmah yang lain, yaitu bahwa seluruh kebaikan yang dicapai oleh umatnya di dunia ini dan di akhirat, semuanya itu mereka capai adalah berkat buah tangan beliau saw., maka dikumpulkan Allah untuk umat Muhammad itu di antara dua kebajikan, yaitu kebajikan dunia dan kebajikan akhirat; dan sebesar-besar kemuliaan yang mereka capai ialah pada hari Jum'at.

Maka tersebutlah bahwa kelak mereka akan dimasukkan ke dalam surga pada hari Jum'at akan menghuni mahligai-mahligai mereka di sana.

Dan hari Jum'at itu pun hari pertambahan mereka di surga.

Dan di dunia ini pun hari Jum'at adalah Hari Raya mereka, segala permohonan dan permintaan yang mereka mohonkan di hari Jum'at itu pada saat tertentu akan dikabulkan Allah.

Semuanya ini mereka kenal dan berhasil ialah karena ajaran Nabi saw. yang diterima dari tangannya.

Maka untuk menyatakan terima kasih, puji-pujian, dan untuk menunaikan sejemput kecil daripada haknya ialah dengan memperbanyak mengucapkan shalawat untuk beliau di hari Jum'at dan malam Jum'at.

Sekian Ibnul Qayyim.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 142, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MASJID DHIRAR

"Maka apakah orang yang mendirikan bangunannya atas (dasar) takwa dari Allah dan karena ridha-Nya yang lebih baik? Ataukah orang yang mendirikan bangunannya di atas tepi jurang yang dalam, lalu bangunan itu membawanya ke dalam neraka Jahannam?" (pangkal ayat 109).

Pangkal ayat ini berbentuk sebagai suatu pertanyaan, yang disuruh Allah Rasul-Nya menanyakan kepada umat, untuk membangkitkan mereka berpikir.

Mana yang lebih baik mendirikan bangunan atas dasar takwa dan ridha Allah, dengan mendirikan bangunan di tepi jurang neraka karena niat mendirikannya adalah jahat?

Pertanyaan ini mengajak berpikir bagi tiap orang yang beriman jika hendak mengadakan suatu bangunan baik masjid atau bangunan yang lain.

Sebab bangunan itu sendiri tidaklah salah.

Bahkan berdirinya satu masjid tidaklah salah.

Yang akan ditinjau ialah niat ketika mendirikan.

Oleh sebab itu, maka tiap-tiap bergerak hendak membangun, ditegaskan oleh ayat ini supaya bertanya terlebih dahulu ke dalam hati sanubari sendiri, apa niat yang terkandung di dalamnya?

Apakah hendak memecah-belah?

Apakah karena jiwa kufur?

Maka apabila suatu bangunan didirikan benar-benar atas dasar takwa iman dan ikhlas, bangunan itulah yang akan berkat dan selamat.

Tetapi bangunan yang didirikan atas niat memecah-belah tenaga umat, atau untuk kemegahan diri sendiri, mencari nama, mempertontonkan kekayaan, membela golongan sehingga putus tali silaturahim yang mestinya selalu berhubung, samalah halnya dengan mendirikan bangunan itu, di tepi jurang, di bibir lurah yang curam.

Bagaimanapun bagus bentuknya, dia pasti hancur dan runtuh, menghimpit pendiri-pendiri itu sendiri dan membawa mereka ke dalam neraka Jahannam.

Niscaya kita lihat sekarang ini bahwa masjid yang asal pertama, baik Masjid Quba atau Masjid Rasulullah saw., yang oleh kaum munafik hendak ditandingi dengan masjid Dhirar itu, tidaklah dapat disamaratakan pengiasannya dengan masjid-masjid pada zaman kita.

Imam Syafi'i sendiri dalam fatwanya yang qadim, tetap bertahan bahwa di dalam satu Madinah (kota besar) cukup 1 masjid saja.

Tetapi setelah beliau melihat kedudukan kota Baghdad sendiri yang di kala itu mempunyai dua bagian kota seberang-menyeberang sungai Dajlah, beliau pun meninjau fatwanya itu kembali.

Sehingga walaupun kedengaran adzan di seberang sungai, karena sukar menempuhnya dengan perahu, bolehlah mendirikan masjid pula di seberang satu lagi.

Dalam fatwa beliau yang jadid, setelah berpindah ke Mesir, condonglah beliau kepada pendapat bahwa di dalam kota-kota yang besar, bolehlah berbilang masjid, asal diatur oleh imam (kepala negara).

Setelah agama Islam menjadi anutan orang-orang di tanah air kita, maka terdapatlah susunan-susunan masyarakat yang disesuaikan dengan agama.

Misalnya, satu Mukim di Aceh, satu Korea (Qaryah) di Mandahiling dan Nagari di Minangkabau.

Di Jawa pun sejak Kerajaan Demak, dalam ibukota Kabupaten berdiri sebuah Masjid Besar.

Dalam pepatah Minangkabau yang disebut sebuah Nagari ialah "Yang berbalairung yang seruang, bermasjid yang sebuah." Artinya, tidak boleh berbilang masjid atau Jum'at, mesti hanya sebuah.

Tetapi setelah anak buah bertambah kembang, berdasar kepada paham Madzhab Syafi'i itu, pada 1890 Tuan Syekh Muhammad Yunus (ayah dari almarhum Zainuddin Labay dan almarhumah Ibu Hajjah Rahmah El Yunusiyah) mengeluarkan fatwa bahwa di dalam negeri Pandai Sikat boleh berdiri lagi sebuah masjid, yaitu di kampung Pandai Sikat yang jauh dari Masjid Jami itu. Demikian juga mendirikan Masjid Kubu Sungai Batang, padahal dahulu hanya 1 di lorong Nagari saja, atas fatwa ayah dan guru saya, Dr. Syekh Abdul Karim Amrullah.

Di negeri Negara di Kalimantan Selatan terjadi pembahasan ulama-ulama berpuluh tahun lamanya karena satu golongan hendak mendirikan sebuah masjid lagi di seberang sungai yang membelintang di tengah negeri.

Karena persoalan menambah masjid dari 1 menjadi 2 di sebuah negeri itu amat hebat pada permulaan Abad ke-20 ini, maka Tuan Syekh Ahmad Khathib di Mekah mengeluarkan sebuah kitab dalam bahasa Arab, bernama Shul-hul Jama'atain (Perdamaian Dua Jamaah), yang ringkasan isinya ialah bahwa boleh menambah bilangan masjid dalam satu negeri, atau korea atau mukim itu, asal saja dengan musyawarah yang baik dan karena sebab-sebab yang masuk akal, bukan karena hendak menimbulkan perpecahan di antara dua golongan.

Di kota-kota besar di Jawa menjadi tradisi bahwa istana kedudukan bupati (kabupaten) berhadap-hadapan dengan sebuah Masjid Jami'. Di tengah-tengahnya sebuah tanah lapang (alun-alun). Tetapi setelah zaman penjajahan, tangan penjajah masuk ke dalam masjid itu dan kiai penghulu adalah seorang ambtenar yang biasanya terpilih dari orang yang bertali darah kekeluargaan dengan bupati sehingga masjid-masjid menjadi sumber kebekuan pikiran, maka kalangan kaum muda Islam mendirikan lagi masjid-masjid sendiri, sebab memandang bahwa amalan di Masjid Besar itu sudah banyak dicampuri bid'ah atau pengaruh penjajah.

Tadi kita katakan bahwa keadaan masjid kita sekarang tidak boleh langsung diserupakan dengan Masjid Quba dan Masjid Madinah, yang hendak dipecahkan oleh orang munafik dengan mendirikan Masjid Dhirar itu.

Berbilang masjid, terutama di kota-kota besar seperti di Jakarta dan lain-lain kota besar itu, tidaklah salah.

Menambah masjid di satu negeri, mukim, korea, dan sebagainya itu tidaklah salah asal jamaah kaum Muslimin jangan terpecah belah.

Asal imam-imamnya seia sekata di dalam menghadapi tugas bersama mengadakan dakwah.

Yang salah ialah jika mendirikan suatu bangunan timbul daripada niat sebagai niat munafik yang empat perkara tadi.

Di Kota Payakumbuh, berdirilah masjid-masjid kepunyaan satu golongan.

Ada masjid orang Banuhampu, masjid orang Sianok, masjid orang Pariaman. Yaitu orang-orang dari daerah Minangkabau sendiri, yang berniaga di Payakumbuh. Pada 1946 Penulis Tafsir ini berulang-ulang datang ke Payakumbuh dan memberi pengertian bahwa memakai nama kampung mereka untuk masjid, tidaklah layak. Lalu semuanya ditukar namanya, menjadi Masjid Mujahidin, Mukarrabin, Muttaqin, dan sebagainya.

Bertalian dengan ini tentu tidak layak juga kalau satu masjid yang didirikan oleh satu perkumpulan Islam, diberi nama dengan nama perserikatan itu. Misalnya Masjid Muhammadiyah, Masjid Persis, Masjid Nahdlatul Ulama, dan sebagainya. Takut kalau-kalau timbul niat yang tidak baik, yaitu memisahkan diri dari jamaah kaum Muslimin.

Oleh sebab itu, jadikanlah masjid menjadi sumber iman dan tauhid, sumber untuk menyatu-padukan aqidah dan ibadah umat, yang didirikan sejak semulanya atas dasar yang takwa dan ikhlas, jangan hendaknya menjadi sumber dari perpecahan dan dosa, jangan pula seperti orang kaya yang mendirikan sebuah masjid untuk kemegahan diri sendiri.

Sebab (ujung ayat 109) orang yang zalim ialah yang keluar dari batas yang ditentukan Allah, lagi zhulm, yaitu gelap tidak terang apa yang mereka tuju. Orang mendirikan masjid untuk menyembah Allah, mereka mendirikan masjid untuk memecah, untuk mengintip bagi memerangi Allah dan Rasul. Maka oleh sebab sejak semula niat sudah tidak baik, sampai kepada akhirnya mereka pun akan tetap dalam gelap, tidak diberi petunjuk oleh Allah.

"Dan Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Bijaksana." (ujung ayat 110).

Allah Maha Mengetahui, Allah lebih tahu, walaupun maksud-maksud jahat itu mereka dinding dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Akhirnya, kelak apa yang mereka sembunyikan itu akan dibuka juga oleh Allah.

Tetapi Allah pun Bijaksana, sehingga penyakit tekanan batin itu bisa juga diobat, yaitu dengan tobat dan kembali ke dalam jalan yang benar.

Tersebut di dalam satu riwayat bahwa setelah Sayyidina Umar bin Khaththab menjadi khalifah, ada seorang bernama Majma bin Haritsah, bacaannya fasih dan dia bisa menjadi imam jamaah. Maka keluarga Bani Amin bin Auf, yaitu penduduk kampung Quba yang meramaikan Masjid Quba meminta izin kepada beliau agar Majma bin Haritsah itu diizinkan menjadi imam jamaah mereka.

Amirul Mu'minin mulanya tidak memberi izin dia dijadikan imam; sebab dia pernah diangkat kaum munafik itu menjadi imam di Masjid Dhirar itu.

Mendengar larangan itu datanglah Majma menghadap khalifah, lalu berkata,

"Ya Amirul Mu'minin, janganlah lekas saja menyalahkan aku. Demi Allah, memanglah aku pernah shalat menjadi imam mereka, tetapi Allah tahu bahwa aku sendiri waktu itu tidak tahu niat jahat mereka. Aku waktu itu masih kanak-kanak dan bisa membaca Al-Qur'an, sedang mereka itu adalah orang tua-tua yang tidak seorang pun yang pandai membaca Al-Qur'an!"

Mendengar keterangannya yang demikian, dapatlah khalifah memahami dan percayalah beliau akan keterangannya itu, lalu diizinkanlah dia menjadi imam.

Sebab nyata bahwa sebagai seorang anak kecil, dia tidak mengerti duduk soal yang sebenarnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 291-294, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).