Senin

FATWA BUYA HAMKA TENTANG PEMIMPIN KAFIR/NON-MUSLIM MAUPUN MUSLIM (Tafsir Al-Azhar QS. Al-Maidah Ayat 51 dsb).

Berbincang dengan Sukarno usai pelantikan Dewan Konstituante pada 1955. (Sumber: Kenang-kenangan 70 Tahun Buya HAMKA).

Ketua Majelis Ulama -Mufti- Indonesia: Buya HAMKA

mui.or.id/tentang-mui/ketua-mui/buya-hamka.html

MAJELIS ULAMA INDONESIA

"Kita umat Islam ini sudah lama didendami oleh pihak yang berkuasa. Ini adalah sisa-sisa indoktrinasi yang ditanamkan oleh PKI dan Orde Lama. Akibatnya apa pun yang baik yang hendak kita lakukan, selalu dicurigai. Begitu pun kita sendiri secara apriori menganggap segala upaya dan peraturan yang datang dari pemerintah untuk mengatur dan membangun negara, semuanya salah. Kita kehilangan pertimbangan pada setiap apa pun yang datang dari pemerintah." "Kalau begitu alasan Ayah menerima kehadiran Majelis Ulama dan mungkin kesediaan Ayah menerima jabatan Ketua Umumnya adalah politik. Bukankah Ayah selalu mengatakan bukan orang politik?" tanya saya. "Benar kalau hendak dikatakan demikian, tapi kalau orang politik menginginkan jabatan dan kursi itu, karena empuknya kursi itu. Ayah sendiri melihat kursi Ketua Majelis Ulama itu sebagai sebuah kursi listrik, kita akan mati terkena aliran listriknya yang membunuh ..."

(Rusydi Hamka, Pribadi Dan Martabat Buya HAMKA, Penerbit Noura, Cet.I, 2017).

TAUHID YANG KHALIS

Menegakkan agama yang benar, Tauhid yang khalis adalah tujuan hidup kita. Di zaman modern pun orang telah mengakui betapa pentingnya berperang menegakkan ideologi, yaitu cita-cita yang diperjuangkan, haruslah jelas. Perang-perang sebagai di zaman feodal dahulu, yaitu memusnahkan harta benda dan jiwa raga untuk kepentingan seorang raja atau pengeran tidak ada lagi. Perang sekarang ialah perang ideologi. Sepihak ideologi komunis, sepihak lagi ideologi kapitalisme. Mana ideologi menegakkan kepercayaan kepada Allah penguasa seluruh alam?

JANGAN MEMOHONKAN AMPUN UNTUK MUSYRIKIN

"... telah jelas baginya bahwa dia itu musuh bagi Allah ..." (at-Taubah: 113-114).

Tiada Dia bersekutu dalam keadaan-Nya dengan yang lain. Demikian juga tentang mengatur syari'at agama, tidak ada peraturan lain, melainkan dari Dia.

ISLAM SUDAH SANGAT SEMPURNA

"... Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kamu agama kamu ..." (al-Maa'idah: 3).

Dalam hal-hal yang musykil berkenaan dengan urusan dunia, pun telah cukup pula agama memberikan bimbingan. Kenyataan pertama ialah agama murni menurut yang diturunkan dari langit, yang telah cukup dan sempurna, tidak dapat dikurangi atau ditambah lagi. Orang yang menambah-nambah, bernama tukang Bid'ah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 443, Jilid 4 Hal. 304, Jilid 2 Hal. 599-600, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

CAHAYA BARU

Yaitu 12 abad setelah tiadanya Nabi saw. dengan lahirnya Syekh Muhammad ibnu Abdul Wahab, guru besar ajaran Wahabi yang masyhur. "Kembali pada ajaran Rasul saw. yang asli", adalah dasar pengajarannya. Tauhid yang khalis, yang tidak bercampur dengan syirik sedikit juga ke sanalah semua umat harus pulang agar selamat dunia dan akhirat.

MUHAMMAD IBNU SA'UD

Sebuah paham agama yang besar (orang sekarang menyebutnya sebuah ideologi) tidak akan bertumbuh kalau tidak ada kekuasaan. Sebaliknya, suatu kekuasaan tidak bisa kekal kalau tidak mempunyai ideologi yang kokoh. Begitulah tiap pendiri negara yang besar di dunia sejak dahulu, kini dan nanti. Kebesaran Islam yang mengagumkan bukankah karena ideologi yang diterima Muhammad saw. dari Allah, yaitu "Tidak ada Tuhan selain Allah?" Sehingga muncullah niat besar pada orang yang senama dengan Nabi Muhammad saw., yaitu Muhammad ibnu Sa'ud hendak mendirikan kekuasaan untuk menerapkan ajaran gurunya yang senama pula dengan Nabi Muhammad saw., yaitu Muhammad ibnu Abdul Wahab. Maksud itu disampaikannya pada gurunya bahwa ia hendak menegakkan kekuasaan untuk menerapkan ajaran gurunya yang diberi nama Madzhab Salaf. Anjuran itu diterima baik oleh gurunya. Pedang dan Al-Qur'an, yakni pedang dalam tangan Amir Muhammad ibnu Sa'ud dan Al-Qur'an dalam tangan Syekh Muhammad ibnu Abdul Wahab. Mulailah Muhammad ibnu Sa'ud menyiarkan ajaran itu, membongkar Syirik dan Bid'ah di kalangan kabilah yang dipimpinnya dalam kota kecil Dar'iyah.

(Buya HAMKA, Sejarah Umat Islam, Hal. 289, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

ISLAM UNTUK INDONESIA

"Kita, ini hari," tulisnya, "dipandang sebagai 'orang lain', sebagai 'pengacau', sebagai orang yang menumpang dalam Negara ini!"

Dia marah karena mesti merasa kesetiaannya dipertanyakan. Bagaimana pun, umat Islam telah berperan besar dalam perjuangan meraih kemerdekaan, dia menyebut-nyebut para santri yang keluar dari surau untuk maju ke medan perang dan para pemimpin seperti Haji Agus Salim, Sudirman, Syafruddin dan Mohammad Roem.

Di Konstituante, Hamka mengecam Demokrasi Terpimpin sebagai "totalitarianisme" dan menyebut Dewan Nasional Sukarno sebagai "partai negara". Semua upaya Hamka di Konstituante akhirnya sia-sia. Pada Juli 1958, dalam manuver menit terakhir untuk memecah kebuntuan Konstituante, Kepala Staf Angkatan Darat, Abdul Haris Nasution, mengusulkan pemberlakuan kembali UUD 1945 dengan tambahan Piagam Jakarta -- kalimat yang mengandung kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluknya, yang telah ditolak oleh para pendiri negara. Usul itu ditolak melalui pemungutan suara. Pada Juli 1959 Sukarno membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden, menghancurkan sisa harapan akan adanya undang-undang dasar berbasis Islam.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 147-155, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

MUNAFIK

Munafik adalah perangai jahat yang diberi kulit baik. Siapakah orang yang munafik? Orang munafik itu sendiri lebih tahu siapa dirinya. Yaitu orang yang hendak menipu orang lain dia memperdayakannya. Musang yang meminjam bulu ayam yang sudah dibunuhnya, lalu dipakainya untuk menipu ayam lain.

(Buya HAMKA, LEMBAGA HIDUP: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 55, Republika Penerbit, 2015).

MUNAFIK

Jika Tuan bertanya, di mana "sarangnya"?

Mari kita jawab! Carilah dalam diri kita sendiri.

Insting (naluri) kebinatangan kita, keinginan hendak hidup, hendak berkuasa, hendak memiliki, takut mati dan lain-lain yang ada dalam jiwa kita. Semuanya itu akan memungkinkan kita jadi munafik. Itulah guna kecerdasan akal, ilmu pengetahuan di otak dan agama yang benar untuk meneguhkan pendirian, untuk menguatkan karakter yang sehat dan pribadi yang berpotensi. Itulah alat-alat untuk mencegah kita menjadi munafik.

Kita telah melalui perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Bukankah kita bertemu dengan "peristiwa" munafik itu berpuluh, beratus, bahkan beribu kali?

(Buya HAMKA, Bohong Di Dunia, Hal. 49, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2017).

MENYEMBAH SETAN

"Bukankah sudah Aku pesankan kepada kamu, wahai Anak Adam supaya kamu jangan menyembah Setan ..." (Yaasiin: 60).

Akibat dari orang yang menukar persembahan itu, dari menyembah Allah lalu mereka tukar dengan menyembah Setan. Dari menempuh jalan lurus, shirathal mustaqim, mereka tempuh jalan berbelok-belok tidak menentu.

TERTIPU

"Dan telah tertipu mereka oleh kehidupan dunia dan mereka pun telah menyaksikan atas kesalahan diri-diri mereka bahwa sesungguhnya mereka memang telah menjadi orang-orang yang kafir." (al-An'aam: 130).

Untuk menjelaskan pengertian ayat ini, dapatlah kita kemukakan suatu misal yang dapat kita alami sehari-hari. Segolongan kaum Muslimin mendirikan suatu partai agama, yang bercita-cita (ideologi) agar hukum, peraturan dan syari'at Allah berlaku dalam negara mereka. Padahal, negara itu bersifat nasional dan tidak yakin akan peraturan syari'at Islam. Negara itu berdasar sekularisme, yaitu pemerintahan yang sengaja dijauhkan dari segala pengaruh agama. Pada suatu hari, datanglah ajakan pada penganjur partai yang berideologi Islam itu supaya duduk dalam satu kabinet (pemerintahan). Dia akan diangkat jadi menteri, padahal dia tahu kalau dia terus duduk dalam pemerintahan, belumlah mungkin negara itu menegakkan syari'at Islam, malahan akan tetap membuat undang-undang yang jauh dari Islam. Namun, tawaran itu diterimanya juga. Sebab apa? Sebab hidup menjadi penguasa atau menjadi menteri akan mengakibatkan kemewahan, rumah gedung yang indah, mobil yang mengilap dan semua itu karena pangkat dan kedudukan tinggi. Dia simpan cita-cita yang telah dibinanya itu dan diterimanya jabatan karena keinginan pada kemewahan duniawi. Beberapa waktu kemudian terjadi lagi perubahan pemerintahan dan pangkatnya pun jatuh. Dan, cita-cita yang telah direncanakannya beberapa tahun itu belumlah dapat dilaksanakannya sama sekali dalam pemerintahan yang dimasukinya itu. Setelah keluar dari jabatan pemerintahan, dia pun menyesal. Sesudah pekerjaan itu ditinggalkannya, barulah dia menyaksikan sendiri dengan dirinya apa yang menjadi tujuan hidupnya yang sejati tidaklah pernah dicapainya melainkan bertambah jauh. Yang dicapainya hanyalah kemewahan buat dirinya sendiri dan itu pun hanya sebentar. Karena politik berubah, dia jatuh sesudah naik atau dia mati, padahal selama berpangkat dahulu dia tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk menegakkan citanya yang sejati. Dan, cita (ideologi) adalah perjuangan hidup manusia yang sejati. Dia menyangka beruntung, padahal modal aslinya sendiri yang telah hilang dan licin tandas. Tegasnya, mereka akhirnya insaf bahwa mereka telah menempuh jalan yang salah, yaitu meninggalkan jalan shirathal mustaqim, jalan Allah yang lurus, lalu oleh karena perdayaan Setan Manusia dan Jin yang menyebar kata lemak manis, padahal berisi tipuan. Dan setengah dari tipuan itu ialah keenakan dan kemewahan duniawi, lalu cita-cita yang asal mereka tinggalkan. Cita-cita yang asal mereka pandang perkara kecil dan remeh belaka. Peraturan Allah meliputi akan seluruh segi dari kehidupan. Selain dari ibadah untuk diri sendiri, seumpama shalat dan puasa, manusia pun diperintah menjalankan peraturan Allah mengenai masyarakat, mengenai ekonomi, sosial dan politik, serta mengenai negara. Dahulu ketika menerima pangkat dan jabatan, mereka tidak sadar bahwa dengan perbuatannya itu mereka telah menunjukkan bahwa mereka tidak percaya lagi akan peraturan Allah bisa menyelamatkan dunia ini. Dengan membayangkan pengakuan bahwa mereka telah kafir di ujung ayat itu, dapatlah kita memahamkan bahwa kufur itu bukanlah semata-mata karena tidak mengakui adanya rasul saja. Meskipun mengaku bahwa Allah itu ada, padahal tidak meyakini peraturan dari Allah atau memandang bahwa peraturan buatan manusia lebih baik dari peraturan dari Allah, kufurlah orang itu, walaupun mulanya tidak merasa kufur. Jalan pikiran manusia yang sehatlah setelah merasakan berbagai pengalaman yang pahit, yang menginsafkan bahwa dia telah kufur. Barulah setelah maut datang dan tidak dapat dielakkan, ternyata bahwa dunia telah habis begitu saja, tanpa bekas. Dan, setelah datang Hari Mahsyar, hari yang pasti itu, diinsafi bahwa dia kecil tak berharga, lebih hina dari cacing. Waktu itu baru mengaku terus terang, "Aku ini telah kafir!"

PENDIRIAN YANG TEGAS

Di dalam menegakkan pendirian ini, sejak dari langkah pertama sudah mesti berterang-terang, tidak boleh bersembunyi.

Ayat-ayat ini tegas benar menyatakan bahwa Rasulullah saw. harus menyatakan terus terang bahwa dia tidak akan menerima hakim lain selain Allah. Tidak menerima peraturan lain selain peraturan Allah.

Satu waktu orang pun merasa kecewa dengan demokrasi sebab kemerdekaan memilih dan dipilih hanya untuk orang yang kaya, tuan tanah dan ahli-ahli pidato demagogi penipu.

Segala teori yang tidak berdasar atas kepercayaan kepada Allah adalah teori omong kosong atau kedustaan dan kebohongan yang diatur rapi.

Yang kita kemukakan di sini ialah teori-teori manusia mengenai urusan kemasyarakatan atau pemerintahan.

Sudah terang pula kalau sekiranya kaum jahiliyyah tidak menyukai peraturan Allah.

Pada zaman modern sekarang ini, pejuang-pejuang Islam yang ingin mengikuti Sunnah Nabi, yang bercita-cita hendak menegakkan peraturan Allah di dalam alam ini kebanyakan dibenci oleh golongan yang tidak mengenal peraturan Allah itu. Di dalam negeri-negeri Islam sendiri, pejuang Islam dibenci dan menderita berbagai penderitaan jika dia mengemukakan keyakinan hidup, menjelaskan bahwa dia bercita-cita supaya di negerinya, peraturan dan undang-undang negeri harus diambil daripada peraturan dan undang-undang Allah. Ayat yang selanjutnya memberikan ketegasan lagi sehingga kebimbangan pejuang Islam itu dihilangkan,

"Dan jika engkau ikut kebanyakan orang di bumi ini, niscaya akan mereka sesatkan engkau daripada jalan Allah. Karena tidak ada yang mereka ikuti kecuali sangka-sangka. Dan, tidaklah ada mereka selain dari berdusta." (al-An'aam: 116).

KEKAL DALAM NERAKA

"Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat kedustaan atas nama Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya?" (al-A'raaf: 37).

Keduanya ini adalah puncak-puncak kezaliman yang tidak dapat dimaafkan.

Ini bertali dengan ujung ayat 33, yaitu berbicara di atas nama Allah barang yang tidak ada pengetahuan mereka padanya.

Disini terdapat dua keputusan. Pertama, pintu langit tidak terbuka bagi mereka. Kedua, tidak mungkin mereka masuk surga. Menurut Tafsir Ibnu Abbas, tidak ada amalan mereka yang diterima Allah. Dan dalam penafsiran yang lain Ibnu Abbas berkata, tidak terbuka pintu langit buat menerima amal mereka dan doa mereka. Dan dalam riwayat yang lain ditafsirkan lagi oleh Ibnu Abbas bahwa pintu langit tidak dibuka buat menerima ruh mereka setelah mereka mati. Suatu riwayat dari Ibnu Juraij mengumpulkan keduanya, amal tidak diterima dan ruh pun ditolak naik ke langit.

Untuk menjadi peringatan bagi manusia agar jangan mereka sangka mudah-mudah saja masuk surga, setelah pokok kepercayaan kepada Allah itu yang telah dirusakkan dan puncak kezaliman yang telah ditempuh.

"(Yaitu) orang-orang yang memalingkan (manusia) daripada jalan Allah ..." (al-A'raaf: 45).

Jalan Allah adalah jalan lurus. Orang yang bertujuan baik masuk ke dalam jalan itu. Namun, orang yang sekarang kekal dalam neraka ini kala di dunia telah berusaha menarik, menghimbau dan kalau perlu mencoba menghambat jalan lurus itu atau membendungnya sehingga manusia-manusia itu terpelanting ke jalan lain. Kalau diingat lagi janji sumpah Iblis kepada Allah bahwa mereka hendak memperdayakan Adam sampai kepada keturunannya agar mereka terpaling daripada jalan Allah yang lurus (ayat 15). Jelaslah bahwa orang-orang yang zalim ini telah menjadi kaki-tangan Setan. Maka, mereka inilah yang telah disebutkan Allah dalam ayat 18 bahwa mereka bersama Setan Iblis itu akan diambil sepenuh padatnya Jahannam.

TEGASNYA, JALAN YANG LURUS HANYA SATU

"Dan bahwa sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus ... Demikianlah Dia wasiatkan kepada kamu, supaya kamu semuanya bertakwa." (al-An'aam: 153).

Yaitu yang digariskan oleh Allah.

Lain dari jalan yang satu itu, ada lagi bermacam-macam jalan, bersimpang-siur jalan. Yakni jalan yang dibuat Setan atau jalan yang dibuat khayalan Manusia. Jalan Syirik, jalan Khurafat dan jalan Bid'ah. Demikian juga segala maksiat karena menuruti jalan Setan.

PASTI

Apabila kita teguh berbenteng dengan iman, kita akan jadi Hizbullah, golongan Allah dan apabila kita terpedaya oleh Setan kita pasti jadi anggota Hizbusy-Syaitan. Na'udzubillah.

GEMBIRA BUAT YANG MUNAFIK?

Meskipun munafik dan kafir sama-sama masuk neraka, namun tempat munafik adalah di alas yang di bawah sekali. Sebab karena dipandang lebih hina.

KAUM MUSLIMIN TERLALU JUJUR

"Inilah kamu! Kamu kasih kepada mereka, padahal mereka tidak kasih kepada kamu ..." (Aali 'Imraan: 119).

Di dalam merenungkan ayat-ayat ini, teringatlah kita kepada orang-orang munafik pada zaman modern. Dengan lidah yang fasih mereka menyebut nama, "Allah Subhanahu Wa Ta'aala, Muhammad Shalallahu 'alaihi wasallam," dan sebagainya, padahal hatinya sebagai direndang dengan kacang miang kalau kaum Muslimin akan mendapat kemajuan. Kaum Muslimin diserunya supaya bangun, tetapi dia sudi mati dalam kebencian. Ditipunya kaum Muslimin berpuluh, bahkan beratus kali. Kaum Muslimin yang malang tetapi jujur, kalau mendengar nama seseorang yang berjabatan tinggi selalu bertanya, "Apakah si fulan golongan awak juga?" Atau mereka bertanya, "Apakah bapak anu itu shalat?" Demikianlah karena harapnya moga-moga hukum Allah berlaku dalam negerinya, senang benar hatinya kalau ada seorang wazir atau seorang kepala negara diangkat, mudah-mudahan orang itu golongan awak juga. Padahal kemudian mereka bersedih hati karena pengharapan mereka menjadi hampa. Orang yang mereka sangka hendak menegakkan Islam ternyata berusaha meruntuhkannya. Kadang-kadang dia tertipu mendengar namanya. Misalnya dia bernama Amir Syarifuddin, padahal dia seorang Kristen. Atau dia bernama Muhammad Lukman, padahal dia komunis. Atau orang yang memulai perkataan dengan "Assalamu'alaikum," padahal dia penganut Marxisme.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 442, Jilid 3 Hal. 253-423, Jilid 7 Hal. 349, Jilid 2 Hal. 499, Jilid 2 Hal. 56-57, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DOSA YANG LEBIH BESAR DARI DOSA SYIRIK

[4] Mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu). (Al A’raf: 33)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata menjelaskan ayat ini, “... Lalu terakhir Allah menyebutkan dosa yang lebih besar dari itu semua yaitu berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Larangan berbicara tentang Allah tanpa ilmu ini mencakup berbicara tentang nama dan shifat Allah, perbuatan-Nya, agama dan syari’at-Nya.” [I’lamul muwaqqi’in hal. 31, Dar Kutubil ‘Ilmiyah].

muslim. or. id/41186-dosa-yang-lebih-besar-dari-dosa-syirik. html

ULAMA SU' (ULAMA JAHAT)

Memang banyak orang tertipu oleh ulama yang pertama tadi, dengan ulama su'. Karena mereka pandai berhias dengan ilmu-ilmu hafalan. Pandai pula menjadi penarung menghambat masyarakat yang sedang maju. Pandai pula memakai pakaian yang menyerupai orang saleh, untuk memikat harta dan kehormatan. Tetapi tipuan itu tidak akan lama berlaku. Sebab topeng demikian akhirnya mesti terbuka. Mereka tiadakan tahan di dalam, satu saat mesti terlempar ke luar. Atau tertinggal jauh di belakang.

Awaslah wahai kaum muslimin yang hendak memperbaiki nasibnya dalam mengejar kemuliaannya kembali. Peganglah kata ulama. Ikutlah perkataan ulama. Jadikanlah mereka contoh dan teladan dalam mengerjakan agama. Yaitu ulama yang berkidhmat kepada umatnya dan negerinya. Yang hanya berlindung kepada Tuhan dan memegang Sunnah Nabi. Mengikuti jejak jalan Salafus Shalihin yang terdahulu, yang sanggup menghadapi kehendak khaas dan 'aam, dan meninggalkan kehendak nafsunya sendiri.

(Buya HAMKA, LEMBAGA HIDUP: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 362, Republika Penerbit, 2015).

BUYA HAMKA SOSOK TELADAN: Pengawal Akidah Umat

kemenag.go.id/home/artikel/12724

HALANGAN DARI PENGUASA

"Dan demikianlah, telah Kami jadikan pada tiap-tiap negeri beberapa orang-orang besar jadi pendurhaka supaya mereka menipu daya di dalamnya. Padahal, tidaklah mereka menipu daya, melainkan kepada diri mereka sendiri, namun mereka tidaklah sadar." (al-An'aam: 123).

Pada zaman modern ini, pihak-pihak yang berkuasa mudah saja melakukan makar itu dalam mempertahankan kekuasaannya. Orang yang berjuang hendak menegakkan ajaran Nabi Muhammad saw. mendapat berbagai halangan dan rintangan. Cara propaganda yang modern bisa saja membuat suatu cita-cita yang benar dan suci sebagai suatu kejahatan. Keinginan agar hukum Allah berlaku dalam masyarakat dapat saja dituduh sebagai pemberontak dan segala usaha hendak menyingkirkan peraturan Allah dari muka bumi mendapatkan pujian yang besar. Berusaha menegakkan syiar Allah, mengucapkan salam menurut ajaran Muhammad saw. teguh memegang ajaran Al-Qur'an. Sabda dan wahyu Allah, dapat saja dituduh fanatik dan menghalang-halangi kemajuan. Inilah usaha dari "Akaabira Mujrimiha!" Penjahat kaliber besar dalam negeri itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 269, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DENGAN DUTA-DUTA ASING

Datanglah undangan dari Duta Turki di kedutaannya. Ia menyesalkan saya, "Mengapa tidak diteruskan perjalanan ke Turki kalau Tuan sudi ke Turki, dengan segera, saya akan memberi Tuan visa. Bangsa Indonesia sangat dikagumi di Turki, dan Perdana Menteri kami telah menyatakan di hadapan parlemen bahwa perhubungan dengan Indonesia akan diperapat."

Sebagian dari perkataannya yang sangat tersisip di hati saya adalah, "Lanjutkanlah perjalanan ke Turki, wahai Tuan yang mulia. Di Ankara, Tuan akan menyaksikan Turki baru yang ditegakkan di atas reruntuhan Turki lama. Namun, di Istanbul, Tuan akan melihat bukti yang nyata dan jelas bagaimana kami, bangsa Turki, selama 400 tahun memegang kewajiban suci menjaga benteng Islam. Di sana, Tuan akan melihat masjid-masjid yang indah, bekas keimanan kami kepada Tuhan." Dengan berani, saya berkata, "Maafkan saya, Paduka Tuan, jika saya menyinggung perasaan Tuan. Lama sekali tersiar berita bahwa bangsa Turki telah meninggalkan ajaran agama Islam dan menukar undang-undang dasarnya dengan yang baru, serta pemerintahan negeri Tuan hanya kebangsaan saja." Wajah Duta Turki itu kelihatan memerah, timbullah fanatik keturkiannya. Namun, sebagai seorang diplomat, ia dapat menghilangkan perasaannya yang tersinggung itu dengan cepat.

(Buya HAMKA, DI TEPI SUNGAI DAJLAH, Hal. 160-161, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2019).

NEGARA ISLAM, NEGARA TAUHID

Setelah Nabi saw. pindah ke kediamannya yang baru (Madinah), Islam pun menempuh penghidupan yang baru. Di sanalah, terdapat keteguhan dan kekuatan. Di sanalah, mulai didirikan negara yang Nabi saw. cita-citakan yaitu negara Islam, negara Tauhid.

DARUL KUFAR

Tuntunan dari ajaran Islam sendiri pun amat jelas untuk menjadi pegangan mereka. Peraturan Islam membagi negara-negara (dar) kepada tiga macam saja, yakni Darul Islam, Darul Kufar dan Darul Harb. Negeri-negeri yang telah ditaklukkan oleh Islam dan telah dapat didirikan di sana hukum syari'at Islam di bawah pimpinan khalifah dinamakan Darul Islam. Negeri yang belum menerima Islam dan pimpinan tidak pada tangan khalifah Islam, bahkan pada tangan kerajaan yang bukan Islam dinamakan Darul Kufar, dan negeri yang sedang berperang dengan kekuasaan Islam dinamakan Darul Harb (negeri yang sedang berlaku padanya peperangan). Ada peraturan-peraturan yang harus dilakukan oleh seorang Muslim apabila ia tinggal dalam ketiga macam negeri itu. Adapun kalau tinggal di Darul Kufar hendaklah diperhatikan adakah kita sebagai Muslim mendapat kebebasan melakukan ibadah kepada Allah, diusirkah kita dari negeri itu atau tidak. Kalau tidak, bolehlah kita tinggal sementara dalam negeri itu sambil menyebarkan juga paham agama kita tanpa kekerasan. Akan tetapi, kalau keadaan sudah mengizinkan hendaklah selalu berusaha agar negeri itu menjadi Darul Islam.

(Buya HAMKA, Sejarah Umat Islam, Hal. 87, Hal. 515, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

DAJJAL

Yang sebaik-baik kepercayaan ialah tiada menafsirkannya dan tunggu saja, apa pun yang akan terjadi. Selama nama Allah SWT masih bersemayam dalam hati, bagaimanapun besar cobaan dan kebohongan (Dajjal), kita tidak akan kena "dajjal", artinya tidak akan dapat "dibohongi".

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Hal. 338, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

BOHONG DI DUNIA

Ibnu Taimiyah berkata, "Yang salah itu tidak ada hakikatnya."

Orang yang telah membohongi, artinya mengada-ada yang tidak ada, adalah orang yang tidak beres akalnya atau sakit jiwanya. Perlulah orang yang sakit itu diobati sampai sembuh. Dengan kesembuhan itu, hilanglah kedustaan dan itulah yang benar.

Sekian.

(Buya HAMKA, Bohong Di Dunia, Hal. 122, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2017).

DARI HAL FANATIK

Malahan ada yang berani berkata, "Jangan disebut-sebut juga hukum-hukum Islam itu di sini, negeri ini bukan negeri Islam. Negeri ini negeri Pancasila."

Bagaimana sekarang, wahai mereka yang disudut jiwanya masih ada sisa rasa tanggung jawab agama?

Takutkah kalian dituduh fanatik?

Kalau takut lebih baik berhenti jadi orang Islam.

Kalau kalian tidak mau keluar dari Islam, janganlah separuh-separuh.

"Katakanlah (Muhammad), 'Jika bapak-bapak kamu, anak-anak kamu, saudara-saudara kamu, istri-istri kamu, keluarga kamu, dan harta benda yang kamu tumpuk-tumpukkan, dan harta yang kamu takuti akan ruginya, dan rumah kediaman yang sangat kamu senangi semuanya itu lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad pada jalan-Nya, maka berwaspadalah sampai Allah datang dengan keputusan-Nya. Dan, Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.'"

Ayat itu jelas menyuruh kita tegas pendirian, yang cintanya melebihi segala cinta, hanya Allah dan Rasul.

Kita hormat dan cinta kepada manusia kalau mereka menjalankan kehendak Allah dan Rasul.

Ya Allah! Kalau karena cinta kepada-Mu dan Rasul-Mu, bercita-cita agar hukum-Mu berjalan dalam dunia ini, kalau karena berani menentang segala yang batil, kalau itu yang dikatakan fanatik, perdalamlah ya Allah rasa fanatik itu dalam jiwa kami. Matikanlah kami dalam membuktikan cinta kepada Engkau.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 120-123, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI

PENDAHULUAN

"Ketuhanan Yang Maha Esa" bukanlah semata-mata berisi ketakutan (khauf) atas murka-Nya, bahkan ia mengandung harapan (raja') atas hidayah-Nya. Bukan pula semata-mata mengandung kecemasan (rahaban) atas siksa-Nya, bahkan mengandung pula akan kerinduan (raghaban) atas pimpinan-Nya. Hidup yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa ialah hidup yang penuh dengan cinta. Sebab itu apabila negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, pembelaan seseorang kepada negaranya, jadilah ia ibadah, menuntut ridha Allah SWT, tidak sekali-kali mengharap laba duniawi, ganjaran bintang-bintang dan tanda kehormatan, pendeknya tidak karena tertarik oleh benda yang tiada kekal, yang dahulunya tidak ada kemudian ada dan akhirnya lenyap.

Maka berduyun-duyunlah umat Islam melaksanakan revolusi, mengejar maut, laksana lelatu mengejar cahaya lampu, padahal di sana ada kematian.

"Mati karena percintaan adalah tanda cinta yang sejati."

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 7, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

HAK UMAT ISLAM

Undang-Undang Dasar 1945 adalah berjalin berkelindan dan dijiwai oleh Piagam Jakarta yang mengakui Hak Umat Islam menjalankan Syari'at Islam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 303, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JAKARTA CHARTER (PIAGAM JAKARTA)

Presiden Soekarno menyebutkan bahwa "Jakarta Charter" itu memang menjiwai UUD '45.

Ternyata, sebagian besar dari penantang "Ideologi Islam" di zaman hebatnya pertentangan ideologi itu, ialah penganut agama Islam sendiri.

-Disampaikan oleh Prof. DR. HAMKA sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dalam Pertemuan dengan Wanhankamnas pada 25 Agustus 1976.

(Rusydi Hamka, Pribadi Dan Martabat Buya HAMKA, Penerbit Noura, Cet.I, 2017).

HALANGAN DARI PENGUASA

"Dan demikianlah, telah Kami jadikan pada tiap-tiap negeri beberapa orang-orang besar jadi pendurhaka supaya mereka menipu daya di dalamnya. Padahal, tidaklah mereka menipu daya, melainkan kepada diri mereka sendiri, namun mereka tidaklah sadar." (al-An'aam: 123).

Liyamkuru fiha, kita artikan karena hendak membuat tipu daya di dalamnya, yaitu di dalam negeri itu. Yamkuru ialah dari kata "makar", kita artikan tipu daya, Di dalam bahasa hukum, dalam bahasa Indonesia modern, kata-kata makar itu telah diambil alih dan dijadikan bahasa Indonesia. Segala tindak pidana untuk maksud yang jahat di dalam bahasa hukum di Indonesia disebut makar. Dalam maksud asalnya disebut maksud makar. Makar ialah segala tipu daya dan telah buat memalingkan seseorang dari tujuan yang dimaksudnya pada tujuan yang lain, baik dengan perbuatan maupun dengan ucapan-ucapan yang manis. Dan, dipakai untuk memalingkan orang dari yang benar pada yang salah, dari yang baik pada yang jahat.

Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa dalam perjuangan menegakkan agama Allah, janganlah heran apabila mendapat hambatan dan gangguan dari orang-orang terkemuka di negeri itu. Sebab, yang begitu selalu terjadi di tiap-tiap negeri jika ada orang yang bermaksud baik dan bercita-cita mulia. Mereka itu selalu berbuat makar dengan segala tipu daya akal busuk menyalahartikan segala maksud yang baik itu dan bekerja keras membelokkan tujuannya. Dan, ayat ini menjadi pedoman bagi umat Muhammad hingga ke akhir zaman, apabila mereka bermaksud akan menegakkan agama yang haq. Halangan pasti ada. Yang menghalangi bukan sembarang orang, bahkan orang-orang terkemuka di negeri itu.

Pada zaman modern ini, pihak-pihak yang berkuasa mudah saja melakukan makar itu dalam mempertahankan kekuasaannya. Orang yang berjuang hendak menegakkan ajaran Nabi Muhammad saw. mendapat berbagai halangan dan rintangan. Cara propaganda yang modern bisa saja membuat suatu cita-cita yang benar dan suci sebagai suatu kejahatan. Keinginan agar hukum Allah berlaku dalam masyarakat dapat saja dituduh sebagai pemberontak dan segala usaha hendak menyingkirkan peraturan Allah dari muka bumi mendapatkan pujian yang besar. Berusaha menegakkan syiar Allah, mengucapkan salam menurut ajaran Muhammad saw. teguh memegang ajaran Al-Qur'an. Sabda dan wahyu Allah, dapat saja dituduh fanatik dan menghalang-halangi kemajuan. Inilah usaha dari "Akaabira Mujrimiha!" Penjahat kaliber besar dalam negeri itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 268-269, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

POLITIK

Masjid adalah lembaga tempat pertumbuhan politik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 220, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SEMANGAT BERJIHAD MENJADI BERGELORA

Saya terangkan dengan sejelas-jelasnya bagaimana orang berkhutbah menurut ajaran Nabi Muhammad saw. yang membuat semangat berjihad menjadi bergelora.

Terima kasih.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 456, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Di mata Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) K.H.A. Syaikhu dalam buku HAMKA Di Mata Hati Umat, HAMKA menempatkan dirinya tidak cuma sekedar pimpinan Masjid Agung Al-Azhar atau organisasi Muhammadiyah saja, tetapi juga sebagai pemimpin umat Islam secara keseluruhan, tanpa memandang golongan.

sukabumikota.kemenag.go.id/file/dokumen/D000598.pdf

PERISTIWA SEBELUM PEMBERONTAKAN CILEGON

Apa artinya menjadi orang Islam, di tanah air sendiri pula, apabila perbuatan musyrik mendapat perlindungan dari pemerintah.

(Buya HAMKA, DARI PERBENDAHARAAN LAMA: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Hal. 92, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2017).

Ketua MPR Ajak Da'i Teladani Buya HAMKA

antaranews.com/berita/586911/ketua-mpr-ajak-da’i-teladani-buya-hamka

PEMBERONTAKAN DI LHOKSEUMAWE

"HAMKA San! Apakah perbedaan di antara agama Islam yang dipeluk orang di Aceh dengan yang dipeluk orang di sini dan di tempat lain?" "Kenapa begitu Tuan Besar?" "Kemarin (11 November) telah terjadi hal yang sangat menyedihkan hati di Bayu, dekat Lhokseumawe di Aceh. Seorang guru Islam telah melawan Dai Nippon. Tentu Islamnya berbeda dengan Islam di tempat lain?" "Saya rasa tidak, Tuan!" Tyokan terkejut mendengar jawaban itu. "Jadi kalau tidak berlainan, tentu orang Islam yang lain juga anti-Jepang. HAMKA San juga anti-Jepang dalam hati! Yah, saya sudah belajar dari Tuan, orang Islam mempunyai pikiran supaya mendirikan Kerajaan Islam. HAMKA San tak usah sembunyi-sembunyi." "Tentang niat untuk mendirikan Pemerintahan Islam memang ada dalam ajaran Nabi saw. ..."

(Buya HAMKA, KENANG-KENANGAN HIDUP, Hal. 304-305, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2018).

TAJDID DAN MUJADID

Ahli-ahli fiqih ketika menguraikan maksud hadits tentang mujadid ini mereka berkata bahwa yang dimaksud dengan mujadid ialah orang-orang yang menghidupkan kembali Sunnah Nabi, setelah nyaris hilang ditimbuni oleh perbuatan Bid'ah yang datang kemudian. Abdullah bin Mas'ud, salah seorang sahabat Rasulullah saw. yang terkemuka dalam pengetahuan tafsir dan hadits, pernah membayangkan bahaya orang yang meninggalkan Sunnah Rasul itu demikian, "Bagaimana sikap kalian bila datang waktunya negeri diserang suatu fitnah, yang anak-anak kecil terdidik dengan ia, dan orang tua telah tua dengan ia, perbuatan Bid'ah telah dijadikan orang jadi Sunnah, dan kalau ditegur mereka marah dan mereka katakan bahwa Sunnah telah berubah." Lalu, orang bertanya kepada beliau, "Bilakah akan kejadian hal yang demikian itu dan apakah tandanya?" Beliau menjawab, "Hal seperti itu akan kejadian kalau telah banyak yang hanya pandai membaca, tetapi sedikit yang pandai memahamkan (fuqahaukum), banyak yang memegang kuasa, tetapi sedikit yang dapat dipercaya, dan orang mencari keuntungan duniawi dengan berselubungkan amal akhirat, dan orang yang memperdalam pengetahuannya tentang agama bukan untuk agama." Di saat-saat seperti demikianlah datangnya mujadid, yaitu orang-orang yang berani membuka mulutnya menyatakan, "Stop penyelewengan itu!"

Itulah orang-orang yang telah mempertaruhkan segenap jiwa raganya untuk tegaknya kebenaran Tuhan, untuk terpeliharanya keaslian kebenaran Tuhan Allah dan Sunnah Rasulullah, la yakhaafu fillahi laumata laimin di dalam mempertahankan kemurnian dari orang yang hendak membencanakan. Mungkin satu orang di pangkal kurun, mungkin juga berdua dan bertiga. Mungkin berpuluh. Apalagi Dunia Islam telah meluas. Mungkin ada mereka di tanah Arab dan di tanah Iran, di India ataupun di Indonesia. Kadang-kadang mereka tegak seorang diri menyampaikan seruan kebenaran yang disambut dengan cemooh dan lemparan batu. Kadang-kadang mereka jadi korban, dibuang, dihukum, bahkan disingkirkan oleh pihak yang berkuasa.

Khalifah yang berempat (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali) dalam rangkaian sejarah yang ditulis oleh Brookelman, Orientalis Barat yang terkenal, disebut khalifah yang ortodoks atau Salaf. Orang boleh mengartikan ortodoks itu kolot, tetapi kepada semangat dan intisari yang ortodoks itulah tajdid sekarang ini hendak kembali. Gerakan Muhammadiyah serta segala gerakan tajdid yang lain, baik di Indonesia maupun di luarnya, hendak kembali kepada Sunnah Rasul itulah yang jadi tujuan. Bukan menyelewengkan Islam dari pangkalnya karena sok modernisasi.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 22-30, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

TOBAT NASUHA

Oleh Universitas Muhammadiyah, Soekarno diberi gelar "Doctor Honoris Causa" dalam ilmu Tauhid. Sampai profesor dan sarjana perempuan yang kita banggakan, Ny. Bararah Baried menjadi promotor. Namun, di saat itu juga Allah menunjukkan bahwa Dia tidak ridha atas perbuatan itu. Sebab dalam promosinya, Bung Karno sendiri menganjurkan supaya orang ziarah ke kubur ibu atau bapaknya, meminta supaya ibu atau bapaknya itu menyampaikan permohonannya kepada Allah agar Allah memberikan pertolongan kepada yang meminta. Padahal, itulah yang oleh kalangan Muhammadiyah diberantas selama 54 tahun sampai sekarang ini. Itulah yang dikatakan "At-Tawassul wal Wasilah" yang dikarang oleh al-Imam Ibnu Taimiyyah. Buku "At-Tawassul wal Wasilah" ini adalah salah satu buku pegangan kaum mubaligh dan ulama Muhammadiyah. Inilah program pertama Muhammadiyah sejak ia berdiri, yaitu memberantas kemusyrikan.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 158, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

"Ibnu Taimiyah Nusantara." (Riwayat Hidup HAMKA - Dr Rozaimi Ramle).

youtube.com/watch?v=irIWCrvw9Hw

"HAMKA - The Single Fighter." (Dato Dr Asri).

youtube.com/watch?v=Wio8_VMDGsU

KEMURKAAN-KU DAN KEMURKAANMU!

"Demikianlah kamu karena apabila diseru Allah sendiri saja, kamu kafir. Dan jika Dia dipersekutukan, kamu pun beriman. Maka keputusan hukum adalah pada Allah Yang Maha Tinggi, Maha Besar." (al-Mu'min: 12).

Ditutup ujung ayat dengan ketegasan ini supaya jelas bagi kaum musyrikin bahwa keputusan terakhir tetap pulang kepada Allah jua, sebab Yang Maha Kuasa, Maha Tinggi hanya Allah, Yang Maha Besar hanya Allah, tidak ada berhala, tidak ada al-Laata, tidak ada al-Uzza, tidak ada Manaata dan yang lain. Jika di zaman sekarang tidak ada kubur keramat, wali anu dan keramat anu. Omong kosong!

"Tidak ada yang mereka seru selain dari Dia, melainkan perempuan-perempuan dan tidaklah mereka seru, melainkan Setan yang durhaka." (an-Nisaa': 117).

Kita pun mengenal kepercayaan yang karut ini pada kaum penyembah berhala yang lain. Di samping dewa-dewa mereka pun percaya adanya dewa-dewi. Mereka menamai bumi ini Ibu Pertiwi. Menurut kepercayaan jahiliyyah di Indonesia bahwasanya padi yang menjadi makanan pokok kita berasal dari Dewi yang bernama Sang Hyang Sri. Dia pun perempuan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 85, Jilid 2 Hal. 461, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

UMAT YANG SATU

"Sesungguhnya ini adalah umat kamu, umat yang satu. Dan Aku adalah Tuhan kamu, maka sembahlah Aku. Tetapi telah mereka pecah-belahkan urusan di antara mereka. Sekalian mereka itu kepada Kamilah akan kembali. Maka, barangsiapa yang mengamalkan sebagian dari amal-amal yang saleh, sedang dia pun beriman, maka tidaklah akan tersia-sia apa yang diusahakannya. Dan sesungguhnya Kami terhadapnya adalah mencatat." (al-Anbiyaa': 92-94).

Menurut tafsiran dari Ibnu Abbas, Mujahid, Said bin Jubair, Qatadah dan Abdurrahman bin Aslam, arti pangkal ayat ini ialah "Agama kamu pada hakikatnya adalah agama yang satu." Hasan al-Bishri mengartikan "Sunnah kamu, atau jalan yang kamu tempuh adalah hanya satu jalan." Hal ini difirmankan oleh Allah sesudah menyebutkan nama beberapa orang Nabi dengan berbagai ragam perjuangannya. Disebut Musa dan Harun. Diuraikan tentang Ibrahim dan Luth, Isma'il dan Ya'qub, Idris dan Dzulkifli, Dawud dan Sulaiman, Yunus dan Zakariya, Maryam dan putranya, semuanya telah diterangkan. Akhirnya dijelaskan bahwa semuanya ini adalah umat yang satu.

Tegasnya, sama membawa satu ajaran, yaitu menyembah kepada Allah yang Maha Esa, yang tidak ada serikat bagi-Nya, meskipun syari'at dapat berubah-ubah sesuai kondisi zaman. Ajaran yang dibawa hanya satu saja pada pokoknya, yaitu menyuruh manusia agar menyembah kepada Allah yang Satu, dengan sendirinya mereka pun jadi umat yang satu. Karena kalimat Tauhid itu dengan sendirinya menimbulkan Tauhidul Kalimah, kata yang satu menimbulkan kesatuan kata.

PECAH-BELAH

Kesatuan umat karena kesatuan ajaran aqidah menjadi hilang. Mereka menjadi berpecah-belah, porak-poranda. Sebab tempat tujuan tidak yang satu lagi, yaitu Allah. Mereka mulai menyembah benda, menyembah berhala, menuhankan raja, musyrik, mempersekutukan alam buatan Allah dengan Allah sendiri.

Orang berpecah-belah adalah karena memperturutkan hawa nafsu masing-masing atau karena mau menang sendiri. Demikianlah tiap-tiap rasul diutus Allah SWT membawa satu seruan, satu dakwah. Manusia tidak semua mau menerima. Ada yang menerima dan banyak pula yang menolak. Didustakannya rasul-rasul itu. Namun baik yang menerima atau menolak, pasti kembali ke hadirat Allah, tegasnya pada hari Kiamat. Semua akan mendapat ganjaran sesuai dengan amalnya.

Dengan penutup ayat ini terobatlah hati orang beriman dan beramal saleh. Sebab banyak amal saleh tidak tercatat oleh sesama manusia. Ada yang memang lupa dan ada yang sengaja dibuat supaya dilupakan. Ada yang orang takut menyebutnya atau menyiarkannya meskipun yakin akan kebenarannya, sebab orang yang berjasa itu sedang dibenci oleh pihak yang berkuasa. Ada pula yang hitam dikatakan putih, yang hijau dikatakan merah, karena hendak mempertahankan kekuasaan. Cobalah misalnya perhatikan bagaimana bunyi sejarah hidup Muhammad Hatta tokoh Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menurut susunan kaum komunis! Atau jasa Islam tidak ada dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Indonesia menurut yang disusun oleh golongan-golongan yang sejak semula tidak senang kalau-kalau pengaruh Islam bertambah besar.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 81-83, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IMAN SEPUHAN

Hukum Allah mengatasi segala hukum. Kalau aku berkuasa dan bisa menciptakan hukum, yang terlebih dahulu aku pikirkan ialah bagaimana supaya hukum itu jangan mengenai diriku. Dan kalau aku masuk dalam satu partai, dan partaiku menguasai negara, lalu mencipta hukum, maka yang lebih dahulu aku pikirkan ialah bagaimana supaya hukum yang diciptakan oleh partaiku itu dapat membungkamkan partai yang kami kalahkan. Selama dunia masih dunia yang ini juga, dan selama manusia masih manusia yang ini juga, kepentingan hukum tidak akan beranjak dari kepentingan golongan yang berkuasa. Sebab itu wajiblah ada hukum yang tertinggi, yang mutlak adil. Itulah hukum Allah SWT. Itulah hukum yang tidak berpilih kasih dan itulah hukum yang tidak untuk kepentingan golongan sendiri. Oleh sebab itu maka pada ayat 50 dijelaskan, bahwasanya orang-orang yang tidak rela menerima hukum Allah dan Rasul, atau melaksanakan suruhannya dan menghentikan larangan, adalah orang yang aniaya, orang yang zalim.

TRADISI BELANDA

Setiap orang yang akan diberi jabatan tinggi disumpah terlebih dahulu, bahkan di negeri kita ini diadakan pula tradisi, bahwa setiap orang yang tengah disumpah itu, di belakangnya berdiri seorang haji mengangkat sebuah kitab suci Al-Qur'an, yaitu tradisi yang diwarisi dari Belanda dan diteruskan oleh pemerintah kita, dan sekali-kali tidak ada dari Nabi Muhammad saw. ataupun dari para sahabatnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 320, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

INTI TAUHID

Rasul sekali-kali tidak membuat jalan sendiri.

TAAT KEPADA ALLAH DAN RASUL

Kewajiban engkau adalah semata-mata menyampaikan perintah, bukan turut menentukan hukum dengan kehendak sendiri dan bukan pula berkuasa buat membela dan memelihara mereka.

SYIRIK

Inilah yang pokok dari ad-Din, agama, yaitu mengakui adanya Tuhan dan Tuhan itu hanya satu. Tidak ada yang lain yang berserikat atau yang bersekutu dengan Dia, baik dalam ketuhanan-Nya maupun dalam kekuasaan-Nya. Segala dosa bisa diampuni, namun syirik tidak! Inilah pokok pegangan.

JANGAN MEMOHONKAN AMPUN UNTUK MUSYRIKIN

Tiada Dia bersekutu dalam keadaan-Nya dengan yang lain. Demikian juga tentang mengatur syari'at agama, tidak ada peraturan lain, melainkan dari Dia.

MADZHAB YANG BENAR DARI AHLI SUNNAH WAL JAMAAH (ASWAJA)

AYAH BUNDA RASULULLAH SAW.

Seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah saw., "Di mana ayahku, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Di neraka!" Setelah orang yang bertanya itu berdiri hendak pergi, dia dipanggil oleh Rasulullah saw. dan beliau bersabda, "Sesungguhnya bapakku dan bapak engkau di neraka!" (HR. Muslim). Lalu ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam syarah-nya, "Di sini jelas bahwa barangsiapa yang meninggal dalam keadaan kafir maka masuk nerakalah dia dan tidaklah bermanfaat baginya karena kerabat (kekeluargaan). Dan di dalam hadits ini pun dapat dipahamkan bahwa orang yang mati dalam zaman fitrah dalam keadaan apa yang dipegang oleh orang Arab, menyembah berhala, dia pun masuk neraka. Dan ini tidaklah patut diambil keberatan yang mengatakan bahwa belum sampai kepada mereka dakwah karena kepada mereka sudahlah sampai dakwah Ibrahim dan Nabi-nabi yang lain. Dan Nabi saw. mengatakan ayahku dan ayahmu dalam neraka, ialah untuk menunjukkan pergaulan yang baik dan pengobat hati yang bertanya karena sama-sama dalam menderita sedih." Demikian syarah (komentar) Imam Nawawi. "Memohon izin aku kepada Tuhanku hendak memintakan ampun untuk ibu, tetapi tidak diberi izin kepadaku. Lalu aku mohon izin hendak menziarahi kuburnya lalu aku diberi izin." (HR. Muslim). Malahan dalam hadits yang lain diterangkan bahwa beliau sampai menangis di kubur itu dan memberi anjuran umatnya supaya ziarah ke kubur untuk mengingat mati.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 47, Jilid 2 Hal. 374-375, Jilid 2 Hal. 317-318, Jilid 4 Hal. 304, Jilid 3 Hal. 190-191, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SEGALA MACAM ISME KECUALI ISLAM

Sukarno tidak keberatan berangkul-rangkulan dengan Komunis, asal Islam jangan tampil ke muka. Pejuang-pejuang di Konstituante adalah saksi yang nyata tentang sekularisme yang berarti memencilkan Islam. Seketika Front Islam memperjuangkan agar ditambahkan pada UUD kalimat Piagam Jakarta, "Dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluknya sebagai ayat B dari negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa." Oleh karena itu, seluruh ideologi, golongan dan partai, mulai dari PKI, PNI, PSI hingga Partindo dan Murba serta IPKI bersatu menolaknya. Artinya, segala ideologi boleh berkembang dan boleh dicobakan. Hanya satu yang disoroti dan selalu dipandang berbahaya, yaitu ideologi Islam yang jantan dan konsekuen hendak menegakkan Sunnah Nabi saw. Kalian boleh menyebut Islam, tetapi jangan Islam yang diajarkan Rasul, jangan Daulah Islamiyah, jangan Syari'at Islam! Kalian juga boleh duduk dalam pemerintah asal Islam kalian simpan, jangan diperjuangkan. Hendak harta kami beri harta, hendak pangkat kami beri pangkat, tetapi kekuasaan tidak ada di tangan kalian.

ANTARKAN KE KUBURAN

Apabila Ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh umat Islam itu. Kocongkan kain kafannya, lalu masukkan ke dalam Keranda dan antarkan ke Kuburan.

(Buya HAMKA, GHIRAH: Cemburu Karena Allah, Hal. 56-57, Hal. 14, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Buya HAMKA adalah seorang ulama, politisi dan sastrawan besar yang dihormati dan disegani di kawasan Asia hingga Timur Tengah.

Pengabdian dan pengorbanan Buya HAMKA dalam membangun kesadaran umat Islam mendapat apresiasi dari Pemerintah berupa gelar Pahlawan Nasional pada Tahun 2011.

kebudayaan.kemdikbud.go.id/buya-hamka-sosok-suri-tauladan-bermulti-talenta

KLIK DISINI: PIAGAM JAKARTA, UUD 1945, KONGRES KHILAFAH: UTUSAN-UTUSAN KITA

KESATUAN ATAU PERSATUAN UMAT ISLAM

Seorang pemuda dengan semangat pernah menyerang penulis dengan rangkaian pertanyaan yang bertubi-tubi, berisi kejengkelan dan kemurkaan. Sebagian dari kata pemuda tersebut ialah bahwa sekarang tengah "dibina" yang namanya Orde Baru yang demokratis, dan dihancurkan Orde Lama yang serba otoriter dan berbau komunis, sedang pemimpin-pemimpin Islam masih berpecah-belah dan partai-partai Islam masih saja bercakar-cakaran. Yang satu mengatakan ia-lah yang benar, sedang partai politik Islam yang lain adalah salah. Ada pula yang merasa takut, sebagaimana takutnya perempuan penuh takhayul kepada hantu, mendengar suara yang santer meminta supaya Masyumi direhabilitasi. Sementara itu, orang-orang Masyumi sendiri masih saja gigih memperjuangkan agar partainya direhabilitasi kembali.

Sejarah di zaman Nabi telah menunjukkan bahwa ada golongan Muhajirin dan golongan Anshar. Dalam Muhajirin ada golongan Bani Hasyim dan ada golongan Bani Umayyah. Dalam golongan Anshar ada puak Aus dan ada puak Khazraj. Semuanya berlindung di bawah naungan kalimat "La ilaaha illallaah, Muhammadur Rasuulullaah." Jika terjadi peperangan dengan musuh, Nabi saw. membagi-bagi bendera (vandel) untuk tiap-tiap golongan tersebut, dan masing-masing mempertahankan benderanya jangan sampai jatuh ketika berhadapan dengan musuh. Persatuan kaum Muslimin Indonesia pasti tercapai sebab kamu, wahai pemuda, telah bangkit. Jiwamu yang bebas merdeka tidak bisa lagi dijadikan objek oleh golongan-golongan tua. Karena itu, menataplah ke depan.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 198-202, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

"Ya Tuhanku, penuhilah apa yang engkau janjikan kepadaku. Ya, Tuhanku, jika binasa rombongan Ahlul Islam ini tidaklah akan ada lagi orang yang akan menyembah-Mu di muka bumi ini!" (HR. Muslim, Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi).

MENUHANKAN GURU

"Telah mereka ambil guru-guru mereka dan pendeta-pendeta mereka menjadi Tuhan-Tuhan selain Allah ..." (at-Taubah: 31).

Menurut riwayat dari Imam Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Jarir yang diterima dari beberapa jalan riwayat dari Adi bin Hatim. Ringkasan cerita ialah begini, "... Rasulullah saw. menjawab, 'Bahkan! Karena sesungguhnya pendeta-pendeta itu mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, lalu mereka ikuti saja. Itulah yang dinamai mereka beribadah (memuja) kepada pendeta-pendeta itu.'"

Imam ar-Razi dalam tafsir beliau Mafatihul Ghaib, "Kebanyakan ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Arbab (Tuhan-Tuhan) terhadap pendeta itu bukanlah bahwa mereka berkepercayaan bahwa pendeta yang menjadikan alam ini, tetapi bahwa mereka patuhi segala perintah dan larangan mereka!" Berkata ar-Rabi', "Aku bertanya kepada Abul Aliyah, 'Bagaimana artinya Bani Israil mempertuhan pendeta itu?' Dia menjawab, 'Kadang-kadang mereka bertemu sesuatu dalam Kitab Allah, berbeda daripada yang dikatakan oleh guru-guru dan pendeta-pendeta mereka, maka kata-kata guru-guru dan pendeta-pendeta itulah yang mereka patuhi dan tidak mereka terima hukum Kitab Allah.'"

Jangan sampai sebagai yang diisyaratkan oleh Abul Aliyah kepada muridnya ar-Rabi' itu bahwa tersesatnya Bani Israil ialah karena mereka meninggalkan hukum Kitab Allah karena memandang sabda ulama lebih dari hukum Allah.

Termasuk juga dalam rangka ini, yaitu menganggap ada kekuasaan lain di dalam menentukan ibadah selain daripada kekuasaan Allah, ialah menambah-nambah ibadah atau wirid, doa dan bacaan pada waktu-waktu tertentu yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul saw. Ibadah tidak boleh ditambah dari yang diajarkan Rasul saw. dan tidak boleh dikurangi. Menambah atau mengurangi, memaksa-maksa dan berlebih-lebihan dalam ibadah adalah ghuluw. Dan, ghuluw adalah tercela dalam syari'at. Sama pendapat (ijma) sekalian ulama mencela perbuatan itu. Inilah dia Bid'ah!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 131-137, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENGHADAPI HARI KIAMAT

"Maka serulah Allah dalam keadaan memurnikan agama kepada-Nya, walaupun tidak merasa senang orang-orang yang kafir." (al-Mu'min: 14).

Kalau Rasulullah saw. diwajibkan memegang pendirian setegas itu menghadapi musyrikin Quraisy dahulu kala, maka pengikut Muhammad sampai di akhir zaman wajib pula mempertahankan pendirian itu. Agamanya murni untuk Allah saja. Kadang-kadang mereka bertemu dengan penyembah-penyembah berhala model lain; berhala tanah air, berhala diktator, berhala mendewa-dewakan pemimpin, berhala kultus individu, bahkan berhala menyembah dan memuja kubur-kubur, sampai menjadi mata pencarian. Maka hendaklah seorang Mukmin Muslim dengan tegas menegakkan keyakinannya bahwa agama adalah murni untuk Allah semata-mata, walaupun untuk itu dia akan dibenci orang. Walaupun yang membencinya itu mengaku Islam juga! Karena mereka telah mengotori Tauhid, ikhlas dan Muslim (menyerah bulat kepada Allah) dengan memberhalakan kubur-kubur.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 87-88, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DENGAN KEWAJIBAN MENJALANKAN SYARI'AT ISLAM BAGI PEMELUKNYA

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin, sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka pemimpin di antara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah tergolong dari mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (al-Maa'idah: 51).

Sebagaimana pernah terjadi di Bandung pada masa Republik Indonesia telah memilih Anggota Badan Konstituante. Wakil-wakil partai-partai Islam ingin agar di dalam Undang-Undang Dasar yang akan dibentuk itu dicantumkan tujuh kalimat, yaitu, "Dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluknya." Maka seluruh partai yang membenci cita-cita Islam itu sokong-menyokong, pimpin-memimpin, beri-memberi, menentang cita-cita itu, walaupun di antara satu sama lain berbeda ideologi dan berbeda kepentingan. Dalam menghadapi Islam mereka bersatu. Bersatu Katolik, Protestan, partai-partai nasional, partai sosialis dan partai komunis.

Suku ayat ini amat penting diperhatikan. Yaitu barangsiapa yang mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya, tandanya dia telah termasuk golongan mereka, artinya telah bersimpati kepada mereka. Tidak mungkin seseorang yang mengemukakan orang lain jadi pemimpinnya kalau dia tidak menyukai orang itu. Meskipun dalam kesukaannya kepada orang yang berlain agama itu, dia belum resmi pindah ke dalam agama orang yang disukainya itu. Menurut riwayat dari Abd Humaid, bahwa sahabat Rasulullah saw. yang terkenal Hudzaifah bin al-Yaman pernah berkata, "Hati-hati tiap-tiap seorang daripada kamu, bahwa dia telah menjadi Yahudi atau Nasrani, sedang dia tidak merasa." Lalu dibacanya ayat yang sedang kita tafsirkan ini, yaitu kalau orang telah menjadikan mereka itu jadi pemimpin, maka dia telah termasuk golongan orang yang diangkatnya jadi pemimpin itu.

Maka, orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya. Sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasal dari zhulm, artinya gelap. Mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari dalam jiwa mereka. Mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh pribadi. Padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan Allah bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah mereka ridha sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka. Mereka itu bisa senang pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman mereka. Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian. Sebab umat Islam yang memegang teguh Tauhid, selama-lamanya akan menyimpan dendam dalam hati, sampai mereka mendapat kemerdekaan kembali. Dan orang yang jiwanya dipimpin oleh Yahudi dan Nasrani itu akan tetap menjadi kudis dan borok di hadapan mata mereka.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 715-717, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

UKHUWAH ISLAMIYYAH

"Muhammad adalah utusan Allah! Dan orang-orang ada besertanya bersikap keras terhadap orang-orang yang kafir, sayang-menyayangi di antara sesama mereka ..." (al-Fath: 29).

Inilah pedoman hidup dan pedoman perjuangan bagi kaum Muslimin dalam menghadapi dunia. Kita mengakui kerasulan beliau ialah dengan konsekuensinya sekali, akan meniru meneladan langkah, mencontoh sepak terjangnya, menjunjung tinggi Sunnahnya. Muhammad Rasulullah itu adalah laksana cahaya yang memberikan terang bagi kita buat melanjutkan perjuangan ini. Buat melanjutkan jihad ini! Apabila kalimat ini telah dimulai dengan "Laa Ilaha Illallah" disusul dengan "Muhammadur-rasulullah" tersimpullah seluruh kehidupan Muslim kepada dua kata itu. Hidup menurut kehendak Allah dan mati pun menurut kehendak-Nya dari Dia datang dan kepada-Nya kembali. Bagaimana agar supaya seluruh kehidupan itu menempuh jalan yang benar, yang diridhai oleh Allah hendaklah menuruti contoh teladan yang ditinggalkan oleh Nabi. Untuk kehidupan seperti ini akan timbullah orang-orang yang sepaham, seaqidah, sehaluan dan setujuan. Itulah yang bernama umat. Maka umat ini diberi lagi nama yang tegas, yaitu umat Islam!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 406-407, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IMAN, HIJRAH DAN JIHAD

Darul Islam ialah yang di sana telah berlaku hukum dan Syari'at Islam. Darul Fisq, yaitu yang di negeri itu telah leluasa saja kemaksiatan, korupsi, kejahatan sehingga pemerintahan negeri itu sendiri pun tidak berwibawa lagi. Adapun Darul Harb ialah negeri yang dalam berperang. Ingatlah tujuan hidup menyelamatkan jalan Allah. Kalau perlu jangan hijrah, melainkan menyusun kekuatan apa yang ada, dengan teman-teman yang sepaham, guna memperjuangkan terus cita-cita Islam di tempat kediaman sendiri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 417-420, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Tidak ada kawan yang bisa dipercayai kalau dia tidak takut kepada Allah."

Sekian fatwa Sayidina Umar bin Khaththab.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 387, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

KEBOHONGAN HIDUP

"Dan setengah dari manusia ada yang menjual dirinya karena mengharapkan keridhaan Allah. Dan, Allah adalah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya." (al-Baqarah: 207).

Keringatnya yang mengalir akan diseka oleh Malaikat, air matanya yang meleleh di pipinya akan dihapus dan darahnya yang menyiram membasahi bumi akan jadi saksi atas kebenaran perjuangannya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 391, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DI SINI TIDAK ADA LAKI-LAKI

"Mereka lebih senang bahwa ada mereka bersama-sama perempuan-perempuan yang tinggal dan telah dicap atas hati mereka. Maka tidaklah mereka mengerti." (at-Taubah: 87).

Sangat keras pukulan pangkal ayat ini kalau si munafik itu ada perasaan. Senang hati mereka tinggal bersama perempuan-perempuan. Apakah tidak ada lagi pada mereka perasaan sebagai laki-laki? Padahal laki-laki beriman harus bersemangat jantan, gagah berani, tak takut mati dan menggentarkan musuh.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 242, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MEMILIH PIMPINAN

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu ambil akan orang-orang kafir menjadi pemimpin ..." (an-Nisaa': 144).

Orang yang beriman tidaklah akan menyerahkan pimpinan kepada orang kafir ataupun kepada orang munafik.

"Sesungguhnya orang-orang yang munafik itu, adalah di tingkat yang paling bawah dari neraka. Dan sekali-kali tidak akan engkau dapati untuk mereka satu penolong pun." (an-Nisaa': 145).

"Kecuali orang-orang yang telah tobat dan memperbaiki dan berpegang teguh dengan Allah dan mengikhlaskan agama mereka kepada Allah. Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang beriman. Dan Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman itu ganjaran yang besar." (an-Nisaa': 146).

Sebagai ganti dari sikap selama ini yang hanya berpegang teguh dengan cari nama, dengan megah kebendaan. Berpegang teguh kepada Allah ialah dengan mengerjakan yang disuruh, menghentikan yang ditegah, menurut bimbingan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.

Dia mengetahui kelemahanmu selama ini. Dia mengetahui betapa pun hawa nafsumu memengaruhimu sehingga selama ini tertempuh jalan yang sesat, namun maksud yang terpendam di dalam hati sanubari senantiasa hendak mencari jalan yang baik, jalan kepada Allah. Maka Allah adalah Maha Mengetahui perjuanganmu itu, yaitu perjuangan dalam batin yang hebat sekali sehingga akhirnya cita-cita yang mulia jua yang menang. Allah mengetahui itu dan Allah pun tidak melupakan memberi penghargaan kepada perjuangan kamu itu.

Selesai.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 498-501, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MATI SYAHID

Orang yang beriman bersedia mati syahid dalam imannya, si fasik hanya mencintai hidup.

Oleh sebab itu, peringatan yang dikemukakan Allah di dalam ayat-ayat ini dapatlah kita jadikan pedoman untuk mengukuhkan semangat Islam dengan terus-menerus berdakwah, terus-menerus berani menegakkan kebenaran, walaupun kadang-kadang akan meminta jihad dengan harta benda kadang-kadang mengorbankan jiwa.

Orang yang beriman kepada Allah adalah berani karena takutnya. Alangkah ganjilnya. Dia berani menghadapi segala macam bahaya di dalam hidup, karena dia takut kepada siksa Allah sesudah mati. Dia berani mati badan karena takut nama. Pernah saya bertemu dengan orang demikian. Seketika saya bertanya kepada Ayahku dan guruku Syekh Abdul Karim Amrullah, almarhum, tidakkah beliau takut akan siksa kempetai Jepang ketika beliau tidak mau ruku' (keirei) ke istana Kaisar Jepang? Beliau menjawab, "Ayah tidaklah takut kepada mati, hai anakku! Yang ayah takuti ialah yang sesudah mati!"

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 43-46, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEMERDEKAAN PEMELUK AGAMA

"Dan barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka adalah mereka itu orang-orang yang kafir." (al-Maa'idah ujung ayat 44).

Di negara-negara modern ada undang-undang dasar yang menjamin kemerdekaan pemeluk agama yang kecil bilangannya dalam negeri itu, seumpama golongan kecil orang Islam di Burma, Philipina, Muangthai dan lain-lain.

Niscaya orang Islam di negeri itu, kalau dapat, hendaklah memperjuangkan agar Syari'at Islam dan hukumnya berlaku di kalangan penduduk Islam itu sendiri, dalam rangka kesatuan negara.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 707, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEBENARAN (AL-HAQ)

"Dan demikianlah Kami turunkan dia (sebagai) hukum, dalam bahasa Arab. Dan jika engkau turuti hawa nafsu mereka, sesudah datang kepada engkau pengetahuan, maka tidaklah bagi engkau selain Allah akan pelindung dan tidak penghambat." (ar-Ra'd: 37).

Al-Qur'an turun dalam bahasa Arab, isinya ialah hukum yang memutuskan menjelaskan garis pemisah di antara kegelapan Jahiliyyah dengan nurul Islam. Pemisah di antara yang hak dengan yang batil. Menjelaskan halal dan haram. Diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga setiap orang dalam masyarakat yang didatangi pada waktu itu dapat mengerti sendiri. Diperingatkan kepada Utusan-Nya oleh Allah bahwa hukum yang telah terang dari Al-Qur'an itu wajib dijelaskan dan dinyatakan, walaupun kafir-kafir itu tidak merasa senang atau merasa tersinggung.

Dengan ujung ayat, tegaslah bahwa di dalam menegakkan hukum tidak boleh beliau tenggang-menenggang. Pokok hukum ialah al-Haq, Kebenaran. Dan selain dari Kebenaran hanyalah al-Bathil, yang ada Kebatilan. Kadang-kadang bagi kaum yang mempersekutukan yang lain dengan Allah, pahitlah buat menelan kebenaran itu. Kalau diterangkan yang sebenarnya, mereka sakit hati. Apakah karena menenggang hawa nafsu mereka itu, supaya mereka jangan tersinggung, kebenaran akan diubah atau disembunyikan sama sekali? Sampai kapan? Boleh dipakai cara yang lunak atau cara yang keras, tetapi lunak atau keras, namun penolak kebenaran akan tetap menolak kebenaran. Di waktu dilunakkan, mereka pun akan menolak dengan lunak, bersilemah tak patah! Padahal Rasul telah diberi pengetahuan, dan mereka yang menentang itu berdiri atas pendirian yang bodoh. Allah menjelaskan, kalau sedikit saja Rasul-Nya memperturutkan hawa nafsu mereka, niscaya kebenaran tidak tegak lagi. Siapa yang akan melindungi Nabi saw. kalau itu terjadi? Kalau kebenaran yang tunggal dari Allah ditegakkan, maka Allah berjanji akan melindungi, dan Allah yang akan menghambat segala bahaya yang mengancam. Tetapi kalau hawa nafsu si kafir diperturutkan, bahaya akan datang bertimpa-timpa, dan tidak ada yang selain Allah itu yang akan dapat menghambat datangnya. Nabi Muhammad saw. pun telah dilatih oleh Allah supaya teguh menegakkan pendirian, dan tidaklah beliau akan cenderung memperturutkan hawa nafsu orang yang ingkar itu. Tetapi peringatan ini diteruskan kepada beliau, karena akan diteruskan kepada kita, pengikut beliau. Jangan mundur menegakkan kebenaran karena tenggang-menenggang dengan hawa nafsu orang kafir. Kebenaran jangan sampai berubah. Karena bila berubah sedikit saja, tidaklah kebenaran lagi namanya. Laksana satu ember air suci, dimasukkan ke dalamnya satu tetes kencing, najislah dia semua.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 75-76, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KABUR TAUHID

"Mereka akan berkata, 'Alangkah baiknya andaikata kami taat kepada Allah dan kami taat kepada Rasul.'" (al-Ahzaab ujung ayat 66).

"Alangkah baiknya" kita pilih untuk menjadi arti dari Yaa laitana meskipun arti demikian kurang juga tepat. Sebab menurut pemakaian kalimat Arab, laita adalah harap yang mengandung tamanni, yang berarti mengharapkan sesuatu yang tidak akan dapat terjadi. Di sini karena masanya sudah lampau. Ketaatan kepada Allah dan Rasul telah diserukan sejak mereka masih hidup di dunia. Sekarang setelah sengsara dalam neraka, baru teringat andaikata seruan Rasul supaya taat kepada Allah dan Rasul ini dituruti di kala masih hidup di dunia, tentu tidaklah akan menderita sengsara seperti ini.

"Dan mereka berkata, 'Ya Tuhan kami! Sesungguhnya kami telah menaati tuan-tuan kami dan orang besar-besar kami.'" (al-Ahzaab pangkal ayat 67).

Mereka setelah dalam neraka menerima adzab mengakui terus terang bahwa bukan seruan agar taat kepada Allah dan Rasul yang kami turuti, bahkan seruan itu tidak kami acuhkan. Yang kami dengarkan dan yang kami taati, kami patuhi ialah perintah atau panggilan dari tuan-tuan kami, yaitu orang-orang yang dianggap cabang pemegang kuasa, darah bangsawan, yang dipertuan, yang kuasa dan orang besar-besar kami. Dengan kekuasaan dan kekuatan yang ada pada mereka, kami telah mereka bujuk atau mereka paksa. Kami takut atau kami segan atau kami terbujuk, sehingga perintah mereka lebih kami pentingkan.

"Lalu mereka sesatkanlah kami dari jalan yang sebenarnya." (al-Ahzaab ujung ayat 67).

Perhatikanlah intisari dari ayat ini. Dia menerangkan bagaimana besar adzab yang akan diderita oleh manusia-manusia yang lemah pendirian, menyerah kepada sesama manusia karena manusia itu berkuasa, sampai meninggalkan pendirian yang asli, yaitu taat kepada Allah dan Rasul. Mereka telah disuruh memilih, mereka telah salah pilih. Jalan yang benar yang direntangkan Allah dengan wahyu-Nya, digariskan Nabi dengan hidup yang dijalaninya, lalu ditinggalkan karena mengikuti teori-teori manusia yang sengaja hendak membelakangi Allah SWT. Setelah menderita dalam neraka, orang-orang yang telah tersesat jalan itu baru menyesal dan mengutuk kepada tuan-tuan dan pembesar-pembesar yang telah membawa mereka kepada jalan yang sesat itu, sehingga selanjutnya mereka berseru lagi kepada Allah SWT,

"Ya Tuhan kami! Berikanlah kepada mereka." (al-Ahzaab pangkal ayat 68).

Yaitu tuan-tuan dan pembesar-pembesar yang telah menyesatkan kami itu, "Dua kali lipat dari adzab."

"Dan kutukilah mereka, kutuk yang besar." (al-Ahzaab ujung ayat 68).

Ini belum kejadian, tetapi pasti kejadian. Belum kejadian sekarang, akan kejadian nanti di hari Kiamat, di waktu Sa'ah datang kelak. Ancaman ini menakutkan, tetapi karena belum kejadian, dari sekarang dapat dielakkan. Kita disuruh memilih di antara dua jalan, jalan Allah dan Rasul yang terbentang nyata mengandung keselamatan sekarang dan masa datang, atau jalan yang diteorikan oleh para tuan-tuan, orang besar-besar penguasa-penguasa.

Orang yang lemah iman, kabur Tauhid lekas menyerah, sampai pendiriannya yang aslinya dikorbankannya. Padahal dengan jelas Allah menyuruh sampaikan kepada Rasul-Nya,

"Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu ikut jalan-jalan lain, niscaya akan terpecah-pecah kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia wasiatkan kepada kamu, supaya kamu bertakwa." (al-An'aam: 153).

Memang, mempertahankan pendirian kadang-kadang menempuh perjuangan yang berat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 268-269, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KLIK DISINI: WASIAT ALLAH, TENTANG ASWAJA (AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH) SEJATI (JALAN YANG LURUS VS. JALAN YANG BERSIMPANG-SIUR)

INSAN DAN IBLIS

"Dia berfirman, 'Ini adalah satu jalan kepada-Ku, yang lurus.'" (al-Hijr ayat 41).

Sebab di dalam berjalan menuju Aku, mereka tidak memilih jalan lain hanyalah satu jalan saja. Jalan-Ku!

Ini jadi peringatan dari Allah bahwa selama manusia masih tetap berjalan di atas jalan ash-Shiratal Mustaqim itu, perdayaan Setan Iblis tidaklah akan mempan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 139-140, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TENTARA ALLAH

"Dan sesungguhnya Tentara Kami, merekalah yang pasti akan menang." (ash-Shaaffaat: 173).

Segala mereka yang berjuang menegakkan jalan Allah di dunia ini, bernamalah Tentara Allah. Kadang-kadang mereka disebut Jundullah, kadang-kadang disebut Hizbullah, Tentara Allah atau Partai Allah. Yakni orang yang telah mengorbankan dirinya untuk semata-mata menyampaikan seruan Allah, atau melapangkan jalan Allah di muka bumi ini. Perjuangan mereka pasti menang. Dengan arti bahwa setiap perjuangan mesti menempuh pengorbanan. Bila peperangan telah terjadi, yang akan tewas mencapai syahid sudah termasuk dalam perhitungan. Barangkali akan banyak tentara yang tewas, karena hebatnya pertempuran. Tetapi kemenangan terakhir akan tercapai oleh Tentara Allah. Sebab tidaklah dia bernama Tentara Allah kalau bukan kebenaran yang dia perjuangkan.

Inilah yang dijanjikan oleh Rasulullah saw. dalam sabda beliau, "Senantiasa akan ada suatu golongan dalam umatku orang-orang yang tegak membela kebenaran. Tidaklah mereka akan dapat diperdayakan oleh orang yang mencoba menggagalkan mereka dan tidak pula orang yang menantang mereka, sampai datang saat yang ditentu Allah (Kiamat). Dan merekalah yang menang." (HR. Bukhari dan Muslim).

Imam Nawawi ketika menafsirkan hadits ini berkata bahwa yang dimaksud dengan Thaaifah atau golongan yang berbagai corak orang yang beriman, di antaranya ialah orang-orang yang di medan perang, di antaranya ialah ahli-ahli pikir agama (fiqih), di antaranya ialah ahli-ahli hadits, di antaranya ialah orang-orang yang zahid, di antaranya ialah orang yang berani melakukan amar ma'ruf nahi munkar dan di antaranya ialah macam ragam Mukmin yang lain yang suka dengan jelas mengerjakan yang baik-baik. Sebab itu tidaklah mesti bahwa mereka terkumpul. Mungkin mereka tersebar di negeri, namun corak perjuangan mereka adalah sama, yaitu menegakkan jalan Allah dengan gagah berani.

Maka dapatlah kita mengambil kesimpulan, bahwa dengan ayat 171 dan 172 adalah janji Allah SWT kepada rasul-rasul yang Dia utus. Sedang ayat 173 adalah janji kepada orang-orang yang menyambung perjuangan rasul-rasul itu. Yang tegas ialah para ulama yang sadar akan tugasnya, menurut sabda Rasulullah saw., "Orang-orang yang berpengetahuan adalah penerima waris dari nabi-nabi." (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).

Maka orang yang berpengetahuan adalah bertanggung jawab buat bersedia masuk Thaaifah (golongan) yang selalu berani menegakkan kebenaran, walaupun bagaimana perdayaan yang ditimpakan oleh penghambat dan penghalang.

"Sampai suatu ketika." (ash-Shaaffaat ujung ayat 174).

Dalam ungkapan yang biasa terpakai di Indonesia kalimat sampai suatu ketika itu berdekatan artinya dengan "Tunggu tanggal mainnya."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 523-524, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HUKUM SYARI'AT ISLAM

"Dan apabila dikatakan kepada mereka, 'Kemarilah, kepada apa yang diturunkan Allah dan kepada Rasul,' engkau lihatlah orang-orang yang munafik itu berpaling dari engkau sebenar-benar berpaling." (an-Nisaa: 61).

Nyatalah bahwa orang-orang itu telah dicap oleh ayat ini sebagai orang yang munafik. Tidak bulat hati meminta hukum Allah dan Rasul, melainkan masih percaya juga kepada hukum thagut.

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir mengenai ayat-ayat ini, "Ayat ini adalah satu penegasan bahwa Allah tidak mau menerima kalau ada orang yang mengaku beriman kepada perintah yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada rasul-rasul yang dahulu, padahal ketika akan mengambil keputusan suatu hukum dalam hal yang mereka perbantahkan, mereka ambil hukum di luar dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya." Berkata pula ahli-ahli tafsir yang lain, "Ayat ini memberikan petunjuk bahwa menerima keputusan hukum dari Allah adalah wajib dan wajib pula ridha menerima syari'at-Nya. Ayat ini menunjukkan pula dengan pasti bahwa orang Islam tidak dibolehkan menerima hukum selain dari Syari'at Islam." Berkata setengah ahli fiqih, "Apabila dua orang berperkara, lalu yang seorang ridha menerima hukum ketentuan Syari'at Allah, yang seorang enggan menerima hukum itu, lalu dia suka menerima hukum dari hakim-hakim yang mengingkari peraturan Allah, yang enggan itu kafirlah!"

Tumbuhlah golongan orang yang mengakui beragama Islam dan beribadah, tetapi tidak yakin lagi akan Syari'at Islam. Merekalah yang keras menantang tiap gagasan hendak meletakkan dasar hukum Syari'at Islam di dalam negeri yang penduduknya terbanyak orang Islam. Daripada menerima hukum Syari'at Islam mereka lebih suka menyalin kitab hukum pusaka penjajah atau menyalin hukum negara-negara Barat yang lain.

PENEGASAN ALLAH DENGAN SUMPAH

Di ayat 65 akan kita baca penegasan Allah dengan sumpah bahwa orang yang tidak mau menerima tahkim dari Allah dan Rasul-Nya, tidaklah termasuk orang yang beriman, "Walau shallaa, walau shaama!" Walaupun dia Shalat, walaupun dia Puasa.

"Maka sungguh tidak, demi Allah engkau! Tidaklah mereka itu beriman, sehingga mereka ber-tahkim kepada engkau pada hal-hal yang berselisih di antara mereka." (an-Nisaa': 65).

SEKALI-KALI JANGANLAH DIAKUI

Sekali-kali janganlah diakui ada satu peraturan lain yang lebih baik dari Peraturan Islam.

KAFIR-LAH ORANGNYA

Jika ada keyakinan bahwa ada ajaran lain untuk mengatur masyarakat yang lebih baik dari Islam, kafir-lah orangnya, walaupun dia masih Shalat.

TAUHID

Ketenteraman jiwa yang timbul lantaran dipupuk oleh Tauhid dan ihsan menyebabkan tidak ada rasa keberatan dan tidak ada pokrol-pokrolan terhadap sekalian hukum agama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 352-353, Jilid 1 Hal. 394, Jilid 3 Hal. 357, Jilid 2 Hal. 299, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SYIQAQ

"Dan jika kamu takut perselisihan di antara mereka berdua, maka hendaklah kamu utus seorang hakam dari ahlinya (si laki-laki) dan seorang hakam dari ahlinya (si perempuan)." (an-Nisaa' pangkal ayat 35).

Menurut riwayat Imam Syafi'i di dalam al-Umm, al-Baihaqi di dalam as-Sunan, dan beberapa riwayat lain, riwayat itu dari Ubaidah al-Sulamani, bahwa pada suatu hari datanglah seorang laki-laki dan seorang perempuan kepada Ali bin Abi Thalib (moga-moga Allah memuliakan wajahnya) dan bersama dengan mereka turut pula segolongan besar orang-orang. Rupanya mereka mengadukan perselisihan atau syiqaq yang telah tumbuh di antara kedua orang suami istri itu. Maka Ali memerintahkan supaya diutus seorang hakam dari ahli si laki-laki dan seorang hakam dari ahli si perempuan, kemudian beliau (Ali) berkata kepada kedua hakam itu, "Apakah kamu keduanya tahu apa kewajiban kamu? Kewajiban kamu ialah menyelidiki, kalau pada pandangan kamu berdua masih dapat orang-orang ini dikumpulkan kembali, hendaklah kamu kumpulkan, dan kalau kamu berdua berpendapat lebih baik bercerai saja, maka perceraikan mereka!"

MENDUSTAKAN ALLAH

Mendengar itu berkatalah si perempuan, "Hamba tunduk kepada Kitab Allah dan apa yang tersebut di dalamnya." Tetapi si laki-laki menyanggah, "Kalau keputusan bercerai, aku tak mau!"

Ali menjawab, "Kalau begitu, engkau adalah seorang yang mendustakan Allah. Kalau tidak engkau tunduk kepada apa yang telah aku tetapkan itu, engkau tidak akan kubiarkan pulang."

Demikianlah penetapan dari Ali bin Abi Thalib tatkala beliau menjadi khalifah.

Serupa dengan itu pula pendapat Ibnu Abbas.

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, "Telah sependapat para ulama bahwa kedua hakam itu berhak mempersatukan kembali di antara suami istri yang berselisih itu dan berhak juga memisahkan."

Ibrahim an-Nakha'i berkata, "Jika kedua hakam itu hendak memisahkan keduanya dengan talak satu, atau talak dua, atau talak tiga, boleh saja."

Begitu pula satu riwayat dari pendapat Imam Malik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 284-285, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KLIK DISINI: NIKAH SI KANI, MANFAATNYA SAMPAI MASA KINI

IMAN SEPUHAN

"Apakah dalam hati mereka ada penyakit? Apakah mereka ragu-ragu? Ataukah mereka takut kalau-kalau hukum Allah itu akan merugikan mereka? Demikian juga hukum Rasul? Tidak! Yang terang ialah, bahwa mereka adalah orang-orang yang zalim aniaya. Tidak ada jawaban lain bagi orang yang beriman, apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya supaya dilakukan hukum di antara mereka, hanya 'Kami dengarkan ajaran itu dan kami patuhi.' Itulah orang-orang yang menang." (an-Nuur: 50-51).

Mengucapkan dengan mulut mengaku patuh kepada Allah dan Rasul adalah mudah saja, ialah sukarnya bagi lidah yang tidak bertulang. Tetapi sebagai akibat konsekuensi dari pengakuan dengan mulut percaya dan patuh itu, haruslah terbukti pada perbuatan dan sikap hidup.

"Engkau durhaka kepada Allah SWT, padahal engkau menyatakan cinta kepada-Nya."

Ini adalah perbuatan mustahil dan amat ganjil.

Jika benarlah cintamu itu, niscaya engkau laksanakan perintah-Nya. Karena orang yang tercinta kepada kecintaannya adalah setia.

Kita mengakui diri sebagai Muslim, hendaklah karena Islam kita timbul dari iman kita. Kalau Islam hanya sebagai sambutan pusaka dari nenek moyang, bukan atau belum datang dari lubuk hati, belumlah berarti hidup ini dan belumlah akan kita ketahui rahasia dan keuntungan, jiwa yang didapat darinya.

REVOLUSI TAUHID

Revolusi Tauhid menentang Syirik, revolusi Allah Maha Besar menghadapi berbagai macam berhala, revolusi dari jiwa yang bebas dari pengaruh alam melawan jiwa yang diikat oleh perdayaan alam.

Iman atau kepercayaan yang sejati adalah meninggalkan nilai jiwa sendiri, yang apabila dia telah meresap dalam sanubari, pastilah nyata bekasnya kepada sikap hidup dan pandangan hidup. Karena yang menggerakkan manusia bukanlah semata nalurinya (insting), tetapi akalnya. Dan akal itu bergerak dan aktif di bawah pengaruh anutan hidup. Islam adalah aqidah kepercayaan. Kepercayaan menentukan gerak, bukan negatif. Iman seseorang dibayangkan oleh sikap hidupnya. Seorang yang beriman hanya mempunyai satu tujuan, yaitu Allah SWT. Sebab itu tidaklah benda, sebab benda itu pecah sifatnya. Maka orang yang beriman, senantiasa sesuai di antara percakapannya dengan perbuatannya. Matanya jernih bersinar, sebab tidak dikaburkan oleh keraguan dan kedustaan. Pribadi seorang Mukmin tinggi, berwibawa, bersinar. Tidak ada takutnya hanyalah kepada Allah. Penilaiannya kepada laba dan rugi amat berbeda dengan penilaian orang yang diperhamba oleh harta benda.

Seorang Mukmin merasa rugilah hidupnya ini kalau dia tidak dapat menundukkan diri kepada hukum yang digariskan Allah SWT. Apalah artinya harta benda, pangkat, kekayaan dan kebesaran, dan apalah artinya perhiasan dunia ini kalau sekiranya kita kehilangan harta nyawa yang paling mahal, yang tidak dapat dihargai dengan uang, yaitu pendirian hidup.

Dengan hati terbuka dan bersyukur dia menerima hukum Allah SWT dan hukum Rasul. Hawa nafsunya ditundukkan kepada hukum itu, sebab dia diikat oleh disiplin.

Kita sebagai orang Islam yang hidup di zaman modern, kadang-kadang iman kita digoncangkan oleh berbagai macam isme yang kadang-kadang mendatangkan keraguan. Ridha menerima hukum yang ditentukan Allah dan Rasul-Nya, adalah bukti dari iman yang sejati. Itulah bukti, bahwa hakikat iman telah tumbuh dan terhunjam dalam sanubari. Sebab setengah dari gejala iman itu ialah adab, sopan dan santun.

Seorang Mukmin sudah merasa pasti, bahwasanya hukum yang datang dari Allah SWT adalah sebijaksana-bijaksananya hukum, dan tidak ada yang akan melebihinya lagi. Orang yang menolak hukum Allah ataupun orang yang merasa ragu, adalah orang yang hatinya telah "kemasukan", itulah dia penyakit.

Hukum Allah mengatasi segala hukum.

Kalau aku berkuasa dan bisa menciptakan hukum, yang terlebih dahulu aku pikirkan ialah bagaimana supaya hukum itu jangan mengenai diriku. Dan kalau aku masuk dalam satu partai, dan partaiku menguasai negara, lalu mencipta hukum, maka yang lebih dahulu aku pikirkan ialah bagaimana supaya hukum yang diciptakan oleh partaiku itu dapat membungkamkan partai yang kami kalahkan.

Selama dunia masih dunia yang ini juga, dan selama manusia masih manusia yang ini juga, kepentingan hukum tidak akan beranjak dari kepentingan golongan yang berkuasa. Sebab itu wajiblah ada hukum yang tertinggi, yang mutlak adil. Itulah hukum Allah SWT. Itulah hukum yang tidak berpilih kasih dan itulah hukum yang tidak untuk kepentingan golongan sendiri. Oleh sebab itu maka pada ayat 50 dijelaskan, bahwasanya orang-orang yang tidak rela menerima hukum Allah dan Rasul, atau melaksanakan suruhannya dan menghentikan larangan, adalah orang yang aniaya, orang yang zalim.

Setiap orang yang akan diberi jabatan tinggi disumpah terlebih dahulu, bahkan di negeri kita ini diadakan pula tradisi, bahwa setiap orang yang tengah disumpah itu, di belakangnya berdiri seorang haji mengangkat sebuah kitab suci Al-Qur'an, yaitu tradisi yang diwarisi dari Belanda dan diteruskan oleh pemerintah kita, dan sekali-kali tidak ada dari Nabi Muhammad saw. ataupun dari para sahabatnya. Mereka telah bersumpah dengan mengangkat Al-Qur'an, namun yang curang ada juga. Telah mengucap "Demi Allah", namun yang korupsi masih ada. Karena semata sumpah tidaklah akan dapat mengubah pribadi yang kosong dari iman.

Setiap pegawai diangkat, disumpah "Demi Allah" itu sudah hilang wibawa kalimatnya. Atau Demi Allah telah dijadikan tameng belaka dari pribadi yang bobrok.

Ayat 54 mengatakan dengan tegas,

"Tak usah bersumpah, laksanakan saja perintah. Itulah yang lebih baik." (an-Nuur pangkal ayat 54).

Karena Allah Maha Tahu apa jua yang kamu kerjakan. Maka seorang Mukmin tidaklah banyak sumpah, karena dia jujur dan percaya kepada dirinya, yang ya tetap ya, yang tidak tetap tidak. Dia percaya kepada dirinya, sebab dia percaya kepada Allah SWT.

"Dan kewajiban Rasul tiada lain hanyalah semata-mata menyampaikan dengan sejelas-jelasnya." (an-Nuur ujung ayat 54).

Di ayat 54 ditegaskan kembali pendirian seorang Mukmin sejati, seorang yang bukan munafik, yaitu supaya taat kepada Allah dan Rasul. Kalau kamu masih berpaling dan tidak peduli, ketahuilah, bahwa Rasul hanya semata berkewajiban menyampaikan kepadamu, menjelaskan keadaan yang sebenarnya, sedangkan kamu diberi akal budi buat berpikir, artinya kamu pun bertanggung jawab pula dan berkesempatan buat memikirkan. Maka kalau kerusakan dan kehancuran yang bertemu karena keraguanmu, janganlah Rasul yang disesali.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 316-321, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MEMERANGI ALLAH DAN RASUL-NYA

"Tidak ada lain balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan mengusahakan kerusuhan di bumi, selain dari dibunuh mereka, atau disalibkan mereka, atau dipotong tangan-tangan mereka dan kaki-kaki mereka berselang-seling, atau dibuang dari bumi itu. Yang demikian itu adalah suatu penghinaan bagi mereka di dunia ini, dan untuk mereka di akhirat adalah adzab yang besar." (al-Maa'idah: 33).

Memerangi Allah dan Rasul, artinya menentang kehendak Allah dan Rasul dengan sikap perbuatan sengaja.

Sebab orang yang dirampasi atau dirampoki itu bukan musuh, melainkan orang-orang yang merasa hidup aman di bawah lindungan peraturan Allah dan Rasul.

Di pangkal ayat tadi disebut bahwa mereka telah melakukan dua pelanggaran besar, yang kedua bertali dengan yang pertama. Pertama, mereka telah memerangi Allah dan Rasul, sebab peraturan Allah telah terang-terang mereka langgar dengan kekerasan. Lalu dengan sebab yang demikian mereka telah melakukan tindakan kedua yang lebih jauh, yaitu mengusahakan kerusakan di bumi. Dengan yang pertama, memerangi Allah dan Rasul, artinya mereka telah terang-terang menentang Syari'at Allah; Allah menghendaki keamanan, dia melakukan pengacauan.

Untuk jadi pegangan dapat kita ambil satu penafsiran lagi dari Ibnu Abbas, demikian bunyinya, "Apabila orang memerangi Allah dan Rasul, lalu merampas harta orang, tetapi tidak sampai membunuh; dipotong tangan kakinya berselang-seling. Kalau dia keluar, lalu membunuh, tetapi tidak merampas harta, hukumnya bunuh saja. Kalau dia keluar, dirampasnya harta dan dibunuhnya orangnya; hukumnya dibunuh dan disalibkan. Dan kalau dia keluar lalu menyamun di tengah jalan, tetapi belum sampai merampas harta benda dan belum sampai ada yang dibunuhnya, hukumnya ialah dibuang." Pendapat ini pun dituliskan oleh Imam Syafi'i di dalam kitabnya al-Umm dan Abdurrazak dan beberapa ulama yang lain.

"Yang demikian itu." Yaitu salah satu dari keempat macam hukum itu, dari yang sangat berat, sampai kepada yang berat, sampai kepada yang agak ringan tetapi berat juga (potong selang-seling) dan yang ringan sekali (buang atau penjara), "Adalah suatu penghinaan bagi mereka di dunia ini." Karena memang mereka berbuat sangat hina, yaitu memerangi Allah dan Rasul, maka seyogianya hukuman yang hina pulalah yang pantas mereka terima. Dan bila orang lain melihat bekas hukum yang hina itu, takutlah mereka akan berbuat begitu pula. "Dan untuk mereka di akhirat adalah adzab yang besar." Dengan demikian belumlah habis hukum yang diterimanya di dunia ini saja, di akhirat perkaranya akan dibuka kembali dan akan diterimanya adzab yang pedih. Ini membuktikan bahwa dosa orang-orang ini sangat besar. Di atas dunia ini mengacau masyarakat lalu dihukum yang setimpal, dan di akhirat akan diterimanya hukum lagi, karena yang diperanginya ialah Allah dan Rasul. Tetapi yang masih hidup sesudah menjalani hukum potong selang-seling dan hukum buang, masih ada kesempatan buat tobat.

"Kecuali orang-orang yang bertobat dari sebelum kamu dapat menangkap mereka. Maka ketahuilah bahwasanya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang." (al-Maa'idah: 34).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 677-681, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BUGHAT

Berbeda duduk perkara di antara orang yang memerangi Allah dan Rasul ini dengan orang yang bughat. Di dalam surah al-Hujuraat ayat 9 diperintahkan Allah, bahwa jika terjadi perselisihan sampai berbunuh-bunuhan di antara dua golongan kaum Muslimin, hendaklah kamu mencoba mendamaikan. Kalau yang satu golongan bughat terhadap yang lain, hendaklah kamu perangi yang bughat itu, sampai dia kembali ke dalam garis jalan perintah Allah. Arti bughat ialah golongan yang tidak mau didamaikan. Timbul pertanyaan, "Siapakah yang dituju Allah dengan kata-kata kamu, yang diperintahkan mendamaikan dua golongan yang berselisih itu?" Tentu yang diperkamu, yang di khithab menyuruh mendamaikan itu ialah golongan yang ketiga. Golongan yang tidak masuk ke salah satu pihak yang berselisih. Dalam hal ini tentu saja pihak pemerintahlah yang berkuasa, atau golongan ketiga yang netral yang lebih kuat dari kedua golongan yang berkelahi itu.

Tiba-tiba timbullah suatu pertanyaan yang berbeda dengan yang dituju ayat, yang payah buat memasangkan kata bughat. Yaitu Mu'awiyah Gubernur Syam menentang Ali bin Abi Thalib yang telah diangkat umat menjadi Khalifah di Madinah. Mu'awiyah mengemukakan tuntutan agar diselesaikan terlebih dahulu soal kematian Utsman yang teraniaya. Kemudian itu kaum Khawarij memisahkan diri pula dari kekuasaan Ali dan melawan. Akhirnya perjuangan Mu'awiyah beroleh kemajuan, terutama dalam perundingan di Daumatul-Jandal, karena suara utusan Ali, yaitu Abu Musa al-Assfari dapat dikalahkan oleh kecerdikan Amr bin Ash. Teranglah bahwa ulama-ulama tidak dapat tergesa lagi memutuskan bahwa Mu'awiyah bughat. Melainkan keluarlah pendapat ulama bahwa pemerintah Mu'awiyah itu sudah menurut hukum. Sebab kekuasaannya telah menjadi kenyataan. Terutama setelah kemudian, pada Tahun 40 Hijriyah, Hasan bin Ali menyerahkan seluruh kekuasaannya pula kepada Mu'awiyah.

BERONTAK TERHADAP KEKUASAAN YANG SAH

Kemudian menjadi perbincangan pula di dalam kalangan ulama-ulama fiqih tentang pemberontak melawan imam (kepala negara) yang zalim. Yaitu seperti yang dilakukan oleh Husain bin Ali terhadap kekuasaan Yazid bin Mu'awiyah.

Maka terdapatlah ijma (kesamaan pendapat) ulama bahwa kalau seorang imam kaum Muslimin murtad dari Islam dan dia tidak mau menyerahkan kekuasaannya kembali ke dalam Ahlulhalli wal Aqdi, kaum Muslimin wajib memberontak terhadap kekuasaannya. Dan sama pula pendapat ulama-ulama bahwa imam yang menghalalkan barang yang haram, dengan menganjurkannya, misalnya menghalalkan dan meminum minuman keras, atau menghalalkan zina dan melanggar peraturan-peraturan syara', meskipun dia tidak menyatakan murtad dari Islam, boleh pula imam yang seperti itu diberontaki. Berdasar kepada hadits Ubadah bin Shamit yang shahih, yaitu salah satu rangkaian baiat kaum Anshar di Aqabah dengan Nabi, "Dan supaya jangan engkau tandingi suatu urusan dari aslinya. Kecuali kalau kamu lihat kekafiran yang sudah berterang-terang." Imam Nawawi menjelaskan arti kafir berterang-terang ini, ialah kalau imam itu tidak segan-segan lagi memperlihatkan berbuat maksiat di muka mata umat yang diimaminya. Maka maksud hadits Ubadah bin Shamit ini jelaslah bahwa kekuasaan seorang imam (kepala negara) yang benar dan sah keimanannya, misalnya karena ingin merebut kuasanya, tidaklah diizinkan oleh syara', kecuali kalau dia telah terang-terang menunjukkan perbuatan yang bersifat kufur. Demikian juga amil-amilnya atau wali-walinya, atau menteri-menteri dan pembantu-pembantunya. Kalau dia zalim dan suka berbuat maksiat, wajiblah dia ditarik kembali ke dalam jalan yang benar dan biarlah dia tetap jadi imam asal dia telah sadar. Mana pekerjaannya yang ma'ruf ditaati dan mana yang mungkar tidak dituruti. Kalau dia masih berkeras, hendaklah wakil-wakil umat bersikap keras pula, ma'zul-kan dia dan ganti dengan yang lain, yang lebih menuruti jalan yang benar.

Oleh sebab itu, di dalam sejarah Islam, selalulah muncul ulama-ulama yang tulus ikhlas, merdeka jiwa dan tidak mau menjual imannya kepada kekuasaan imam-imam yang zalim, lalu dengan tegas ulama-ulama itu menegur pekerjaan imam yang salah, yang zalim, yang tidak menuruti garis yang ditentukan oleh syara'. Tetapi sebagian besar dari ulama-ulama itu, kalau diajak orang berontak kepada imam yang beliau tentang itu, mereka tidak mau. Sebab yang beliau-beliau jaga ialah jangan sampai ada fitnah. Pengalaman Islam karena peperangan Ali dengan Mu'awiyah, telah meninggalkan kesan luka parah yang payah menyembuhkannya dari Abad ke Abad. Itu sebabnya ulama-ulama itu tidak mau tergesa berontak, sebelum berhitung masak-masak. Tetapi kalau kezaliman sudah sampai di puncak yang kadang-kadang dengan senjata lisan fatwanya saja, bisa meruntuhkan kekuasaan raja yang besar. Kejatuhan Sultan Abdulhamid dari tahta Kerajaan Turki Osmani, sebagian besar adalah karena fatwa Syaikhul Islam telah keluar menyatakan bahwa dia tidak berhak buat ditaati lagi. Dengan ini bukan berarti bahwa umat telah taqlid saja kepada fatwa Syaikhul Islam dan ulama itu, melainkan kedudukan mereka di saat itu bukan saja lagi sebagai ulama, melainkan sebagai salah seorang yang telah mewakili umat, karena pribadinya yang telah memengaruhi dan mempesona orang banyak (massa) dari sebab sikapnya yang tegas menegakkan kebenaran.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 683-684, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

NABI MENYERU KEPADA JALAN YANG LURUS

"Sesungguhnya engkau mengajak mereka kepada jalan yang lurus." (al-Mu'minuun ayat 73).

Sebab itu di dalam menegakkan jalan yang lurus tidaklah diadakan tolak-angsur.

"Supaya Dia kukuhkan kebenaran dan Dia hancur-leburkan kebatilan walaupun orang yang durjana tidak menyukainya." (al-Anfaal: 8).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 214-215, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-INSYIRAAH

"Sesungguhnya beserta kesulitan itu ada kemudahan." (ayat 6).

Tetapi sekali-kali jangan lupa, yaitu,

"Dan hanya kepada Tuhanmu, hendaklah engkau berharap." (ayat 8).

Inilah satu pedoman hidup yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dan dipusakakan oleh Rasul kepada umatnya, yang tegak berjuang menyambung perjalanan memikul beban berat itu menjalankan perintah Allah; selesai satu usaha, mulai lagi usaha baru. Tapi Allah jangan ditinggalkan! Jangan gentar menghadapi kesukaran, karena dalam kesukaran itu pasti ada kemudahan, asal engkau pergunakan otakmu buat memecahkannya. Sebab Allah tidak pernah mengecewakan orang yang bertawakal kepada-Nya.

Ada juga dipahamkan orang tentang pertalian ayat 5 dan ayat 6, beserta kesulitan ada kemudahan, bersama kesulitan ada kemudahan. Dia melihat bahwa 'usrin (kesulitan) yang tercantum di ayat 6 adalah terjepit di antara dua yusran, sebab itu maka usri tidaklah akan menang. Akhirnya dia mesti kalah juga. Sebab 'usrin yang dijepit oleh dua yusran.

Ataupun adalah sikap jiwa dari Sayyidina Umar bin Khaththab sendiri. Maka tersebutlah di dalam kitab al-Muwaththa' karya Imam Malik, di dalam kitab tentang jihad, ada suatu riwayat demikian bunyinya,

Dari Zaid bin Aslam, berkata dia: "Abu Ubaidah bin Jarrah menulis surat kepada Umar bin Khaththab yang isinya menerangkan bahwa tentara Rum yang sangat besar telah siap akan menyerang mereka, kekuatan tentara itu amat mencemaskan." Surat itu dibalas oleh Sayyidina Umar bin Khaththab, di antara isinya: "Amma ba'du, bagaimana jua pun kesukaran yang dihadapi oleh orang yang beriman, namun Allah akan melepaskannya jua dari kesukaran itu, karena satu 'usrin (kesulitan) tidaklah akan dapat mengalahkan dua yusran."

Di waktu saya masih kanak-kanak, ipar dan guru saya Ahmad Rasyid Sutan Mansur senantiasa membaca sambil menyanyikan sebuah syair, yang dari kerapnya saya mendengar, saya pun dapat menghapalnya dan menyanyikan pula, "Apabila bala' bencana telah bersangatan menimpamu, Pikirkan segera surah Alam Nasyrah, 'Usrin terjepit di antara dua Yusran, Kalau itu telah engkau pikirkan, niscaya engkau akan gembira."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 243-244, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ANDAI KAU MASIH ADA
Oleh: Ratih Sanggarwati

youtube.com/watch?v=BAfP-0Y_zaY

Andai kau masih ada, Buya
Kau akan gembira melihat Al-Azhar telah bertabur di seluruh Nusantara
Menyemai pendidikan dan mendidik anak-anak para ibu yang tak punya waktu
Andai kau masih ada, Buya
Kau kan bersedih melihat para ibu itu tak mau mengajarkan
Jangankan mengaji, Buya
Mengajarkan sopan santun saja mereka tak mampu
Oh bukan Buya, bukan tak mampu, tapi mereka tak mau
...
Andai kau masih ada, Buya
Kau akan tertawa melihat betapa agama telah menyelusup ke relung-relung jiwa muda di perkotaan
Tidak hanya di surau atau madrasah layaknya kau remaja dahulu
Andai kau masih ada, Buya
Kau pun akan menangis melihat betapa agama
Tak merasuk dalam akhlak keseharian mereka
Tak menjadi hiasan mata mereka dalam bacaan
Tak menjadi hiasan bibir mereka dalam bercakap
Andai kau masih ada, Buya
Kau akan bahagia melihat anak negeri ini berani berbicara
Mengeluarkan pendapat yang dapat mengubah negara
Tapi jua, Buya
Andai kau masih ada
Maka kau akan merana melihat keberanian mereka telah melanggar norma
Tak bisa mereka seperti engkau...
Yang berseberangan dengan penguasa tapi kau tetap menghargainya
Dan kau tetap menjadi imam shalat jenazah ketika dia tiada
Ah Buya, betapa kami berharap andai kau masih ada, Buya

Jakarta, 08 April 2008

(Irfan HAMKA, Ayah..., Hal. 322, Republika Penerbit, Cet. XII, 2016).

RENUNGAN BUDI

Umur badan terbatas. Umur batu nisan kadang-kadang lebih panjang dari umur badan, tetapi umur jasa dan kenangan lebih panjang dari umur batu nisan. Sebab itu Jalaluddin Rumi pernah mengatakan ketika orang minta izin kepadanya hendak membuatkan kubah pada kuburannya nanti apabila dia telah mati,

"Tak usahlah nisan dan kubah pada kuburanku. Kalau hendak menziarahi aku, temuilah aku dalam hati orang yang mengenal ajaranku."

(Buya HAMKA, LEMBAGA BUDI: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 178, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

BERJIHAD UNTUK BAHAGIA

Sesungguhnya kematian perasaan jihad inilah yang telah menyebabkan kaum muslimin sangat mundur pada dewasa ini.

Dan kaum muslimin akan melebihi Barat dalam berjihad bersungguh-sungguh, jika pelajaran agamanya dipegangnya kembali teguh.

(Buya HAMKA, TASAWUF MODERN: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 336, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

Pada awal dekade 70-an HAMKA mengingatkan umat Islam terhadap tantangan al-ghazwul fikr (penjajahan alam pikiran). Menurut HAMKA, penjajahan alam pikiran beriringan dengan penghancuran akhlak dan kebudayaan di negeri-negeri Islam.

Sekularisasi atau sekularisme adalah setali tiga uang dengan ghazwul fikr yang dilancarkan dunia Barat untuk menaklukkan dunia Islam, setelah kolonialisme politik dalam berbagai bentuk gagal.

sukabumikota.kemenag.go.id/file/dokumen/D000598.pdf

DEMOKRASI BANCI DAN EMANSIPASI MUKHANNAS

Mulanya dihilangkan ghirah laki-laki, akhirnya laki-laki mengikuti perintah perempuan, yang kemudian perempuanlah yang berkuasa di belakang layar.

Apa macam!

Islam dalam ajarannya yang asli dari Nabi Muhammad saw. tidak memingit perempuan.

Dari mana ia mulai?

Dari rumah tangga, melalui pendidikan anak-anak.

Kita mempunyai gerakan-gerakan perempuan Islam, seperti Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah yang didirikan oleh Muhammadiyah. Selain itu juga dari Nahdatul Ulama ada Muslimat dan Fatayat NU. Pergerakan lainnya, yakni Muslimat PERTI dan Muslimat PSII.

Kepada mereka, dari sekarang wajib kita ingatkan supaya sadar benar di garis mana mereka harus tegak dan di garis mana mereka berjuang. Mana yang milik kita dan mana yang tiruan dari demokrasi banci dan emansipasi mukhannas sehingga kaum laki-laki kehilangan ghirahnya.

Kalau masih ada pemuda Islam yang merasa bangga dibuang 15 tahun karena ghirah akibat saudara perempuannya diganggu, pertanda bahwa sesungguhnya Islam belum kalah!

(Buya HAMKA, Ghirah: Cemburu Karena Allah, Hal. 12-14, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MAKSIAT DAN PENYAKIT JIWA

Penyakit jiwa itu dipancing dengan pakaian yang menimbulkan syahwat. Karena itu, Islam memberi batas-batas apa yang dinamai aurat. Bukan pula dia menentukan mode dan bentuk suatu pakaian. Islam tidak melarang berpakaian secara Eropa dan Amerika. Islam tidak mewajibkan orang mesti memakai pakaian menurut suatu corak, karena itu adalah termasuk kebudayaan. Pakaian Eropa ada yang sopan, tertutup aurat, mengapa tidak itu yang ditiru? Islam tidak memerintahkan perempuan menutup tubuhnya dengan goni dan matanya saja yang keluar! Apa gunanya membungkus badan dengan goni itu padahal mata yang keluar sedikit itu penuh syahwat seakan-akan mengucapkan "pegang aku"!

Di Timur, di negeri-negeri Islam, dan di Barat, di negeri-negeri Kristen, ada pakaian yang sopan dan bila dipakai oleh seorang perempuan timbullah rasa hormat kita!

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Hal. 428-429, Penerbit Gema Insani, Cet.1, September 2018).

PEREMPUAN ITU SENDIRI ADALAH AURAT

Ananda menanyakan tentang batas aurat perempuan, "Sampai batas-batas manakah seorang perempuan muslim harus berpakaian?" Oleh karena Ananda yang bertanya tampaknya memang seorang perempuan Muslimat yang ingin mengikuti Nabi saw., ingatlah sebuah hadits yang dirawikan oleh at-Tirmidzi, "Perempuan itu sendiri adalah aurat. Bila ia telah keluar, Setan terus mendekatinya. Tempat yang paling dekat untuknya dalam perlindungannya adalah terang-terang di bawah atap rumahnya."

Oleh sebab itu kalau tidak perlu benar, janganlah keluar. Misalnya pergi belajar.

Pergi ke Masjid tidaklah dilarang. Namun, shalat di rumah adalah lebih afdhal.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 167-168, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

MENJADI IBU RUMAH TANGGA YANG TERHORMAT

"Dan menetaplah kamu di dalam rumah kamu." (al-Ahzaab pangkal ayat 33).

Maka segala pesan Allah SWT untuk disampaikan oleh Rasulullah saw. kepada istri-istrinya ini menjadilah tuntunan bagi tiap-tiap perempuan yang beriman yang bukan istri Rasul, berpakaianlah yang sopan, jangan berhias secara jahiliyyah, janganlah shalat dilalaikan dan berzakatlah kalau ada yang akan dizakatkan dan selalulah taat kepada Allah dan Rasul. Beribadah menurut contoh teladan yang dibawakan Nabi saw., melakukan syari'at yang digariskan Allah dengan penuh kesadaran, itulah dia yang bernama IMAN.

JAHILIYYAH MODERN

Kita pun insaf betapa hebatnya perjuangan di zaman jahiliyyah modern ini hendak menegakkan kebenaran Ilahi. Namun yang keji tetaplah keji walaupun banyak orang yang hanyut dibawa arusnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 192-213, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PRIBADI DAN MARTABAT BUYA HAMKA

Sahabatnya, Buya Zainal Abidin Syu'aib, yang kami panggil Buya ZAS, kerap datang dari Padang, singgah dan makan di rumah. Mereka membicarakan keadaan negeri asal mereka Minangkabau, tentang ulama-ulama yang sudah makin menipis, pergaulan pemuda-pemudi yang sudah sangat bebas, adat yang tak dihiraukan lagi, dan berita-berita kejahatan yang memenuhi koran-koran setiap hari.

Cerita-cerita sambil lalu itu pun bisa membuat Ayah menitikkan air mata.

(Rusydi HAMKA, PRIBADI DAN MARTABAT BUYA HAMKA, Hal. 83, Penerbit Noura, Cet.I, Januari 2017).

RUNTUH BUDI RUNTUHLAH BANGSA

Sebagaimana kata Syauqi Bey:

Wa innamal umamul akhlaqu maa baqiat
Wa in hummu dzahabat akhlaquhum dzahabuu

Yang kita salinkan ke dalam bahasa Ibu Pertiwi:

TEGAK RUMAH KARENA SENDI
RUNTUH SENDI RUMAH BINASA
SENDI BANGSA IALAH BUDI
RUNTUH BUDI RUNTUHLAH BANGSA

HAMKA

(Buya HAMKA, LEMBAGA BUDI: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, xi, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

AWAS DENGAN BAHAYA FITNAH

"Dan, jauhilah olehmu suatu fitnah yang tidak akan menimpa orang-orang yang zalim di antara kamu saja. Dan, ketahuilah bahwasanya Allah amatlah pedih siksaan-Nya." (al-Anfaal: 25).

Adzab siksaan Allah yang timbul karena fitnah merupakan adzab dunia yang paling pedih.

Peringatan Allah dalam ayat ini perlulah menjadi pedoman bagi umat Islam di mana-mana, bahwasanya fitnah adalah amat berbahaya. Yang kena bukan saja yang zalim, bahkan meliputi juga kepada orang-orang yang tidak bersalah, dan adzab siksanya amat mendalam bekasnya ke dalam jiwa, telah meremukkan kekuatan Islam di zaman lampau.

Alhamdulillah, telah merdekalah sebagian besar dari negeri Islam, dan termasuklah negeri Islam Indonesia. Maka, awaslah diri dari fitnah dan syukuri Allah atas nikmat kemerdekaan yang telah diberikan dan jadikanlah kemerdekaan itu menjadi jembatan emas untuk mencapai tujuan yang terakhir, yaitu menegakkan ridha Allah dalam negeri sendiri dan untuk memancarkan pula sinarnya ke seluruh dunia.

KITA AKAN BANGKIT KEMBALI

Kita akan bangkit kembali, menyambung perjuangan Muhammad saw. menegakkan kebenaran dan keadilan di atas permukaan bumi ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 692-694, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SINAR KEMAJUAN ISLAM

Lebih-lebih lagilah bagi pemuda-pemuda Islam Indonesia, untuk menyiapkan dirinya, karena telah sering kita mendengar dari beberapa orang ahli-ahli Islam dari negara-negara yang disebut negara Islam, bahwa sinar kemajuan Islam itu nanti akan memancar dari kepulauan Nusantara (Indonesia).

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 162, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

KEPADA PEMUDA:

"Bebanmu akan berat. Jiwamu harus kuat. Tetapi aku percaya langkahmu akan jaya. Kuatkan pribadimu!"

-HAMKA-

(Buya HAMKA, PRIBADI HEBAT, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2014).

SUATU KAUM YANG DICINTAI-NYA

Teringat pula penulis tafsir ini akan perkataan Mufti Palestina yang terkenal, Sayyid Haj Amin al-Husainy ketika penulis bersama teman penulis saudara Asad Bafagih sampai bertemu dengan beliau pada bulan Oktober 1950. Dengan penuh semangat di antara lain beliau berkata: "Kita telah rugi besar karena Palestina direbut Yahudi dan lebih dari satu juta orang Arab kehilangan tanah air. Tetapi Allah telah mengganti kerugian kita dengan laba yang lebih besar, dengan bangsa pemeluk Islam yang umumnya berjuta-juta mencapai kemerdekaannya, yaitu Indonesia dan Pakistan."

"Maka akan didatangkan oleh Allah suatu kaum yang dicintai-Nya, dan mereka pun mencintai-Nya, yang merendah diri kepada orang-orang yang beriman, gagah perkasa menghadapi orang-orang kafir, yang mereka berjihad pada jalan Allah, dan tidak mereka takut akan celaan orang yang mencela. Yang demikianlah kurnia Allah, yang Dia berikan kepada barangsiapa yang Dia kehendaki." (al-Maa'idah: 54).

Kita berdoa kepada Allah, moga-moga kita Muslimin Indonesia dapatlah memenuhi kelima keutamaan yang disebutkan Allah di dalam ayat ini, dengan dasar mencintai Allah dan Allah pun membalas cinta kita. Aamiin! Dan mencintai pula akan seluruh orang beriman di dunia ini. Janganlah bertemu hendaknya apa yang diperingatkan oleh Almarhum Kiai Ahmad Dahlan dengan ucapannya yang terkenal: "Islam bisa hilang dari Indonesia, tetapi tidak akan hilang dari muka bumi."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 727-728, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JANGAN TAKUT

"... Maka janganlah kamu takuti manusia tetapi takutlah Aku dan janganlah kau jual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Dan barangsiapa yang tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka adalah mereka itu orang-orang yang kafir." (al-Maa'idah: 44).

Selama kita hidup, selama IMAN masih mengalir di seluruh pipa darah kita, tidaklah sekali-kali boleh kita melepaskan cita-cita agar hukum Allah tegak di dalam alam ini, walaupun di negeri mana kita tinggal.

Katakan itu terus terang dan jangan takut!

Dan insaflah bahwasanya rasa takut orang menerima hukum Islam ialah karena propaganda terus-menerus dari kaum penjajah selama berpuluh beratus tahun, sehingga orang-orang yang mengaku beragama Islam sendiri pun kemasukan rasa takut itu karena dipompakan oleh penjajahan.

Lihatlah bagaimana celakanya perikemanusian di zaman sewenang-wenang hukum buatan manusia.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 706, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RAHASIA KEMENANGAN KITA

Laa ilaaha illallaah, Allaahu Akbar!

Inilah kekuatan kita.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 237, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

MUNAFIK

"Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang yang munafik dan orang-orang yang kafir di dalam Jahannam." (an-Nisaa' ujung ayat 140).

Orang-orang kafir ataupun munafik akan berganti-ganti datang, dengan rencana barunya. Gagal rencana pertama, mereka tukar dengan rencana kedua. Gagal yang kedua, mereka tukar dengan rencana ketiga, dan seterusnya.

Namun Mukmin jalan terus. Bila tewas atau syahid seorang, datanglah pula gantinya sepuluh lagi, dan seratus lagi. Akhirnya kebenaran jualah yang menang. Dan segala rintangan perintang, hambatan penghambat, hanya menjadi tambahan bukti saja atas benarnya masalah yang diperjuangkan oleh orang yang beriman itu.

Nanti sebentar lagi, dalam ayat 145 akan diterangkan bahwa dalam neraka Jahannam itu tempat duduk orang munafik terletak di dasar yang di bawah sekali. Kalau kita pikirkan dapatlah kita maklumi bahwa jiwa orang munafik lebih rendah daripada jiwa orang kafir. Kafir terang menentang, sedang munafik tak dapat menyatakan pendirian yang tegas!

"Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah di tingkat yang paling bawah dari neraka." (pangkal ayat 145).

Dalam ayat 140 sudah dijelaskan bahwa orang munafik dan orang kafir akan sama dikumpulkan dalam neraka Jahannam. Di ayat 140 ini sudah jelas bahwa munafik didahulukan menyebutnya dari kafir. Sekarang datang ayat 145 ini, menjelaskan lagi, bahwa meskipun munafik dan kafir sama-sama masuk neraka, namun tempat munafik adalah di alas yang di bawah sekali. Sebab karena dipandang lebih hina.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 491-499, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MEREKA BELI KESESATAN

"... Mereka beli kesesatan ..." (an-Nisaa': 44).

Mereka membeli pendirian yang sesat dengan mengorbankan harga kebenaran atau mereka pilih pendirian yang sesat dengan mengorbankan kejujuran.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 311, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JAWABAN ORANG-ORANG MUKMIN

"Sesungguhnya akan kami potong tangan-tangan kamu dan kaki-kaki kamu dengan bersilang dan sungguh akan kami salibkan kamu sekalian di batang kurma dan akan tahu sendirilah kamu siapa di antara kita yang teramat kejam adzabnya dan terlebih kekal." (Thaahaa: 71).

Tetapi takutkah mereka akan adzab siksaan yang sangat kejam dan bengis itu? Dipotong tangan dan kaki secara bersilangan? Kalau yang dipotong tangan kanan maka kaki yang dipotong ialah yang kiri, sesudah dipotongi cara demikian lalu dinaikkan ke batang kurma dan dipakukan, disalibkan!

Takutkah mereka akan semuanya itu? Tidak! Mereka tidak takut, bahkan mereka sambut dengan gagah,

"Putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan, yang akan kamu putuskan itu cumalah hidup di dunia ini saja." (Thaahaa: 72).

Itulah keyakinan sejati. Yang dibawa oleh Nabi Musa ini sudah terang bukan sihir. Tetapi mukjizat, kekuasaan Allah yang tidak dapat diatasi oleh manusia. Fir'aun boleh menggunakan kekuasaan, kegagah-perkasaan buat memaksa mereka mengubah pendirian itu, namun mereka tidak mau. Tidak ada yang lebih sengsara daripada mengubah pendirian. Maka jawaban orang-orang Mukmin itu adalah jawaban yang tepat, "Kalian hanya berkuasa di dunia ini saja. Dengan menghukum kami sampai mati, kebenaran itu tidak juga akan dapat diubah."

Di tiap zaman akan terjadi hal seperti ini. Barang yang batil hendak ditegakkan dengan kekerasan. Maka orang-orang yang lemah imannya dapat mendustai dirinya sendiri, lalu turut mempertahankan yang batil dengan mengatakan bahwa yang batil itu ialah yang hak. Orang yang seperti ini, yang mendustai diri, kebanyakan ialah karena takut mati. Padahal dengan mendustai diri itu dia tidak insaf bahwa hidupnya tidak ada harga lagi, artinya lebih hina daripada mati.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 513, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MUSUH BESAR

"Mereka itulah penghuni neraka, yang mereka di dalamnya akan kekal." (al-Baqarah ujung ayat 39).

Dengan ayat ini sebagai pengunci kisah, terbentanglah di hadapan kita suatu petunjuk bahwa kita tidak akan berhenti berjihad, bersungguh-sungguh, bekerja keras, bersemangat di dalam dunia ini. Kita sebagai turunan Adam telah diangkat menjadi khalifah Allah, menyambung tugas nenek moyang kita. Dan kita menghadapi satu kenyataan, yaitu di dalam melaksanakan tugas itu kita selalu diganggu dan diperdayakan oleh Setan Iblis.

Di sini pula kita mendapat suatu kesan yang mendalam tentang ajaran agama di dalam menentukan musuh kita. Kaum yang tidak bertuhan atau kaum yang hendak mempertahankan kekuasaan kezaliman, selalu membesar-besarkan bahaya musuh dari luar, supaya rakyat lupa atau dipalingkan perhatian mereka dari kelemahan pemerintahnya, lalu dikatakan bahwa musuh yang besar itu ialah Kapitalis, Imperialis dan Kolonialis. Sampai-sampai kalau rakyat tadi telah lapar, habis diisap darahnya oleh pemerintahnya sendiri, dikatakan juga bahwa sebab-sebab kesengsaraan rakyat itu ialah kaum kapitalis dari luar.

Akan tetapi, di dalam kehidupan beragama, diajarkan dan dititikberatkan sejak zaman dahulu bahwa musuh besar turun-temurun itu ialah Iblis atau Setan.

Oleh sebab itu, di dalam agama, orang diperintahkan menilik musuh terlebih dahulu di dalam dirinya sendiri sebelum mengadakan propaganda besar-besaran menipu orang banyak, supaya menghadapkan perhatian ke luar diri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 147, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KERASULAN YANG BESAR

Puncak kebesaran nabi-nabi dan para utusan itu sampailah pada diri nabi akhir zaman, Muhammad saw., rasul yang membawa Risalat Uzhma ke dalam alam ini. Dia adalah perjumpaan segala akhlak yang mulia dan perteduhan segala makhluk dunia mencari rahmat Ilahi. Mazhar dari cita yang paling tinggi di dalam kehidupan manusia. Segala budi bahasa yang tinggi, segala cita-cita yang mulia, yang tadinya terbayang dalam khayal, yang menurut ahli filsafat Plato kita ini semuanya adalah datang dari alam ideal itu karena selalu kita mengingati dia dan merinduinya.

Sekarang cita tinggi yang menjadi khayal itu diberi bertubuh oleh Tuhan, dijadikan insan yang sempurna kamil dalam lingkungan kemanusiaannya.

Itulah Muhammad saw.

Segala orang besar dunia, bila dibandingkan dengan kebesaran beliau itu hanyalah layak menjadi tentara pengiringnya. Ali bin Abi Thalib, salah seorang pengiringnya, masih jauh juga lebih tinggi daripada Napoleon, sedangkan Umar bin Khaththab salah seorang khalifahnya. Satu kesalahan juga bila Bismarck diberi kehormatan untuk mendekatinya, apatah lagi Khatamul Anbiyaa wal Mursalin.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM, Hal. 233-234, Penerbit Gema Insani, Cet.1, September 2018).

PANDANGAN SEORANG YANG BERAGAMA

Kalau kaumnya dikhianati oleh masa, dahulu mulia sekarang hina; dahulu memerintah dunia, sekarang di bawah kuasa orang beragama lain, dahulunya menjadi ahli budi, sekarang menjadi umat yang binasa; maka hatinya tak senang lagi, hidupnya tak senang diam. Dia belum akan berhenti berusaha sebelum umatnya kembali kepada kemuliaannya sediakala. Dia akan berusaha sekuat tenaga sampai cita-citanya berhasil. Dan kalau belum berhasil, sedang dia lekas mati, akan dipesankannya kepada anak-cucunya, menyuruh menyambung pekerjaan itu. Dia hanya menuju satu tujuan, yaitu kemuliaan umatnya, di dalam menuju tujuan tersebut dua pula yang harus dilaluinya, pertama berhasil dan dia sendiri yang memegang bendera kemenangan, kedua mati dalam perjuangan dengan pedang di tangan. Mati dengan cara demikianlah yang semulia-mulia mati dalam pandangan seorang yang beragama.

(Buya HAMKA, TASAWUF MODERN: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 112, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

AYAHKU

PESAN BELIAU KEPADA MUHAMMADIYAH

Cuma satu yang akan aku sampaikan kepada Pengurus Besar Muhammadiyah!

Tetaplah menegakkan agama Islam! Berpeganglah teguh dengan Al-Qur'an dan Sunnah! Selama Muhammadiyah masih berpegang dengan keduanya, selama itu pula ayah akan menjadi pembelanya. Tetapi kalau sekiranya Muhammadiyah telah mensia-siakan itu, dan hanya mengemukakan pendapat manusia, ayah akan melawan Muhammadiyah, biar sampai bercerai bangkai burukku ini dengan nyawaku!

Sampaikan pesanku ini kepada K.H. Mas Mansur sendiri.

Demikian kata beliau!

(Buya HAMKA, Ayahku, 268, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

THAGHUT

"Mereka itulah ahli neraka. Mereka akan kekal padanya." (al-Baqarah ujung ayat 257).

Kita akan dapat pula merasakan suasana kufur itu dalam satu negeri, yang di dalam statistik disebut daerah Islam, tetapi pimpinan mereka adalah thaghut. Cahaya terang kian lama kian berganti dengan gelap gulita, fitnah banyak, hasad dengki, perzinaan, kecabulan dan kemaksiatan yang lain. Kalau perwalian Allah telah diganti dengan perwalian thaghut, niscaya padamlah suluh, kembali dalam gelap.

Yang memimpin langsung orang yang beriman ialah Allah.

Akan tetapi, orang yang tidak mau menerima iman, yang menolak (kafir), dia pun ada pemimpinnya, tetapi bukan Allah, melainkan Thaghut, yaitu sekalian pemimpin yang akan membawa keluar dari batas yang ditentukan Tuhan. Kadang-kadang ditegaskan lagi adanya perwalian dari Setan, sumber yang asli dari segala macam thaghut. Ini tersebut dalam surah Aali 'Imraan: 175, tersebut juga dalam surah al-A'raaf: 30. Dengan demikian, di samping orang-orang Mukmin berusaha mengambil pimpinan dan bimbingan Allah, Setan pun berusaha memasukkan pimpinannya yang sesat kepada orang-orang yang memang sengaja mengelak dari pimpinan Allah.

Sebaliknya, orang-orang yang beriman yang telah menerima pimpinan Allah tadi, yang dikeluarkan Tuhan dari gelap kepada cahaya, mereka itu pun diberi kehormatan tertinggi, diberi nama "Auliaa Allah". Di dalam surah Yuunus: 62, mereka diberi jaminan oleh Allah bahwa wali-wali Allah itu tidaklah mereka akan merasa takut dan tidaklah mereka berduka cita.

Kemudian itu, dijelaskan pula bahwasanya orang-orang yang beriman laki-laki dan orang-orang yang beriman perempuan, yang sebagian adalah menjadi wali pula dari yang sebagiannya lagi, sama menyuruh berbuat ma'ruf, sama mencegah berbuat munkar, sama mendirikan shalat, sama mengeluarkan zakat, sama taat kepada Allah dan Rasul (surah at-Taubah: 71). Dikuatkan lagi oleh surah al-Anfaal: 72 bahwa orang yang beriman itu sanggup hijrah dan sanggup pula berjuang (jihad) dengan harta dan nyawa pada jalan Allah, dan sebagian mereka jadi wali dari yang sebagian.

Begitulah luasnya daerah yang tercakup dalam kata wali itu, baik Wali Allah maupun Wali Thaghut dan Wali Setan. Pengikut masing-masing menjadi wali pula bagi masing-masing, sokong-menyokong, bantu-membantu dan pimpin-memimpin.

Dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini dan setelah kita mengukurnya dengan keadaan dalam masyarakat, dapatlah kita mengerti bahwa thaghut itu, demikian juga manusia yang menjual kebebasan jiwanya kepada thaghut, ada macam-macam. Setengah menyembah berhala, setengah menyembah kubur, setengahnya menyembah orang-orang hidup yang dipandang sebagai hero (pahlawan), lalu orang menggantungkan nasib kepadanya.

Tauhid ialah untuk membebaskan jiwa manusia dari pengaruh thaghut itu. Karena, pengaruh thaghut menghilangkan nilai manusia pada diri seorang anak Adam, berganti dengan binatang yang patut dihalau ke hilir ke mudik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 517-519, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BER-KHILAFIYAH TENTANG PERINTAH ALLAH

Meskipun nama itu tidak diberitahu oleh Allah, namun dia sebagai Mukmin telah tercatat di sisi Allah. Mungkin ada hikmah tertinggi dari Allah tidak menyebut nama ini. Yaitu akan menjadi renungan bagi tiap-tiap pejuang Mukmin yang ikhlas bahwa tidaklah penting nama disebut orang asal bercatat di sisi Allah. Akan jadi teladan bagi orang yang berjuang dengan ikhlas, yang disebut dalam bahasa Jawa,

"Sepi ing pamrih, rame ing gawe".

"Orang-orang yang mempertengkarkan pada ayat-ayat Allah tidak dengan alasan yang sampai kepada mereka, amat besarlah dosanya di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mencap hati tiap-tiap orang yang sombong lagi angkuh." (al-Mu'min: 35).

Artinya kalau datang ayat-ayat Allah bukanlah mereka musyawarah bagaimana supaya dapat diamalkan, melainkan jadi buah pertengkaran dan perdebatan.

Umumnya mereka sangat ahli memperdebatkan dan bertengkar, ber-khilafiyah tentang perintah Allah, bukan buat diamalkan, melainkan buat mencari jalan keluar. Sebab itu Allah mengutuk dan orang yang beriman pun bosan dengan mereka.

Mau menang sendiri. Hati telah dicap, telah ditutup diberi materai, diberi lak, sehingga tidak terbuka lagi buat menerima kebenaran.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 96-100, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HUKUM ALLAH

Adakah sesuai peraturan yang mereka perbuat dengan kehendak Allah dan Rasul.

Itulah sebabnya dalam Islam diadakan baiat di antara pihak yang diserahi kekuasaan dengan yang dikuasainya. Di hadapan rakyat yang menyerahkan kuasa itu yang diberi kuasa harus menerima baiat, bahwa rakyat wajib taat kepada perintahnya, dan dia pun berbaiat, bahwa hukum yang akan ditegakkannya mesti sesuai dengan hukum Allah. Kalau tidak, rakyat dapat melepaskan diri dari baiatnya.

Di dalam membicarakan Thagut pada ayat 60 surah an-Nisaa' dijelaskan bahwa sumber hukum Thagut adalah Setan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 245-247, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MERAMPAS HAK ALLAH

Orang yang kafir itu, pemimpinnya ialah Thaghut, yaitu segala kekuasaan yang bersifat merampas hak Allah, yang tidak menghargai nilai hukum Ilahi.

Thagut itu pemimpin mereka, keluar dari tempat yang terang benderang bercahaya akan dibawa ke tempat yang gelap gulita dan mereka jadi ahli neraka dan kekal di dalamnya.

Kalau orang yang beriman, dia berjuang ialah pada jalan Allah.

Tetapi orang-orang yang kafir berjuangnya ialah pada jalan Thagut.

Pada lanjutan ayat diperintahkan kepada orang yang beriman, hendaklah perangi wali-wali Setan itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 656, Jilid 8 Hal. 20, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TANGGUNGAN NEGARA, MASYARAKAT DAN RUMAH TANGGA

"Akan datang suatu zaman, orang yang memegang teguh agamanya pada waktu itu adalah laksana orang yang menggenggam bara." (HR. at-Tirmidzi dari Anas bin Malik).

Lebih celaka lagi apabila perempuan telah turut mengatur pula tujuan-tujuan hidup itu.

Mula-mula kaum perempuan meminta hak yang lebih luas. Jangan mereka hanya ditentukan untuk ke dapur dan menyusukan anak saja.

Lama-lama mereka pun meminta hak yang lebih luas daripada itu.
Mereka meminta pula supaya mereka pun turut memikirkan dan membicarakan urusan-urusan negara. Mereka meminta supaya diberi hak memilih dan dipilih.

Kemudian mereka meminta lagi hak yang lebih dari itu. Mereka meminta hak pula buat turut masuk ke dalam kantor, meminta hak pula buat berjualan dalam toko. Lebih jauh, mereka pun meminta hak pula supaya bebas keluar dari dalam rumahnya sebebas laki-laki.

Maka tidaklah ada perbedaan lagi, mana batas hak laki-laki dan mana batas hak perempuan.

Bahkan kadang-kadang laki-lakilah yang perlu menjadi khadam, dari pada kaum yang katanya "kaum lemah" itu, padahal dengan tikaman sudut matanya saja, dia dapat menaklukkan sekuat-kuat laki-laki.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM Jilid 3, Hal. 204-220, Republika Penerbit, Cet.1, April 2018).

SAMA SAJA DASAR TUDUHANNYA

"Tatkala berkata orang-orang yang munafik dan orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, 'Telah menipu kepada mereka agama mereka.' Padahal barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Gagah, lagi Maha Bijaksana." (al-Anfaal ayat 49).

Orang yang sakit hati dan munafik menuduh "gharra ha-ulai-i dinuhum" mereka telah ditipu oleh agama mereka.

Persis perkataan seperti inilah yang selalu diulang-ulang oleh musuh-musuh Islam kalau kaum Muslimin telah melawan kezaliman mereka.

Mereka tidak mau menjadi budak dari sesama manusia karena mereka telah memberikan seluruh perhambaan diri untuk Allah.

Lalu mereka melawan seketika ditindas, kadang-kadang kekuatan tidak seimbang, lalu mereka disapu bersih dengan senapan mesin, mereka pun mati.

Maka si penindas tadi berkata,

"Mereka telah ditipu oleh agama mereka. Mereka fanatik agama!"

Maka baik munafikin Quraisy dan orang-orang yang sakit hati di zaman Rasul di Perang Badar itu, atau kaum penjajah yang terhambat usahanya memadamkan Cahaya Islam di zaman kita, atau kaum komunis yang memandang bahwa agama adalah penghalang paling besar bagi kemajuan paham tidak bertuhan, yang jadi dasar ideologi mereka, sama saja dasar tuduhannya, mengatakan bahwa orang yang berani menghadapi maut karena mempertahankan agama, mereka katakan bahwa mereka telah ditipu oleh agama mereka. Padahal ini bukan urusan kena tipu oleh agama, melainkan urusan IMAN yang telah sampai di puncak, yaitu tawakal.

Kalau tawakal sudah datang, betapa pun besarnya musuh, berapa pun kecilnya diri, orang tidak peduli lagi.

Orang sudah tawakal kepada Allah: hidup syukur, mati pun sudah!

Daripada hidup bercermin bangkai, baiklah mati berkalang tanah.


Kalau sudah sampai di suasana yang demikian, diri pun menjadi gagah, karena telah dipercik oleh sifat Aziz Allah. Dan ilmu pun datang, sebab sudah disinari oleh sifat Allah Alim, yaitu Pengetahuan Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 22-23, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENGAMBILAN SUMPAH

Di beberapa negeri memang dilakukan pengambilan sumpah di masjid dengan secara khidmat. Malahan di beberapa negeri memakai Al-Qur'an, sebagai tambahan bid'ah.

Mengangkat sebuah kitab suci Al-Qur'an, yaitu tradisi yang diwarisi dari Belanda dan diteruskan oleh pemerintah kita, dan sekali-kali tidak ada dari Nabi Muhammad saw. ataupun dari para sahabatnya.

Mereka telah bersumpah dengan mengangkat Al-Qur'an, namun yang curang ada juga. Telah mengucap "Demi Allah", namun yang korupsi masih ada.

"Tak usah bersumpah, laksanakan saja perintah. Itulah yang lebih baik." (an-Nuur pangkal ayat 54).

Maka seorang Mukmin tidaklah banyak sumpah, karena dia jujur dan percaya kepada dirinya, yang ya tetap ya, yang tidak tetap tidak. Dia percaya kepada dirinya, sebab dia percaya kepada Allah SWT.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 66, Jilid 6 Hal. 320-321, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TANGGUNGAN NEGARA, MASYARAKAT DAN RUMAH TANGGA

Tidaklah dapat kita ingkari bagaimana hebatnya perjuangan menegakkan agama di dalam masyarakat yang berbagai warna dan corak ini. Rasulullah saw. pernah bersabda:

"Akan datang suatu zaman, orang yang memegang teguh agamanya pada waktu itu adalah laksana orang yang menggenggam bara." (HR. at-Tirmidzi dari Anas bin Malik).

Abdullah bin 'Abbas, sahabat Nabi yang alim itu pernah menyatakan bahwasanya jika keluar dari dalam rumah kita, di hadapan kita telah menunggu 700 macam pintu dosa. Payahlah kita mencari kehidupan yang tenteram tenang di tengah masyarakat yang ribut sibuk. Kadang-kadang, seperti tersebut juga dalam hadits Nabi kita tidak dapat memperbedakan lagi dari manakah sumber kehidupan kita, apakah dari yang haram atau dari yang halal.

Rumah-rumah tangga yang sepatutnya untuk "sakinah", ketenteraman hati di waktu malam, telah kosong dan dikunci. Sejak yang kecil sampai yang dewasa, keluar dari dalam rumah dan orang pergi ke tempat-tempat pelesir menghabiskan harta dan umur.

Bagaimana kaum wanita akan setaat dahulu menjaga kehormatannya dan tenteram dalam rumah tangganya, padahal mode pakaian wanita telah ditentukan oleh kaum kapitalis saudagar pakaian, yang mencari bentuk-bentuk yang selalu mesti baru dan selalu mesti ganjil, bertukar tiap sebentar, sehingga belum lusuh kain dipakai, sudah terpaksa diganti dengan bentuk yang baru, sebab modenya sudah bertukar pula. Gadis-gadis sudah terlebih bebas bergaul dengan pemuda, dan dosa yang bernama zina sudah mulai tidak dirasa berat lagi. Dan banyak lagi yang lain-lain.

Pada suatu hari kami ziarah ke rumah almarhum Haji Agus Salim. Lama kami mendengarkan fatwa-fatwa beliau yang penuh isi itu. Seorang di antara kami mengemukakan adanya krisis akhlak di zaman sekarang. Ada yang menyebut tentang kecurangan-kecurangan, tentang perebutan pengaruh di antara pemimpin-pemimpin negara, dan lain-lain. Kami minta pendapat beliau. Beliau menjawab, "Jika saudara menampak banyak sekali krisis akhlak, saya pun masih melihat akhlak yang tidak krisis." Kami menunggu lanjutan perkataan beliau. Dan, setelah beliau berhenti sebentar berbicara, lalu beliau teruskan pula: "Bagaimana kita pada saat ini akan dapat berbicara leluasa dan bebas, tidak merasa takut sedikit pun menyatakan yang terasa di hati, kalau sekiranya tidak ada keamanan. Keamanan itu sekarang ada pada kita. Karena ada dan nyatanya, kita tidak ingat lagi akan adanya. Kita menjadi aman karena ada polisi yang menjaga sekeliling kota ini. Kita tidak mengenal polisi itu, karena kita tidak menghadapkan perhatian kepadanya. Berapa banyaknya kita lihat polisi berdiri di tengah jalan raya, mengatur hubungan lalu lintas, kendaraan lalu bersilang-siur. Dia menaikkan tangannya menyuruh terus jalan, atau menyuruh berhenti. Dalam panas garang dia tegak, dan dalam hujan lebat pun dia tegak melakukan tugasnya di tempat yang ditentukan itu. Cobalah hitung-hitung, berapakah gajinya polisi lalu lintas itu! Sebab itu maka akhlak masih ada!"

Setelah itu beliau lanjutkan pula: "Akhlak masih baik dan utuh! Jika saudara tadi memandang adanya korupsi dan kecurangan pada kantor-kantor, saya pun melihat, masih banyak jumlahnya, lebih banyak dari yang berbuat korupsi yaitu pegawai-pegawai yang setia, opas-opas kantor yang bekerja dengan setia. Gajinya kecil, anaknya banyak dan mukanya masih tetap dihiasi dengan senyum tanda patuh. Mereka masuk ke dalam kantor, kadang-kadang itu ke itu juga kemeja yang dipakainya. Karena kesetiaan dan akhlak mereka yang belum rusaklah, maka administrasi pemerintahan Republik ini masih utuh dan dapat dilanjutkan."

Banyak lagi beliau kemukakan contoh-contoh yang lain, yang beliau pandang dengan penuh perhatian dan dada terbuka. Beliau kisahkan juga sopir-sopir mobil kepunyaan pembesar, yang sampai larut malam memikul tugasnya, istri-istri yang setia, anak-anak yang tekun menghafal pelajaran sampai larut malam, karena iba kasihan akan kerugian orang tuanya. Maka pahamlah kami, bahwa beliau pada waktu itu mendidik kami memperhatikan yang baik di dalam yang buruk.

Sampai akhirnya beliau berkata: "Kalau sekiranya tidaklah ada orang yang ikhlas dalam perjuangan, niscaya tidaklah akan tercapai kemerdekaan negara ini."

Mengukur tujuan hidup dengan kebendaan inilah yang membawa banyak penyakit negara yang masih muda. Perebutan pangkat, kursi dan kemegahan, karena kehilangan tujuan hidup yang sejati, menimbulkan bercabang-cabang dosa.

Di antaranya ialah kehilangan malu.

Padahal Nabi Muhammad saw. bersabda:

"Malu itu adalah satu cabang dari iman." (Bukhari Muslim, al-Baihaqi Ibnu Hibban dari Abi Hurairah).

Maka timbullah korupsi. Uang negara dibelanjakan dengan tidak ada batas, untuk kepentingan kemegahan beberapa orang. Pencuri-pencuri kecil ditangkap polisi. Pencuri besar membuat pameran di hadapan masyarakat ramai, bagaimana megah hidupnya daripada uang bercuri.

Lebih celaka lagi apabila perempuan telah turut mengatur pula tujuan-tujuan hidup itu.

Mula-mula kaum perempuan meminta hak yang lebih luas. Jangan mereka hanya ditentukan untuk ke dapur dan menyusukan anak saja.

Lama-lama mereka pun meminta hak yang lebih luas daripada itu. Mereka meminta pula supaya mereka pun turut memikirkan dan membicarakan urusan-urusan negara. Mereka meminta supaya diberi hak memilih dan dipilih.

Kemudian mereka meminta lagi hak yang lebih dari itu. Mereka meminta hak pula buat turut masuk ke dalam kantor, meminta hak pula buat berjualan dalam toko. Lebih jauh, mereka pun meminta hak pula supaya bebas keluar dari dalam rumahnya sebebas laki-laki. Meminta hak pula supaya hadir dalam pertemuan-pertemuan yang penting. Untuk semuanya itu tentu perlu pakaian yang bagus-bagus, minyak yang amat sangat harum, alat berhias yang sangat mewah. Maka berlombalah ahli-ahli mode dan ahli pakaian, dan saudagar minyak harum dan saudagar bedak, bekerja keras menyediakan apa yang perlu bagi mereka. Maka seluruh kehidupan itu pun penuhlah dengan mode pakaian yang menggiurkan hati, setiap waktu setiap bertukar modenya. Dan penuhlah majelis dengan bau minyak wangi. Semuanya itu menghendaki uang banyak. Bagaimana yang miskin? Bagaimana yang kurang mampu? Tentu menghapus bibir, dan timbullah rasa dengki dan iri hati pada jiwa mereka, dan timbullah dendam.

Maka tidaklah ada perbedaan lagi, mana batas hak laki-laki dan mana batas hak perempuan.

Bahkan kadang-kadang laki-lakilah yang perlu menjadi khadam, dari pada kaum yang katanya "kaum lemah" itu, padahal dengan tikaman sudut matanya saja, dia dapat menaklukkan sekuat-kuat laki-laki.

Contoh yang buruk diberikan oleh orang-orang yang semestinya bertanggung jawab. Perempuan-perempuan lacur di sudut-sudut gang ditangkapi, tetapi pelacuran "kaum halus" dalam kalangan "bapak-bapak", terpaksa didiamkan, sebab tidak ada polisi susila yang berani menjambakan tangannya ke sana. Maka hancurlah kewajiban negara dan kewibawaan bangsa dari dalam, laksana api memakan sekam. Hukum tidak dapat dilakukan rata. Penjara hanya penuh oleh orang yang tidak pandai mempertahankan diri, baik dengan kincir alir lidah atau dengan sogokan uang.

Senjata yang paling dahsyat untuk memerangi musuh yang telah menjalar di dalam jiwa setiap umat itu hanyalah senjata agama.

Senjata iman kepada Allah, yang dituruti oleh amal saleh.

Pokok pekerjaan yang pertama ialah memupuk iman. Setelah itu ialah menurutinya dengan amal saleh.

Dimulai dari dalam diri sendiri.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM Jilid 3, Hal. 204-220, Republika Penerbit, Cet.1, April 2018).

PEREMPUAN ITU SENDIRI ADALAH AURAT

Berlakulah menurut patutnya seorang perempuan yang beriman dan bertakwa.

Ananda menanyakan tentang batas aurat perempuan, "Sampai batas-batas manakah seorang perempuan muslim harus berpakaian?" Oleh karena Ananda yang bertanya tampaknya memang seorang perempuan Muslimat yang ingin mengikuti Nabi saw., ingatlah sebuah hadits yang dirawikan oleh at-Tirmidzi, "Perempuan itu sendiri adalah aurat. Bila ia telah keluar, Setan terus mendekatinya. Tempat yang paling dekat untuknya dalam perlindungannya adalah terang-terang di bawah atap rumahnya."

Oleh sebab itu kalau tidak perlu benar, janganlah keluar. Misalnya pergi belajar.

Pergi ke Masjid tidaklah dilarang. Namun, shalat di rumah adalah lebih afdhal.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 164, Hal. 167-168, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

MUSYRIK

Orang yang mengakui telah Islam pun bisa pula jadi musyrik, mempersekutukan yang lain dengan Allah karena hawa nafsunya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 459, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MEMERANGI HAWA NAFSU

Kalau manusia kurang hati-hati, tergelincirlah dia, sangkanya dia sanggup memerdekakan diri dari pengaruh Setan, dia percaya akan dirinya sendiri, dia akan sanggup berjuang dengan Setan atau dengan hawa, padahal dengan tidak diinsafinya dia telah terpengaruh oleh Setan, dan hawa nafsu. Bahkan kadang-kadang dirinya sendiri telah jadi Setan dengan tidak disadarinya, karena yang diikutinya bukan perintah Tuhan, yang tidak setuju dengan kehendak nafsunya diputarnya, didalihnya, dibajuinya dengan baju agama.

Apa saja tipuan yang dilakukannya kepada orang banyak, diberinya cap "atas nama agama", "demikian firman Allah", "demikan titah Rasul", tidak boleh dilanggar, siapa melanggar berdosa.

Padahal ayat dan hadits itu, hanya diambilnya, menguatkan hawanya.

Bukan hawanya yang ditaklukkannya kepada Al-Qur'an dan hadits.

(Buya HAMKA, TASAWUF MODERN: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 141-142, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

BERTUHAN KEPADA HAWANYA SENDIRI

"Adakah engkau lihat (utusan-Ku) betapa hal orang yang bertuhan kepada hawanya sendiri ..." (al-Furqaan ayat 43).

KLIK DISINI: TENTANG JILBAB, KERUDUNG, AURAT PEREMPUAN DAN AURAT LAKI-LAKI (DALIL HUJJAH RIWAYAT YANG KUAT)

KEPADA SOEKARNO-HATTA

Bukankah telah kukatakan kepadamu:

"Apa jua pun yang engkau perbuat, engkau sadar atau tidak, Namun, agama tetap akan menjadi dasar perjuanganmu."

(Buya HAMKA, KENANG-KENANGAN HIDUP, Hal. 651, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2018).

KLIK DISINI: BUYA HAMKA DAN BUNG KARNO (SEBUAH KISAH PERSAHABATAN SEJATI DI NKRI)

WAHABI

Negeri-negeri Melayu mulai merasakan kebangkitan yang baru dari Islam karena masuknya paham-paham yang diajarkan oleh kaum WAHABI.

Muncul permulaan KAUM MUDA di Malaysia, Syekh Taher Jalaluddin, Sayid Syekh al-Hadi, Syekh Muhammad al-Kalali, Sayid Abdullah Ibnu Aqil, dan Za'ba.

Terbit majalah Islam yang membawa pembaharuan paham Islam yang mula-mula, yakni AL-IMAM (1906-1909), dan di Sumatra Barat (Minangkabau) muncul gerakan KAUM MUDA dengan majalah AL-MUNIR (1911), muncullah murid-murid Syekh Ahmad Khatib yang baru pulang dari Mekah, 3 orang di antaranya yang sangat terkenal, yakni Haji Abdullah Ahmad Padang, Haji Abdul Karim Amrullah di Padang Panjang, dan Syekh Muhammad Jamil Jambek di Bukit Tinggi.

Di Jawa muncullah kebangkitan kesadaran politik yang dipelopori oleh Islam dan dipimpin oleh Haji Samanhudi, H.O.S. Cokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Muncul kebangkitan pembaharuan paham agama yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah, dan Syekh Ahmad Surkati dengan mendirikan perkumpulan al-Irsyad.

Kemudian, seluruh kebangkitan dan kesadaran Islam itu bersatu-padu dengan gerakan kebangsaan sehingga tercapai KEMERDEKAAN INDONESIA dari penjajahan Belanda pada Tanggal 17 Agustus 1945.

(Buya HAMKA, Sejarah Umat Islam, Hal. 521, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

PESAN-PESAN ISLAM KH. AGUS SALIM

Maka aliran kelima ini, yang keseluruhannya dikenal dengan sebutan kaum Syi'ah, yaitu aliran yang membangkang.

Telah saya singgung bahwa kaum Syi'ah sepanjang sejarah menjadi penganut paham teokrasi melalui golongan pendeta atau imam.

Kerajaan Ibn Saud, yang sungguh adalah seorang Muslim yang keras dan telah mengumpulkan kaum ulama di sekitarnya, namun pemerintahnya tidaklah dipimpin oleh kaum ulama.

Selanjutnya, terdapat pula beberapa madzhab lain yang masing-masing disebut madzhab kelima. Golongan ini tidak mengakui keabsahan keempat madzhab hukum yang ada dalam Islam, dan tidak mengakui keabsahan khalifah. Mereka adalah kaum Syi'ah.

Tapi, ini sama sekali suatu perkembangan yang terpisah dari perkembangan Islam, yang menurut Al-Qur'an dan Hadits.

Para pemimpin Syi'ah, masing-masing secara terpisah berhak memberikan penafsiran dari Al-Qur'an, dan kemudian pengikut-pengikutnya dibenarkan untuk mengikutinya. Tentu saja ini sesuatu perkembangan agama dengan sistem kependetaan. Jika diakui oleh para pendetanya barulah benar.

Demikianlah mengenai kaum Syi'ah.

(KH. AGUS SALIM, PESAN-PESAN ISLAM: KULIAH-KULIAH MUSIM SEMI 1953 DI CORNELL UNIVERSITY AMERIKA SERIKAT, Hal. 213, 245-246, Penerbit Mizan, Cet.I, Mei 2011).

SURAH AN-NUUR (CAHAYA)

"Inilah dia satu surah yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankannya), dan Kami terakan pula di dalamnya ayat-ayat nyata, supaya kamu mendapat peringatan." (an-Nuur ayat 1).

Di dalam ayat-ayat yang pertama ini sudah jelas, bahwa surah an-Nuur ini telah diturunkan berisi peraturan-peraturan dan perintah yang wajib dijalankan dalam masyarakat Islam, dilakukan dan tidak boleh diabaikan, mesti dijadikan peraturan yang berjalan kuat kuasanya atas masyarakat.

Dan di samping peraturan-peraturan yang mesti dijalankan itu. Surah ini pun tetap mengandung ayat-ayat yang terang dan jelas, diterangkan atau dijelaskan terutama berkenaan dengan hubungan seseorang dengan Penciptanya, dalam rangka kepercayaan Tauhid, yang menjadi pokok pangkal pendirian seorang Islam dan masyarakat Islam. Dengan keduanya ini, peraturan yang diwajibkan dan ayat-ayat yang jelas tumbuhnya masyarakat dengan kuat dan teguhnya sebab segala peraturan yang berlaku bukan semata kehendak manusia, tetapi bersumber dari Allah. Dijelaskan hal ini supaya kita segenap pendukung masyarakat Islam ingat benar-benar pegangan hidup atau sendi empat menegakkan masyarakat Islam itu.

Dan ayat-ayat seperti inilah tumbuhnya cita (ideologi) yang tak kunjung padam di dalam hati setiap Muslim hendak mengurus betapa supaya masyarakat yang baik dan terpuji, adil dan makmur, rambah dan ripah bisa terbentuk.

Ini pula sebabnya maka dalam titik tolak pikiran Islam tidak ada pemisahan di antara agama dengan masyarakat, baik masyarakat kesukuan dan kabilah ataupun kelaknya masyarakat yang telah membentuk dirinya sebagai sebuah negara.

Allah SWT mendatangkan perintah, dan perintah itu wajib dilaksanakan, dijadikan kenyataan dalam masyarakat. Allah SWT menjadi pembentuk undang-undang (legislatif), dan manusia sejak pemegang pemerintahan sampai rakyat pelaksananya (eksekutif).

Apabila dia dapat berjihad (berjuang) untuk mencapai cita-cita itu, berapa pun tercapainya, si Muslim merasa mendapat pahala dari Allah SWT, bukan saja kebahagiaan dunia, bahkan pula kebahagiaan surga di akhirat. Dan kalau dia berlengah diri itu, dia merasa berdosa. Celakalah di dunia dan neraka di akhirat. Adapun, kuat lemahnya cita yang demikian dalam dirinya adalah bergantung dari kuat atau lemahnya pengertiannya atas tuntutan-tuntutan agamanya.

Ini adalah tujuan hidup seorang Muslim: yaitu melaksanakan kehendak hukum Allah dalam masyarakat.

Sebab menurut Islam, sumber hukum ialah Allah dan Rasul, yang dinamai Syari'. Tetapi tidaklah dapat kita melupakan, bahwasanya keadaan adalah terbagi dua. Yaitu tujuan (Ghayah) dan taktik untuk mencapai tujuan (Wasilah). Kadang-kadang dia jatuh karena kesalahan taktik, yang karena hebatnya rintangan atau karena belum adanya pengalaman. Tetapi kesalahan taktik atau kegagalan haruslah dijadikannya pengajaran untuk melanjutkan lagi mencapai yang ditujunya.

"Apakah manusia menyangka, bahwa mereka akan dibiarkan saja berkata, 'Kami beriman.' Padahal mereka belum diuji? Sungguh telah Kami uji orang yang sebelum mereka, maka diketahui Allah siapa di antara mereka yang benar-benar beriman dan siapa pula yang hanya berbohong belaka." (al-‘Ankabuut: 2-3).

CARA PELAKSANAAN HUKUMAN

Sunnah Rasulullah adalah sumber hukum yang kedua.

Meskipun pelemparan dengan batu itu tidak tersebut dalam ayat, dia menjadi hujjah (alasan), karena demikianlah telah dilakukan oleh Rasulullah saw. Dan menjalankan hukum ini diterima dari perawi-perawi yang dapat dipercaya, yaitu Abu Bakar, Umar, Ali, Jabir bin Abdullah, Abu Said al-Khudari, Abu Hurairah, Zaid bin Khalid dan Buraidah al-Aslami. Semuanya sahabat-sahabat yang besar-besar dan ternama.

Hukuman ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. kepada seorang sahabat yang bernama Ma'iz, yang datang sendiri mengakui terus terang kepada Nabi, bahwa dia telah bersalah berbuat zina. Dia sendiri yang minta dihukum. Berkali-kali Nabi saw. mencoba meringankan soal ini, sehingga beliau berkata, "Mungkin baru engkau pegang-pegang saja," "mungkin tidak sampai engkau setubuhi," dan sebagainya, tetapi Ma'iz berkata juga terus terang, bahwa dia memang telah berzina, bahwa dia memang telah melanggar larangan Allah SWT, dan belumlah dia merasa ringan dari pukulan dan pukulan batin sebelum dia dihukum. Maka atas permintaannya sendirilah dia dirajam, sampai mati. Kejadian itu pula hal demikian pada 2 orang perempuan, seorang dari suku Bani Lukham dan seorang lagi persukuan Bani Ghamid, datang pula mengaku di hadapan Nabi, bahwa mereka telah terlanjur berzina. Seorang di antaranya sedang hamil dari perzinaan itu. Sebagaimana Ma'iz, kedua perempuan itu rupanya merasa tekanan batin yang amat sangat sebelum hukuman itu dijalankan atas diri mereka, sehingga dijalankan pula hukuman rajam itu, sampai mati. Dan terhadap kepada perempuan yang hamil itu, hukum tersebut baru dijalankan setelah anaknya lahir dan besar, lepas dari menyusu. Itu pun perempuan itu sendiri juga yang datang melaporkan diri.

Adapun perempuan dan laki-laki yang tidak muhshan, misalnya perempuan yang tidak atau belum bersuami dan laki-laki yang tidak atau belum beristri, dilakukan hukuman seperti tersebut dalam ayat tadi, yaitu dipukul cambuk, atau dengan rotan 100 kali, di hadapan khalayak ramai kaum Muslimin.

Sejak dari syari'at Nabi Musa, baik dalam Hukum Sepuluh (Kitab Taurat) ataupun dalam pelaksanaan hukum Taurat itu, zina telah dilarang keras dan barangsiapa yang melakukannya diancam dengan hukum rajam juga.

Dan Nabi Isa al-Masih sendiri pun memberi peringatan keras kepada murid-muridnya agar janganlah memandang perkara enteng zina itu, sehingga beliau berpesan kalau matamu telah terlanjur berzina, yaitu salah pandangmu kepada perempuan karena syahwatmu, lebih baik dikorek mata itu. Cuma Nabi Isa yang tidak mempunyai kekuasaan buat menjalankan hukum Taurat, yaitu rajam itu. Sebab kekuasaan ketika itu tidak ada di tangan beliau. Negeri Palestina adalah di bawah kekuasaan bangsa Romawi. Dan setelah Nabi Muhammad saw. menegakkan kekuasaan Islam di Madinah, barulah dibangkitkan hukum Taurat itu kembali. Malahan seketika terdapat orang Yahudi dalam pemerintahan beliau di Madinah berbuat zina, telah disuruhnya membaca nash Kitab Taurat yang masih ada di tangan mereka, dan Nabi menjalankan hukum Taurat itu untuk mereka.

Di dalam ayat 2 itu dijelaskan, bahwa hukum itu mesti dilakukan dan tidak boleh dikendurkan karena merasa belas kasihan atau tenggang-menenggang. Malahan di dalam susunan ayat itu didahulukan menyebut laki-laki yang berzina. Karena menghambat jangan sampai orang mengendurkan hukum karena yang akan dihukum itu ialah kaum lemah, perempuan yang patut dikasihani, dan sebagainya.

Mengapa islam sekeras itu menghukum orang yang berzina?

Diterangkanlah kesimpulan maksud agama, yaitu untuk memelihara lima perkara.

Pertama, memelihara agama itu sendiri. Sebab itu dihukum orang yang murtad, dihukum orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, dihukum orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Dan untuk memelihara dan mempertahankan agama, diperbolehkan berperang.

Kedua, memelihara jiwa raga manusia. Sebab itu dihukum qishash barangsiapa yang membunuh sesama manusia. Dan dilarang membunuh diri sendiri. Dilarang menggugurkan kandungan. Tidak boleh orang bertindak sendiri membunuh orang yang bersalah misalnya, kalau tidak hakim yang melakukannya karena suatu keputusan hukum. Atau berbunuh-bunuhan karena berperang menegakkan agama atau membela batas-batas negara (tsughur).

Ketiga, memelihara kehormatan. Hendaklah hubungan laki-laki dan perempuan dengan nikah. Dilarang berzina dan didera atau dirajam barangsiapa yang melakukannya. Di zaman pemerintah Khalifah keempat, Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah dilakukan hukuman bakar atas orang yang bersetubuh sejenis (liwath), yaitu laki-laki menyetubuhi laki-laki atau perempuan mengadu faraj-nya dengan sesamanya perempuan (musabaqah) dan pernah juga dijatuhkan hukuman bunuh atas orang yang tertangkap menyetubuhi binatang.

Keempat, memelihara akal. Sebab itu dihukum pukul (dera) orang yang minum minuman keras yang memabukkan, karena mabuk adalah merusak akal.

Kelima, memelihara harta benda. Dianjurkan berusaha mencari rezeki harta yang halal. Dihukum pencuri dengan memotong tangannya, perampok disalib atau dipotong kaki dan tangan, atau dibuang.

Dan wibawa hukum ini harus dijaga, tidak boleh diremehkan, tidak boleh diabaikan, tidak boleh menenggang, atau karena rasa kasihan. Dikendurkan karena tenggang-menenggang.

"Kalau mencuri Fatimah binti Muhammad, akan saya potong juga tangannya."

Mari kita perhatikan betapa pula sikap pelaksanaan hukum dera dan rajam itu dalam agama Islam. Bolehkah seorang yang disangka berbuat zina terus didera dan dirajam?

Syarat bertemu, baru hukum itu dijalankan.

1. Yang bersalah sendiri mengakui di hadapan hakim, bahwa dia berzina, sebab itu dia minta dihukum. Ini tentu jarang terjadi. Kalau terjadi juga hanyalah pada orang-orang yang derajat imannya telah mencapai iman 3 sahabat Nabi, 1 laki-laki dan 2 perempuan seperti diriwayatkan di atas tadi.

2. Seorang perempuan bunting saja, tidak terang siapa suaminya.

3. Kesaksian dari 4 orang saksi yang melihat sendiri berbuat zina. Dan hendaklah 4 orang saksi itu orang yang dapat dipercaya kesaksiannya. Kalau misalnya hanya 3 orang yang melihat, janganlah dilaporkan kepada hakim, sebab itu belum memenuhi syarat, dan hendaklah dia menutupi berita itu, sebab dia dapat dituduh merusak nama baik orang, dan dapat pula dihukum dengan dera 80 kali, sebagaimana yang akan diterangkan nanti pada ayat berikut.

Pendeknya, kalau zina itu kejadian juga, karena manusia tetap manusia, kejahatan pasti juga ada di samping orang yang mendirikan yang baik, hendaklah hal itu jangan dibicarakan, hendaklah tutup rapat. Sebab masyarakat yang suka membicarakan soal-soal demikian diancam juga oleh bahaya dia akan terjerumus ke dalam pengaruh yang dibicarakannya itu.

Sebagaimana suatu cerita yang penulis alami di suatu negeri di zaman Revolusi dahulu. Seorang pemuda sangat fanatik melaporkan, bahwa dia telah berkali-kali melihat orang melakukan perbuatan mesum dan cabul di suatu tempat dekat stasiun kereta api di "anu". Saya nasihati supaya dia jangan ke sana juga. Tetapi dengan marah dia menjawab, bahwa pemerintah revolusioner bersalah karena tidak mengambil tindakan. Tetapi beberapa waktu kemudian tidak lama, kawan pemuda yang mencela-cela dan memaki-maki zina itu menemuinya di tempat yang dilaporkannya itu dalam keadaan yang mencurigakan dengan seorang perempuan pelacur.

Peliharalah masyarakat itu dari penyakit.

Kalau kita pikirkan peraturan agama secara mendalam, dapatlah kita memaklumi mengapa Nabi saw. melarang keras ber-khalwat (duduk berdua-duaan saja), laki-laki dan perempuan. "Mereka bertiga dengan Setan satu", kata Nabi saw.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 243-250, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERATURAN TEGAS MELARANG MENGINTIP-INTIP

Bahkan cukup pun berempat, namun faedah melaporkannya tidak juga ada.

Lebih baik kabar-kabar demikian ditutup rapat, supaya masyarakat jangan ketularan untuk membicarakan perkara-perkara yang kotor.

Maka kalau ditilik syarat-syarat orang yang menyaksikan itu, yaitu orang baik-baik, orang-orang bisa dipercaya, tidaklah akan kejadian pelaporan yang demikian.

Dan meskipun peraturan ini telah ada, Alhamdulillah di dalam sejarah kehidupan Nabi dan para sahabat Muhajirin dan Anshar di Madinah itu tidaklah ada terdapat riwayat, bahwa ada 4 orang terhormat yang pergi melaporkan, bahwa mereka melihat orang berzina.

Sebab orang baik-baik tidaklah akan membuang waktu untuk mengerjakan pekerjaan hina dan rendah, mengintip-intip rumah tangga orang, bahkan ada sendiri peraturan tegas melarang mengintip-intip,

"Wahai sekalian orang yang beriman, jauhilah olehmu banyak prasangka, karena sebagian besar sangka-sangka adalah dosa, dan jangan kamu mengintip-intip, dan jangan mengumpat (gunjing) setengah terhadap yang lain. Sukakah kamu memakan daging saudaramu yang telah mati, niscaya kamu jijik terhadapnya. Dan takwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah adalah pemberi tobat dan amat kasih sayang." (al-Hujuraat: 12).

Orang yang beriman, lantaran imannya tidaklah mempunyai kesempatan buruk sangka, intip-mengintip kesalahan, atau membicarakan keburukan saudaranya di balik belakangnya. Membicarakan kecelakaan orang, samalah artinya dengan memakan dagingnya.

PENILAIAN TERHADAP HUKUM

Ulama-ulama Islam yang hidup di zaman modern ini, yang telah mengaji ilmu fiqih berdalam-dalam mengharap apabila negeri-negeri Islam telah merdeka dari penjajahan asing, hendaklah hukum yang tersebut di dalam Al-Qur'an dan hadits, ditambah dengan pertimbangan-pertimbangan ulama-ulama Madzhab, segera dijalankan.

Potong tangan si pencuri, rajam atau dera yang berzina, atau yang menuduh orang berzina, bakar orang yang ber-liwath (melakukan semburit yaitu persetubuhan sejenis).

Tetapi sebaliknya, orang-orang Islam yang telah mempelajari hukum pidana Barat merasa cemas, kalau peraturan agama Islam sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an dan hadits itu dilakukan dalam negara modern, niscaya akan berlaku suatu hukum yang terlalu kejam, tidak sesuai dengan zaman!

Terhadap kepada golongan ulama itu, dapatlah kita tegaskan, bahwa sekalian orang yang masih ada rasa Islam dalam sanubarinya, tidaklah dia akan membantah kehendak Al-Qur'an dan hadits.

Sebab menurut Islam sumber hukum ialah Allah dan Rasul.

Tetapi harus diingat pula, bahwa sebelum kekuasaan Islam meratai cara berpikir, maka suasana perjuangan kita barulah suasana Mekah.

Atau suasana Nabi Isa yang menggembleng semangat orang Yahudi di kala negerinya masih dalam kekuasaan bangsa Romawi.

Dalam tingkat pertama, pekerjaan kita terlebih dahulu ialah memberi dakwah kepada masyarakat tentang betapa sebenarnya masyarakat Islam itu.

Masyarakat Islam hendaklah masyarakat yang lebih bersih dari tuduh-menuduh, intip-mengintip dan gunjing.

Sebelum hukuman qadzaf atau rajam dijalankan, terlebih dahulu hendaklah diusahakan menanamkan kembali cita masyarakat Islam, bukan semata-mata dari segi menjalankan hukum, tetapi haruslah dalam segala bidangnya.

Kalau cara berpikir umat Islam telah dituntun oleh kehendak Ilahi, jaranglah akan kejadian dilakukan hukum itu.

Sebab tidak ada orang beriman yang akan sudi 4 orang mengintip orang berzina.

Sedang keterangan dari yang kurang dari 4 orang, terancam pula oleh hukuman dera 80 kali.

Di zaman Nabi sendiri yang dihukum hanyalah yang datang mengaku dan minta dihukum.

Adapun bagi mereka yang berpegang atau hendak meniru hukum Barat, hendaklah dia insaf, bahwasanya dasar hukum Barat bukanlah dari Kristen.

Orang Barat belum pernah menghukum korek mati siapa yang salah, melihat perempuan dengan syahwat.

Dalam hal agama, Barat telah menerima Kristen, tetapi dalam hal hukum mereka masih melanjutkan hukum Romawi Kuno.

Apakah kita juga akan melanjutkan hukum Romawi?

Datanglah masalah bagi kita sekarang, terutama setelah negeri-negeri yang lebih banyak berpenduduk Islam, terutama tanah air kita Indonesia, buat membangunkan tanah air kita kembali dalam segala bidangnya. Termasuk bidang hukum.

Tidaklah layak bagi suatu bangsa yang tengah membina pribadinya sendiri kalau hanya menjadi plat/kaset yang mengulang-ulang ucapan orang lain, yang mengatakan, bahwa hukum Allah dan Rasul adalah kejam dan tidak cocok dengan zaman, padahal dunia di zaman sekarang tengah mencari kembali nilai-nilai hukum yang abadi.

Jangan kita hanya menjadi "Pak Turut", karena kadang-kadang orang yang kita turut-turuti itu telah kembali kepada pangkalan kebenaran dan kita masih menuruti teorinya yang terdahulu tadi, karena tidak bebas menyelidiki sendiri.

Akhirnya ketinggalan kereta api.

Maka hukum-hukum yang tegas dalam Al-Qur'an itu tetaplah dalam ketegasan dan kemutlakannya, dan usaha kita bukanlah mengelakkan atau menukarnya, tetapi menyediakan jiwa dan cara berpikir masyarakat buat menerimanya dengan sam'an wa tha'atan (mendengar dan mematuhi).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 250-262, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HATI SANUBARINYA SEORANG MUKMIN

Selama TAUHID masih bertahta dalam hati, tidaklah seorang Mukmin akan mengerjakan dosa, terutama dosa besar, terutama yang disengaja.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 203, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TOBAT NASUHA

PERTANYAAN

1. Kalau seorang pemuda berzina dengan istri orang lain, bagaimanakah caranya menurut Al-Qur'an dan Hadits supaya terlepas dari adzab Allah, baik di dunia maupun nanti di akhirat?

2. Apakah redaksi Gema Islam terutama Yth. Buya HAMKA bersedia menjalankan hukuman kepada diri pemuda itu jika ia datang meminta untuk dijatuhi hukuman itu ke Jakarta?

Sebab, keterangan-keterangan tentang dosa zina yang tersebut dalam Tafsir al-Azhar merangsang jiwa seorang pemuda yang telah bersalah besar itu, sehingga ia rela dilakukan atas dirinya hukum rajam, sebagaimana tersebut dalam ayat itu.

A. Garut.

JAWABAN

Di dalam negara kita Republik Indonesia belum berlaku hukum bagi orang yang berzina.

Di negeri-negeri yang 100% menjalankan hukum Al-Qur'an sebagaimana Saudi Arabia, hukum rajam juga jarang sekali dijalankan, sebab tuduhan zina bergantung kepada 4 orang saksi.

Kalaupun misalnya hukum itu berlaku di Indonesia, tidak jugalah redaksi Gema Islam, terutama Buya HAMKA, mempunyai wewenang untuk menjalankannya.

Itu adalah hak hakim.

Jalan satu-satunya yang masih terbuka luas untuk pemuda yang merasakan tekanan dosa adalah tobat.

Di dalam ketentuan Islam, tobat adalah menyesali yang apa yang telah telanjur diperbuat, dan menghentikan kesalahan itu sekarang juga, mendisiplin diri agar tidak mengulanginya lagi untuk seterusnya.

Setelah itu berbuat amal ibadah sebanyak-banyaknya, untuk melanggengkan (meluruskan) jiwa kembali di jalan Allah. Cobalah lihat surah al-Furqaan ayat 68 sampai 71,

"Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barangsiapa melakukan demikian itu, niscaya ia mendapat hukuman yang berat, (yakni) akan dilipatgandakan adzab untuknya pada hari Kiamat dan ia akan kekal dengan adzab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertobat dan beriman dan mengerjakan kebajikan; maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. Dan barangsiapa bertobat dan mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya ia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya." (al-Furqaan: 68-71).

Katakan kepada pemuda itu, lupakan segala yang terjadi dan bangunlah hidup yang baru, dan jangan mendekat-dekati lagi ke daerah yang dapat memungkinkannya terjatuh lagi.

Segala niat baik masih tersisip dalam hati, maka pintu kesucian tetap terbuka.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 69-70, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

LEBIH BERBAHAYA DARI ORANG KAFIR

Supaya penguasa memerintah menegakkan keadilan, hendaklah semuanya tunduk kepada hukum yang tertinggi; yaitu hukum Allah.

Thagut ialah segala kekuasaan yang timbul dari ambisi manusia belaka. Gila kekuasaan, mabuk kemegahan, lalu berbuat sewenang-wenang, menyusun undang-undang semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan. Atau, segala peraturan yang memang sengaja diperbuat untuk menyisihkan hukum Allah dari masyarakat.

Di dalam membicarakan Thagut pada ayat 60 surah an-Nisaa' dijelaskan bahwa sumber hukum Thagut adalah Setan.

Dijelaskan lagi dalam surah ini dan juz ini bahwa Mukmin sejati tidaklah mau mengangkat orang yang tidak percaya kepada Allah untuk menjadi pemimpinnya.

Lebih berbahaya lagi, di atas dari bahaya mengangkat pemimpin orang yang tidak percaya kepada Allah, atau dengan tegas disebut dalam ayat, yaitu kafir.

Lebih berbahaya dari orang kafir ialah orang munafik. Orang yang pada lahir disangka kawan, padahal batinnya adalah musuh yang selalu mengintai kesempatan buat meruntuhkan Islam. Pada ayat 145 dijelaskan tempatnya di akhirat esok, yaitu di derajat yang paling bawah sekali dalam api neraka.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 245-247, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MUSUH PALING BESAR

Diterangkan tentang setengah manusia besar omong, berani bersumpah menyebut nama Allah, padahal dia adalah musuh paling besar.

Akan tetapi, pada ayat selanjutnya, yaitu ayat 207, diterangkan Tuhan pula bahwa ada pula manusia yang telah menjual habis dirinya dan jiwanya kepada Allah semata-mata.

Mereka itu tidak takut mati, tidak gentar menghadapi kekuatan lawan, sebab seluruh hidupnya telah diserahkannya kepada Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 488-491, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JAGA KEHORMATAN AGAMA

Nanti sebentar lagi, dalam ayat 145 akan diterangkan bahwa dalam neraka Jahannam itu tempat duduk orang MUNAFIK terletak di dasar yang di bawah sekali. Kalau kita pikirkan dapatlah kita maklumi bahwa jiwa orang munafik lebih rendah daripada jiwa orang kafir. KAFIR terang menentang, sedang MUNAFIK tak dapat menyatakan PENDIRIAN YANG TEGAS!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 493, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENYAKIT MUNAFIK

Hal yang penting untuk diketahui bagi membersihkan jiwa dari penyakit yang berbahaya, yaitu penyakit munafik. Ayat-ayat seterusnya dalam surah ini mengupas atau menelanjangi jiwa yang sakit karena munafik itu, untuk menjadi kaca perbandingan bagi tiap-tiap orang yang mengakui dirinya beriman.

"Dan akan mampus jiwa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir." (at-Taubah ujung ayat 55).

Kita pilih saja mampus sebagai arti dari mati di sini, supaya agak berdekat maksud artinya dengan tazhaqa itu. Sebab di dalam kalimat itu terkandung juga arti hancur, atau jatuh berserakan. Dalam bahasa daerah Minangkabau, ada yang lebih dekat arti tazhaqa itu, yaitu jangkang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 173, 185-186, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PEDOMAN PERJUANGAN MUKMIN

"Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah, dengan sebenar-benarnya jihad." (al-Hajj pangkal ayat 78).

"Dia telah memilih kamu."

Ini adalah ucapan penghargaan tertinggi Allah kepada orang yang beriman, karena hanya mereka yang sanggup berjihad terus-menerus, hilang atau terbilang, menang atau syahid.

"Dialah yang telah menamai kamu Muslimin sejak sebelum ini."

Setengah ahli tafsir mengatakan maksud ayat ialah bahwa Nabi Ibrahim itulah yang telah memberi nama Muslimin atau umat yang mengaku percaya kepada Allah Yang Maha Esa. Alasannya karena tersebutlah permohonan Ibrahim dalam Surah 2, al-Baqarah, ayat 128. Tetapi penafsiran lain menyatakan bahwa yang menamai umat yang percaya kepada Allah yang satu dengan Muslimin ialah Allah sendiri, di dalam kitab-kitab yang telah terdahulu dari Al-Qur'an. Ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas. Demikian juga kata Mujahid, Atha, as-Suddi, adh-Dhahhak, Muqatil dan Qatadah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 158-159, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

YANG MENOLONG ALLAH, ALLAH MENOLONGNYA

Maka kalau ada percobaan manusia hendak menukar peraturan Allah dengan peraturan manusia, atau "mempeti-eskan" peraturan Allah lalu menggantinya dengan peraturan manusia, yang sangat berjauhan dengan kehendak Allah, wajiblah kita membela Allah, menolong Allah.

Untuk itu kita bersedia membunuh dan bersedia terbunuh.

Tidak ada artinya hidup ini kalau kalimat Allah dan suara Allah dan kehendak Allah hendak dipandang orang enteng saja atau hendak dipermain-mainkan orang saja.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 331-332, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AN-NISAA'

PENGANTAR JUZ 5

Sesudah seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan, sesudah rumah tangga berdiri dan masyarakat tumbuh dengan baiknya, datanglah perintah supaya menyerahkan amanah kepada ahlinya, dan kalau menjatuhkan suatu hukum keputusan, hendaklah dengan adil. Supaya amanah diserahkan kepada ahlinya dan keadilan ditegakkan dalam masyarakat mestilah ada kekuasaan tertinggi.

Dalam surah inilah ditegaskan bahwa kekuasaan tertinggi yang wajib ditaati. Karena itu, wajiblah taat kepada Allah dan taat kepada Rasul, kemudian itu taat kepada penguasa, artinya yang memegang pekerjaan di antara kamu (min-kum). Dijelaskan dalam ayat ini bahwa penguasa adalah jelmaan dari kamu sendiri (min-kum), artinya mereka bukanlah orang lain.

Supaya masyarakat teratur, hendaklah ada penguasa. Supaya penguasa memerintah menegakkan keadilan, hendaklah semuanya tunduk kepada hukum yang tertinggi; yaitu hukum Allah.

Kalau terjadi pertikaian paham di antara yang memegang kuasa dan rakyat yang menyerahkan kuasa, hendaklah keduanya mengembalikan atau menyelidiki, adakah sesuai peraturan yang mereka perbuat dengan kehendak Allah dan Rasul. Sebab itu, undang-undang yang tertinggi ialah hukum Allah. Itulah sebabnya dalam Islam diadakan baiat di antara pihak yang diserahi kekuasaan dengan yang dikuasainya. Di hadapan rakyat yang menyerahkan kuasa itu yang diberi kuasa harus menerima baiat, bahwa rakyat wajib taat kepada perintahnya, dan dia pun berbaiat, bahwa hukum yang akan ditegakkannya mesti sesuai dengan hukum Allah. Kalau tidak, rakyat dapat melepaskan diri dari baiatnya.

Kemudian di dalam juz ini juga (sebagaimana lanjutan dari ayat-ayat yang mewajibkan taat) Allah memberi isyarat tentang keadaan setengah manusia, yang mengaku tunduk percaya kepada apa yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad dan kepada Nabi-Nabi yang sebelumnya, tetapi apabila akan mengambil hukum, mereka ambillah hukum thagut.

Thagut ialah segala kekuasaan yang timbul dari ambisi manusia belaka. Gila kekuasaan, mabuk kemegahan, lalu berbuat sewenang-wenang, menyusun undang-undang semata-mata untuk mempertahankan kekuasaan. Atau, segala peraturan yang memang sengaja diperbuat untuk menyisihkan hukum Allah dari masyarakat.

Di dalam membicarakan Thagut pada ayat 60 surah an-Nisaa' dijelaskan bahwa sumber hukum Thagut adalah Setan.

Orang-orang munafik selalu berusaha agar hukum kebenaran dan keadilan dari Allah terhambat, jangan berlaku dalam masyarakat. Meskipun cita-cita hidup dalam Islam ialah menyerahkan amanah kepada ahlinya dan kalau menegakkan hukum hendaklah hukum yang adil, namun dalam rentetan ayat-ayat itu telah dijelaskan bahwa masih banyak munafik yang tidak suka hukum Allah berlaku, malahan mereka berusaha menghambat, menghalangi.

Musuh-musuh dari kebenaran mesti selalu ada.

Sebab itu, hidup tidaklah terlepas daripada berjuang (jihad). Kalau tiba waktuya, satu-satu waktu kita diizinkan berperang menghadapi musuh-musuh Allah yang tidak senang berlakunya hukum Allah di dunia. Sebab itu di dalam surah ini juga, juz ini juga, terdapat ajaran bagaimana caranya melakukan shalat di waktu perang sedang berkecamuk; yang dinamai shalat al-Khaut.

Berperang untuk tujuan apa?

Di dalam ayat 76 diterangkan bahwa orang berperang untuk salah satu dari dua tujuan.

Ada orang yang berperang karena menegakkan jalan Allah, tetapi ada juga orang yang berperang untuk kepentingan jalan thagut.

Yang memimpin peperangan thagut dikatakan, ialah Setan itu; sebab pada hakikatnya segala tipu daya yang mereka tegakkan adalah lemah belaka.

Diterangkan juga dalam ayat ini tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi karena perang; keadaan buruk yang tidak jadi tujuan, tetapi terjadi di luar kemampuan kita. Misalnya orang yang telah mengaku beriman disangka musuh, lalu dibunuh. Diterangkanlah hukum dan dendanya tentang pembunuhan tidak sengaja atau yang sengaja. Ada qishash dan ada diyat (ganti rugi).

Dua kali dalam surah ini dan juz ini diperingatkan tentang puncak tertinggi segala dosa (yang tidak diampuni oleh Allah) yaitu syirik.

Dijelaskan lagi dalam surah ini dan juz ini bahwa Mukmin sejati tidaklah mau mengangkat orang yang tidak percaya kepada Allah untuk menjadi pemimpinnya.

Lebih berbahaya lagi, di atas dari bahaya mengangkat pemimpin orang yang tidak percaya kepada Allah, atau dengan tegas disebut dalam ayat, yaitu kafir.

Lebih berbahaya dari orang kafir ialah orang munafik. Orang yang pada lahir disangka kawan, padahal batinnya adalah musuh yang selalu mengintai kesempatan buat meruntuhkan Islam. Pada ayat 145 dijelaskan tempatnya di akhirat esok, yaitu di derajat yang paling bawah sekali dalam api neraka.

Tetapi orang yang beriman, yang berpegang teguh dengan tali Allah, yang ikhlas niat perjuangannya karena Allah, itulah orang yang beserta dengan Mukmin sejati dan akan mendapat ganjaran yang agung di sisi Allah.

Ayat 147 sebagai akhir juz kelima menyimpulkan jaminan Allah yang berupa suatu pertanyaan, "Apakah Allah akan bertindak mengadzab kamu, kalau kamu masih bersyukur dan beriman?" Padahal Allah adalah menyambut syukur segala amalan yang baik, dan mengetahui segala niat yang ikhlas.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 245-247, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BARU DUA KALIMAT SYAHADAT

Dalam peperangan di Khaibar, datanglah kepada Rasulullah seorang anak gembala hitam yang sedang menggembalakan kambing. Dia melihat Rasulullah berperang mengepungi benteng orang Yahudi di Khaibar. Dia tidak mengerti mengapa orang ini berperang. Dia hanya seorang penggembala kambing, kulit hitam rambut keriting, asal usul dari budak Habsyi (Negro). Dia mau tahu apa yang menjadi sebab peperangan itu. Diberanikan dirinya, ditemuinya Rasulullah saw. dan Rasulullah saw. yang mulia hati dan mulia budi menyambut budak penggembala kambing itu dengan senang hati dan menerangkan kepadanya apa maksud peperangan, yaitu menegakkan agama Tauhid, percaya kepada Allah, tidak menyembah berhala, harus jujur. Orang Yahudi di Khaibar menentang ajaran itu, sejak dari Madinah sampai ke sini. Budak itu mengerti, lalu dia masuk Islam dan mengucapkan kedua kalimat syahadat, dan bersedia turut berperang. Tetapi suatu hal yang musykil bagi dia, yaitu kambing-kambing yang sedang digembalakan hendaknya kambing itu selamat terlebih dahulu pulang kepada yang empunya. Lalu Rasulullah saw. menyuruhnya menghalaukan kambing itu, biar mereka pulang sendiri kepada yang empunya, induk semang anak itu. Perintah Nabi itu dia lakukan, dihalaunya kambing-kambing itu berpuluh ekor banyaknya. Berjalan sendirilah mereka, seakan-akan ada yang menghalau mereka ke kandangnya dengan selamat. Budak itu pun masuklah ke dalam barisan Mujahidin dan turut berperang.

Baru dua kalimat syahadat saja yang diucapkannya dan belum dia shalat karena waktu belum masuk. Dia turut berperang di Khaibar dengan semangat yang berkobar. Tetapi maksudnya tercapai, yaitu dia beroleh syahid dalam perang itu, dia mati terbunuh.

Seketika mengumpulkan jenazah-jenazah syuhada, bertemulah jenazah anak itu dan dikuburkan bersama jenazah syuhada-syuhada yang lain. Seluruh sahabat Rasulullah yang hadir amat kagum dan terharu melihat wajah anak yang manis itu, tersungging senyum di bibirnya. Lalu bersabdalah Rasulullah saw. kepada sahabat-sahabat itu menerangkan suatu hal yang hanya beliau yang melihatnya, "Dua orang anak bidadari dari surga datang menyambut anak itu dan menggosoki badannya yang penuh dengan darah."

Masih dalam alam barzakh sudah begitu, betapa lagi di akhirat esok.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 330, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENGKHIANAT

Orang-orang yang turut menyebarkan paham dalam masyarakat, yang akan mengakibatkan kendornya rasa perjuangan, rasa jihad menegakkan cita-cita Islam, bukan saja menjadi pelopor membawa ke jalan kafir, bahkan itulah pengkhianat-pengkhianat yang membawa-bawa nama Islam untuk menghancurkan kekuatan Islam.

Pemuda Islam sejati yang ingin Islam masih bertapak di negeri ini khususnya, dan di dunia Islam umumnya harus awas dan berjaga-jaga terhadap angkatan muda yang terpengaruh paham sesat itu.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 145, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

KEPADA PEMUDA:

"Bebanmu akan berat. Jiwamu harus kuat. Tetapi aku percaya langkahmu akan jaya. Kuatkan pribadimu!"

-HAMKA-

(Buya HAMKA, PRIBADI HEBAT, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2014).

BERPRIBADI

"Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah kamu menjadi manusia yang lurus karena Allah!" (al-Maa'idah pangkal ayat 8).

Di sini terdapat kalimat qawwamin dari kata qiyam, yang artinya tegak lurus.

Marfu'ur ra'si, maufuru kamarah!


Kepala tegak, harga diri penuh!

Berjiwa besar karena hati bertauhid.

Tidak ada tempat merundukkan diri melainkan Allah.

Sikap lemah lembut, tetapi teguh dalam memegang kebenaran.

Kata orang sekarang, "Berpribadi".

Bukan lemah lunglai direbah-rebahkan angin ke mana hendak dibawanya, lemah pendirian dan mudah ditawar. Bukan begitu orang Mukmin. Wajah yang sekurang-kurangnya lima kali sehari semalam menghadap Allah, yang tegak berdiri ketika memulai shalat, yang ruku' hanya kepada Allah dan sujud hanya kepada Allah, tidaklah mudah direbahkan oleh yang lain. Tidak termuram terhuyung-huyung karena ditimpa musibah, tidak pula melambung laksana balon ketika masih berisi angin ketika mendapat keuntungan, sehabis angin mengerucut turun.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 623, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SABUNG BERJUARA, PERANG BERMALAIKAT

Malaikat telah masuk ke dalam semangat dan ruh mereka.

Mereka merasa lebih kuat dari orang 1.000.

Riwayat mengatakan bahwa tentara malaikat 1.000 orang menyatakan diri dan sampai kelihatan oleh mata, memakai serban hijau dan turut berperang, sebagai tersebut dalam beberapa tafsir; tidaklah begitu kuat: Ternyata termasuk kisah israiliyat juga.

Dan, kedatangan bantuan malaikat 1.000 sebagai peneguh semangat itu dijelaskan benar-benar oleh ayat selanjutnya:

"Dan, tidaklah Allah menjadikan bantuan itu melainkan sebagai berita gembira supaya tenteramlah dengan dia hati kamu." (pangkal ayat 10).

Inilah bantuan semangat dari Allah, semangat yang biasa disebut dalam pepatah nenek moyang kita bangsa Indonesia,

"Sabung berjuara, perang bermalaikat."

"(Ingatlah) tatkala Tuhan engkau mewahyukan kepada malaikat." (pangkal ayat 12).

Yaitu 1.000 malaikat yang tak kelihatan pada mata yang telah dirasai adanya oleh mereka itu. Malaikat itulah yang telah diperintahkan oleh Allah agar menyampaikan titah Allah kepada mereka.

"Sesungguhnya Aku adalah beserta kamu. Oleh sebab itu tetapkanlah hati orang-orang yang beriman."

Mereka pasti dibantu oleh Allah dan sebagai orang-orang yang beriman mereka pun mendapat ketetapan hati.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 670-673, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

YANG PALING JAHAT

"Lantaran itu, bilamana engkau menggempur mereka di dalam peperangan, maka hancurkanlah mereka." (al-Anfaal pangkal ayat 57) 

Memungkiri janji yang telah diikat adalah satu perbuatan yang amat hina, rendah, dan keji. Itu pun satu kekufuran. Orang-orang memungkiri janji sudah dianggap sebagai binatang yang merangkak di bumi, tidak ada harga mereka lagi. Maka kalau mereka bertemu di medan perang, hendaklah gempur habis sampai hancur, jangan lagi diberi hati. Mereka wajib disapu bersih sehingga tidak bangkit lagi.

"Kerbau diikat dengan talinya, manusia dengan janjinya." Yang dipegang dari manusia adalah katanya.

"Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang khianat." (al-Anfaal ujung ayat 58).

Ujung ayat ini berisi peringatan yang umum. Bukannya kaum kafir saja yang tidak disukai Allah karena khianat, bahkan jadi peringatan pula bagi kaum Muslimin sendiri. Khianat akan janji bagi Muslim adalah salah satu tanda munafik. Sebab itu, dijelaskanlah oleh sabda Rasulullah saw. tentang nilai janji. Dirawikan al-Baihaqi di dalam Syu'abul Iman, riwayat dari Maimun bin Mahran, berkata Rasulullah saw.,

"Tiga perkara: Muslim dan kafir sama saja padanya. Yaitu (pertama), barangsiapa yang engkau perbuat janji dengan dia, penuhilah janji itu, baik orang itu Islam atau kafir. Maka janji itu adalah janji dengan Allah. Dan (kedua), barangsiapa yang di antara engkau dengan dia ada hubungan kasih sayang (rahim), maka hendaklah engkau hubungkan; baik dia Muslim ataupun dia kafir. (Ketiga), dan barangsiapa yang meletakkan kepercayaan suatu amanah kepada engkau, maka hendaklah engkau pegang amanah itu. Baik dia Muslim ataupun kafir." (HR. al-Baihaqi).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 29-30, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IMAM YANG ADIL

Dari hal keadilan, ketakwaan, dan kemuliaan budi baginda Umar bin Abdul Aziz, tidaklah perlu lagi diterangkan panjang lebar. Kisahnya panjang lebar telah banyak dikarang oleh ulama-ulama. Sungguhpun dia telah mencapai kedudukan yang semulia itu, belumlah dia kenyang daripada petunjuk ulama dan pimpinan seorang yang arif. Pada suatu hari berkirim suratlah baginda kepada ulama Tabi'in yang masyhur, Hasan Basri. Dia bertanya kepada Hasan Basri dari hal sifat-sifat imam (raja) yang adil. Maka Hasan Basri menjawab demikian bunyinya:

"Imam yang adil ya Amirul Mukminin, laksana seorang ayah yang cinta akan anak-anaknya, diasuhnya semasa anak itu kecil, diajarnya setelah anak itu besar, dituntunnya di dalam mencari penghidupan, dikumpulkannya harta bersusah payah, untuk anaknya itu jika si ayah mati."

"Imam yang adil ya Amirul Mukminin, laksana seorang ibu yang pengasih, dikandungnya anaknya dalam perutnya dengan susah payah, diasuhnya setelah anak itu lahir. Tidak tidur matanya malam, jika anaknya bangun, dia termenung jika dilihatnya anaknya duka, disusukannya, puas disusukan digendungnya. Mukanya berseri-seri jika si anak sihat, mukanya muram jika si anak sakit."

"Imam yang adil, ya Amirul Mukminin, ialah laksana seorang yang berdiri di antara Allah dengan hamba-Nya, didengarnya Maha Tuhan dengan tenang, setelah itu diterangkannya bagaimana wajah-Nya kepada mereka. Dibimbingnya tangan umat supaya sama-sama datang ke hadrat Rabbi, memohonkan kurnia-Nya."

"Maka sekarang ya Amirul Mukminin, ingatlah dengan saksama, sebelum ajal sampai janji mendatang, sebelum hukum putus angan berhenti, janganlah paduka menghukum atas hamba Allah dengan kebodohan, jangan paduka bawa mereka ke jalan aniaya, jangan diangkat orang-orang yang takbur menjadi pegawai, memerintah orang yang lemah. Sebab mereka menjatuhkan perintah dengan sesuka hati dan semahu-mahunya saja. Kelak padukalah yang akan bertanggung jawab atas dosa mereka, dan yang bertali dengan itu, dikumpulkan dengan dosa paduka sendiri. Janganlah paduka terpedaya oleh tipuan orang-orang yang menelan nikmat untuk kesusahan paduka. Mereka makan segala yang enak-enak di dunia, supaya paduka menelan segala kesusahan di akhirat."

"Jangan paduka berbesar hati lantaran mempunyai kekuatan pada diri ini, tetapi fikirkanlah kekuatan untuk dari jiwa yang akan dicabut, pada waktu mana seluruh badan padaku diikat oleh rantai kematian, atau berdiri di hadapan Allah, dikelilingi oleh sekalian malaikat. Nabi-nabi dan rasul-rasul. Pada waktu mana seluruh wajah makhluk, menghadap kepada Yang Hidup dan Yang Kekal!"

"Adapun patik sendiri ya Amirul Mukminin, meskipun nasihat patik ini tidak sebagus nasihat-nasihat orang-orang yang lebih muda daripada patik pada zaman dahulu, namun patik amat cinta kepada tuanku dan amat ikhlas. Oleh sebab itu pandanglah isi surat patik ini, laksana ubat yang diberikan oleh seorang kecintaan kepada kecintaannya yang sakit. Meskipun agaknya pahit, moga-moga di dalam kepahitan itu ada tersimpan kesihatan dan afiat."

"Wassalamu alaika ya Amirul Mukminin, warahmatullahi wabarakatuh!"

Setengah daripada syair yang amat disukai oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz itu, ialah (ertinya dalam bahasa Melayu):

Sang harimau, wahai orang yang tertipu
Adalah dalam kelupaan dan kelalaian
Malammu hanya tidur enak kerendahan
Tetapi melazimi dirimu
Engkau tertipu oleh orang yang fana
Engkau bersuka cita dengan angan-angan
Laksana seorang tidur berasa enak sesaat
Dengan mimpi yang indah
Engkau sangat terikat
Oleh barang yang engkau takuti akan hilang
Memang demikianlah binatang hidup di dalam dunia.....

(Buya HAMKA, LEMBAGA HIKMAT, 32-35, PTS Publishing House Malaysia, 2016).

HUKUM

"Maka hukumlah di antara manusia dengan benar." (Shaad: 26).

Hukum yang benar ialah hukum yang adil. Di antara kebenaran dengan keadilan adalah satu hal yang memakai nama dua. Yang benar itu juga dan yang adil itu juga, kalau sudah benar pastilah dia adil. Kalau sudah adil pastilah dia benar.

"Dan janganlah engkau perturutkan hawa."

Lalu dilanjutkan bahaya yang akan mengancam jika seorang penguasa menjatuhkan suatu hukum dipengaruhi oleh hawanya,

"Niscaya dia akan menyesatkan engkau dari jalan Allah."

Artinya, kalau seorang penguasa, atau dia bergelar raja, sultan, khalifah, presiden, atau yang lain tidaklah lagi menghukum dengan benar dan adil, malahan sudah hawa yang jadi hakim, putuslah harapan orang banyak akan mendapat perlindungan hukum dari yang berkuasa dan hilanglah keamanan jiwa dalam negara.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 549-550, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

NABI SYU'AIB DI NEGERI MADYAN

"Dan mohonlah ampun kepada Allah kamu." (Huud pangkal ayat 90).

Mohonlah ampun atas kesalahanmu selama ini, terutama mencari kekayaan hendak bergegas lalu tidak diperbedakan lagi di antara yang halal dan yang haram. Asal mendapat keuntungan, biar merugikan orang lain dan mengacaukan masyarakat. Karena setiap golongan yang mencari rezeki dengan mengacaukan kebenaran, mencurangkan sukat dan timbangan, semuanya itu adalah pokok pangkal putusnya silaturahim, menimbullah dendam dan dengki di hati orang yang teraniaya. Orang yang mengeruk kekayaan itu bisa saja gembira sementara waktu, namun lama-lama jiwanya sendiri akan merosot turun karena kegelisahan dan karena melihat sinar kebencian yang memancar dari mata orang-orang sekelilingnya. Oleh sebab itu, Nabi Syu'aib menyerukan kaumnya, minta ampunlah kepada Allah atas dosa-dosa sebanyak itu dan tegakkanlah kembali kejujuran.

"Kemudian tobatlah kepada-Nya."

Meminta ampun ialah atas dosa kepada sesama manusia dan kepada diri sendiri. Adapun memohon tobat adalah kepada Allah secara langsung. Karena satu dosa menganiaya orang lain, menganiaya sesama manusia tidaklah akan timbul kalau kepercayaan kepada Allah masih tegak. Orang berani berbuat jahat sebab dia tidak percaya bahwa Allah selalu melihatnya. Tobat ialah dengan kembali insaf dan sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah. Lalu pusatkanlah aqidah dan ibadah kepada-Nya. Ingat bahwa segala rezeki ini adalah anugerah-Nya. Ingatlah bahwa sekalian makhluk ini dan perhatian yang khusus kepada manusia, semuanya ialah sesama makhluk Allah. Bersama-sama kita manusia, anak-cucu Nabi Adam, diserahi Allah hidup bersama dalam dunia ini. Carilah kekayaan dengan jujur, tolonglah orang yang melarat. Dan ingat pula bahwasanya sekalian rezeki yang telah dianugerahkan Allah itu, sekali waktu bisa saja dicabut-Nya. Karena dari Dia semua datang dan kepada-Nya semua akan kembali. Apabila benar-benar telah meminta ampun dari kesalahan kepada manusia dan diri sendiri, dan benar-benar memohon ampun kepada Allah, niscaya Allah akan membukakan pintu rezeki dengan wajar, dan Allah akan menuntun selalu bagi keselamatan dunia dan akhirat.

"Sesungguhnya, Tuhanku adalah Amat Penyayang, lagi Pencinta." (ujung ayat 90).

Dalam kisah Nabi Syu'aib dengan kaumnya orang Madyan ini, kita mendapat ilmu yang jelas dari Al-Qur'an tentang dasar-dasar tempat menegakkan masyarakat ataupun negara. Keadilan dan kebenaran, itulah tujuan bernegara. Kemakmuran itulah yang dikehendaki. Bagaimana pun kekayaan berlimpah-limpah pada satu golongan, terutama golongan yang menguasai negara, kalau semuanya itu dilakukan dengan kecurangan dan penganiayaan, korupsi, manipulasi, dan spekulasi, tanda bahwa ketenteraman hati kita tidak akan didapat. Segala teori ekonomi boleh saja dikemukakan orang, namun segala teori yang mengingkari pentingnya mental agama bagi menegakkan ekonomi adalah teori yang gagal. Seorang mantan ekonom yang ternama dari zaman Nazi Hitler, Dr. Schaft, ketika sekitar Tahun 1952 datang ziarah ke Indonesia, setelah mempelajari pertumbuhan ekonomi Indonesia bagi membangun negara yang baru merdeka ini, memberikan laporannya kepada pemerintah Republik Indonesia di waktu itu bahwa faktor kesadaran beragama, tentu saja kesadaran cinta kasih yang menghubungkan di antara pribadi dan Allah, dan antara pribadi dan sesama manusia, dan antara pribadi dan seluruh alam, adalah utama dan pertama dalam pembangunan Indonesia khususnya serta dunia umumnya. Dr. Schaft ketika itu menganjurkan kerja sama yang erat di antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Agama.

Kalau advis ini timbul dari seorang ekonom Islam, tentu akan datang tuduhan sebentar itu juga bahwa ekonom tersebut mempunyai ideologi yang berbahaya, yaitu ideologi Islam atau dongeng-dongeng Al-Qur'an yang tidak laku lagi buat zaman modern.

Maka cita-cita kita sebagai Muslim ialah negara yang adil dan makmur, yang diridhai Allah, diliputi oleh kasih sayang Allah dan cinta dari Allah yang menyelinap ke dalam rongga hati kita. Bukan kemewahan yang disertai oleh kutuk Ilahi dan kutuk segenap Malaikat serta kutuk dari tiap orang yang beriman.

Kita mengharap sifat Allah yang Rahim yang menghasilkan Rahmat. Dan sifat Allah Wadud, yang menghasilkan Mawaddah.

BENCANA ALAM

Di sini pun menyertakan dalam pembinaan iman kita satu peringatan tentang kaum-kaum yang binasa lantaran durhaka itu, yang meninggalkan kesan dalam jiwa seorang Mukmin bahwa bencana-bencana alam yang terjadi ialah karena ada dosa-dosa yang sudah sangat memuncak. Maka Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya, untuk menanamkan keinsafan bagi manusia supaya segera bertobat kepada Allah. Dalam lingkungan pandangan iman, tidaklah ada suatu bencana alam yang tidak ada hubungannya dengan dosa. Suatu bencana alam dalam pandangan iman bukanlah suatu hal yang kebetulan saja. Tidak ada yang dinamai kebetulan di dalam alam yang luas ini. Bencana-bencana alam menurut pandangan iman, harus ditanggulangi dari dua jurusan. Jurusan lahir dengan memperbaiki mana yang rusak, mencegah banjir, memelihara hutan jangan terbakar, memperkukuh dan membendung tepi pantai, jangan sampai diruntuhkan ombak. Yang kedua adalah lebih penting, yaitu mendekati Allah, jangan mempersendaguraukan tentang soal-soal ketuhanan karena kunci-kunci rahasia alam ini adalah terpegang di dalam tangan-Nya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 598-599, Hal. 603, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ALLAH BERTANGAN?

Di dalam Al-Qur'an memang terang tersebut bahwa Allah itu bertangan (Lihat surah al-Fath: 10).

Bahkan Allah itu mempunyai banyak mata (Lihat surah al-Mu'minuun, ayat 27).

Dia BERTANGAN, BERMATA dan SEMAYAM, sebab Dia sendiri yang mengatakan dan kita WAJIB IMAN.

Kita tidak perlu menanyakan berapakah tangan itu, samakah dengan tangan makhluk.

Di antara ulama mutaakhirin yang keras menganut paham SALAF ini adalah IBNU TAIMIYAH dan muridnya, IBNUL QAYYIM pada zaman terakhir adalah SYEKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB dan terakhir sekali adalah SAYYID RASYID RIDHA.

IBNU TAIMIYAH sampai DITUDUH oleh MUSUH-MUSUHNYA berpaham "mujassimah" (menyifatkan Allah bertubuh) karena kerasnya mempertahankan paham ini.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 34-35, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

BERSEMAYAM DI ATAS ARSY

Menurut pendirian dari ABUL HASAN AL-ASY'ARI dan para pengikutnya, turuti sajalah sebagaimana yang tersebut: Allah Yang Rahman bersemayam di atas Arsy-Nya, dengan tidak ada pembatasan dan tidak ada pertanyaan: "Betapa semayam-Nya."

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya,

Pembicaraan orang tentang soal ini memang banyak. Tetapi, madzhab yang baik ditempuh dalam hal ini ialah Madzhab Salaf yang shalih, yaitu,

Imam Malik dan al-Auzai dan ats-Tsauri dan al-Laits bin Sa'ad, dan asy-Syafi'i, dan Ahmad dan Ishaq bin Rahawaihi,

Dan ulama-ulama ikutan kaum Muslimin yang lain, yang dahulu dan yang kemudian,

Yaitu, membiarkannya sebagaimana yang tersebut itu, dengan tidak menanyai betapa dan tidak pula menyerupakan-Nya dan tidak pula menceraikan-Nya dari sifat.

Dan, segala yang cepat terkenang di dalam otak orang yang hendak menyerupakan Allah dengan yang lain, sekali-kali tidaklah sesuai dengan keadaan Allah sebab tidak ada makhluk yang menyerupai Allah.

Tidak sesuatu yang menyerupai-Nya dan Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Dan ini pun menjadi pedomanlah bagi kita tiap-tiap bertemu ayat-ayat yang seperti ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 534, Jilid 3 Hal. 436-438, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DERMA

Di dalam surah al-Baqarah juga, ayat 267 dipimpinkan lagi, jangan sampai memberikan derma apa pun kepada orang lain, yang jika misalnya engkau sendiri yang menerimanya, engkau akan memicingkan mata, hanya karena terpaksa saja.

Sekarang dijelaskanlah bahwa kebaikan tidak akan tercapai kalau belum sanggup mendermakan apa yang paling dicintai.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 6, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PEMBERIAN

"... Dan janganlah kamu pilih-pilih yang buruk darinya, lalu kamu belanjakan ..." (al-Baqarah: 267).

Untuk menimbang apa yang baik-baik itu dan apa pemberian yang buruk yang tercela itu disuruh mengukur dengan sendiri kalau awak diberi orang, artinya kalau kamu sendiri yang menerima pemberian dari orang lain,

"Dan kamu pun tidaklah akan menerimanya melainkan dengan memejamkan mata kamu."

Artinya, ketika memberikan barang itu kepada orang lain, taksirlah dan ukurlah kepada diri sendiri, bagaimana perasaan kita jika engkau diberi orang barang seperti itu? Adakah kamu senang menerima atau kamu terima hanya lantaran terpaksa saja, menerima dengan memicingkan mata karena kurang senang kepada barang itu?

Perbuatan yang demikian amat dicela, tidak cocok dan tidak seirama dengan jiwa orang yang beriman.

Yang dimaksud dengan ayat ini bukan saja terhadap zakat, melainkan juga segala macam sedekah tathawwu' yang lain-lain, hibah (pemberian), hadiah (tanda mata), derma, sokongan, bantuan, dan seumpamanya. Kalau hendak memberi, berikanlah yang baik, yang senang memakainya dan senang memberikannya, jangan dipilih-pilih mana rasanya yang tidak disukai lagi, itu yang diberikan. Mempunyai kebun jeruk, kebun manga, dan sebagainya pun demikian. Kalau hendak memberi, berikanlah yang hati sendiri senang melihat dan memakannya, supaya yang menerima senang pula dan menghargai keluhuran budi yang memberi.

Allah Maha Kaya! Ingatlah ini ketika kamu memberikan apa-apa kepada orang lain, sehingga hatinya terbuka memilih yang baik-baik untuk diberikan kepada yang patut diberi.

Akan tetapi, kalau yang kamu berikan itu yang buruk-buruk, yang kamu sendiri pun enggan menerimanya jika diberi orang, maka ketika dia menerimanya atau setelah dibawanya ke rumahnya, hatinya akan berkata tentang engkau dengan kata-kata yang sedih hati, "Beginilah dia kepada kita. Tahu benar dia bahwa awak miskin asal perut berisi. Barang yang tidak berguna lagi kepadanya, itulah yang diberikannya."

Selanjutnya, Allah berfirman,

"Setan mempertakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat keji. Sedang Allah adalah menyediakan ampunan dari-Nya dan karunia." (pangkal ayat 268).

Pangkal ayat ini mempertunjukkan perjuangan batin orang yang dianjurkan membelanjakan harta benda pada jalan Allah.

Setiap harta akan dibelanjakan, Setan selalu hendak campur tangan, "Jangan banyak-banyak, nanti habis, apa lagi yang akan tinggal di tanganmu! Berikan saja yang buruk-buruk, tentu akan diterimanya juga, dan yang baik-baik simpan untuk dirimu sendiri. Jangan terlalu banyak memberi kalau tidak akan disebut-sebut orang," dan sebagainya. Bahkan mulai saja kelihatan orang membawa lis derma masuk ke pekarangan rumah awak, Setan sudah mulai berbisik. "Tuh, datang lagi dia, minta sokongan lagi, minta derma lagi. Lari saja ke dalam, masuk saja ke kamar, dan suruh pelayan mengatakan kepada orang itu bahwa tuan rumah sedang sakit atau sedang keluar kota!"

Orang yang beriman tentu lekas sadar ketika mendapat rayuan dari Setan itu, "Aku tidak mau memperturutkan tipu dayamu, hai Setan! Aku orang beriman, Tuhanku telah menjanjikan bahwa jika aku seorang pemurah, Allah pun pemurah pula untuk mengampuni dosa-dosaku dan Allah akan memberiku karunia berlipat ganda."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 537-538, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAT RASULULLAH KEPADA HERACLIUS

"Dan, berkata segolongan dari Ahlul Kitab itu, 'Berimanlah kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman itu di siang hari, dan kufurlah kepadanya di waktu petang, supaya mereka kembali.'" (Aali 'Imraan ayat 72).

Tentu maksud mereka tidak akan berhasil terhadap orang yang beriman.

Yang dapat diguncang-guncangkan keyakinannya ialah hanya orang yang masuk Islam hanya bondong air, bondong dedak, yang belum mempunyai iman yang mendalam, atau yang masuk karena mengharapkan keuntungan benda. Lantaran keuntungan benda itu belum didapatnya, dia tidak sabar, lalu lari.

Orang yang seperti ini tentu ada di segala zaman, terutama di zaman yang jauh dari Rasulullah saw. seperti di zaman kita sekarang ini.

Banyak kali kejadian orang-orang penting masuk ke satu partai agama karena mengharapkan jabatan menteri atau pangkat-pangkat yang lain. Kemudian setelah partai itu kalah dalam pemilihan umum atau dibubarkan oleh musuh-musuh politiknya dengan kekerasan, orang penting itu lalu pindah tempat dengan tidak merasa malu. Sejak masuknya sampai keluarnya, tidaklah dia mengenal apakah ideologi yang sebenarnya dari partai yang pernah dimasukinya itu.

Akan tetapi, di zaman Rasulullah saw., hal seperti ini sangat jarang kejadian, hanya satu kali dalam seratus ribu. Atau karena murtad-nya Musailimah al-Kazzab (pendusta) karena dia ingin hendak jadi nabi sendiri pula.

"Katakanlah, 'Sesungguhnya, yang petunjuk ialah petunjuk Allah!'"

"Atau akan ada orang yang menempelak kamu di sisi Tuhan kamu."

Niscaya di akhirat kelak akan ditempelak Allah karena mendurhakai ajaran Rasul-Nya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 657-658, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MUSUH PALING BESAR

"Berapa banyak golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan, sesungguhnya Allah adalah beserta orang-orang yang sabar." (al-Baqarah ujung ayat 249).

Niscaya yang berkata begini ialah yang berperang mempunyai tujuan, yaitu percaya bahwa kalau mereka mati di dalam mempertahankan jalan Allah, mereka akan menemui Allah. Bagi mereka, ketakutan tidak ada. Bahkan mati karena mempertahankan keyakinan dan IMAN adalah mati yang mulia.

Mereka yang karena keteguhan semangat dari golongan yang sedikit itu, yang tidak minum ketika menyeberang sungai atau minum hanya seceduk, dan mendapat kepercayaan pula dari Raja Thalut, diberi baginda gelar kehormatan "golonganku". Si penakut-penakut yang lain tadi pun pulihlah semangat mereka kembali. Mereka pun turutlah kepada suara yang kuat iman itu buat terus tampil ke muka berhadapan dengan musuh.

"Dan kalau bukanlah ada pertahanan Allah terhadap manusia yang sebagian mereka dengan yang sebagian, sesungguhnya telah rusaklah bumi. Akan tetapi, Allah mempunyai karunia atas seluruh alam." (ujung ayat 251).

Kehidupan di dunia ini adalah pertarungan si kuat dengan si lemah. Kalau si lemah tidak bertahan, dia akan hancur oleh si kuat. Ayat ini menegaskan hal itu dengan tepat sekali.

Maka, apabila si kuat hendak berleluasa menindas, ditakdirkan Tuhan timbul rasa pertahanan diri pada yang lemah.

Dalam Kongres Muhammadiyah di Bukittinggi Tahun 1930, guru dan ayah penulis, Dr. Syekh Abdulkarim Amrullah, mengatakan, "Sedangkan cacing dipijakkan lagi menggeleong, kononlah manusia." (Inilah salah satu perkataan beliau yang dicatat pemerintah penjajah yang menyebabkan beliau dibuang dari Sumatra Barat dan diasingkan ke Sukabumi di Tahun 1941).

Untuk memahamkan ayat ini lebih dalam lagi, ingat dan bacalah kembali ayat 204 sampai 206 yang telah kami tafsirkan di atas tadi. Di ketiga ayat itu diterangkan tentang setengah manusia besar omong, berani bersumpah menyebut nama Allah, padahal dia adalah musuh paling besar. Kalau dia berkuasa, dia pun berjalan di atas bumi membawa kerusakan dan merusak-binasakan tanam-tanaman dan ternak, padahal Tuhan tidak menyukai kerusakan. Dan, kalau ditegur, merasa banggalah mereka dengan dosa sehingga Jahanam-lah tempat orang yang seperti ini. Ini adalah contoh dari tengah manusia yang merusak.

Akan tetapi, pada ayat selanjutnya, yaitu ayat 207, diterangkan Tuhan pula bahwa ada pula manusia yang telah menjual habis dirinya dan jiwanya kepada Allah semata-mata. Maka, orang yang telah menjual diri kepada Allah itulah yang akan berani menghadapi tenaga-tenaga perusak tadi karena mereka hanya mengharapkan ridha Allah semata-mata. Oleh sebab itu, betapa pun hebat kerusakan yang dibawa oleh tenaga perusak, selalu akan timbul yang menghambat, menyetop supaya berhenti. Mereka itu tidak takut mati, tidak gentar menghadapi kekuatan lawan, sebab seluruh hidupnya telah diserahkannya kepada Allah. Kalaupun bandingan kekuatan adalah laksana bandingan usia Dawud dan kegagahan perkasaan Jalut.

"Yang demikian itu adalah ayat-ayat Allah. Kami ceritakan dia kepada engkau dengan benar." (pangkal ayat 252).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 488-491, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JEJAK-JEJAK SETAN

"Dan janganlah kamu turut jejak-jejak Setan. Sesungguhnya, dia bagi kamu adalah musuh yang nyata." (al-Baqarah ujung ayat 208).

Niscaya Setan, baik yang halus maupun yang kasar, senantiasa berusaha hendak membelokkan perhatian orang yang beriman dari tujuan yang telah ditentukan itu. Niscaya Setan-setan tidak merasa senang kalau tercapai tujuan itu. Sebab itu, gangguan Setan akan mengemukakan pula rencana-rencana lain, jejak dan pengaruh lain, sehingga bukan sedikit negeri Islam atau orang yang terkemuka beragama Islam tidak merasa yakin, bahkan ada yang menolak kebenaran kehendak Islam.

Di Indonesia ini pemerintah jajahan Belanda, untuk menghilangkan pengaruh hukum Islam, sengaja menonjolkan beberapa hukum adat. Dan, hukum-hukum adat itu dicari-cari pada tiap-tiap daerah sehingga timbullah berbagai rona corak hukum karena perbedaan adat. Belanda lebih suka hukum adat yang berpecah-belah daripada penduduk negeri golongan terbesar (mayoritas) beragama Islam itu bersatu hukumnya menurut agamanya, padahal hukum itu memang ada. Akan tetapi, lucunya, di negeri yang hukum Islam telah dijadikan hukum adat, mereka tidak pula mau mengakui hukum itu. Seumpama di dalam negeri Kerajaan Buton (Pulau Buton, Sulawesi) telah dijadikan hukum adat merajam orang yang kedapatan berzina dengan disaksikan oleh saksi menurut ketentuan Al-Qur'an dan telah pernah dipotong tangan orang yang mencuri. Di samping Istana Raja Buton masih didapati batu hampar tempat orang menjalani hukum rajam dan potong tangan itu. Pemerintah Belanda tidak mau mengakui hukum adat yang demikian sebab "katanya" melanggar perikemanusiaan yang amat dijaga dan dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda! Seakan-akan hanya mereka yang mempertahankan kemanusiaan, sedangkan rakyat jajahan tidak! Negara-negara penjajah dan negara besar yang berpengaruh telah berusaha dengan jalan pendidikan atau propaganda memasukkan jejak-jejak Setan ke dalam jiwa kaum Muslimin pada negeri-negeri Islam yang mereka jajah atau pengaruhi agar orang Islam memakai peraturan lain untuk mengatur pergaulan hidup mereka. Sehingga meskipun mereka masih mengaku Islam, mereka menolak tiap-tiap cita Islam untuk memperbaiki masyarakat.

Demikian juga dalam kehidupan pribadi sehari-hari, menyelinaplah Setan memasukkan pengaruh, menunjukkan jalan, dan meninggalkan jejak-jejak sehingga akhirnya kelak Islam itu hanya tinggal menjadi nama dan sebutan, tetapi telah menempuh berbagai jalan yang bersimpang-siur di dalam menghadapi serba-serbi kehidupan. Kadang-kadang timbul perpecahan di antara Muslimin, masing-masing mendakwakan dirinya yang benar, kawan yang lain kawan salah belaka. Setan pun memasukkan rasa permusuhan kepada masing-masing pihak sehingga sukar dipertemukan. Maka, terjuallah diri mereka kepada Setan, bukan lagi menjual diri kepada Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 395-396, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

THAGHUT

Orang yang KAFIR itu, pemimpinnya ialah THAGHUT, yaitu SEGALA kekuasaan yang bersifat MERAMPAS HAK ALLAH, yang tidak menghargai nilai hukum Ilahi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 656, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Mereka telah BERANI membekukan HUKUM ALLAH. Tidak mereka insafi bahwa itulah yang membawa selisih dan sengketa.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 350, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEDUA GOLONGAN

"Dan Allah sangat pedih siksaan-Nya." (Aali 'Imraan ujung ayat 11).

Ayat-ayat seperti ini menginsafkan manusia dari ketakaburannya. Mentang-mentang kaya raya atau banyak anak keturunan yang akan dibanggakan, janganlah sampai lupa daratan. Sedangkan di dunia, hanyalah manusia yang berutang budi dan yang lemah hati yang dapat dipengaruhi.

Kayalah engkau, tetapi aku tidaklah akan meminta kepada engkau.

Banyak pun anak engkau, orang-orang yang terpandang dalam masyarakat, berjabatan, bertitel segala macam, tetapi aku bukan budak engkau.

"Yang satu golongan berperang di jalan Allah dan yang lain adalah kafir."

Nabi saw. Dan, umatnya disuruh memperhatikan perbandingan di antara kedua golongan itu apabila mereka berhadapan.

"Mereka (yang berperang karena Allah) melihat kepada mereka (yang kafir) dengan penglihatan mata dua kali sebanyak mereka."

Jumlah yang kafir itu dua kali ganda banyaknya, lengkap dengan harta dan benda, ramai dengan anak dan keturunan, sedang bilangan yang beriman dan berjuang pada jalan Allah itu hanya sedikit, kurang harta, tidak ada yang akan dibanggakan selain dari IMAN kepada Allah.

"Padahal Allah menyokong dengan pertolongan-Nya siapa yang Dia kehendaki."

Hal ini telah kejadian ketika Peperangan Badar. Umat yang berjuang pada jalan Allah menghadapi umat yang kafir tiga kali lipat lebih banyak dari mereka. Allah menyokong dan memberikan kemenangan kepada yang berjuang pada jalan Allah sebab yang mereka perjuangkan bukan harta dan bukan anak, melainkan keyakinan kepada Allah. Lantaran ada sesuatu yang diperjuangkan, semangat pun bertambah dan tidak takut menghadapi maut. Padahal orang yang terikat oleh kebanggaan harta dan anak takut menghadapinya.

"Sesungguhnya, pada yang demikian itu adalah suatu ibarat bagi orang yang mempunyai pikiran." (ujung ayat 13).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 585, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HAKIKAT ISLAM

Apabila orang telah melampaui batasnya, manusia hendak MENGAMBIL HAK TUHAN, perpecahan itu pulalah yang akan terjadi.

Siapa yang tidak insaf, mereka pun menyerah diri kepada THAGHUT dan SETAN.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 599-601, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERANGAI UMUM DARI ORANG-ORANG MUNAFIK

"Dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, tiba-tiba mereka pun kecewa." (at-Taubah ujung ayat 58).

Tersebut di dalam sebuah hadits yang dirawikan Bukhari dan an-Nasa'i dan dalam beberapa tafsir yang terpandang, dari riwayat Abu Said al-Khudri, satu kali saat Rasulullah saw. membagi-bagi sedekah, dan seorang bernama Dzul Khuwaisharah dari Bani Tamim, datang kepada Rasulullah saw. sambil mengomel, "Engkau hendaklah adil ya Rasulullah saw.!"

Tercengang Nabi saw. mendengar perkataannya itu sampai beliau berkata, "Wailaka! Celaka engkau, kalau aku tidak berlaku adil, siapa lagi yang akan berlaku adil?"

Umar bin Khaththab yang hadir dalam majelis itu, lantaran marahnya mendengar perkataan orang itu, sampai berkata, "Biarkan aku potong lehernya, ya Rasulullah!"

Tetapi kemarahan Umar itu dapat ditenangkan oleh Nabi saw. Beliau berkata, "Biarkanlah dia! Karena orang ini pun mempunyai kawan-kawan yang lain, yang kamu tidak akan senang melihat mereka. Shalat dia bersama, shalat mereka, puasa dia bersama puasa mereka, tetapi mereka telah terlepas dari dalam agama laksana terlepasnya anak panah dari busurnya."

Kata Abu Said al-Khudri, pada waktu kejadian itulah ayat ini turun.

Satu potong kecil barang pun Rasulullah saw. tidak ada mengambil untuk dirinya. Meskipun berhak beliau mengambil seperlima, seperlima itu pun beliau berikan habis.

Ayat ini adalah mengenai perangai umum dari orang-orang munafik.

Iman kepada Allah dan Rasul adalah puncak dari segala kekayaan.

"Dan mereka berkata, 'Cukuplah bagi kami Allah! Allah akan mengurniai kami dengan anugerah-Nya, dan Rasul-Nya pun!'"

Inilah ucapan yang sangat mulia dan menunjukkan mutu iman yang tinggi dari seorang Mukmin. Banyak atau sedikit, kaya ataupun miskin, semuanya perkara kecil. Cukup Allah bagi kami. Allah akan selalu menjamin rejeki kami, kami tidak akan canggung dan kecewa kalau sedang kekurangan. Meskipun kurang di hari ini, besok atau lusa akan dapat lagi. Rezeki tidak tentu di mana pintunya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 187-188, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KALIMAT SYAHADAT itu adalah kalimat yang baik. Sejak dari urat sampai dahan ranting, daun, pucuk, dan buah, hanya akan merasai satu rasa saja, tidak kacau.

Kalimat yang mulia ini tidak untuk permainan orang-orang MUNAFIK.

"Dan di antara manusia ada yang berkata, 'Kami beriman kepada Allah dan hari akhir', padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari.'" (al-Baqarah: 8-9).

Mereka bersumpah kadang-kadang, aku ini adalah seorang Islam sejati. Aku ini sedia berjuang untuk Islam, aku mau berkorban mati-matian!

Bilakah mereka berkata demikian?

Ialah ketika tampak olehnya keuntungan yang diharapkan.

Padahal, perjuangan dalam Islam, keuntungan kebendaan, dan pangkat kemegahan adalah nomor dua!

Nomor satu ialah kepahitan dan penderitaan.

Itulah sebabnya jika berjumpa kesulitan, cepat sekali mereka "lari" meninggalkan perjuangan.

-Tulisan ini dinukil dari Ceramah Allahuyarham Prof. Dr. HAMKA, yang pernah disampaikan di TVRI sekitar Tahun 1975, yaitu siri ceramah yang bertemakan, "Iman dan Pembangunan".

(Buya HAMKA, Kesepaduan Iman Dan Amal Saleh, Hal. 34-42, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

UMPAMA KELEDAI MEMIKUL BUKU

Sebab itu dengan tegaslah al-Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menulis dalam kitabnya, I'Iamul Muwaqqi'in, bahwa ayat ini, "Walaupun dijadikan perumpamaan bagi orang Yahudi, namun makna yang terkandung di dalamnya mengenai juga bagi orang-orang yang memikul Al-Qur'an, namun mereka tidak mengamalkannya dan tidak memenuhi haknya dan tidak memelihara maksudnya dengan sepatutnya."

"Maka cita-citakanlah mati, jika kamu orang-orang yang benar." (ujung ayat 6).

Kalau benar kamu wali-wali Allah, cobalah citakan mati!

Nabi pun pernah mengatakan bahwa kamu akan mengikuti jejak mereka setapak demi setapak.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 124-127, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Orang yang diikat oleh benda PASTI menjadi MUSYRIK.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 43, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JIHAD YANG BESAR

"Maka janganlah kamu turuti kehendak orang-orang yang kafir-kafir itu dan perangilah mereka dengan Al-Qur'an ini, dengan jihad yang bersungguh sungguh." (al-Furqaan ayat 52).

Al-Qur'an wahyu Ilahi. Kalamullah, untuk seluruh dunia. Berjuanglah engkau dengan semangat yang besar menegakkan Al-Qur'an itu selama hayatmu dikandung badan, dan jika pun datang waktunya panggilan-Ku, engkau mati namun suara Al-Qur'an itu akan terus membahana di atas permukaan bumi.

Maka amatlah berkesan ayat 52 ini, wahyu kepada Muhammad saw., tetapi besar kesannya atas jiwa kita sebagai penyambut waris Muhammad. Kita pun mempunyai tugas melanjutkan jihad dengan Al-Qur'an ini, jihad yang besar. Jihad yang tidak mengenal lelah. Apabila kita renungkan dengan saksama, sadarlah kita akan nilai hidup kita dan mission sacre (tugas suci) kita sebagai Muslim dalam alam ini.

Sebagaimana kata seorang penyair,

Tegaklah memperjuangkan keyakinanmu dalam hidup ini, karena hidup itu ialah keyakinan dan perjuangan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 384, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KLIK DISINI: TENTANG PEMBERANTASAN LCBT (LINGKARAN CHURAFAT BID'AH TAHAYUL) TERKUTUK

POLITIK YANG PALSU DAN JAHAT, LCBT (LINGKARAN CHURAFAT BID'AH TAHAYUL) TERKUTUK


MENDUSTAI DIRI SENDIRI

"Mereka itulah orang-orang yang mengutuk Allah akan mereka. Dan barangsiapa dikutuk oleh Allah, maka sekali-kali tidaklah akan engkau dapati pembantu baginya." (an-Nisaa' ayat 52).

Tidak akan ada yang membantu dan membela mereka dalam dusta curang yang demikian itu sebab mereka telah berhadapan dengan Allah. Mempertahankan pendirian dengan cara demikian, tidak lain daripada pertahanan yang kotor. Hanya ingin kemenangan sementara sehingga tidak memerhatikan lagi kebenaran itu sendiri untuk masa yang lama.

Di dalam ayat ini kita bertemu 3 kesalahan umat keturunan kitab karena memegang hanya sebagian dari isi kitab.

Pertama, mencampur-aduk kebenaran agama dengan kesesatan, atau jibti. Sehingga dibangsakan kepada agama, hal-hal yang sama sekali ditolak oleh agama sehingga timbul BID'AH, KHURAFAT, TAHAYUL, dongeng-dongeng yang menunjukkan kebodohan atau menipu orang bodoh.

Kedua, menuhankan manusia, sampai memberikan kepadanya pemujaan yang mendekati pemujaan kepada Allah. Begitu mereka perbuat kepada ulama-ulama dan pimpinan mereka.

Ketiga, berani memutar-balik kebenaran karena mengharapkan kemenangan pengaruh dan politik.

WAJIBLAH kita memeriksa, mengoreksi masyarakat kita kaum Muslimin karena jarak masa kita dengan Nabi pun sudah jauh, apakah agaknya telah memindah PENYAKIT orang yang menerima sebagian dari kitab ini kepada kita? Kalau sudah, hukum yang akan diterima tentulah sama juga, yaitu,

KUTUK ALLAH!

Ajaran asli Nabi Musa sama dengan ajaran asli Nabi Muhammad. Orang Yahudi di belakang Nabi Musa mengubah-ubah. Apakah kita telah MENGUBAH-UBAH pula sepeninggal Nabi Muhammad? Jika bertemu ayat begini, dengan girang kita menafsirkan bahwa ayat ini bukanlah menuju kita, hanya menuju Yahudi!

La haula wala quwwata illa billah!

Adakah jibti pada kita? Adakah kita memuja thagut? Adakah kita memutar-balik kebenaran karena mengharapkan kemenangan sementara?

Berkali pula terlukis dalam perjuangan umat Islam bahwa mereka menyokong suatu politik yang palsu dan jahat. Ketika ditanyakan orang dapatkah disatukan ajaran Islam dengan Komunis? Ada pemuka Islam yang menjawab, "Dapat!" Ketika ditanyakan orang pula kepada satu golongan umat Islam, "Bagaimana hukumnya kalau ada orang Islam yang menentang Nasakom (Percobaan Soekarno menyatukan Nasional, dengan Agama dengan Komunis)?" Ada kalangan Islam sendiri yang menjawab, "Orang Islam yang menentang Nasakom adalah Kontra Revolusi!" Apakah sebabnya mereka sampai hati berbuat demikian? Jawabnya mudah saja. Telah padam cahaya hati sanubarinya yang bersih oleh hawa nafsu akan kekuasaan. Sebagaimana padamnya rasa hati Ka'ab bin Asyraf orang Yahudi itu, yang dasar agamanya tetap tauhid. Sehingga saking takutnya kekuasaannya akan hilang dan bencinya akan kemajuan Nabi Muhammad, maulah dia mengatakan bahwa musyrik Mekah lebih baik daripada ajaran Muhammad.

"Padahal cukuplah Jahannam jadi pembakar." (ujung ayat 55).

Jalan yang benar hanya satu. Jalan yang salah bersimpang-siur. Menolak kebenaran, tidak lain, hanyalah mempersulit diri sendiri. Di ujung ayat yang lampau telah dikatakan Allah, barangsiapa yang membelok daripada jalan yang lurus, Jahannam atau neraka, itulah akan tempatnya. Tidak lain.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 325-328, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KUTUK LAKNAT ALLAH DAN MALAIKAT SERTA MANUSIA

Apabila orang-orang yang dianggap ahli tentang agama tentang AL-QUR'AN dan HADITS telah bersikap pula MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN, misalnya karena segan kepada orang yang berkuasa atau takut pengaruh akan hilang terhadap pengikut-pengikut mereka, kutuk yang terkandung dalam ayat ini pun akan menimpa mereka.

Manusia pun mengutuk pulalah sehingga kadang-kadang jika terdapat banyak maksiat di satu negeri, bertanyalah orang,

"Tidakkah ada ulama di sini?"

Maka, laknat Allah dan Malaikat serta manusia itu akan didapatnya terus-menerus.

"Kekal mereka di dalamnya." (pangkal ayat 162).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 294-297, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DOSA SUATU MASYARAKAT

"Dan dibuat Allah suatu perumpamaan, suatu negeri yang aman sentosa datang kepadanya rezekinya dengan luas dari tiap-tiap tempat. Maka mereka pun kufur akan nikmat Allah lantaran itu Allah rasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, lantaran apa yang telah mereka usahakan." (an-Nahl ayat 112).

Orang jadi ketakutan selalu, takut dirampok, takut garong dan takut serangan dari luar. Yang kuat menganiaya yang lemah sehingga tempat berlindung tak ada lagi.

Maka terlepas daripada sebab turun ayat, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa ayat ini adalah undang-undang yang tetap dari Allah, bahwasanya dosa suatu masyarakat dari satu negeri bisa menyebabkan datangnya KUTUK ALLAH kepada negeri itu.

Mungkin dalam negeri itu ada juga orang baik-baik, namun mereka telah terbawa rendang dan menjadi korban dari kesalahan orang-orang yang berbuat durjana.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 225-226, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENDIRIAN YANG TEGAS

Tentang kebenaran wahyu Ilahi itu tidak usah diragukan lagi. Kebenaran asli dari Dia dan keadilan pun dari Dia.

Tidak ada hakim lain dan hukum lain yang dapat melebihi itu. Undang-undang kebenaran dan keadilan yang diwahyukan Allah adalah untuk kepentingan umat manusia, bukan untuk mempertahankan kekuasaan Allah.

Sebaliknya, undang-undang ciptaan manusia, kebenaran dan keadilan yang dikarang manusia dengan susunan kata yang dihias ialah untuk kepentingan mempertahankan kedudukan golongan yang berkuasa. Undang-undang manusia dapat saja berubah kalau zaman telah berubah, sedang Syari'at Ilahi tidak dapat diubah oleh manusia. Oleh sebab itu, datanglah penegasan lagi, "Sekali-kali tidak ada pengganti dari kalimat-kalimat-Nya." Salah satu arti dari kalimat ialah perkataan atau firman. Kalimat Allah ialah firman Allah. Firman Allah tidak dapat diganti dengan perkataan lain. Sebab, ucapan yang lain adalah ucapan makhluk, sedang pengetahuan dan pengalaman makhluk adalah terbatas. Kalimat Ilahi adalah MUTLAK untuk segala tempat dan segala zaman.

Di dalam menegakkan pendirian ini, sejak dari langkah pertama sudah mesti berterang-terang, tidak boleh bersembunyi. Kaum musyrikin di Mekah mungkin bersedia bekerja sama dengan Islam, asal beberapa usul mereka diterima. Segala usul pun boleh dipertimbangkan KECUALI SATU, yaitu bahwa ada peraturan lain selain dari peraturan Allah yang akan dijalankan. Atau ada hukum lain pengganti hukum Allah, dan mencari hakim selain Hakim Allah.

Zaman feodalisme akan pindah ke dalam zaman borjuis, orang memujikan kemerdekaan pribadi (liberalisme) dan selalu menganjurkan kemerdekaan berusaha, kemerdekaan atas hak milik. Namun, kemudian setelah zaman feodal berganti dengan zaman borjuis, dan ternyata timbul kapitalisme, lalu timbul yang kaya terlalu kaya dan yang miskin terlalu miskin. Dicela dan dimaki orang lagi liberalisme yang dahulunya dipuja-puja itu.

Demikian juga dalam susunan pemerintahan. Satu waktu orang merasa tertekan karena tidak ada demokrasi dan yang ada hanya diktator, kekuasaan orang-seorang. Akhirnya orang pun berontak melawan kekuasaan orang-seorang itu, lalu diktator jatuh. Setelah diktator jatuh, timbullah demokrasi. Satu waktu orang pun merasa kecewa dengan demokrasi sebab kemerdekaan memilih dan dipilih hanya untuk orang yang kaya, tuan tanah, dan ahli-ahli pidato demagogi penipu. Akhirnya, orang mengutuki demokrasi lagi dan ingin datangnya seorang pemimpin yang kuat, yang bisa mengatasi keadaan. Akhirnya demokrasi dikurbankan dan kekuasaan diserahkan lagi ke tangan orang-seorang. Berbelit-belit, berbolak-balik bagai menghasta kain sarung.

Sedangkan suatu masyarakat yang ideal, yang merupakan cita-cita yang tinggi hanya tetap satu, yaitu bilamana manusia menyerahkan kekuasaan tertinggi kepada Allah dan taat kepada ketentuan Allah itu. Sebab, jika Allah mencipta dan menurunkan sesuatu peraturan, bukannya untuk kepentingan Allah atau untuk menjaga kekuasaan Allah, melainkan untuk kebahagiaan manusia itu sendiri.

Jika pejuang Muslim membaca ayat-ayat Al-Qur'an dan paham akan artinya, tidak dapat tidak, ayat ini pasti memengaruhi sikap jiwanya.

Ayat-ayat ini tegas benar menyatakan bahwa Rasulullah saw. harus menyatakan terus terang bahwa dia tidak akan menerima hakim lain selain Allah. Tidak menerima peraturan lain selain peraturan Allah.

Ini mengenai seluruh segi kehidupan.

Oleh karena itu, dengan sendirinya sudah terang pula kalau sekiranya kaum jahiliyyah tidak menyukai peraturan Allah.

Pada zaman modern sekarang ini, pejuang-pejuang Islam yang ingin mengikuti SUNNAH Nabi, yang bercita-cita hendak menegakkan peraturan Allah di dalam alam ini kebanyakan dibenci oleh golongan yang tidak mengenal peraturan Allah itu. Di dalam negeri-negeri Islam sendiri, pejuang Islam dibenci dan menderita berbagai penderitaan jika dia mengemukakan keyakinan hidup, menjelaskan bahwa dia bercita-cita supaya di negerinya, peraturan dan undang-undang negeri HARUS diambil daripada peraturan dan undang-undang Allah.

"Dan tidaklah ada mereka selain dari berdusta." (al-An'aam ujung ayat 116).

Dan, lebih tepat lagi kalau dipakai ungkapan yang lebih tegas, "Dan tidaklah ada mereka selain omong kosong."

Segala teori yang tidak berdasar atas kepercayaan kepada Allah adalah teori omong kosong, atau kedustaan dan kebohongan yang diatur rapi.

Yang kita kemukakan di sini ialah teori-teori manusia mengenai urusan kemasyarakatan atau pemerintahan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 252-255, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JIWA MUNAFIK

Lalu dia membela diri, mengemukakan berbagai alasan mengapa dia selama ini berdiam diri.

Bahwa berdiam dirinya itu adalah suatu siasat.

"Orang-orang pengecut memandang bahwa dia pengecut itu adalah suatu pendapat juga. Memang demikianlah tabiat dari jiwa yang rendah."

Pendirian hanya sekadar mementingkan diri sendiri atau keuntungan benda yang nyata.

Lebih dari itu tidak!

Allah SWT telah menjelaskan intinya, siapa sebenarnya orang itu,

"Orang-orang itu tidaklah beriman."

Orang yang berjuang berjihad dalam jalan Allah SWT memasang pedoman dalam jiwanya sendiri, pedoman iman.

Adapun orang yang tidak ada hakikat iman, tidaklah ada yang akan diperjuangkannya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 163, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MEMECAH BELAH AGAMA PADA ZAMAN MODERN

Segala yang kita urai paparkan sebelumnya, adalah hasil penyelidikan atas buah pikiran ahli-ahli tafsir yang telah terdahulu. Namun, pada zaman modern ini timbul lagi keadaan-keadaan baru yang membawa pecah-belahnya kekuatan Islam, secara baru pula. Orang bukan lagi berpecah-belah pada madzhab di dalam agama atau firqah-firqah yang terkenal, yang menimbulkan nama Mu'tazilah, Khawarij, Syi'ah, Murji'ah dan sebagainya, yang telah tersebut namanya dalam sejarah perkembangan pikiran Islam.

Karena meskipun timbul madzhab dan firqah dalam Islam, perselisihan hanya terjadi dalam suasana sesama sendiri, dalam melakukan taat kepada Allah.

Misalnya di antara ketaatan memegang yang tertulis, yaitu Madzhab Salaf dan kebebasan memakai pikiran, yaitu Mu'tazilah.

Banyak terdapat aliran filsafat, baik mengenai urusan kenegaraan, ekonomi, maupun kemasyarakatan. Terdapat berbagai paham dan ajaran dengan berbagai nama. Seumpama sosialisme, komunisme, liberalisme, pragmatisme, demokrasi dan sebagainya. Orang-orang yang masih mengakui beragama Islam tetapi tidak mengkaji sedalam-dalamnya ajaran Islam sendiri, lalu meminjam atau mempertahankan ideologi-ideologi yang lain itu dan meninggalkan Syari'at Islam sendiri.

Mereka mengambil sosialisme sebagai dasar negara mereka karena dunia sekarang katanya sedang diliputi oleh paham sosialisme. Bahkan ada di antara peniru itu yang berkata bahwa ajaran Islam tidak sesuai lagi dengan zaman. Ajaran Islam hanya sesuai dengan masyarakat Arab, tidak cocok dengan masyarakat kita. Padahal sosialisme yang mereka ambil alih dari ajaran orang lain terpaksa juga terkadang mereka sesuaikan dengan iklim negeri mereka sendiri. Dengan sendirinya, mereka berpecah-belah dari agama Islam dan pindah demikian saja pada ajaran lain. Padahal ajaran lain itu hanya buatan manusia yang bisa berubah karena perubahan ruang dan perubahan waktu.

Ada pula yang mengakui bahwa beberapa ajaran dari ideologi lain itu sesuai dengan Islam. Karena ajaran itu sesuai dengan Islam, mereka tinggalkan Islam itu sendiri dan mereka pilih ajaran lain itu. Padahal kalau mereka berpikir sehat, kalau memang ajaran lain itu ada sebahagian yang sesuai dengan Islam, mengapa tidak Islam saja mereka pertahankan dan lengkapi mana yang kurang dari segi pelaksanaan? Itulah sebabnya, kerapkali terdapat orang Islam yang taat mengerjakan shalat lima waktu, padahal mereka mempertahankan nasionalisme yang sempit. Itu pula sebabnya, ada ulama yang berpidato di muka umum dengan mengemukakan beberapa ayat dan hadits Nabi untuk membela sosialisme atau komunisme.

Islam adalah satu ajaran yang datang dari langit, mengandung Syari'at, ibadah, muamalah (kemasyarakatan) dan kenegaraan. Semua datang dari satu sumber, yaitu tauhid, kepercayaan kepada Allah. Ia tidak boleh dipreteli, misalnya dijalankan shalatnya saja, tetapi kenegaraannya diambil dari ajaran lain. Dituruti aturan nikah kawinnya saja, padahal ajaran ekonominya dikesampingkan.

Jika ada keyakinan bahwa ada ajaran lain untuk mengatur masyarakat yang lebih baik dari Islam, kafir-lah orangnya, walaupun dia masih shalat.

Bahaya yang menimpa Islam sekarang ialah bahwa penganutnya sendiri meninggalkan ajarannya, lalu memakai ajaran lain.

Mencela dan mengatakan Islam tidak sesuai dengan zaman modern, tetapi orang-orang itu masih juga mengakui dirinya orang Islam.

Mereka berpecah-belah dari agamanya dan membentuk kelompok sendiri di dalam mengekor kepada paham lain.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 357-358, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RIBA. Kalau kamu telah mengaku termasuk orang beriman, tinggalkan pekerjaan itu sama sekali. Itulah tanda beriman sebab cinta kepada harta telah kamu ganti dengan cinta kepada Allah. "Akan tetapi, jika tidak kamu kerjakan begitu." (pangkal ayat 279). Artinya, kamu telah mengaku beriman, padahal makan riba masih diteruskan juga,

"Maka terimalah pernyataan perang dari Allah dan Rasul-Nya."

Inilah suatu peringatan yang amat keras, yang dalam bahasa kita zaman sekarang bisa disebut ultimatum dari Allah. Menurut penyelidikan kami, tidak terdapat dosa lain yang mendapat peringatan sekeras ancaman terhadap meneruskan riba ini.

Ancaman yang demikian sudahlah patut sebab riba adalah suatu kejahatan yang meruntuh sama sekali hakikat dan tujuan Islam dan iman. Dia menghancur-leburkan ukhuwah yang telah ditanamkan sesama orang beriman dan sesama manusia. Riba benar-benar pemerasan manusia atas manusia. Segelintir manusia hidup menggoyang-goyang kaki, dari tahun ke tahun menerima kekayaan yang limpah-melimpah, padahal dia tidak bekerja dan berusaha, sedangkan yang menerima piutang memeras keringat mencarikan tambahan kekayaan buat orang lain, sedangkan dia sendiri kadang-kadang hanya lepas makan saja; dia menjadi budak selama dalam berutang itu. Yang empunya uang hanya terima bersih saja, tidak mau tahu dari mana keuntungan yang berlipat ganda terkulai itu dia dapat.

Kalau sudah ada manusia yang hidup dengan cara begini, percumalah rasanya menegakkan ibadah dengan jamaah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 554, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TAUHID SEBAGAI PEGANGAN HIDUP

Pada ayat-ayat yang telah lalu itu telah diberikan penjelasan dasar Tauhid sebagai pegangan hidup, yaitu Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah.

"Seperti itu pulalah telah mendustakan orang-orang yang sebelum mereka."

Artinya, suara-suara yang seperti ini bukan sekarang saja, bahkan orang-orang dahulu, umat nabi-nabi yang dahulu pun pernah, jika mereka terdesak dalam perbuatannya yang karut, mereka melepaskan diri dengan menyandarkannya pada takdir. "Kalau bukan kehendak Tuhan, tidaklah kami akan begini."

Maka datanglah sambungan ayat lagi,

"Adakah pada kamu suatu ilmu yang bisa kamu keluarkan kepada Kami?"

Adakah pada kamu satu ilmu bahwasanya kamu sudah ditentukan akan sengsara? Sebab itu kamu tidak usah berikhtiar lagi? Kamu sudah ditentukan memang untuk jadi musyrik, sebab itu tidak perlu lagi mendengarkan ajaran Rasul tentang tauhid? Tidak ada! Ilmu itu tidak ada. Tidak pernah Allah memberi tahu nasib seseorang akan malang, nasib seseorang akan tetap menjadi kafir. Yang terang dan tegas diberitahukan Allah dengan perantaraan rasul-rasul-Nya, hanyalah bahwa seseorang diperintah percaya kepada Allah, diperintah mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Diperintah beriman dan beramal, berusaha. Berulang-ulang para rasul datang membawakan petunjuk Allah, menjelaskan ini adalah hak dan itu adalah batil. Mengancam masuk neraka siapa yang menyeleweng dari jalan yang benar, diberi kabar gembira dengan surga barangsiapa yang menuju jalan lurus yang digariskan Allah. Dan segala perintah atau larangan Tuhan sesuai dengan akal budi murni. Setiap orang ingin kepada yang baik dan setiap orang tidak suka kepada yang buruk dan barangsiapa yang berusaha, diberi hasil oleh Allah, dan kalau tidak berhasil tanda ada sebab tersembunyi yang menghalanginya, yang harus diselidiki.

Kamu sembah berhala, kamu buat pantang, tabu, pamali, dan sebagainya, bikinan khayal kamu sendiri. Kadang-kadang hati kecil kamu sendiri mengakui bahwa perbuatan itu bodoh atau goblok? Kalau dalam hatimu ada kemauan, niscaya kamu bisa membuang segala kepercayaan yang karut itu, hawa nafsumu-lah yang bertahan, lalu kamu ambil takdir untuk tempat bersembunyi.

"Penyakit" ini menular kepada umat Islam sendiri, umat yang mengaku dirinya umat Muhammad saw. pada zaman kemunduran sehingga Sayyid Jamaluddin al-Afghani menulis sebuah rencana di dalam surah kabar al-Urwatul Wutsqaa di Paris 90 Tahun yang lalu tentang al-Qadha dan al-Qadar. Bahwa kepercayaan pada takdir adalah rukun (tiang) keenam dalam aqidah dan imannya seorang Muslim. Jika iman bertambah tinggi mutunya sehingga menimbulkan Ruh atau semangat dan menimbulkan nur atau cahaya, pastilah kepercayaan pada takdir jadi pendorong buat berani menempuh hidup. Kata beliau, salah satu sebab kemenangan Islam dan ajaran Islam membanjiri dunia dalam masa seperempat Abad saja, lain tidak ialah karena kepercayaan kepada takdir. Pejuang-pejuang, mujahidin yang menyerbu ke medan perang, meruntuhkan parit-parit pertahanan musuh yang teguh sehingga menaklukkan Semenanjung Iberia di Barat dan Sungai Indus di Timur adalah karena mujahidin itu percaya pada takdir bahwa kalau tidak mati kata Allah, tidaklah akan mati, walaupun dalam penyerbuan itu pedang musuh telah berkilatan sekeliling leher. Sebaliknya, setelah iman menurun, mundur, redup, dan kemudian padam sehingga Islam hanya tinggal nama, datanglah penyakit Jabariyyah (nasibku yang malang adalah takdir Allah). Dan "kalau tidak atas kehendak Allah, tidaklah nasibku akan begini!". Dan sebagainya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 313-315, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ORANG-ORANG YANG ZALIM

"Maka, janganlah engkau jadi dari orang-orang yang bodoh." (ujung ayat 35).

Kaum Musyrikin itu merasa bahwa pendirian merekalah yang benar. Oleh karena itu, mereka pertahankan mati-matian. Padahal kebenaran yang dibawa Rasulullah yang benar, sebab dia datang dari wahyu, datang dari Allah. Kalau di sana mengatakan merekalah yang benar, padahal hakikat yang benar terletak di sini karena dia datang dari wahyu, sudah pasti ada perjuangan. Sampai yang benar itulah yang menang. Itulah ketentuan dari kalimat Allah yang satu kekuatan pun tidak dapat mengubahnya.

Berkata Ahmad Syauqi, ahli syair Mesir yang terkenal:

Teguhlah pada pendapatmu di dalam hidup ini dan berjuanglah!
Karena sesungguhnya hidup itu ialah aqidah dan perjuangan.

Ayat ini wahyu kepada Rasulullah saw. niscaya beliau mengetahui akan hal itu. Akan tetapi, tujuan sebenarnya ialah kepada umat Muhammad sendiri bahwa agamanya akan selalu hidup di tengah-tengah api perjuangan. Baru keluar apinya Islam itu, setelah dia disangai, disalai, dan ditanak di tengah-tengah perjuangan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 137-138, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan sesungguhnya Kami tahu, bahwa engkau, sempit dadamu lantaran apa yang mereka percakapkan." (ayat 97).

Dituduh gila, tukang sihir, tukang tenung; dikatakan akan putus keturunan (abtar), karena tidak beranak laki-laki. Diriwayatkan penyebar kabar bohong dan lain-lain. Sebagai manusia pastilah Rasul kadang-kadang merasa sempit dada, artinya merasa sakit hati, iba hati, karena serangan-serangan yang demikian terhadap dirinya.

Malahan dalam beberapa ayat telah kita ketahui, pernah terlintas dalam ingatan beliau, lebih baik mati saja, lompati tebing curam. Semuanya tidaklah dianggap sebagai kesalahan dari beliau, karena rasa-rasa yang demikian termasuk "jibillat" manusia. Yang pasti ada pada setiap manusia yang berperasaan. Rasa sedih kehilangan yang dicintai, rasa iba hati karena diejek dan diolok-olok, rasa marah karena dihinakan, semuanya itu termasuk perangai asli manusia, yang tidak bisa dikikis dan tidak dapat dihilangkan. Cuma akal budi manusia disuruh mengendalikan dirinya, sehingga rasa-rasa yang demikian jangan sampai mendorongnya akan bersikap yang salah. Maka perasaan hati luka, atau dada sempit lantaran celaan dan hinaan orang-orang yang mempercakapkannya itu telah diketahui oleh Allah, dan Allah tetap melindunginya. Dan untuk menguatkan jiwa menghadapi perjuangan, Allah ingatkan kepada beliau,

"Maka bertasbihlah, dengan memuji Allah engkau, dan jadilah engkau dari orang-orang yang bersujud." (ayat 98).

Bertasbih memuji Allah, dan sujud kepada-Nya. Dekati Allah terus. Asalkan engkau tetap membuat hubungan yang rapat dengan Ilahi, tidak suatu pun di dunia ini yang akan dapat menggoncangkan engkau dan mengganggu engkau.

Demikianlah wahyu Allah kepada Rasul-Nya, yang akan menjadi pegangan dan pedoman di dalam menghadapi kewajiban menegakkan titah Ilahi di muka orang-orang yang ingkar dan tidak percaya.

Pedoman dan pegangan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya ini pulalah yang selalu patut menjadi pegangan kita umat Muhammad saw. yang tetap tidak pernah padam cita-citanya menegakkan agama Allah dalam dunia ini.

Sampai datang keyakinan yang sejati, yaitu mati.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 156-158, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RAKYAT DAN ULIL AMRI

Agama Islam mewajibkan rakyat taat kepada Ulil Amri, yaitu orang yang memegang pemerintahan dari mereka. Ayatnya berbunyi,

"Wahai orang-orang yang percaya, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan taatlah kepada Ulil Amri dari kamu." (an-Nisaa': 59).

Taatlah kepada Allah SWT yang telah mengatur hidupmu di dunia dan akhirat, taatlah kepada Rasulullah saw. yang membawa peraturan itu, dan taat pulalah kepada Ulil Amri mereka tidak menjabat khalifah karena meskipun negeri berkhalifah sebagaimana dahulu maka amir-amir dan raja-raja yang memerintah wajib juga diikuti perintahnya selama dia berdiri diatas pemerintahan yang sah.

Kalau semata-mata pertikaian di dalam perkara furu' syari'at, misalnya rakyat menganut paham "KAUM MUDA" dan raja menganut paham "KAUM TUA" belumlah boleh rakyat itu memaklumkan bughat, tidak mengakui kerajaan atau kekuasaan itu.

Cuma dua perkara yang akan engkau dapat di dunia ini, wahai muridku. Pertama, nama yang mulia, kedua, keridhaan Allah SWT. Jika engkau berpegang teguh itu, terpeliharalah engkau dari bahaya yang datang dari tempat lain. Namun, kalau kepada yang lain engkau berlindung, engkau tak akan dapat mempertahankan diri, dan seorang pun tidak ada yang sanggup membelamu. Engkau tidak akan memperbaiki rakyatmu jika engkau sendiri fasiq. Engkau tidak dapat menunjukkan jalan jika engkau sendiri sesat.

Orang yang hendak memperbaiki orang lain, hendaklah sanggup memperbaiki dirinya lebih dahulu. Tidaklah orang mengharuskan orang lain, jika dirinya sendiri belum rusak. Oleh sebab itu, jika engkau hendak memperbaiki rakyatmu, perbaikilah dulu dirimu sendiri.

Apabila engkau hendak menghabiskan aib orang lain, bersihkanlah dahulu dirimu. Sekali-kali jangan engkau sangka bahwa lantaran engkau telah mengeluarkan suara tidak diikuti dengan kelakuan dan pekerjaan. Itu tidak sempurna jika kita tidak dituruti dengan perbuatan dan terus terang sejak dari dalam batin kemudian keluar.

Ingatlah bahwa manusia mempunyai tabiat bermacam-macam, ada yang baik dan ada yang buruk.

Musuh yang paling besar adalah akhlakmu yang buruk itu, kawanmu yang setia ialah perangaimu yang mulia.

Oleh sebab itu, hendaklah senantiasa pertemukan akhlak jahat dengan yang baik. Jika marah, lawan dengan sabar.

Kebodohan dilawan dengan ilmu.

Kelupaan lawan dengan ingat-mengingati atau waspada.

Ketahuilah bahwasanya manusia amat perlu kepada Ulil Amri. Oleh karena itu, Ulil Amri hendaklah bekerja dengan baik. Binasa manusia jika Ulil Amri-nya jahat.

Pemerintah dengan rakyat laksana kepala bagi seluruh anggota, tidak kekal lagi anggota yang tidak berkepala. Wali perlu memperbaiki rakyat, rakyat perlu memperbaiki wali, kekuatan yang sepihak bergantung kepada pihak yang lain, jika yang satu lemah, maka yang lain pun akan lemah pula.

Kesempatan kembali kepada jalan Allah SWT ada pada kita semuanya. Jalannya masih terentang, baik untuk orang santri dan kiai, maupun untuk orang elit dan priyai.

Oleh sebab itu, hendaklah ditimbulkan dalam diri minat ilmu agama yang meliputi syari'at ibadah dan sebagainya.

Habiskan permusuhan dan dinding tebal yang selama ini membentang di antara golongan berpangkat dengan golongan miskin. Seruan terhadap golongan di zaman yang sudah-sudah sepi sekali karena bertahun-tahun lamanya ulama-ulama Islam diajar pengecut dan pengambil muka, padahal kesia-siaan ini telah merugikan masyarakat dan negeri.

(Buya HAMKA, Akhlaqul Karimah, Hal. 191-200, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Desember 2017).

Mufti Johor telah mengenal saya sebagai KAUM MUDA dan WAHABI dari Indonesia.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 70, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

"Tiap-tiap orang yang beriman itu adalah dia Islam, tetapi tidaklah tiap-tiap orang Islam itu beriman." (Syeikhul Islam IBNU TAIMIYAH).

WAJIB IMAN: ALLAH SWT BERSEMAYAM DI ATAS ARSY, TURUN KE LANGIT DUNIA, BERTANGAN, MEMPUNYAI BANYAK MATA.

BAB AQIDAH KLIK DISINI: (Aqidah Abul Hasan al-Asy'ari dan para pengikutnya, Imam Malik, al-Auzai, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa'ad, asy-Syafi'i, Ahmad, Ishaq bin Rahawaihi, dan ulama-ulama ikutan kaum Muslimin yang lain, yang dahulu dan yang kemudian).

Untuk menjelaskan betapa besar kesalahan mengikuti hukum Allah dengan separuh-separuh itu, sampai orangnya dicap munafik, datanglah lanjutan penjelasan Allah tentang kedudukan Rasul-Nya.

"Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul pun, melainkan supaya ditaati, dengan izin Allah." (pangkal ayat 64).

Kedatangan Rasul bukanlah semata buat dipuja-puja, padahal pimpinannya tidak dituruti. Orang yang mengakui Rasul, tetapi ajarannya tidak diikut adalah munafik. Sekalian Rasul, bukan Muhammad saja, bahkan sejak pimpinan agama diturunkan Allah, semua diutus Allah adalah buat dipatuhi. Barangsiapa yang mengelak-elak atau separuh-separuh keluarlah dia dari lingkungan aturan Allah. Di ujung diberi ikatnya, yaitu dengan izin Allah. Diberi "ikat" dengan kata "izin Allah" supaya jelas bahwa yang ditaati bukanlah zat dari Rasul, dengan tidak bersyarat. Rasul ditaati sebab dia menjalankan perintah Allah. Sebab itu menaati syari'at yang dipimpinkan Rasul, berarti menaati Allah. Karena itu diizinkan taat kepada Rasul. Mendurhakai Rasul artinya mendurhakai Allah. Sebab Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan perintah Allah.

Penjunjungan tinggi Allah atas Rasul-Nya ini dikuatkan Allah pula dengan firman selanjutnya,

"Maka sungguh tidak, demi Allah engkau! Tidaklah mereka itu beriman, sehingga mereka bertahkim kepada engkau pada hal-hal yang berselisih di antara mereka." (pangkal ayat 65).

Itulah tanda mengakui pimpinan Rasul. Karena di antara umat sesama umat sewaktu-waktu akan terjadi perselisihan pendapat, perbedaan kepentingan, perlainan pikiran. Kadang-kadang karena bermaksud baik, tetapi jalan pikiran berbeda. Sebab cara memandang dan menilai soal tidak sama, kadang-kadang karena nafsu. Padahal Allah memberi kebebasan pikiran dan menganjurkan ijtihad sehingga timbul berbagai aliran atau madzhab. Masing-masing menyangka bahwa pihak merekalah yang benar. Atau masing-masing mencari manakah yang lebih benar. Hal ini bisa membawa bahaya yang berlarut-larut, meretakkan kesatuan umat bahkan membuat pecah, kalau tidak ada yang suka bertahkim, meminta keputusan hukum kepada Rasul. Sebab Rasulullah yang telah ditentukan Allah buat ditaati, buat penyambung kehendak yang diwahyukan Allah kepada umat manusia. Sebab itu asal ada selisih, lekaslah bertahkim kepada Rasul. Kalau tidak mau begitu,tandanya tidak beriman. Allah berfirman bahwa orang yang tidak mau memutuskan perselisihannya kepada Rasul, tidaklah orang yang beriman.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 354-355, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SEGALA MACAM ISME KECUALI ISLAM

Sukarno tidak keberatan berangkul-rangkulan dengan Komunis, asal Islam jangan tampil ke muka.

Pejuang-pejuang di Konstituante adalah saksi yang nyata tentang sekularisme yang berarti memencilkan Islam.

Seketika Front Islam memperjuangkan agar ditambahkan pada UUD kalimat Piagam Jakarta,

"Dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluknya sebagai ayat B dari negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa."

Oleh karena itu, seluruh ideologi, golongan, dan partai, mulai dari PKI, PNI, PSI hingga Partindo dan Murba serta IPKI bersatu menolaknya.

Artinya, segala ideologi boleh berkembang dan boleh dicobakan.

Hanya satu yang disoroti dan selalu dipandang berbahaya yaitu ideologi Islam yang jantan dan konsekuen hendak menegakkan Sunnah Nabi saw.

Kalian boleh menyebut Islam, tetapi jangan Islam yang diajarkan Rasul, jangan DAULAH ISLAMIYAH, jangan SYARI'AT ISLAM!

Kalian juga boleh duduk dalam pemerintah asal Islam kalian simpan, jangan diperjuangkan.

Hendak harta kami beri harta, hendak pangkat kami beri pangkat, tetapi kekuasaan tidak ada di tangan kalian.

(Buya HAMKA, Ghirah: Cemburu Karena Allah, Hal. 56-57, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

GEMBIRA BUAT YANG MUNAFIK?

Setelah merdeka, mereka pula yang menjadi penghalang besar kalau peraturan Islam akan dijalankan dalam masyarakat kaum Muslimin; Mereka merasa kalau mereka konsekuen mempertahankan iman dan berjuang menegakkan kehendak Allah, mereka akan terpencil atau akan diisolasi orang. Mereka bertanya, apa yang akan kita dapat, kalau kita tidak bertolak angsur sedikit juga dengan orang kafir? Apa yang dapat diberikan oleh orang yang beriman itu kepada kita? Lantaran itu mereka terimalah segala tawaran yang menggelora dan mempesonakan dari pihak kafir, walaupun agamanya tergadai. Dia mendapat kemuliaan Saraab (fatamorgana) dan agamanya tertindas.

Bertambah lama bertambah kaburlah penilaian mereka terhadap kemuliaan pemberian Allah. Yaitu kemuliaan hidup, harga diri dan gengsi di sisi Allah dan di sisi umat yang sadar, karena dibawa hanyut oleh arus kemegahan dan kemuliaan di sisi yang palsu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 493, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Masyumi sesudah tiga kali memegang Perdana Menteri dan dua kali menjadi Wakil Perdana Menteri, akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno. (3)

(3) Strategi catur yang dimainkan Soekarno dalam sejarah politik Indonesia dinamai "Kabinet Kaki Empat", yaitu koalisi empat partai besar: Masyumi, PNI, PKI, dan Nahdhatul Ulama. Soekarno pun tahu bahwa mustahil Masyumi akan mau kerjasama dengan Komunis. Dengan ajakan yang mustahil inilah, Soekarno mulai mempermain caturnya, menyisihkan Masyumi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 591, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Penulis tafsir ini telah mengalami sesuatu yang pahit ketika ditahan dan diperiksa polisi secara aniaya. Pada waktu negara Indonesia ini telah mulai meninggalkan nilai-nilai keadilan, sebab kepala negara telah dipengaruhi paham tidak bertuhan (Komunis). Ketika mulai diperiksa tidak berhenti-henti hampir sebulan lamanya, didatangkanlah berbagai tuduhan yang dibuat-buat oleh polisi itu sendiri untuk menjerumuskan penulis tafsir al-Azhar ini.

Ketika diberikan jawaban-jawaban yang jujur; mereka tolaklah dengan kata-kata kasar tidak berbudi, "Saudara bohong!"

Dituduh berbohong bagi penulis, jauh lebih sakit ketimbang dipukul atau ditembak.

Itulah satu di antara sebab-sebab penulis agak tuli keluar dari tahanan.

Kita yang orang biasa, yang di dalam diri telah tumbuh dengan baik rasa kejujuran dan pertanggungjawaban di hadapan Allah, tuduhan berbohong lagi sakit, apalagi bagi seorang rasul.

Apalagi bagi Muhammad Rasulullah saw.

Inilah yang diobati oleh Allah, Jangan engkau berduka cita!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 136, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI

AGAMA DAN NEGARA

Agama Islam tidaklah tegak jika dia dijauhkan dari masyarakat.

Pemeluknya dicap oleh Allah SWT sebagai orang yang zalim (aniaya), kafir (tiada percaya sungguh) dan fasik (durjana), kalau sebagai orang Islam dia tidak bercita-cita supaya hukum Allah berjalan dalam masyarakat.

Sebab itu, dengan sendirinya (karena perintah agamanya) adalah seorang Islam mempunyai cita-cita perjuangan bernegara.

Tidaklah sempurna Islamnya itu kalau undang-undang dan perikehidupannya tidak diatur dengan aturan yang didasarkan kepada peraturan dasar dari Allah SWT.

Jadi adalah "masyarakat Islam" suatu cita-cita yang setinggi-tingginya dalam hati tiap-tiap orang Islam yang memahamkan agamanya.

"Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (an-Nisaa': 65).

"... Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah ..." (al-Hasyr: 7).


"... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang zalim." (al-Maa'idah: 44).


Dan dua lagi ayat yang berdekat-dekatan,

"... Maka mereka itulah orang-orang fasik." (al-Maa'idah: 47).


"... Maka mereka itulah orang-orang zalim." (al-Maa'idah: 45).


Jelas dan nyata jalan ini, tidak ada jalan untuk ragu.

*****

Pada suatu hari kawanku bangsa Indonesia yang telah memahami ajaran Karl Marx dan telah menjadi seorang Marxis yang utuh dan kuat, bertukar pikiran dari hati ke hati, yang tiada ditumbuhi hawa nafsu, hanya dalam rasa cinta akan kebenaran.

Setelah 3 kali kami bertemu, terloncatlah dari mulutnya di hadapan beberapa teman lain,

"Kalau begitu yang Islam, biarlah saya diakui sebagai seorang Islam. Saya mau menjadi Islam!"

Kawan yang lain tertawa, tetapi dia berkata sungguh-sungguh dan akhirnya saya pun menjawab dengan sungguh-sungguh pula,

"Saya percaya apa yang dikatakan Bung Fulan itu! Islam sebetulnya ada dalam hati tiap-tiap kita! Terlebih-lebih kita bangsa Indonesia! Dalam bakat dasar jiwa telah berlapis-lapis perasaan demikian karena warisan jiwa nenek moyang!"

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 138-143, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI

AGAMA DAN NEGARA

Kita telah berjuang mempertahankan Proklamasi 17 Agustus 1945, lima tahun lamanya. Siang dan malam tiada berhenti-henti, menyerang dan menangkis. Tiga kali kita telah diuji dengan ujian yang maha hebat masuknya tentara sekutu, perang kolonial pertama dan perang kolonial kedua.

Mari kita cari lagi, di mana sumber telaga kekuatan pertahanan semesta (people defence) itu.

Sekali lagi Tuan harus mengaku!

Di surau! Di pesantren!


Dengan tidak mengingat apakah dia mungkin diangkat orang menjadi menteri, atau menjadi jenderal, kiai-kiai telah mengerahkan muridnya, menempuh sabilillah, menyusun diri menjadi hizbullah (tentara Allah SWT), berjalan pada sabilillah (jalan Allah SWT), mengejar syahid!

Hidup dengan kemerdekaan dan mati dalam syahid, hanya berpedoman pada ridha Allah SWT!

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 117-118, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

Dunia dan moralnya ini sekarang amat bobrok. Kepada bangsa-bangsa yang memandang dirinya "cabang atas" di zaman sekarang harus disumbatkan kebenaran ayat kitab suci ini, kalau perlu dengan bambu runcing, seperti yang dilakukan bangsa Indonesia kepada Belanda.

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 236, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

PANGGILAN BERSATU

"Cabang atas" kehilangan pribadi Islam, karena terpesona oleh pribadi Barat!

Sifat laki-laki tulen pun telah hilang, karena lama "dibetinakan" oleh penjajahan.

Tak tergetar hatinya jika undang-undang dan hukum agamanya disisihkan dan diganti dengan undang-undang Barat, yang berpokok pangkal dari undang-undang Romawi dan Yunani.

Ulamanya kehilangan gairah, sehingga tidak tersinggung perasaannya buat berjuang menegakkan agama di tengah masyarakat yang telah sesat!

Sebagaimana sabda Nabi, "Akan datang kepadamu suatu zaman, datang musuh bertubi-tubi dari segala pihak laksana bubuk memakai kayu." Seorang sahabat bertanya, "Apakah lantaran sedikit bilangan kami pada waktu itu, ya Rasulullah?" Nabi menjawab, "Bahkan bilanganmu laksana buih di lautan, tetapi telah hilang hebat kebesaranmu, karena kamu ditimpa dua penyakit. Pertama, cinta kemewahan dunia; Kedua, takut menghadapi maut."

(Buya HAMKA, PANGGILAN BERSATU: Membangunkan Ummat Memajukan Bangsa, Hal. 130-131, Penerbit Galata Media, Cet. I, Januari 2018).

POKOK IDEOLOGI

"Dan sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku." (al-Mu'minuun: 52).

Kalau begitu agama Islam adalah agama kesatuan. Agama-agama yang dinamai Yahudi atau Nasrani (dalam kepercayaan Islam) adalah riwayat yang sambung-bersambung yang isinya pun Islam juga.

Namun, karena pemeluk agama-agama itu tidak mengingat perubahan-perubahan zaman dan tempat, mereka tetap berpegang kepada yang lama, memandang "asing" kelanjutan itu, tetapi keyakinan kita atas kemajuan berpikiran manusia, memberi kita harapan bahwa mau tidak mau akan tercapai juga kesatuan agama dalam kebenaran.

Islam adalah agama kesatuan. Menyatukan ibadah dengan pergaulan hidup, menyatukan kepercayaan dengan pergaulan hidup, menyatukan ruh dengan benda, menyatukan pokok-pokok ekonomi dengan pokok-pokok moral, menyatukan dunia dengan akhirat, menyatukan bumi dengan langit.

Dari pandangan kesatuan besar itulah asal mula segala undang-undang dan hukumnya. Perintah-Nya dan larangan-Nya. Tujuannya dan batasnya. Dari sanalah dia memandang politik negara dan siasat ekonomi, pembagian keuntungan dan pencatuan, hak dan kewajiban.

Singkatnya kepada pokok yang besar itulah menyusu segala dahan, cabang dan ranting, bunga dan buah.

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 189, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

Inilah peringatan kepada penolak-penolak kebenaran itu. Kebenaran adalah besar dengan sendirinya. Dia tidak dapat diikat oleh masa, oleh ruang, dan waktu.

Dia laksana air yang mengalir; dia akan mengalir terus. Bertemu dengan bukit, bukanlah bukit itu didakinya, tetapi dikepungnya. Bertemu dengan lubang, dia pun berduyun-duyun menimbun lubang itu sampai rata, maka yang datang kemudian mengalir terus pula kepada tujuannya.

Mana yang menghalangi jalannya akan hancur sendiri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 52, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-FURQAAN

PENDAHULUAN

Sebagai Muslim tidaklah kita akan sampai ke suasana Madinah sebelum melalui suasana Mekah.

Surah al-Furqaan adalah suatu di antara surah Mekah, di ayat yang pertama sekali sudah terpancang nama surah ini, al-Furqaan artinya pemisah di antara yang hak dan yang batil,

Yang BENAR dan yang SALAH.

JAHILIYYAH dengan ISLAMIYAH,

SYIRIK dengan TAUHID.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 341, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Supaya Dia tetapkan kebenaran dan Dia hapuskan kebatilan." (pangkal ayat 8).

Yaitu, supaya MENANGLAH ISLAM atas kufur;

Menang TAUHID atas SYIRIK.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 668, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SEGALA PENYELEWENGAN dari garis agama yang benar lalu dikatakan bahwa itu pun agama, termasuklah dalam JAHILIYYAH.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 56, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TEGAKKANLAH WAJAH KEPADA AGAMA

"Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan." (ujung ayat 31).

Sampai sekarang masih banyak terdapat orang Islam, mengerjakan shalat lima waktu, mengucap dua kalimat syahadat, namun mereka masih MUSYRIK.

Mereka masih memohonkan barang sesuatu keinginan kepada Allah SWT dengan perantaraan manusia, bahkan dengan perantaraan tulang-tulang dalam kubur.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 63, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Bahkan ada yang lebih jahat lagi, yaitu mereka persekutukan yang lain dengan Allah; Kalau orang musyrik dahulu kala itu berkata bahwa yang menolongnya ialah al-Laata, al-Uzza, dan Manaata. Dan sampai sekarang ini dalam kalangan orang Islam yang tauhid dalam jiwanya telah berkacau dengan syirik ada yang mengatakan bahwa yang menolongnya ialah keramat anu atau wali di kuburan anu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 14, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Maka dapatlah disimpulkan bahwa memuja kubur dengan segala hiasannya itu, di antaranya menghadiahkan pahala membaca Al-Qur'an kepada beliau yang terkubur, adalah termasuk dalam rentetan pekerjaan syirik belaka." (Buya HAMKA).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 509, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BAPAK REVOLUSI ISLAM

Disediakannya segenap hidupnya untuk membangkitkan seluruh alam Islam supaya serentak pula menentang pemerintahan sendiri yang bersifat zalim sebab kezaliman raja kepada rakyat itulah yang memudahkan datangnya penjajahan asing.

Di tiap-tiap negeri yang telah ditinggalkannya terbit api.

Di India timbul berontak, di Mesir berontak pula Arabi Pasha. Di Persia rajanya sendiri dibunuh orang, yang membunuh itu ialah suruhan pemimpin itu sendiri.

Pemimpin itu ialah Sayyid Jamaluddin al-Afghani.

Lantaran bahayanya yang amat besar pada pandangan Inggris, ia pun diasingkan ke Eropa.

Dikelilinginya negeri-negeri besar di Eropa, menyalakan kebesaran Islam.

Sehabisnya terjadi revolusi Irabi Pasha di Mesir, muridnya, Syekh Muhammad Abduh yang terbuang ke Suriah, dipanggilnya ke Eropa supaya sama-sama mengeluarkan surat kabar al-Urwatul Wutsqa yang masyhur di Paris.

Surat kabar itu hanya dapat diterbitkan 8 nomor saja sebab dilarang masuk ke negeri-negeri yang di bawah kuasa Inggris.

Dia dipandang Inggris sebagai musuh nomor satu!

Meskipun hanya 8 nomor, tetapi pengaruh surat kabar itu sangat besar membangunkan dunia Islam sehingga rasa putus asa menghadapi kekuasaan Barat, kian lama kian hilang. Apalagi artikel-artikel yang tertulis di dalamnya penuh bersemangat terutama artikel Alya'su (putus asa), Aljubun (pengecut), Al-amal (cita-cita).

Betapa tidak, bukankah ianya, buah pena 2 orang pujangga besar? Kabarnya konon menurut keterangan Sayyid Rasyid Ridha, artikel itu adalah buah pikiran Jamaluddin al-Afghani dan ditulis oleh Syekh Muhammad Abduh!

Pikiran yang tinggi oleh pena yang tinggi!

Boleh dikatakan bahwa Jamaluddin al-Afghani adalah mujaddid Islam yang sebesar-besarnya yang ditimbulkan Allah SWT untuk membangunkan kaum Muslimin dari segi percaya kepada kekuatan diri sendiri dan mengorbankan semangat pertentangan kepada keserakahan bangsa Barat.

Beliau ingatkan bahwa api kebencian Barat kepada Islam pada Perang Salib belumlah pudar.

Penjajahan sejak zaman Portugis sampai kini adalah sambungan dari Perang Salib.

Kaum Muslimin, raja-rajanya, ulama-ulamanya, pemimpin-pemimpinnya harus sadar dan bangun!

Namun, ia dipanggil oleh Sultan Abdul Hamid supaya tinggal di dekat dia, di Turki.

Setelah masuk di Turki, ditawan dan dimasukkan ke dalam "sangkar emas" diberi istana indah dan diintip tiap-tiap siang dan malam gerak-geriknya, akhirnya mati dengan cara amat menyedihkan.

Setelah matinya, surat-suratnya disita atas perintah Sultan takut ancaman kerajaan-kerajaan Barat atas dirinya kalau "singa" ini tidak dikurung!

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 73-75, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

Bangunlah wahai Kaum Muslimin dari tidur nyenyakmu,

Bersatulah menentang penjajahan yang telah menghancurkan sisa-sisa kekuatan yang ada padamu,

Tegak dan lawanlah raja-rajamu sendiri yang menjadi penghalang dari kebangkitanmu.

Bebaskanlah jiwamu daripada KHURAFAT, SYIRIK dan BID'AH yang telah menyebabkan kamu hancur!

-Jamaluddin Al-Afghani.

(Buya HAMKA, Ayahku, 137, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

XII. Muhammad Saw. Orang Besar yang Telah Mengeluarkan Manusia dari Kejatuhan

Di dalam Islam telah datang Muhammad bin Abdul Wahhab dan Sayid Jamaluddin al-Afghany.

Pemikir dan pejuang yang menyeru orang supaya kembali kepada jalan yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad juga.

Tidaklah cukup kitab untuk memaparkan jasa masing-masing dari pejuang itu.

(Buya HAMKA, LEMBAGA HIDUP: Ikhtiar Sepenuh Hati Memenuhi Ragam Kewajiban untuk Hidup Sesuai Ketetapan Ilahi, Hal. 377-378, Republika Penerbit, 2015).

PERINGATAN TENTANG KAUM 'AD!

"Sesungguhnya telah Kami teguhkan kedudukan mereka pada barang yang tidak Kami teguhkan kamu padanya." (pangkal ayat 26).

"Kedudukan mereka diteguhkan."

Baik karena bagusnya edaran ekonomi atau karena tingginya mutu pembangunan, sehingga terkenallah mereka dengan berbagai keahlian membangun rumah-rumah yang indah sebagai tempat tinggal.

Ayat ini menjelaskan bahwasanya kaum 'Ad itu telah mencapai kecerdasan yang tinggi sekali.

Ada tiga unsur yang berbeda sebutan bersatu hakikat, yaitu keindahan, keadilan, dan kebenaran.

Orang yang kesannya telah sampai akan merasakan bahwa indah, adil, dan benar adalah sifat belaka daripada satu Zat, yaitu Yang Maha Kuasa: itulah Allah!

Ini tidak dipahami oleh kaum 'Ad.

Memang mereka merasakan ada kekuasaan Maha Tinggi, Maha Kuasa Mutlak, tetapi sayangnya mereka beranggapan bahwa dia itu adalah banyak, menjadi tuhan-tuhan.

"Mengapa tidak menolong kepada mereka apa yang mereka ambil selain dari Allah itu menjadi tuhan-tuhan untuk mendekatkan mereka?" (pangkal ayat 28).

Siang malam mereka tunggang-tungging memuja, membakar kemenyan, bersimpuh-simpuh meletakkan segala kepercayaannya dan pengharapannya kepada yang selain Allah itu.

Sekarang mereka telah kena murka dari Allah Ta'aala sendiri, telah dihancurkan, dihanyutkan, dibinasakan dengan badai dan berbagai adzab siksaan.

Mana dia yang kamu sembah selain Allah itu? Mana dia? Mengapa dia tidak datang menolong dan membela? Mereka membisu?

"Bahkan mereka telah menyesatkan mereka!"

Berhala-berhala dan segala macam yang mereka sembah selain Allah itu telah diam dalam seribu bahasa karena mereka tidak mempunyai kuasa apa-apa, bahkan yang menyembah dan memuja mereka itulah yang lebih berkuasa, yang lebih bisa bergerak.

"Begitulah kebohongan mereka dan apa yang mereka karang-karangkan itu." (ujung ayat 28).

Begitulah dalam ayat-ayat ini dijelaskan sebab-sebab datangnya adzab dan siksa sehingga sampai hancur, hanya tinggal bekasnya, hanya tinggal rumah-rumah yang telah kosong dan orangnya habis disapu siksaan.

Sebab utama dan semuanya ini ialah karena lupanya manusia akan kondisi dirinya, akan kelemahannya, akan masanya yang sangat terbatas di dunia.

Yang tidak benar, yang khayal itulah yang mereka percayai.

Takhayul dan khurafat, pikiran kacau mereka berebut memegang, tetapi kebenaran sejati mereka singkirkan.

Maka datanglah kebinasaan dan bila kebinasaan datang, tidaklah dapat diperbaiki lagi.

Cuma orang yang datang di belakanglah yang mestinya tidak menempuh jalan yang salah itu lagi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 310-312, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Penulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya, "Yang dimaksud dengan ini ialah membangkitkan kesadaran dalam jiwa agar kalau hendak mencari kemuliaan carilah kemuliaan yang di sisi Allah dan menghadapkan segenap perhatian kepada ibadah pengabdian kepada Allah, dan masuk dalam barisan hamba-hamba Allah yang beriman. Karena dalam barisan itulah akan tercapai kemenangan abadi pada hidup di dunia ini dan pada hari berdirinya kesaksian kelak!"

Berkata al-Hakim, "Ayat ini menunjukkan atas wajibnya mencari pimpinan dan teman dari orang-orang yang beriman, dan dilarang memberikan pimpinan kepada orang kafir."

"Berteman dengan orang kafir tidaklah terlarang. Bahkan orang kafir, sebagai Ahlul Kitab yang berlindung di bawah kekuasaan pemerintahan Islam, wajib dijamin keamanannya. Tetapi menyerahkan pimpinan, terutama dalam hal yang akibatnya akan menyinggung agama, itulah yang wajib dipantangkan." (Buya HAMKA).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 492, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AL-QUR'AN: LAFAZH DAN MAKNA

Al-Qur'an ialah lafazh dan maknanya. Al-Qur'an ialah yang bahasa Arab itu. Dan, kalau ia diterjemahkan, nama terjemahan itu tetap terjemahan, bukan Al-Qur'an.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 23, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEPENTINGAN DAKWAH

Hadits pertama menjelaskan bahwa lemahnya dakwah akan membawa malapetaka besar, yang kalau malapetaka itu datang, sudah sulit membendungnya.

Pada hadits kedua dijelaskan lagi buat menyuruh atau berdakwah untuk menyadarkan raja atau penguasa, atau kepala negara, pemegang tampuk kekuasaan, mencegah dan membendung kezalimannya, dan berani menuntut keadilan dan kebenaran, adalah jihad yang sangat afdhal.

Hadits yang ketiga meletakkan kewajiban menegur dengan tangan sebagai kewajiban tingkat pertama. Menegur dengan lidah sebagai kewajiban tingkat kedua. Dan menegur dengan hati adalah yang paling bawah dan disebut sebagai iman yang paling lemah.

Hadits keempat memperkuat hadits ketiga ini, bahwa di belakang menegur dengan hati (iman lemah) itu tidak ada lagi yang patut sebagai iman, walaupun sebesar biji sawi.

Di sini kita diberi tuntunan bahwa jika kita merasakan umat dakwah itu sedang lemah, janganlah dia menyatakan setuju dengan kezaliman itu; jangan buka mulut. Tunjukkan bahwa engkau tidak suka dengan sikapmu yang diam; tutup mulut! Karena kalau tidak tutup mulut, kalau hendak bercakap juga, akhirnya akan terperosok kepada menyetujui perbuatan zalim, karena tenggang-menenggang atau karena takut. Akhirnya berlawanan dengan hati sanubari sendiri. Maka, timbullah sikap munafik.

Dari hadits ketiga dan keempat ini kita melihat lagi betapa besarnya tugas yang terpikul di atas pundak umat dakwah itu.

Pertama sekali, dia wajib berusaha merebut kedudukan yang memungkinkan dengan tangan dia dapat menegakkan yang ma'ruf dan memerangi yang mungkar. Artinya ialah kekuasaan. Kalau itu tidak tercapai, hendaklah lidahnya kuat mengatakan, yaitu kewibawaan; sehingga walaupun tidak atau belum dapat menguasai negara, tetapi lidahnya dan ucapannya didengar orang. Kalau keduanya belum tercapai, lebih baik diam, bahkan tolak kemungkaran itu dengan hati, tutup mulut, sampai kekuatan membuka mulut atau mengangkatkan tinju tercapai. Sebab itu, berdiam diri bukan berarti berhenti. Sebab, berhenti artinya mati.

Inilah beberapa tuntunan tegas dari hadits tentang dakwah.

Selama kesadaran dakwah masih ada, selama itu pula kemenangan dan kejayaan akan dapat dipelihara dan akan dapat dicapai kembali kalau dahulu telah pernah terlepas dari tangan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 20-23, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

GARA-GARA KAUM MUNAFIK

"Yang demikian itu ialah karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian mereka kafir." (pangkal ayat 3).

Maka datanglah peringatan Allah,

"Mereka itu adalah musuh."

Bagaimanapun senyumnya, bagaimanapun gagahnya, bagaimanapun manis mulutnya, yang terang ialah bahwa mereka musuh dalam selimut, yang lebih berbahaya daripada musuh yang datang dari luar.

"Allah mencelakakan mereka!"

Tegasnya, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Isa ialah bahwa mereka akan dikutuk, dilaknat oleh Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 150-151, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik."

Yaitu orang-orang yang tidak mau percaya, tetapi berpura-pura percaya. Orang-orang yang "telunjuk lurus, kelingking berkait", berlainan ucapan mulutnya dengan kenyataan perbuatannya, dan disebut juga musuh dalam selimut.

Pada hakikatnya kalimat, "Perangilah orang-orang kafir" bukanlah dimaksudkan semata-mata berperang yang bisa diartikan orang pada umumnya, yaitu mempergunakan senjata dengan kekerasan. Sebab pokok kata yang diartikan ialah jihad. Dan arti jihad yang lebih dekat ialah kerja keras dengan segala kesungguhan. Atau berjuanglah! Atau lawanlah, tentanglah, desaklah orang-orang kafir itu. Yaitu dengan melakukan segala macam usaha, dengan harta, dengan tenaga, dengan lisan, dengan tulisan.

Al-Qurthubi menjelaskan bahwa menghadapi orang-orang kafir itu bukan saja dengan pedang, tetapi juga dengan pelajaran yang baik, dengan dakwah, pelajaran yang baik, juga dengan doa, dan seruan.

"Dan bersikap keraslah terhadap mereka."

Ahli-ahli tafsir menafsirkan bahwa seruan jihad adalah lebih umum daripada seruan bersikap keras. Memerangi kekafiran tidak selalu mesti secara keras, kadang-kadang musuh dapat ditundukkan dengan sikap lemah lembut, atau dengan hujjah (alasan) yang tepat.

Tetapi sikap keras hendaklah dilakukan kepada orang-orang munafik. Mereka tidak boleh diberi hati!

"Tempat pulang mereka ialah Jahannam."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 225, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERANG KHANDAQ

"Dan meminta izin sebagian dari mereka kepada Nabi. Mereka berkata, "Sesungguhnya rumah-rumah kami telanjang."

Artinya rumah-rumah kami tidak ada yang menjaga, anak-anak dan istri tidak ada yang menunggui mereka, takut kalau-kalau dirampok atau didatangi orang yang tidak disenangi. Hanya kami sajalah yang akan dapat memelihara dan menjaga keamanan rumah tangga kami itu.

Alasan yang mereka kemukakan itu hanyalah dicari-cari belaka. Ujung ayat telah membuka rahasia yang sebenarnya,

"Dan bukanlah rumah-rumah itu telanjang."

Rumah tangga itu aman dan sentosa. Tidak ada orang dalam kota Madinah yang akan sampai sejahat itu, mengganggu rumah tangga seseorang yang tengah turut mempertahankan kota mereka dari serbuan musuh.

"Tidak ada kehendak mereka selain dari lari." (ujung ayat 13).

Mereka ingin lari dari perjuangan karena iman lemah atau tidak ada sama sekali.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 159, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HUKUMAN KEPADA BANI QURAIZHAH

Ali bin Abi Thalib pemangku bendera atau petaka perang berseru,

"Seluruh brigade iman, marilah maju. Saya sendiri ingin hendak merasakan apa yang pernah dirasakan oleh pamanku Hamzah bin Abdul Muthalib, mati hancur badan saya, atau saya kuasai benteng ini seluruhnya. Maju!"

Maka berlompatanlah brigade iman itu, di dalamnya termasuk pahlawan besar Zubair bin Awwam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 184, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Di dalam satu hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Said al-Khudri, ada tersebut bahwasanya di dalam surga itu ada 100 derajat (tingkat) yang telah disediakan Allah untuk orang-orang yang berjihad pada jalan Allah. Jarak di antara satu tingkat dengan yang lain, sejauh jarak langit dan bumi.

Dalam Perang Uhud, ada diriwayatkan bahwa seorang pemuda melalui malam pertama perkawinan. Pagi-pagi sebelum dia mandi janabat, terdengar olehnya di halaman tentara Islam telah berangkat. Lalu dilekatkan celananya, disandangnya alat senjata dan dia kejarnya angkatan perang itu, lalu pergi bersama-sama berjuang dan dia mati syahid dalam perjuangan itu. Di waktu itu Allah tidak menyuruh periksa lagi mengapa dia belum mandi janabat; dosanya telah diampuni!

Dalam peperangan penaklukkan benteng Yahudi di Khaibar, seorang budak hitam pengembala telah masuk Islam pagi-pagi dan turut berjuang tengah hari. Sebelum dia sempat mengerjakan shalat Zhuhur dia telah mencapai syahidnya. Tidak sempat mengerjakan shalat Zhuhur. Hal kecil-kecil telah habis apabila orang telah membuktikan imannya dengan kesanggupan jihadnya, apatah lagi kalau nyawa yang telah dia berikan.

Dalam satu hadits yang shahih Rasulullah pernah mengatakan bahwasanya segala dosa di antara seorang hamba dan Tuhannya, telah diampuni Allah apabila hamba itu telah syahid pada jalan Allah, kecuali hanya utangnya kepada manusialah yang tidak dibebaskan oleh Allah, sebab itu adalah sangkut-pautnya dengan manusia.

Maka seorang yang beriman, apabila dibacanya ayat ini, diketahuinya bahwa Allah Pengampun dan Penyayang telah memberi ampun dan kasih sayang pula kepada orang itu. Mengapa pula dia akan keberatan meniru sifat Allah, yaitu memberi ampun dan menyayangi, memberi maaf dan melepaskannya dari utang?

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 410-411, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IMAN BELUM! ISLAM YA!

"Jika adalah kamu semuanya benar-benar jujur." (ujung ayat 17).

"Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Pengampun."

Atas kelancangan mulut mengakui diri telah beriman.

Barangsiapa yang berani mati karena memperjuangkan nilai suatu pendirian, barulah berarti hidup yang dia jalani.

Orang yang seperti ini sudah boleh menyebut bahwa dia beriman!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 433-435, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IBRAHIM MENGHANCURKAN BERHALA

"Dan demi Allah." (pangkal ayat 57).

Nabi Ibrahim telah mulai perkataannya dengan sumpah. Tandanya beliau berkata bersungguh-sungguh, bukan bermain-main.

"Kami mendengar seorang anak muda yang menyebut-nyebut mereka, kata orang namanya Ibrahim." (ujung ayat 60).

Dari kedua ayat ini, ayat 60 dan 61 kita mendapat beberapa pelajaran.

Pertama ialah tentang keadaan Nabi Ibrahim waktu menghancurkan berhala, yaitu dia masih terhitung anak muda!

Yang berani mengerjakan pekerjaan nekad begitu memang hanya anak muda.

Kita melihat di dalam Al-Qur'an beberapa kali cerita tentang pekerjaan penting dikerjakan oleh anak muda.

Yang menyembunyikan diri ke dalam gua, dalam surah al-Kahf, ialah beberapa orang anak muda, karena keyakinan terhadap Allah yaitu berpegang kepada tauhid amat berlawan dengan kepercayaan kaumnya yang mempersekutukan Allah dengan yang lain. Di dalam surah al-Kahf, pemuda-pemuda itu 2 kali mendapat pujian. Pertama di ayat 10, kedua di ayat 13.

Demikian pentingnya darah muda, sehingga Ibnu Abbas pernah berkata,

"Tidaklah Allah mengutus seorang nabi melainkan anak muda. Dan seorang yang alim tidak pula diberi Allah ilmu, melainkan di waktu muda."

Lalu beliau baca ayat 60 surah al-Anbiyaa' ini sebagai alasan.

Nabi Musa pun membawa anak muda bernama Yusya' menjadi temannya pergi mencari Nabi Khidhir (disebut dalam surah al-Kahf ayat 60), yang disebut fatahu, ialah karena dididik akan jadi pengganti beliau nanti. Di zaman sekarang, dinamai kader.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 46-49, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Tidaklah ada yang berbantah-bantahan tentang ayat-ayat Allah kecuali orang-orang yang kafir." (pangkal ayat 4).

Yang dimaksud dengan berbantah-bantahan atau membantah ayat-ayat Allah ialah orang yang menanggapi ayat Allah dengan cara batil, dengan tidak jujur, semata-mata hanya hendak menolak kebenaran, atau menyalahartikan dan menyelewengkan maksudnya.

"Maka janganlah membuat silau engkau bersimpang-siur mereka di dalam negeri-negeri." (ujung ayat 4).

Sudah dijelaskan bahwasanya orang yang mencari saja pasal-pasal yang akan dibantah dari ayat-ayat Allah tidak lain adalah orang kafir. Kalau tidak ada sikap kufur tidaklah mereka akan berani bersikap begitu tidak sopan. Biasanya orang-orang itu kaya, berkuasa atau merasa diri pintar. Ini banyak kita alami dalam kita mempertahankan agama kita yang kita cintai ini; Ayat 4 ini telah menegaskan bahwa orang-orang pembantah ayat-ayat Allah ini tidak lain adalah orang-orang kafir. Orang yang beriman sejati jangan sampai terpesona.

"Bahwasanya mereka adalah penghuni neraka." (ujung ayat 6).

Maka, jihad menegakkan agama Allah itu tidaklah akan berhenti karena masih akan banyak di tiap pergantian masa, orang kafir yang membantahnya. Tetapi tantangan dan bantahan itu jualah yang menambah ujian imannya orang yang beriman.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 75-78, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MUSA DAN FIR'AUN

Kamu sendiri yang terlebih dahulu harus bersedia menumpahkan usaha, ikhtiar, darah, dan air mata untuk itu. Inilah pokok nasihat dari Musa untuk menghilangkan keluhan dan putus asa kaumnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 506, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ADAM DAN ISTRINYA KENA PERDAYAAN IBLIS

"Maka me-waswas-kan Setan kepadanya." (pangkal ayat 120).

Kata waswas kita salinkan dalam aslinya, karena kalimat itu pun telah terpakai dalam bahasa Indonesia, berkat pengaruh Islam. Misalnya, "Waswas hatiku melepaskan anakku belayar!", maksudnya ada suara keengganan dalam hatinya yang tidak terkatakan.

Maka menyelinaplah Iblis ke dalam hati Adam, memasukkan waswas, atau suara-suara yang dapat menimbulkan ragu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 619, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DUA ORANG MEMOHON PENYELESAIAN PERKARA

Maka tersebutlah dalam sejarah bahwa seorang Khalifah Bani Umayah, yang bernama al-Walid bin Abdul Malik, bertanya kepada ulama besar Abu Zar'ah, "Apakah seorang khalifah akan dihisab juga di hari Kiamat? Engkau telah banyak membaca kitab orang dulu-dulu, dan Al-Qur'an pun telah engkau selidik. Bagaimana katanya di sana?"

Abu Zar'ah menyambut, "Ya Amirul Mu'minin, bolehkah aku bercakap?"

"Boleh. Bebas. Katakanlah terus-terang, engkau aman." Jawab Amirul Mu'minin.

Lalu berkata Abu Zar'ah, "Ya Amirul Mu'minin, andakah yang lebih mulia di sisi Allah atau Nabi Dawud? Nabi Dawud berkumpul padanya nubuwwat dan khilafat, namun dia diwajibkan oleh Allah menghukum kepada manusia dengan benar dan jangan memperturutkan hawa, dan diancam bahwa orang yang memperturutkan hawanya ialah orang yang lupa akan hari perhitungan."

Khalifah terdiam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 11-12, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BOHONG DI DUNIA

Berusahalah menghindarkan diri dari dusta. Sebab dengan menghindari berbuat dusta, jiwa bisa maju. Kelemahan diri sendiri dapat ditolong oleh orang lain, asal kita jujur menunjukkan siapa diri kita. Hidup kita bukanlah rahasia, tidak sukar untuk orang lain mempelajarinya.

"Sekali dusta, tetap dusta."

Dusta adalah pintu menuju bahaya yang amat besar. Orang-orang pendusta tidak dapat dibawa serta menuju suatu cita-cita yang mulia. Orang-orang pendusta akan lari apabila bertemu bahaya di dalam menghadapi perjalanan hidup yang sukar. Di manakah di dalam kehidupan ini yang tidak menghadapi kesukaran?

Orang-orang pendusta adalah pengecut, mengelak karena takut bahaya. Padahal mengelak dari bahaya merupakan bahaya yang teramat besar.

Orang-orang yang berdusta akan mendapat gelar yang sangat hina, yaitu di dalam Islam disebut munafik.

Siapakah orang-orang munafik itu?

Menurut Rasulullah saw., ada 3 ciri orang munafik. Apabila ada pada diri seseorang, ia terkategori seorang munafik meskipun dia shalat, puasa, dan meskipun dia mengaku seorang Muslim. Rasulullah saw. bersabda,

"Orang-orang munafik adalah apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji ia mengingkari, dan apabila diberi amanah maka ia berkhianat." (HR. al-Bukhari).

Di dalam Al-Qur'an ditegaskan karakter orang munafik, yaitu jika hendak mendirikan shalat dia malas, jika mengerjakan suatu pekerjaan hanya karena ingin dipuji orang (riya), dan mereka jarang mengingat Allah, hanya sedikit sekali. Hal tersebut terdapat dalam firman Allah SWT,

"Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka lakukan dengan malas. Mereka bermaksud riya' (ingin dipuji) di hadapan manusia. Dan mereka tidak mengingat Allah kecuali sedikit sekali." (an-Nisaa': 23).

Apabila bertemu dengan orang beriman, dia mengaku beriman. Namun, apabila mereka bersama dengan Setan-setannya, mereka berkata, "Kami bersama Tuan-tuan, kami hanya main-main saja."

Bukankah orang-orang seperti ini sanggup menjual cita-cita dan kesucian pendiriannya lalu menjualnya dengan harga murah. Padahal apakah yang lebih mahal daripada cita-cita? Apa yang berharga dari seorang manusia kalau bukan pendiriannya?

Dia hanya mengikuti ke mana angin bertiup. Di mana dia akan mendapat keuntungan, di situ ia ada. Bukan mencari kemanfaatan hidup, melainkan keuntungan materi semata.

Bicaranya sembarangan, gembar-gembor sana-sini, tetapi isinya kosong. Banyak mengkritik, tetapi tidak boleh memperbaiki. Soraknya setinggi langit, tetapi amal perbuatannya kosong. Kesalahan kecil dibesar-besarkan, tetapi yang kesalahan besar tidak menjadi perhatiannya.

Nabi Muhammad saw. telah mendirikan pemerintahan Islam di Madinah. Baginda sanggup menghadapi kaum musyrikin Quraisy dan kaum Yahudi di Madinah. Namun, 'pening kepala' beliau ketika berhadapan dengan si munafik. Dia mengaku beriman, tetapi dia mudah berkhianat.

Jika Nabi saw. berjuang dan mendapat kekalahan (sebab memang kadang perjuangan itu pasang naik-pasang turun) di mana-mana dia menebar kata-kata, "Sejak dahulu saya memang tidak setuju, tetapi karena perkataannya tidak diikuti, beginilah jadinya".

Namun, bagaimana jika menang?

Wah! Dia yang terlebih dulu bersorak, dia yang paling banyak berjuang, berkorban, dia yang berjuang habis-habisan! Mati-matian. Akan tetapi, apabila ada retak sedikit, dia berusaha supaya yang retak itu jadi pecah. Dia hanya mencari-cari kesalahan. Pada kesalahan itulah dia akan berpijak.

Semua penyakit hati merasuk ke dalam jiwanya. Awalnya ia cuma sekali berdusta, lalu jadi munafik, pembohong, tukang fitnah, pendengki, penjual rahasia negara, perusak persatuan, serta suka memecah-belah.

Nabi kerapkali termenung memikirkan orang-orang seperti ini. Apakah yang perlu dilakukan kepada mereka? Dibunuh? Namun, mereka adalah kawan, mereka ada di kiri-kanan kita. Sahabat Umar pernah mengacungkan pedangnya dan minta izin kepada Rasul saw. untuk memenggal leher orang seperti ini. Akan tetapi, beliau melarang. "Jangan, dia kawan kita!", ujar Nabi saw.

Kita perdalam sedikit lagi! Dari mana datangnya orang-orang seperti ini? Sulit, tetapi mudah mencari orangnya. Memang percuma membunuhnya. Dia muncul pada saat kritis, pada saat ujian.

Jika Tuan bertanya, di mana "sarangnya"?

Mari kita jawab! Carilah dalam diri kita sendiri.

Insting (naluri) kebinatangan kita, keinginan hendak hidup, hendak berkuasa, hendak memiliki, takut mati, dan lain-lain yang ada dalam jiwa kita. Semuanya itu akan memungkinkan kita jadi munafik. Itulah guna kecerdasan akal, ilmu pengetahuan di otak, dan agama yang benar untuk meneguhkan pendirian, untuk menguatkan karakter yang sehat, dan pribadi yang berpotensi. Itulah alat-alat untuk mencegah kita menjadi munafik.

Kita telah melalui perjuangan untuk mencapai kemerdekaan. Bukankah kita bertemu dengan "peristiwa" munafik itu berpuluh, beratus, bahkan beribu kali?

(Buya HAMKA, Bohong Di Dunia, Hal. 45-49, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2017).

MANUSIA BANYAK BANTAHAN

"Dan mereka ambil ayat-ayat-Ku dan ancaman yang diancamkan itu menjadi olok-olok." (ujung ayat 56).

Demikianlah yang selalu dialami oleh tiap-tiap rasul yang menegakkan kebenaran, atau orang-orang yang mengikuti jalan rasul bercita membela kebenaran dan keadilan.

Musuh-musuh kebenaran itu tidak dapat membantahkan kebenaran dengan kebenaran pula. Karena jiwanya memang kosong dan mereka sombong dengan mengandalkan kekuatan yang ada pada diri mereka, maka seruan kebenaran dan ancaman Allah mereka olok-olokkan.

Mengolok-olok, mengejek, memandang enteng, mencemooh, dan mengancam akan bertindak melakukan kekerasan kepada penyeru kebenaran itu kalau dia telah terdesak dan tak dapat bertahan lagi, itulah alat-alat yang dipakai orang-orang yang tidak mau percaya, atau orang-orang yang kafir itu di setiap masa.

Digambarkanlah pada ayat ini betapa hebat bertahan kaum musyrikin seketika Nabi saw. mengembangkan syari'at dan seruan Ilahi. Padahal akhirnya mereka kalah juga, dan kebenaran juga yang menang.

Namun ayat-ayat seperti ini selalu terasa jadi hidup apabila orang yang telah menyediakan diri menjadi penerima waris nabi-nabi, penyeru kepada kebenaran menyampaikan kembali seruan itu kepada manusia di masa kelalaiannya.

Di masa orang memakai nama Islam tetapi orang telah meninggalkan petunjuknya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 400-402, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AL-QUR'AN

"Maha Suci Tuhan kita! Sesungguhnya perjanjian Tuhan kita akan dipenuhi." (ayat 108).

Demikianlah sikap orang-orang yang telah berpengetahuan dan berperasaan halus terhadap Al-Qur'an. Jauh bedanya dengan orang-orang kafir yang kasar perasaan itu.

"Dan meniaraplah mereka dengan muka mereka dalam keadaan menangis; dan bertambah-tambah mereka khusyuk." (ayat 109).

Sampai 2 kali disebutkan orang-orang berpengetahuan, yang amat terharu mendengar Al-Qur'an dibaca, sampai menangis. Terlebih dahulu telah dijelaskan, yaitu agar dibaca oleh Nabi dengan bertenang. Bacaan yang tenang dan timbul dari hati khusyuk itu berpengaruh ke telinga dan ke hati yang mendengar.

Al-Qur'an artinya bacaan. Tuahnya terletak dicaranya membaca. Bukan saja Nabi yang membaca Al-Qur'an, lantas orang-orang berilmulah tersungkur sujud sampai menangis mendengarkan. Nabi saw. pernah pula menangis mendengar Abdullah bin Mas'ud membaca Al-Qur'an.

Agama adalah gabungan di antara akal dan perasaan, di antara pikir dan athifah di antara rasio dan gevoel. Al-Qur'an telah menggabungkan di antara keduanya.

Itu sebabnya, orang tua-tua kita sejak dahulu kala amat mementingkan mengajarkan membaca Al-Qur'an kepada anak-anak, dari masa kecil.

Kalau sudah mulai ada bibit dalam dadanya kurang suka kepada bahasa Al-Qur'an, pasti bahwa pendidikan yang diterimanya di waktu kecil ialah dari orang lain yang tidak menyukai Islam.

Memanglah penting bimbingan membaca Al-Qur'an itu bagi kanak-kanak sementara lidah mereka masih lunak. Besar pengaruhnya menanamkan benih iman dalam hati mereka.

Bagaimanapun keadaan hidup yang akan ditempuhnya kelak setelah dewasa, namun tempatnya kembali, tempatnya tobat telah ditanamkan dalam dirinya sejak dia masih kecil.

Baik di gubuk, atau di dangau sawah, atau di istana.

Tersungkur sujud, keluar air mata, bila ada orang yang tahu dan yang ada perasaan halus mendengar Al-Qur'an.

Apatah lagi jika tahu pula arti yang terkandung di dalamnya.

Di dalam ayat 109 dikatakan,

"Meniaraplah mereka dalam keadaan menangis."

Sebab itu bacalah Al-Qur'an dengan suara merdu, sayu, dan rindu. Hiasi dia dengan suaramu.

Sehingga Imam Ghazali di dalam Ihya' Ulumuddin menyatakan bahwa setengah daripada adab sopan santun membaca Al-Qur'an ialah dengan berurai air mata.

Bersabda Nabi saw.,

"Bacalah Al-Qur'an dan menangislah. Kalau tidak juga menangis, bikin diri menangis." (HR. Ibnu Majah).

Dan Imam Syafi'i menyatakan sunnatlah sujud tilawah apabila membaca sampai di ayat ini.

Ibnu Abbas menjelaskan pula,

"Jangan terburu sujud, menangislah dahulu. Kalau air mata tak berair karena tangis mata tak ada, menangislah hati. Untuk menimbulkan tangis, sedihkanlah hati. Dan untuk menimbulkan sedih, ingatlah ancaman yang ada di dalamnya, ingat janji-janji yang telah engkau ikat dengan Allah, dan ingat pula kelalaian dan ketafsiran sia-siamu dalam hidup, membuang waktu percuma. Dan kalau sudah sampai demikian tidak juga timbul duka cita dan sedih, sehingga hati tak tergerak dan mata pun tak berair, lebih tangisilah dirimu. Sebab perasaanmu itu benarlah yang telah kasar. Itulah musibah dan bencana yang paling besar yang telah menimpa dirimu."

Demikian Imam Ghazali menulis di dalam kitab Ihya-nya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 346-347, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PANGGILAN ALLAH UNTUK HIDUP

"Wahai orang-orang yang beriman! Sambutlah panggilan Allah dan Rasul-Nya apabila kamu telah dipanggil-Nya kepada apa yang menghidupkan kamu." (pangkal ayat 24).

Oleh sebab itu, ayat ini memberikan ketegasan, kalau kamu mau hidup bernilai dan berarti, sambutlah seruan Allah dan Rasul. Kalau ini telah kamu sambut, berartilah hidupmu di dunia ini dan berarti sampai di akhirat kelak. Kalau tidak kamu sambut, kosonglah hidupmu, sebab hidupmu itu tidak mempunyai inti cita.

Sahabat Rasulullah saw., Urwah bin Zubair, adik dari Abdullah bin Zubair, menurut riwayat dari Ibnul Ishaq, menyatakan tafsir dari ayat seruan untuk yang menghidupkan kamu itu ialah seruan tampil ke medan perang, berjihad mempertahankan dan menegakkan agama Allah. Karena orang yang berani berperanglah yang dijamin nilai hidupnya. Yang takut berperang akan mati dalam ketakutan. Dengan peperangan suatu umat akan dimuliakan sesudah mereka hina di masa lampau. Dengan berperang mereka akan dikuatkan sesudah lemah, musuh pun berpikir dan menimbang-nimbang dahulu sebelum melakukan penyerbuannya.

Jihad itu dinamai juga hidup.

Karena apabila musuh sudah lemah, terjaminlah hidup umat yang gagah menghadapi maut itu; dan apabila orang tewas di medan jihad, pastilah dia mendapat hidup yang kekal di sisi Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 686-687, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Maka, pancunglah di atas kuduk dan pukullah daripada mereka tiap-tiap ujung jari mereka." (ujung ayat 12).

Kalau memancung atau menghantam lawan, hendaklah yang tepat memotong leher mereka, biar putus. Atau pancung ujung jari mereka sehingga tangan mereka tidak dapat lagi memegang pedang. Dalam bahasa kita yang populer dikatakan, "Gasak terus!"

Bunyi wahyu yang seperti ini dapatlah dipahamkan, bahwasanya apabila telah menghadapi tuhuk perang, hendaklah gagah berani. Hantam! Jika membunuh musuh jangan tanggung-tanggung, hendaklah latih diri bagaimana memukul yang tepat. Jika mengayunkan pedang, hendaklah ditaksir agar tepat putus leher musuh itu atau rembah tangannya, sehingga terlepas pedang dari tangan itu.

Sebab di dalam menyerang itupun tersimpan siasat bertahan. Akan tetapi, diingatkan kembali dengan ayat seterusnya, bahwa perang Islam itu mempunyai tujuan yang pasti. Terutama di dalam Peperangan Badar sebagai perang besar yang pertama dalam sejarah pertumbuhan Islam. Berperang bukan semata-mata karena hendak membunuh.

"Yang demikian ialah karena mereka telah melanggar Allah dan Rasul-Nya." (pangkal ayat 13).

Hantam mereka! Sebab mereka itu adalah musuh Allah! Dan musuh Rasul! Dan mereka akan terus melanggar atau memerangi Allah dan Rasul, kalau mereka tidak diperangi dengan gagah perkasa. Akan tetapi, berkali-kali mereka hendak membunuh Rasul Allah semasa masih di Mekah. Telah mereka tindas tiap-tiap orang yang menyatakan iman kepada Rasul. Bahkan akhirnya telah terpaksa Rasul hijrah ke Madinah bersama Muhajirin, karena paling akhir mereka telah memutuskan hendak membunuh Rasul dengan membagi-bagi darahnya kepada seluruh kabilah Quraisy, supaya tidak berani lagi keluarga terdekat Rasul Allah, yaitu Bani Hasyim menuntut darahnya. Dan, setelah pindah ke Madinah, tidak pula mereka berhenti mengatur siap-siapan hendak menghancurkan Islam yang baru tumbuh di Madinah itu. Sebab itu, Perangan Badar ini adalah hukuman yang setimpal buat mereka.

"Dan barangsiapa yang melawan Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya Allah, adalah sangat pedih siksaan-Nya." (ujung ayat 13).

Sangat pedih siksaan-Nya terhadap orang-orang yang tetap mempertahankan syirik itu, yang bukan saja tidak mau diajak kepada tauhid, bahkan memeranginya dan menyakiti dan mengusir orang yang berusaha menegakkan agama Allah di dunia ini. Dengan peperangan ini, mereka akan merasai betapa pedihnya siksa Allah kepada mereka.

"Begitulah, maka rasakanlah olehmu itu." (pangkal ayat 14).

Wahai kaum yang tidak mau menerima kebenaran. Rasakanlah siksaan Allah yang pedih itu, dengan kedatangan tentara Allah, yang berperang karena menegakkan cita-cita yang suci.

...

Maju terus menghadap Allah, tak perlu bawa apa-apa.

Selain takwa dan amal untuk akhirat.

Dan, sabar pada jalan Allah di dalam jihad.

Perbekalan dunia hanya barang yang akan habis.

Hanya takwa, kebajikan dan kecerdikan...!

Pemuda itu bertempur, dan ... dia pun syahid.

Itulah satu contoh semangat Muslim pada waktu itu. 300 orang yang bersedia mati, untuk memberikan leher dan darah bagi menggalang agama Allah. Semangat yang setinggi ini tiada tertangkis oleh Musyrikin lagi. Musyrikin mendapat kekalahan besar oleh serbuan yang hebat itu. 70 orang mereka tewas dan 70 orang pula yang tertawan. Di antara yang 70 orang itu adalah orang-orang penting, pemuka dan seperti yang dikatakan Rasulullah, "Buah hati negeri Mekah." Sedang dari pihak Muslimin mencapai syahidnya 14 orang!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 673, 675, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

GARA-GARA KAUM MUNAFIK

"Aku bersaksi (atau mengakui dengan sesungguh hati) bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah; dan aku bersaksi (atau mengakui dengan sesungguh hati) bahwa Nabi Muhammad benar-benar utusan Allah."

Sekarang orang-orang munafik telah mengakui dengan mengucapkan nasyhadu!

"Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya engkau memanglah Rasul-Nya."

Mereka mengaku atau tidak mengaku, namun Muhammad memang Rasulullah.

Tegasnya, adalah bahwa pengakuan dari orang munafik tidak ada artinya.

"Sesungguhnya mereka itu, amat jahatlah apa yang mereka perbuat." (ujung ayat 2).

Itulah kejahatan yang berlapis-lapis. Lapis pertama bersumpah buat membela diri, tegasnya, sumpah dijadikan perisai untuk memelihara diri dari pembuktian orang atas kepalsuan mereka. Mereka mengakui bahwa diri mereka "orang dalam", bahwa mereka "orang Islam" juga, tetapi tiap-tiap langkah untuk menuju hidup yang sesuai Islam itu, mereka halangi terus. Orang lain mereka halangi, mereka hambat-hambat dan mereka sendiri pun tidak mau tahu dan tidak mau menyelidiki kebenaran Islam itu. Sikap yang demikian adalah suatu kejahatan jiwa, karena jauh dari kejujuran, bahkan curang dari awal sampai akhir.

Apa sebab sampai seperti itu kejahatan perbuatan mereka?

"Yang demikian itu ialah karena sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian mereka kafir." (pangkal ayat 3).

Hal seperti ini mudah saja terjadi, kalau orang tidak hati-hati menjaga perimbangan dengan hawa nafsunya dengan ajaran agama yang murni.

Misalnya tentang berjuang, berjihad menegakkan ajaran Allah.

Semua orang jika mendengar riwayat orang yang berani berkorban, berani mati di medan perjuangan karena menegakkan cita-cita yang mulia, semua orang memujinya dan menyatakan kagum atas perbuatannya. Dan jika tewas dia tewas mencapai syahid karena perjuangan itu, semua orang memuji. Tetapi jika hal itu tiba-tiba terjadi pula dan mesti dihadapi, tidaklah semua orang yang memuji akan sudi menuruti langkah itu. Akan ada yang takut. Orang yang takut ini berangsur-angsur mengundurkan diri. Lama-lama iman yang tadinya mulai tumbuh karena ketakutan tidaklah dipelihara lagi, dan lama-lama berlarut kembali menjadi kafir.

Ada juga yang menyatakan iman karena mengharapkan keuntungan. Kemudian setelah nyata bahwa dia tidak mendapat apa-apa, dia pun mundur. Dalam perjuangan agama yang sejati harta benda dan jiwa raga si Mukmin yang diminta, bukan masyarakat itu yang mesti memuji-muji dan mengangkat-angkatnya. Kemudian setelah nyata bahwa dia tidak dipuji, tidak diangkat-angkat, dia pun kembali kafir.

Maka datanglah peringatan Allah,

"Mereka itu adalah musuh."

Bagaimanapun senyumnya, bagaimanapun gagahnya, bagaimanapun manis mulutnya, yang terang ialah bahwa mereka musuh dalam selimut, yang lebih berbahaya daripada musuh yang datang dari luar.

"Maka awaslah terhadap mereka."

Sebab orang-orang munafik itu karena pengecutnya, tidaklah mereka akan menantang berhadapan, melainkan melempar batu sembunyi tangan. Kalau mereka menyatakan setuju, tanda ada udang di balik batu yang mereka inginkan. Segala sesuatu mereka ukur dengan keuntungan benda yang akan mereka dapat.

"Allah mencelakakan mereka!"

Tegasnya, sebagaimana ditafsirkan oleh Ibnu Isa ialah bahwa mereka akan dikutuk, dilaknat oleh Allah.

"Bagaimanakah mereka dipalingkan?" (ujung ayat 4).

Qatadah menafsirkan, "Terpaling daripada jalan yang benar."

Hasan al-Bishri menafsirkan, "Terpaling dari yang terang kepada yang gelap."

Artinya lagi, "Bagaimana mereka sampai begitu tersesat ke dalam jalan yang salah, padahal jalan sejelas itu?"

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 148-151, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).


IMPERIALISME JIWA DAN KAPITALISME

"Dan orang-orang yang menumpuk-numpuk emas dan perak dan tidak mereka belanjakan pada jalan Allah, maka beri ingatlah mereka dengan adzab yang pedih." (ujung ayat 34).

Maka datanglah lanjutan ayat menyatakan bahwa barangsiapa yang mengumpul-ngumpul dan menumpuk-numpuk harta, walaupun dia guru Yahudi, walaupun dia pendeta Nasrani, dan walaupun dia ulama Islam, dan walaupun siapa saja; mengumpul emas dan perak, yaitu dirham dan dinar sebagai uang, atau nilai daripada uang. Dan, tidak dibelanjakannya pada jalan Allah, maka adzab siksa yang yang akan mereka terima dari Allah.

Maka terhadap kepada ayat ini, kita telah memperoleh dua aliran pendapat Salafus Shalih.

Pertama, pendapat Umar dan anaknya, Abdullah bin Umar yang dituruti oleh golongan sahabat yang terbanyak, yaitu boleh mengumpul kekayaan asal dari sumber yang halal, walaupun sampai sebesar Bukit Uhud, asal zakatnya dikeluarkan. Dan zakat ini dicampuri dan diawasi, bahkan kalau perlu diatur pemungutannya oleh kekuasaan negara.

Sedang pendapat Abu Dzar, selebih dari keperluan diri tidak boleh mengumpul harta. Lebih dari keperluan diri tidak boleh disimpan, melainkan dikeluarkan untuk keperluan jalan Allah.

Akan tetapi dasar berpikir dari kedua pendapat itu, hanya satu, tidak dua dan tidak bersimpangan.

Yaitu ketaatan kepada Allah dan berjihad pada jalan Allah dengan harta benda dan jiwa.

Bukan berdasar pada paham kebendaan (materialisme), yang meninggalkan nilai-nilai kepercayaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'aala.

Dan menjadi bukti hidupnya ruh ijtihad di kalangan sahabat-sahabat Rasulullah saw.

Oleh sebab itu, kita dapat melihat dalam sejarah betapa perbandingan hidup di antara orang yang kaya raya dan orang yang tidak mempunyai apa-apa itu.

Yang kaya raya ialah seperti Abdurrahman bin Auf yang dikenal betapa giatnya mengeluarkan zakat dan belanja-belanja keperluan jalan Allah yang lain sehingga orang menikmati kekayaan yang didapatnya itu.

Dan, bertemu Abu Dzar yang tidak suka mempunyai, tidak pandai berniaga, tetapi menolak hadiah, sebab merasa dia tidak perlu menerima hadiah itu, yang dengan segera memberikannya kepada yang memerlukan di saat itu juga, tidak sedirham pun ada tinggal di tangannya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 149-154, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PEDOMAN BERJUANG

Peringatan Allah ini jadi pegangan teguh bagi Nabi saw. Bahwa rezeki yang diberikan Allah dengan halal, walaupun sepiring makanan pagi dan sepiring makanan petang, cukuplah asal berkah, asal halal.

Beliau adalah penakluk dunia; seluruh Tanah Jazirah Arab itu telah tunduk dan takluk kepada beliau.

Tentang Rasulullah saw. tidak terpesona oleh perhiasan dunia itu, tersebutlah di dalam sebuah hadits yang shahih riwayat Bukhari, bahwa pada suatu hari Umar bin Khaththab masuk menemui Rasulullah saw. di waktu itu beliau sedang mengucil dari istri-istri beliau. Didapat oleh Umar beliau sedang berbaring di atas sebuah hamparan pasir tidak beralas. Di dalam rumah tidak ada terdapat apa-apa barang yang patut disebut perhiasan, kecuali sebuah tempat air tergantung yang telah lapuk pula.

Maka tidak tertahanlah air mata Umar titik berderai melihat keadaan itu.

Maka bertanya Rasulullah kepadanya,

"Apa yang menyebabkan engkau menangis, hai Umar?"

Lalu Umar menjawab,

"Ya Rasulullah! Tuan tahu bagaimana hidup Kisra (di Iran, Persia) dan Kaisar (di Romawi), padahal engkau adalah orang yang telah dipilih Allah di antara makhluknya."

Maka bersabdalah beliau saw.,

"Apakah engkau ragu, hai Umar bin Khaththab? Orang-orang itulah ialah suatu kaum yang dicepatkan Allah mengecap kesenangan di dunia ini."

Dalam hadits yang lain tercatat,

"Aku Nabi, ya Umar bin Khaththab, bukan Kisra dan bukan Kaisar."

Sebab itu beliau saw. adalah orang yang paling tidak terikat hatinya kepada dunia ini, padahal beliau sanggup kalau mau. Kalau dia mendapat kekayaan, segeralah dinafkahkannya dengan berbagai-bagai jalan untuk kepentingan hamba-hamba Allah, dan tidak ada yang beliau simpan untuk dirinya sendiri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 629-630, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, 'Kami mengakui, bahwa engkau adalah Rasul Allah.' Dan, Allah mengetahui bahwa engkau benar-benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar pendusta." (al-Munaafiquun: 1).

"Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka ...." (an-Nisaa': 145).

Mengucapkan dua kalimat syahadat adalah permulaan dan akibat-akibat lain, baik kepercayaan ataupun amal dan usaha. Dua kalimat syahadat adalah pintu, yang apabila telah dilalui kita akan masuk ke dalam satu lapangan luas dari kemudian batin dan pegangan hidup. Dua kalimat syahadat seakan-akan "surat kontrak" yang dengan mengucapkannya kita telah menjual diri kita, bukan kepada orang lain, tetapi kepada Allah yang telah kita akui sebagai Tuhan kita.

Jadi, semata-mata mengucapkan kalimat tauhid, mengakui Allah Maha Esa, padahal hati sanubarinya masih tetap mempersekutukan-Nya dengan yang lain, tidaklah ada nilai harga kalimat itu.

Mulut mengakui padahal amal tidak menuruti, tidaklah ada harganya.

Cobalah pikirkan baik-baik, apakah harganya kalimat tauhid itu?

Apabila seseorang telah mengucapkan, telah bersyahadat dengan kalimat tauhid, maka baginya pantang menundukkan mukanya kepada yang selain Allah. Kening ini diangkat terus melihat dunia dalam kesamarataannya, dan ia hanya sujud semata-mata kepada Allah.

Ia tidak percaya kepada tuhan-tuhan palsu. Tuhan bukan batu, bukan kayu, dan patung. Bahkan segala perkara dan segala barang yang akan mengendurkan hubungan dengan Allah, baik pangkat, kebesaran, kemewahan, kekayaan dan lain-lain, semuanya itu adalah tuhan palsu belaka.

Tauhid sejati tidaklah ada tempat takut, tempat mengharap, tempat segan melainkan Allah. Tidak tempat mengadukan penderitaan melainkan Allah. Tidak ada sesuatu tempat menggantungkan cinta melainkan kepada Allah. Banyaklah orang yang hancur lebur, robek, dan putus hubungannya dengan Allah oleh karena maksiat. Hawa nafsu membawa mereka kian lama kian jauh dari Allah, sehingga kian takutlah ia menyebut Allah atau lupa sama sekali.

Cobalah timbang dengan halus, apakah perbedaan mereka dengan umat dahulu kala yang dinamakan kaum jahiliyyah itu?

Perbedaan itu ialah orang yang dinamakan jahiliyyah paham arti tauhid, tetapi tidak mau mengucapkannya, dan

Orang jahiliyyah sekarang pandai mengucapkan tauhid, tetapi tidak paham apa maksud dan isinya. Inilah yang dinamakan orang pada zaman ini dengan "jahiliyyah modern".

Kalimat syahadat itu adalah kalimat yang baik. Sejak dari urat sampai dahan ranting, daun, pucuk, dan buah, hanya akan merasai satu rasa saja, tidak kacau.

Kalimat yang mulia ini tidak untuk permainan orang-orang munafik.

Dan kalau yang ditanamkan itu adalah pohon yang busuk dari benih yang tidak jelas, akhirnya akan tumbang juga.

"Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun." (Ibraahiim: 26).

Sebab itu kita akan berjumpa orang yang mengaku percaya kepada Allah dengan mulutnya padahal kepercayaan itu tidak ada padanya,

"Dan di antara manusia ada yang berkata, 'Kami beriman kepada Allah dan hari akhir', padahal sesungguhnya mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Mereka menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanyalah menipu diri sendiri tanpa mereka sadari." (al-Baqarah: 8-9).

Mereka bersumpah kadang-kadang, aku ini adalah seorang Islam sejati. Aku ini sedia berjuang untuk Islam, aku mau berkorban mati-matian!

Bilakah mereka berkata demikian?


Ialah ketika tampak olehnya keuntungan yang diharapkan.

Padahal, perjuangan dalam Islam, keuntungan kebendaan, dan pangkat kemegahan adalah nomor dua!

Nomor satu ialah kepahitan dan penderitaan.

Itulah sebabnya jika berjumpa kesulitan, cepat sekali mereka "lari" meninggalkan perjuangan.

Sebab yang mereka cari tidah lekas berjumpa! Buat apa lama-lama?

"Dan mereka (orang-orang munafik) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa sesungguhnya mereka termasuk golonganmu; tetapi mereka bukanlah dari golonganmu, tetapi mereka orang-orang yang sangat takut (kepadamu). Sekiranya mereka memperoleh tempat perlindungan, gua-gua atau lubang-lubang (dalam tanah), niscaya mereka pergi (lari) ke sana dengan secepat-cepatnya." (at-Taubah: 56-57).

Disebut mereka itu kaum "pecah", artinya tidaklah ia masuk golongan sana atau golongan sini, mereka adalah penambal-nambal belaka. Jiwanya sangat lemah. Bukti kelemahan jiwanya ialah keras soraknya, lebih keras daripada sorak orang tempatnya menumpangkan diri, kalau dilihatnya ada keuntungan. Namun kalau "pasaran" tempatnya menumpang itu sepi, hilanglah ia, tidak kelihatan batang hidungnya lagi.

Keterangan Allah yang penuh dengan ilmu jiwa tentang sifat munafik ini, yang menggambarkan segi-segi kelemahan manusia, sekali-kali tidaklah akan kita pergunakan buat memukul orang lain. Lebih baik kita gunakan untuk mengoreksi jiwa kita sendiri. Sebab kita pun berjiwa pula.

Sebagai seorang Muslim kita kenal Umar bin Khaththab.

Umat Muhammad saw. yang "nomor dua". Khalifah Rasulullah yang nomor dua dan umat Islam yang mula-mula beroleh gelar "Amirul Mukminin".

Sayyidina Umar yang begitu tinggi imannya dan begitu murni perjuangannya, bila membaca atau dibacakan orang kepadanya ayat-ayat yang berkenaan dengan kemunafikan ini termenung dan mengukur dengan dirinya sendiri.

Seorang sahabat Nabi saw. yang lain, Hudzaifah bin al-Yaman, banyak pengetahuannya tentang hal munafik, sebab banyak diajarkan Nabi kepadanya maka selalulah Umar bertanya kepada Hudzaifah,

Adakah agaknya padaku penyakit nifak (munafik)?

Alhasil bahwasanya yang dikehendaki sebagai seorang Muslim bukanlah semata-mata mengucapkan syahadat dengan lidah.

Syahadat mempunyai akibat karena syahadat itu dimulakan dari hati, keluar dari lidah; dan diikuti oleh perbuatan. Mengerjakan suruhan, menghentikan larangan; taat dan patuh!

Taat dan patuh yang mutlak!


Islam mempunyai hukum yang wajib dijunjung tinggi, peraturan, dan undang-undang.

Baik mengenai ibadah khusus, kemasyarakatan, mengenai akhlak, atau mengenai kenegaraan!

Kita wajib berusaha dalam hidup kita,

Supaya sesuailah ucapan syahadat kita dengan keseluruhan perbuatan kita!

-Tulisan ini dinukil dari Ceramah Allahuyarham Prof. Dr. HAMKA, yang pernah disampaikan di TVRI sekitar Tahun 1975, yaitu siri ceramah yang bertemakan, "Iman dan Pembangunan".

(Buya HAMKA, Kesepaduan Iman Dan Amal Saleh, Hal. 34-42, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

TOBAT NASUHA

HMI telah bermuktamar pada akhir bulan September di Solo, dan telah berlangsung dengan selamat serta sukses.

Salah satu keputusannya yang patut menjadi contoh bagi seluruh kaum Muslimin di Indonesia, bahkan di dunia, ialah pengakuan mereka akan kesalahan yang pernah mereka lakukan di masa Orde Lama berkuasa, di zaman Komunis masih sangat menguasai pimpinan negara.

Di waktu itu, seorang dari pejuang Islam, Kasman Singodimejo, S.H., telah difitnah dan dihadapkan ke pengadilan subversif di Bogor.

Disertai agitasi dan demonstrasi yang hebat, PKI dengan segala tingkah lakunya yang kurang ajar mencoba memengaruhi hakim menuntut supaya Kasman dijatuhi hukuman yang berat, sekurang-kurangnya 10 Tahun.

Di saat seperti itulah HMI membuat suatu kesalahan yang amat besar. HMI turut menuntut agar Kasman dihukum. HMI telah menuduh Kasman (salah seorang dari biang yang memupuknya) bahwa ia telah berbuat suatu kejahatan. HMI saat itu telah melakukan perbuatan yang sangat jahat, yaitu berkhianat. Bukan berkhianat kepada Kasman sebab sebagai seorang pejuang ia akan menahankan derita pedih itu dengan tabah. Derita oleh kenakalan anaknya sendiri. Lebih dari itu, HMI pada masa itu telah mengkhianati jiwanya sendiri, hati nuraninya sendiri. Ia mesti merasa bahwa perbuatannya itu salah besar. Sebagai mahasiswa Islam, mereka akan merasakan bahwa perbuatan mereka terhadap Kasman adalah laksana pengkhianatan Brutus terhadap Julius Caesar, "Waduh, engkau pun turut Brutus?"

Sekarang, setelah terjadi perisitiwa Gestapu/PKI dan tumbangnya rezim Soekarno, keadaan telah sangat berubah. Kasman telah naik banding sehingga hukumannya 8 Tahun dikurangi menjadi 2 Tahun lebih, dan itu pun karena oleh Kasman diadakan kasasi sebab hukuman dua setengah Tahun itu pun dipandangnya tidak adil sebab ia tidak bersalah.

Hari-hari berikutnya tuntutan keadilan dan demokrasi semakin lantang, dan HMI merasa mendapat tekanan dosa yang besar. Mereka merasa bahwa jika mereka turut meneriakkan keadilan dan demokrasi beratlah rasanya lidah diangkat. Sebab, pernah berbuat kepalsuan karena didorong oleh tekanan pada saat itu.

Pada Kongres HMI ke-XIII yang bersejarah di Solo itulah HMI secara jantan mengakui kesalahannya dan melakukan evaluasi atas perbuatannya mengutuk Kasman. Itu merupakan satu kesalahan besar. Mereka juga mengakui kesalahan karena ikut-ikutan mengutuk adik mereka sendiri, Pelajar Islam Indonesia (PII), yang anti komunis dan menolak demokrasi terpimpin Soekarno.

Setelah mereka akui kesalahan itu dengan keputusan Kongres, mereka merasa telah terlepas dari tekanan yang berat, yang mengimpit pundak mereka selama itu. Dengan sebab itu, mereka pun telah berani mengangkat muka kembali.

Dengan sikap ini, HMI telah merasai (meresapkan) intisari ajaran Islam, yaitu tobat yang selalu dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dengan sebab itu, dapatlah mereka mengangkat muka. Dapatlah mereka berlantang suara mengatakan bahwa mereka pun adalah salah satu pembina yang penting dalam menegakkan Orde Baru. Orang yang tobat dari dosanya dengan tobat nasuha, diterima Tuhan tobatnya, dan ia kembali tegak sebagai manusia yang telah selesai membersihkan diri.

Kita kagum dan hormat atas sikap yang diambil oleh HMI ini. Inilah sikap Muslim sejati. Sikap yang memang patut dilakukan oleh angkatan muda Islam, yang memberikan suri teladan bagi pejuang Islam yang lain.

Tepat, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw., "Tiap-tiap anak Adam tidaklah sunyi dari salah. Dan, yang sebaik-baik orang yang bersalah ialah orang yang segera bertobat."

Sekarang, teringatlah kita kepada pejuang-pejuang Islam, golongan-golongan kaum Muslim yang pernah berbuat kesalahan sejarah, yang hati sanubari mereka pun akan merasakan bahwa perbuatan mereka itu adalah khianat. Khianat kepada jiwa sendiri, kepada mabda' (pendirian yang telah dibangun).

Teringat kita kepada perkumpulan yang kita hormati, yaitu Muhammadiyah. Karena takut akan dipandang "kontra revolusi" maka pimpinannya telah menganugerahkan gelar "anggota setia" kepada Presiden Soekarno. Padahal, Muhammadiyah sendiri tahu siapa yang patut disebut anggota setia.

Pada Tahun 1954, Muhammadiyah pernah mengeluarkan anjuran yang sangat penting kepada anggotanya, supaya melatih diri menjadi orang-orang yang kuat beribadah, takwa kepada Allah, menjauhi dosa besar, mengurangi dosa kecil.

Mengadakan latihan batin juga dianjurkan agar memperbanyak puasa pada hari Senin dan Kamis. Memperbanyak shalat nawafil, setia menjunjung tinggi perintah-perintah agama dan menghentikan larangannya. Sebab, dalam pandangan Muhammadiyah, anggota setia itu bukanlah yang banyak memberi sumbangan. Sumbangan dana bisa diberikan oleh donatur. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah yang lama, pusaka Kiai H.A. Dahlan, disebutkan satu di antara tujuan Muhammdiyah ialah "memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan agama Islam kepada anggota-anggotanya."

Beratus anggota setia Muhammadiyah, bahkan beribu di seluruh Indonesia ini yang hidup dan matinya untuk perjuangan Islam dalam gerakan Muhammadiyah, tetapi tidak biasa disebut bahwa mereka anggota setia. Ada perempuan-perempuan tua yang imannya benar-benar "imanul 'ajaiz" terdengar bakiak (sandal) kayunya meninggalkan rumahnya menuju mushalla di Kauman Yogyakarta, yang duduk istighfar sejak waktu sahur.

Telah bertahun mereka tekun. Ada angku datuk tua di Simabur dan di Muara Taweh, ada keluarga kecil sejak dari nenek lalu ke cucu di dekat Rappang, mereka taat beribadah, ber-i'tikaf di masjid, puasa Senin-Kamis mengikuti tuntunan Muhammadiyah. Ada yang mewakafkan tanahnya buat sekolah Muhammadiyah dan mushalla di Pandan dan Gelapung, Maninjau. Ada satu kiai yang namanya tidak terdengar keluar, tetapi tekun dalam pondoknya di Maskemambang atau di Kuraitaji.

Itu semuanya anggota-anggota setia yang menyebabkan jika Muhammadiyah telah masuk ke dalam satu negeri, ia tidak akan dapat dibongkar lagi.

Saya tidak akan berbicara tentang pribadi Bung Karno, tetapi seorang Muhammadiyah yang benar-benar telah mengenal perjuangan Muhammadiyah akan sependapat dengan saya bahwa gelar "anggota setia" yang diberikan kepada diri Bung Karno adalah berlawanan dengan jiwa orang-orang yang memberikan sendiri.

Kemudian, ia diberi gelar "pengayom agung", dan Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang dipilih melalui Muktamar dilantik di istana Bogor. Ada orang-orang yang benar-benar dipandang sebagai "Imam" oleh kalangan Muhammadiyah se-Indonesia, yang diputuskan Kongres untuk menjadi Penasihat, yaitu Abuya A.R. St. Mansur dicoret namanya dari Penasihat. Kiai H. Fakih Usman yang diakui sebagai "baqiyatu salafis-shalihin" sesudah wafatnya Ki Bagus Hadikusumo dan K.H. Mansur, "dinaikkan" ke bawah, dari anggota Pimpinan Pusat "jatuh ke atas" menjadi Penasihat, padahal dalam struktur organisasi Muhammadiyah tidak ada jabatan pengayom agung. Semuanya ini terjadi tidak lama sesudah Kongres di Bandung berlangsung.

Kemudian, oleh Universitas Muhammadiyah, Soekarno diberi gelar Doctor Honoris Causa dalam ilmu tauhid.

Sampai profesor dan sarjana perempuan yang kita banggakan, Ny. Bararah Baried menjadi promotor.

Namun, di saat itu juga Allah menunjukkan bahwa Dia tidak ridha atas perbuatan itu.

Sebab dalam promosinya, Bung Karno sendiri menganjurkan supaya orang ziarah ke kubur ibu atau bapaknya, meminta supaya ibu atau bapaknya itu menyampaikan permohonannya kepada Allah agar Allah memberikan pertolongan kepada yang meminta.

Padahal, itulah yang oleh kalangan Muhammadiyah diberantas selama 54 Tahun sampai sekarang ini.

Itulah yang dikatakan "At-Tawassul wal Wasilah" yang dikarang oleh al-Imam Ibnu Taimiyyah.

Buku "At-Tawassul wal Wasilah" ini adalah salah satu buku pegangan kaum mubaligh dan ulama Muhammadiyah.

Inilah program pertama Muhammadiyah sejak ia berdiri, yaitu memberantas kemusyrikan.

Ini pulalah sebab terpenting ulama-ulama Sumatera Barat seperti almarhum Syekh M. Jamil Jambek dan Syekh Dr. Abdulkarim Amrullah menjadi penyokong Muhammadiyah.

Sebab, sama pendirian memberantas permohonan melalui orang yang telah mati dikubur.

Oleh karena itu, Doctor Honoris Causa tentang ilmu tauhid yang dianugerahkan kepada Bung Karno telah dibatalkan oleh Bung Karno sendiri dalam pidatonya itu.

Muhammadiyah yang kami cintai.

Yang sebagian besar dari kami telah mengorbankan segenap usia muda untuknya, kadang-kadang pergi jauh meninggalkan kampung halaman karena hendak menyebarkan pahamnya, kadang-kadang kena fitnah dan derita, tetapi rela karena merasa berjuang untuk menyebarkan cita-cita Muhammadiyah.

Muhammadiyah? Maukah mengambil teladan dari putranya sendiri, Himpunan Mahasiswa Islam, yaitu mengakui bahwa ketiga perbuatan itu salah besar? Lalu, tobat kepada Allah. Sebab, telah mengabaikan prinsip yang diperjuangkan selama ini hanya semata-mata karena menjaga supaya jangan dituduh "kontra revolusi"?

Kesalahan ini tidak dapat dipertahankan dan tak perlu kita membela diri dan mengatakan semuanya ini tidak salah.

Pimpinan Pusat di kala itu sudah terlalu tenggelam dalam lautan ketakutan sehingga lupa prinsip yang telah berpuluh tahun diperjuangkan.

Sehingga, kita lupa mengambil contoh dari para ulama-ulama yang jadi ikutan kita.

Lupa kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang sudi menderita masuk penjara 30 bulan karena mempertahankan prinsip pendirian beliau bahwa Al-Qur'an bukanlah makhluk, melainkan tetap Kalam Allah.

Lupa kita kepada Ibnu Taimiyah, yang selama ini jadi ikutan, yang karena tidak mau mengubah keyakinan sampai meringkuk dalam penjara bertahun-tahun, sampai akhir hayatnya.

Kita hendak mempertahankan hidup organisasi Muhammadiyah walaupun untuk itu, "Jiwa utama Muhammadiyah" sendiri telah mati.

Kita telah mempertahankan bangkai.

Syukurlah di akhir-akhir ini anak-anak kita sendiri, cucu kita, anak IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) dan IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) dan ISBM (Ikatan Seni Budaya Muhammadiyah) serta Nasyiatul Aisyiyah dengan tegas di muka umum meminta agar Muhammadiyah mencabut segala gelar-gelar yang pernah diberikan pada Soekarno, yang tidak pada tempatnya itu.

Anak-anak kita itu agaknya mendengar bahwa beberapa lama setelah terlepas Ahmad bin Hanbal dari ujian itu maka ulama-ulama lain yang pernah mengakui pendirian al-Ma'mun yang dipaksakan itu (karena takut) maka ahli-ahli hadits memandang bahwa hadits-hadits yang dirawikan oleh ulama-ulama yang tunduk kepada kezaliman al-Ma'mun itu tidak tsiqat. Sebab, mereka plin-plan saat ditanya oleh Qadhi Ibnu Abi Dawud.

Oleh karena itu, di sini kita anjurkan agar Pimpinan Pusat Muhammadiyah mencontoh anak dan cucunya di muka umum, sekurangnya di muka satu Majelis Tanwir bahwa mereka telah berbuat salah, dan tobatlah kepada Allah. Dengan demikian, Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan merasa lepas dari tekanan jiwa sendiri, dan mulut tidak berat lagi menyebut Orde Baru.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 155-160, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Pendidikan yang dia maksudkan ialah supaya pemimpin dan calon-calon pemimpin benar-benar dididik atau mendidik diri, dilatih atau melatih diri agar benar-benar hidup secara Islam.

Mendidik diri menerima dan menjalankan secara mutlak bunyi ayat dan bunyi hadits Rasulullah saw.

Darwis Thaib percaya, kalau satu waktu kelak partai ini dikejar-kejar pula dan pemimpin-pemimpinnya dihina, disiksa dan dibuang, ataupun dibunuh, mana yang batinnya tidak kuat, niscaya akan lari tunggang-langgang pula.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 219, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENGARUH DAN AL-GHAZWUL FIKRI; "Inilah ia sekularisme, Saudara-Saudara, yaitu mencari sumber keuntungan walau dari mana pun datangnya, tidak mengkaji dari sumber halal atau haram. Halal atau haram itu hanya ada dari agama. Sebab itu, agama harus sangat dijauhkan dari negara. Barangsiapa yang menganjurkan amar ma'ruf nahi munkar adalah gerpol, dan sebentar lagi boleh juga dicap anti-Pancasila." (Buya HAMKA).

(Buya HAMKA, Ghirah: Cemburu Karena Allah, Hal. 66, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Sudahkah saya mengerti, dan sudahkah saya benar-benar menjadi orang Islam?"

LAHIRNYA PANCASILA DI INDONESIA 

Lahirnya Negara Republik Indonesia yang berjuang melepaskan diri dari penjajahan Belanda adalah dari kesadaran setiap golongan yang dipelopori oleh dua tokoh nasional yang besar di abad ini, Sukarno dan Mohammad Hatta.

Beliau-beliau pun berpaham bahwa sesungguhnya negara dan bangsa Indonesia tidak dapat dipisahkan dari agamanya.

Itulah sebabnya maka dirumuskan dalam Pancasila bahwa yang menjadi Sila Pertama adalah KETUHANAN YANG MAHA ESA.

Dalam negara ini segala agama boleh berkembang menurut kegiatan dan keaktifan masing-masing.

Sukarno pernah mengatakan bahwa negara ini adalah wadah atau pinggan yang boleh diisi menurut kemampuan yang sanggup mengisi.

Mohammad Hatta pernah mengatakan bahwa Ummat Islam sebagai golongan yang terbesar dalam Negara Republik Indonesia harus bergiat memperhebat, memperdalam, dan memperluas ajaran Islam itu pada masyarakat. Apabila pengaruh Islam bertambah besar, demikian menurut Hatta, corak negara itu tidak akan lain daripada Islam.

Beliau belum setuju menuliskan dalam hukum dasar dengan agama Islam sebagai agama resmi dari Republik Indonesia, kalau sekiranya pikiran Islam belum dikenal oleh masyarakat, terutama oleh yang memperjuangkannya sendiri.

Adapun dalam praktiknya di Indonesia seperti di negeri-negeri Islam yang lain, terdapatlah pemisahan urusan kenegaraan dengan urusan kemasjidan, tetapi semuanya dalam rangka kenegaraan.

Nyatanya di Indonesia ada kementerian yang khusus mengurus urusan keagamaan yang di Indonesia dinamai Departemen Agama. Tentu saja urusan administrasinya dipisahkan dari Departemen Luar Negeri, Departemen Pengajaran dan lain-lain.

Sungguhpun demikian golongan yang memperjuangkan agama Islam, telah berjuang di Konstituante untuk minta lebih dari itu, yaitu supaya hukum syariat Islam berjalan dalam kalangan ummat Islam sendiri.

Tetapi perjuangan itu belum berhasil.

Belum berhasilnya perjuangan ini memperteguh keyakinan kita termasuk penulis buku ini bahwasanya yang telah didapat sekarang itu tidaklah lebih dari keadaan yang sebenarnya.

Dengan meninggalnya H.O.S. Tjokroaminoto pada Tahun 1934, maka pimpinan atau Leadership Nasionalisme Indonesia tidaklah lagi terpegang di tangan "Fikrah Islamiyah" (cita-cita atau Ideologi Islam), melainkan sudah jatuh ke tangan pimpinan Nasional yang berpikir sekuler, meskipun mereka orang Islam juga.

Oleh sebab itu jelaslah perjuangan belum selesai hingga hari ini.

Pengalaman-pengalaman yang telah dilalui dalam masa sekian tahun menjadilah pelajaran yang baik dan berharga untuk melanjutkan perjalanan menuju cita-cita yaitu bahwa negara dan tanah air yang diduduki oleh sebagian besar umat Islam menjadilah negara yang berjiwa Islam laksana tubuh dengan nyawa atau laksana kuku dengan daging.

Tercapai atau tidaknya cita-cita itu sangatlah bergantung kepada pertanyaan kita kepada diri sendiri,

"Sudahkah saya mengerti, dan sudahkah saya benar-benar menjadi orang Islam?"

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 341-343, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

INGIN PUJIAN ATAS USAHA ORANG LAIN; "Sekali-kali janganlah engkau sangka orang-orang yang bergembira dengan yang mereka lakukan dan senang sekali bila dipuji dalam hal yang tidak pernah mereka kerjakan." (pangkal ayat 188). Di ayat ini, bertemulah 2 perangai manusia yang amat rendah atau suatu kerendahan budi dan menunjukkan jiwa yang kerdil. Yaitu perangai orang yang munafik dan pengecut, tidak berani bertanggung jawab. Pertama, ialah orang yang gembira dengan yang telah mereka lakukan. Kedua, ialah orang pengecut yang berbuat suatu kepengecutan, lalu memuji sikapnya yang pengecut itu, atau orang yang bodoh bangga dengan kebodohannya. Seumpama seorang yang memang jiwanya kerdil melihat seorang pejuang telah menjadi korban keyakinannya, atau orang itu dibuang atau dipenjarakan atau tewas di medan jihad. Maka, si pengecut ini membanggakan diri dan gembira sebab dia telah memilih satu perbuatan yang katanya benar, yaitu tidak turut berjuang, sehingga dia tidak jadi korban. Sebagai pepatah syair Arab, Si pengecut berpendapat bahwa pengecut itu adalah satu perhitungan yang tepat. Itulah dia perangai nafsu yang hina.

Ketika terjadi perjuangan kemerdekaan menentang penjajahan, ada seorang pejuang yang ditangkap Belanda, lalu dihukum dan dimasukkan ke penjara. Maka, berkatalah orang sekampungnya, "Lebih baik bodoh semacam kita ini saja. Selamat awak dari bahaya."

Yang kedua, ialah orang yang senang sekali dipuji dalam hal yang tidak pernah dia kerjakan sendiri. Seumpama seorang pengecut yang ikut menurutkan seorang pemburu harimau. Setelah kedengaran raungan harimau di hutan lebat, pemburu tadi bersiap menanti sambil mengikang bedilnya. Akan tetapi, si pengecut tadi telah "terbang" memanjat pohon kayu yang tinggi dengan sangat ketakutan. Bedil pun meletus, harimau itu tersungkur jatuh. Karena tepat kena pada kepalanya. Setelah harimau mati, datanglah pemotret mengambil gambar kejadian bersejarah itu. Pemburu yang mahir itu tegak ke pinggir menggosok-gosok bedilnya yang telah berhasil menewaskan raja hutan yang besar dan ganas itu, sedang si pengecut tadi, dengan tidak tahu malu, berjalan cepat-cepat dengan tidak menanti undangan menuju bangkai binatang itu dan meletakkan kakinya di atas kepala bangkai harimau itu. Sehingga yang kelihatan dalam gambar, ialah yang menginjak bangkai itu dengan kakinya, sedang yang menewaskannya hanya tegak di tepi menggosok-gosok bedil.

Di sini teringatlah kita akan perkataan Qatadah, imam Tabi'in yang besar (yang telah kita salinkan di atas tadi) yaitu bahwasanya ayat ini bukanlah semata-mata mengenai munafik Madinah sebagai hadits Abu Said al-Khudri yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim tadi, atau munafik Yahudi sebagai yang dirawikan oleh Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas itu, malahan sangat sesuai bagi umat Muhammad yang disebut "ulama", yang ingin sangat akan pujian, padahal pekerjaan mereka hanyalah mengeluarkan fatwa guna menyenangkan hati orang-orang yang berkuasa. Dan untuk itu dia beroleh bintang-bintang penghias dada.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 148-151, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JAGA KEHORMATAN AGAMA

"Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang yang munafik dan orang-orang yang kafir di dalam Jahannam." (ujung ayat 140).

Nanti sebentar lagi, dalam ayat 145 akan diterangkan bahwa dalam neraka Jahannam itu tempat duduk orang munafik terletak di dasar yang di bawah sekali. Kalau kita pikirkan dapatlah kita maklumi bahwa jiwa orang munafik lebih rendah daripada jiwa orang kafir. Kafir terang menentang, sedang munafik tak dapat menyatakan pendirian yang tegas!

"Hal keadaan mereka terombang-ambing di antara yang demikian itu." (pangkal ayat 143).

Mereka terombang-ambing di antara kafir dan Islam, karena pendirian yang tiada tetap, atau karena jiwa yang berpecah belah. Sebagian ditawan dunia, sebagian lagi ingin juga hendak Islam, tetapi ditahan oleh hawa nafsu.

"Tidak kepada mereka itu dan tidak kepada mereka ini."

Tidak masuk ke dalam golongan orang Mukmin betul-betul, sebab masih berat terlepas dari maksiat, atau merasa kalau jadi Mukmin dia jadi terikat dengan suruhan dan larangan. Jadi kafir benar pun tidak; bahkan mau dia memukul orang kalau dia dikatakan kafir!

Alangkah banyaknya orang seperti itu di zaman kita. Islamnya hanya pada merk luar saja, namun hidupnya menolak Islam. Kadang-kadang dia mendabik dada mengatakan dia tetap beragama Islam, padahal dia takut akan terikat hawa nafsunya kalau dia mengerjakan agama. Sebab itu maka agamanya hanya menilik ke mana angin yang keras. Pucuk aru di puncak bukit.

Akhirnya Allah memberikan kepastian tentang hari depan orang seperti ini,

"Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, sekali-kali tidaklah akan engkau dapat untuk mereka suatu jalan pun." (ujung ayat 143).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 491-498, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan sekali-kali tidaklah Allah akan memberikan satu jalan pun untuk orang-orang yang kafir, terhadap orang-orang yang beriman." (ujung ayat 141).

Artinya, apabila orang-orang yang beriman betul-betul berjuang karena dorongan imannya, demi tidaklah ada satu jalan terluang bagi orang kafir untuk menghambat langkahnya, dia akan jalan terus, segala kesulitan akan dapat diatasinya. Orang-orang kafir ataupun munafik akan berganti-ganti datang, dengan rencana barunya. Gagal rencana pertama, mereka tukar dengan rencana kedua. Gagal yang kedua, mereka tukar dengan rencana ketiga, dan seterusnya.

Namun Mukmin jalan terus. Bila tewas atau syahid seorang, datanglah pula gantinya sepuluh lagi, dan seratus lagi. Akhirnya kebenaran jualah yang menang. Dan segala rintangan perintang, hambatan penghambat, hanya menjadi tambahan bukti saja atas benarnya masalah yang diperjuangkan oleh orang yang beriman itu.

Allah memberi jaminan yang tegas kepada orang-orang beriman, bahwa selama mereka masih teguh iman kepada Allah, maka Allah sekali-kali tidak akan membuka jalan untuk orang kafir akan mengalahkan orang yang beriman. Supaya kita jangan sampai tenggelam dalam angan-angan, janganlah sampai kita salah memahamkan ayat ini.

Mentang-mentang sudah mengaku beriman, padahal tidak berusaha dan tidak bersiap, kita menyangka kafir tidak akan mendapat jalan mengalahkan kita. Barulah jaminan Allah itu berlaku, dan kita terpelihara dari serbuan musuh, baik mengenai negeri kita maupun mengenai aqidah kita, kalau kita selalu siap dan waspada dan mengetahui serta mengamalkan ajaran Islam sejati dalam kehidupan kita. Kalau benteng iman kita telah kosong dan tinggal kerosong saja, janganlah heran jika pihak kafir terbuka jalan buat menyerang kita.

Dua kali kekalahan perang di zaman Rasul. Pertama dalam Peperangan Uhud karena ada tentara Islam yang melanggar disiplin dan sejak bermula perang telah ada yang munafik. Setelah disiplin ditegakkan kembali, kekalahan dapat dibendung. Kekalahan yang kedua ialah dalam Peperangan Hunain. Kesalahan terbesar ialah karena bangga dengan banyak bilangan. Padahal bilangan banyak itu adalah karena tamabahan orang-orang yang turut berbondong-bondong pergi berperang, padahal belum berpengalaman. Dan kebanyakan mereka mengharapkan mendapat harta rampasan. Di kedua peperangan itu Rasulullah saw. tetap bertahan dengan gagah berani dan tidak kehilangan akal (panik) sehingga kekalahan dapat dibendung dan kemenangan dapat dicapai.

Oleh sebab itu, janji Allah yang tersebut dalam ayat ini, bahwa Allah sekali-kali tidak akan membuka jalan bagi kaum kafir buat mengalahkan kaum yang beriman, ialah apabila kaum yang beriman itu memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Allah.

Mari setiap kita yang telah berjanji dengan Allah dan dengan diri sendiri, akan melanjutkan perjuangan Nabi Muhammad saw. di dalam dunia ini memerhatikan benar-benar tuntunan ayat ini. Segala jalan yang diatur oleh musuh-musuh kita akan digagalkan Allah, asal kita selalu belajar dari pengalaman-pengalaman orang yang terdahulu dari kita, baik di waktu kita sendiri beroleh kemenangan, maupun di waktu musuh-musuh itu sendiri sekali-sekali diberi Allah bagian dan kesempatan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 495-496, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Masyarakat dan lebih tegas lagi negara, berhak bahwa berkewajiban menjadi pelindung atau pembela yang lemah. Inilah yang dirumuskan oleh Sayyidina Abu Bakar ketika beliau mula-mula menyambut jabatannya ketika diangkat menjadi khalifah Rasulullah. Beliau berkata,

"Barangsiapa yang lemah di antara kamu, akan aku bela dan akan aku ambilkan haknya dari yang kuat. Sebaliknya, barangsiapa yang merasa kuat di antara kamu, akan aku ambilkan daripadanya hak siapa yang lemah."

Oleh karena itu, seorang Muslim yang menyadari agamanya atau menyadari Al-Qur'an sebagai pegangan hidupnya, menyadari pula Sunnah Rasulullah, sejarah Rasulullah dan perjuangan Khulafaur Rasyidin, tidak dapat tidak, dia mesti sampai pada kesimpulan bahwasanya segala perintah Allah dan larangan-Nya, segala anjuran Nabi dan cegahannya, tidak akan dapat berlaku, tidak dijamin bisa berjalan kalau tidak ada pemerintahan Islam.

Tegasnya, pemerintahan yang di sana berlaku Syari'at Islam.

Adalah suatu hal yang ganjil kalau berdiri satu masyarakat Islam, yang Syari'at Islam melarang seseorang membunuh sesama manusia lalu orang yang membunuh itu dihukum menurut hukum yang bukan dari Islam.

Karena telah beratus-ratus tahun negeri-negeri Islam dijajah oleh bangsa-bangsa yang bukan beragama Islam maka telah beratus-ratus tahun pula pendidikan penjajahan itu membentuk jalan pikiran. Dalam pendidikan penjajahan itu, tidak ada larangan shalat atau naik haji, tetapi yang mula-mula diatur terlebih dahulu ialah merampas dan menghapuskan segala bekas-bekas hukum yang masih berbau Islam. Sampai akhirnya setelah penjajah pergi, orang-orang yang menerima pendidikan dari penjajah menghalangi sekeras-kerasnya kalau hukum Islam akan berlaku.

Oleh sebab itu, jika mereka mencapai kemerdekaan politik, bukanlah mereka bermaksud agar merdeka, menegakkan hukumnya yang berdasar Islam, melainkan agar merdeka dan bebas menuruti dan melaksanakan segala ajaran yang ditinggalkan oleh bekas penjajah itu. Supaya mereka diberi kebebasan dan kemerdekaan meneruskan dan melanjutkan segala yang dipusakakan oleh penjajah itu kepadanya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 342, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

GEMBIRA BUAT YANG MUNAFIK?

"Gembirakanlah orang-orang yang munafik itu, bahwa untuk mereka adalah adzab siksaan yang pedih." (ayat 138).

Gembirakanlah, atau berilah kabar suka kepada orang munafik itu. Dipakai kalimat Basysyir, yang berarti kabar gembira., Disuruh Rasulullah saw. menyampaikan kabar gembira itu kepada si munafik adalah sebagai suatu ejekan karena mereka menempuh jalan yang salah dalam kehidupan mereka.

Karena tidak ada imannya kepada Allah, kepercayaannya kepada orang yang beriman pun tidak ada. Mereka terpukau dan terpesona oleh orang-orang yang kafir. Oleh sebab itu, lanjutan ayat menjelaskan lagi siapa dia orang munafik yang diberi kabar gembira dengan siksaan Jahannam itu,

"(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir jadi pemimpin-pemimpin." (pangkal ayat 139).

Mereka mengambil pimpinan dari kaum kafir. Mereka memandang bahwa segala yang datang dari kafir itu segala baik dan yang datang dari Islam segala buruk, namun mereka masih mengaku beragama Islam.

Di zaman jajahan orang seperti ini merasa diri mulia bila dia berdekat dengan orang kafir dan pemerintahan kafir. Orang ini pulalah yang menjadi penghalang kemerdekaan.

Setelah merdeka, mereka pula yang menjadi penghalang besar kalau peraturan Islam akan dijalankan dalam masyarakat kaum Muslimin.

Padahal kemudian ternyata bahwa kemuliaan yang mereka cari itu tidak bertemu. Yang bertemu hanyalah kehinaan. Kehinaan karena jiwa yang tidak mempunyai tempat berpegang. Jiwa mereka sampai demikian terbalik, karena penilaian atas sesuatu tidaklah lagi mencari isi, melainkan mencari kulit.

Mereka menyangka bahwa yang dikatakan kemuliaan itu ialah rumah yang mewah, kendaraan yang bagus, kekayaan harta benda yang melimpah-limpah, dan pangkat atau kedudukan yang tinggi di sisi orang-orang yang membenci agama mereka. Mereka merasa kalau mereka konsekuen mempertahankan iman dan berjuang menegakkan kehendak Allah, mereka akan terpencil atau akan diisolasi orang. Mereka bertanya, apa yang akan kita dapat, kalau kita tidak bertolak angsur sedikit juga dengan orang kafir? Apa yang dapat diberikan oleh orang yang beriman itu kepada kita? Lantaran itu mereka terimalah segala tawaran yang menggelora dan mempesonakan dari pihak kafir, walaupun agamanya tergadai. Dia mendapat kemuliaan Saraab (fatamorgana) dan agamanya tertindas. Bertambah lama bertambah kaburlah penilaian mereka terhadap kemuliaan pemberian Allah. Yaitu kemuliaan hidup, harga diri dan gengsi di sisi Allah dan di sisi umat yang sadar, karena dibawa hanyut oleh arus kemegahan dan kemuliaan di sisi yang palsu.

Penulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya,

"Yang dimaksud dengan ini ialah membangkitkan kesadaran dalam jiwa agar kalau hendak mencari kemuliaan carilah kemuliaan yang di sisi Allah dan menghadapkan segenap perhatian kepada ibadah pengabdian kepada Allah, dan masuk dalam barisan hamba-hamba Allah yang beriman. Karena dalam barisan itulah akan tercapai kemenangan abadi pada hidup di dunia ini dan pada hari berdirinya kesaksian kelak!"

Berkata al-Hakim,

"Ayat ini menunjukkan atas wajibnya mencari pimpinan dan teman dari orang-orang yang beriman, dan dilarang memberikan pimpinan kepada orang kafir."

Berteman dengan orang kafir tidaklah terlarang. Bahkan orang kafir, sebagai Ahlul Kitab yang berlindung di bawah kekuasaan pemerintahan Islam, wajib dijamin keamanannya.

Tetapi menyerahkan pimpinan, terutama dalam hal yang akibatnya akan menyinggung agama, itulah yang wajib dipantangkan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 490-492, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENGAKUAN DAN PENYESALAN

"Benamlah kamu di dalam neraka itu, tak usah lagi berbicara dengan Daku." (ayat 108).

"Sesungguhnya ada segolongan hamba-Ku berkata, Ya Tuhan kami, kami ini telah beriman maka ampunilah kami dan beri rahmatlah kami. Karena Engkau adalah sebaik-baik pemberi karunia." (ayat 109).

Padahal di waktu dahulu itu telah ada hamba-Ku yang sudi menerima kebenaran ajaran yang disampaikan oleh Utusan-Ku atas nama-Ku. Mereka telah mengakui, bahwa mereka beriman dan percaya kepada segala ajaran yang dibawa itu. Mereka pun memohon ampun dan karunia kepada-Ku. Tidak ada lagi tujuan lain dalam hidup mereka melainkan kepada-Ku.

"Namun kamu jadikan orang-orang itu menjadi olok-olokkan sehingga lupa kamu mengingat Aku, dan kamu hanya gelak-gelak tertawa." (ayat 110).

Orang-orang itu kamu jadikan olok-olok, mereka kamu ketawakan, kamu ejek. Kamu duduk bersama-sama membicarakan mereka, sehingga karena memandang hina sesamamu manusia, kamu telah lupa sama sekali kepada-Ku.

Orang yang taat beribadah, kamu ejek, kamu katakan dia sekarang telah jadi "pendeta". Orang tekun shalat, kamu ejek, kamu katakan, "telah memesan tempat dan sekarang dalam surga".

Mereka memegang teguh perintah-Ku, kamu hinakan pula dan kamu katakan mengganggu perasaanmu.

Ada orang memberimu nasihat yang baik, kamu tuduh dia menyindir kamu.

Seruan yang jujur kamu olokkan dan kalau bersungguh-sungguh kamu musuhi.

Mereka ingin berkhidmat kepada Allah SWT, meratakan jalan-Nya di muka bumi, sedangkan kamu hanya menjadi tukang cemooh.

Mereka berjuang di bawah pimpinan wahyu Ilahi, karena kasih sayang kepada kamu, supaya kamu keluar dari dalam lembah kehinaan, kejahilan dan kemusyrikan. Mereka tidaklah memusuhi kamu. Padahal kamu adalah mengingkari Allah SWT kamu hanya menuhankan hawa nafsumu dan seleramu.

Kamu merasa, bahwa kamulah yang di atas, sedang para pejuang untuk Kami, kamu pencilkan dan hinakan.

"Pada hari ini Kami beri anugerahlah mereka itu oleh karena kesabaran mereka. Sesungguhnya, merekalah sekarang yang menang." (ayat 111).

Ayat-ayat ini, seperti juga ayat-ayat yang terdahulu, berlandaskan kepada kecongkakan orang Quraisy. Tetapi ayat ini "muda" selalu dan "baru" selalu.

Setiap orang yang berjuang menegakkan kebenaran Allah SWT di tengah-tengah keingkaran manusia, dapatlah mengambil obat penawar dari ayat ini.

Dia akan menjadi buah mulut orang, olok-olok dan buah tertawaan, karena dia masih juga "tidak malu" mengangkat mulut membuka kebenaran, padahal dia termasuk golongan "Dhu'afaak", golongan lemah yang tidak masuk hitungan.

Ayat ini menjadi obat penawar kata saya, karena ini pun diderita oleh pejuang-pejuang yang terdahulu, oleh Bilal dan Shuhaib dan sahabat miskin yang lain.

Nilai sesuatu ditentukan oleh harta orang dan kedudukannya (posisinya). Betapapun benar yang engkau katakan, yang akan dinilai orang bukanlah isi perkataan itu, melainkan berapa uangmu dalam bank, naik sepeda dan becakkah engkau, atau naik Mercedez. Orang biasakah engkau atau orang berpangkat.

Maka setiap orang yang berjuang menegakkan kebenaran haruslah meneladani sikap Nabi dan para sahabatnya yang berkedudukan rendah di mata orang yang digelimangi keduniaan itu.

Pejuang-pejuang pembela kebenaran tidaklah pernah merasa kecewa atau kecil hati, atau "minderwaardigheid-complex" karena cemooh orang.

Iman yang kuat tidaklah dapat dihinggapi oleh penyakit rasa rendah diri menghadapi makhluk.

Karena apa yang berjalan di atas tanah pada hakikatnya hanya tanah jua, tidak lebih dari kita.


(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 233-235, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IMAN MUNAFIK

"Dan setengah daripada manusia ada yang berkata, "Kami beriman kepada Allah." (pangkal ayat 10).

Inilah semacam manusia lagi. Sejalan dengan yang di atas tadi juga, ringan saja mulutnya mengatakan bahwa dia beriman kepada Allah.

"Tetapi apabila dia disakiti pada jalan Allah",

Yaitu sebagai akibat daripada apa yang dia katakan itu. Sebab telah diberi penjelasan sejak semula, bahwa orang yang telah mengaku beriman kepada Allah tidaklah akan terlepas daripada ujian. Maka setelah ujian datang,

"Dijadikannyalah fitnah manusia sebagai siksaan Allah."

Artinya, baru saja dapat ujian atau rintangan sedikit saja dari sesama manusia, mereka sudah ribut. Mereka sudah ketakutan. Mereka sudah mengomel dan mengeluh. Mereka mengatakan bahwa mereka masuk Islam itu hanya tertipu saja. Dikatakan masuk Islam akan dibela oleh Allah. Sekarang bahaya sudah menimpa, namun nasibnya tidak ada yang memedulikan.

"Dan sesungguhnya jika datang pertolongan dari Tuhan engkau."

Sudah terang bahwa berjihad dalam Islam itu pasti berhadapan dengan kesulitan. Namun karena teguh imannya orang yang Mukmin, mereka dapat mengatasi kesulitan itu, kesukaran bertukar dengan kemudahan, kegoncangan bergilir jadi keamanan dan keuntungan pun datanglah. Pada waktu itu,

"Pasti mereka akan berkata, "Sesungguhnya kami adalah beserta kamu."

Setelah jelas keuntungan datang, kemenangan tiba dengan gilang-gemilang, mereka itu yang mengatakan fitnah manusia yang kecil itu sama saja dengan adzab Allah, lalu mereka mengundurkan diri. Sekarang setelah nyata kemenangan dicapai oleh perjuangan Islam, dengan tidak segan-segan mereka tampil ke muka mengatakan, bahwa mereka ada dalam barisan orang Islam juga. Mereka meskipun diam-diam, namun hati mereka tetap dalam Islam. Untuk orang-orang seperti ini Allah memberi pernyataan di ujung ayat,

"Bukankah Allah lebih mengetahui dengan apa yang ada dalam dada seluruh manusia?" (ujung ayat 10).

Itulah Thufaily-thufaily perjuangan yang mau enaknya saja. Berjuang tidak mau ikut. Dia takut kena percikan, tetapi ingin mendapat hasil juga. Inilah benalu-benalu yang ingin menumpang hidup. Namun kalau dibiarkan mereka berpengaruh, semua kekayaan akan mereka hisap habis. Tetapi kalau bahaya mengancam kembali, orang-orang seperti ini jualah yang lari lebih dahulu.

"Dan sesungguhnya Allah pun mengetahui akan orang-orang yang beriman." (pangkal ayat 11).

Allah tahu iman yang sejati, yang mau menelan manis dan pahit, sudi berkorban murah dan mahal. Tahan menderita karena mempertahankan keyakinan. Tidak berkocak bagaimanapun besar gempa. Tidak mundur walau bagaimana ancaman. Tidak menjual pendirian karena bujukan harta dan kemuliaan yang palsu.

"Dan Dia pun sangat mengetahui akan orang-orang yang munafik." (ujung ayat 11).

Yaitu orang yang soraknya keras mengajak maju. Tetapi setelah datang waktu untuk maju, dia yang mundur lebih dahulu. Orang yang mulutnya penuh dengan kata-kata berapi-api, tetapi tulang-belulangnya lunak laksana air. Mudah berubah pendirian karena bujukan pangkat, atau harta dan kedudukan. Sangat arif dan nyalang matanya, nyaring telinganya jika mendengar ada keuntungan untuk dirinya, dan acuh tidak acuh kalau ancaman besar mengancam agamanya.

Sejak semula Allah telah lebih tahu mana yang beras dan mana yang gabah (mentah), dan bagaimanapun loyang disepuh menyerupai emas, namun tidak lama kemudian sepuhan itu akan hilang dan loyangnya jua yang kelihatan. Kemudahan dan kelemahan, kekayaan dan kemiskinan, ketahanan berjuang dan kelemahan, semuanya itu jadi ujian untuk menentukan iman sejati dan perbedaannya dengan munafik.

Meskipun surah al-'Ankabuut ini diturunkan di Mekah, dan di Mekah belum tampak orang munafik, dan sesudah sampai di Madinah baru terdapat orang munafik, namun sejak dari zaman Mekah ini rupanya sudah diperingatkan oleh Allah, tentang bahaya munafik, supaya kaum yang telah mengaku beriman jangan bertemu dengan penyakit benalu iman yang amat berbahaya itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 653-654, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Demi perjuangan politik Islam, Masyumi mesti membentuk kader dan memberikan pendidikan kehidupan marhamisme itu.

Pendidikan yang dia maksudkan ialah supaya pemimpin dan calon-calon pemimpin benar-benar dididik atau mendidik diri, dilatih atau melatih diri agar benar-benar hidup secara Islam.

Mendidik diri menerima dan menjalankan secara mutlak bunyi ayat dan bunyi hadits Rasulullah saw.

Darwis Thaib percaya, kalau satu waktu kelak partai ini dikejar-kejar pula dan pemimpin-pemimpinnya dihina, disiksa dan dibuang, ataupun dibunuh, mana yang batinnya tidak kuat, niscaya akan lari tunggang-langgang pula.

Setelah perang berhenti dan sampai kepada penyerahan kedaulatan, terbukalah segala hubungan. Jalan ke Jawa telah terbuka. Tetapi Masyumi telah masuk ke dalam lapangan praktis politik yang hebat. Bergolak menegakkan cita-cita di tengah hebatnya pukulan lawan-lawan.

Apa yang dikira-kirakan oleh Darwis Thaib ketika di Jalan Lurus Bukittinggi yang ketika itu ada yang menertawakan atau menyangka "katai-katai" orang sakit yang tengah mengigau, benar-benar terjadi; Masyumi sesudah 3 kali memegang Perdana Menteri dan 2 kali menjadi Wakil Perdana Menteri, akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno. (10)

(10) Strategi catur yang dimainkan Soekarno dalam sejarah politik Indonesia dinamai "Kabinet Kaki Empat", yaitu koalisi empat partai besar: Masyumi, PNI, PKI, dan Nahdhatul Ulama. Soekarno pun tahu bahwa mustahil Masyumi akan mau kerjasama dengan Komunis. Dengan ajakan yang mustahil inilah, Soekarno mulai mempermain caturnya, menyisihkan Masyumi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 219-221, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Kalau kita masih ragu, menyangka ada jalan lain selain jalan Muhammad saw. yang kita anggap benar, batal-lah Islam kita.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 121, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

AYAHKU

GERAK ILHAM

Pada akhir bulan November 1940, saya masih sempat menziarahi beliau di Sungai Batang. Wajah beliau kelihatan muram. Dalam beberapa tabligh dia berfatwa dengan hati sedih.

"Sejak mudaku saya memberikan fatwa kepada tuan-tuan, sampai uban telah tumbuh di kepalaku. Namun tuan-tuan masih juga liar dari agama. Pemuda-pemuda masih banyak yang melalaikan agama. Perempuan telah banyak pula kembali mendurhakai suaminya. Adat jahiliyah masih ditimbul-timbulkan. Kalau saya tidak ada lagi di negeri ini, barulah nanti tuan-tuan tahu siapa sebenarnya saya ini ..."

Dan waktu itulah beliau berpesan kepada Muhammadiyah, dengan perantaraan saya, yang mesti saya sampaikan sendiri kepada K.H. Mas Mansur:

"Agar Muhammadiyah tetap menegakkan Al-Qur'an dan Hadits. Jika Muhammadiyah masih tetap menegakkan itu, saya akan tetap membela sampai mati. Tetapi jika Muhammadiyah telah mempergunakan ra'yi sendiri dalam hal agama, mulalah saya akan menjadi lawannya pula sampai mati."

(Buya HAMKA, Ayahku, 288-289, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

Kisah Persahabatan Haji Rasul dengan Kyai Ahmad Dahlan

historia.id/modern/kisah-persahabatan-haji-rasul-dengan-kyai-ahmad-dahlan

Harus ditanamkan pula dalam hati kita bahwa meskipun bilangan kita banyak, mayoritas, kita menjadi kecil tidak berdaya sebab lebih banyak golongan umat Islam yang tidak mengerti akan hakikat agamanya.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 74, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

MEMPERTAHANKAN AQIDAH

"Apakah mengira manusia bahwa mereka akan dibiarkan berkata, "Kami telah beriman", padahal mereka masih belum diuji lagi?" (al-'Ankabuut: 2).

Kadang-kadang adat istiadat jahiliyyah yang masih dipegang teguh.

Si Mukmin tahu benar bahwa adat istiadat itu bukan berasal dari Islam.

Ujian pun datang!

Kalau ditegur, orang pun marah.

Tidak ditegur, Allah yang marah!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 652-653, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JIWA MUNAFIK

Demikianlah ketika bahaya masih ada mereka pengecut, menjauh dan berdiam diri, takut mendekat dan serba-serbi ketakutan. Mereka biarkan orang yang mengatasi bahaya itu berjuang setengah mati. Dan kalau bahaya telah terlepas, barulah mereka membuka mulut mengata-ngatai orang yang telah pergi, mencela yang bekerja keras.

Lalu dia membela diri, mengemukakan berbagai alasan mengapa dia selama ini berdiam diri.

Bahwa berdiam dirinya itu adalah suatu siasat.

"Orang-orang pengecut memandang bahwa dia pengecut itu adalah suatu pendapat juga. Memang demikianlah tabiat dari jiwa yang rendah."

Dalam ayat dijelaskan juga sebabnya.

Yaitu karena mereka bakhil, enggan berbuat baik.

Pendirian hanya sekadar mementingkan diri sendiri atau keuntungan benda yang nyata.

Lebih dari itu tidak!

Dia tidak mau susah-susah.

Dia tidak mempunyai cita-cita yang tinggi dalam hidup.

Tidak mempunyai keberanian moral.

Allah SWT telah menjelaskan intinya, siapa sebenarnya orang itu,

"Orang-orang itu tidaklah beriman."

Pokok hidup ialah iman, percaya kepada Allah SWT. Sebagaimana tersebut di ayat 17 di atas tadi, bahwa kalau Allah SWT menghendaki akan menjatuhkan bencana, tidak ada orang yang sanggup menghambat, dan kalau Dia hendak menurunkan rahmat, tidak pula ada yang sanggup menghalangi.

Orang yang berjuang berjihad dalam jalan Allah SWT memasang pedoman dalam jiwanya sendiri, pedoman iman.

Adapun orang yang tidak ada hakikat iman, tidaklah ada yang akan diperjuangkannya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 163, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

THAGUT

Tentang arti thagut telah banyak kita uraikan sebelum ini, dari rumpun kata thughyan, yaitu kesewenang-wenangan, nafsu angkara murka, ambisi, gila kekuasaan, sehingga kadang-kadang telah mengambil hak Allah.

Sebab itu diperintahkanlah orang yang beriman memerangi thagut.

Sebab sumber ilham thagut bukan dari Allah, melainkan dari Setan.

Dalam pergumulan pendirian benar dan pendirian yang salah, yang lebih kekal ialah yang lebih sesuai dengan irama hidup manusia.

Batil bisa menang sebentar, namun dia akan sirna sebagaimana sirnanya embun pagi apabila Matahari telah naik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 366-367, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BUKAN ULAMA YAHUDI

PERHATIKANLAH SEKALI LAGI!

Ayat ini berupa pertanyaan,

"Apakah dengan hukum secara jahiliyah yang mereka ingini?"

Berupa pertanyaan yang disebut tanya bantahan (istifham inkari).

Artinya bahwa isi ayat mengandung keheranan mengapa mereka mengakui diri beragama Islam, mengikuti Nabi Muhammad saw., padahal mereka masih menghendaki hukum jahiliyyah?

Tidakkah ini terlalu?

Apakah ini masuk akal?

Apalah artinya jadi orang Islam, kalau shalat menurut Allah tetapi hukumnya bergantung kepada jahiliyyah?

Allah! Allah!

Teringat kita kepada penafsiran Hudzaifah bin al-Yaman dan Ibnu Abbas di atas tadi.

Apakah segala yang manis-manis hanya khusus buat kita dan yang pahit-pahit buat Ahlul Kitab. Buat Bani Israil?

Bukankah dengan teguran ayat ini pun kadang-kadang bertemu pada kita kaum Muslimin sendiri?

Kembali pada hukum jahiliyyah, bila kehendak Al-Qur'an berlawanan dengan hawa nafsu?

Di sinilah terasa beratnya memikul tugas menjadi ulama dalam Islam.

Yakni di samping memperdalam pengetahuan tentang hakikat hukum, memperluas ijtihad, hendaklah pula ulama kita meniru meneladani ulama pelopor zaman dahulu itu, sebagai Imam Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi'i, dan Ahmad bin Hambal, dan lain-lain,

Yaitu keteguhan pribadi dan kekuatan iman, sehingga di dalam menegakkan hukum mereka itu tidak dapat dipengaruhi oleh harta benda, dan tidak sampai mereka mengubah-ubah makna dan maksud ayat,

Karena tenggang-menenggang atau ketakutan; walaupun untuk itu diri-diri beliau kerap kali menderita.

Itulah ulama Islam, bukan ulama Yahudi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 713, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MENDIRIKAN SEBUAH MASJID

Dari cerita yang agak panjang ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa suatu perbuatan yang kelihatan sepintas lalu kelihatan baik, belum tentu memang baik kalau yang terkandung ketika mulai mendirikannya ialah maksud yang jahat.

Segala propaganda melalui media massa dan segala macam alat telekomunikasi zaman modern bisa saja dipergunakan untuk menyatakan bahwa maksud melaksanakan sesuatu adalah baik, padahal jahat.

Maka, orang-orang yang tidak langsung memohonkan petunjuk (hidayah) dari Allah dan tuntunan Rasul, akan bernasib sebagai "baling-baling di atas bukit", condong dibawa angin ke mana yang keras. Padahal, kemelaratan, kehancuran dan "tanah longsor" masuk nerakalah yang akan ditemui di belakang hari. Oleh karena itu, lakukanlah sesuatu dengan niat yang baik dan mintalah petunjuk selalu dari Tuhan.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 55, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

"Biar hangus perut lantaran lapar, daripada makan harta yang haram." (Buya HAMKA).

Artinya, lebih baik makan api daripada makan harta haram sebab api dunia belum apa-apa jika dibandingkan dengan api Neraka.

Setan akan bersedia menjadi pokrol, mengajarkan bermacam jawaban membela diri karena berbuat jahat.

Keinginan Setan ialah bahwa engkau jatuh, jiwamu menjadi kasar, dan makanan yang masuk perutmu penambah darah dagingmu, dari yang tidak halal dan tidak baik.

Dengan demikian, rusaklah hidupmu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 308, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KARENA CARI MAKAN

Setelah menerangkan bahaya ikut-ikutan, datanglah seruan Allah kepada seluruh manusia agar mengatur makanan,

"Wahai, manusia! Makanlah dari apa yang ada di bumi ini barang yang halal lagi baik dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah Setan." (pangkal ayat 168).

Penting sekali peringatan ini dan ada hubungannya dengan ayat yang sebelumnya.

Kecurangan-kecurangan, penipuan dan mengelabui mata yang bodoh, banyak ataupun sedikit, adalah hubungannya dengan perut asal berisi.

Berapa perbuatan yang curang terjadi di atas dunia ini oleh karena mempertahankan syahwat perut.

Maka, apabila manusia telah mengatur makan minumnya, mencari dari sumber yang halal, bukan dari penipuan, bukan dari apa yang di zaman modern ini dinamai korupsi, jiwa akan terpelihara dari kekasarannya.

Dalam ayat ini tersebut yang halal lagi baik.

Makanan yang halal ialah lawan dari yang haram; yang haram telah pula disebutkan dalam Al-Qur'an, yaitu yang tidak disembelih, daging Babi, darah, dan yang disembelih untuk berhala.

Kalau tidak ada pantang yang demikian, halal dia dimakan.

Akan tetapi, hendaklah pula yang baik meskipun halal.

Batas-batas yang baik itu tentu dapat dipertimbangkan oleh manusia.

Misalnya daging Lembu yang sudah disembelih lalu dimakan saja mentah-mentah. Meskipun halal, tetapi tidaklah baik.

Atau kepunyaan orang lain yang diambil dengan tipu daya halus atau paksaan atau karena segan-menyegan. Karena segan, diberikan orang juga, padahal hatinya merasa tertekan.

Atau bergabung keduanya, yaitu tidak halal dan tidak baik, yaitu harta dicuri atau seumpamanya.

Ada juga umpama yang lain dari harta yang tidak baik, yaitu menjual azimat kepada murid, ditulis di sana ayat-ayat, katanya untuk tangkal penyakit dan kalau dipakai akan terlepas dari marabahaya. Murid tadi membelinya atau bersedekah pembayar harga; meskipun tidak najis, itu adalah penghasilan yang tidak baik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 307, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KHUSYU ORANG MUNAFIK

Di antara sahabat Rasulullah saw. itu yang berdoa,

"Ya Tuhanku, aku berlindung kepada Engkau dari khusyu'nya orang munafik."

Lalu ada yang bertanya,

"Bagaimana pula khusyu orang munafik?"

Sahabat Rasulullah itu menjawab:

"Kelihatan badannya seperti khusyu, padahal hatinya jauh dari khusyu."

Di segala zaman akan ada orang munafik.

Sebab itu seluruh ayat-ayat yang mengenai orang munafik, dan khusus surah yang bernama "al-Munaafiquun" ini seyogianya menambah waspada kita tentang iman kita.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 147, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BUKAN POLITIK YANG DIIMAN-IMANKAN

Iman yang menimbulkan politik, bukan politik yang diiman-imankan.

Dari masjid menuju parlemen, bukan dari parlemen mencari suara ke dalam masjid.

Dan sesudah pemilihan umum tidak ke masjid-masjid lagi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 432, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Kata Buya HAMKA:

Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja kera juga bekerja.

humas.riau.go.id/berita/2017/04/ustadz-bachtiar-nashir-berislamlah-dengan-totalitas-sampai-mati

KEBOHONGAN HIDUP

"Dan setengah dari manusia adalah yang menjual dirinya karena mengharapkan keridhaan Allah." (pangkal ayat 207).

Orang yang telah menjual diri kepada Allah tidaklah banyak cakap manis mulut.

Menilik bunyi ayat ini dapatlah disimpulkan bahwa menjadi seorang Muslim yang artinya, menyerahkan diri sebulat-bulatnya, seluruhnya kepada Allah,

Seorang Muslim harus aktif!

Pelihara syari'at dan perjuangkan dia agar tegak.

Menyeru kepada kebajikan, menentang kebatilan dan kezaliman walaupun untuk itu dia mati.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 389-391, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Akan digandakan bagi mereka adzab."

Mengapa dilipatgandakan?

Sebab kesalahan mereka pun berlipat ganda.

Berbuat dosa atas nama Allah, menghambat jalan Allah, membuat jalan Allah itu jadi bengkok.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 539, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KADER-KADER NABI MUHAMMAD SAW.

Mengapa orang-orang lemah yang lebih dulu menyambut seruan Nabi? Seperti juga di zaman dahulu, orang-orang lemah juga lebih dahulu menyambut seruan Nabi Nuh a.s.?

Sebab, merekalah yang menderita.

Sebab, merekalah yang diperbudak, ditindas, dihina selama ini sehingga mereka nyaris kehilangan pegangan dan nyaris putus asa.

Orang kaya, orang mewah adalah orang yang telah merasa kokoh kedudukannya dengan kemewahan hartanya.

Camkanlah pokok ajaran ini, yaitu Allah-lah Yang Maha Kuasa, dan manusia sama di hadapan-Nya.

Untuk itu kita bersedia menerima segala macam penderitaan, bahkan mati sekalipun.

Kadang-kadang sesama manusia mencoba menindas kita lagi.

Apabila pokok ajaran ini kita sadari kembali, kita pun akan bangkit.

Banyak di zaman modern ini orang yang merasa fobia kepada ajaran ini.

Yang fobia pada ajaran ini tidak lain adalah orang-orang yang marah dan murka, mengapa kita tidak mau menjadi budaknya.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 43-44, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Dan, di dalam negara yang penduduknya sebagian besar umat Islam dan ada pula pemeluk agama yang lain, agar terhadap golongan yang besar Muslim itu dibiarkan berlaku hukum Syari'at Islam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 394, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HUKUM SYARI'AT ISLAM

KESIMPULAN

Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir mengenai ayat-ayat ini,

"Ayat ini adalah satu penegasan bahwa Allah tidak mau menerima kalau ada orang yang mengaku beriman kepada perintah yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada rasul-rasul yang dahulu, padahal ketika akan mengambil keputusan suatu hukum dalam hal yang mereka perbantahkan, mereka ambil hukum di luar dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya."

Berkata pula ahli-ahli tafsir yang lain,

"Ayat ini memberikan petunjuk bahwa menerima keputusan hukum dari Allah adalah wajib dan wajib pula ridha menerima syari'at-Nya. Ayat ini menunjukkan pula dengan pasti bahwa orang Islam tidak dibolehkan menerima hukum selain dari Syari'at Islam."

Berkata setengah ahli fiqih,

"Apabila dua orang berperkara, lalu yang seorang ridha menerima hukum ketentuan Syari'at Allah, yang seorang enggan menerima hukum itu, lalu dia suka menerima hukum dari hakim-hakim yang mengingkari peraturan Allah, yang enggan itu kafirlah!"

Lantaran itu, dengan ayat ini kita mendapat pengajaran bahwasanya percaya kepada hukum Allah dan Rasul janganlah separuh-separuh.

Jangan pula dalam ibadah menurut perintah Allah, tetapi di dalam urusan yang lain meniru peraturan yang bukan bersumber dari Allah.

Segi menegakkan pemerintahan pun demikian pula.

Oleh karena pengaruh penjajahan beratus-ratus tahun dan karena bangsa-bangsa yang menjajah telah menyingkirkan dengan secara teratur segala hukum yang bersumber Allah yang dahulu berlaku dalam negeri-negeri Islam.

Tumbuhlah golongan orang yang mengakui beragama Islam dan beribadah, tetapi tidak yakin lagi akan Syari'at Islam.

Merekalah yang keras menantang tiap gagasan hendak meletakkan dasar hukum Syari'at Islam di dalam negeri yang penduduknya terbanyak orang Islam.

Bahkan ada yang berkata,

"Saya ini orang Islam, tetapi saya tidak mau kalau dalam negara ini diperlakukan Syari'at Islam. Bahkan saya tidak mau, walaupun hukum Syari'at Islam hanya akan dijalankan untuk rakyat yang beragama Islam saja."

Daripada menerima hukum Syari'at Islam mereka lebih suka menyalin kitab hukum pusaka penjajah atau menyalin hukum negara-negara Barat yang lain.

Sedangkan orang yang kasar sikapnya kepada anak yatim dan tidak ada rasa iba kasihan kepada fakir miskin, lagi dikatakan mendustakan agama.

Sedangkan orang yang shalat karena hanya mengambil muka kepada masyarakat (riya), lagi dikatakan akan merasakan siksaan neraka wailun,

Apatah lagi orang yang shalat menyembah Allah, tetapi menolak hukum-hukum Allah!

Di ayat 65 akan kita baca penegasan Allah, dengan sumpah bahwa orang yang tidak mau menerima Tahkim dari Allah dan Rasul-Nya,

Tidaklah termasuk orang yang beriman,

"Walau shallaa, walau shaama!"

Walaupun dia Shalat, walaupun dia Puasa.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 352-353, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENDIRIAN YANG TEGAS

Sudah terang pula kalau sekiranya kaum jahiliyyah tidak menyukai peraturan Allah.

Pada zaman modern sekarang ini, pejuang-pejuang Islam yang ingin mengikuti Sunnah Nabi, yang bercita-cita hendak menegakkan peraturan Allah di dalam alam ini kebanyakan dibenci oleh golongan yang tidak mengenal peraturan Allah itu.

Di dalam negeri-negeri Islam
sendiri, pejuang Islam dibenci dan menderita berbagai penderitaan jika dia mengemukakan keyakinan hidup, menjelaskan bahwa dia bercita-cita supaya di negerinya, peraturan dan undang-undang negeri harus diambil daripada peraturan dan undang-undang Allah.

Ayat yang selanjutnya memberikan ketegasan lagi sehingga kebimbangan pejuang Islam itu dihilangkan,

"Dan, jika engkau ikut kebanyakan orang yang di bumi ini, niscaya akan mereka sesatkan engkau daripada jalan Allah." (pangkal ayat 116).


(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 253, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AYAHKU

"Kalian ulama-ulama muda haruslah berhati-hati. Dalam masalah-masalah yang mengenai ushalli dan talkin atau qunut, kalian boleh berkeruk arang (bahasa Minangkabau, ertinya berbesar mulut). Tetapi yang berkenaan dengan fatwa terhadap susunan masyarakat kalian mesti hati-hati. Sebab banyak, malahan sebahagian besar hukum agama itu berkaitan dengan kekuasaan." (Haji Rasul).

Sekian kira-kira perkataan beliau.

Ketika membicarakan kekuasaan itu di mata beliau terbayang perasaan lain, yang kita sendiri maklum, rasa tidak puas kerana kekuasaan itu tidak ada dalam kaum Muslimin. (Indonesia belum Merdeka, -pen).

(Buya HAMKA, Ayahku, 182, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

PESAN BELIAU KEPADA MUHAMMADIYAH

Tetaplah menegakkan agama Islam!

Berpeganglah teguh dengan Al-Qur'an dan Sunnah!

Selama Muhammadiyah masih berpegang dengan keduanya; selama itu pula ayah akan menjadi pembelanya.

Tetapi kalau sekiranya Muhammadiyah telah mensia-siakan itu, dan hanya mengemukakan pendapat manusia, ayah akan melawan Muhammadiyah, biar sampai bercerai bangkai burukku ini dengan nyawaku!

Sampaikan pesanku ini kepada K.H. Mas Mansur sendiri.

Demikian kata beliau!

"Insya Allah, Ananda sampaikan!"

Dan saya sampaikan....

Muhammadiyah dibawanya ke Minangkabau; beliau tidaklah sampai tahu benar, bahawa menjalarnya Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H.A. Dahlan, sahabatnya itu, akan membawa hasil begini jadinya setelah beliau wafat.

Beliau tidak sempat melihat beberapa orang di antara muridnya duduk dalam Parlimen Republik Indonesia, tidak sempat melihat beberapa orang di antara muridnya duduk dalam Konstituante: memperjuangkan dengan gigih agar Islam menjadi Dasar dari Negara ini.

Jelaslah bahawa ayahku seorang besar Islam, walaupun aku ini hanya akan membanggakan sejarahnya sahaja, sebab sejarahku kelak orang lainlah yang akan menilai.

(Buya HAMKA, Ayahku, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

HAMKA: Hilang Belum Berganti

HAMKA lebih dikenal di Malaysia, Brunei, Singapura, dan Dunia Islam lainnya, dibanding di Indonesia sendiri.

Karya-karya beliau masih menjadi rujukan utama hingga saat ini.

hidayatullah.com/artikel/opini/read/2010/01/29/3145/hamka-hilang-belum-berganti.html

PERBEDAAN PANDANGAN HUKUM ANTARA ISA DAN MUHAMMAD

Untuk menjadi perbandingan, ingin kita mengemukakan satu contoh yang terjadi di zaman Nabi Muhammad saw. berkenaan dengan hukum rajam berzina, yang hampir serupa dengan kejadian di zaman Nabi Isa a.s. tersebut.

Hanya bedanya, di zaman Nabi Isa a.s., seorang perempuan yang berzina tertangkap basah lalu dihadapkan ke hadapan beliau oleh orang lain.

Namun, di zaman Nabi Muhammad saw. perempuan yang bersangkutan datang sendiri menghadap Rasulullah mengaku dengan terus terang bahwa ia telah berzina, lalu meminta dengan sungguh-sungguh kepada Rasulullah saw. supaya dirinya dirajam. Dalam peristiwa yang lain lagi, ada seorang laki-laki bernama Ma'iz datang dengan kehendak sendiri menghadap Nabi memohon supaya ia dirajam karena ia sudah berzina.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 5, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

QISHASH

"Dan untuk kamu dalam hal qishash itu ada kehidupan, wahai orang-orang yang mempunyai pikiran dalam." (pangkal ayat 179).

Artinya, dengan adanya hukum qishash, nyawa bayar nyawa, sebagai hukum tingkat pertama, terjaminlah kehidupan masyarakat.

Orang yang akan membunuh berpikir terlebih dahulu sebab dia pun akan dibunuh.

Lantaran itu, hiduplah orang dengan aman dan damai, dan dapatlah dibendung kekacauan dalam masyarakat karena yang kuat berlantas angan kepada yang lemah.

Akan tetapi, kalau si pembunuh hanya dihukum misalnya 15 Tahun dan apabila datang hari besar mungkin pula hukumannya dipotong, orang-orang yang telah rusak akhlaknya akan merasa mudah saja membunuh sesama manusia.

Ada penjahat yang bahkan lebih senang masuk-keluar penjara, ada yang memberi gelar bahwa penjara itu "hotel prodeo" atau pondokan gratis, dan sebagainya.

Sungguh pun demikian, selalu juga ada terdengar ahli-ahli ilmu masyarakat yang meminta supaya hukum bunuh itu ditiadakan.

Akan tetapi, apa yang dikatakan Al-Qur'an adalah lebih tepat. Lebih baik dipegang pangkal kata, yaitu utang nyawa bayar nyawa. Adapun membunuh dengan tidak sengaja ataupun dengan sebab-sebab lain, itu dapatlah diserahkan kepada penyelidikan polisi, jaksa, atau hakim sehingga menjatuhkan hukum dapat dengan seadil-adilnya.

Namun, meniadakan hukum bunuh sama sekali adalah suatu teori yang terlalu cayah (lengah, tidak awas, tidak teliti).

Sebab, ahli-ahli penyakit jiwa manusia telah membuktikan memang ada kejahatan jiwa yang hanya dengan hukuman matilah baru dapat dibereskan.

Apalagi orang yang telah membunuh, menjadi amat rusak jiwanya, sehingga bila bertengkar sedikit saja, mudah saja dia mencabut belati dan hendak membunuh lagi.

Maka, di akhir ayat dinyatakan kunci yang sebenarnya,

"Supaya kamu semua menjadi orang-orang yang bertakwa." (ujung ayat 179).

Dengan ujung ayat tersebut, jelaslah bahwa maksud masyarakat beriman ialah menegakkan keamanan, memelihara perdamaian, dan mempertahankan hidup.

Kalau ada yang dihukum bunuh, itu adalah untuk menjaga keamanan hidup masyarakat seluruhnya.

Oleh sebab itu, keselamatan hidup bukanlah bergantung pada adanya undang-undang saja.

Keamanan hidup orang dan masyarakat lebih terjamin apabila tiap-tiap pribadi mempunyai kesadaran beragama, yaitu takwa.

Sehingga, bukan undang-undang yang mencegah mereka jahat, melainkan takutnya pada hukum Tuhan.

Itulah "takwa".

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 335-336, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Terkait metodologi penafsirannya, Tafsir Al-Azhar mengambil sumber secara berturut-turut dari Al-Qur'an, Assunnah, aqwal (perkataan) para sahabat Nabi, aqwal tabi'in, kitab-kitab tafsir muktabar.

insists.id/dari-warisan-untuk-masa-depan-seminar-sehari-butir-butir-pemikiran-buya-hamka

MENAFSIRKAN AL-QUR'AN

Baik golongan Ibnu Taimiyah maupun golongan Imam Ghazali atau jalan lapang yang diberikan oleh al-Qisthallani, pendapat mereka sama bahwa menafsirkan Al-Qur'an menurut hawa nafsu sendiri atau mengambil satu-satu ayat untuk menguatkan satu pendirian yang telah ditentukan terlebih dahulu adalah terlarang (haram);

Penafsiran seperti ini adalah tafsiran yang curang.

Yang kedua ialah segera saja, dengan tidak menyelidiki terlebih dahulu, menafsirkan Al-Qur'an, karena memahamkan zahir maksud ayat, dengan tidak terlebih dahulu memperhatikan pendapat dan penafsiran orang yang dahulu. Dan, tidak memperhatikan 'uruf (kebiasaan) yang telah berlaku terhadap pemakaian tiap-tiap kata (lafazh) dalam Al-Qur'an itu. Dan, tidak mengetahui uslub (gaya) bahasa dan jalan susunan.

Hal yang semacam inilah yang dinamai berani-berani saja memakai pendapat sendiri (ra'yi) dengan tidak memakai dasar.

Inilah yang dinamai tahajjum atau ceroboh dan bekerja dengan serampangan.

Pendeknya, betapapun keahlian kita memahami arti dari tiap-tiap kalimat Al-Qur'an kalau kita hendak jujur beragama, tidak dapat tidak, kita mesti memperhatikan bagaimana pendapat ulama-ulama yang terdahulu, terutama Sunnah Rasul, pendapat sahabat-sahabat Rasulullah, dan Tabi'in, serta ulama ikutan kita.

Itulah yang dinamakan riwayah, terutama berkenaan dengan ayat-ayat yang mengenai hukum-hukum.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 36, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Jujurlah, walaupun kejujuran itu akan membunuhmu."

Sekian fatwa Sayidina Umar bin Khaththab.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 387, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

MENYEMBUNYIKAN KEBENARAN

Kita berpeganglah kepada pokok pendirian ulama ushul fiqh yang terkenal,

"Yang menjadi perhatian adalah umum tujuan kata, bukan khusus sebab terjadinya."

Dalam segala agama dan segala masa ada saja orang yang amat pintar, sampai dapat disebut sarjana dalam hukum-hukum agama. Akan tetapi, karena ilmunya itu tidak diikat oleh iman, mudah saja baginya memutar-mutar atau menyembunyikan maksud ayat atau suruhan atau larangan untuk menenggang kemauan orang yang diseganinya atau untuk memperkuat pengaruh.

Padahal, berapa pun terjual agama itu, selama masih di dunia ini juga, tetaplah sedikit harga itu. Sebab, segala macam yang bernama benda, walaupun bumi seisinya, tidaklah dapat mengganti kerugian iman yang telah kosong dari dalam hati.

Isi perut orang yang menyembunyikan kebenaran itu ialah api neraka yang akan membakar dirinya sendiri.

Kalau dalam hati sanubarinya masih ada sisa-sisa iman, dia akan menyesal terus-menerus karena kejahatan perbuatannya.

Dan, kalau perasaan itu sudah tidak ada lagi karena memang telah digantinya dengan kebendaan emas-perak atau pangkat, namanya telah pupus dari daftar hamba Allah yang setia memegang amanah. 

Dengan tidak disadarinya, dia telah jauh dari garis yang ditempuh oleh Rasul dan orang-orang ikhlas.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 317-318, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ETIKA RAKYAT DAN PEMIMPIN

Ketahuilah bahwa salah satu dari sifat manusia pasti terdapat pada dirimu.

Pertama, orang alim yang sudi menambah ilmunya dari orang alim yang lain sehingga bertambahlah jua keutamaannya.

Kedua, jahil yang merasa diri serba kecukupan sehingga pendapatnya tidak ada harganya.

Tidak ada manusia yang sunyi dari aib dan tidak ada pula manusia yang segala perbuatannya salah.

Tidak ada halangan kalau engkau mengambil pertolongan dari orang di dalam sesuatu perkara yang diketahuinya, walaupun di dalam perkara yang lain ada celanya.

Mendapat teman yang jahat amatlah berbahaya, tetapi lebih berbahaya lagi jika kehilangan teman yang jujur.

Dua sifat itu harus engkau perhatikan betul di dalam memegang kendali negeri.

Pertama, pandai mempersatukan paham dan pendapat orang banyak.

Kedua, teguh menjalankan pekerjaan.

(Buya HAMKA, Akhlaqul Karimah, Hal. 207, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Desember 2017).

"Mengangkat sebuah kitab suci Al-Qur'an, yaitu tradisi yang diwarisi dari Belanda dan diteruskan oleh pemerintah kita, dan sekali-kali tidak ada dari Nabi Muhammad saw. ataupun dari para sahabatnya." (Buya HAMKA).

Mereka telah bersumpah dengan mengangkat Al-Qur'an, namun yang curang ada juga.

Telah mengucap "Demi Allah", namun yang korupsi masih ada.

Karena semata sumpah tidaklah akan dapat mengubah pribadi yang kosong dari iman.

Setiap pegawai diangkat, disumpah "Demi Allah" itu sudah hilang wibawa kalimatnya.

Atau Demi Allah telah dijadikan tameng belaka dari pribadi yang bobrok.

Ayat 54 mengatakan dengan tegas,

"Tak usah bersumpah, laksanakan saja perintah. Itulah yang lebih baik." (pangkal ayat 54).


Karena Allah Maha Tahu apa jua yang kamu kerjakan.

Maka seorang Mukmin tidaklah banyak sumpah,

Karena dia jujur dan percaya kepada dirinya,

Yang ya tetap ya, yang tidak tetap tidak.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 320-321, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan mereka ikuti tiap-tiap setan yang selalu jahat." (ujung ayat 3).

Padahal jalan selain dari jalan Allah adalah jalan jahil, bukan jalan ilmu.

Jalan sesat, bukan jalan lurus.

"Dan memimpinnya kepada adzab neraka." (ujung ayat 4).

Artinya, kesesatan itu tidaklah hanya di dunia ini saja, malahan akan terus ke dalam neraka yang memang disediakan oleh Allah SWT bagi orang-orang yang mengikuti jalan setan dan iblis.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 99-100, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MEMBELA KEBENARAN DAN KEADILAN

Di dalam ayat ini tegas Allah menyatakan bahwasanya di dalam umat-umat dan bangsa-bangsa yang telah dijadikan dan diciptakan oleh Allah, Dia pun memilih suatu umat yang telah menyediakan diri menegakkan kebenaran dan keadilan.

Dengan sabda-sabda Nabi ini teranglah bahwa membela kebenaran dan menegakkan keadilan adalah sifat dari umat Muhammad yang sejati.

Menjadi umat Muhammad padahal tidak berani menegakkan kebenaran dan keadilan, artinya telah menghilangkan tugas yang diistimewakan buat mereka.

Sampai Hari Kiamat mereka wajib tegak membela kebenaran dan keadilan.

Kalau itu tidak ada lagi, tidak pula ada artinya lagi mereka menyebut diri umat Muhammad.

Orang yang mencoba menggagalkan dan merintangi sudah pasti ada sampai Hari Kiamat.

Oleh sebab itu, kalau Muslimin bergerak lalu mengeluh menerima halangan dan rintangan, itulah orang yang tidak tahu akan hakikat dirinya.

Agama ini tidak akan hidup kalau tidak atas jihad.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 611-613, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Nasihat Rasulullah saw. agar kita banyak berpikir dan banyak merenung jauh, lebih banyak menangis daripada tertawa, terlukis pula dalam sabda beliau yang lain, demikian bunyinya,

"Kalau kamu ketahuilah apa yang aku ketahui, niscaya akan sedikit kamu tertawa, dan akan banyak kamu menangis. Sebab kemunafikan akan terlihat nyata, amanah akan hilang sirna, rahmat akan tercabut. Orang yang dipercaya akan mendapat tuduhan dan orang yang tidak dapat dipercayai akan memikul kepercayaan. Unta tua hitam akan terpaut di hadapanmu, dan fitnah-fitnah akan datang laksana malam gelap-gulita." (HR. Bukhari dan Muslim dan ahli-ahli hadits yang lain).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 234, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BEBAS DARI RASA TAKUT

Apabila jiwa telah mencapai martabat Tauhid Uluhiyah itu, ia tidak mengenal takut pada apa-apa lagi karena insting atau naluri ketakutan yang ada dalam jiwa sudah dijuruskan kepada Yang Maha Esa.

Sebaliknya, orang yang menyembah berhala, mempertuhan yang lain, baik benda maupun sesama manusia, rasa takut itu selalu bersarang dalam kalbunya, selalu merasa ragu.

Perhatikanlah orang-orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah itu alangkah pengecutnya.

Mereka menyembah-nyembah memohon pangkat kepada sesama manusia yang berkuasa, jadi raja atau jadi presiden, dia pergi menyembah-nyembah dan menjilat-jilat.

Dia takut beliau akan murka, dia takut pangkatnya akan diturunkan, dia takut dia akan diberhentikan dengan tidak hormat, dia takut anak-anaknya tidak akan makan.

Lantaran itu, kian lama dia kian menyembah kepada manusia yang diberhalakannya itu.

Maka, seluruh hidupnya dipenuhi oleh rasa takut.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 202-203, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HARTA BENDA DAN BAHAGIA

KEKAYAAN

Apakah hakikat kekayaan, dan apa hakikat kemiskinan?

Setelah payah hukama mencari apakah arti kekayaan yang sebenarnya, mereka telah mendapat keputusan, yaitu:

"Orang kaya ialah orang yang sedikit keperluannya".

Jadi, jangka turun naik kekayaan dan kemiskinan, ialah hajat dan keperluan.

Siapa yang paling sedikit keperluannya, itulah orang yang paling kaya dan siapa yang amat banyak keperluan itulah orang yang miskin.

Raja-raja adalah orang yang paling miskin, karena keperluannya sangat banyak.

Di dunia diikat oleh bermacam-macam aturan dan keperluan, dan di akhirat akan dibuka pula perkaranya yang besar-besar, sebagaimana yang diterangkan oleh Sayidina Abu Bakar yang telah kita salinkan dahulu daripada ini.

Miliuner banyak yang miskin?

Pokok segala yang tersebut itu, pergantungannya ialah diri sendiri,

Kalau orang hendak kaya, cukupkanlah apa yang ada, jangan bernafsu hendak melengong kepada kepunyaan orang lain, hadapkan saja muka di dalam taat kepada Allah, tenteramkan jiwa di dalam menghadapi alhayat.

Kalau hendak miskin, ingatlah segala yang teringat, kenanglah segala yang belum ada, hendaki ini dan itu. Hendaki ke rumah yang lebih cantik, karena yang sekarang walaupun bagaimana cantiknya, belum juga cukup rasanya, sebab belum secantik rumah si anu,

Padahal rumah kita sendiri, sudah titik air liur orang lain melihatnya.

Kekayaan hakiki ialah mencukupkan apa yang ada, sudi menerima walaupun berlipat-ganda beratus-ribu miliun, sebab dia nikmat Tuhan.

Dan tidak pula kecewa jika jumlahnya berkurang, sebab dia datang dari sana dan akan kembali ke sana.

Jika kekayaan melimpah kepada diri, walau bagaimana banyaknya, kita teringat bahwa gunanya ialah untuk menyokong amal dan ibadah, iman, dan untuk membina keteguhan hati menyembah Tuhan.

Harta tidak dicintai karena dia harta. Harta hanya dicintai sebab dia pemberian Tuhan. Dipergunakan kepada yang berfaedah.

Kekayaan majazi, menurut kebiasaan aturan hidup di zaman sekarang ini, ialah menumpahkan cinta kepada harta benda semata-mata, yang menyebabkan buta dari pertimbangan, sehingga hilang cinta kepada yang lain, kepada bangsa dan tanah air, agama, Tuhan, bahkan Tuhan itu tidak dipercayai lagi.

Hilang cinta kepada segala yang patut dicintai, bahkan kadang-kadang diri sendiri sudah lupa mencintainya. Sebab telah tertumpah kepada harta.

Orang kaya begini, dua bahaya mengancamnya.

Pertama, penyakit bakhil, kedua, penyakit boros dan royal, sombong dan takabur, lupa bahwa manusia senantiasa diancam bahaya ngeri.

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 229-231, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

TIDAK INSAF KE MANA KITA PERGI SESUDAH MATI

Orang takut mati karena dia tidak tahu ke mana akan pergi sesudah mati, dan tidak tahu bahwa jiwa itu kekal. Tidak tahu pula kaifiat dan keadaan hari kemudian.

Orang yang demikian, pada hakikatnya bukanlah takut mati, tetapi tidak tahu barang yang mesti diketahui.

Yang menimbulkan takut, ialah kebodohan.

Kebodohan yang menimbulkan takut orang yang bodoh, bagi para cerdik pandai mendorongnya menghabiskan umurnya menuntut ilmu.

Para cerdik pandai tidak peduli kepayahan jasmani untuk menuntut kemuliaan rohani.

Mereka lebih suka bertanggang, tidak tidur sampai larut malam karena memikir hikmah.

Mereka berkeyakinan bahwa kesenangan sejati di dalam kehidupan ialah terlepas dari kebodohan, terlepas dari kebingungan di dalam menilik rahasia alam.

Kepayahan yang larut menimpa jiwa.

Obatnya ialah mempelajari ilmu, itulah kelezatan sejati dan kesenangan abadi.

Oleh sebab itu kewajiban si akil menuntut ilmu yang hakiki, yang dengan ilmu itu dapat menyelidiki bagaimanakah keadaan insan sesudah matinya.

Seorang sahabat Nabi saw. bernama Haritsah berkata kepada Nabi,

"Oh, Rasulullah, seakan-akan hamba lihat Arasy Tuhan terbentang nyata di mataku. Seakan-akan hamba lihat ahli surga itu hidup di dalamnya bersuka-cita, berziarah-ziarahan. Dan seakan-akan hamba lihat pula ahli neraka menerima siksanya, melaknati yang satu kepada yang lain."

Ilmu yang sebagaimana didapat oleh Haritsah ini didapatkan dengan menyelidiki hakikat diri sendiri, dan menyelidiki hubungannya dengan badan kasar, bagaimana khasiat dan pengaruh jiwa, apa yang disukainya dan apa pantangannya.

Hadapkan ke mana tujuan kesucian dan hindarkan dari kerendahan yang menghalangi kesempurnaannya.

Karena kehendak rohani yang suci amat berlain dengan kehendak ikatan badan yang kasar.

Oleh karena itulah, Islam menyuruh kita berpikir, menyelidiki dan merenungi, disuruhnya bangun tengah malam, waktu gelap membawa kesunyian, di waktu cahaya yang lahir gelap dan cahaya batin terang, maka dari alam gaib akan menyorotlah cahaya abadi kepada jiwa yang gaib itu.

Disuruhnya memperhatikan keadaan alam bagaimana unta terjadinya, bagaimana langit terbentang, keadaan bukit di bumi, dan keadaan bumi terhampar.

Buat para budiman, segala harta benda, kekayaan dan lain-lain itu, mereka pergunakan sekadar yang perlu.

Datanglah kalau mau datang, akan mereka terima.

Pergilah kalau mau pergi, akan mereka lepas.

Mereka tidak hidup berlebih-lebihan.

Sebab semuanya mengajar manusia loba dan tamak.

Bilamana manusia telah sampai kepada suatu tingkat, dia hendak meningkat kepada yang lebih tinggi pula.

Yang membatas hanyalah kubur juga.

Ini harus dibatasi dengan kesadaran.

Mati yang sebenarnya ialah jika manusia diikat dunia, harta benda dan kekayaan, menjaga dan memeliharakan barang palsu, yang tidak ada harganya untuk dijunjung, yang kerap meninggalkan kita lebih dahulu, atau kita tinggalkan lebih dahulu.

Kematian Iradat

Mematikan kemauan dari dunia yang tidak berguna, ambil yang perlu saja, matikan syahwat dari kehendak yang di luar batas, matikan nafsu kelobaan dan tamak, matikan memburu harta sehingga melupakan kesucian. Lalu dijuruskan iradat itu kepada hidup yang lebih tinggi.

Kematian Tabiat

Bilamana jiwa telah meninggalkan badan. Para Hukama membuat pepatah:

"Matilah Sebelum Mati".

Kehidupan Iradat

Menghidupkan jiwa untuk mencari makanan dan minuman sekadar perlu, pakaian dan kediaman sekadar perlu.

Kehidupan Tabiat

Ikhtiar menghidupkan jiwa di dalam kemuliaan, di dalam ilmu pengetahuan, di dalam menyelidiki hakikat alam yang jadi peta dari hakikat kebesaran Tuhan.

Imam Ali bin Abi Thalib berkata,

"Siapa yang mematikan dirinya di dunia berarti menghidupkannya di akhirat".

Raghib Ashfahani berkata,

"Manusia dan kemanusiaan itu bukanlah sebagai kebanyakan persangkaan orang, yaitu hidupnya cara hidup binatang dan matinya cara kematian binatang pula. Berpikir di dalam makhluk itu hanya pada manusia saja. Kehidupan manusia adalah sebagai yang dinyatakan di dalam Al-Qur'an: "Untuk memberi ingat kepada orang yang hidup." Mati manusia lain dari mati binatang. Mati manusia ialah mati syahwatnya, mati amarahnya, semua terikat oleh kehendak agama."

Sebab itu, dengan sendirinya sudah dapat dipahami, bahwa mati itu ialah kesempurnaan hidup.

Dengan kematian manusia sampai kepada puncak ketinggiannya.

Siapa saja yang tahu bahwa segala isi alam ini tersusun menurut undang-undangnya, dan undang-undang itu mempunyai jenis dan fasal (sifat); siapa yang paham bahwa kehidupan itu harus ditempuh jenis manusia, dan sifatnya ialah berpikir dan mati, maka akan paham pulalah dia bahwa mati wajib ditempuhnya, untuk menyempurnakan sifatnya. Karena tiap-tiap yang telah tersusun dari suatu benda, akhirnya dia akan surut kepada benda itu juga.

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 195-199, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

Oleh seorang ahli Hikmah:

"Alangkah celakanya orang kaya! Badannya tak pernah senang, istirahat tak memuaskan, siang malam berhati bimbang, takut harta susut. Raja-raja selalu mengintip, musuh-musuh selalu mengawasi, dan waris senantiasa memohonkan lekas mati."

Sesungguhnya mengharapkan harta lebih daripada mestinya, itulah pangkal kerusakan budi manusia, itulah pangkal bertambah merajalela kemungkaran dan kejahatan; itulah yang menambah pengetahuan orang untuk memperhalus ilmu tipu muslihat, ilmu penjajah, ilmu menaklukkan, ilmu menjual si bodoh.

Pandai sekali nenek moyang kita memilih perkataan "Sudagar" bagi orang yang pintar berjual beli, sebab "su" artinya seribu, dan "dagar" artinya tipu. Sebagaimana "su-dara" artinya seribu cinta.

Kecintaan kepada harta sehingga sampai menyembah harta, telah menimbulkan agama sendiri, di luar dari agama Islam dan Kristen, di luar dari agama Brahmana dan Budha, yaitu agama yang diwahyukan oleh harta itu sendiri, mana yang halal kata harta, walaupun haram kata agama, diikut orang juga wahyu harta, larangan harta itu juga yang dihentikan orang.

Terbaliklah aturan masyarakat lantaran harta, puji dan sanjung bisa dibeli dengan harta. Orang junjung tinggi seorang berharta lantaran hartanya, meskipun dia seorang pencuri halus, laksana tikus mencuri daging tumit orang yang tidur nyenyak tengah malam. Dihembusnya supaya dingin, kemudian digigitnya, setelah terasa pedih oleh orang yang tidur itu, digosoknya dengan lidahnya dan dihembusnya pula, sehingga hilang pedih karena dihembus. Setelah orang yang kena gigit itu bangun pagi-pagi, dan dicobakannya menginjakkan kakinya ke tanah, barulah dia tahu bahwa dia kecurian.

Di balik itu, orang yang kaya budi, miskin uang, tidak ada harganya dalam masyarakat.

Wahai, celakanya masyarakat hari ini; anak kecil pun telah tahu memilih kuda-kuda dan kereta-kereta kecil yang bercat air-emas.

Tiap-tiap surat kabar ke luar, penuh dengan pujian kepada orang kaya. Hingga dalam masjid dan di dalam gereja, tempat orang berharta disisihkan juga, walaupun di sana sedang duduk menghadap Tuhan.

Perempuan-perempuan lebih suka memilih laki-laki yang menang lotre atau dapat warisan banyak. Walaupun sekolahnya tidak tamat, daripada laki-laki yang pelajarannya cukup, tetapi gaji kecil.

Orang lebih menghormati harta daripada menghormati manusia, manusia itu akan ikut dihormati pula kalau harta ada di rumahnya, dan kalau harta itu pindah ke rumah orang lain, maka si penyimpan harta yang bermula tadi, tidak dihormati lagi.

Dunia kalau menghadapi seorang manusia, walaupun rupanya buruk, dipindahkannya kecantikkan orang lain kepada orang yang dihadapinya itu. Dan kalau dunia membelakangi orang pula, dicabutnya keindahan yang ada pada dirinya.

Perebutan harta benda di dunia sekarang ini, yang bagi orang seorang menimbulkan loba dan bagi bangsa menimbulkan semangat kapitalisme, inilah pangkal huru-hara dunia sekarang ini.

Inilah pangkal penjajahan, perampasan ekonomi. Dan ini pulalah yang menimbulkan pertentangan kelas, di antara yang punya dengan yang tak punya.

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 242-244, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

SEDERHANA MENCARI PANGKAT

Sering terjadi, kritik keras dilancarkan pada seseorang yang berhasil menduduki suatu jabatan tinggi. Dia dituduh bodoh, koruptor, nepotisme, yaitu memberikan kedudukan dan posisi penting kepada sanak famili dan konco-konconya.

Akibat kerasnya kritik, terkadang pejabat itu memenuhi tuntutan dengan memberikan pula jabatan-jabatan tertentu pada golongan oposisi.

Hanya saja setelah beroleh kedudukan, tukang kritik itu ternyata tak mau berbuat apa-apa, bahkan dia juga berbuat sama dengan orang yang dikritiknya, korupsi, bodoh dan lain-lain;

Rupanya kritikannya lantaran rasa dengki belaka, seperti seekor serigala yang menyalak keras; keras karena tak mampu memanjat buah anggur yang tinggi atau karena tidak dapat kesempatan.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 233, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

Banyak sekali orang menegakkan kehormatan diri di atas tengkorak orang lain, menyiramnya dengan darah supaya subur, tidak enggan menerima uang suap dengan senyum dan korupsi.

Pada lahirnya dilihat terhormat, lantaran kayanya, hartanya, gajinya, pakaiannya, darah turunannya, padahal seorang penjahat.

Berapa banyak orang yang berbudi tidak cukup makan, orang penganiaya naik.

Berapa banyaknya orang yang berhias dadanya dengan bintang-bintang kadang-kadang bintang itu dikejarnya dengan menjual saudaranya.

Kita kembali kepada orang yang mengatakan, hidup itu cukup dengan menjaga diri sendiri saja, tidak usah dipertalikan dengan kepercayaan adanya Tuhan.

Demikianlah setengah gambar pembelaan kehormatan yang nampak oleh mata, yang terdengar oleh telinga yang disaksikan dengan pengalaman.

Kalau demikian tidaklah cukup peraturan hidup, kalau hanya bergantung kepada pembelaan kehormatan saja.

Kalau hati sunyi dari dua kepercayaan ini, yaitu adanya Allah dan adanya Hari Pembalasan pada kehidupan yang akhir, datanglah Setan, bergeloralah syahwat, melompatlah nafsu dari rantainya, laksana Anjing di pautan melompati tangan yang memegang tulang.

Terbukalah jalan kepada kerendahan budi, baik bagi diri sendiri, maupun bagi pergaulan hidup.

Tertutup pintu menuju keutamaan.

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 98, 101, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

"Niscaya akan diadzab mereka oleh Allah, adzab yang pedih di dunia dan di akhirat."

Adzab di dunia ialah mereka telah terhitung "runcing tanduk"; tidak lagi akan dibawa sehilir semudik oleh orang-orang beriman. Hidup mereka pun akan melarat karena tersisih. Sebab agama itu ialah pergaulan, bukan pemencilan.

Adzab akhirat, tentu saja api neraka yang bernyala-nyala.

"Dan tidak ada untuk mereka di dalam bumi ini, dari seorang pelindung pun."

Yang akan melindungi sehingga kehidupan mereka tetap terjamin dan tidak terganggu, sebagaimana banyak terjadi pada kaum koruptor yang tidak dapat ditangkap oleh pihak penguasa, karena ada orang yang berpangkat tinggi yang akan melindunginya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 222, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-MUTHAFFIFIIN

(ORANG-ORANG YANG CURANG)

Pada ayat yang pertama dikatakanlah wailun bagi mereka; artinya celakalah mereka!

Merekalah pangkal bala merusak pasaran dan merusak amanah.

Dalam ilmu ekonomi dikatakan bahwa keuntungan yang didapat dengan cara demikian bukanlah keuntungan yang terpuji, karena dia merugikan orang lain.

Wailun, celakalah dia!

Sebab kecurangan yang demikian akan membawa budi pekertinya sendiri menjadi kasar.

Tidak merasa tergetar hatinya memberikan rezeki yang didapatnya dengan curang itu sebagai belanja anak dan istrinya, lalu mereka makan dan minum.

Itulah suatu kecelakaan atau wailun.

Kerap kali juga wailun itu diartikan neraka!

Memang, orang-orang yang berlaku curang itu membuat neraka dalam dunia ini, karena mereka merusak pasaran.

Kecurangan niaga seperti ini adalah termasuk perbuatan korupsi juga.

Maka datanglah teguran Allah berupa pertanyaan,

"Apakah tidak menyangka orang-orang itu bahwa mereka akan dibangkitkan?" (ayat 4).

Apakah tidak terkenang dalam hati mereka bahwa kekayaan yang didapat dengan jalan curang dan merugikan orang lain itu tidaklah akan kekal?

Bahwa ia akan tertumpuk menjadi 'uang panas' yang membawa bencana?

Dan kalau dia mati, sedikit pun harta itu tidak akan dapat menolong dia?

Dan pada harta yang demikian tidak ada keberkahan sedikit pun?

Malahan mereka akan dibangkitkan sesudah mati, untuk mempertanggungjawabkan segala kecurangan itu.

"(Untuk menghadap) Tuhan sarwa sekalian alam." (ujung ayat 6).

Alangkah kecilnya kamu pada hari itu, padahal semasa di dunia engkau berbangga dengan kekayaan yang engkau dapat dengan jalan kecurangan itu.

Di Hari Kiamat terbukalah rahasia, bahwasanya kedudukan engkau di hadapan Mahkamah Ilahi, tidaklah lebih dan tidak kurang dari kedudukan pencuri atau maling,

Yang semasa hidupmu di dunia dapat engkau selubungi dengan berbagai dalih.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 151, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEMULIAAN

Orang yang berjasa tidak boleh gamang dan kecewa jika di masa hidupnya dilupakan orang.

Orang tidak boleh menyesal jika tinggal di sebuah gubuk yang buruk.

Tidak boleh kecewa jika makan minumnya dan pakaiannya tidak semewah orang lain.

Sebab kelak buah tangannya akan menjadi modal kemajuan angkatan yang akan datang.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 280, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIH

Ayat-ayat yang muhkam disebut sebagai ibu dari Kitab.

Ibu Kitab artinya menjadi sumber hukum, yang tidak bisa diartikan lain lagi.

Kalau ilmu telah rasikh, tidaklah berbahaya lagi.

Yang berbahaya ialah orang yang setengah-setengah berilmu.

Sebagai pepatah orang Minang,

"kepalang tukang, binasa kayu; kepalang cerdik, binasa negeri; kepalang alim, binasa agama".

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 579-582, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KAIDAH USHUL FIQIH

Meskipun terdapat beberapa riwayat tentang sebab turun ayat, namun yang kita jadikan pedoman ialah isinya. Karena tersebut di dalam kaidah ushul fiqih:

"Yang dipandang adalah umum maksud perkataan, bukanlah sebab yang khusus."

Artinya, yang dipandang ialah maksud dan tujuan perkataan, bukanlah tentang sebab turunnya ayat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 719, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AL-QUR'AN: LAFAZH DAN MAKNA

Penafsiran pertama hendaklah diambil dari sumber Sunnah Rasulullah saw., kedua dari penafsiran sahabat-sahabat Rasulullah saw., dan ketiga dari penafsiran tabi'in.

PENDEKNYA yang berkenaan dengan hukum, kita tidak boleh menambah tafsir lain. Sebab, tafsiran yang lain bisa membawa bid'ah dalam agama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 32, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HUKUM PIDANA ISLAM (HUDUD).

Bertemulah sebuah batu picak (pipih) tempat membasuh kaki ketika akan naik ke dalam surau di satu desa sunyi di Terengganu.

Setelah di tilik-tilik, rupanya batu landasan pencuci kaki itu ada tulisan.

Diperhatikan dengan saksama, tulisan itu adalah huruf Arab, cuma saja tidak ada titik pada huruf yang mestinya bertitik.

Diperhatikan pula dengan saksama, ternyata bahwa bahasa yang ditulis dengan huruf Arab itu ialah bahasa Melayu.

Lalu dimintalah para ahli dari universitas di London sendiri mengadakan penyelidikan kepada batu itu, sampai batu itu digambar, difoto dan dikonferensikan oleh ahli-ahli.

Ternyata bahwa memang huruf itu huruf Arab dan bahasa yang dituliskan dengan huruf Arab itu ialah bahasa Melayu.

Dan satu hal yang amat penting bertemu dalam batu itu ialah zaman batu itu ditulis. Batu itu telah sumbing, ada bagian yang terlepas karena berlama masa.

Bertemulah Tahun Hijrah 702. Tetapi ujung kalimat dua itu ada yang pecah. Sehingga tidak dapat ditetapkan apakah 702 saja, atau 721, 723, 724 sampai 729 atau 712, atau 728.

Meskipun demikian, batu itu telah dapat menjadi saksi yang nyata bahwa pada awal Abad ke-8 Hijriyah telah ada kekuasaan Islam yang besar di Tanah Melayu, khususnya di Terengganu.

Sebab yang dituliskan pada batu itu ialah beberapa peraturan Hukum Pidana Islam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 265, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Teranglah dari fakta sejarah bahwa telah datang Utusan dari Tanah Arab ke Pulau Jawa sekitar Tahun 675 M (Abad ke-1 H).

(Buya HAMKA, Sejarah Umat Islam, Hal. 507, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

"Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya dan janganlah kamu turut jejak-jejak setan; sesungguhnya, dia bagi kamu adalah musuh yang nyata." (al-Baqarah: 208).

Maka, dapatlah kita tafsirkan ayat ini bahwasanya kalau kita telah mengakui beriman dan telah menerima Islam sebagai agama, hendaklah seluruh isi Al-Qur'an dan tuntunan Nabi diakui dan diikuti.

Semuanya diakui kebenarannya dengan mutlak.

Meskipun misalnya belum dikerjakan semuanya,

Sekali-kali jangan dibantah!

Sekali-kali janganlah diakui ada satu peraturan lain yang lebih baik dari Peraturan Islam.

"Janganlah kamu meninggal, melainkan adalah hendaknya kamu Muslim sejati." (Aali 'Imraan: 102).

Ada seorang Kyai membolehkan seorang perempuan yang sedang haid masuk Masjid, padahal Al-Qur'an melarangnya.

Kyai itu menghalalkan karena katanya, di zaman sekarang sudah ada celana perempuan yang khusus untuk haid sehingga darah tidak akan menetes lagi ke bawah.

Kyai itu mempergunakan akalnya untuk membuka pintu yang ditutup Allah sebab kebetulan ada beberapa ibu, Nyonya-nyonya Menteri yang ingin masuk Masjid Baitur Rahim di Istana Merdeka, Jakarta.

Maka, untuk menunjukkan bahwa dia adalah "Kyai progresif", dikeluarkannya Fatwa itu.

Padahal, kalau akalnya masih murni, belum dipengaruhi oleh keinginan dapat julukan "progresif", dia tidak akan sampai hati meringankan larangan Al-Qur'an yang senyata itu.

Kita pun mengakui dan melihat bahwa tidak ada orang Islam zaman sekarang yang 100% dapat menjadi orang Islam,

Akan ada yang masih kekurangan.

Dan tidak pula ada satu negeri Islam yang disana hukum Islam telah berjalan 100%

Akan tetapi, belum adanya itu bukanlah menunjukkan bahwa Islam boleh kita pegang separuh-separuh.

Kita selalu wajib berusaha mencapai puncak kesempurnaan hidup menurut kemauan Islam, sampai kita mencapai husnul khatimah.

Kita mengakui bahwa kita manusia mempunyai banyak kelemahan sehingga hasil cita-cita yang bulat tidaklah dapat dicapai sekaligus.

Dia kadang-kadang menghendaki tenaga, turunan demi turunan.

Namun, dengan adanya tujuan cita-cita, jelaslah apa yang diperjuangkan.

Jangan hanya merasa puas dengan apa yang telah dicapai.

Dan, di dalam negara yang penduduknya sebagian besar umat Islam dan ada pula pemeluk agama yang lain, agar terhadap golongan yang besar Muslim itu dibiarkan berlaku hukum Syari'at Islam.

Di Indonesia ini pemerintah jajahan Belanda, untuk menghilangkan pengaruh hukum Islam, sengaja menonjolkan beberapa hukum adat.

Dan, hukum-hukum adat itu dicari-cari pada tiap-tiap daerah sehingga timbullah berbagai rona corak hukum karena perbedaan adat.

Belanda lebih suka hukum adat yang berpecah belah daripada penduduk negeri golongan terbesar (mayoritas) beragama Islam itu bersatu hukumnya menurut agamanya, padahal hukum itu memang ada.

Akan tetapi, lucunya, di negeri yang hukum Islam telah dijadikan hukum adat, mereka tidak pula mau mengakui hukum itu.

Seumpama di dalam negeri Kerajaan Buton (Pulau Buton, Sulawesi) telah dijadikan hukum adat merajam orang yang kedapatan berzina dengan disaksikan oleh saksi menurut ketentuan Al-Qur'an dan telah pernah dipotong tangan orang yang mencuri.

Di samping Istana Raja Buton masih didapati batu hampar tempat orang menjalani hukum rajam dan potong tangan itu.

Pemerintah Belanda tidak mau mengakui hukum adat yang demikian sebab "katanya" melanggar perikemanusiaan yang amat dijaga dan dipertahankan oleh Pemerintah Hindia Belanda!

Seakan-akan hanya mereka yang mempertahankan kemanusiaan, sedangkan rakyat jajahan tidak!

Negara-negara penjajah dan negara besar yang berpengaruh telah berusaha dengan jalan pendidikan atau propaganda memasukkan jejak-jejak setan ke dalam jiwa kaum Muslimin pada negeri-negeri Islam yang mereka jajah atau pengaruhi agar orang Islam memakai peraturan lain untuk mengatur pergaulan hidup mereka.

Sehingga meskipun mereka masih mengaku Islam, mereka menolak tiap-tiap cita Islam untuk memperbaiki masyarakat.

Kadang-kadang timbul perpecahan di antara Muslimin, masing-masing mendakwakan dirinya yang benar, kawan yang lain kawan salah belaka.

Setan pun memasukkan rasa permusuhan kepada masing-masing pihak sehingga sukar dipertemukan.

Maka, terjuallah diri mereka kepada setan, bukan lagi menjual diri kepada Allah.

Di ayat inilah ditunjukkan akibat menuruti jejak setan-setan.

Sebab, jalan Allah hanya satu dan kitab pedoman pun hanya satu, yaitu Al-Qur'an, dan pimpinan hanya satu, yaitu Muhammad saw.

Setan selalu merayu di pinggir jalan itu, menggamit-gamit supaya tinggalkan itu, turuti dia.

Teladan dari Sunnah Rasul sudah terbentang nyata, ijtihad dianjurkan, tetapi dalam rangka memelihara jalan itu dan kembali kepada itu.

Kalau tidak awas, diri pun jatuh tergelincir masuk lubang kebinasaan, Allah Maha Gagah, balasan-Nya amat pedih.

Dari daulat kebesaran Islam bisa jatuh ke dalam kehinaan kufur. Dari umat terjajah di bawah pengaruh setan.

Kekuatan hilang, tenaganya habis.

Kutukan Allah Maha Gagah, balasan-Nya amat pedih. Dari daulat kebesaran adil; umat yang lengah kalau tidak diberi hukum, bukanlah itu satu kebijaksanaan.

Akan tetapi, kalau umat itu insaf dan bangun, dan kembali maka Allah pun bijaksana pula buat memulangkan kembali kemuliaan mereka yang telah dicabut.

Tidak pun dapat pada generasi sekarang, niscaya generasi yang akan menurutinya.

Kemudian, datanglah ancaman dan pengecaman Allah atas yang lalai,

"Tiadalah yang mereka tunggu kecuali bahwa datang kepada mereka itu (siksa) Allah di dalam gumpalan awan bersama Malaikat. Padahal, perkara telah diputuskan dan kepada Allah akan kembali segala perkara." (ayat 210).

Lantaran itu, mereka jadikanlah yang batil menjadi ganti yang hak.

Ini karena telah mereka persekutukan yang lain dengan Allah.

Mereka telah menghabiskan tenaga buat memuja benda dan alam dalam berbagai bentuknya, padahal alam itu adalah makhluk belaka.

Kalau di zaman purbakala benar-benar orang mendirikan patung dan berhala buat disembah, dan mereka melupakan Allah karena mementingkan diri.

Tergelincir yang kedua ialah karena menurutkan purbasangka belaka.

Mereka tidak mau mempelajari hakikat dan agama yang dipeluknya sehingga apa yang dikerjakannya hanyalah turut-turutan, sehingga hakikat agama hilang dalam selimut dan selubung dari bid'ah dan khurafat.

Mereka telah tekun beramal, padahal yang diamalkannya itu tidak ada dalam Islam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 392-397, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SEDERHANA KEPERLUAN HIDUP

Kerapkali orang miskin mencoba hendak hidup seperti orang kaya. Gaji kecil, belanjanya lebih besar dari gajinya. Pendapatannya rendah, borosnya lebih tinggi dari modalnya. Tentu habis. Sedangkan "laut ditimba lagi kering".

Itulah yang menyebabkan banyak penggelapan, korupsi, menghabiskan uang negara.

Sebab belanja seorang pegawai lebih tinggi dari pendapatannya.

Orang-orang yang terperosok hidup mewah yang palsu seperti sekarang ini pernah menerangkan bagaimana sulitnya pergaulan orang kecil dengan orang besar-besar.

Seorang yang bergaji kecil bernafsu memelihara nama dan martabat (gengsi) walaupun gaji kecil, lalu memakai pakaian yang sedikit mahal, kadang-kadang harganya sampai separuh gaji sebulan. Dia ingin menerima kedatangan tetamu orang besar-besar, yang datang ke rumah. Untuk itu dia menyediakan makanan dan minuman yang mahal, kalau tidak tentu menanggung malu. Kalau pindah majikannya ke tempat lain, harus menunjukkan setianya dengan melelang barang-barang majikan itu. Ketika terjadi dinner (makan malam) atau resepsi di rumah orang besar-besar, dia berlagak, sanggup pula meminum minuman seperti orang Eropa.

Keadaan itu semua memaksa mengeluarkan tenaga lebih dari kesanggupan diri.

Tidaklah heran, jika banyak orang besar-besar yang berutang kepada tukang peternakan uang. Ada juga yang sampai habis harta pusaka nenek moyang tergadai, karena hendak memenuhi kehendak hidup mewah.

Di kampung-kampung, orang berebut mencari pangkat menjadi kepala desa.

Di kota-kota orang bersaing mencari popularitas.

Supaya dipilih menjadi anggota perwakilan rakyat.

Padahal kebanyakan yang didapat di sana hanya pangkat, dan karena menuruti nafsu hidup mewah, perlulah ongkos atau gaji yang didapat ditambah dengan yang lain.

Inilah pangkalnya mencurangkan membuat orang tak segan-segan menggadaikan harta pusaka, menggelapkan uang negara dan korupsi.

Penyakit ini ada di zaman penjajahan.

Tetapi di zaman merdeka rupanya masih hebat.

Karena sisa jiwa rendah masih belum hilang.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 190-191, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

SEDERHANA PADA HARTA BENDA

Dan di zaman merdeka orang masuk partai politik karena ingin jadi menteri.

Kalau harapan itu tidak terkabul, orang-orang itu mendirikan partai sendiri pula.

Sehingga partai-partai kecil berdiri sebagai cendawan tumbuh, dan satu waktu berkumpul partai kecil kaum pengadu untung itu mengalahkan partai-partai besar yang lebih jelas ideologinya.

Inilah yang sering menggelincirkan kaki ke dalam lumpur kehinaan dan kerendahan, yang tidaklah sanggup seorang penulis menyatakan bagaimana benar rusak akhlak yang dipengaruhinya.

Bahkan sampai sekarang setelah merdeka ini, orang yang akan jadi Kepala Negara Republik Indonesia, atau jadi menteri, harus bersumpah atau berjanji bahwa jabatannya tidak boleh dipergunakannya "untuk kepentingan diri atau keluarganya".

Dan sumpah atau janji itu masih dibaca dengan lancar ketika pelantikan.

Tetapi bukan sedikit orang yang mengejar pangkat itu, ialah karena hendak melanggar sumpah itu, yaitu untuk kepentingan diri dan keluarga.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 205-206, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

Ibnu Taimiyah berkata,

"Yang salah itu tidak ada hakikatnya."

Sebab itu, semua dusta adalah bohong, artinya tidak ada.

Dan, semua dosa baik besar atau pun dosa kecil adalah kebohongan belaka!

Sebelum bertemu dengan yang sebenarnya, gelisahlah akal mencarinya. Orang yang berbuat bohong dan dusta, ditekanlah dia terus-menerus oleh akal budinya, sampai dia kembali kepada yang sebenarnya.

Akan tetapi, orang yang telah membohongi, artinya mengada-ada yang tidak ada, adalah orang yang tidak beres akalnya atau sakit jiwanya.

Perlulah orang yang sakit itu diobati sampai sembuh.


Dengan kesembuhan itu, hilanglah kedustaan dan itulah yang benar.

Sekian.

(Buya HAMKA, Bohong Di Dunia, Hal. 122, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2017).

MURUAH (HARGA DIRI)

Menurut Syair Mutanabbi,

"Orang yang berakal menanggung siksa di dalam nikmat lantaran akalnya; tetapi orang yang bodoh di dalam kerendahannya merasa nikmat".

Bila orang tahu harga dirinya, alamat, diri itu akan dapat dibentuk, ditunjuk diajari.

Sejauh-jauh kesesatan, namun hati tetap insaf dan ingat bahwa suatu masa kelak akan kembali juga pada kebenaran.

Kalau orang telah tahu harga diri, maka tinggilah cita-citanya dan berusahalah dia memperbaiki.

Tetapi apabila telah terlambat, setelah lama dalam kegelapan, lalu lalai mengangkat diri kembali, maka tak ubahnya dia seorang bisu yang hendak belajar berpidato. Bertambah dicoba, bertambah jauhlah dia tersesat.

Ahli-ahli pendidik yang tinggi dan ahli tasawuf yang mengenal tabiat manusia, mengingatkan kepada segala hamba Allah, bahwa segala pekerjaan dan kecenderungan jiwa di dunia, tidak ada yang buruk, tidak ada yang tercela. Tanyailah hati sendiri apakah pekerjaan, apakah wajah hidup yang tertentu buat dia.

Tetaplah berada pada kedudukan sendiri dan insyaf, jangan dipanjangkan angan-angan.

Karena panjang angan-angan jauh bedanya dengan tinggi cita-cita.

Mengetahui dan insaf akan kedudukan diri disertai cita-cita tinggi, jauh lebih baik daripada tinggi cita-cita tetapi rendah harga diri.

Cobalah perhatikan sebuah pedang, walaupun bagaimana tajamnya, kalau di tangan seorang pengecut jauh pula lebih baik daripada pedang yang kurang tajam tetapi terpegang di tangan orang yang ganas. Sebab akan disentakkan setiap waktu dengan tidak berpikir, asal nafsunya lepas dan sakit hatinya dapat dipuaskannya.

Banyak yang harus dijaga dalam mempersunting muruah.

Kadang-kadang sangat halus, tidak dapat diberi hukum, tidak dapat ditunjukkan, tetapi kelihatan.

Hanya hati saja yang sama tahu dan arif.

Sungguh pun begitu lebih baik juga diterangkan yang kasar-kasarnya saja.

Karena yang halus akan diperoleh dengan percobaan dan pengalaman hidup masing-masing.

Kehalusan itu tidak sama pada tiap-tiap manusia.

Tak ubahnya dengan kesenian, menurut ukuran budi dan jiwa orang masing-masing.

Garis besar itu ialah dua bahagian.

Pertama di dalam diri sendiri,

Kedua terhadap orang lain.

Adapun yang terlingkung dalam diri ialah menjaga perintah syara' dengan tiga perkara:

Pertama, sanggup menahan hati.

Kedua, sanggup membersihkan hati.

Ketiga sanggup menjaga hati.

Bertanya Muawiyah kepada Sayidina Umar bin Khaththab, "Apakah yang dikatakan muruah itu?"

Sayidina Umar bin Khattab menjawab, "Takut kepada Allah dan menyambungkan silaturahmi dengan sesama manusia".

Ditanyakan pula pada Mughirah bin Syuibah beliau menjawab, "Dapat menahan hati seketika tergerak hendak mengerjakan yang dilarang Allah".

Ditanyainya pula pada Yazid anak Muawiyah sendiri Yazid menjawab, "Sabar menanggung cobaan dan syukur menerima nikmat. Memberi maaf ketika ada kesempatan membalas dendam".

Mendengar jawaban anaknya itu, berkatalah Muawiyah, "Sebenarnyalah engkau anakku, hai Yazid. Jawab yang demikian amat memuaskan hatiku".

Syahwat senantiasa memperdayakan akal, sehingga ditutupnya mata akal dari kebenaran dan keutamaan.

Ditipunya hati sehingga terperosok ke jurang bahaya. Sukar mengangkat diri dari dalamnya.

Setelah itu ialah perasaan yang terkandung dalam jiwa sendiri tentang takwa kepada Allah, baik mengerjakan suruhan-Nya atau menghentikan larangan-Nya.

Insaf bahwa Tuhan tahu akan kejapan mata dan yang tersimpan dalam hati.

Insaf bahwa orang yang berbuat baik akan dapat ganjaran baik dan orang yang berbuat buruk akan dapat ganjaran buruk.

Menurut riwayat yang dibawakan Ibnu Mas'ud, maka adalah ayat Al-Qur'an yang turun kemudian sekali ialah,

"Takutilah olehmu suatu hari, yang akan kembali kamu sekalian waktu itu kepada Allah. Akan dibayarkan kepada tiap-tiap diri apa yang telah mereka usahakan dan sekali-kali tidaklah mereka akan teraniaya".

Pepatah para orang tua,

Tak usah kami diberi kain,

Dipakai kain akan luntur,

Tak usah kami diberi nasi,

Dimakan nasi akan habis,

Berilah kami hati yang suci, muka jernih,

Budi baik dibawa mati...

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 288-301, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

"Kita terima kasih kepada Pak Ahok. Karena beliau telah merangsang umat Islam belajar al-Maidah 51. Banyak umat Islam yang tidak tau al-Maidah 51, tapi jadi tau setelah dikutip oleh Pak Ahok. Mudah-mudahan Pak Ahok juga mengutip ayat-ayat yang lain. Apa kita tidak malu, ketika ada orang yang mengutip baru kita mempelajarinya," sindir Yunahar.

Suara Muhammadiyah

suaramuhammadiyah.id/2016/11/04/yunahar-ilyas-kita-terima-kasih-kepada-pak-ahok

"Mereka itu akan dilaknat oleh Allah dan mereka pun akan dilaknat oleh orang-orang yang melaknat." (ujung ayat 159).

Lantaran itu, maju mundurnya agama di suatu negeri amat bergantung kepada aktif tidaknya ulama di tempat itu dalam menghadapi masyarakat.

Kalau mereka telah menyembunyikan pula ilmu dan pengetahuan, keterangan-keterangan dan petunjuk, kutuk laknat Allah-lah yang akan menimpa dirinya.

Manusia pun mengutuk pulalah sehingga kadang-kadang jika terdapat banyak maksiat di satu negeri, bertanyalah orang,

"Tidakkah ada ulama disini?"

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 296, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Tiba-tiba mereka pun mempersekutukan." (ujung ayat 65).

Tetapi seperti pepatah Melayu,

"Panas telah terik, kacang pun lupa akan kulitnya."

Begitulah keadaan manusia yang dipesona oleh hidup keduniaan. Dalam hidup sehari-hari ini kehidupan mereka itu tidak ada tujuan, tidak ada dasar. Hati lekat kepada dunia, bukan kepada yang menganugerahkan dunia. Nanti satu waktu tidaklah mereka akan terlepas dari bala bencana, karena hidup itu bukahlah semata-mata enak saja. Di waktu itu baru mereka ingat Allah SWT dengan tulus ikhlas. Tetapi kalau telah lepas dari bahaya, mereka kembali mempersekutukan Allah SWT. Malahan ada yang tidak mau mengakui bahwa Allah SWT campur tangan dalam nikmat yang mereka terima.

Atau ada disebutnya dengan mulut "Allah, Allah!" tetapi cuma hingga mulut.

Lanjutan ayat lebih tepat mengorek sudut yang buruk dalam jiwa mereka,

"Karena mereka hendak memungkiri apa yang telah Kami berikan kepada mereka." (pangkal ayat 66).

Artinya, setelah selamat beranilah mereka memungkiri kekuasaan Allah. Beranilah mereka mengatakan bahwa keselamatan itu berhasil karena kebetulan saja, atau karena perjuangan mereka sendiri.

"Dan karena mereka hendak bersenang-senang,"

Sebab keuntungan telah didapat.

Untuk mendekatkan tafsir ayat-ayat ini ke dalam kenangan kita, bolehlah kita bandingkan kepada perjuangan kemerdekaan kita bangsa Indonesia dalam membebaskan diri dari penjajahan Belanda.

Benar-benar dapat ditunjukkan jalan sejarah secara bebas betapa besarnya pertolongan Allah SWT hingga tercapai kemerdekaan ini.

Dan masih terngiang di telinga bagaimana gemuruhnya pekik "Allahu Akbar!" karena memohon perlindungan Allah SWT.

Beratus ribu, mungkin berjuta pemuda gugur dengan ridha hati dan dengan ridha orang tuanya, karena mengharapkan syahid di sisi Allah SWT.

Dekat-dekat zaman tercapai kemerdekaan pengakuan atas kenyataan itu masih ada.

Tetapi lama-kelamaan sudah ada yang berani mengatakan bahwa agama tidak ada campur dan tidak ada modalnya dalam kemerdekaan ini.

Dan suku ayat kedua,

"Dan karena mereka hendak bersenang-senang,"

Memperturutkan hawa nafsu melakukan pelanggaran perintah Allah SWT, bersuka hati, berkorupsi, sampailah suatu waktu pihak-pihak yang merasa dirinya menang atau berkuasa merasa tidak senang kalau ada orang yang menyebut-nyebut agama, apatah lagi kalau ada orang yang menyebut-nyebut hendaklah hukum dan perintah Allah SWT dijalankan di negara ini.

Orang yang berkata demikian kerapkali dituduh musuh. Musuh negara!

"Namun mereka akan tahu jua kelak." (ujung ayat 66).

Yaitu apabila kutuk Allah datang dan rahmatnya dicabut Allah SWT.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 24, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENYAKIT BUDI

PENDAPAT MUHYIDDIN IBNU ARABI

Muhyiddin Ibnu Arabi, sangat terkenal dalam dunia Tasawuf dan Filsafat. Beliau menghitung beberapa penyakit budi dan cacat perangai yang harus diusahakan menghilangkannya dari dirinya oleh orang yang ingin hidup baik, di antaranya ialah:

Safah

Pantang tersinggung, lekas marah, memaki, lekas mengambil keputusan membusukkan orang, dan lekas terkejut serta menyumpah serapah kalau bertemu dengan hal-hal yang mencemaskan.

Perangai ini tercela pada setiap orang, dan lebih amat tercela pada raja-raja dan pemimpin.

Qasawah

Berhimpun padanya benci dan dendam, disertai dengan kenekatan, sehingga tidak tergetar hatinya melihat orang lain dapat susah. Dalam bahasa kita disebut kasar-budi atau kesat-hati.

Hanya satu waktu saja perangai ini diizinkan, yaitu bagi serdadu di medan perang.

(Buya HAMKA, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 27, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan katakanlah kata yang tepat!" (ayat 70).

Maka diberilah peringatan dalam ayat ini bahwa seseorang yang telah mengakui dirinya beriman kepada Allah, hendaklah imannya itu benar-benar dipupuknya baik-baik agar subur tumbuh dan berkembang. Memupuk iman ialah dengan takwa kepada Allah SWT, dengan memelihara hubungan yang baik dengan Allah SWT.

Di antara sikap hidup karena iman dan takwa ialah jika berkata-kata pilihlah kata-kata yang tepat, yang jitu.

Dalam kata yang tepat itu terkandunglah kata yang benar. Jangan kata berbelit-belit. Jangan yang dimaksud lain, tetapi kata-kata yang dipakai lain pula. Berbelit-belit.

Maka kalau seseorang telah memilih kata-kata yang akan dikeluarkan dari mulut, yang sesuai dengan makna yang tersimpan dalam hati, tidaklah akan timbul kata-kata yang menyakiti orang, terutama menyakiti Allah dan menyakiti Nabi-nabi. Baik Nabi Musa, ataupun Nabi Muhammad saw. Sebab iman yang telah dipupuk dengan takwa, pastilah dia membentuk budi pekerti seseorang.

Timbulnya sikap hidup memilih kata-kata yang tepat dalam bercakap-cakap ialah karena hati yang bersih. Sebab ucapan lidah adalah dorongan dari hati. Kata-kata yang menyakiti Allah, menyakiti Rasul atau menyakiti Musa sebagai seorang di antara Nabi Allah ialah karena jiwa yang tidak jujur.

Sebagai syi'ir orang Arab,

"Dia berikan kepada engkau dari ujung lidah ucapan-ucapan yang manis; sedang perbuatan selalu mencurigakan, sebagaimana perbuatan serigala."

Dalam ayat ini diperingatkan janganlah sampai umat Muhammad meniru Bani Israil yang menyakiti Nabi Musa itu. Kalau berkata pilihlah kata yang tegas, tepat, jitu, dan jujur.

Pada ayat lanjutan dijelaskan oleh Allah SWT faedah memilih kata yang tepat itu.

"Niscaya Allah memperbaiki bagi kamu amalan-amalan kamu." (pangkal ayat 71).

Dengan memilih kata-kata yang teratur, jujur, tepat, dan jitu apabila hendak bercakap, akan besar pengaruhnya kepada pekerjaan, perbuatan, dan amal yang dipilih di dalam hidup.

Benar kata-kata menyebabkan benar perbuatan.

Atau sebaliknya, perbuatan yang benar menyebabkan kata-kata yang benar.

"Dan Dia akan mengampuni bagi kamu dosa-dosa kamu."

Susunan kata dalam ayat ini menunjukkan bahwa memilih kata yang tepat, jitu, dan jelas artinya adalah suatu latihan menuju hidup yang jujur dan lurus.

Memang hal ini berkehendak kepada latihan ke atas diri sendiri.

Kalau sudah terlatih demikian, amalan-amalan akan bertambah baik mutunya daripada yang sudah-sudah.

Sedang kesalahan yang sudah-sudah itu akan diampuni sendiri oleh Allah SWT, karena pribadi telah mendapat kemajuan.

Sebagaimana yang selalu disebutkan orang,

"Kebaikan-kebaikan yang banyak dapat menghapuskan keburukan-keburukan yang banyak pula."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 271-272, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Allah-lah Pemimpin bagi orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari gelap gulita kepada terang benderang. Akan tetapi, orang-orang yang tidak mau percaya. Pemimpin mereka ialah pelanggar-pelanggar batas. Mereka itu akan mengeluarkan mereka dari cahaya terang kepada gelap gulita. Mereka itulah ahli neraka. Mereka akan kekal padanya." (ayat 257).

Di dalam ayat, pelanggar batas itu disebut thaghut.

Segala pimpinan yang bukan berdasar atas iman kepada Tuhan, baik raja, pemimpin, dukun, setan, berhala atau orang-orang yang diberhalakan, didewa-dewakan, semuanya itu termasuk dalam kata thaghut.

Pimpinan yang begini pastilah membawa dari tempat yang terang, kembali kepada gelap.

"Mereka akan mengeluarkan mereka dari cahaya terang kepada gelap gulita."

Kita akan dapat pula merasakan suasana kufur itu dalam satu negeri, yang di dalam statistik disebut daerah Islam, tetapi pimpinan mereka adalah thaghut.

Cahaya terang kian lama kian berganti dengan gelap gulita, fitnah banyak, hasad dengki, perzinaan, kecabulan, dan kemaksiatan yang lain.

Kalau perwalian Allah telah diganti dengan perwalian thaghut, niscaya padamlah suluh, kembali dalam gelap dan,

"Mereka itulah ahli neraka. Mereka akan kekal padanya." (ujung ayat 257).

Adapun orang-orang yang lemah pegangannya dengan Tuhan, itulah yang kerap kali datang memperhambakan dirinya kepada thaghut.

Itulah orang yang memandang sabda si thaghut sebagai ganti wahyu Ilahi.

Maka, di zaman modern, pemimpin dipuja-puja dengan selalu menyebut namanya, memberikan berbagai gelar pujaan.

Sehingga, dia kian lama kian sombong, bahkan kian latah.

Rakyat yang diperintah tadi kian lama kian kehilangan dirinya.

Mereka hanya menjadi laksana binatang-binatang ternak, dikerahkan pada hari-hari besar buat berjemur di tanah lapang untuk mendengarkan pidato pemimpin.

Hal ini hanya dapat dihambat dengan memegang teguh ajaran tauhid dalam jiwa.

Oleh sebab itu, tauhid itu bukanlah semata-mata untuk kepentingan ibadah kepada Allah, bahkan terlebih lagi untuk kemerdekaan jiwa raga daripada pengaruh sekalian alam ciptaan Allah ini.

Dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini dan setelah kita mengukurnya dengan keadaan dalam masyarakat, dapatlah kita mengerti bahwa thaghut itu, demikian juga manusia yang menjual kebebasan jiwanya kepada thaghut, ada macam-macam.

Setengah menyembah berhala, setengah menyembah kubur, setengahnya menyembah orang-orang hidup yang dipandang sebagai hero (pahlawan), lalu orang menggantungkan nasib kepadanya.

Tauhid ialah untuk membebaskan jiwa manusia dari pengaruh thaghut itu.

Karena, pengaruh thaghut menghilangkan nilai manusia pada diri seorang anak Adam, berganti dengan binatang yang patut dihalau ke hilir ke mudik.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 517-519, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEBERANIAN MENCAPAI KEMERDEKAAN

Apa yang menimbulkan keberanian?

Yang menimbulkan keberanian ialah kebenaran.

Tidak ada suatu kekerasan senjata apa pun yang dapat mengalahkan keberanian lantaran kebenaran.

Belanda berani karena senjatanya lengkap. Tetapi kelengkapan senjata tidak dapat mengalahkan kebenaran.

Benarlah pepatah tua nenek moyang,

"Berani karena Benar".

Sekarang telah tercapai kemerdekaan.

Kita telah menang karena keberanian.

Tetapi itu barulah perjuangan yang pertama.

Kemerdekaan barulah berisi bilamana keberanian semangat diiringi oleh keberanian budi.

Pemuda-pemuda yang dahulunya berjuang dengan bambu runcing, sekarang harus berani meninggalkan kampung halamannya dan merantau menuntut ilmu ke negeri lain buat dibawa pulang.

Dan setengah pemuda lagi berani pergi membuka hutan, menggarap tanah yang subur yang belum dikerjakan.

Ahli-ahli pikir harus berani menyatakan pikiran baru buat kemajuan bangsa, melepaskan bangsa dari kungkungan perbudakan kepercayaan kuno.

Kunci dari semuanya ialah berani mengorbankan kepentingan diri sendiri, untuk keperluan masyarakat.

Kemajuan pembangunan bangsa menghendaki keadilan.

Dan sudah nyata bahwa umur orang seorang tidak cukup untuk mengetahui semua soal dalam dunia yang seluas ini.

Apabila setiap orang telah berani membatasi dirinya dalam kewajibannya terhadap tanah air khususnya, dan kemanusiaan umumnya, barulah berisi kemerdekaan yang telah dicapai.

Barulah layak disebut bangsa yang besar.

Pada waktu itu tidaklah akan salah orang mengartikan cap yang dahulu pernah diberikan kepada kita, yaitu:

"Bangsa yang sesabar-sabarnya di dunia".

Karena kita sabar menderita segala kesulitan di dalam membina bangsa.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 273-274, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

YANG SEBAIK-BAIK UMAT

"Kamu adalah sebaik-baik umat yang telah dikeluarkan antara manusia; (karena) kamu menyuruh berbuat yang ma'ruf dan melarang perbuatan yang mungkar serta percaya kepada Allah." (pangkal ayat 110).

Maka selama amar ma'ruf nahi mungkar masih ada, selama itu pula Islam masih akan tetap hidup dan memberikan hidup.

Selama itu pula umat Islam akan menjadi yang sebaik-baik umat yang dikeluarkan antara manusia.

Kalau ini tidak ada lagi, akibatnya ialah menjadi seburuk-buruk umat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 44, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Pemimpin bangsa atau golongan yang masih bertengkar mempertahankan kepentingan diri masing-masing lalu menyelimutinya dengan "demi kepentingan umum" atau "demi kepentingan rakyat" atau kata-kata lain yang muluk-muluk,

Padahal utang telah selilit pinggang dan bahaya sudah sampai di leher laksana beberapa ekor sapi yang telah dikumpulkan ke rumah potong, masing-masing menunggu gilirannya buat disembelih, namun dia masih bersinduk-sindukan dan bersepak-sepakan juga.

(Buya HAMKA, Lembaga Budi: Menegakkan Budi, Membangun Jati Diri Berdasar Tuntunan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, Hal. 176, Republika Penerbit, Cet.1, 2016).

Yang kita ngeri pula memikirkannya,

Setelah kita merenungkan ayat ini ialah setelah negeri-negeri Islam meniru demokrasi cara Barat, lalu mengadakan pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Dewan Perwakilan Rakyat, maka berdirilah partai-partai politik.

Niscaya di dalam negeri-negeri Islam itu kaum Muslimin pun turut berlomba mengampanyekan calon mereka supaya dipilih oleh orang banyak.

Ketika itulah orang mulai memakai taktik cara Barat.

Yaitu memujikan golongan sendiri dan mencaci-maki golongan orang lain, bahkan kadang-kadang hina-menghina, busuk-membusukkan, membuka rahasia, bahkan membuat fitnah.

Tidak kurang yang dihina, dicaci-maki itu sesama Islam sendiri.

Sehingga dengan sendirinya tumbuhlah permusuhan yang sangat mendalam, berurat berakar di antara golongan dengan golongan yang berkesan sampai berpuluh-puluh tahun.

Bagaimanalah kalau kiranya diperingatkan kepada orang Islam yang sedang berkampanye menghina, mencaci-maki, memfitnah dan menggunjing sesama Islam itu, agar mereka ingat kepada ayat ini?

Yang berisi bahwa kepada orang yang dimusuhi karena berlainan aqidah, masih diharap agar timbul saling mengerti dan menjadi kasih sayang.

Kepada orang musyrik saja diharapkan begitu, apatah lagi bagi sesama umat Muhammad?

Kalau ayat ini diperingatkan tentu kita akan ditertawakan orang.

Sebab kian lama kian jauhlah ditinggalkan orang Akhlak Islamiyah Muhammadiah itu, lalu diganti orang dengan "Akhlak kafiriyah Machiavelliyah."

Akhlak Machiavelli ialah "Segala cara adalah halal untuk mencapai suatu maksud!"

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 78, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Ihsan itu adalah dua.

Pertama ihsan kepada Allah, sebagaimana yang tersebut di dalam hadits Nabi seketika Jibril menanyakan kepada Nabi saw. tentang ihsan; yaitu bahwa engkau menyembah kepada Allah seakan-akan engkau lihat Allah itu. Dan meskipun engkau tidak mungkin melihat-Nya, namun Dia pasti melihat engkau.

Kemudian itu ialah ihsan kepada sesama manusia, yaitu hubungan yang baik, budi yang baik, penyelenggaraan yang baik, bermulut yang manis, berhati yang lapang, berbelas kasihan kepada fakir dan miskin.

Kemudian disebutkan pula ihsan kepada diri sendiri, dengan mempertinggi mutu diri, memperteguh pribadi, guna mencapai kemanusiaan yang lebih sempurna, sehingga kita berguna dalam masyarakat.

"Dan janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi."

Segala perbuatan yang akan merugikan orang lain, yang akan memutuskan silaturahim, aniaya, mengganggu keamanan, menyakiti hati sesama manusia, membuat onar, menipu dan mengecoh, mencari keuntungan semata untuk diri dengan melupakan hak-hak orang lain, semuanya itu adalah merusak.

"Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada orang-orang yang berbuat kerusakan." (ujung ayat 77).

Kalau Allah telah menyatakan bahwa Dia tidak menyukai orang yang suka merusak di muka bumi, maka balasan Allah pasti datang, cepat ataupun lambat kepada orang yang demikian.

Dan jika hukuman Allah datang, seorang pun tidak ada yang mempunyai kekuatan dan daya upaya buat menangkisnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 634, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Tersebut dalam satu hadits yang shahih,

"Sedekah tidaklah akan mengurangi harta benda yang ada. Dan hamba Allah yang sudi memberi maaf, tidaklah akan ditambahkan Allah untuk dia melainkan kemuliaan juga. Dan seorang yang rendah hati (tawadhu) karena Allah, tidaklah akan hina, melainkan akan diangkat Allah jua martabatnya jadi tinggi."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 511, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SYAFAAT

Berkata Jarullah az-Zamakhsyari di dalam tafsirnya,

"Syafaat yang baik ialah yang digunakan untuk memelihara hak sesama Muslim. Menolak kejahatan dan meraih kebaikan, dan dalam semua sikap langkah hanya satu yang diharapkan, yaitu wajah Allah, bukan karena mengharapkan rasywah (uang sogok). Hendaklah yang disyafaatkan itu dalam perkara yang dibolehkan oleh syara', bukan di dalam usaha melanggar batas-batas yang ditentukan Allah, atau melangkahi batas-batas kebenaran."

Tersebut di dalam satu riwayat bahwa Masruq pada suatu hari pernah memberikan syafaat jasa-jasa baiknya kepada seseorang. Usaha Masruq itu berhasil baik. Lantaran itu sebagai tanda terima kasih, orang itu menghadiahkan kepada beliau seorang jariyah (budak perempuan).

Bukan main marah beliau menerima hadiah itu sehingga beliau kembalikan di saat itu juga.

Lalu beliau berkata,

"Kalau aku tahu apa yang ada dalam hatimu waktu itu, sungguh tidaklah hajatmu yang engkau minta tolongkan kepadaku itu akan aku urus."

Jadi jelaslah bahwa syafaat dalam hal ini adalah menolong karena Allah, bukan karena mengharapkan ada udang di balik batu, kalau akan demikian lebih baik terang-terang minta upah saja. Kalau hal itu aku urus berapa engkau bayar. Menolong syafaat bukanlah kantor advokat.

Sebab itu Rasulullah berkata,

"Barangsiapa yang memberikan suatu syafaat kepada saudaranya, dan saudaranya itu memberinya hadiah, lalu diterimanya, maka sesungguhnya dia telah membuka satu pintu besar dari pintu-pintu dosa besar." (HR. Abu Dawud dari Abu Umamah).

Patutlah kita perhatikan hadits Nabi ini dan kita teropong diri kita sendiri, akan sanggupkah kita menempuh jalan iman seperti ini?

Menolong orang lain, memberikan syafaat kepada orang lain, janganlah mengharapkan supaya dibalasnya.

Hadits Nabi ini telah menunjukkan bahwasanya seorang yang menolong orang lain dengan menggunakan jasa-jasa baik dan pengaruhnya sehingga urusan orang itu jadi mudah dan berhasil, lalu orang yang ditolong itu memberikan hadiah.

Kalau hadiah itu diterima, berarti kita telah membuka suatu pintu dari pintu-pintu dosa yang besar.

Alangkah jauhnya dari budi Islam seseorang yang mempergunakan jasa-jasa baik itu buat menerima hadiah? Buat menerima uang semir, rasywah, (uang pelancar urusan).

Apalah artinya jasa baik, kalau jasa itu sudah mulai dibayar?

Sebuah hadits Nabi,

Dari Aisyah (radhiallahu anha), berkata dia berkata Rasulullah saw.,

"Barangsiapa yang menghubungkan untuk saudaranya sesama Muslim kepada orang yang mempunyai kuasa, untuk menyampaikan satu jasa atau mempermudah suatu yang sukar, akan ditolong dia oleh Allah memudahkan ketika melalui Shirath di hari Kiamat seketika telapak kaki mulai meniti." (HR. Thabrani dari Ibnu Hibban).

Seorang Muslim yang memberikan syafaat kepada orang lain, bukanlah mengharapkan hadiah orang yang disyafaati dalam dunia ini juga.

Tetapi yang diharapkannya ialah pertolongan Allah dalam memudahkan langkahnya seketika mulai meniti Shirathal Mustaqim di akhirat kelak.

...

Ketika menceritakan hal ini, Imam Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Madariyus Salikin telah berkata,

"Begitulah ketinggian budi orang Anshar dan kemurahannya, namun dalam hati mereka tidak ada ingatan hendak meminta penghargaan atas jasa mereka."

Meskipun sepeninggal Rasul saw. wafat, orang lain telah memperebutkan kemewahan dan kekuasaan duniawi, orang Anshar umumnya tidaklah mendapat apa-apa dari pembagian pangkat, namun Anshar tidaklah peduli akan hal itu.

Mereka tetap berbuat baik kepada orang lain, mendatangkan gembira pada hati sesama Muslim.

Bilamana jasa mereka hendak dibeli dengan benda, niscaya mereka akan murka sebagaimana murkanya orang Badwi di desa padang pasir itu seketika jamuannya yang diberikannya dengan tulus ikhlas hendak dibayar.

Bagi mereka hal yang demikian adalah malu yang besar, menyinggung kehormatan dan harga diri.

Maka kalau kita perbandingkan pekerti orang Anshar dengan kita zaman sekarang, malulah kita kepada diri.

Entah apa penyakit mental dan moral yang menimpa kita sehingga kerap kali syafaat atau pertolongan yang kita berikan kepada seseorang kita, meminta upah.

Sehingga selalu terjadi korupsi.

Korupsi benda yang timbul daripada korupsi jiwa.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 383-386, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Kemudian itu Kami wariskan al-Kitab itu kepada orang-orang yang telah Kami pilih di antara hamba-hamba Kami." (pangkal ayat 32).

Yang dimaksud dengan hamba-hamba Allah SWT yang telah Dia pilih itu ialah umat Muhammad saw., sejak kitab ini diturunkan sampai kepada akhir zaman.

Lantaran itu maka umat Muhammad saw. kadang-kadang disebut juga Umatur-Risalah, yaitu umat yang telah memikul risalah.

Setelah Rasulullah saw. wafat, lebih teranglah pewarisan itu.

Tentu saja yang diwariskan itu ialah artinya, pemahamannya, isi kandungannya, ilmu-ilmunya, hukum-hukumnya, dan pokok ajaran aqidahnya.

Boleh juga diartikan, bahwa meskipun waktu Rasulullah saw. masih hidup telah dijelaskan bahwa kitab ini akan terus-menerus diwariskan dan tetap akan dipegang teguh digenggam erat, turun-temurun.

Maka apabila seseorang telah mengakui dua kalimat syahadat, 'Asyhadu Alla Ilaha illallah, Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah' berartilah bahwa dia telah menerima waris dan diakuilah dia sebagai umat Muhammad saw., terpilihlah dia di antara segala hamba Allah di dunia ini menjadi penerima waris al-Kitab.

Tetapi setelah Kitab diterima mereka sebagai waris yang kekal,

"Lalu di antara mereka ada yang menganiaya kepada dirinya sendiri, dan di antara mereka ada yang berlaku cermat, dan di antara mereka ada yang mendahului berbuat kebajikan dengan izin Allah."

Tiga macamlah rupanya aliran penerima-penerima waris al-Kitab itu: pertama, yang aniaya kepada dirinya sendiri, kedua yang bersikap cermat atau hati-hati dan ketiga yang mendahului berbuat kebajikan.

Berbagai ragamlah penafsiran ahli-ahli tafsir dari seginya masing-masing tentang ketiga cora kini: zalim, cermat, dan mendahului.

Dengan semua keterangan ini jelaslah, bahwa ketiga golongan ini adalah sifat dari umat Muhammad saw., umat yang telah mengakui bahwa mereka bertuhan kepada Allah Yang Maha Esa, tidak ada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulullah.

Bagaimanapun ada yang kurang mutunya, namun mereka adalah umat terpilih jua adanya.

Lantaran itu dapatlah kita mengambil kesimpulan sebagaimana yang tersebut dalam surah an-Nisaa' ayat 46 dan ayat 116 yang menjelaskan, bahwa Allah tidak akan memberi ampun jika Dia dipersekutukan dengan yang lain, dan Dia sudi memberi ampun dosa yang lain untuk barangsiapa yang Dia kehendaki.

Lantaran itu maka tidaklah layak kita menuduh seseorang yang telah mengakui bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, bahwa dia kafir, sebelum dia menyatakan kalimat kufur dengan sharih (terang-terangan).

Setinggi-tinggi yang diberikan Allah kepada orang yang bersalah adalah sebagaimana tersebut dalam ayat ini, yaitu zalim.

Itu pun orang yang mendalam imannya dan bertawadhu kepada Allah SWT, sebagaimana ibu kita Siti Aisyah mengatakan, bahwa diri beliau termasuk orang yang zalim jua.

Dan itu pula sebabnya maka Nabi memberikan teladan memohon ampun kepada Allah SWT tidak kurang dari 70 kali, bahkan ada riwayat menyebutkan 700 kali sehari.

Ujung ayat berbunyi,

"Itulah dia karunia yang amat besar." (ujung ayat 32).

Yaitu bahwa orang yang merasa dirinya sudah berlaku zalim dibuka Allah SWT baginya pintu buat memohon ampun.

Orang yang cermat dibuka Allah SWT baginya kesempatan buat mempertinggi mutu amalnya dan orang yang dahulu sekali tampil ke muka dengan tidak merasa ragu lagi, sampai kadang-kadang mencapai syahid di medan juang, akan dimasukkan Allah SWT dengan serba kemuliaan ke dalam surga. Demikian juga yang zalim dan yang cermat itu.

Memang itulah karunia yang amat besar dari Allah SWT kepada umat terpilih.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 377, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Sesungguhnya adalah bagi kamu pada Rasulullah itu teladan yang baik." (pangkal ayat 21).

Untuk menimbulkan kegembiraan bekerja siang dan malam menggali tanah, menghancurkan batu-batu yang membelintang, beliau turut memikul tanah galian dengan bahunya yang semampai. Ketika tiba giliran perlu memikul, beliau pun turut memikul, sehingga tanah-tanah dan pasir telah mengalir bersama keringat beliau di atas rambut beliau yang tebal. Semuanya itu dikerjakan oleh sahabat-sahabatnya dengan gembira dan bersemangat, sebab beliau sendiri kelihatan gembira dan bersemangat.

Sehingga bekerja, bergotong-royong, menggali tanah, menyekap pasir, memukul batu sambil bernyanyi gembira, dengan syair-syair gembira gubahan Abdullah bin Rawahah, dengan bahar rajaz yang mudah dinyanyikan,

"Demi Allah, kalau bukan kehendak Allah, tidaklah kami dapat petunjuk; tidaklah kami berzakat, tidaklah kami shalat. Maka turunkanlah ketenteraman hati kepada kami, dan teguhkanlah kaki kami jika kami bertemu musuh. Sesungguhnya mereka itu telah kejam kepada kami, kiranya mereka mau berbuat ribut, kami tak mau."

Syair-syair dalam timbangan bahar rajaz ini mudah dilagukan bersama-sama dengan gembira. Maka sambil mengangkat tanah, memikul batu, memecah batu besar dengan linggis, mereka nyanyikan bahar rajaz gubahan Abdullah bin Rawahah itu bersama-sama.

Sama keadaannya dengan kerja gotong royong "ramba te rata, ho ho" atau seperti yang saya dengar di kampung saya waktu masih kecil jika orang menarik tonggak dari hutan bersama-sama bergotong-royong.

Helang hantok,

Muntari bilang lalok,

Di buah pondok.

Tetapi bahar rajaz gubahan Abdullah bin Rawahah, penyair muda dari Madinah ini, yang kemudian mencapai syahidnya dalam Peperangan Mu'tah bersama Ja'far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah adalah berisi rasa iman yang mendalam.

Maka tiap-tiap tiba nyanyian di ujung syair, yaitu Shallainaa pada bahar pertama dan Laaqaina dan Abainaa pada bahar kedua dan ketiga, Rasulullah pun turut mengangkat suara beliau dengan gembira sehingga semua pun senang, lupa bagaimana beratnya pekerjaan dan bagaimana besarnya musuh yang dihadapi.

Maka janganlah kita samakan Rasulullah saw. yang memimpin penggalian parit khandaq itu dengan beliau-beliau orang-orang besar di zaman kini ketika meletakkan batu pertama hendak mendirikan gedung baru atau menggunting pita ketika sebuah kantor akan dibuka atau shalat ke masjid dengan upacara.

Ini betul-betul memimpin.

Al-Bara bin Azib berkata, "Tanah yang beliau angkat pun jatuh ke atas perut beliau dan lekat pada bulu dada dan perut. Karena bulu dada beliau tebal."

Setelah dikaji Peperangan Khandaq ini secara ilmiah, sebagaimana yang dilakukan oleh jenderal pensiun Abdullah Syits Khathab di Iraq, memang amat besar bahaya yang mengancam dalam Perang Khandaq itu.

Hari di musim dingin, persediaan makanan di Madinah berkurang-kurang.

Kalau terbayang saja agak sedikit rasa kecemasan di wajah beliau, pastilah semangat para pejuang akan meluntur.

Namun beliau bersikap seakan-akan bahaya itu kecil saja dan dapat diatasi dengan kegembiraan dan kesungguhan bekerja.

Disiplin keras tetapi penuh kasih sayang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 167, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PEMIMPIN AGAMA

Oleh sebab itu janganlah disangka bahwasanya bagian dan peranan yang akan dimainkan oleh kaum ulama, kyai, ajengan dan tengku telah habis.

Jika sekiranya di zaman dahulu, ulama-ulama itulah yang telah menimbulkan Ushul Fikih, Fikih, ilmu Hadis, ditambah dengan ilmu-ilmu duniawi, bahkan sampai kepada filsafat; yang sekarang buktinya dapat kita lihat, dengan adanya kitab-kitab karangan mereka dalam segala cabang ilmu yang mengatasi agamanya, berjilid-jilid, berpuluh dan beratus, maka sudah sewajarnya jika pemimpin ulama sekarang mengatasi itu semuanya, sehingga sinar imannya dan ilmunya tetap menguasai masyarakat.

Sehingga dia berani berkata kepada si zalim:

"Hai Zalim! Takutlah kepada Tuhan!"

"Hai orang yang sombong dengan kemegahan dunia pinjaman Tuhan! Kembalilah kepada-Nya!

Karena engkau akan bertanggung jawab di hadapan-Nya.

Asalmu hanya daripada air setetes, keluar dari lubang yang hina, tidak berpakaian sehelai juga.

Adapun kemegahan yang kalian perebutkan, kursi dan pangkat, hanyalah pinjaman Allah dan pinjaman rakyat karena memegang amanat yang diberikan ke atas dirimu.

Janganlah sombong, karena kalian akan kembali ke akhirat, hanyalah dengan tiga lapis kain kafan juga!"

Begitulah mestinya seorang Pemimpin Agama.

-Mimbar Agama, 1951.

(Buya HAMKA, Renungan Tasawuf, Hal. 137-138, Republika Penerbit, Cet.I, Januari 2017).

IMAN MENIMBULKAN CINTA

Ibnu Abbas menceritakan tentang kecintaan orang kepada orang yang beriman dan beramal saleh itu demikian, "Dijadikan Allah dalam hati hamba-hamba Allah rasa sayang kepadanya. Tidak bertemu dengan dia seorang yang ada iman pula, melainkan terus merasa hormat. Bahkan orang-orang musyrik dan munafik pun terpaksa membesarkannya."

Haram bin Hayyan berkata pula, "Apabila seseorang telah menghadapkan hatinya kepada Allah, Allah pun akan menghadapkan hati orang-orang yang beriman pula kepadanya, sehingga dia mendapat rezeki dengan cinta mereka dan kasih sayang mereka."

Al-Qurthubi memberikan penafsirannya pula: "Bila seseorang telah dicintai orang di dunia ini, di akhirat pun dia akan dicintai juga. Karena Allah tidaklah mencintai, kecuali terhadap orang yang beriman dan bertakwa, dan tidak Dia ridha kecuali kepada orang yang ikhlas dan bersih hati. Moga-moga kita dimasukkan Allah dalam golongan itu dengan karunia dan kasihnya."

Mujahid menjelaskan pula arti cinta Mukmin itu: "Dicintai dia oleh manusia di dunia ini."

Said bin Jubair menjelaskan pula, "Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai dia, artinya sesama orang beriman."

Al-Aufi menjelaskan lagi menurut riwayat yang diterimanya dari Ibnu Abbas, "Dicintai oleh kaum Muslimin di dunia ini, mendapat rezeki yang baik dan lidah yang jujur."

Sayyidina Ustman bin Affan berkata pula, "Tidaklah seorang hamba mengerjakan amal yang baik ataupun amal yang buruk, melainkan pastilah Allah Yang Maha Kuasa akan memperlihatkan bekas amal itu pada laku perangainya."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 525-526, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Sesungguhnya orang-orang yang menantang Allah dan Rasul-Nya." (pangkal ayat 20).

Menantang Allah dan Rasul terutama ialah karena tidak mau menerima atau tidak mau menjalankan peraturan yang didatangkan dari Allah dan disampaikan oleh Rasul.

Atau membuat peraturan lain, atau menerima peraturan lain.

Padahal yang lain itu adalah semata-mata bikinan manusia.

Seakan-akan merasa bahwa mereka lebih pandai dari Allah dalam mengatur manusia.

"Mereka itu sendirilah yang termasuk orang-orang yang rendah hina." (ujung ayat 20).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 29, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

THAGUT

Dari segala uraian itu telah dipahamkan bahwasanya orang-orang berkuasa yang sudah tidak memedulikan lagi peraturan Allah dan membuat undang-undang sendiri menurut kehendaknya guna memelihara kekuasaannya, adalah thagut.

Negara-negara diktator yang memuja-muja pemimpin, kepala negara, sampai diberi gelar-gelar mentereng menyerupai gelar Allah, adalah thagut belaka.

Menilik kepada tafsir-tafsir Al-Qur'an yang disusun ratusan tahun yang lalu, seperti Razi, Thabari, Ibnu Katsir dan lain-lain, Thagut itu umumnya diartikan berhala saja.

Padahal dalam perkembangan negara-negara di zaman modern kita melihat kadang-kadang negara-negara itu sendiri diberhalakan, nasionalisme atau kebangsaan "Tanah airku benar selalu" (right or wrong is my country).

Kemudian itu memuja pemimpin, pembangun negara, pahlawan dan sebagainya sehingga dituhankan.

Kaum komunis tidak mengakui ada Tuhan, tetapi disiplin memuja pemimpin menyebabkan komunis menjadi satu "agama" menyembah tuhan pemimpin.

Kalau telah mulai tumbuh aksi mendewakan manusia, segeralah imbangi dengan kembali kepada Allah.

Karena kalau misalnya orang sedang bergerak maju menempuh jalan memuja Thagut, kalau semangat kembali kepada Allah tidak berkobar-kobar gerak kita akan kalah oleh gerakan memuja Thagut itu.

Maka bagi orang yang menjauhi Thagut dari menyembahnya lalu segera kembali kepada Allah.

"Bagi mereka adalah berita gembira."

Allah menyediakan kegembiraan baginya, sebab dia telah mencapai kemerdekaan jiwa yang sejati.

Maka sebagai pengikut Nabi Muhammad saw. bersyukurlah kita kepada Allah karena kita telah diberi ajaran tentang kembali kepada Allah dan menjauhi thagut ini.

Janganlah berhala, jangankan sesama manusia, sedangkan terhadap Nabi Muhammad yang namanya dalam ucapan syahadat selalu disebut sesudah menyebut nama Allah, Muslim tidak boleh menjadikannya Thagut pula.

Kepada kita diingatkan bahwa beliau saw. adalah manusia seperti kita juga.

Sayyidina Abu Bakar Shiddiq seketika Rasulullah saw. telah wafat melihat sudah banyak orang yang nyaris kehilangan pegangan karena Rasulullah sudah meninggal segera memberi ingat,

"Barangsiapa yang menyembah Muhammad maka sesungguhnya Muhammad telah meninggal. Tetapi barangsiapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah adalah hidup dan tidak pernah mati."

Demikian juga dalam bernegara, bermasyarakat sesama manusia diperingatkan pula supaya selalu melakukan musyawarah.

Jangan sampai musyawarah ditinggal karena menurutkan kehendak seorang pemimpin.

Dan kepada pemimpin sendiri diperintahkan supaya dia mengajak musyawarah.

Dengan demikian terhindar dan terjauhlah men-thagut-kan seseorang karena bagaimana pintarnya seseorang itu tidaklah pikirannya akan mencakup segala soal.

Bertambah tinggi kedudukan seseorang, bertambah jelaslah kelihatan di mana segi kelemahannya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 20-22, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MABUK KARENA NIKMAT

"Maka telah Kami timpakan kepada mereka dengan kesengsaraan dan kemelaratan."

Ahli tafsir mengatakan kesengsaraan itu ialah karena bumi tidak memberikan hasil tani yang dapat memberi makan mereka. Seumpama pada musim hujan banjir yang datang sehingga tanaman rusak sebelum diambil hasilnya. Atau pada musim panas, datang kemarau yang panjang sehingga tanah tidak dapat ditanami. Kemelaratan ialah datangnya berbagai penyakit menimpa diri sehingga banyak yang mati dan harta benda pun bertambah habis, punah.

Menurut tafsiran dari tabi'in Said bin Jubair,

"Kesengsaraan ialah karena hati tidak merasa tenteram dan aman karena tidak bebas menyatakan pikiran karena takut akan kezaliman pemerintah yang berkuasa (sultan). Kemelaratan ialah timbulnya kemiskinan dan kekurangan sandang dan pangan, harga keperluan sehari-hari tidak terbeli lagi, bertambah lama bertambah naik harganya sehingga ada orang yang mati kelaparan."

"Maka tatkala mereka telah lupa apa yang telah diperingatkan kepada mereka." (pangkal ayat 44).

Mereka jalan terus dan keadaan pun berjalan terus, gelombang demi gelombang. Peringatan-peringatan yang datang beruntun dari Allah, baik yang bersifat kesengsaraan maupun yang bersifat kemelaratan, kian lama kian mereka lupakan.

Kalau ada yang mati lantaran sengsara maka yang mati itu hanya orang kecil.

Kalau ada yang melarat hanyalah orang kampung. Adapun pihak penguasa tidak pernah merasakan kesengsaraan dan kemelaratan itu.

Karena rayuan setan yang demikian, mereka bertambah maju terus pantang mundur.

Dalam saat mereka telah lupa segala-galanya itu.

"Kami bukakanlah untuk mereka pintu-pintu dari tiap-tiap sesuatu."

Artinya, Kami buka kesempatan sebab apa yang kamu kehendaki akan dapat. Rezeki datang laksana tercurahnya air hujan, bumi terhampar di hadapan kakimu, tidak ada makhluk yang akan dapat menghalangi. Sampai lantaran pintu dibuka Allah lebar-lebar, setengah dari manusia tadi timbul sombong dan merasa diri telah serupa dengan Tuhan atau dewa.

Dipuja, disanjung, dipuji setinggi langit, lupa segala-galanya. "Aku sekarang ini Aku! Siapa yang akan dapat menghalangi jalanku!"

Bahkan ada yang berkata, "Allah itu sendiri berpihak kepadaku! Berkali-kali orang mencoba hendak menganiayaku, tetapi selalu gagal sebab Allah ada bersama aku!"

Perjalanan seperti demikian, pasti berujung.

Sebab demikianlah sunatullah!

Cuma soal waktu belaka.

Karena manusia gelisah menunggu terasa lambat temponya akan jatuh itu. Namun, setelah ketentuan Allah berlaku kelak, kejadian itu hanya bagai satu goresan kecil saja dalam sejarah.

Maka berkata Allah selanjutnya,

"Sehingga apabila mereka telah bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka itu, Kami siksalah mereka dengan sekonyong-konyong."

Sedang mereka bergembira dengan kesempatan-kesempatan yang telah dibukakan Allah pintunya dengan seluas-luasnya, tampak mereka lupa daratan, datanglah siksaan Allah dengan sekonyong-konyong.

Arti sekonyong-konyong ialah tiba-tiba. Tidak mereka ketahui dari mana akan datangnya. Benteng apa pun yang mereka bina untuk mempertahankan diri, tidaklah dapat menahan adzab Allah yang datang dengan tiba-tiba dan sekonyong-konyong itu.

"Tiba-tiba mereka pun merasa kecewa." (ujung ayat 44).

Mublisun boleh diartikan kecewa, putus harapan, tidak mendapat jalan keluar lagi. Bertambah diatur siasat hendak membebaskan diri dari siksaan yang sekonyong-konyong itu, bertambah terikatlah leher oleh adzab yang baru, bertambah bergerak, bertambah terkejut sehingga putus asalah sama sekali dari kelepasan.

Menurut riwayat dari Ibnu Katsir di dalam tafsirnya Ruhul Bayaan bahwa Imam Hasan al-Bishri ketika menafsirkan ayat 43 dan 44 ini:

"Sayang! Allah membukakan pintu kepadanya lebar-lebar, tetapi dia tidak mau tahu bahwa dengan demikian Allah sedang memerhatikan sikapnya. Dan sekali waktu Allah telah menimpakan kesengsaraan dan kemelaratan kepadanya, tetapi dia tidak juga mengerti bahwa sikapnya sedang ditilik oleh Allah!"

Kemudian, setelah membaca ayat 44 sampai selesai, Hasan al-Bishri menafsirkannya kembali dengan keluhan,

"Demi Allah! Allah telah memercayakan mereka, tetapi mereka tidak juga mau insaf. Apa saja yang mereka minta telah diberikan, tetapi kemudian diambil dengan sekonyong-konyong!"

Qatadah telah menafsirkan pula,

"Kaum itu telah menentang kehendak Allah dan Allah tidaklah segera mencabut nikmat-Nya, tetapi pada waktu mereka telah sangat mabuk oleh nikmat itu. Bahkan nikmat itu telah menipu mereka. Wahai saudara, janganlah kamu tertipu pula. Karena, tidak ada yang tertipu kecuali orang yang fasik jua."

Dirawikan oleh Imam Ahmad dari sahabat Rasulullah saw., 'Uqbah bin Amir, Rasulullah saw. pernah membaca ayat 44 ini lalu bersabda:

"Apabila engkau lihat Allah memberikan sebagian keduniaan kepada hamba-Nya, apa saja yang diingininya dengan serba-serbi kemaksiatannya maka pemberian yang demikian adalah istidraj." (HR. Imam Ahmad).

Istidraj artinya dikeluarkan dari garis lurus kebenaran tanpa disadari. Diperlakukan apa yang dia kehendaki, dibukakan segala pintu, dan yang bersangkutan sampai lupa diri, tidak ingat lagi bahwa sesudah panas pasti hujan, sesudah lautan tenang, gelombang mesti datang, lalu diperturutkan berbuat berbagai maksiat dengan hawa nafsu yang tidak terkekang.

Akhirnya, diri sesat jauh sekali dan siksaan datang sekonyong-konyong.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 146-148, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KORUPSI

Kita misalkan dengan perbuatan korupsi yang masih merajalela dalam suatu negara.

Sejak dari kepala negara sampai kepada menteri-menteri dan pejabat-pejabat tinggi telah ditulari oleh kecurangan korupsi, sehingga berkuasa hidup mewah dan mengumpul kekayaan negara untuk diri sendiri, sedangkan rakyat banyak mati kelaparan, telah kurus kering badannya.

Mereka telah diperas dengan berbagai ragam pajak, tetapi mereka tidak merasakan nikmat hidup sedikit juga.

Pegawai-pegawai kecil yang gajinya hanya cukup untuk makan 4 hari dalam sebulan dipaksa oleh keadaan itu berbuat korupsi pula.

Mereka terlambat datang ke kantor sebab lapar, lalu mencatut di luar.

Dan mereka terlambat pulang, sebab masuk ke pasar terlebih dahulu mencari yang akan dimakan, sedang di dalam kantor mereka tidak bekerja sepenuhnya.

Mereka pun telah mengorupsi waktu sebagai akibat yang pasti dari korupsi orang atasan, negeri pun bertambah lama bertambah hancur.

Maka, di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini terdapatlah kepastian bahwasanya kelak segala korupsi itu akan dihitung dan dinilai kembali pada hari Kiamat.

Segala korupsi adalah salah, tetapi sebab-sebab timbul kesalahan pun akan masuk dalam pertimbangan sehingga hukum yang dijatuhkan ada yang lebih berat dan ada yang lebih ringan.

Di dalam sejarah Islam telah kita dapati bagaimana khalifah-khalifah Rasulullah melaksanakan ayat ini.

Melihat dan menilik pelaksanaan Umar bin Khaththab dan Umar bin Abdul Aziz ini, nyatalah bahwa komisi yang diterima oleh seorang menteri, karena menandatangani suatu kontrak dengan satu penguasa luar negeri dalam pembelian barang-barang keperluan menurut rasa halus iman dan Islam adalah korupsi juga namanya.

Kita katakan menurut rasa halus iman dan Islam ialah guna jadi pedoman bagi pejabat-pejabat tinggi suatu negara bahwa lebih baik bersih dari kecurigaan umat.

Mungkin dalam ilmu fiqih ada yang menghalalkan itu, tetapi rasa halus agama lebih dalam dari semata-mata fiqih.

Dengan semata-mata fiqih kita dapat mencari seorang kiai untuk menjadi pokrol.

Akan tetapi, rasa iman yang mendalam dalam jiwa kita sendiri akan selalu mengetuk memberi ingat kesalahan itu.

Sebab orang yang berjuang mengharapkan ridha Allah, surgalah tempatnya, sedang si curang tersebut,

"Dan tempat kembali mereka adalah neraka Jahannam; itulah seburuk-buruk tempat kembali." (ujung ayat 162).

Orang-orang yang curang ini laksana "kanker" perusak. Di dunia dia kena kutuk dari manusia dan di akhirat neraka tempatnya.

"Dan Allah memandang apa pun yang mereka kerjakan." (ujung ayat 163).

Jangan disangka akan tersembunyi kejujuran ataupun kecurangan, mentang-mentang tidak kelihatan oleh orang lain. Semuanya tidak ada yang tersembunyi dari pandangan Allah.

Oleh sebab itu, orang yang beriman, sama saja baik budi dan tinggi kesopanannya, baik di tempat ramai maupun ketika dia sendiri.

Misalnya, orang Mukmin bangun dengan sendirinya di tengah malam, tahajjud dan munajat kepada Allah dengan tekun dan khusyunya, padahal tidak ada orang yang melihat, karena yakinnya, bahwa Allah melihat dan memandangnya.

Akan tetapi, orang munafik sangat akur tampaknya, laksana kucing dibawakan lidi di hadapan orang banyak dan setelah dia terpencil, terbukalah segala topeng yang menutup kepalsuan mukanya itu di hadapan Allah.

Kadang-kadang nyatalah nafsu binatangnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 111-114, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Menurut tafsiran dari tabi'in Said bin Jubair,

"Kesengsaraan ialah karena hati tidak merasa tenteram dan aman karena tidak bebas menyatakan pikiran karena takut akan kezaliman pemerintah yang berkuasa (sultan).

Kemelaratan ialah timbulnya kemiskinan dan kekurangan sandang dan pangan, harga keperluan sehari-hari tidak terbeli lagi, bertambah lama bertambah naik harganya sehingga ada orang yang mati kelaparan."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 146, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan janganlah kamu curangi hak-hak kepunyaan manusia, dan janganlah kamu merajalela di atas bumi membuat kerusakan," (ayat 183).

Dengan ini Nabi Syu'aib memberi ingat supaya baik gantang, liter, dan sukat atau timbangan dan katian jangan dicurangi, jangan merugikan hak orang lain.

Perbuatan yang demikian itu jangan diteruskan, jangan bersimaharajalela membuat kerusakan.

Sebab kalau sukat dengan gantang sudah tidak betul lagi, neraca dan katian telah curang, hubungan masyarakat mesti rusak.

Yang bernama ekonomi, atau iqtishad dan kemakmuran ialah apabila hubungan antar manusia berlaku dengan jujur.

Kecurangan hanya memberikan untung sementara, adapun kelanjutannya ialah kerusakan budi seluruh masyarakat.

Orang tidak percaya-mempercayai lagi sesamanya, maka jalan niaga akan macet, terhenti dan terbendung.

Inilah salah satu yang di zaman modern ini dinamai korupsi.

Padahal hubungan masyarakat tidak lain daripada ikatan janji.

Ketentuan ukuran gantang dan sukat, atau neraca dan timbangan tidak lain daripada hasil pemufakatan bersama.

Lalu Nabi Syu'aib menyatakan selanjutnya,

"Dan takwalah kepada Allah, Tuhan yang menjadikan kamu dan menjadikan umat-umat yang terdahulu." (ayat 184).

Untuk menghilangkan penyakit-penyakit kecurangan yang merusak masyarakat itu, tidak lain ialah dengan jalan takwa kepada Allah kembali.

Nafsu-nafsu keserakahan, tidaklah ada batasnya.

Batasnya ialah bila manusia mengingat kembali kepada Tuhannya.

Sebab Allah-lah yang menilik dan memerhatikan gerak-gerik dan langkah hidup.

Ingat kepada Allah, letakkan dalam hati, maka hati itu akan dikontrol terus oleh Allah.

Apatah lagi bukan saja Allah menjadikan kita, Dia pun menjadikan umat yang telah terdahulu.

Umat yang terdahulu dari penduduk Aikah, telah banyak yang binasa kena siksaan Allah, karena melanggar peraturan Allah.

Sunnatullah akan tetap berlaku.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 471-472, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERINGATAN YANG SANGAT PENTING BAGI KAUM MUSLIMIN

Andalusia adalah saksi yang hidup tentang tidak ada toleransi mereka itu kepada Islam,

Dan kaum Kristen di Syria (Syam), Mesir, dan Libanon saksi yang hidup pula dari toleransi Islam.

Tegasnya ayat yang tengah kita tafsirkan ini adalah peringatan yang sangat penting bagi kaum Muslimin.

Mereka wajib selalu takwa kepada Allah dan siap serta waspada.

Kalau mereka kehilangan apa arti kekeluargaan dan apa arti janji perlindungan.

Bahkan di negeri yang mayoritasnya adalah orang Islam, seperti di Indonesia ini, yang sejak beratus tahun hidup damai minoritas Kristen dengan mayoritas Islam, tidaklah hal itu diterima baik oleh pihak Kristen, bahkan dihamburkan uang berjuta-juta untuk mengkristenkan umat Islam itu. Berlomba segala negeri Kristen menyebarkan agama mereka dengan ratusan sektenya ke negeri-negeri orang Islam.

Orang Yahudi yang terpencar-pencar di seluruh dunia diberi kebebasan mendirikan negara di tengah-tengah Tanah Arab, Tanah Islam, dengan bantuan Amerika dan Rusia. Ketika terjadi perang juni 1967, sebagian besar tanah-tanah wilayah negeri-negeri Islam dicaplok oleh Yahudi. Baitul Maqdis diduduki, kemudian dibakar.

Orang Islam hanya sanggup mengadakan konferensi, berembuk, bermusyawarah, namun kekuatan tidak ada. Apabila bertambah lama, mereka akan bertambah ditindas. Bahkan dihancurkan dan dihapus dari seluruh muka bumi.

Mereka, bangsa-bangsa Barat yang berlatar-belakang Kristen itu, yang telah mewarisi kebencian dan dendam terhadap Islam, sejak Perang Salib, sangat kecewa karena negeri-negeri Islam satu demi satu terlepas dari penjajahan yang telah mereka tekankan sejak 300 tahun.

Oleh karena itu, mereka masih saja hendak meneruskan penjajahan itu dengan bentuk lain.

Di antaranya ialah dengan jalan memerangi pikiran tentang Islam, supaya kekuatan kaum Muslimin itu menjadi hilang, sebab aqidah yang akan mereka pertahankan itu tidak ada lagi dalam diri mereka.

Di dalam ayat dijelaskan:

"Mereka menyatakan suka kepada kamu, dengan mulut mereka, namun hati mereka enggan."

Itulah ungkapan yang tepat sekali.

Kata-kata politik dan diplomasi yang halus akan dikeluarkan untuk membujuk agar kaum Muslimin melepaskan pendiriannya.

Oleh sebab itu, susunan kata yang keluar diatur demikian rupa, supaya kaum Muslimin melepaskan keyakinan hidupnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 83-87, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ULAMA DAN KHALIFAH

Kedudukan orang seperti ini menjadi lebih penting di dalam pembangunan agama setelah diakui lagi oleh ayat 123 dari surah at-Taubah (surah 9), yaitu dengan tegas menyatakan bahwa tidak semua orang pergi ke medan perang, tetapi mesti ada yang memperdalam penyelidikannya tentang soal-soal agama (yatafaqqahu fid-dini).

Di sini, kita melihat lima keistimewaan dari golongan orang-orang.

1. Fakir-fakir yang telah terikat pada jalan Allah.

Jalan Allah (sabilillah) bukanlah mengangkat senjata di medan perang saja.

Memperhatikan soal-soal agama dengan mendalam, memelihara Al-Qur'an dan hadits Rasulullah saw. serta segala kelengkapan yang berhubungan dengannya yang kian lama kian berkembang, yang meminta tenaga yang penuh buat berjihad dan mempelajari, adalah satu cabang yang penting lagi dari jalan Allah.

Ayat ini dengan kelima tanda tadi menyuruh orang-orang yang beriman dan mampu untuk memperhatikan mereka.

Jangan sampai orang-orang itu telantar sebab kedudukan mereka amat penting.

Mereka adalah sendi bangunan masyarakat.

Bertambah kukuh rumah ialah karena teguh sendinya, tetapi sendi itu selalu tidak terlihat.

Inilah suatu hal yang amat mengharukan dalam sejarah agama Islam.

Banyak khalifah Islam berpegang kepada ayat ini.

Sebab itu, mereka sangat memikirkan kehidupan ulama-ulama.

Akan tetapi, banyak pula ulama itu, meskipun benar-benar terkena oleh ayat ini, mereka sangat mengelakkan perbantuan khalifah.

Kadang-kadang diakali oleh khalifah agar ulama itu sudi menerima jabatan, sebagaimana kejadian dengan Imam Malik bin Anas dan Imam Abu Hanifah, tetapi keduanya menolak jabatan penting karena takut hilang kebebasan mempertahankan kedaulatan ilmu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 546-547, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SYEIKH DAUD RASYIDI

Menurut keterangan Syeikh Daud Rasyidi sendiri, beliau adalah murid ayahku juga, baik seketika sama-sama belajar dengan Ahmad Khatib di Mekah, ataupun setelah pulang ke Minangkabau. Mulanya Syeikh Daud pergi belajar ke Tanjung Sungayang, kepada Syeikh Muhammad Thaib, kemudian pergi ke Maninjau, belajar dengan beliau.

Ayahku berkata:

"Sangat kasihan saya kepada beliau. Beliau ikhlas, jujur tetapi miskin. Pantangnya menadahkan tangan meminta pertolongan kepada orang lain untuk dirinya. Persamaan nasib kami menyebabkan sangat eratnya hubungan kami."

"Beliau", kata ayahku, ikhlas, jujur, dan miskin.

Tidak pandai mengarang seperti yang lain. Beliau orang kampung, dan tidak pandai berhubungan dengan orang besar-besar.

"Beliaulah sahabatku yang sejati, kerana aku pun miskin pula."

Lucu pula bila kedua-dua mereka ini bergaul. Kadang-kadang serupa "anak kucing", bergelut, bersilat!

Dengan Syeikh Jambek tentu tidak bisa begitu, sebab beliau lebih tua.

Dengan Dr. H. Abdullah Ahmad juga tidak, sebab beliau ini terlalu gemuk dan pengantuk! Syeikh Daud lebih muda.

Tidak berhenti-henti beliau menjalani seluruh Sumatera Barat menyuruh memperbaiki tempat beribadat.

Dan pantangnya pula meminta.

Kalau orang ada "otak" berilah beliau!

Kalau tidak ada fikiran, biarlah beliau pulang dan pergi menuntunkan agama kepada umat. Kadang-kadang saku-sakunya tidak berisi.

Inilah ulama yang betul-betul jarang tandingannya.

Tawaduk, soleh, sufi, dan miskin, tetapi sangat kaya jiwanya.

Dalam pergaulan ulama-ulama itu kita melihat hal-hal yang pada sekarang tidak kita lihat lagi.

Iaitu hormat kepada guru.

Beliau dikuburkan dekat sahabatnya Syeikh Jambek. Sehidup dan semati adanya.

(Buya HAMKA, Ayahku, 384, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

PEMBAGIAN TUGAS

"Dan tidaklah (boleh) orang-orang yang beriman itu turut semuanya." (pangkal ayat 122).

Seperti juga ayat-ayat 113 dan 120, disini sama bunyi pangkal ayat. Yaitu orang beriman sejati tidaklah semuanya turut bertempur berjihad dengan senjata ke medan perang.

"Tetapi alangkah baiknya keluar dari tiap-tiap golongan itu, di antara mereka, satu kelompok supaya mereka memperdalam pengertian tentang agama."

Maka dengan ayat ini, Allah pun menuntun hendaklah jihad itu dibagi kepada jihad bersenjata dan jihad memperdalam ilmu pengetahuan dan pengertian tentang agama.

Jika yang pergi ke medan perang itu bertarung nyawa dengan musuh, maka yang tinggal di garis belakang memperdalam pengertian (fiqih) tentang agama, sebab tidaklah pula kurang penting jihad yang mereka hadapi. Ilmu agama wajib diperdalam. Dan tidak semua orang akan sanggup mempelajari seluruh agama itu secara ilmiah.

Ada pahlawan di medan perang, dengan pedang di tangan dan ada pula pahlawan di garis belakang merenung kitab.

Keduanya penting dan keduanya isi-mengisi.

Tegasnya adalah bahwa semua golongan itu harus berjihad, turut berjuang. Tetapi Rasulullah saw. kelak membagi tugas mereka masing-masing.

Ada yang berjihad ke garis muka dan ada yang berjihad di garis belakang.

Sebab itu, kelompok kecil yang memperdalam pengetahuannya tentang agama itu adalah sebagian dari jihad juga.

Ujung ayat memberi lagi ketegasan kewajiban ahli itu, telah memberi ingat dan ancaman kepada kaumnya bila mereka pulang kepada kaum itu, supaya kaum itu berhati-hati.

Dengan adanya ujung ayat ini tampaklah tugas yang berat dari ulama dalam Islam.

Kita telah selalu memperdekat pengertian di antara bahasa Barat dan bahasa Arab yang terpakai dalam kalangan bangsa kita sekarang.

Orang mengatakan bahwa arti ulama itu sama dengan sarjana. Tentang arti memang sama; sarjana boleh diartikan dalam bahasa Arab sebagai ulama, dan ulama boleh diartikan ke bahasa Indonesia sebagai sarjana.

Meskipun artinya sama, pengertiannya berbeda. Dalam kata ulama terkandung sambungan kewajiban. Orang yang mempelajari ilmu agama dengan mendalam sehingga berhak diberi gelar ulama, sesudah mendapat tugas belajar secara mendalam, mendapat tugas lanjutan, yaitu memimpin kaumnya, sarjana belum tentu pemimpin.

Tetapi ulama berkewajiban memimpin.

Ajaran Islam itu mengutamakan akhlak bersamaan dengan ilmu.

Bagi seorang ulama islam, ilmu bukan semata-mata untuk diri sendiri, tetapi juga buat dipimpinkan.

Setelah diterangkan pembagian tugas itu, sehingga ilmu dan pengertian agama bertambah mendalam, datanglah lanjutan ayat,

"Wahai orang-orang yang beriman! Perangilah orang-orang yang sekeliling kamu dari kafir-kafir itu, dan hendaklah mereka dapati pada kamu ada kekerasan sikap." (pangkal ayat 123).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 318-322, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEBOHONGAN HIDUP

"Dan setengah dari manusia adalah yang menjual dirinya karena mengharapkan keridhaan Allah." (pangkal ayat 207).

Orang yang telah menjual diri kepada Allah adalah tandingan, bandingan, dan imbangan daripada orang yang mulut manisnya menakjubkan tadi, dan yang mudah saja menyebut nama Allah mengucapkan sumpah, padahal perkataannya tidak dapat ditebusnya dengan perbuatannya.

Orang yang telah menjual diri kepada Allah tidaklah banyak cakap manis mulut.

Menilik bunyi ayat ini dapatlah disimpulkan bahwa menjadi seorang Muslim yang artinya, menyerahkan diri sebulat-bulatnya, seluruhnya kepada Allah,

Belumlah berarti menjadi orang Islam kalau hidup hanya semata-mata cari makan yang halal, tekun shalat lima waktu, menjaga diri jangan berbuat dosa, dan tidak mengganggu orang lain, puasa taat di bulan Ramadhan. Islam yang egoistik, mementingkan diri sendiri, membaca wirid ini dan ayat itu, surah Yaasiin malam jum'at, ayat Kursi ketika hendak tidur, akan segera masuk surga.

Itu belumlah cukup.

Islam yang demikian tidaklah menimbulkan api. Akan tetapi, kewajiban seorang Muslim adalah lebih luas, manfaatnya lebih merata.

Seorang Muslim harus aktif!

Dia wajib berusaha membahagiakan diri dan membahagiakan orang lain.

Pelihara syari'at dan perjuangkan dia agar tegak.

Cari harta benda banyak-banyak dari yang halal lalu nafkahkan dia untuk membela kepentingan bersama dan menolak bahaya yang mengancam. Segenap kekayaan yang ada, baik kekayaan harta, keandalan lidah, maupun kepiawaian pena, harus dipergunakan untuk membahagiakan umat, mengembuskan napas yang hidup, bukan napas mati.

Menyeru kepada kebajikan, menentang kebatilan dan kezaliman walaupun untuk itu dia mati. Sebab, kadang-kadang menuntut keadilan itu meminta pengorbanan jiwa.

Di dalam Islam, orang-orang yang berpengetahuan yang disebut ulama, atau di dalam kata-kata modern, orang-orang tersebut disebut intelektual, mempunyai kewajiban amat berat membendung kezaliman itu dan memberikan peringatan serta nasihat kepada penguasa-penguasa yang zalim itu.

Tersebut di dalam sebuah hadits yang shahih,

"Agama itu ialah nasihat." Kami bertanya "Kepada siapa?" Jawabnya, "Yaitu nasihat kepada Allah dan kepada Rasul-Nya dan kepada imam-imam (penguasa-penguasa) kaum Muslimin dan kepada orang awamnya." (HR. Muslim).

Nasihat kepada Allah dan Rasul ialah berlaku jujur dan ikhlas di dalam mengerjakan yang disuruh dan menghentikan yang dilarang.

Nasihat kepada penguasa kaum Muslimin atau pemegang pemerintahan ialah menegur kesalahannya dengan jujur.

Dan, nasihat kepada orang awam ialah membimbing dan memimpin orang banyak kepada kesadaran akan hak dan kewajibannya.

Lantaran adanya hadits ini, ulama tidak boleh berdiam diri.

Bila dia berdiam diri, dia akan dituntut oleh Allah sebagai mengkhianati tugas sucinya.

Dia mesti menegur yang salah:

Dari Abu Said al-Khudri, dia berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda,

"Barangsiapa di antara kamu melihat yang mungkar hendaklah tegur dengan tangannya. Kalau dia tidak sanggup, hendaklah dengan lidahnya, kalau dia tidak sanggup, hendaklah ditegur dengan hatinya; dan itu (menegur hanya dengan hati) adalah yang selemah-lemah iman." (HR. Muslim).

Ulama yang bertanggung jawab tidaklah mau menjadi golongan yang selemah-lemahnya iman.

Sebab itu, ditegurnya juga dengan lidahnya, dengan penanya, dengan khutbahnya di hari jum'at, dengan fatwa-fatwa yang dikeluarkannya.

Disinilah selalu terjadi hal-hal yang menyedihkan sejak dahulu sampai sekarang apabila mulut dibungkam.

Allah menyapa "iman yang lemah" dan dipandang sebagai pengkhianat kepada tugas agama.

Dan, apabila teguran dan nasihat itu dikeluarkan, si penguasa atau diktator pula yang akan marah; dia pula yang akan menuduh pengkhianat.

Dituduh pengkhianat negara, dituduh subversi menjadi kaki tangan asing atau kontra-revolusioner.

Berpuluh bahkan beratus ulama telah menjadi korban sejak dahulu sampai kepada zaman kita sekarang ini karena berani mengangkat mulut mengatakan yang benar dan menegur yang salah.

Dirampas kemerdekaan adalah suatu hal yang pahit. Disimpan di belakang terali besi adalah satu penderitaan yang moga-moga jangan bertemu hendaknya.

Maka, selalulah terjadi peperangan di dalam hati, akan bicarakah atau akan diam.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 386-391, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SYURA SEBAGAI SENDI MASYARAKAT ISLAM

Secara de facto, masyarakat Muslimin Madinah telah tumbuh sebagai suatu kenyataan. Dan dengan sendirinya, Rasul utusan Allah telah menjadi kepala masyarakat itu, jadi panglima perang tertinggi.

Yang menjadi Undang-Undang Dasar adalah Wahyu Ilahi yang tidak boleh diganggu gugat, tetapi pelaksanaannya terserah kepada kebijaksanaan Rasul sebagai kepala dan pemimpin masyarakat.

Urusan telah beliau tegaskan pembagiannya, yaitu urusan agama dan urusan dunia.

Mana yang mengenai urusan agama, yaitu ibadah, syari'at, dan hukum dasar adalah dari Allah. Muhammad memimpin dan semua wajib tunduk.

Akan tetapi, urusan yang berkenaan dengan dunia, misalnya perang dan damai, menjalankan ekonomi, ternak, bertani, dan hubungan-hubungan biasa antara manusia (human relation), hendaklah dimusyawarahkan. Berdasar kepada pertimbangan maslahat (apa yang lebih baik untuk umum) dan mafsadat (apa yang membahayakan).

Sebelum perintah kepada Nabi supaya melakukan musyawarah ini, sebenarnya Nabi pun telah berkali-kali melaksanakannya sebagai kebijaksanaan sendiri dalam menghadapi soal bersama.

Ketika akan menghadapi Peperangan Badar, beliau ajak bermusyawarah terlebih dahulu orang Muhajirin. Setelah semuanya bulat semufakat, beliau ajak pula orang Anshar. Setelah keduanya bulat pendapat, barulah perang beliau teruskan.

Setelah sampai di medan perang, timbul musyawarah. Sahabat-sahabat beliau telah mengerti bahwa dalam urusan yang mengenai agama semata, hendaklah patuh mutlak.

Akan tetapi, dalam hal ini yang mereka ragu, apakah itu termasuk wahyu atau termasuk siasat perang semata-mata, mereka tanyakan kepada Rasul.

Demikianlah yang dilakukan oleh al-Habbab bin al-Mundzir bin al-Jumawwah ketika angkatan perang disuruh berhenti oleh Rasul di tempat yang jauh dari air.

Lalu dia bertanya, "Ya Rasulullah! Ketika tempat ini engkau pilih, apakah dia sebagai perintah dari Allah, sehingga kami tidak boleh mendahuluinya atau membelakanginya, atau ini hanya semata-mata pendapat sendiri dalam rangka peperangan dan siasat?"

Rasul menjawab, "Cuma pendapat sendiri dalam rangka berperang dan siasat."

Al-Habbab menyambut lagi, "Kalau demikian, ya Rasulullah, tempat ini tidaklah layak. Marilah perintahkan orang semua, kita pindah ke tempat yang berdekatan dengan air, sebelum musuh itu datang sehingga kitalah yang menentukan."

Rasulullah menjawab, "Usulmu itu sangat tepat."

Lalu, beliau perintahkan segera menguasai tempat itu sebelum musuh mendudukinya.

Inilah hasil musyawarah dan hasil iman serta percaya kepada Rasul; bertanya lebih dahulu adakah mereka berhak mencampuri komando beliau dalam saat seperti demikian.

Beliau pun menjawab pula dengan tegas dan jujur bahwa hal itu bukan wahyu, melainkan basil pertimbangan buah pikiran beliau sendiri yang kalau ternyata salah, boleh diganti dengan yang lain yang lebih baik.

Setelah habis Perang Badar dan terdapat 70 orang tawanan, beliau adakan pula terlebih dahulu musyawarah dengan yang patut-patut (Abu Bakar dan Umar) tentang sikap yang akan diambil terhadap orang-orang tawanan itu, dibebaskankah semuanya, atau dibunuh semuanya, atau diberi kesempatan menebus diri.

Kemudian, setelah akan menghadapi Perang Uhud, segeralah beliau panggil segenap pejuang berkumpul. Diajak bermusyawarah apakah musuh akan dinanti di dalam kota saja, atau akan dikeluari bersama dan bertempur di luar kota.

Beliau berpendapat dinanti saja dengan mempertahankan kota. Abdullah bin Ubay sependapat dengan beliau.

Akan tetapi, suara yang terbanyak ialah supaya keluar dan bertempur di luar kota.

Akhirnya suara terbanyak itulah yang ditetapkan dan beliau lekatkanlah pakaian perang beliau.

Setelah ada yang ingin meninjau kembali usul mereka dan bertahan di dalam kota saja menuruti pikiran Rasul, beliau marah dan keluarlah perkataan beliau yang terkenal bahwa pantang bagi seorang Nabi menanggalkan pakaian perangnya kembali apabila telah lekat sebelum diberi ketentuan oleh Allah. Atau musuh dapat dihancurkan atau beliau yang tewas.

Dan setelah selesai peperangan yang merugikan itu, sekali-kali tidak beliau menyatakan penyesalannya, bahwa jika pendapatnya yang dituruti niscaya tidak akan kalah.

Yang beliau sesali ialah yang ditegur Allah dalam ayat-ayat pada surah Aali 'Imraan ini, sedang sebabnya hanyalah karena ada yang tidak patuh kepada disiplin.

Dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini yang didahului pula oleh ayat 38 surah asy-Syuuraa,jelaslah bahwa syura atau musyawarah menjadi pokok dalam pembangunan masyarakat dan negara Islam.

Inilah dasar politik pemerintahan dan pimpinan negara, masyarakat dalam perang dan damai, ketika aman atau ketika terancam bahaya.

Rasulullah saw. tidaklah meninggalkan wasiat politik yang teperinci tentang teknik cara bagaimana menyusun syura itu.

Karena ilham Ilahi telah turun kepada beliau sewaktu beliau menggali parit pertahanan; (khandaq) untuk menangkis serangan sekutu (al-Ahzaab) ke atas kota Madinah, yaitu ketika sekali beliau memukulkan linggisnya ke batu, terpancarlah api, lalu beliau mengucapkan Allahu Akbar; sahabat-sahabat pun mengucap Allahu Akbar pula, demikian berturut-turut sampai tiga kali.

Lalu beliau menceritakan kepada mereka bahwa ketika pukulan linggis pertama, terbayanglah satu istana putih di Yaman. Pada pukulan kedua, terbayang Baitul Maqdis, dan pada pukulan ketiga terbayanglah dinding tembok kota Konstantinopel.

Semuanya tanda bahwa sepeninggal beliau agama dan umat ini akan mengaliri segenap pelosok dunia.

Maka, terserahlah bagaimana hendaknya teknik melancarkan syura itu menurut keadaan tempat dan keadaan zaman.

Tidaklah Rasulullah mengikat kita dengan satu cara yang sudah nyata tidak akan sesuai lagi dengan zaman yang selalu berkembang.

Dalam hal ini dapatlah dipakai ijtihad bagaimana caranya.

Bolehlah diadakan musyawarah bagaimana hendaknya bermusyawarah dan memungut suara serta mengambil keputusan yang di dalam bahasa sekarang, dengan prosedur sidang.

Untuk bahan pertimbangan dapatlah kita lihat bahwa Rasulullah saw. di dalam mengadakan syura itu memakai "menteri-menteri utama", yaitu Abu Bakar dan Umar dan menteri utama tingkat kedua, yaitu Utsman dan Ali.

Kemudian, ada "menteri" yang berenam, yaitu Sa'ad bin Abu Waqqash, Abu Ubaidah, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf, dan Said bin al-Ash, serta terdapat pula orang yang dianggap menteri ahli musyawarah dari kalangan Anshar, seperti Sa'ad bin Ubadah, Sa'ad bin Mu'az, Ka'ab bin Malik, dan sebagainya.

Apakah zaman sekarang ini kita akan mengadakan pemilihan umum dan Majelis Permusyawaratan Rakyat? Apakah kita akan mengadakan Dewan Perwakilan Rakyat? Apakah kita akan mengadakan Dewan Pertimbangan Agung? Apakah kita akan mengadakan Dewan Senat? Apakah sebagai pelaksana tetap (eksekutif) kita akan mengadakan Dewan Menteri atau Kabinet? Atau apakah semuanya itu akan kita rombak dan dicarikan nama yang baru?

Bukankah itu yang jadi soal; dan Al-Qur'an atau Hadits tidaklah mencampuri hal itu secara mendalam dan teperinci.

Yang penting ialah adanya pokok pegangan. Yaitu dalam masyarakat mesti selalu ada syura.

Masyarakat Islam, berdasarkan kepada yang tengah kita tafsirkan ini, didahului oleh ayat 38 surah asy-Syura itu telah menanamkan dasar (prinsip) bahwa bermasyarakat dan bernegara wajib bermusyawarah.

Demikian hendaknya sejak dari desa kecil, desa besar, kota ataupun negara, bahkan satu jamaah kecil pada satu lorong di tengah kota.

Sebab itu sangatlah jauh dari inti kehendak Islam suatu masyarakat yang hanya dipengaruhi oleh satu orang.

Satu lurah yang laksana dewa dalam desanya, atau gubernur yang laksana raksasa dalam daerahnya, atau satu kepala yang memerintah dengan kehendak sendiri, dikelilingi oleh penjilat-penjilat yang hanya mengiya-iyakan apa yang beliau kehendaki.

Oleh sebab itu, sebagian besar ahli tarikh Islam sejak zaman dahulu sampai sekarang menyalahkan Mu'awiyah yang membekukan syura Islam untuk kepentingan dirinya sendiri untuk mendirikan dinasti keturunan Umayyah.

Tabi'in yang besar, Hasan Bishri mengatakan bahwa susunan masyarakat Islam menjadi kucar-kacir dan hancur sejak Mu'awiyah mengambil alih kekuasaan dengan paksa.

Dan ini telah mereka mulai sejak hidupnya Utsman bin Affan dengan rapat-rapat mengelilingi beliau, sehingga jalan pikiran beliau yang telah mulai tua dipengaruhi oleh pemuda-pemuda Bani Umayyah, sehingga sampai pemberontakan dan beliau mati teraniaya.

Sesudah Bani Umayyah jatuh, naiklah Bani Abbas.

Oleh sebab pengaruh kebudayaan Iran, mulailah khalifah-khalifah dipandang sebagai lambang negara yang dikeramatkan; dan sejak dan abad ke abad mundurlah pokok syura Islam itu, sehingga ketika Madhat Pasya memperjuangkan agar negara Turki Osmani diberi Undang-Undang Dasar, dibentuk Majelis Syura (Parlemen) yang bertanggung jawab, maka dialah yang dituduh hendak mengubah-ubah agama.

Dibuanglah dia ke Thaif dan dikirimlah orang oleh Sultan Abdulhamid pergi membunuhnya ke tempat pembuangannya itu, sebab Abdulhamid memandang bahwa kalau dia masih hidup juga, pengaruhnya hendak mendirikan Parlemen Pilihan rakyat itu akan timbul juga kembali.

Akan tetapi, pada Tahun 1908 tirani dan absolut despotis Abdulhamid dimakzulkan orang juga dari singgasana sebab orang ingin pemerintahan yang berdasarkan syura.

Dapatlah kita catat sebagai suatu sejarah yang nyata bahwasanya pelopor yang mengajak kaum Muslimin kembali kepada syura itu ialah ulama besar Sayyid Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang terkenal Syekh Muhammad Abduh.

Untuk itu, kedua beliau telah banyak memberikan pengorbanan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 103-106, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IX. SULTAN MUHAMMAD AL-FATIH (PENAKLUK KONSTANTINOPEL)

Ketika baginda masuk ke gereja yang bersejarah itu didapatinya beberapa orang yang taat beragama sedang menengadah ke langit di bawah pimpinan pendetanya, mereka bersembahyang dengan sangat khusyu, memohon perlindungan dan biarlah meninggal dalam sembahyang. Kebetulan hari itu adalah hari sembahyang memperingati orang suci mereka, Santa Theodosie.

Baginda tertegun melihat orang yang sembahyang dengan khusyu dan penuh ketakutan, apalagi mereka melihat orang yang sangat ditakuti itu telah berdiri di hadapan mereka di gereja tempat mereka sembunyi.

Sementara itu, ketika baginda tertegun sebentar kedengaran oleh baginda suara orang menokok-nokok. Disuruhnya memeriksa karena perbuatan itu mengganggu orang sembahyang. Rupanya, seorang tentara Turki yang datang dari Anatoli sedang memukul sebuah tonggak marmar gereja.

"Apa maksudmu berbuat begitu?" tanya sultan.

Serdadu itu menjawab,

"Bukankah saya ini seorang Muslim? Bukankah semuanya ini berhala tempat kafir menyembah yang selain Allah?"

Pada saat itu baru kelihatan wajah sultan begitu murka.

Diambilnya penggada itu dari tangan serdadu yang bodoh itu, dan dihayunkannya ke kepalanya sambil berkata dengan marah,

"Tidak boleh merusak tempat beribadah."

Kalau sekiranya tepatlah palu itu mengenai kepalanya, niscaya matilah serdadu itu.

Sikap sultan yang demikian mengherankan bagi orang-orang Kristen yang sedang sembahyang. Kian lama mereka dengan tidak ragu-ragu mendekati sultan, dan yang bersembunyi keluar dari tempat persembunyiannya.

Demikian terharunya mereka karena amat berbeda dengan yang mereka perkirakan.

Di antara mereka yang langsung masuk Islam ada seorang pendeta yang kemudian lebih dikenal dengan nama Baba Muhammad.

Pada waktu itu dinyatakanlah dengan terus-terang bahwa gereja-gereja yang ada di Konstantinopel tetaplah menjadi gereja, kecuali beberapa buah yang akan dijadikan masjid. Gereja yang terutama ialah Aya Sophia. Pada waktu Ashar pada hari itu juga dishalati gereja itu secara Islam dan ditukar namanya menjadi Masjid Aya Sophia, sesudah dihindarkan segala tanda-tanda Kristen yang ada di dalamnya.

Dari sana Sultan meneruskan perjalanannya ke istana kaisar.

Sampai di dalam, terharulah sultan melihat istana yang dahulunya penuh kebesaran itu sekarang telah amat muram karena pengepungan sembilan bulan, dan lama sebelum itu Konstantinopel telah miskin juga sehingga banyak alat istana yang terjual.

Terloncatlah dari mulut baginda, ketika melihat istana itu, serangkum syair berbahasa Persia, "Lawa-lawa telah menyalin sarangnya dalam istana maharaja, dan burung hantu telah bernyanyi dengan lagu duka cita."

Kemudian, baginda menanyakan di mana kaisar dan bagaimana nasibnya, dan di mana pahlawan Justinianus yang gagah perkasa, di mana Kaisar Notaras. Hanya Notaras yang dapat datang. Ia yang menjadi Wali kota Konstantinopel ketika kota itu dikepung.

Ketika didengarnya berita bahwa Justinianus karena terluka lalu ia pergi bersembunyi dalam kapal, diutusnya utusan bersama tabibnya mencari pahlawan itu dan membawakan obat, serta diperintahkan memeliharanya sampai sembuh sebab sultan sangat kagum melihat keberaniannya.

Kemudian, datanglah seorang serdadu sultan, bangsa Servia.

Datang bergegas-gegas, dengan wajah yang sangat gembira, membawa satu kepala orang terus dipersembahkan ke hadapan sultan, sultan sangat terkejut melihat kepala yang telah tercerai dari badan itu sebab sultan mengenali itulah kepala kaisar.

Terpelik Notaras melihat kepala kaisarnya.

Serdadu itu menyangka bahwa ia akan mendapat pujian dari sultan karena perbuatannya itu.

Dengan muka yang penuh azam, sultan bertanya,

"Bertempurkah engkau dengan kaisar?"

"Tidak Tuanku! Ketika hamba berkeliling melihat-lihat mayat yang bergelimpangan, terlihat mayat orang ini. Di sekelilingnya ada beberapa orang meratap, menyebut "Kaisar! Kaisar!" Melihat itu, yakinlah hamba bahwa inilah mayat musuh kita. Kemudian, hamba memotong kepalanya dan hamba bawa kemari."

"Pengecut!" kata sultan dalam sangat murkanya.

Kemudian, disuruhnya untuk menangkap serdadu itu dan dihukum meninggal waktu itu juga dengan dipotong kepalanya.

...

Setelah selesai upacara, Petrick memohon diri hendak pulang. Sultan pun berdiri dari duduknya dan bersama orang-orang besarnya mengiringkan Petrick sampai ke pintu. Di halaman istana telah menunggu kuda kendaraan ia yang telah disediakan.

Sampai terloncat dari mulutnya perkataan yang sebenarnya harus dirahasiakannya karena sangat terharunya,

"Kaisar-kaisar kami sendiri tidaklah pernah melakukan begini kepada kami!"

Kemudian, keluarlah pernyataan yang resmi dari baginda bahwa Petrick aman dalam perlindungan sultan, dan kedudukannya disamakan dengan wazir-wazir (menteri) yang lain dalam kerajaan Utsmani yang bertugas mengurus rakyat sultan yang beragama Nasrani, baik dalam urusan sipil maupun dalam urusan agama.

Oleh sebab itu, Petrick Konstantinopel mempunyai dua tugas, yaitu memimpin golongannya sendiri, dan menjadi satu dari antara menteri-menteri kerajaan Utsmani yang sama haknya dengan menteri-menteri lain.

(Buya HAMKA, Sejarah Umat Islam, Hal. 436-439, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

PERKAWINAN CAMPURAN

Laki-laki Islam yang ada kesadaran beragama, jika kebetulan ada pertemuan nasib, boleh kawin dengan Ahlul Kitab, tetapi ulama-ulama dengan tegas menjelaskan, kalau agama si laki-laki itu hanya agama-agamaan saja, sedangkan perempuan lain agama yang akan dikawininya itu lebih kuat pula memegang agamanya, tidak usahlah perkawinan itu dilangsungkan.

Sebab, dialah yang akan hanyut, tukang pancing dilarikan ikan.

Perkawinan campuran karena perlainan agama itu, meskipun laki-laki Islam boleh kawin dengan perempuan lain agama, pada kenyataan zaman sekarang jaranglah yang membawa keuntungan bagi Islam.

Perkawinan campuran yang kita dapati di zaman sekarang hanyalah karena bebasnya pergaulan, memperturutkan rayuan cinta asmara.

Yang berakhir dengan kocar-kacirnya agama kedua belah pihak dan munculnya anak-anak mereka yang tidak menentu lagi agamanya.

Jangan dijadikan contoh perkawinan Pangeran Ali Khan dengan bintang film yang terkenal Rita Haywoth, yang bukan soal agama menjadi pokok, melainkah soal hawa nafsu muda.

Pangeran Ali tergiur kepada bintang film itu dan akhirnya cerai juga, sedangkan anak jadi Katolik.

Pada suatu hari di tahun 1957 dalam perlawatan penulis "Tafsir" ini ke Surabaya bertemu dengan seorang anak muda sekampung (Maninjau).

Dia menyampaikan salam dari mertuanya karena mertua itu sangat berminat kepada karangan saya Tasawuf Modern.

Dengan buku itu mertuanya mendapat bimbingan jadi orang Islam yang baik.

Lalu, diterangkannya bahwasanya pada masa hebatnya revolusi bersenjata di Yogyakarta pada tahun 1945 sampai 1947, telah bertemu jodohnya dengan seorang gadis jawa yang beragama Katolik dan ayah bundanya Katolik, demikian juga sekalian saudara-sudaranya.

Waktu dia akan kawin dengan anak perempuan itu, banyak teman-teman tidak setuju karena takut dia akan tertarik pula meninggalkan Islam.

Dan, setelah sampai berita ke kampung, dia telah dianggap hilang oleh keluarganya di Maninjau.

Namun, perkawinan diteruskannya juga.

Dalam rumah tangga, dia menjalankan sekalian kehidupan Islam, ibadah Islam dengan patuh.

Kalau istrinya hendak ke gereja, ditolongnya menemani.

Lantaran kelakuannya yang baik, dia disayangi oleh mertua.

Pergaulan bertambah lama bertambah akrab.

Dan, dia selalu membawa buku-buku Islam yang bermutu untuk bacaan istrinya.

Alhasil setelah saya bertemu dengannya di Surabaya tahun 1957 itu dia telah menyampaikan salam mertuanya karena buku Tasawuf Modern sebab kedua mertuanya telah masuk Islam dan saudara-saudara istrinya hampir semua telah jadi Islam.

Istrinya adalah seorang perempuan yang taat beragama Islam.

Dan, diterangkannya juga bahwa keluarga mertuanya telah dihubungkannya dengan keluarganya sendiri di Maninjau.

Telah terjadi pertalian ipar besan yang akrab.

"Cara apa yang engkau pakai buat menarik mereka?", demikian tanya saya, "Padahal orang Katolik sangat teguh disiplin agamanya?"

Dia jawab,

"Pertama sekali benar-benar saya perlihatkan kehidupan cara Islam. Saya cintai istri dan saya tolong, kadang-kadang turut masuk ke dapur. Saya hormati mertua sebenar-benarnya hormat dan saya bersikap baik kepada sekalian saudaranya. Dan, satu keuntungan lagi ialah sebab mertua saya yang laki-laki orang yang suka membaca. Selama ini, dia belum mengenal buku-buku Islam yang bermutu. Sengaja saya sediakan buku-buku itu. Dan, saya jawab dengan hormat kalau beliau bertanya. Akhirnya timbullah herannya dan kagumnya setelah mengetahui peraturan-peraturan Islam dan pikiran-pikiran Islam. Adapun istri saya hanya tiga bulan yang pertama dia masih memegang agamanya Katolik dan sebelum pergaulan kami sampai enam bulan, ketika dia saya ajak masuk Islam dengan lemah lembut, dia pun mau dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Akan tetapi, saya tidak memadakan hingga itu saja. Saya bawa dia mempelajari agama kepada Aisyiyah di Yogyakarta dan Surabaya ini. Ketika mertua saya hendak menukar agamanya, terharu saya mendengar perkataan beliau. Beliau berkata, 'Sebenarnya nenek moyang saya Islam. Ayah saya pun masih Islam. Akan tetapi, karena Islam kami hanya keturunan, tidak mendapat penerangan yang betul, saya jadi Katolik Dengan pertolonganmu, wahai anakku, ayah kembali kepada agama nenek moyang!'"

Ketika berjumpa tahun 1957 itu anaknya sudah tiga orang.

Lalu, saya tanya, "Di mana kalian kawin?"

Dia jawab, "Kami berdamai. Mula-mula kawin di gereja, setelah itu kami pergi ke penghulu, kawin secara Islam."

Lalu, saya jawab, "Rupanya engkau punya rencana dalam perkawinan ini."

Dengan senyum dia menjawab, "Menjalankan rencana Tuhan!"

Perkawinan campuran begini tentu terpuji dalam Islam.

Di samping pemuda asal Maninjau ini, berpuluh bahkan beratus pemudi Islam lepas dari Islam, menjadi murtad, sebagai korban dari pergaulan bebas.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 426-427, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Sesungguhnya orang-orang yang munafik itu, adalah di tingkat yang paling bawah dari neraka." (pangkal ayat 145).

Bahwa meskipun munafik dan kafir sama-sama masuk neraka,

Namun tempat munafik adalah di alas yang di bawah sekali.

Sebab karena dipandang lebih hina.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 498-500, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KECUALI ORANG-ORANG YANG TELAH TOBAT

"Kecuali orang-orang yang telah tobat." (pangkal ayat 146).

Tobat, artinya kembali ke jalan yang benar.

"Sesat surut, terlangkah kembali."

Ini menghendaki kekuatan ruhani yang besar.

Melepaskan diri dari kebiasaan yang buruk, terutama kebiasaan munafik adalah berat.

Tetapi kalau berhasil, adalah kemenangan yang besar pula.

Berpegang teguh kepada Allah ialah dengan mengerjakan yang disuruh, menghentikan yang ditegah, menurut bimbingan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.

"Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang beriman."

Inilah empat syarat yang harus dipenuhi buat membersihkan diri dari hidup munafik:

Yaitu tobat, memperbaiki, berpegang teguh kepada Allah, dan mengikhlaskan agama karena Allah.

Keempat syarat itu adalah obat penyakit jiwa.

Obat munafik dan obat kekafiran juga.

Karena jiwa mereka sudah berubah oleh karena iman.

Maka apa yang dijanjikan Allah kepada orang yang beriman, mereka pun pasti akan menerimanya pula.

Yaitu ganjaran besar, karena iman telah dituruti dengan amal.

Maka sepadanlah janji Allah dengan usaha mereka memperbaiki diri, berpegang dengan tali dan tauhid yang ikhlas.

Tak usah ragu lagi!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 491-500, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

YANG MENOLONG ALLAH, ALLAH MENOLONGNYA

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolong kamu dan akan meneguhkan perlangkahan kamu." (QS. Muhammad: 7).

Maksud perkataan menolong Allah di sini, bukanlah karena Allah itu lemah.

Melainkan untuk memberikan kepada manusia kepercayaan kepada diri sendiri, agar manusia jangan berpangku tangan.

Dia mesti beramal bukan menunggu.

Berjuang bukan berpeluk tangan.

Yakin dan bukan ragu-ragu.

Pertolongan dari Allah akan datang kepada orang yang memperjuangkan agama Allah.

Dan agama Allah itu bukanlah semata-mata shalat, puasa, dan zakat.

Setiap orang Islam yang mempelajari agamanya dengan saksama dan teliti akan tahu bahwa Islam itu bukan semata-mata ibadah, tetapi mengandung juga akan ajaran ekonomi, politik, sosial, dan kenegaraan.

bukanlah berarti bahwa Islam itu hanya semata-mata mendoa-doa saja, berbondong-bondong pergi naik haji tiap-tiap tahun,

padahal jiwa mati dan pergaulan yang begitu luas tidak mempunyai jiwa kritis untuk menyelidiki siapa kita dan apa nilai ajaran yang kita anut.

Untuk itu kita bersedia membunuh dan bersedia terbunuh.

Maka dalam kedua hal-ihwal itu, baik ketika berperang lalu mati sebagai korban dari perjuangan atau karena membela keyakinan dan menolong Allah, menjadi syarat utamalah bahwa segalanya dikerjakan karena Allah.

Tidak ada artinya hidup ini kalau kalimat Allah dan suara Allah dan kehendak Allah hendak dipandang orang enteng saja atau hendak dipermain-mainkan orang saja.

Maka kalau ada percobaan manusia hendak menukar peraturan Allah dengan peraturan manusia, atau "mempeti-eskan" peraturan Allah lalu menggantinya dengan peraturan manusia, yang sangat berjauhan dengan kehendak Allah, wajiblah kita membela Allah, menolong Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 330-333, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an itu untuk peringatan. Maka adakah orang-orang yang ingat?" (QS. Al-Qamar: 17).

Dalam ayat ini dijelaskan bahwasanya Al-Qur'an, kitab suci yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia ini mudahlah buat diingat, dan mudah buat dibaca, asal saja orang mau.

Sedang bagi bangsa yang bukan Arab, yang lidahnya bukan lidah Arab, lagi mudah membaca Al-Qur'an itu, sehingga setelah Rasulullah saw. wafat di zaman tabi'in, yaitu di zaman sesudah Nabi dan sesudah sahabat-sahabat beliau, berlombalah ulama-ulama bukan Arab mengaji Al-Qur'an, memperdalam penyelidikan tentang Al-Qur'an, mengutip ilmu dan hikmah daripada ayat-ayat Al-Qur'an, sehingga berkembang biaklah ilmu ini ke seluruh dunia.

Timbullah ilmu tafsir, ilmu tasawuf, ilmu balaghah dan falsafah, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu manthiq dan ma'ani dan berbagai ilmu yang lain, yang semuanya itu bersumber daripada Al-Qur'an.

Meriwayatkan ad-Dhahhak, yang diterimanya dari Ibnu Abbas, bahwa beliau ini menafsirkan tentang kemudahan Al-Qur'an itu,

"Kalau bukanlah Allah yang memudahkan bacaan itu bagi lidah anak Adam, tidaklah seorang jua pun yang sanggup akan bercakap dengan percakapan Allah yang Dia sampaikan kepada hamba-Nya."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 580-581, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HARUN AL-RASYID DENGAN FUDHAIL BIN AYYADH

Ingatlah wahai Amirul Mukminin, suatu kejadian yang belum lama lampau, iaitu Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz seketika dia mula mula memegang pangkat menjadi khalifah, dipanggilnya Salim bin Abdullah, Muhammad bin Ka'ab, dan Rajaa' bin Haiwah.

Baginda berkata kepada mereka,

"Sekarang saya telah ditimpa bala, iaitu memangku jawatan sebagai khalifah, itulah sebabnya kalian ini saya panggil hendak minta mesyuarat dengan kamu."

Fikirlah Amirul Mukminin, dahulu Umar bin Abdul Aziz memandang khalifah itu sebagai suatu bala bencana, dan tuan sekarang memandangnya sebagai suatu nikmat pemberian, begitupun memandang orang-orang yang di bawah pemerintahan tuan.

Ketika itu hai Amirul Mukminin, Salim bin Abdullah memberi bicara kepada Umar bin Abdul Aziz demikian bunyinya,

"Jika sekiranya engkau hendak lepas kelak dari azab Allah, puasalah daripada dunia, berbukalah ketika mati."

Muhammad bin Kaab berkata,

"Jika engkau hendak lepas kelak daripada azab Allah Taala, pandanglah kaum Muslimin yang lebih tua daripada engkau sebagai ayah, yang sama umur sebagai saudara, dan yang kecil sebagai anak. Hormatilah ayahmu, dan sayangilah saudaramu, dan kasihi anak anakmu."

Berkatalah pula Raja bin Haiwah,

"Jika engkau hendak lepas kelak dari azab Allah Taala, sayanglah kaum Muslimin, sebagai mengasihi dirimu sendiri, bencilah atas mereka barang yang engkau benci atas dirimu. Kalau semuanya itu sudah engkau jalankan, nantilah bila engkau suka. Saya katakan perkataan ini, sedang hati saya sendiri sangat takut memikir-mikirkan bagaimana besarnya perkara yang engkau hadapi."

"Wahai, Amirul Mukminin," kata Fudhail pula.

"Adakah orang yang berani menerangkan ini kepada tuan, sebagaimana mereka berani menerangkannya kepada Umar bin Abdul Aziz?"

Mendengar itu Harun Al-Rasyid tidak dapat menahan air mata lagi, dia menangis tersedu-sedu, sehingga ia hampir pengsan, lemah sekujur badannya.

Berkata Fadhal bin Rabi',

"Wahai Fudhail, kasihanilah Amirul Mukminin, janganlah terlalu banyak kata-katamu yang mendukakan hatinya."

"Wahai anak si Rabi'," katanya, "Yang sebenarnya membunuh Amirul Mukminin bukan saya, tetapi engkau dengan teman-temanmu. Adapun saya sendiri dengan perkataan-perkataan ini adalah menunjukkan cinta yang suci kepadanya."

Baginda Harun Al-Rasyid pun sedarlah lalu berkata pula,

"Tambah lagi wahai Fudhail, tambah!"

"Ya Amirul Mukminin," ujarnya pula.

Telah sampai kepadaku berita, bahawa pada suatu hari wakil baginda Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz di sebuah wilayah mengadukan kepada beliau bahawa dia mengerjakan pekerjaan terlalu banyak, sehingga tidak tidur pada waktu malam, maka berkirim suratlah baginda kepadanya, demikian bunyinya:

"Wahai saudaraku. Ingatlah olehmu bagaimana payahnya penduduk neraka, tidak pernah tidur dalam neraka, sedang badannya tidak mahu mati, kalau engkau telah ingat yang demikian itu, engkau akan tahu kelak bahawa akan kembali juga engkau kepada Tuhanmu, baik pada waktu engkau sedar, atau pada waktu engkau tertidur sekalipun. Jangan engkau kecewa dalam perjalanan ini, supaya pengharapan jangan sampai terputus daripada engkau?"

Setelah sampai kepada Amir itu surat baginda, ditinggalkannya gedung dan kota tempatnya memerintah, lalu dia pergi kepada Saidina Umar bin Abdul Aziz. Baginda tercengang melihat kedatangannya, baginda bertanya,

"Apakah sebab engkau datang ke mari?"

Dia menjawab,

"Terbongkar hati hamba membaca surat paduka rasanya, sejak hari ini hamba tidak mahu lagi memegang negeri, memikirkan beban yang terpikul di atas pundak hamba dan berat pula tanggungan di muka Tuhan. Biarlah hamba tidak bersinggung dengan pekerjaan negeri, sampai datang kelak hamba menemui Allah Ta'ala."

Mendengar itu bertambahlah remuk perasaan baginda Harun Al-Rasyid, sehingga air matanya bertambah lebat keluar.

Lalu dia berkata:

"Tambah sedikit lagi Fudhail!"

...

(Buya HAMKA, LEMBAGA HIKMAT, 58, PTS Publishing House Malaysia, 2016).

MENYERAHKAN AMANAH

"Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu supaya menunaikan amanah kepada ahlinya." (pangkal ayat 58).

Sekarang terlepas daripada sebab turunnya ayat, kita ambillah tujuan yang umum dari lafazh ayat dan kita hentikan membicarakan sebab yang khusus dari turunnya ayat itu.

Berkata Muhammad bin Ka'ab dan Zaid bin Aslam dan Syahr bin Hausyab,

"Ayat ini diturunkan untuk amir-amir, yaitu pemegang pemegang kekuasaan di antara manusia."

Berkata lbnu Abbas,

"Ayat ini umum maksudnya, untuk orang yang memerintah dengan baik atau yang sewenang-wenang."

Dari ayat ini Imam Malik mengambil kesimpulan hukum bahwasanya jika ada seorang musafir yang negerinya telah diperangi, datang melindungkan diri ke negeri Islam dan menitipkan hartanya, lalu dia mati hilang di tempat lain, wajiblah harta bendanya itu dikirimkan kepada warisnya.

Memang, ayat inilah ajaran Islam yang wajib dipegang oleh penguasa-penguasa, memberikan amanah hendaklah kepada ahlinya.

Orang yang akan diberi tanggung jawab dalam suatu tugas, hendaklah yang sanggup dan bisa dipercaya memegang tugas itu.

Berkata Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya as-Siasatusy Syar'iyah,

"Maka wajiblah atas penguasa menyerahkan suatu tugas dari tugas-tugas kaum Muslimin kepada orang yang cakap untuk melaksanakan pekerjaan itu. Sebab Nabi Muhammad saw. telah bersabda,

"Barangsiapa memegang kuasa dari sesuatu urusan kaum Muslimin, lalu dia berikan satu jabatan kepada seseorang, padahal dia tahu bahwa ada lagi orang yang lebih cakap untuk kaum Muslimin daripada orang yang diangkatnya itu, maka berkhianatlah dia kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum Muslimin." (HR al-Hakim dalam Shahih-nya).

Berkata Umar bin Khaththab,

"Barangsiapa yang memegang kuasa kaum Muslimin, lalu diangkatnya orang karena pilih kasih atau karena hubungan keluarga, khianatlah dia kepada Allah dan Rasul dan kaum Muslimin."

Sebab itu hendaklah diselidiki siapa yang cakap untuk memegang suatu kuasa yang akan jadi wakil di kota-kota, sejak dari Amir sampai kepada pejabat yang diberi kuasa atau pemegang dan penjaga hukum (qadhi-qadhi).

Demikian pula panglima-panglima ketentaraan dan perwira-perwira tinggi, menengah, dan rendah, dan pemegang-pemegang kuasa kekayaan negara, menteri-menteri, pejabat di jawatan, pemungut bea cukai, dan lain-lain yang berkenaan dengan harta benda kaum Muslimin.

Semuanya itu hendaklah diangkat menurut kecakapan dan kejujuran, mengingat amanah tadi.

Dan tiap-tiap yang telah diangkat itu pun jika mengangkat bawahannya hendaklah memilih mana yang lebih cakap dan jujur pula.

Bahkan sampai-sampai kepada jabatan menjadi imam shalat lima waktu, tukang adzan, tukang baca Al-Qur'an, sampai kepada guru-guru sampai kepada amiril haj (pemimpin rombongan haji), pembawa surat-surat pos, bendaharawan-bendaharawan, atase-atase militer besar dan kecil, pemimpin-pemimpin kabilah dan tua pasar, hendaklah angkat yang cakap.

Hendaklah tiap-tiap urusan kaum Muslimin itu, sejak dari amir-amir dan lain-lain menempatkan orang bawahannya itu di tempatnya yang betul, pilih mana yang dapat melaksanakan tugas dengan baik.

Jangan seseorang diberi pekerjaan karena permintaannya sendiri atau terdahulu memintanya.

Bahkan itulah yang harus dijadikan sebab buat tidak mengangkatnya.

Karena tersebut di dalam satu hadits.

Bahwa suatu kaum datang kepada Rasulullah saw. meminta suatu jabatan, lalu beliau tolak permintaan itu dengan sabda beliau,

"Kami tidak berikan kekuasaan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya." (HR. Bukhari).

Demikianlah kita kutipkan pembahasan Ibnu Taimiyah terhadap ayat-ayat amanah terkenal ini.

Di dalam ayat ini telah dijelaskan bahwasanya Allah telah memerintahkan kamu.

Dengan kata memerintahkan itu teranglah bahwa mengatur pemerintahan yang baik dan memilih orang yang cakap adalah kewajiban, yang dalam ketentuan hukum Ushul Fiqh dijelaskan, berpahala barangsiapa yang mengerjakannya dan berdosa barangsiapa yang menganggapnya enteng saja.

Dari sini juga dapat dipahamkan bahwa bagi seorang Muslim memegang urusan kenegaraan artinya ialah memegang amanah.

Dan urusan bernegara adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agama.

Tidaklah dapat seorang Muslim berlagak masa bodoh dalam soal kenegaraan.

Di ayat ini diperintahkan kepada kamu meletakkan amanah kepada ahlinya.

Kamu adalah orang banyak atau umat. Maka umat itulah yang membentuk pimpinan.

Semata-mata "orang baik" belum tentu ahli dalam amanah yang diserahkan kepadanya, kalau amanah itu tidak cocok dengan bakatnya.

Rasulullah saw. pernah memesankan kepada Abu Dzar al-Ghifari supaya dia sekali-kali jangan menginginkan diberi jabatan dalam pemerintahan.

Abu Dzar demikian baik, masyhur jujurnya, dan sederhana hidupnya, tetapi bukan dia orang yang dapat diberi amanah pemerintahan.

Sebab itu, ada beberapa hadits Nabi memberi ingat bahwa orang yang meminta suatu pangkat, janganlah diberikan kepadanya pangkat itu.

Abdullah bin Umar masyhur salehnya beribadah.

Shalat beliau diakui oleh sahabat-sahabat serupa benar dengan shalat Rasulullah.

Tetapi ketika Amiril Mukminin Umar bin Khaththab sudah luka karena ditikam si pengkhianat, ketika beliau menanam suatu komisi yang diketahui oleh Abdurrahman bin Auf buat mencari khalifah pengganti beliau.

Abdullah bin Umar yang saleh hanya diizinkan oleh ayahnya buat menjadi pendengar saja kalau komisi bersidang.

Ada orang mengusulkan kepada Umar agar anaknya dicalonkan pula untuk ganti beliau.

Beliau menolak sekeras-kerasnya sebab dalam pandangan beliau, meskipun Abdullah bin Umar saleh beribadah, belum tentu dia akan sanggup memegang amanah pemerintahan.

Bahkan beliau panggil Abdullah dan beliau beri nasihat supaya selama hidupnya dia jangan menuntut amanah yang tidak bisa dipikulnya itu.

Abdullah bin Umar pun tahu diri sehingga bertahun-tahun kemudian setelah terjadi perang saudara di antara Ali dengan Mu'awiyah, karena Mu'awiyah ingin merebut hak itu, dia tidak campur kepada salah satu pihak.

Lantaran ini dalam pandangan hidup seorang Muslim menerima jabatan yang bukan keahlian adalah pengkhianatan.

Dirawikan oleh Bukhari dalam Shahihnya, dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda,

"Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah saatnya." Ditanya orang, "Bagaimana sia-sianya, ya Rasulullah?" Beliau jawab, "Apabila suatu urusan telah diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancurannya)." (HR. Bukhari).

Dengan dasar semuanya ini menjadi tanggung jawablah bagi imam kaum Muslimin meletakkan suatu amanah pada ahlinya, yang sesuai dengan kesanggupan dan bakatnya.

Jangan mementingkan keluarga atau golongan, sedang dia ternyata tidak ahli.

Sebab itu adalah khianat kepada Allah dan Rasul dan orang yang beriman.

Dan orang jangan berani menerima satu amanah kalau merasa diri tidak ahli.

Tetapi sebaliknya pula, kalau memang pendapat umum mengetahui dan hati sanubarinya pun insaf bahwa dia dipikuli amanah itu memang karena keahliannya, hendaklah diterimanya, jangan mengelak.

Sebab kalau dia mengelak, dia pun terjerat oleh kalimat kamu dalam ayat tadi.

Kamu yang wajib melakukan perintah menjalankan amanah.

Setelah itu, masuklah kita ke lapangan yang luas.

Pada hakikatnya orang ada diberi Allah bakat dan keahlian dan ada pula amanah yang mesti dipikulnya.

Seorang tukang adalah pemegang amanah.

Seorang petani adalah pemegang amanah.

Buruh, ulama, guru, ibu bapak, suami istri, dan sekalian kegiatan hidup, yang satu melengkapkan yang lain.

Maka tunaikanlah amanah sebaik-baiknya.

Menyia-nyiakan amanah adalah khianat.

Mengkhianati amanah adalah salah satu tanda orang munafik.

Menerima satu amanah untuk mengkhianatinya adalah satu penipuan.

Kata-kata amanah satu rumpun dengan kalimat aman.

Kalau tiap orang memegang amanahnya dengan betul akan amanlah negeri dan bangsa.

Dan kalimat amanah bersaudara pula dengan iman.

Iman adalah kepercayaan dan amanah ialah bagaimana melancarkan iman itu.

Dan simpulan amanah ialah amanah Allah kepada insan agar menuruti kebenaran yang dibawa oleh rasul-rasul.

Amanah itu telah pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung.

Namun semuanya berat memikulnya dan menolak dengan segala kerendahan.

Maka, tampillah kita insan ini ke muka menyanggupi memikul amanah itu, sayangnya manusia selalu berbuat aniaya dan tidak berterima kasih. (Lihat surah al-Ahzaab ayat 72).

KESIMPULAN

Dua ayat 58 dan 59 dari surah an-Nisaa' adalah dasar yang dipimpinkan oleh Allah dengan wahyu sebagai pokok pertama di dalam mendirikan sesuatu kekuasaan atau sesuatu pemerintahan.

Yang pertama ialah menyerahkan amanah kepada ahlinya.

Tegasnya, hendaklah seluruh pelaksana pemerintahan, seluruh aparat pemerintah diberikan kepada orang yang bisa memegang amanah, orang yang ahli.

Hak yang pertama ialah pada rakyat atau dalam istilah agama, pada umat.

Pilihan pertama ialah pucuk pimpinan negara, atau sultan, atau khalifah, atau presiden.

Angkatan orang banyak yang pertama ialah dengan baiat.

Orang banyak berjanji pula akan tetap memegang amanah.

Setelah dia terpilih, dia pun diberi kewajiban oleh Allah menyerahkan atau menunaikan amanah kepada ahlinya pula.

Tidak pandang pilih kasih anak atau keluarga.

Setelah itu hendaklah dia menegakkan keadilan.

Kalau menghukum di antara manusia hendaklah menghukum dengan adil.

Apakah ada pemisahan di antara pelaksanaan pemerintahan dengan kehakiman? Atau Trias Politika?

Ini tidak dibicarakan oleh Al-Qur'an.

Ini adalah menilik perkembangan masyarakat itu sendiri.

Tetapi Sayyidina Umar bin Khaththab dalam masa pemerintahannya telah mengangkat hakim terpisah dari kekuasaan beliau.

Itulah Qadhi Syuraih yang terkenal.

Qadhi Syuraih betul-betul terkenal keadilannya menjalankan hukum.

Sunnah yang ditinggalkan Umar dituruti oleh khalifah-khalifah yang jujur di belakang beliau.

Sumber hukum ialah Al-Qur'an. Kemudian ialah Sunnah Rasul.

Kalau tidak bertemu dalam Sunnah Rasul, dipakailah ijtihad.

Tetapi ijtihad itu harus di dalam lingkaran Al-Qur'an dan as-Sunnah tadi juga.

Di sinilah timbulnya apa yang disebut ijma dan Qiyas.

Setelah menerangkan dasar-dasar ini, datanglah perintah taat.

Tempat taat yang pertama ialah Allah, kedua ialah Rasul, ketiga ialah ulil amri atau penguasa.

Penguasa itu hendaklah minkum daripada kamu.

Dia berkuasa karena kamu percayai (amanah) dan dia berkuasa karena kamu pilih.

Dia dari kalangan kamu sendiri.

Tadi sudah diterangkan bahwa dasar mereka memerintah ialah perintah Allah dan Sunnah Rasul.

Kalau tidak bertemu nash yang sharih, bolehlah ulil amri memakai ijtihadnya.

Tetapi di ayat 59 ditegaskan bahwa kalau terjadi perselisihan, hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasul jua.

Hal yang demikian terjadi kalau ijtihad ulil amri tidak sesuai dengan pendapat umum atau dirasa jauh dari pangkalan.

Hal ini tentu dimusyawarahkan bersama.

Karena ulil amri yang datang minkum, sama-sama Islam tidak mungkin akan dengan sengaja membuat keputusan yang membawa selisih.

Apabila telah dipulangkan kepada firman Allah dan Sunnah Rasul, perselisihan itu akan hilang dengan sendirinya.

Sebab musyawarah adalah pokok prinsip yang tidak boleh ditinggalkan sama sekali.

Di dalam surah yang memakai nama musyawarah sampai pun kepada suatu pemerintahan ialah "orang-orang yang patuh akan panggilan Allah, mendirikan Shalat dan segala urusan mereka musyawaratkan di antara mereka, dan mereka pun suka mengorbankan harta benda untuk kebajikan." (Surah asy-Syura ayat 28).

Pendeknya tidak akan terjadi selisih yang akan membawa pecah belah, asal tidak ada yang menyeleweng dari tujuan bersama.

Dan kalau ternyata ada yang sengaja menyeleweng, bughat-lah namanya, dan sudah boleh diperangi. (Surah al-Hujuraat, ayat 9).

Untuk menjaga jangan sampai ditimpa marabahaya yang berlarut-larut karena berlainan pendirian, akan bertemu kelak pada surah an-Nisaa' ini juga, yang tidak menyetujui cita Islam itu buat menjadi pemimpinnya sehingga orang beriman tersingkir.

Kalau itu kejadian, kemurkaan Allah akan menimpa.

Setelah ulil amri terpilih, dengan sendirinya dia mempunyai hak buat ditaati.

Tetapi dia sendiri pun mempunyai kewajiban.

Sebab, setiap hak ada imbangannya dengan kewajiban.

Supaya dia ditaati dia mesti menjalankan sepanjang Al-Qur'an dan as-Sunnah dan ijtihad yang tidak terlepas dari dalam rangka Al-Qur'an dan as-Sunnah.

Menulis ar-Razi dalam tafsirnya,

Ali bin Abi Thalib berkata, "Menjadi kewajiban bagi imam supaya menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dan menunaikan amanah. Dan apabila imam telah berbuat demikian, menjadi kewajiban pulalah atas rakyat supaya mendengarkan dan mematuhi."

Az-Zamakhsyari di dalam aI-Kasysyaaf-nya menulis,

Ulil amri minkum ialah amir-amir yang menjalankan kebenaran. Adapun amir-amir yang berlaku zalim, Allah dan Rasul-Nya tidak ada sangkut-paut dengan orang semacam itu. Tidaklah Allah dan Rasul-Nya mewajibkan taat kepada mereka. Ulil amri yang diwajibkan menaatinya di samping menaati Allah dan Rasul ialah yang perbuatannya sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul, yang mementingkan keadilan dan kebenaran.

Sebagai suatu contoh ketegasan taat kepada ulil amri ialah sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad daripada Ali bin Abi Thalib.

Dia berkata, "Pada suatu waktu Rasulullah saw. mengirim suatu sariyah (angkatan perang yang bukan beliau sendiri memimpinnya) dan diangkatnya menjadi amirnya seorang dari Anshar. Rasulullah memerintahkan supaya semua tentara menaatinya. Setelah berangkat menuju tempat yang dituju, di tengah jalan amir itu tiba-tiba marah karena ada suatu kesalahan yang diperbuat anak buahnya. Dia pun berkata, "Bukankah Rasulullah sudah memerintahkan kepada kamu supaya taat kepadaku?" Semua menjawab, "Benar! Kami mesti taat kepada engkau!" Maka Amir itu berkata pula, "Sekarang aku perintahkan supaya kamu semua mengumpulkan kayu api lalu kamu nyalakan apinya, kemudian itu kamu sekalian harus masuk ke dalam api nyala itu!" Perintah itu mereka lakukan, kayu api mereka kumpulkan dan api mereka nyalakan. Tatkala mereka akan melakukan perintah yang ketiga itu, yaitu supaya kamu menyerbu ke dalam api nyala itu, berpandang-pandanganlah satu sama lain, lalu ada yang berani membuka mulut, "Selama ini kita taat kepada perintah Rasulullah saw. ialah karena kita hendak lari dari api. Mengapa sekarang kita akan menyerbu api?"

Sedang dalam keadaan demikian, api nyala itu berangsur padam dan kemarahan Amir itu pun berangsur turun.

Setelah mereka kembali ke Madinah, peristiwa ini mereka sampaikan kepada Nabi saw.

Bersabdalah beliau, "Kalau kamu sekalian jadi masuk ke dalam api nyala itu, kamu tidak akan keluar-keluar lagi dari dalamnya, terus masuk neraka. Sebab kamu diperintah taat hanyalah kepada yang ma'ruf. Yaitu perintah yang benar."

Dan suatu jawaban yang jitu tentang taat ini ialah jawab dari seorang tabi'in kepada seorang Amir dari Bani Umayyah.

Amir itu berkata, "Bukankah kamu sudah diperintah Allah supaya taat kepada kami di dalam ayat ulil amri minkum itu?"

Tabi'in itu menjawab pertanyaan Amir itu dengan pertanyaan pula,

"Bukankah engkau sendiri yang telah mencabut ketaatan itu dari kami, dengan sebab engkau telah menyeleweng dari kebenaran? Bukankah lanjutan ayat itu ialah, "Jika kamu telah bertikai dalam satu hal hendaklah kembalikan dia kepada Allah dan Rasul, jika memang kamu beriman kepada Allah."

Berkata ath-Thaibi, ketika menyebut taat kepada Rasul, taat itu diulang sekali lagi,

"Dan taatlah kamu kepada Rasul."

Pengulangan kalimat taat itu adalah isyarat ketaatan kepada Rasul dan adalah wajib di samping ketaatan kepada Allah.

Tetapi setelah menyebut ulil amri, kalimat taat tidak diulang lagi.

Ini adalah isyarat pula yang menunjukkan bahwa ada di antara ulil amri yang tidak boleh ditaati.

Inilah beberapa catatan yang perlu diperhatikan di dalam meneliti ayat yang penting bagi pembangunan masyarakat dan negara ini.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 331-348, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian. Dan barangsiapa yang menjadikan mereka pemimpin di antara kamu, maka sesungguhnya dia itu telah tergolong dari mereka. Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (QS. Al-Maa'idah: 51).

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin." (pangkal ayat 51).

Disini jelas dalam kata seruan pertama, bahwa bagi orang yang beriman sudah ada satu konsekuensi sendiri karena imannya. Kalau dia mengaku beriman pemimpin atau menyerahkan pimpinannya kepada Yahudi atau Nasrani, atau menyerahkan kepada mereka rahasia yang tidak patut mereka ketahui, sebab dengan demikian bukanlah penyelesaian yang akan didapat, melainkan bertambah kusut.

Maka hal yang penting menjadi perhatian kita disini ialah bahwa disebutkan nama golongan mereka, yaitu Yahudi dan Nasrani.

Tidak disebutkan nama kehormatan lain yang kita pakai untuk mereka, yaitu Ahlul Kitab.

Ahli-ahli tafsir yang mendalami balaaghah kata Al-Qur'an mengatakan bahwa disini memang tidak pantas disebut, "Janganlah kamu ambil Ahlul Kitab jadi pemimpin," sebab di dalam kitab-kitab yang mereka terima itu pada pokoknya tidak ada ajaran yang memusuhi tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Dan kalau diri dilepaskan dari ta'ashub (fanatik) golongan, kitab-kitab yang terdahulu itu tidaklah berlawanan dengan Al-Qur'an.

Tetapi setelah mereka itu menonjolkan golongan, dengan menamai diri Yahudi dan Nasrani, maka Islam (Penyerahan diri kepada Allah Yang Maha Esa) sudah ditinggalkan, dan dipertahankan golongan, dan pendirian yang mereka pilih telah salah.

Kemudian terus Allah melanjutkan firman-Nya,

"Sebagian mereka adalah pemimpin-pemimpin dari yang sebagian."

Maksud ayat ini dalam dan jauh.

Artinya jika pun orang Yahudi dan Nasrani itu yang kamu hubungi atau kamu angkat menjadi pemimpinmu, meskipun beberapa orang saja, ingatlah kamu bahwa sebagian yang berdekat dengan kamu itu akan menghubungi kawannya yang lain, yang tidak kelihatan menonjol ke muka. Sehingga yang mereka kerjakan di atas itu pada hakikatnya ialah tidak turut dengan kamu.

Kadang-kadang lebih dahsyat lagi dari itu.

Dalam kepercayaan sangatlah bertentangan di antara Yahudi dengan Nasrani; Yahudi menuduh Maryam berzina dan Isa al-Masih anak Tuhan, dan juga Allah sendiri yang menjelma jadi insan.

Sejak masa Isa al-Masih hidup, orang Yahudi memusuhi Nasrani, dan kalau Nasrani telah kuat kedudukannya, mereka pun membalaskan permusuhan itu pula dengan kejam sebagaimana selalu tersebut dalam riwayat lama dan riwayat zaman baru.

Tetapi apabila mereka hendak menghadapi Islam, yang keduanya sangat membencinya, maka yang setengah mereka akan memimpin setengah yang lain.

Artinya di dalam menghadapi Islam, mereka tidak keberatan bekerja sama.

Dalam gelanggang internasional pun begitu pula. Pada Tahun 1964 Paus Paulus VI, sebagai Kepala Tertinggi dari Gereja Katolik mengeluarkan ampunan umum bagi agama Yahudi.

Mereka dibebaskan dari dosa yang selama ini dituduhkan kepada mereka, yaitu karena usaha merekalah Nabi Isa al-Masih ditangkap oleh Penguasa Romawi dan diserahkan kepada orang Yahudi, lalu disalib (menurut kepercayaan mereka).

Sekarang setelah 20 Abad Yahudi dikutuk, Yahudi dihina di mana-mana dalam dunia Kristen, tiba-tiba Paus memberi mereka ampun.

Ampun apakah ini, sehingga pegangan kepercayaan 2.000 Tahun dapat diubah demikian saja?

Tidak lain, adalah Ampunan Politik.

Tenaga Yahudi yang kaya-raya dengan uang harus bersatu-padu dengan Kristen di dalam menghadapi bahaya Islam.

Kemudian, 1967, negeri-negeri Arab diserang Yahudi dalam masa empat hari dan Jerusalem (Baitul Maqdis) dirampas dari tangan kaum Muslimin, padahal telah 14 Abad mereka punyai.

Dan tiba-tiba datanglah gagasan dari Gereja Katolik agar kekuasaan atas Tanah Suci kaum Muslimin, wilayah turun-temurun selama 1.300 Tahun lebih dari bangsa Arab supaya diserahkan kepada satu Badan Internasional.

Tegasnya, kepada PBB sedang yang berkuasa penuh dalam PBB itu adalah negara-negara Kristen. (Perancis Katolik, Amerika Protestan, Inggris Anglicant), dan Rusia (Komunis).

Mungkin di zaman Rasulullah sendiri yang demikian belum tampak, sebab di kota Madinah hanya masyarakat Yahudi yang terbesar di antara kedua agama itu, dan masyarakat Nasrani ada di Syam (Utara) dan Najran-Yaman (Selatan).

Tetapi keajaiban Al-Qur'an kita rasakan kian terang setelah kita perhatikan jalan sejarah.

Yaitu dalam perkembangan selanjutnya, kedua agama yang sangat bermusuhan itu dapat bersatu-padu di dalam menghadapi dan memusuhi Islam.

Sampai berdiri negara Israel di tanah orang Islam dengan bantuan bangsa-bangsa pemeluk Kristen lebih dekat kepada Islam, sebab Islam membantah keras kepercayaan Yahudi bahwa Nabi Isa anak di luar nikah, dan memang lahir dengan Maha Kekuasaan Allah dari seorang anak dara yang suci.

Sedangkan Islam membantah keras kalau Nabi Isa itu dikatakan Tuhan. Islam mereka musuhi karena tidak mengakui Isa itu Allah, dan Yahudi mereka rangkul jadi teman, meskipun mereka mengatakan Isa anak zina!

Sambungan ayat,

"Dan barangsiapa yang menjadikan mereka itu pemimpin di antara kamu maka sesungguhnya dia itu telah termasuk golongan dari mereka."

Barangsiapa yang mengangkat pemeluk agama lain itu jadi pemimpin tidaklah berarti bahwa mereka mengalih agama.

Agama Islam kadang-kadang masih mereka kerjakan, tetapi hakikat Islam telah hilang dari jiwa mereka.

Saking tertariknya dan tergadainya jiwa mereka kepada bangsa yang memimpinnya tidaklah mereka keberatan lagi menjual agama dan bangsanya dengan harga murah.

Orang seperti ini banyak terdapat dalam sejarah.

Negerinya hancur, agamanya terdesak dan buat itu dia diberi balas jasa, yaitu bintang!

Maka tepatlah apa yang dikatakan oleh Sahabat Rasulullah saw., yaitu mereka telah jadi Yahudi, dan disini telah jadi Nasrani, padahal mereka tidak sadar.

"Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi petunjuk kepada kaum yang zalim." (ujung ayat 51).

Maka orang yang telah mengambil Yahudi atau Nasrani menjadi pemimpinnya itu nyatalah sudah zalim. Sudah aniaya. Sebagaimana kita maklum kata-kata zalim itu berasal dari zhulm, artinya gelap.

Mereka telah memilih jalan hidup yang gelap, sehingga terang dicabut Allah dari dalam jiwa mereka.

Mereka telah memilih musuh kepercayaan, meskipun bukan musuh pribadi.

Padahal di dalam surah al-Baqarah ayat 120 telah diperingatkan Allah bahwa Yahudi dan Nasrani tidak akan ridha, selama-lamanya tidaklah mereka ridha sebelum umat Islam menuruti jalan agama mereka.

Mereka itu bisa senang pada lahir, kaya dalam benda, tetapi umat mereka jadi melarat karena kezaliman mereka.

Lantaran itu selamanya tidak akan terjadi kedamaian. Sebab umat Islam yang memegang teguh tauhid, selama-lamanya akan menyimpan dendam dalam hati, sampai mereka mendapat kemerdekaan kembali.

Dan orang yang jiwanya dipimpin oleh Yahudi dan Nasrani itu akan tetap menjadi kudis dan borok di hadapan mata mereka.

Di ayat ini ditegaskan bahwa yang dilarang ialah mengambil mereka jadi pemimpin.

Tetapi pergaulan manusia di antara manusia, yang sadar akan diri tidaklah terlarang.

Seumpama sekarang ini, negeri-negeri umat Islam telah merdeka. Kita akan berhubungan dalam soal-soal ekonomi, kita tidak akan mengisolasi diri. Bahkan di dalam surah Al-Hujuraat ayat 13, dengan tegas Allah berfirman,

"Wahai manusia! Sesungguhnya telah Kami ciptakan kamu itu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan telah Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kamu kenal-mengenal. Sesungguhnya kaum yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling takwa kepada-Nya. Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Tahu, dan Maha Mengerti." (Al-Hujuraat: 13).

Demikian juga tidak ada larangan berbaik-baik dengan tetangga yang memeluk agama lain.

Rasulullah saw. memberikan contoh pula dalam hal ini. Beliau pernah menggadaikan Perisainya kepada tetangganya yang Yahudi buat pembeli gandum. Beliau pernah menyembelih Kambing untuk makanan sendiri, lalu khadamnya disuruhnya segera menghantarkan sebagian daging kambing itu ke rumah tetangganya Yahudi itu.

"Maka akan engkau lihat orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, berlomba-lombalah mereka kepada mereka." (pangkal ayat 52).

Inilah kalimat yang sangat tepat.

Bahwasanya yang mau menjadikan Yahudi dan Nasrani menjadi pimpinan, tidak lain daripada orang yang di dalam hatinya telah ada penyakit.

Penyakit, terutama yang pertama ialah munafik.

Yang kedua ialah agamanya itu hanya sekadar nama sebutan belaka, sebab kebetulan mereka keturunan orang Islam.

Bagi mereka sama saja, apakah pimpinan itu Islam atau Yahudi atau Nasrani, asal ada jaminan hidup.

Bahkan sampai kepada zaman kita telah merdeka sekarang ini, masih belum sembuh benar penyakit itu.

"Atas apa yang mereka simpan-simpan dalam hati mereka, menjadi orang-orang yang menyesal." (ujung ayat 52).

Orang yang lantaran di dalam jiwa telah ada penyakit, oleh karena kelemahannya dan pendirian yang tiada tetap, di waktu melihat musuh masih kuat, tidak merasa yakin akan kemenangan Islam; sebab itu mereka menyeberang ke pihak sana.

Kemudian ternyatalah bahwa Islam itu lebih kuat dari apa yang mereka sangka bermula.

Lantaran itu menyesallah mereka, hidup sudah serba-salah dan langkah sudah telanjur.

"Dan berkata orang-orang yang beriman." (pangkal ayat 53).

Kepada sesamanya orang yang beriman pula;

"Orang-orang inikah yang telah bersumpah dengan nama Allah dengan kesungguhan sumpah mereka, bahwa mereka adalah bersama kamu?"

Bertanya orang Mukmin kepada sesamanya Mukmin, inikah orangnya yang tempo hari telah bersumpah mati-matian, bahwa mereka sungguh-sungguh beriman pula, sudi sehidup-semati mempertahankan iman dengan saudaranya Mukmin yang lain, tetapi sekarang karena kelemahan hati, mereka tidak tahan, lalu berpihak atau mengambil Yahudi atau Nasrani jadi pimpinan.

Orang-orang seperti inilah, yang terdapat di segala zaman, menjadi orang yang terombang-ambing karena dalam jiwa ada penyakit.

Dari sebab iman yang tidak tahan, lalu berpihak atau mengambil Yahudi atau Nasrani jadi pimpinan.

Orang-orang seperti inilah, yang terdapat di segala zaman, menjadi orang yang tidak tahan uji.

Ditinggalkannya barisan iman karena dia belum yakin akan kekuatannya. Malahan kadang-kadang mereka turut menghalangi perkembangan Islam.

Orang beginilah yang mempermudah sumpah dahulu?

Sungguh sikap mereka mendatangkan heran dalam hati orang yang beriman sehingga menjadi buah pertanyaan di antara sesama Mukmin.

"Telah gugurlah amal-amal mereka, maka jadilah mereka orang-orang yang merugi." (ujung ayat 53).

Amal yang mereka usahakan selama ini sudah gugur, sudah percuma, tidak ada artinya lagi.

Karena di saat yang penting mereka meninggalkan pimpinan Rasul dan mengambil pimpinan Yahudi dan Nasrani.

Peringatan ini dibayangkan di zaman Rasulullah, namun dia akan menjadi peringatan terus-menerus, selama Islam masih ada di dunia ini dan masih akan terus berjuang menegakkan iman dan tauhid.

Kekalahan negeri-negeri Islam di zaman penjajahan dahulu, adalah karena bocornya pertahanan jiwa dari sebab orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit.

"Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi pemimpin, maka sesungguhnya Partai Allah, mereka itulah yang akan menang." (QS. Al-Maa'idah: 56).

Menanglah mereka, pasti menang!

Menang dalam kejayaan dunia seluruhnya, bukan hanya meliputi satu daerah, tegaklah keadilan di seluruh alam.

Dan inilah cita-cita! Alangkah gelapnya hidup yang tidak mempunyai cita-cita!

Partai Allah itulah yang akan menang akhir kelaknya. Menang di dalam diri pribadi menghadapi perdayaan setan iblis, hawa nafsu.

Menang di dalam menegakkan kebenaran dan menolak kekufuran; menang di dalam menuju dunia yang lebih baik, dan kemenangan terakhir ialah menang mendapatkan surga yang kekal di hari kemudian.

Ayat ini menjadi peringatan keraslah bagi kita kaum Muslimin yang mengaku dirinya pejuang yang menegakkan cita-cita Islam dalam tanah air kita Indonesia ini, atau dimana-mana saja pun dalam dunia Islam.

Tadi di atas diterangkan bahwa orang yang beriman tidaklah akan mengambil Yahudi atau Nasrani jadi pemimpinnya.

Di ayat yang sekarang ini dijelaskan lagi, bahwa yang memimpin umat Islam itu ialah Allah, sesudah itu Rasul, sebab Rasul menjalankan perintah Allah. Sesudah itu orang yang beriman,

Sebab orang Mukmin itu selalu berusaha menjalankan bimbingan Allah dan Rasul.

Pahamkanlah ujung ayat ini baik-baik.

Yaitu Partai yang akan menang ialah yang menjadikan Allah, dan Rasul, dan orang-orang yang beriman jadi pemimpinnya.

Mafhum Mukhalafah, yaitu sebaliknya dari ayat ini, satu partai umat Islam yang bukan Allah dan Rasul pemimpinnya, dan bukan pemimpin yang Mukmin pemimpinnya, tidaklah akan menang, malahan akan kalah.

Hizbullah, atau Partai Allah, mereka itulah yang pasti menang!

Hendaklah dipahamkan benar-benar apa maksud ayat ini.

Sebab yang dimaksud ialah menang kebenaran dan menang keadilan. Bukan menang karena mendapat kedudukan yang empuk.

Sebab dalam kenyataan, banyak sekali orang yang mengkhianati Allah dan Rasul dan mengkhianati amanah, mereka itu mendapat kemenangan. Tercapai kehendaknya, terpenuhi hawa nafsunya. Terutama dalam berjuang merebut kekuasaan, orang-orang yang menjual pendirian, itulah yang menang.

Dan orang-orang yang jujur, berjuang karena Allah; mengenyampingkan kepentingan diri sendiri dan kepentingan golongan, berjuang menegakkan cita-cita, mendapat berbagai cobaan dan rintangan,

Sampai banyak pemimpin yang benar-benar menegakkan iman, hidupnya melarat, teraniaya, terbuang, dibunuh, dan dihinakan.

Kalau pandangan kita atas hidup hanya ditujukan kepada kebendaan, memang yang menang ialah pengambil muka dan oportunis, yang sudi menjual iman dan agama dengan harta yang sedikit.

Tidak kenal malu dan tidak memerhatikan nilai-nilai budi.

Tetapi kalau pandangan kita dipusatkan kepada pimpinan yang benar, dan salahnya yang salah, maka yang bertahan kepada pimpinan Allah dan Rasul dan orang-orang yang beriman itulah yang menang. Mereka tetap menang menghadapi segala perdayaan dan bujuk-cumbu dunia, walaupun untuk itu mereka menderita.

Kita lihat sajalah sejarah Imam-Imam dan Pemuka-Pemuka Islam pada pendirian, yang tidak takut kepada celaan orang yang mencela, hinaan orang yang menghina.

Mereka tidak duduk di atas tahta dan tidak bersemayam di dalam istana.

Mereka kadang-kadang hanya duduk di dalam pondok yang reot, tetapi mereka berkuasa dan disegani.

Kehidupan orang semacam itu dipandang sebagai kehidupan yang ideal. Semua orang yang berakal budi ingin hendak hidup sebagaimana demikian, tetapi mereka tidak sanggup melakukannya dan menurutinya. Itu saja pun sudah bukti dari kemenangan.

Oleh sebab itu, maka orang-seorang atau golongan atau partai yang hendak memperjuangkan Islam, sekali-kali janganlah menukar jalan pikirannya dengan jalan pikiran yang bukan Islam.

Pemimpinnya yang pertama ialah Allah, kedua Sunnah Rasulullah, dan ketiga ialah memilih pemimpin yang benar-benar beriman.

Wahum raki'un.

Ujung ayat ini memberi petunjuk supaya pemimpin itu saleh dan taat kepada Allah.

Tidak cukup hanya semata shalat yang kita artikan sembahyang.

Sebab shalat itu bisa juga diartikan berdoa. Bahkan disini ditekankan, hendaklah dia ruku', hendaklah dia shalat menurut contoh Nabi Muhammad dengan lengkap syarat dan rukunnya, ruku' dan sujudnya.

Sebab dengan mengerjakan ibadah shalat itu si pemimpin akan bertambah dekat dengan Allah, dan bertambah datang kepadanya ilham dari Allah, sehingga segala sepak terjang pimpinannya tidak lepas daripada tuntunan Allah dan Sunnah Rasul.

Demikianlah konsekuensinya kalau Islam yang hendak diperjuangkan.

Kalau tidak demikian, nama Islam dipakai, tetapi suruhan Allah tidak dikerjakan, maka yang menang hanyalah diri sendiri untuk kepentingan pribadi, dan Islam itu sendiri akan tetap ditindas oleh kezaliman manusia.

Dan orang-orang yang mendabik dada mengatakan memperjuangkan Islam itu hanya akan diambil oleh golongan tidak beragama buat penambal-nambal yang robek, untuk mengelabui mata umat Islam awam yang taat dan setia dalam agamanya.

Di dalam pemerintahan Islam, penguasa Islam dibolehkan memberikan kepercayaan kepada pemeluk agama lain untuk memegang satu jabatan, sebab pimpinan tertinggi adalah di tangan Islam. Sebab itu tidaklah ada kekhawatiran. Tetapi kalau timbul khawatir tidaklah boleh.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 703-730, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Janganlah mengambil orang-orang yang Mukminin orang-orang yang kafir jadi pemimpin lebih dari orang-orang yang beriman. Dan, barangsiapa yang berbuat demikian itu maka tidaklah ada dari Allah sesuatu jua pun. Kecuali bahwa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas. Dan, Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diri-Nya. Dan, kepada Allah-lah tujuan kamu." (Aali 'Imraan: 28).

Disini terdapat perkataan aulia.

Dahulu pun pernah kita uraikan arti kata wali.

Dan, berarti pemimpin atau pengurus atau teman karib, ataupun sahabat ataupun pelindung.

Di surah al-Baqarah ayat 256 kita telah diberikan pegangan bahwasanya wali yang sejati, artinya pemimpin, pelindung, dan pengurus orang yang beriman hanya Allah.

Di ayat itu Allah memberikan jaminannya sebagai wali bahwa orang yang beriman akan dikeluarkan dari gelap kepada terang.

Dan, di dalam ayat itu juga diterangkan bahwa wali orang yang kafir adalah thaghut dan thaghut itu akan mengeluarkan mereka dari terang kepada gelap.

Kemudian di dalam ayat yang lain kita telah bertemu pula dengan keterangan bahwasanya orang beriman sesama beriman yang sebagian menjadi wali dari yang lain, sokong-menyokong, bantu-membantu, sehingga arti wali di sini ialah persahabatan.

Maka, di dalam ayat yang tengah kita bicarakan ini, diberikanlah peringatan kepada orang yang beriman agar mereka jangan mengambil orang kafir menjadi wali.

Jangan orang yang tidak percaya kepada Allah dijadikan pemimpin atau wali sebagai sahabat.

Karena akibatnya kelak akan terasa, karena akan dibawanya ke dalam suasana thaghut.

Kalau dia pemimpin atau pengurus, sebab dia kufur, kamu akan dibawanya menyembah thaghut.

Kalau mereka kamu jadikan sahabat, kamu akan diajaknya kepada jalan sesat, menyuruh berbuat jahat, mencegah berbuat baik.

kalah-menang di antara golongan yang berhadapan.

"Dan barangsiapa yang berbuat demikian itu maka tidaklah ada dari Allah sesuatu jua pun."

Tegasnya, dengan sebab mengambil wali kepada kafir, baik pimpinan atau persahabatan, niscaya lepaslah dari perwalian Allah, putus dari pimpinan Allah maka celakalah yang akan mengancam.

"Kecuali bahwa kamu berawas diri dari mereka itu sebenar awas."

Beratus-ratus tahun lamanya negeri-negeri Islam banyak yang dijajah oleh pemerintahan yang bukan Islam karena terpaksa, karena tergagah, karena senjata untuk melawan dan kekuatan untuk bertahan tidak ada lagi.

Maka, tetaplah larangan pertama, yaitu tidak menukar wali dari Allah kepada mereka.

Kalau ini tidak dapat dinyatakan keluar, hendaklah disimpan terus di dalam hati dan hendaklah selalu awas sebenar-benar awas, supaya dengan segala daya upaya bahaya mereka itu untuk membelokkan dari Allah kepada thaghut dapat ditangkis.

Pendeknya, sampai kepada saat terakhir wajib melawan walaupun dalam hati.

TAQIYAH

Bersikap lunak-lembut kepada musuh, yang merupakan satu ketundukan dan menyerah, karena itu lebih kuat, itulah yang dinamai sikap taqiyah.

Kepala selalu terangguk-angguk merupakan setuju, padahal hati bukan setuju.

Mulut senantiasa tersenyum, musuh yang kafir itu menyangka bahwa Si Mukmin telah tunduk, padahal bukan tunduk.

Orang yang tidak memahami ajaran Islam menyamakan saja sikap begini dengan munafik.

Padahal munafik ialah bermulut manis, bersikap lembut, dan tersenyum-senyum di dalam menyembunyikan pendirian yang salah, yang kufur.

Sebagai orang munafik mengakui di hadapan Rasulullah saw. bahwa mereka telah percaya bahwa beliau memang utusan Allah, padahal hati mereka tidak mengaku.

Walaupun yang mereka katakan benar, kalau kata yang benar itu tidak dari hati, mereka tetap berdusta. Itulah orang yang munafik.

Akan tetapi, kalau kita yakin bahwa kita di pihak yang benar, dalam lindungan hukum-hukum Allah dan Rasul, sedangkan musuh kuat, sehingga kita tidak kuat bertindak menentang musuh Allah itu, kalau kita menunjukkan muka manis dan mengangguk-angguk, bukanlah munafik namanya, melainkan taqiyah.

Dalam satu seminar di Jakarta dalam bulan September 1966, seorang sahabat menyatakan pendapat bahwa sikap taqiyah yang menjadi pegangan sangat teguh dari kaum Syi'ah adalah menunjukkan sikap yang lemah.

Lalu Penafsir ini membantah, "Memang kaum Syi'ah mempunyai ajaran taqiyah, tetapi ini bukanlah alamat kelemahan!"

Terlepas dari pendirian Penafsir sendiri yang bukan Syi'ah, melainkan penganut Madzhab Sunni, Penafsir kagum akan ajaran taqiyah kaum Syi'ah itu.

Sebab, bagi mereka, taqiyah bukan kelemahan, melainkan satu siasat yang berencana.

Oleh sebab itu, Madzhab Syi'ah-lah satu madzhab politik yang banyak sekali mempunyai rencana-rencana rahasia, yang baru diketahui oleh musuh-musuhnya setelah musuh itu menghadapi kenyataan.

Kerajaan-kerajaan Syi'ah yang berdiri di mana-mana, baik di Asia maupun Afrika, di zaman-zaman khalifah-khalifah Baghdad, kebanyakan pada mulanya adalah gerakan yang dirahasiakan.

Berdirinya gerakan Bani Abbas menentang Bani Umaiyah, mulanya ialah gerakan rahasia yang timbul di Khurasan.

Kerajaan Bani Idris di Afrika, Kerajaan Fathimiyah di Mesir yang dahulu bernama Ubaidiyah di Qairouan mulanya adalah gerakan rahasia.

Gerakan Hasan Shabah yang terkenal dengan nama "Hasysyasyin" (Assasin) adalah mulanya gerakan sangat rahasia.

Oleh sebab itu, kalau kaum Syi'ah memakai pendirian taqiyah, bukanlah kelemahan, melainkan siasat yang berencana.

Oleh sebab itu, kalau ada orang Islam yang menyerah kepada kekuasaan kafir, sampai kerja sama atau membantu kafir, padahal tidak ada rencana hendak terus menumbangkan kerajaan kafir itu, bukanlah itu taqiyah, tetapi menggadaikan diri sendiri kepada musuh.

"Dan Allah memperingatkan kamu benar-benar akan diri-Nya."

Di sambungan ayat ini Allah Ta'aala memberi peringatan dengan keras bahwa di dalam urusan ini, khusus dalam taqiyah, janganlah dipandang enteng.

Jangan sampai sikap taqiyah itu dijadikan tempat lari untuk melepaskan diri dari tanggung jawab menghadapi lawan.

Hendaklah awas dan jangan sekali-kali lupa bahwa diri Allah Ta'aala senantiasa ada, senantiasa mengawasi, dan menilik sepak terjang yang kamu lakukan.

Karena, kalau taqiyah itu akan membawa agama Allah jadi lemah, bukanlah dia taqiyah lagi, melainkan beralih menjadi sikap pengecut.

Itu sebabnya, ujung ayat lebih menjelaskan pula bahwa baik di waktu kamu sedang kuat lalu menolak kerja sama dengan musuh yang akan melemahkan agamamu atau sedang lemah sehingga terpaksa kamu mengambil sikap taqiyah, tetapi ingatlah,

"Dan kepada Allah-lah tujuan kamu." (ujung ayat 28).

Untuk kelengkapan penafsiran ini hendaklah kita tilik lagi ayat 8 dan ayat 9 dari surah 60 (al-Mumtahanah). Surah ini pun diturunkan di Madinah. Di ayat 8 ditegaskan bahwa terhadap kafir yang tidak memerangi kamu dan tidak mengusirmu dari kampung halaman kamu, tidaklah mengapa jika hidup berdampingan dengan damai (an-tabarruhum) dan berhubungan secara adil (watuq-sithu ilaihim), memberi dan menerima, duduk sama rendah, tegak sama tinggi.

Lalu di ayat 9 ditegaskan lagi bahwa jika musuh itu memerangi kamu dalam hal agama dan mengusir kamu dari kampung halaman kamu dan dengan terang-terang pula pengusiran itu, tidaklah kamu boleh bersahabat atau berhubungan dengan mereka.

Niscaya kita dapat berpikir lebih lanjut tentang isi sekalian ayat ini, baik ayat-ayat yang tegas melarang dan memerintahkan supaya selalu awas maupun ayat yang membolehkan berhubungan dengan mereka karena taqiyah atau karena kuat.

Kalau kita kuat tentu tidak berhalangan kalau kita berhubungan dan berdamai dengan kafir, membuat perjanjian-perjanjian dagang, utang-piutang, dan sebagainya, terutama hidup bernegara di zaman modern, tidaklah ada satu negeri yang dapat memencilkan diri dari negeri lain.

Sudahlah selayaknya jika wakil-wakil dari negeri dan negara Islam duduk bersama bermusyawarah memperkatakan soal-soal internasional dengan wakil-wakil negara-negara lain.

Adapun sikap awas dan waspada, sikap tidak lupa kepada diri Allah, niscaya tidak boleh dilepaskan, baik di waktu lemah maupun di waktu kuat.

"Katakanlah, 'Jika kamu sembunyikan apa yang ada dalam dada kamu ataupun kamu tampakkannya, tetapi Allah mengetahuinya juga.' Dan Dia pun mengetahui apa yang ada di semua langit dan apa yang di bumi." (pangkal ayat 29).

Ayat ini adalah pengikat jiwa yang halus sekali bagi orang-orang yang beriman.

Dia adalah sebagai sambungan dari Allah yang memperingatkan tentang diri-Nya tadi.

Mereka pada pokoknya dilarang keras lebih mementingkan pimpinan orang kafir dan mengangkat mereka jadi wali sehingga melebihkan pandangan kepada mereka daripada memandang sesama Mukmin.

Cuma di saat yang terpaksa dan menilai keadaan, baru boleh melakukan taqiyah.

Di ayat ini diperingatkan bahwa Allah mengetahui apa yang kamu sembunyikan dalam dada dan mana yang kamu tampakkan dan nyatakan.

Orang banyak dapat kamu kicuh, sedangkan Tuhan tidak!

Maka lebih tertekanlah peringatan ini kepada ulil amri, orang-orang yang bertanggung jawab, jangan sampai misalnya membela kelemahan diri dengan menyebut taqiyah.

Kontrol sejati adalah di tangan Allah dan sewaktu-waktu pekerjaan yang curang serta busuk akan berbau juga oleh orang banyak.

Disebut dalam ayat ini bahwa yang diketahui Allah itu bukan saja isi dada manusia yang tersembunyi atau sikap manusia yang nyata.

Usahkan itu, sedangkan rahasia semua langit dan bumi lagi diketahui-Nya.

Kadang-kadang ditafsirkan dengan nyata di hadapan mata kita, yaitu pertalian isi dada manusia dan mulutnya dengan rahasia langit dan bumi.

Satu hal pernah kejadian, yaitu pada suatu hari seorang kepala negara yang sombong berkata sambil mendabik dadanya bahwa kita manusia ini harus sanggup menundukkan alam. Dua hari saja sesudah dia berpidato sombong akan menundukkan alam itu, terjadilah hujan lebat di kota kediamannya, yaitu hujan lebat yang membawa banjir besar. Dia yang berpidato itu terpaksa dihusung atau ditandu orang ketika akan keluar dari istana sebab mobil yang akan membawanya tidak dapat berjalan dalam banjir dan mesinnya tidak bisa hidup. Maka, Orang yang menyaksikan berkata, "Raja kita katanya hendak menundukkan alam. Sekarang, dia juga rupanya yang wajib tunduk kepada alam!"

Seorang pemimpin Komunis tidak bertuhan pernah berkata dalam satu rapat umum, "Kalau kamu tidak bisa bergerak membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam, lebih baik tukar celanamu dengan sarung (jadi perempuan)." Sehari sesudah dia bercakap berapi-api itu, kaum Komunis mengadakan pemberontakan hendak merebut kekuasaan dan membunuh enam orang jenderal, rupanya pemberontakan mereka hanya berjalan sehari saja, sedangkan petang harinya sudah dapat digagalkan. Maka, pemimpin Komunis yang sombong itu terpaksa lari meninggalkan kota, benar-benar dengan menukar celana dengan sarung.

Itulah sebabnya, akhir ayat berbunyi,

"Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu Maha Kuasa." (ujung ayat 29).

Hanya orang Mukmin yang dapat merasai hal yang seperti ini.

Betapa kekuasaan Allah atas isi dada manusia serta betapa kekuasaan Allah atas seluruh langit dan bumi.

Kadang-kadang kita bertemu dengan kemenangan, padahal menurut perhitungan kita belum tampak pintunya.

Kadang-kadang kita merasa bahwa rencana kita akan berjalan menurut yang kita gariskan. Tiba-tiba datang saja kejadian lain yang tidak pula kita sangka-sangka sehingga rencana Allah jualah yang berjalan.

Oleh sebab itu, baik di waktu susah maupun di waktu senang, sekali-kali janganlah lupa memperhitungkan Maha Kuasanya Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 610-614, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Ada seorang Syi'ah, semua anaknya mati terbunuh di Karbala ketika Ibnu Sa'ud menyerang negeri itu.

Ia berniat melepaskan dendam.

Pergilah ia ke Dar'iyah, ia pura-pura masuk Wahabi.

Satu tahun ia di sana sampai orang percaya betul padanya sehingga ia boleh shalat di dekat Ibnu Sa'ud.

Tiba-tiba, ketika Abdul Aziz sedang shalat Ashar, orang itu mencabut khanjar dan menikamnya.

Abdul Aziz meninggal pada waktu itu juga (18 Rajab 1218 H/3 November 1803 M).

Sejak itu diadatkanlah bagi sultan-sultan Wahabi berpengawal kalau hendak shalat.

Sampai sekarang adat berpengawal itu masih tetap ada, baik pada Raja Abdul Aziz maupun pada Sa'ud.

(Buya HAMKA, Sejarah Umat Islam, Hal. 288-292, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

RINGKASAN TAFSIR QS. AN-NISAA' AYAT 139-146

"(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir jadi pemimpin-pemimpin." (pangkal ayat 139).

Mereka lebih suka dan lebih percaya menyerahkan pimpinan hidupnya kepada orang yang kafir.

"Bukan dari orang-orang yang beriman."

Dari sebab rasa rendah harga diri.

"Apakah mereka hendak mencari kemuliaan dari sisi mereka itu?"

Apa benarkah yang mereka harapkan dari orang kafir sehingga mereka tidak mau meletakkan kepercayaan kepada orang yang beriman, padahal mereka mengaku beriman?

Kalau pimpinan diserahkan kepada orang kafir, ke manakah mereka hendak dibawa oleh orang kafir? Niscaya kepada kafir pula, bukan?

Apabila iman sudah lemah, akan banyaklah bertemu hal ini.

Lihatlah di zaman kita sekarang, banyak orang yang mengaku Islam menyerahkan pendidikan anak-anaknya ke sekolah-sekolah Kristen.

Padahal sekolah-sekolah Kristen adalah sambungan dari Perang Salib dahulu, yang memang ditujukan buat meng-kristen-kan anak-anak Islam.

Ayah bunda yang menyerahkan anaknya ke sekolah Kristen lebih percaya kepada sekolah-sekolah itu, karena katanya pendidikan anak-anaknya akan lebih sempurna jika dimasukkan ke sana.

Beratus bahkan beribu orang tua Islam yang tidak sadar telah berbeda agama dengan anak-anaknya.

Akhirnya dia menyesal pada saat tidak ada faedahnya penyesalan lagi.

Kebanyakan mereka mencela dan menghina pendidikan kaumnya sendiri.

Padahal dia tidak turut berusaha, seakan-akan kaum dan umatnya itu dipandangnya orang lain.

Munafik-munafik semacam inilah yang melemahkan Islam karena mereka mengharapkan kemuliaan dan kemegahan dunia.

Katanya supaya pendidikan anak-anaknya sempurna dan tinggi.

Akhirnya hinalah dia sebagai bangsa.

"Padahal sesungguhnya kemuliaan itu adalah bagi Allah belaka." (ujung ayat 139).

Mereka mengambil pimpinan dari kaum kafir.

Mereka memandang bahwa segala yang datang dari kafir ltu segala baik dan yang datang dari Islam segala buruk, namun mereka masih mengaku beragama Islam.

Di zaman jajahan orang seperti ini merasa diri mulia bila dia berdekat dengan orang kafir dan pemerintahan kafir.

Orang ini pulalah yang menjadi penghalang kemerdekaan.

Setelah merdeka, mereka pula yang menjadi penghalang besar kalau peraturan Islam akan dijalankan dalam masyarakat kaum Muslimin.

Padahal kemudian ternyata bahwa kemuliaan yang mereka cari itu tidak bertemu.

Yang bertemu hanyalah kehinaan.

Kehinaan karena jiwa yang tidak mempunyai tempat berpegang.

Jiwa mereka sampai demikian terbalik, karena penilaian atas sesuatu tidaklah lagi mencari isi, melainkan mencari kulit.

Mereka menyangka bahwa yang dikatakan kemuliaan itu ialah rumah yang mewah, kendaraan yang bagus, kekayaan harta benda yang melimpah-limpah, dan pangkat atau kedudukan yang tinggi di sisi orang-orang yang membenci agama mereka.

Mereka merasa kalau mereka konsekuen mempertahankan iman dan berjuang menegakkan kehendak Allah, mereka akan terpencil atau akan di isolasi orang.

Mereka bertanya, apa yang akan kita dapat, kalau kita tidak bertolak angsur sedikit juga dengan orang kafir?

Apa yang dapat diberikan oleh orang yang beriman itu kepada kita?

Lantaran itu mereka terimalah segala tawaran yang menggelora dan mempesonakan dari pihak kafir, walaupun agamanya tergadai.

Dia mendapat kemuliaan saraab (fatamorgana) dan agamanya tertindas.

Bertambah lama bertambah kaburlah penilaian mereka terhadap kemuliaan pemberian Allah.

Yaitu kemuliaan hidup, harga diri dan gengsi di sisi Allah dan di sisi umat yang sadar, karena dibawa hanyut oleh arus kemegahan dan kemuliaan di sisi yang palsu.

Penulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya,

"Yang dimaksud dengan ini ialah membangkitkan kesadaran dalam jiwa agar kalau hendak mencari kemuliaan carilah kemuliaan yang di sisi Allah dan menghadapkan segenap perhatian kepada ibadah pengabdian kepada Allah, dan masuk dalam barisan hamba-hamba Allah yang beriman. Karena dalam barisan itulah akan tercapai kemenangan abadi pada hidup di dunia ini dan pada hari berdirinya kesaksian kelak!"

Berkata al-Hakim,

"Ayat ini menunjukkan atas wajibnya mencari pimpinan dan teman dari orang-orang yang beriman, dan dilarang memberikan pimpinan kepada orang kafir."

Berteman dengan orang kafir tidaklah terlarang.

Bahkan orang kafir, sebagai Ahlul Kitab yang berlindung di bawah kekuasaan pemerintahan Islam, wajib dijamin keamanannya.

Tetapi menyerahkan pimpinan, terutama dalam hal yang akibatnya akan menyinggung agama, itulah yang wajib dipantangkan.

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu ambil akan orang-orang kafir menjadi pemimpin, yang bukan dari orang-orang yang beriman." (pangkal ayat 144).

Di ayat 139 sudah diperingatkan dengan tegas bahwa mengambil orang yang kafir jadi pimpinan adalah salah satu perangai kelakuan orang munafik.

Sekarang ditegaskan kepada orang yang beriman, bahwa mereka sekali-kali jangan berbuat demikian.

Jangan dipercayakan pimpinan kamu kepada orang yang tidak percaya kepada Allah.

Keingkaran mereka kepada Allah dan peraturan-peraturan Allah akan menyebabkan rencana pimpinan mereka tidak tentu arah. Kalau demikian, niscaya kamu yang mereka pimpin akan celaka.

Akhirnya datanglah pertanyaan sebagai sesalan dari Allah,

"Apakah kamu ingin bahwa Allah menjadikan atas kamu sesuatu kekuasaan yang nyata?" (ujung ayat 144).

Disini terdapat satu kalimat, yaitu Sulthan; yang berarti kekuasaan.

Artinya, karena pimpinan suatu umat Islam diserahkan oleh orang Islam sendiri kepada orang yang bukan Islam, atau bukan berjiwa Islam, atau tidak mengerti sama sekali apakah maksud Islam, atau tidak mau mengerti, timbullah kacau balau dan keruntuhan kaum Muslimin itu sendiri.

Di saat demikian, tentu Allah akan memakai kekuasaan menjatuhkan adzab siksaan-Nya kepada kamu.

Apakah itu yang kamu ingini?

Sebab itu orang yang beriman tidaklah akan menyerahkan pimpinan kepada orang kafir, ataupun kepada orang munafik.

Yang akan menyerahkan pimpinan kepada orang yang bukan mementingkan Islam adalah orang munafik pula, sebagai tersebut dalam ayat 139 tadi.

"Sesungguhnya orang-orang yang munafik itu, adalah di tingkat yang paling bawah dari neraka." (pangkal ayat 145).

Dalam ayat 140 sudah dijelaskan bahwa orang munafik dan orang kafir akan sama dikumpulkan dalam neraka Jahannam.

Di ayat 140 ini sudah jelas bahwa munafik didahulukan menyebutnya dari kafir.

Sekarang datang ayat 145 ini, menjelaskan lagi, bahwa meskipun munafik dan kafir sama-sama masuk neraka,

Namun tempat munafik adalah di alas yang di bawah sekali.

Sebab karena dipandang lebih hina.

Orang kafir sudah terang yang dikafirkannya. Bagaimana orang munafik? Seketika kita mulai membaca Al-Qur'an surah al-Baqarah, dengan 4 ayat permulaan sudah jelas pendirian orang Islam. Dan dengan 2 ayat berikutnya sudah terang pendirian orang kafir.

Tetapi kecurangan orang munafik diterangkan dalam 12 ayat.

Orang munafik adalah musuh dalam selimut bagi orang yang beriman.

Dia bersama Muslimin, hatinya bersama orang lain.

Dia mudah berkhianat, membuka rahasia pertahanan atau kelemahan orang Islam kepada musuhnya, dan dia mengukur sesuatu dengan keuntungan pribadi.

Orang kafir bisa diperangi sebab dia ada di muka front.

Sedangkan orang munafik tidak bisa!

Sebab dia di dalam tubuh sendiri.

Tidaklah heran jika tempat mereka dalam neraka Jahannam ialah pada dasar yang di bawah sekali.

"Dan sekali-kali tidak akan engkau dapati untuk mereka satu penolong pun. (ujung ayat 145).

Tegasnya tidak seorang pun yang dapat menolong mereka, melepaskan dari siksaan itu.

Sebab masuk ke dalam alas neraka itu adalah pilihan mereka sendiri.

Tetapi, bagaimana pun keras ancaman Allah atas jiwa yang sesat karena tindakan sendiri itu, namun pintu untuk kembali kepada jalan yang benar masih tetap dibuka.

Allah lebih mengetahui tentang jiwa manusia.

Manusia tersesat adalah karena memperturutkan kelemahan jiwa.

Namun dalam sudut jiwa manusia itu masih tetap ada sesuatu kekuatan yang selalu menyanggah kesalahan-kesalahannya sendiri.

Dalam diri manusia selalu ada peperangan di antara nafsu jahat dengan cita-cita yang baik.

Oleh sebab itu, ayat-ayat ancaman keras selalu diikuti oleh ayat bujukan kepada hamba-Nya supaya kembali kepada jalan yang benar.

Hati sanubari yang suci bersih itu diketuk Allah supaya tobat.

Ini dapat kita lihat dalam ayat sambungannya.

"Kecuali orang-orang yang telah tobat." (pangkal ayat 146).

Tobat, artinya kembali ke jalan yang benar. "Sesat surut, terlangkah kembali."

Ini menghendaki kekuatan ruhani yang besar.

Melepaskan diri dari kebiasaan yang buruk, terutama kebiasaan munafik adalah berat.

Tetapi kalau berhasil, adalah kemenangan yang besar pula.

Sesudah tobat, "Dan memperbaiki," yaitu memperbaiki langkah hidup, memperbaiki jiwa yang telah berantakan.

Sebab semata tobat barulah suatu azam, atau suatu tekad dalam hati.

Barulah sempurna kalau telah diikuti oleh perbaikan.

Kalau selama ini, misalnya shalat lalai, hendaklah kembali segera mengerjakan shalat bila waktunya telah datang.

Kalau selama ini tidak suka berkorban berbuat baik, atau malas atau hanya ambil muka kepada manusia (riya), hendaklah segera latih diri jadi dermawan, walaupun nama tidak disebut orang.

"Dan berpegang teguh dengan Allah."

Sebagai ganti dari sikap selama ini yang hanya berpegang teguh dengan cari nama, dengan megah kebendaan.

Berpegang teguh kepada Allah ialah dengan mengerjakan yang disuruh, menghentikan yang ditegah, menurut bimbingan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.

Ibadah diperkuat dan diperbanyak sehingga perasaan bahwa kita hidup adalah selalu di dalam penilaian Allah bertambah mendalam, "Dan mengikhlaskan agama mereka kepada Allah."

Dalam kata dua ini, pertama berpegang teguh kepada Allah, kedua mengikhlaskan agama kepada Allah, terdapatlah pertalian di antara aqidah dan ibadah.

Karena hendak berpegang teguh kepada Allah, tidaklah akan tercapai kalau ibadah kepada-Nya tidak diperkuat.

Dengan demikian, seluruh ad-diin atau agama, benar-benar ikhlas karena Allah.

Tidak ada yang lain lagi yang terlintas dalam pikiran, kecuali Allah.

Inilah empat syarat yang harus dipenuhi buat membersihkan diri dari hidup munafik.

Yaitu tobat,

memperbaiki,

berpegang teguh kepada Allah, dan

mengikhlaskan agama karena Allah.

Kalau ini sudah tercapai, datanglah sambungan ayat,

"Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang beriman."

Keempat syarat itu adalah obat penyakit jiwa.

Obat munafik dan obat kekafiran juga.

Kadang-kadang timbulnya sesalan atas suatu dosa, lebih mempertinggi martabat ruhani daripada orang yang merasa dirinya tidak pernah berdosa.

Sesalan atas kesesatan jiwa di zaman lampau menyebabkan selalu berusaha mencapai tath-hir (pembersihan) dan tazkiyah (penyucian).

Niat dalam hati pun hendak naik keluar dari dalam lembah kehinaan itu.

Sebab itu selalu berusaha.

Usaha itu tidakkan gagal.

Sebab Allah sendiri pun akan menolong menarik tangan orang itu naik ke atas.

Itu sebabnya Allah mengatakan bahwa orang itu karena usahanya sendiri akan mendapat tempatnya dalam barisan orang yang beriman.

Sebab Allah hanya al-Muntaqim (berdendam) kepada orang yang tidak mau menempuh jalan yang telah dibukakan oleh Allah.

Adapun kepada yang menempuh jalan yang dibuka oleh Allah itu, Allah adalah mempunyai pula sifat al-'Afwu (pemberi maaf), at-Tawwab (pemberi tobat), dan ar-Rahim (pengasih), dan sifat-sifat yang lain.

"Dan Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman itu ganjaran yang besar." (ujung ayat 146).

Dengan demikian tentu cap yang begitu hina selama ini, yaitu munafik, pepat di luar pencung di dalam, lain di mulut lain di hati, tidak jujur jiwa kecil, semuanya itu tidak ada lagi.

Karena jiwa mereka sudah berubah oleh karena iman.

Maka apa yang dijanjikan Allah kepada orang yang beriman, mereka pun pasti akan menerimanya pula.

Yaitu ganjaran besar, karena iman telah dituruti dengan amal.

Maka sepadanlah janji Allah dengan usaha mereka memperbaiki diri, berpegang dengan tali dan tauhid yang ikhlas.

Tak usah ragu lagi!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 491-500, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RINGKASAN TAFSIR QS. AL-MUMTAHANAH AYAT 1-3

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu ambil musuh-Ku dan musuh kamu jadi penolong, yang kamu temui mereka dengan kecintaan, padahal sungguh mereka telah kafir kepada apa yang telah datang kepada kamu dari kebenaran; mereka usir Rasul dan kamu sendiri; karena beriman kamu kepada Allah, Tuhan kamu; jika kamu keluar berjihad pada jalan-Ku dan mengharapkan keridhaan-Ku, kamu berahasia kepada mereka dengan kasih sayang. Dan Aku lebih tahu dengan apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa yang membuatnya di antara kamu, maka tersesatlah dia dari jalan yang Iurus." (QS. al-Mumtahanah: 1). 

DISIPLIN

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu ambil musuh-Ku dan musuh kamu jadi penolong." (pangkal ayat 1).

Yang kita artikan dengan sahabat-sahabat disini adalah Auliya'.

Sebagaimana diketahui Auliya' adalah jamak dari wali.

Arti wali bukan saja penolong, tetapi berarti juga pemimpin, pemuka, sahabat karib, orang yang melindungi.

Bahkan pemimpin suatu negeri, sebagai gubernur, disebut juga wali.

Ayah yang berhak mengawinkan anak perempuannya namanya wali juga.

Oleh sebab itu kesimpulan arti dari wali adalah luas sekali, mencakup pembelaan, pertolongan, pelindung dan lain-lain.

Arti yang cocok disini ialah penolong.

Sebab Haathib minta tolong kepada kaum musyrikin membela anaknya dan dirinya.

Kita telah maklum bahwa sebab utama dari turunnya ayat ialah karena Haathib berkirim surat kepada kaum musyrikin di Mekah menerangkan bahwa tentara Rasulullah di bawah pimpinan beliau sendiri akan menyerbu Mekah.

Dengan perbuatannya ini Haathib telah membuat kontak dan membuka rahasia kepada musuh yang akan diperangi.

Dengan perbuatan begini Haathib telah mengambil musuh jadi wali, yaitu orang tempat menumpahkan kepercayaan.

Sudah nyata bahwa penduduk Mekah akan diperangi dan mereka masih menantang Islam.

Memberitahu kepada pihak musuh adalah suatu perbuatan pengkhianatan, meskipun Haathib dalam niat hatinya bukan mengkhianat.

"Yang kamu temui mereka dengan kecintaan."

Maksud menemui disini bukanlah semata-mata bertemu muka. Haathib tidaklah bertemu dengan musuh Allah dan musuh kaum Muslimin itu. Tetapi dia telah menemui dengan berkirim surat.

"Padahal sungguh mereka telah kafir terhadap kepada apa yang telah datang kepada kamu dari kebenaran."

Yaitu mereka telah jadi musuh Allah dan musuh kaum Muslimin, sebab mereka telah dengan terang-terangan menolak, tidak mau percaya kepada segala ajakan dan seruan kebenaran yang disampaikan oleh utusan Allah, yaitu agama yang menunjukkan kepada mereka jalan yang benar, mencegah mereka menyembah kepada yang selain Allah dan hanya tunduk kepada Allah saja.

"Mereka usir Rasul dan kamu sendiri, karena kamu beriman kepada Allah, Tuhan kamu."

Inilah sikap permusuhan yang paling besar yang telah mereka lakukan. Sampai Rasulullah terusir, dikeluarkan, atau diatur jalan hendak membunuhnya, sehingga kalau beliau menetap Juga di Mekah sudah terang beliau akan dibunuh oleh mereka. Dan mereka usir pula orang-orang yang menyatakan iman kepada ajaran yang dibawa Rasul itu, sampai berduyun-duyunlah mereka hijrah meninggalkan Mekah dan berdiam di Madinah. Dan setelah pindah ke Madinah itu pun tidak kurang gangguan mereka dan usaha buruk mereka hendak menghancurkan ajaran Islam yang tengah tumbuh itu.

''Jika kamu keluar berjihad pada jalan-Ku dan mengharapkan keridhaan-Ku."

Artinya, bahwa orang-orang yang beriman tidaklah boleh membuat hubungan dengan musuh Allah itu ketika Rasul dan orang-orang beriman bermaksud hendak keluar pergi memerangi musuh Allah yang kafir dan pernah mengusir Rasul itu; tidaklah pantas berhubungan dengan musuh di saat akan keluar mengharapkan ridha Allah.

Tidaklah pantas "Kamu berahasia kepada mereka dengan kasih sayang."

Kamu pergi berhubungan secara rahasia, mengirim surat dengan perantaraan seorang perempuan, dengan tidak diketahui oleh Nabi.

"Dan Aku lebih tahu dengan apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan."

Maka percobaanmu membuat suatu perbuatan yang salah, secara rahasia itu, niscaya diketahui oleh Allah.

Sebagai seorang yang beriman tidak bisa berbuat sesuatu yang tersembunyi dari pengetahuan Allah.

"Dan barangsiapa yang membuatnya di antara kamu, maka tersesatlah dia dari jalan yang Iurus." (ujung ayat 1).

Sehingga kalau berhasil akan gagallah rencana besar yang sedang dirancangkan oleh Rasulullah saw. sebagai pemimpin, dan sangatlah besar dosa dan tanggung jawabmu jika hal ini kejadian.

Alhamdulillah Rasulullah diberitahu oleh Allah sehingga maksudmu itulah yang gagal.

Kalau pegangan hidup sudah berbeda, kalau satu pihak sudah menerima iman kepada Allah dan Rasul, dan pihak yang lain masih bertahan kepada kemusyrikan dan kesesatan tidaklah ada manfaatnya lagi mempertahankan keluarga.

Lantaran inilah maka telah berpisah antara anak yang beriman yaitu Abu Bakar, dengan ayah yang masih musyrik, yaitu Abu Quhafah.

Demikian juga di antara ayah yang telah beriman yaitu Abu Bakar dengan anak yang masih musyrik, yaitu Abdurrahman bin Abu Bakar.

Demikian juga sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw. yang lain.

Di saat terjadi perlawanan berhadapan (konfrontasi) hubungan kekeluargaan itu tidak dapat dipertahankan lagi.

"Di hari Kiamat Dia akan memisahkan di antara kamu,"

Ini diperingatkan oleh Allah dengan perantaraan Nabi-Nya, agar orang-orang yang beriman dapat meneguhkan imannya dan jangan mencampur aduk soal iman dan aqidah dengan soal kekeluargaan.

Ujung ayat ini adalah peringatan bagi orang-orang yang beriman agar dia berhati-hati menjaga lahir dan batinnya.

Terutama tentang hubungan keluarga.

Orang disuruh berbaik dengan keluarganya, walaupun mereka masih kafir.

Tetapi hubungan yang baik sekali-kali jangan sampai merugikan perjuangan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 68-71, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Sesungguhnya, yang agama di sisi Allah ialah Islam. Akan tetapi, tidaklah berselisih orang-orang yang diberi Kitab itu melainkan sesudah didatangkan kepada mereka ilmu, lantaran pelanggaran batas di antara mereka. Dan, barangsiapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah adalah amat cepat perhitungan-Nya." (Aali 'Imraan: 19).

"Sesungguhnya, yang agama di sisi Allah ialah Islam." (pangkal ayat 19).

Tadi di ayat 18 telah ditunjukkan bahwa orang berilmu pun mendapat syahadah dan memberikan pengakuan, memang tidak ada Tuhan melainkan Allah, setelah menilik kesaksian dan penjelasan Allah sendiri pada ciptaan-Nya.

Kalau telah dapat mengenal dan menyaksikan Allah, melihat bekas ciptaan-Nya, dengan sendirinya timbullah penyerahan diri kepada Allah, tunduk kepada Allah, mengakui kebesaran Allah, mengakui berdiri-Nya dengan keadilan.

Pengakuan yang timbul dari lubuk hati dan keinsafan.

Timbul damai dalam jiwa sebab telah mendapat hakikat yang sebenarnya.

Kalau suasana itu telah dicapai, itulah dia Islam.

Kata ad-din biasa kita artikan ke dalam bahasa kita dengan agama.

Ada yang menyebut agama dan ada juga menyebut agama. Adapun arti ad-din itu menurut asli Arabnya ialah tha'at 'tunduk' dan juga 'balasan.'

Sebab itu, Yaumid-Din berarti Hari Pembalasan.

Maka, di dalam ta'rif syari'at, segala perintah yang dipikulkan oleh syara' kepada hamba yang telah baligh, tetapi berakal (mukallaf), itulah dia agama.

Kadang-kadang disebut juga dengan kata lain, yaitu millah, yang berarti agama juga.

Dengan memakai kata millah atau millat maka cakupan ad-din ltu menjadi meluas lagi, mencakup sekalian peraturan hidup, bukan saja ibadah, bahkan juga mengatur negara.

Itu sebabnya, di Iran, Turki, dan Pakistan kata-kata millah itu dipakai juga untuk kenegaraan.

Almarhum Liaquat Ali Khan, Perdana Menteri Pakistan yang syahid terbunuh, diberi mereka gelar Quaidi Millah (Pemimpin Negara) sebagaimana Ali Jinnah diberi gelar Quafdi Azam (Pemimpin Agung).

Kata Islam adalah mashdar, asal kata.

Kalau telah menjadi fi'il madhi (perbuatan), dia menjadi aslama. Artinya dalam bahasa kita ialah menyerah diri.

Pokok asal sekali ialah hubungan tiga huruf s-l-m yang artinya selamat sejahtera.

Menjadi juga menyerah, damai, dan bersih dari segala sesuatu.

Kalau disebut dalam bahasa Arab salaman li rajulin, artinya ialah sesuatu kepunyaan seorang laki-laki yang tidak berserikat dengan yang lain.

Maka, setelah memahami arti dari kata ad-din dan al-islam sebagaimana yang diutarakan di atas, dapatlah dipahamkan maksud ayat ini, sesungguhnya, yang agama di sisi Allah ialah Islam atau lebih dapat ditegaskan bahwa yang benar-benar agama pada sisi Allah hanyalah semata menyerahkan diri kepada-Nya saja.

Kalau bukan begitu, bukanlah agama.

Oleh karena itu, sekalian agama yang diajarkan nabi-nabi yang dahulu, sejak Adam lalu kepada Muhammad, termasuk Musa dan Isa, tidak lain daripada Islam.

Beliau-beliau mengajak manusia supaya Islam, menyerah diri dengan tulus ikhlas kepada Allah, percaya kepada-Nya, kepada-Nya saja.

Itulah Islam.

Sekalian manusia yang telah sampai menyerah diri kepada Allah yang Tunggal, tidak bersekutu yang lain dengan Dia, walaupun dia memeluk agama apa, dengan sendirinya dia telah mencapai Islam.

Syari'at nabi-nabi bisa berubah karena perubahan zaman dan tempat, tetapi hakikat agama yang mereka bawa hanya satu: Islam.

Ini karena maksud agama adalah dua perkara.

Pertama:

Membersihkan jiwa dan akal dari kepercayaan akan kekuatan gaib, yang mengatur alam ini, yaitu percaya hanya kepada Allah dan berbakti, memuja, dan beribadah kepada-Nya.

Kedua:

Membersihkan hati dan membersihkan tujuan dalam segala gerak-gerik dan usaha, niat ikhlas kepada Allah. Itulah yang dimaksud dengan kata-kata Islam.

Lantaran itu, dapat ditegaskan pula,

walaupun dia mengakui orang Islam, keturunan Islam, ibu-bapak Islam, tinggal dalam negeri Islam, kalau akal dan hatinya tidak bersih dari pengaruh lain, selain Allah maka tidaklah sesuai nama yang dipakainya dengan hakikat yang sebenarnya. Sama saja dengan orang bergelar "Datuk Raja di Langit", padahal di bumi pun dia tidak jadi raja.

Dia mengaku Islam, tetapi tempatnya menyerahkan dirinya ialah gurunya; dia taklid saja kepada guru itu.

Dia tidak memakai perlindungannya sendiri.

Atau, dia mengaku Islam, tetapi kuburan yang dikatakannya keramat lebih diramaikannya daripada masjid tempat menyembah Allah.

Dia lebih banyak meminta dan memohon kepada yang mengisi kubur itu atau mereka itu dijadikan perantara buat menyampaikan permohonannya kepada Allah.

Orang semacam ini semuanya mungkin telah termasuk golongan Islam di dalam perhitungan (statistik) dan dalam geografi (ilmu bumi), tetapi belum tentu jiwanya sendiri adalah Muslim, yang menyerah bulat kepada Allah Subhanahu wa Ta'aala.

"Akan tetapi, tidaklah berselisih orang-orang yang diberi Kitab itu melainkan sesudah didatangkan kepada mereka ilmu, lantaran pelanggaran batas di antara mereka."

Dengan sambungan ayat ini, kita dapat memahamkan bahwasanya masing-masing manusia dengan akal murni dan ilmunya sendiri bisa mencapai dasar percaya kepada keesaan Allah, bisa sampai kepada suasana penyerahan diri kepada Allah Yang Maha Kuasa dengan sendirinya.

Sehingga, kelak apabila dicocokkannya hasil penyerahan diri (Islam) dengan wahyu, tidak akan berapa selisihnya lagi.

Akan tetapi, timbul kesulitan bukan pada mereka, melainkan pada orang-orang yang keturunan Kitab, yang Yahudi dan Nasrani, sesudah mereka mendapat ilmu, ialah karena agama sudah diikat dengan ketentuan-ketentuan pendeta.

Sehingga, bukan lagi agama Allah, melainkan agama pendeta.

Misalnya, pikiran murni manusia telah mencapai kesimpulan bahwa Allah itu memang pasti Esa, tetapi pendeta memutuskan bahwa itu tidak benar!

Yang benar ialah mesti diakui bahwa Allah itu beranak atau bahwa Nabi Isa bukan saja anak Allah, tetapi dia pun Allah atau satu dari tiga oknum.

Banyak dari ahli-ahli pikir Eropa yang dari lanjutnya berpikir sampailah dia kepada pengakuan akan adanya Allah.

Terkenallah kaum Rasionalis atau Deis, di antaranya Voltaire pujangga Perancis yang terkenal, telah sampai kepada kesimpulan bahwa Allah itu memang ada.

Akan tetapi, mereka dikucilkan dari gereja, dipandang tidak beragama lagi, sebab kependetaan tidak mengakui kesimpulan pikiran mereka.

Sebagaimana pada penafsiran surah al-Baqarah dahulu telah kita uraikan, banyaklah dari ahli-ahli pikir itu sampai kepada zaman kita sekarang ini beriman yang mendalam sekali tentang adanya Allah, sebagai Pencipta alam, tetapi mereka mengakui terus terang bahwa mereka mengakui adanya Allah sebagaimana yang diputuskan oleh rumusan pendeta, bukan Allah yang berupa manusia.

Kita kaum Muslimin memercayai dengan sedalam-dalamnya, bahkan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan itikad kita bahwa agama yang diajarkan oleh Nabi Isa al-Masih tidak lain daripada agama Islam sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh ayat ini dan ayat yang lain, penyerahan diri yang timbul dari ilmu keinsafan kepada Allah; lalu dirumuskan menjadi la ilaha illa Allah 'tiada Tuhan melainkan Allah' dan Isa Rasulullah!

Asasnya ialah tauhid.

Akan tetapi, karena pengaruh raja-raja yang berkuasa, berpadu dengan pengaruh pimpinan ruhaniyah, yaitu kaum pendeta bagi kepentingan politik dan kekuasaan, dibentuklah kepercayaan itu menurut kehendak mereka dan diputuskan demikian, dan tidak boleh dilanggar dari yang diputuskan itu.

Akhirnya, timbullah perpecahan yang dahsyat di antara satu golongan dan golongan yang lain dalam satu agama, sampai musnah-memusnahkan.

Golongan Arius misalnya.

Arius terkenal menolak keras kepercayaan Trinitas dan dia menegaskan tauhid: Allah adalah Esa, Isa al-Masih adalah rasul Allah, Ruhul Qudus bukan sebagian dari Tuhan.

Arius menentang syirik.

Maka, Kaisar Constantin yang telah menerima agama Kristen dengan resmi menjadi agama Kerajaan Roma sesudah ditantang demikian hebat di zaman Nero; Constantin telah campur tangan menyelesaikan soal itu.

Kaisar menyebelahi paham Trinitas.

Arius serta sekalian penganut pahamnya dipandang telah melanggar ketentuan gereja.

Kitab-kitabnya dibakar dan penganutnya di mana-mana dikejar-kejar.

Ini terjadi dalam Tahun 325 Masehi, artinya 3 Abad setelah Nabi Isa meninggal dunia.

Dan, 300 Tahun pula sesudah itu (Tahun 628) dikeluarkan lagi undang-undang untuk menyapu bersih segala paham Arius karena rupanya masih saja ada.

Undang-undang ini dikeluarkan oleh Kaisar Theodusius II.

Terus-menerus terjadi pertentangan paham agama yang hebat, tidak berhenti-henti, dan lebih terkenal lagi perang 80 Tahun di Eropa di antara pembela Katolik dan pembela Protestan, sehingga akhirnya negara yang kemudian memutuskan saja bahwa agama mesti dipisahkan dari urusan kenegaraan karena hanya akan membawa kacau saja.

Kita kemukakan soal ini ialah untuk membuktikan maksud ayat bahwa Ahlul Kitab timbul silang sengketa sesudah mereka mendapat ilmu yang nyata tentang hakikat agama, ialah setelah ada baghyan, artinya pelanggaran batas.

Yaitu pemuka agama telah melampaui batas mereka.

Mereka telah menguasai agama dan memutuskan tidak boleh berpikir lain dari apa yang mereka putuskan.

Kalau mereka berkuasa, mereka tidak segan bertindak kejam kepada orang yang dipandang sesat walaupun dengan memberikan hukuman yang sengeri-ngerinya sekalipun.

Ayat ini adalah satu peringatan (sinyalemen), terutama kepada kita kaum Muslimin.

Apabila orang telah melampaui batasnya, manusia hendak mengambil hak Tuhan, perpecahan itu pulalah yang akan terjadi.

Dalam Islam telah timbul sebagai Madzhab, seumpama Syi'ah, Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah, dan Ahlus Sunnah.

Sejarah 14 Abad bukan sedikit, menumpahkan darah sesama Muslimin karena perlainan Madzhab.

Wazir al-Alqarni yang bermadzhab Syi'ah tidak merasa keberatan membuat hubungan rahasia dengan Holako Khan sehingga Baghdad, pusat Khalifah Bani Abbas, diserang, dihancurkan, dibakar habis, dan Khalifah dibunuh (656 H-1268 M).

Apa sebab dia berkhianat sedemikian rupa?

lalah karena dia membela paham Syi'ah, sedangkan Khalifah sendiri adalah seorang penganut paham Sunnah.

Akhirnya, Wazir itu sendiri pun dibunuh oleh Holako Khan.

"Dan barangsiapa yang kufur terhadap ayat-ayat Allah."

Yaitu tidak menerima ketentuan-ketentuan dari Allah bahwasanya hakikat agama hanyalah satu, yaitu menyerahkan diri kepada Allah Yang Maha Esa, persatuan manusia di dalam pokok kepercayaan, dan memandang bahwa tujuan segala rasul Allah hanyalah satu, yaitu membawa manusia dari gelap gulita syirik kepada sinar tauhid.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 597-599, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENUTUP

Bagaimanapun bobroknya Kerajaan Turki Utsmani pada akhir masanya, sejarah dunia tidaklah akan dapat mengikiskan dari dalam catatannya bahwa di Istambul di Tanduk Emas, Galata, dan Bosporus pernah berdiri satu kerajaan Islam yang besar, yang 500 Tahun lamanya menimbulkan gentar pada hati kerajaan-kerajaan Eropa yang sekarang mengangkat mukanya.

Bermacam-macam rencana dan berpuluh kali Perang Salib telah dilakukan dalam masa 500 Tahun.

Sejak sebelum Muhammad al-Fatih menduduki Istambul pun telah ada rencana pengusiran itu, tetapi 500 Tahun kemudian baru berhasil.

Akan tetapi, yang berhasil itu ialah menghancurkan Kerajaan Turki Utsmani, kerajaannya telah musnah, dan bukan ia saja yang musnah.

Berpuluh kerajaan yang lain pun di Benua Eropa telah tinggal dalam sejarah saja.

Kerajaan Bourbon di Prancis, Kerajaan Habsburg di Oostenriyk-Hongaria, Kerajaan Hohenzollern di Jerman, prince-prince di Balkan yang dilantik menjadi raja untuk melepaskan diri dari kerajaan Utsmani, semuanya telah tinggal dalam sebutan sejarah belaka.

Akan tetapi, dengan musnahnya kerajaan Utsmani kelirulah rupanya persangkaan bahwa Islam meninggal karena itu sebab apabila beberapa kerajaan Eropa pelindung Kristen telah habis pula riwayatnya, agama Kristen pun tidaklah terhapus di Eropa.

Dengan habisnya kerajaan Utsmani dari dunia, terserahlah iman dan Islam ke dalam kalbu masing-masing umat pemeluknya setelah Turki Utsmani habis, Perang Dunia I telah disusul oleh Perang Dunia ll.

Bangsa Turki, yang dahulunya memangku Kerajaan Turki Utsmani dan memakai gelar khalifah, masih berdiri sebagai suatu bangsa.

Terpengaruh oleh perubahan-perubahan zaman, dan ingat akan pukulan-pukulan yang menimpa diri mereka selama masa yang lampau, telah menyusun negerinya dengan susunan baru.

Akan tetapi, di samping Turki dalam masa 30 Tahun telah berdiri pula Negara-negara Islam yang lain, baik Negara-negara Arab, Pakistan, Iran, maupun Indonesia.

Semuanya membuktikan bahwa tugas menegakkan Islam sebagai agama tidaklah terhenti karena jatuhnya Kerajaan Turki Utsmani.

Melainkan, tugasnya itu telah dilanjutkan memikulnya oleh bangsa-bangsa beragama Islam yang baru lahir, mungkin dalam beberapa hal tidak kurang pentingnya dari usaha Kerajaan Turki Utsmani yang dahulu.

(Buya HAMKA, Sejarah Umat Islam, Hal. 485, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

PERUMPAMAAN YANG MENYEDIHKAN

Dengan tidak tertutupnya pintu ijtihad buat selama-lamanya, dapatlah dipahamkan bahwa ijtihad bukanlah dalam hal-hal peribadahan saja, misalnya batalkah wudhu bersentuh si laki-laki dan si perempuan, berapa kilo perjalanan baru bernama musafir dan baru boleh menjamak atau mengqashar. Atau masih wajibkah membaca al-Faatihah di waktu iman telah menjahar?

Tetapi ijtihad lebih luas dari itu.

Apatah lagi kita dapat mencontoh yang baik dari mana saja pun datangnya (ingat ayat 18 dari surah az-Zumar), dan menolak yang tidak sesuai dengan kepribadian kita, walaupun dari mana pula datangnya.

Kita tidak meninggalkan yang lama hanya karena lamanya dan tidak mengambil yang baru hanya karena barunya.

Asal kedua pokok pertama, taat kepada Allah dan Rasul tetap kita pegang, ijtihad selalu mesti berjalan sebab pikiran kita selalu mesti berjalan.

Kita tidak boleh membeku, terutama dalam urusan duniawi.

Kita ambil suatu perumpamaan yang menyedihkan dalam Kerajaan Islam Turki Osmani, di zaman pemerintahan Sultan Mahmud II (1223 Hijriyah, 1808 Miladiyah sampai 1255 Hijriyah, 1839 Miladiyah).

Ketika beliau naik tahta kerajaan, Turki telah dikepung dari segala jurusan terutama dari Tsar Rusia. Musuh mengancam dari mana-mana, namun tiap-tiap berperang lebih banyak kalah daripada menang. Sebabnya ialah karena kerajaan-kerajaan Eropa, yang dipelopori oleh bangsa Prusia dan disempurnakan oleh Napoleon telah mempunyai ilmu perang yang lebih teratur, dengan barisan-barisan yang kompak dan dengan kesatuan komando.

Sedang Kerajaan Osmani hanya mempunyai tentara Inkisyariyah (Jenitshar) yang kolot. Di zaman dahulu, memang tentara itulah kemegahan bangsa Turki. Dengan tentara itulah Sultan Muhammad Penakluk (al-Fatih) menyerbu Konstantinopel dan menghancurkan Kerajaan Byzantium. Mereka menggantungkan kemenangan dengan keberanian belaka, sebagai tentara zaman kuno. Tetapi setelah tentara kerajaan-kerajaan Eropa teratur, Kerajaan Osmani tidak dapat lagi mencapai kemenangan dengan hanya keberanian.

Perang telah sangat maju ilmunya, terutama dengan ilmu perang Napoleon. Sultan-sultan Turki yang dahulu dari Mahmud II telah merasai bahaya kehancuran Turki kalau masih menurut susunan Inkisyariyah. Tetapi siapa saja sultan yang berani hendak mengubah susunan tentara itu dan meniru cara Eropa, kaum Inkisyariyah tidak suka, selalu berontak bahkan mereka cari pengaruh untuk memakzulkan sultan.

Bahkan ada sultan yang mereka bunuh.

Tetapi Sultan Mahmud II sudah yakin, susunan tentara mesti diubah. Lalu dicarinya opsir-opsir Perancis yang telah pensiun dari bekas tentara Napoleon, dimintanya datang ke Istanbul dan digajinya buat membentuk tentara model baru menurut Eropa.

Kaum Inkisyariyah dengan bantuan ulama-ulama yang sempit paham membuat propaganda di luaran bahwa perbuatan itu meniru orang kafir. Padahal ada hadits Nabi,

"Barangsiapa yang meniru menyerupai kafir, maka dia orang kafir pula."

Inilah hadits yang mereka pegang dan besar pengaruhnya kepada orang awam.

Tetapi sultan berkeras pada pendiriannya.

Pada suatu hari, dengan gelap mata lebih kurang 50.000 orang kaum Inkisyariyah mengadakan demonstrasi menuju istana dan dengan lengkap pula bersenjata. Dari jauh bersorak-sorak menyuruh sultan yang telah meniru orang kafir itu turun saja dari tahta sekarang juga.

Akan tetapi sultan yang gagah perkasa itu, dengan dikelilingi oleh wazir-wazir dan orang besar-besar yang setia telah bersiap di istana.

Sultan berkata,

"Aku ingin akan pendirianku! Siapa yang setia kepadaku, tinggallah bersama aku. Dan siapa yang ragu pergilah menyebrang kepada mereka!"

Lalu sultan menyuruh mengeluarkan "Bendera jihad Pusaka Nabi Muhammad saw." supaya dikibarkan di muka istana.

Setelah itu sultan menyuruh mengisi sekalian meriam yang ada di muka istana. Setelah itu sultan mengutus Wazir Besar menemui Pimpinan demonstrasi, memberinya nasihat.

Tetapi tambah dinasihati, mereka bertambah kalap dan mendekat.

Sultan menggamit Wazir Besar menyuruh kembali. Setelah Wazir Besar kembali ke dekat Sultan, orang-orang yang 50.000 itu pun bertambah mendekat dan setelah dekat benar ke pekarangan istana, mereka tidak dapat dikendalikan lagi, "Tembaak!" Perintah sultan.

Lima buah meriam besar sekali meletus, tepat mengenai sasaran, hampir 40.000 mayat kaum Inkisyariyah berkeping-keping dan bergelimpangan, beribu-ribu luka berat dan enteng dan selebihnya lari tumpang-siur.

Dengan demikian Sultan Mahmud II telah menyelesaikan kesulitan dalam negerinya dan tentara Turki menurut susunan yang baru telah Baginda tegakkan. Mulai waktu itu pula Baginda menanggali pakaian cara lama dan memakai pakaian Panglima Tertinggi.

Sebab itu, sebagaimana kita katakan di atas tadi, Islam akan tetap hidup asal ijtihad tidak padam.

Dia akan tetap menjiwai negara, dengan taat kepada Allah dan Rasul, di mana saja. In syaa Allah!

Dan memerhatikan kedudukan dengan alasan hadits, tetapi berpikiran beku adalah menghancurkan Islam itu sendiri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 345-346, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Masyarakat kita sedang dalam masa pancaroba yang dahsyat.

Pembangunan di bidang ekonomi, peralihan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri.

Perpindahan penduduk dari desa ke kota dan sebagainya, niscaya membawa perubahan terhadap nilai-nilai yang kita percayai selama ini.

Sebagai orang tua dan dipercayai orang banyak, Ayah terpanggil untuk menyumbangkan pikiran menghadapi perubahan-perubahan yang sedang dan bakal menimpa umat ini.

Untuk itu, biarlah Ayah tidak aktif dalam Muhammadiyah atau organisasi-organisasi lain, Ayah akan menolong orang-orang yang datang itu.

Menulis dalam Panjimas dan berkhutbah dengan tema-tema semacam itu."

Itulah yang pernah dikatakannya kepada saya berkali-kali, dan juga kepada Buya Zas, seorang sahabat yang paling intim.

(Rusydi HAMKA, Pribadi Dan Martabat Buya HAMKA, Hal. 148, Penerbit Noura, Cet.I, Januari 2017).

KEUTAMAAN ILMU

Ali bin Abi Thalib telah membuat perumpamaan tentang ahli ilmu itu demikian,

"Mereka kaum yang sedikit bilangannya tetapi besar harganya. Dengan perantaraan merekalah Allah memeliharakan hujjah agama-Nya, sehingga tidak sanggup si keras kepala melawannya. Merekalah yang jika akan meninggal dunia lebih dahulu menanamkan ilmu itu kepada hati orang yang serupa dengan hati mereka. Dengan ilmu mereka melahirkan hakikat iman dan menyatakan roh keyakinan, sehingga lunaklah barang yang keras, dan merasa ramailah orang yang bodoh di dalam kesepiannya; mereka tinggal di dunia, tetapi roh mereka bergantung kepada alam yang tinggi."

Ada pula ahli-ahli agama, yang tahu berapa simpang jalan di surga, berapa pintu masuk ke dalamnya, tahu nama "ma'waa" dan "na'im".

Tahu mana malaikat yang mengatur langit dan bumi, tetapi tidak tahu kewajibannya dalam masyarakat.

Keinginannya hendak ke surga saja, sehingga dia lupa bahwa dunianya telah jadi neraka karena kebodohan.

Negara telah merdeka, padahal jiwanya masih terjajah.

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 66, 71, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

KEBERANIAN BUDI

Keberanian budi, ialah berani menyatakan suatu perkara yang diyakini sendiri kebenarannya, walaupun akan dibenci orang.

Di dalam syara' agama Islam pekerti yang demikian namanya "amar bil makruf, nahyi anil munkar", menyuruh berbuat baik, mencegah berbuat jahat.

Dalam masyarakat perlu ada orang-orang yang berani menyatakan perkara-perkara yang dipandangnya benar.

Baik dengan sikap menyerang.

Misalnya menyatakan kesalahan perkara-perkara yang telah terbiasa dipakai orang, telah teradat, padahal tidak cocok lagi dengan zaman.

Atau sikap menangkis.

Yaitu kelihatan suatu hal yang bersalahan dengan kebenaran, dilakukan atau diucapkan orang lain, padahal tidak ada orang yang berani membantah, lalu kita bantah dengan alasan yang cukup.

Tidaklah suatu bangsa akan tegak, dan suatu paham dapat berdiri, kalau di antara bangsa itu sendiri tidak ada yang berani menyatakan kebenaran.

Sebab tiap-tiap bangsa amat segan mengubah yang lama.

Dia hendak tetap pada yang lama, padahal kadang-kadang tidak cocok dengan zamannya lagi.

Kalau ada suara baru mengkritik yang lama itu, tentu akan mendapat sambutan yang sengit dari si cap lama.

Orang akan ribut.

Tetapi yang berani menyatakan kebenaran itu mesti tahan.

Karena di dalam menjatuhkan suatu benteng, orang yang tegak di barisan pertama harus kena peluru, dan kadang-kadang jatuh mati.

Tetapi kelak serdadu barisan belakang akan berjalan terus di atas bangkai orang-orang yang di barisan muka tadi. Maju terus, menyerang terus, sampai peluru musuh habis.

Kemenangan di dapat dari perjuangan membawa hasil yang menyenangkan.

Demikianlah orang yang berani menyatakan paham baru.

Orang itu memang selalu datang mendahului zamannya.

Orang-orang yang sama hidup dengan dia belum kenal akan dia. Kelak mereka akan takluk juga.

Sekurang-kurangnya orang marah karena kritiknya, tetapi dengan diam-diam orang turuti apa yang dikatakannya.

Rahasia kemajuan negeri-negeri Barat ialah keberanian orang-orang yang terkemuka menyatakan pikiran dan pendapat.

Beratus tahun lamanya benua Eropa karam di dalam khayal dan angan-angan.

Tertutup pintu dan ilmu, yang sejati.

Penyelidikan hanya terpegang di tangan kepala-kepala agama.

Tiba-tiba menggeliatlah kebenaran, keluar dari pasungnya, bahwasanya ilmu itu bukanlah kepunyaan gereja saja, tetapi kepunyaan segala orang.

Berpuluh tahun lamanya orang-orang yang menyatakan pendapat baru itu dipasung, dihina, dimaki, dibunuh, direjam dan dibuang.

Tetapi mereka kerja terus, jatuh satu tegak yang lain, sehingga akhirnya kedaulatan ilmu pun tegaklah.

Kebenaran teguh di atas sendinya, tidak dapat digoncangkan lagi.

Adapun agama Islam sejak dia dilahirkan adalah membela dan menegakkan kebenaran yang tulen, kebenaran yang tidak bercampur sedikit juga dengan keraguan.

Setiap penganut Islam, wajib menyuruh berbuat baik mencegah yang munkar, sehingga berabad-abad lamanya Islam menjadi guru dunia.

Seruan Islam-lah yang membangunkan Eropa dari kungkungan pendeta-pendeta yang menghambat-hambat kebenaran itu.

Kemudian musim beralih, zaman bertukar.

Keberanian menyatakan kebenaran, menyatakan ilmu pengetahuan pindah ke Eropa dan penyakit benua Eropa pindah ke negeri Islam.

Ilmu yang tinggi-tinggi terhenti jalannya.

Dahulu ulama Islam mencari kebenaran.

Mereka ahli tafsir, ahli fiqih, filusuf, shufi.

Mereka yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang di langit.

Kemudian itu yang bernama ulama telah terlingkung dalam perkara tahu istinjak, tahu bersuci.

Ilmu dunia dikutuki, kebenaran dan penyelidikan yang baru dibenci, dikutuk, dikatakan menghalang dan menghilangkan Islam.

Maka bangunlah kaum muslimin kembali sejak timbul keberanian Sayid Jamaluddin al-Afghani, dan muridnya Syaikh Muhammad Abduh, dan muridnya pula Sayid Muhammad Rasyid Ridha, dengan berani berterus-terang menyatakan kebenaran.

Mula-mula mereka dikutuk, tetapi dengan diam-diam segala pelajaran mereka diikuti juga.

Di Indonesia muncul H. Abdullah Ahmad dan H. Rasul (H. Abdulkarim Amrullah), serta kawan-kawannya di Minangkabau dan Kiai Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya di Yogyakarta.

Mereka dibenci, dihalangi, dikatakan sesat.

Tetapi dengan diam-diam mereka diikuti juga.

Pelajarannya dituruti.

K.H.A. Dahlan mendirikan Muhammadiyah.

Orang kutuki Muhammadiyah dan orang halangi dan dituduh merusak agama.

Tetapi dengan diam-diam orang menirunya dengan mendirikan sekolah, bahkan beratus-ratus perkumpulan, yang jalannya sama, bekasnya sama, tujuannya tidak berapa berbeda, meskipun namanya yang bukan Muhammadiyah.

Muhammadiyah telah menempuh korban yang selalu ditemui oleh setiap pembuka jalan; mulanya dibenci akhirnya dituruti jejaknya.

Di zaman sekarang, terutama dalam dunia Islam, dan terutama pula di tanah air kita yang masih serba kekurangan, perlulah banyak jumlahnya orang-orang yang berani menyatakan paham.

Orang Seperti M. Syafei Kayutanam, yang berani meninggalkan hidup mewah, berkorban untuk memperbaiki pendidikan anak-anak bangsanya, yang selama ini menerima pendidikan penjajah.

Mesti banyak yang seperti Rahmah El Yunusiyah, yang berani hidup menjadi janda, karena memikirkan pendidikan saudara-saudaranya kaum perempuan.

Mesti timbul kelompok-kelompok muda yang berani menyatakan pendapat.

Sebab sekarang perhubungan telah mudah, percetakan telah banyak dan penerbitan telah ada.

Adapun orang yang enggan menyatakan keyakinannya karena takut akan dikritik, segan menyatakan pendirian karena takut akan dibenci, adalah orang yang pengecut.

Terutama sekali perlu diperhatikan oleh penulis-penulis dan pengarang-pengarang.

Orang yang pengecut, atau yang membungkamkan kebenaran karena takut dibenci, atau penulis-penulis yang hanya menurutkan kehendak orang banyak, walaupun dalam perkara yang tidak diselidiki lebih dalam, tidaklah akan dihargai orang.

Topengnya akan terbuka.

Sebab bukan pembela kebenaran tetapi pembela namanya sendiri.

Tegasnya pembela "periuk nasinya".

(Buya HAMKA, FALSAFAH HIDUP: Memecahkan Rahasia Kehidupan Berdasarkan Tuntunan Al-Qur'an dan As-Sunnah, Hal. 252, Republika Penerbit, Cet. IV, 2016).

RASA BENCI

Berapa orang mendengar pidato.

Pidato yang didengarnya itu akan berkesan ke dalam dirinya menurut ukuran penghargaannya. Orang yang datang hendak mengutip dan mencari kebaikan dari pidato itu, akan pulang membawa hasil yang menyenangkan.

Tetapi yang datang mencari-cari kalau ada pidato itu yang salah atau silap, itulah yang dijadikan modal untuk menghinakan dan membenci yang berpidato itu di luaran.

Membaca tulisan walaupun bagaimana keras dan panas isinya, tidaklah menyakitkan hati kalau cinta telah ada kepada penulisnya.

Tetapi meskipun tidak keras, biasa saja, kalau lebih dahulu telah ada perasaan hasad-dengki, bukan main besar kesannya kepada hati si pembenci dan pendengki itu.

Dia merasa saja bahwa dia disindir!

Demikianlah perumpamaan pendapat manusia di dalam gelanggang hidup.

Bentuknya tercipta menuntut warna penghargaan si pemiliknya. Berbagailah yang timbul ketika memberi keputusan.

Ada yang mengatakan baik, sebab sayang, ada yang mengatakan buruk, sebab benci.

Berbagai ragam keputusan menurut pengalaman, ilmu, dan penyelidikan.

Di sini dapatlah kita melihat, bahwa bahagia dan belaka itu hanya berpusat kepada sanubari orang, bukan pada zat barang yang dilihat.

Bagi kebanyakan orang, masuk bui menjadi kecelakaan dan kehinaan, bagi setengahnya pula, menjadi kemuliaan dan kebahagiaan.

Kata Ibnu Taimiyah,

"Bahwasanya di dunia ini ada suatu surga. Siapa saja yang belum pernah menempuhnya, tidaklah dia akan menempuh surga yang di akhirat."

Dan katanya pula,

"Apakah yang akan dilakukan oleh musuh-musuhku kepadaku? Surga dan jannahku ada dalam dadaku. Ke manapun, aku pergi, dia ikut dengan daku. Jika kau dimasukkan orang ke penjara, adalah itu khalwatku. Kalau aku diusir dari negeriku, adalah ganti aku bertamasya.

Jikalau aku keluarkan emas sepenuh benteng tempat aku dipenjarakan itu, akan jadi derma, belum juga dapat aku hargai kesyukuranku kepada Tuhan, lantaran nikmat-Nya yang begini.

Aku bukan terpenjara, sebab orang yang terpenjara, ialah yang dipenjarakan hatinya di tengah perjalanan mencari Tuhannya. Aku bukan tertawan ialah yang ditawan oleh hawa nafsunya."

Orang begini sukar ditimpa celaka!

Kedapatanlah dalam alam orang yang bersyukur kepada Allah atau nikmat-Nya, sedang di lain pihak menyesal kepada Allah, karena merasa nikmat itu belum cukup.

Maka banyaklah orang yang merasakan sangat bahagianya, padahal dia dalam bui, atau dalam rumah-sakit.

Dan banyak orang yang merasai celaka, padahal dia dalam sebuah gedung yang indah.

Gobloklah orang yang terbentang di hadapannya barang yang baik dan yang buruk, lalu dipilihnya yang buruk, kemudian dia meratap sebab telah memilih yang buruk.

Dan tidak ada yang lebih goblok daripada perasaan benci itu.

Padahal sifat alam kalau hendak dikaji-kaji, tidak ada yang sempurna menurut khayalan kita.

Lantaran kekecewaannya, kebencian tumbuh, hati patah, lupa bahwa yang cukup dan sempurna hanya Allah.

Bukan orang lain yang sakit lantaran itu melainkan dirinya sendiri, namun alam akan tetap keadaannya demikian.

Sebab itu hapuskanlah sifat benci, gantilah dengan sifat cinta.

Sehari pergantian itu, warna alam berubah dengan sendirinya, pada pandangan kita.

Sekarang tahulah kita apa takwilnya dendang ibu seketika menyanyikan anaknya semasa dalam ayunan.

Katanya,

"Anak kandung jangan menangis, orang penangis lekas rabun, orang penggamang mati jatuh, orang pemarah tanggal iman, pehiba hati lekas tua."

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 361, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

AL-QUR'AN MEMBAWA BERITA GEMBIRA

"Orang-orang yang Kami berikan kepada mereka al-Kitab, yang membacanya dengan sebenar-benar bacaan, mereka itulah yang akan beriman kepadanya." (al-Baqarah: 121).

Oleh sebab kalau hanya membaca semata membaca, bukan membaca sebenar membaca, bukan membaca dengan penuh perhatian, bukan membaca dengan persesuaian kesadaran ma'ani (makna yang ada dalam jiwa) dengan ucapan yang keluar dan mulut, tidaklah akan merasai kelezatan iman dari Al-Qur'an.

Berpuluh kali pun dibaca, beratus kali pun dapat menamatkan membaca Al-Qur'an, dia hanya akan berlenggang-lenggang saja di luar, tidak masuk ke dalam hati, laksana air di atas daun keladi, kalau tidak dengan penuh minat dan perhatian.

Di sinilah jelas perlunya setiap Muslim mengerti akan Al-Qur'annya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 495, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Ini pun menjadi iktibar pula bagi kita kaum Muslimin yang telah 14 Abad jarak dengan Nabi kita Muhammad saw.

Meskipun telah berjarak 14 Abad, namun apabila kita mengambil petunjuk Rasulullah saw. langsung dari Al-Qur'an yang telah beliau bawa, tidaklah kita akan tersesat.

Hanya dengan membaca Al-Qur'an dengan sebenar-benar bacaan dan memahamkan maksudnya; hanya dengan itulah kita akan dapat beriman kepada kebenarannya.

Tetapi orang yang membacanya hanya karena mengharapkan pahala, tetapi tidak tahu apa isinya, tidaklah diharap akan mendapat cahaya iman dari dalamnya.

Kemunduran kita kaum Muslimin dalam lapangan agama kita ialah setelah Al-Qur'an hanya untuk dibaca-baca cari pahala, tetapi tidak paham apa yang ditulis di dalamnya.

Apatah lagi setelah zaman kemunduran timbul gejala dalam kalangan Islam bahwa penafsiran orang yang dinamai ulama-lah yang wajib diperhatikan, karena beliau lebih paham akan Al-Qur'an daripada kita orang awam ini.

Seakan-akan ke-awam-an hendak dipertahankan terus-menerus.

Apakah si awam tidak berusaha supaya jadi ulama pula?

Satu waktu ada pula larangan mengartikan Al-Qur'an, tetapi berpahala membacanya.

Orang-orang yang berpikir bebas jadi bertanya-tanya dalam hatinya.

Kita sebagai orang Islam ingin mengetahui isi Al-Qur'an itu, tetapi kita tidak mempunyai waktu buat belajar bahasa Arab.

Kalau begitu, apakah baca-baca itu saja yang menjadi kewajiban kita orang Islam?

Apakah kita tidak boleh turut memikirkannya?

Oleh sebab itu, penulis Tafsir ini sampailah kepada suatu kesimpulan bahwasanya mengajarkan arti dan maksud Al-Qur'an kepada orang Islam yang belum mengerti bahasa Arab atau yang tidak ada waktu untuk mempelajarinya adalah menjadi kewajiban bagi orang-orang Islam yang mengerti bahasa itu.

Dalam pengalaman saya akhir-akhir ini di Jakarta, berpuluh orang laki-laki dan perempuan Islam yang selama ini mendapat pendidikan di sekolah-sekolah Barat membaca tafsir atau terjemahan Al-Qur'an ke bahasa Belanda atau Inggris dan sekarang sudah ada bahasa Indonesia, telah menjadi orang Islam yang tekun dan bertambah tekun keinginannya mempelajari lebih mendalam.

Meskipun pada mulanya, jangankan mengetahui bahasa Arab, sedangkan tulisannya itu saja mereka tidak tahu.

Banyak sekali mereka lebih paham maksud agama dari membaca terjemahan atau tafsir itu daripada orang-orang yang selalu membaca Al-Qur'an mengharapkan dapat pahala, padahal dia tidak tahu apa yang dia baca.

Kadang-kadang dalam pergolakan zaman timbul juga gejala-gejala pengaruh agama lain ke dalam masyarakat Islam bahwa yang berhak menentukan pemikiran agama itu hanya para golongan yang digelari ulama atau kiai.

Tetapi karena membaca keterangan keterangan Islam dalam bahasa asing bahwa dalam Islam tidak ada kelas kependetaan yang memutuskan halal-haram sesuatu, timbullah semangat mempelajari agama yang merata dalam kalangan kaum terpelajar.

Ini pun menggembirakan, sebab dengan demikian, golongan-golongan yang memang mempunyai keahlian, yang sebenarnya ulama Islam, dapat memperdalam studinya tentang agama dan pengetahuan umum. Sebab kepada mereka jugalah orang akan menanyakan jika timbul soal-soal yang musykil sebab keahlian mereka. Bukan sebab mereka yang memutuskan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 236, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ANCAMAN TERHADAP PENYEBAR BERITA DUSTA

"Sesungguhnya orang-orang yang suka sekali supaya tersebar berita-berita keji dalam kalangan orang-orang yang beriman, mereka akan mendapat adzab yang pedih di dunia dan akhirat. Allah-lah yang Maha Mengetahui dan kamu semua tidaklah mengetahui." (ayat 19).

Di dalam ayat 19 sudah dinyatakan, bahwa menyebut-nyebut kabar bohong dan dusta dalam kalangan orang-orang yang beriman bukanlah pekertinya orang yang beriman sejati.

Seorang Mukmin tidaklah mempunyai masa terluang buat menyebarkan kabar berita keji.

Sedangkan jika benar berita itu lagi, disuruh menutupnya, apalagi jika hanya semacam provokasi belaka untuk menambah kekacauan.

Tukang siarkan berita bohong akan disiksa Allah SWT di dunia dan di akhirat.

Di dunia ialah hilangnya nilai perkabaran, sehingga karena sekali lancung keujian, orang yang berakal budi tidak percaya lagi kepada berita yang datang di belakang, walaupun benar.

Masyarakat yang demikian menjadi tersiksa sebab percaya-mempercayai tidak ada lagi.

Masyarakat yang adil dan makmur ialah masyarakat yang percaya-mempercayai.

Jika hanya kabar berita bohong yang tersiar dalam masyarakat, maka keamanan jiwa raga dan perasaan tak ada lagi.

Betapapun besarnya kekayaan benda, tidaklah lagi memberikan keamanan.

Apabila orang luar masuk ke dalam masyarakat yang demikian, jiwanya rasa tertekan, dan apabila dia keluar kembali dadanya terasa lapang.

Lantas Allah SWT menerangkan pula ancaman adzab siksa di akhirat, dalam neraka Jahannam bagi orang-orang yang berbuat demikian.

Neraka Jahannam adalah tempat bagi orang yang tidak menegakkan maksud-maksud yang mulia dalam kehidupan dunia ini.

Di akhir ayat Allah SWT menyatakan hak mutlak-Nya yang tertinggi, pengetahuan sejati hanya ada di tangan-Nya, dan manusia tidak tahu apa-apa.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 280, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HARTA ANAK YATIM

PENYERAHAN DI HADAPAN SAKSI

"Kemudian apabila kamu menyerahkan harta mereka kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi atasnya."

Di sini jelaslah sudah bahwa kalau sudah datang waktu menyerahkan harta anak yatim ke tangannya, sebab dia sudah bisa mengurus sendiri, hendaklah di hadapan saksi. Sebab, dengan adanya saksi, si pengawas dapat mempertanggungjawabkan bagaimana dia menjaga harta itu.

Jika dia miskin, sebagaimana disebut di pangkal ayat, sehingga ada harta itu yang termakan dengan ma'ruf, hendaklah diketahui.

Patut dibayar, dibayar; patut minta ridha, diharapkan ridhanya.

Berkata Ibnu Abbas,

"Apabila usianya sudah baligh, serahkanlah hartanya di hadapan saksi karena begitu perintah Allah."

Ada juga pembicaraan ulama tentang hukumnya memakai saksi ketika penyerahan itu.

Madzhab Syafi'i dan Maliki menyatakan bahwa menyerahkan di hadapan saksi adalah wajib.

Ada juga ulama, antaranya dalam Madzhab Hanafi mengatakan ini hanya perintah sunnah.

Akan tetapi, apabila kita kaji sampai kepada bunyi ayatnya, menurut undang-undang ilmu Ushul Fiqih, di sini terdapat amar (perintah), yaitu fa asyhidu, hendaklah kamu adakan saksi.

Pokok pertama perintah adalah wajib, kecuali ada terdapat tanda-tanda lain yang menurunkan perintah itu kepada anjuran.

Di dalam ayat ini tidak terdapat isyarat yang akan menurunkan derajat perintah menjadi anjuran, malahan ujung ayat memberi petunjuk bahwa perintah ini lebih berat kepada wajib.

Sebab, ujung ayat berbunyi,

"Dan cukuplah Allah sebagai Penghitung." (ujung ayat 6).

Artinya, segala gerak-gerik, kejujuran, atau kecurangan wali pengawas harta anak yatim tidak lepas dari perhitungan dan pengawasan Allah. Kalau misalnya ada kecurangan, tidaklah hal itu dapat disembunyikan dari tilikan Allah Ta'aala. Kalau misalnya manusia dapat menyembunyikan dari mata sesama manusia di atas dunia ini, di akhirat pasti akan diperhitungkan kembali.

Menilik ujung ayat yang mengandung ancaman ini, penulis tafsir ini lebih condong kepada pendapat ulama-ulama Malikiyah dan Syafi'iyah tersebut tadi, bahwa hukum menghadirkan saksi ialah wajib.

Untuk menenteramkan hati dalam mengamalkan perintah Allah ini, tidaklah ada halangannya, bahkan sangat dianjurkan apabila penyerahan kembali harta anak yatim yang telah dewasa dilakukan di hadapan notaris.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 206-207, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AMANAH

Ayat terakhir dari surah al-Ahzaab ini patutlah kita sebutkan ayat amanah. Allah SWT hendak menjelaskan kepada kita dengan perantaraan Rasul-Nya bagaimana tinggi nilai amanah.

"Sesungguhnya Kami telah pernah mengemukakan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung maka engganlah semuanya akan memikulnya dan mereka merasa berat darinya." (pangkal ayat 72).

"Dan dipikullah dia oleh insan."

Artinya bahwa manusialah yang menampilkan diri buat memangku amanah itu. Tetapi apalah jadinya setelah manusia itu menyanggupinya.

Ujung ayat menjelaskan,

"Sesungguhnya mereka amat zalim dan bodoh." (ujung ayat 72).

Mereka disebut zalim karena mereka sia-siakan amanah itu, tidak mereka junjung tinggi tawaran Allah yang telah mereka terima, bahkan mereka sia-siakan. Mereka menjadi terhitung bodoh karena tidak tahu harga diri, sampai ada yang mau mempersekutukan yang lain dengan Allah, sampai ada yang mau menjadi orang munafik.

Maka datanglah ayat penutup yang masih ada hubungannya dengan ayat sebelumnya.

"Sehingga akan diadzab Allah-lah orang-orang yang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan." (pangkal ayat 73).

Sebab mereka adalah insan yang sangat aniaya, sangat zalim dan teramat bodoh, tak tahu diri. Sebab mereka telah menyia-nyiakan amanah yang tidak terpikul oleh langit dan bumi dan gunung-gunung. Bahkan hidup manusia itu sendiri pun adalah amanah Allah. Sebab tidaklah Allah menciptakan jin dan manusia melainkan untuk menghambakan diri kepada-Nya.

Mereka lupakan tugas itu, lalu hidupnya tersia-sia.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 272, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Maka, kamu, wahai umat yang mengaku beriman kepada Muhammad saw., janganlah menyangka bahwa akan enak-enak sebagai "itik pulang petang" saja melenggang-lenggok masuk surga, padahal kamu tidak tahu menderita karena menegakkan kebenaran.

Ayat ini sudah menegaskan, tidaklah boleh kaum Muslimin memimpi-mimpi, mengenang-ngenang akan masuk surga dengan tidak ada keberanian berkorban sebagaimana pengorbanan umat-umat dahulu.

Surga bukanlah disediakan untuk tukang mimpi.

Apakah sampai pada kita perjuangan itu akan berhenti?

Rasulullah mengatakan dengan tegas-tegas bahwasanya apabila semangat jihad mulai padam pada satu umat, itulah alamat kehancuran umat itu.

Semangat jihad bukan saja pada berperang angkat senjata. Meskipun itu benar juga jika datang waktunya, tetapi semangat jihad ialah kesungguh-sungguhan yang tidak pernah padam, tidak pernah redup, selamanya nyawa dikandung badan.

Rasa tidak puas sebelum ajaran Allah berjalan, mulainya pada diri, kemudian pada masyarakat.

Kalah dan menang pasti bertemu.

Akan tetapi, salah satu sebab yang penting dari kekalahan ialah apabila umat Islam telah mulai memandang bahwa masuk surga itu mudah saja,

Yaitu dengan membaca surah Yaasiin tiap-tiap malam jum'at, apabila guru-guru suluk telah mulai mengajarkan bahwa duduk tafakur di tempat sunyi adalah syarat untuk melakukan amar ma'ruf, nahi munkar.

Di zaman modern ini maka manakah umat penjunjung tinggi cita-cita yang berani tampil ke muka mendakwahkan kebenaran risalah Muhammad?

Dia pasti tidak akan segera mendapat sambutan.

Dia pasti akan sengsara, melarat, dan akan diguncangkan hidupnya, tetapi diteruskannya juga.

Ini karena dia telah menjual dirinya habis kepada Allah, untuk Allah hidupnya dan untuk Allah matinya.

Kadang-kadang sebagai seorang Muslim, kita menjadi takut membaca ayat-ayat yang seperti ini.

Baru berapa jasa kita kepada Islam yang telah kita "terima jadi" sebagai pusaka dari Nabi kita saw.?

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 406-410, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Ambillah cara memaafkan dan suruhlah berbuat yang ma'ruf; dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." (ayat 199).

Ini suatu pedoman perjuangan yang diperingatkan Allah kepada Rasul-Nya. Tiga unsur yang wajib diperhatikan dan dipegang teguh di dalam menghadapi pekerjaan besar menegakkan dakwah kepada umat manusia.

Pertama: ambillah cara memaafkan.

Dari berbagai macam tafsir, satu kita pilih, yaitu tafsir daripada Hisyam bin Urwah bin Zubair, yang diterimanya dari pamannya, Abdullah bin Zubair. Bahwa, arti 'afwa di sini ialah memaafkan kejanggalan-kejanggalan yang terdapat dalam akhlak manusia. Tafsir seperti ini terdapat juga daripada Ummul Mukminin Siti Aisyah.

Tegasnya, menurut penafsiran ini, diakuilah bahwa tiap-tiap manusia itu betapa pun baik hatinya dan shalih orangnya, tetapi pada dirinya pasti terdapat kelemahan-kelemahan.

Dalam pergaulan hidup yang luas atau dalam sekumpulan manusia yang sama cita-cita dan terdapat persamaan paham, berkumpullah banyak manusia dengan masing-masing mempunyai kelebihan, tetapi masing-masing pun mempunyai segi-segi yang lemah, yang kadang-kadang membosankan dan menyinggung perasaan. Hal inilah yang diperingatkan Allah terlebih dahulu kepada Rasul-Nya, bahwa yang demikian akan terdapat pada pengikut-pengikutnya yang beribu-ribu banyaknya itu. Maka, kekurangan-kekurangan pada perangai yang demikian itu, yang tidak mengenai dasar perjuangan, hendaklah memperbanyak maaf. Kalau dalam hal yang seperti ini terlalu bersikap keras, tidaklah ada teman itu yang bersih sama sekali dari cacat.

Kemudian laksanakanlah yang kedua: dan suruhlah berbuat yang ma'ruf.

Di dalam ayat ini ditulis 'urfi, yang satu artinya dengan ma'ruf, yaitu pekerjaan yang diakui oleh orang banyak atau pendapat umum, bahwa pekerjaan itu adalah baik. Berkali-kali telah kita tafsirkan bahwa kalimat ma'ruf artinya ialah yang dikenal baik; demikian juga kalimat 'uruf dikenal baik oleh manusia, dipuji, disetujui, dan tidak mendapat bantahan.

Lantaran itu, segala pekerjaan dan usaha yang akan mendatangkan kebaikan bagi diri pribadi dan segi pergaulan hidup bersama, termasuklah dalam lingkungan yang ma'ruf. Sebab itu, daerahnya luas sekali. Nabi Muhammad saw. disuruh memerintahkan kepada seluruh manusia atau khususnya kepada semua orang yang beriman, supaya berlomba membuat yang ma'ruf maka dengan demikian cacat dan kekurangan yang ada pada tiap-tiap orang, hendaklah diimbanginya dengan banyak-banyak membuat yang ma'ruf, sehingga masyarakat lslam itu menjadi masyarakat yang lebih menghadapkan perhatiannya kepada yang ma'ruf, berjiwa besar.

Tidak hanya cela-mencela di antara satu sama lain, mencari cacat orang, sehingga pekerjaan yang ma'ruf terhambat dari sebab membicarakan kekurangan orang lain.

Kemudian datanglah perintah yang ketiga: dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.

Maksud berpaling dari orang-orang yang bodoh, ialah karena ukuran yang dipakai oleh orang yang bodoh itu adalah ukuran yang singkat. Mereka akan mengemukakan asal-usul yang hanya timbul daripada pikiran yang singkat dan pandangan yang picik.

Maka, arti berpaling di sini ialah agar kita berhati-hati dengan bahaya orang-orang yang bodoh, orang yang berukuran singkat itu.

Inilah tiga pokok ajaran yang diberikan Allah kepada Rasul saw. di dalam memimpin umatnya, menyatu-padukan pengikutnya, menangkis serangan dan menolak segala bala dan bencana, yang bagi kita, kaum yang ingin menjawab waris dari Rasul akan menjadi pedoman pula buat selama-lamanya.

Berkata Sayyidina Ja'far ash-Shadiq r.a., "Tidak terdapat di dalam Al-Qur'an sebuah ayat yang menghimpun budi yang luhur melebihi ini. Karena akhlak itu dipandang dari segi kekuatan insaniyah terdapat tiga macam. Pertama mengenai akal, kedua mengenai syahwat, ketiga mengenai kebengisan. Yang mengenai akal ialah kebijaksanaan, yaitu menyuruh berbuat yang ma'ruf. Yang mengenai syahwat ialah iffah, menahan hati dan memberi maaf. Sifat bengis ialah syaja'ah, keberanian, yaitu berpaling dari orang yang bodoh-bodoh!"

Dan, kata kita, "Apabila seorang yang merasa dirinya bertanggung jawab dalam mengendalikan umat atau bangsa, dapat memegang teguh ketiga pedoman ini, akan jayalah pimpinannya terhadap umat."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 643-644, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Kamu telah diperlalaikan oleh bermegah-megahan." (ayat 1).

Kamu telah terlalai, terlengah dan kamu telah terpaling dari tujuan hidup yang sejati. Kamu tidak perhatikan lagi kesucian jiwa, kecerdasan akal memikirkan hari depan. Telah lengah kamu dari memerhatikan hidupmu yang akan mati, dan kamu telah lupa perhubunganmu dengan Allah Pencipta seluruh alam dan pencipta dirimu sendiri. Kamu terlalai dan terlengah dari itu semuanya, karena kamu telah diperdayakan oleh kemegahan harta benda.

Sampai kamu berbangga kepada sesamamu manusia, "Aku orang kaya. Aku banyak harta. Aku mempunyai keluarga besar, banyak anak dan banyak cucu."

Padahal semuanya itu adalah keduniaan yang fana belaka.

Bahwa segala perbuatanmu mengumpul dan bermegah-megah dengan harta dunia fana itu percuma belaka. Di akhirat semuanya itu tidaklah akan menolong.

Berkata setengah ahli tafsir, bahwa pada ayat 3 adalah pemberitahuan bahwa kamu akan tahu sendiri kelak apabila kamu telah masuk ke alam kubur; mana kainmu, mana bajumu, mana pangkatmu dan kebesaran yang kamu megahkan di dunia ini? Bukankah yang ada hanya kain kafan pembungkus diri?

Dan pada ayat 4 diperingatkan pula bahwa kamu kelak akan tahu sendiri, sesudah alam kubur itu akan dilanjutkan kepada Alam Barzakh, kemudian ada panggilan Hari Kiamat. Di waktu itu pun akan kamu saksikan sendiri bahwa kekayaan dunia yang kamu megahkan dahulu sama sekali tidak ada artinya lagi; yang berarti hanyalah amalan saleh di dunia untuk diambil hasilnya di akhirat.

"Sekali-kali tidak!" (pangkal ayat 5).

Diulangkan lagi, percumalah usahamu memegahkan harta benda yang tidak berarti itu.

"Sesungguhnya akan kamu lihatlah neraka itu." (ayat 5).

Tatkala hidup ini kamu pelajari ajaran Muhammad dengan saksama, dengan iman dan percaya, niscaya akan kamu lihat neraka itu sebagai ganjaran bagi orang yang ingkar. Meskipun belum engkau lihat dengan mata kepalamu, pasti dapatlah dilihat dan diyakini oleh pikiranmu yang sehat dan jernih.

Seorang sahabat Nabi, Abdullah bin Umar, pernah mengatakan bahwa dia telah melihat surga dan neraka! Dan dia merasakan telah masuk ke dalamnya. Lalu orang bertanya kepadanya, apakah yang dimaksudkan dari perkataan itu, padahal surga. dan neraka belum disaksikan di dunia sekarang? Lalu dia menjawab, bahwa Rasulullah saw. telah mengatakan beliau telah melihat surga dan neraka, maka dia pun menjadi yakin akan surga dan neraka itu. Sebab perkataan Rasul itu adalah benar! Mata Rasulullah saw. benar-benar telah melihat dan aku percaya kepadanya; sebab itu kalau Nabi telah melihat, berarti aku pun telah melihat.

"Kemudian itu." (pangkal ayat 7).

Sesudah kamu yakini dari pengetahuan, dari ilmu yang kamu terima dari Rasul yang mustahil berbohong.

"Sesungguhnya akan kamu lihatlah dianya dengan penglihatan yang yakin." (ujung ayat 7).

Sesudah diyakini berkat ilmu yang ada, berkat hudan (petunjuk) dan taufiq dari Allah, kelak pasti datang masanya keyakinan itu akan naik lagi kepada tingkat yang lebih tinggi. Yaitu keyakinan karena muayanah, keyakinan karena dapat dilihat mata, dapat dialami sendiri dalam kehidupan yang kekal, dalam kehidupan yang khulud. Itulah Hari Akhirat.

"Sesungguhnya kamu akan ditanyai di hari itu kelak dari hal nikmat." (ujung ayat 8).

Ayat ini adalah penutup, tetapi sebagai kunci bagi peringatan pada pembukaan ayat.

Di ayat pertama dikatakan bahwa kamu telah terlalai oleh kesukaanmu bermegah-megah dengan harta, dengan pangkat dan kedudukan, dengan anak dan keturunan.

Bermegah-megahan dengan kehidupan yang mewah, dengan rumah tangga laksana istana, kendaraan yang baru dan modes, emas-perak dan sawah ladang. Semua memang adalah nikmat dari Allah.

Tetapi ketahuilah oleh kamu bahwa akan bertubi-tubi pertanyaan datang tentang sikapmu terhadap segala nikmat itu:

Apa yang kamu perbuat dengan dia? Dari mana dapat olehmu segala nikmat itu?

Adakah dari yang halal atau dari yang haram?

Adakah kamu memperkaya diri dengan menghisap keringat, darah dan air mata sesamamu?

Dan lain-lain.

Ibnu Abbas mengatakan, "Bahkan nikmat karena kesehatan badan, kesehatan pendengaran dan penglihatan, pun akan ditanyakan. Allah tanyai langkah laku hamba-Nya dengan serba nikmat itu, meskipun Allah tahu apa pun yang mereka perbuat dengan dia."

Ibnu Jarir ath-Thabari mengatakan, "Seluruh nikmatlah yang dimaksud Allah akan dipertanggungjawabkan, akan ditanyai, tidak peduli apa jua pun nikmat itu."

Mujahid mengatakan, "Segala kepuasan duniawi adalah nikmat, semuanya akan ditanyakan."

Qadatah mengatakan, "Allah akan menanyakan kepada hamba-Nya bagaimana dia memakai nikmat-Nya itu dan bagaimana dia membayarkan haknya."

Sebab itu hati-hatilah, hendaklah kita mensyukuri segala nikmat Allah, janganlah melupakan kepada yang menganugerahkan nikmat, karena terpesona oleh nikmat itu sendiri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 281-283, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PEMBANGKANGAN ORANG-ORANG MEWAH

Qatadah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang mewah itu ialah orang-orang kayanya, pemimpin-pemimpinnya, penguasa-penguasanya dan penganjur segala kejahatan di negeri itu.

Sebaliknya maka adalah pengikut-pengikut pertama dan utama dari nabi-nabi adalah orang-orang yang lemah, orang tidak terkenal, orang-orang yang kurang mampu, budak-budak hamba sahaya. Di zaman Nabi Nuh pernah orang-orang yang mewah itu menyatakan bahwa mereka bersedia jadi pengikut beliau kalau orang-orang yang rendah itu disingkirkan. Nabi Musa diikuti oleh Bani Israil yang tertindas. Penghalang Nabi Muhammad di kalangan Quraisy ialah orang kaya-kaya, hartawan, saudagar dan orang-orang terkemuka, sebagaimana pamannya sendiri Abu Lahab, Abu Jahal, dan Abu Sufyan.

"Dan mereka berkata, "Kami lebih banyak mempunyai harta benda dan anak-anak."" (pangkal ayat 35).

Inilah yang dibanggakan oleh orang-orang yang mewah itu. Itulah kemegahan zaman jahiliyyah. Kalau harta benda banyak melimpah-limpah dan kalau anak keturunan pun berkembang biak, niscaya awak disegani orang. Dalam hal yang demikian apa perlunya agama? Apa perlunya mengaji berdalam-dalam? Apatah lagi setelah mereka lihat bahwa yang tekun beragama itu hanya orang-orang miskin.

Oleh karena mereka memandang segala urusan jadi mudah asal harta benda cukup, ancaman-ancaman yang dikemukakan Nabi itu hanyalah mempertakut-takuti saja.

"Melainkan barangsiapa yang beriman dan beramal yang saleh."

Pokok utama ialah bahwa kamu terlebih dahulu beriman kepada Allah. Iman itu kamu buktikan dengan amalan yang saleh.

"Dan orang-orang yang berusaha menghadapi ayat-ayat Kami, hendak melepaskan diri." (pangkal ayat 38).

Berusaha menghadapi atau menantang, tidak mau percaya, masa bodoh, atau mengakui tetapi tidak mau menjalankan.

Mengatakan diri beriman tetapi tidak mau beramal.

Mau menerima rezeki dari Allah sebanyak-banyaknya, tetapi bakhil tidak mau berbuat baik, yang merasa bahwa mereka dapat melepaskan diri dari pandangan Allah SWT, berlindung ke tempat yang gelap.

"Mereka itu akan dihadirkan ke dalam adzab siksaan." (ujung ayat 38).

Yaitu di dalam neraka Jahannam.

Berkata Abdul Hamid al-Hilali, Aku bertanya kepada Ibnu al-Munkadir,

Apa maksudnya seorang menafkahkan hartanya untuk kepentingan membela kehormatan dirinya?

Ibnu al-Munkadir menjawab,

Misalnya beri hadiah kepada seorang penyair atau seorang yang "punya lidah".

Ayat-ayat dari 29 sampai 33 ini menjadi renungan tiap orang yang berjuang menegakkan agama pada setiap zaman dan tempat, ruang dan waktu.

Nabi Muhammad saw. adalah nabi akhir dan sesudahnya tidak ada nabi lagi, dan Al-Qur'an yang beliau terima sebagai wahyu dari Allah SWT adalah untuk pedoman manusia bagi selanjutnya.

Nabi Muhammad saw. telah meninggal dunia, namun tugas mengembangkan dan mempertahankan agama ini beliau wariskan kepada ulama-ulama dengan sabda beliau,

"Ulama-ulama adalah penerima waris nabi-nabi".

Agama Islam wajib menempuh tajdid terus-menerus, yaitu perbaharuan pemahaman, menghilangkan kebekuan dan statis, menggantikannya dengan gerak yang dinamis dan dihayati terus.

Nabi sendiri pun pernah mengatakan, bahwa sekali dalam 100 Tahun akan datang orang-orang yang akan membaharu-baharui pemahaman agama itu.

Maka bagi orang yang agama Islam itu telah menjadi statis, tidak ada perbaharuan pemikiran, tidak ada gerak, mereka itu telah merasa enak dengan susunan yang lama, yang tumbuh kebiasaan-kebiasaan yang tidak berasal dari agama.

Orang-orang kaya, orang-orang yang berkuasa, pemuka-pemuka gerakan jahat, yang sebagaimana ditafsirkan Qatadah dari ayat 33 di atas tadi, tidaklah mau diganggu gugat dengan kesenangannya. Kalau ada seruan baru yang rasanya akan mengganggu kedudukannya, mereka akan menantangnya.

Segala gerak perbaharuan akan sangatlah mereka benci.

Kebanyakan mereka menerima agama sebagai pusaka dari nenek moyang dan mereka tidak mau bersusah-susah atau dibuat susah dalam urusan agama.

Meskipun misalnya mereka tidak pernah mengerjakan puasa di bulan Ramadhan, mereka tidak merasa bahwa itu beban yang harus dipikirkan berat. Kirimkan saja minyak tanah 1 kaleng ke langgar atau ke masjid tempat orang shalat tarawih selama bulan puasa, sudah cukuplah.

Atau ada juga yang selama bulan puasa itu mereka pergi juga ke masjid bertarawih, sangat giat dan sangat bersungguh-sungguh. Tetapi sehabis bulan puasa mereka tidak pernah pergi ke masjid lagi, sampai 11 bulan lamanya.

Mereka memandang bahwa yang penting dalam hidup zaman modern ini ialah uang.

Berapa simpanan dalam bank dalam negeri dan berapa pula simpanan di bank luar negeri.

Kalau ada lelang songkok Presiden di Istana, mereka akan mengeluarkan uang berjuta untuk melelang songkok itu, sebab akan dimasukkan orang di surat-surat kabar besok paginya.

Tetapi kalau ada orang yang datang meminta bantuan untuk mendirikan sebuah masjid atau rumah tempat memelihara orang miskin, akan lari ke dalam kamarnya dan memesankan kepada pembantu atau anaknya, suruh katakan bahwa dia tidak ada di rumah.

Kalau dia duduk berkuasa, memegang pemerintahan, permintaannya hanya dipuji-puji saja. Tidak boleh dikritik, tidak boleh ditunjukkan mana yang salah. Kalau dikatakan kesalahannya, orang dituduhnya anti-pemerintah.

Tidak ada perkenalannya dengan agama. Tetapi kalau dia meninggal atau ada keluarganya meninggal, buru-burulah dicari lebai-lebai yang akan disuruh membacakan surah Yaasiin di keliling jenazah sebelum jenazah dikuburkan. Sehabis membaca surah Yaasiin lebai-lebai itu disuruh pulang dengan diberi sedekah ala kadarnya. Dengan demikian menurut persangkaannya sudah bereslah urusan kematian itu dan sudah selamat dia di akhirat.

Oleh sebab itu, ulama-ulama yang benar-benar hendak memegang teguh pesan Rasul bahwa mereka adalah penerima waris Nabi, akan sukarlah kedudukannya kalau dia insafi kedudukannya sebagai penjawat waris-waris nabi-nabi itu.

Tetapi dia akan senang, dia akan mendapat pujian banyak dari pihak penguasa, kalau dia diam dalam seribu bahasa melihat kemungkaran yang telah bersimaharajalela, kemewahan yang telah memperdalam jurang pemisah di antara yang kaya dengan yang miskin.

Oleh sebab itu, menjadi ulama pewaris Nabi meminta keteguhan hati, kekuatan pribadi dan kejantanan sikap.

Dan itu hanya akan diperdapat apabila diri selalu diperkuat dengan ibadah kepada Allah, taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah SWT), dan membebaskan jiwa dari pengaruh benda.

Sebab pewarisan yang terutama ialah melakukan dakwah, amar ma'ruf nahi munkar.

Dengan tidak melupakan tingkat dakwah yang tiga:

(1) bilhikmati (bijaksana),

(2) wal mau'izhatii hasanati (memberikan ajaran yang baik), dan

(3) wa jadilhum billati hia ahsanu (ajak mereka bertukar pikiran dengan cara-cara yang baik).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 321-326, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan kalau bukanlah Kurnia Allah atas kamu dan Rahmat-Nya, sesungguhnya kamu semua telah mengikuti Setan, kecuali sedikit." (ujung ayat 83).

Di sini dijelaskan bahwasanya kabar-kabar yang datang kepada kamu itu lalu kamu siar-siarkan sebelum dinilai oleh ahlinya tentang kebenaran berita itu, dengan tidak kamu sadari kamu telah mengikuti Setan.

Yang menjadi Setan pertama ialah penyiar pertama dari kabar itu atau yang mengarangkannya.

Kemudian berturut-turut timbul Setan yang lain-lain, yaitu penambah dan pembumbu kabar itu sehingga orang jadi kacau.

Biasanya yang tertarik oleh provokasi hasutan Setan itu ialah orang banyak.

Orang banyak yang tidak bertanggung jawab.

Orang banyak yang bisa saja dibawa oleh gelombang bisik desus umum.

Kabar yang masih meragukan bisa saja mereka terima sebagai suatu kebenaran.

Inilah yang di zaman kita disebut psywar, perang urat saraf, atau isu-isu yang membuat kacau pikiran.

Tukang-tukang membuat bisik desus dan isu-isu itu adalah Setan belaka.

Hanya sedikit orang yang tidak akan terkena oleh kabar-kabar semacam itu, yaitu orang yang masih berpikiran sehat.

Adapun orang banyak, payahlah membebaskan diri dari pengaruh kabar-kabar yang orang banyak itu sendiri telah tenggelam ke dalamnya.

Itulah perlunya bila datang suatu berita baik yang mengamankan pikiran atau yang mendatangkan cemas supaya lekas dilaporkan kepada pihak yang berwajib.

Orang-orang yang ditentukan untuk menyelidiki berita itu akan menilainya.

Orang-orang yang menyelidiki itu disebut di dalam ayat Alladzina Yastanbithunahu.

Yasthanbithunahu adalah fi'il mudahri', dari pokok kata (mashdar) Isthinbaath, yang boleh juga diartikan ahli analisis.

Dari ayat ini kita telah mendapat kesan pula bahwa pemerintahan yang teratur mengadakan badan intelijen, yang selalu mencari berita, dan menilai berita itu, dan menjaga pengaruhnya kepada umum.

Dari sini seorang yang mengaku beriman kepada Allah mendapat pengajaran bahwa tidaklah layak segala yang didengar lalu dibicarakan kepada orang lain sebab siar-menyiarkan itu saja sudah boleh dimasukkan dalam berdusta.

Dengan menyebar-nyebarkan suatu kabar ganjil seseorang hendak menyatakan suatu keistimewaan dirinya daripada orang lain, bahwa dia segala tahu. Dia berdekat dengan "orang di atas".

Tersebutlah di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda,

"Cukuplah seseorang menjadi pendusta kalau dia hendak membicarakan segala yang didengarnya." (HR. Muslim).

Dari ayat ini juga as-Sayuthi dapat mengambil kesimpulan bahwa sesuatu perkara yang datang itu, baik yang mengamankan ataupun yang mencemaskan, disuruh segera mengembalikannya kepada Rasul dan ulil amri, adalah menjadi pokok terbesar bagi membuka pintu ijtihad dan istinbaath.

Sebagaimana juga al-Muhasyammi mengatakan, "Kalau di dalam Al-Qur'an terdapat perkara yang menimbulkan perselisihan pendapat, wajiblah mereka mencari tafsirnya kepada Rasul dan kepada ulama-ulama. Sebab ulama-ulama itulah yang sebenar ulil amri, sesudah Rasul. Supaya ulama itu mengajarkan kepada mereka hasil ijtihad dalam meng-istinbaath-kan hukum yang sesuai."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 378-379, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ISLAM UNTUK INDONESIA

HAMKA sadar sekali bahwa negara-negara Islam masa lalu sering gagal mencapai cita-cita tersebut; beberapa malah menjadi contoh buruk tirani dan eksploitasi.

Di Indonesia, sebagian sultan dan raja yang berkuasa sewenang-wenang itu Muslim.

Jadi, selagi Indonesia mengalami kemerdekaan, bagaimana caranya Islam menjadi "pedoman masyarakat"?

Jawabannya, kata HAMKA, ada di kemampuan Islam berubah mengikuti zaman, berevolusi seiring evolusi masyarakat manusia.

Dengan mengandalkan sumber asli Islam, Al-Qur'an, bersama hadits shahih dan penggunaan akal secara tertib, umat Islam Indonesia dapat menciptakan masyarakat yang benar-benar modern dan Islami.

Dalam bentuknya yang paling murni, masyarakat itu kiranya memadukan perilaku dan kepercayaan, agama dan negara, "laksana paduan minyak dan air dalam susu".

Apa yang menghalangi jalan? HAMKA biasanya menunjuk ke penghalang di dalam komunitas Muslim sendiri.

Banyak orang Indonesia tidak mengetahui ajaran Islam yang sejati.

Kemalasan dan kepicikan di kalangan ulama, dan kecenderungan umat mengikuti otoritas secara membuta, menghambat kemajuan.

Banyak di antara kita, kata HAMKA menggunakan gambaran kesukaannya, seperti Pak Turut.

Beberapa mempertahankan aturan agama berumur 700 Tahun tanpa kritis, yang ada sejak masa keemasan Baghdad dan Mesir, atau ajaran ulama yang ketinggalan zaman.

Yang lain tertarik demokrasi Amerika, liberalisme Abad ke-19, dan komunisme Rusia.

Daripada mengikuti pihak lain secara membuta, tulis HAMKA, seharusnya kita percaya kepada "pribadi bangsa sendiri".

Untuk mencapai tujuan, sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad, kita harus "mulai dari diri kita sendiri".

Apa yang ada di diri kita sendiri itu?

HAMKA menulis satu buku lagi tentang perkara itu pada 1950-an: Peribadi.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 121-122, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

KENANG-KENANGAN HIDUP

KEPUTUSAN PERISTIWA 3 MARET

Pada 28 Agustus 1947, dibukalah kembali perkara peristiwa 3 Maret dalam Mahkamah Tentara di Markas Divisi IX di Bukittinggi. Orang yang datang mendengar lebih ramai daripada dahulu. Di antaranya kelihatan Rasuna Said sebagai anggota sekretariat FPN, Encik Rahmah el-Yunusiyah, dan beberapa orang ulama dan ninik mamak.

Barisan Hizbullah bukan sedikit yang hendak menjalankan hukum rajam bagi yang berzina dan potong tangan bagi yang mencuri; sekarang juga!

Karena embusan dari beberapa orang yang sempit pemahaman, dinyatakan bahwasanya berjuang di luar Hizbullah atau Sabilillah, kalau mati, adalah mati kafir. Tidak mendapat syahid.

Timbullah kebencian yang masuk Hizbullah kepada yang masuk TNI.

Yang masuk TNI pun menuduh pihak Hizbullah dan lain-lain sebagai anasir-anasir yang menghambat pertumbuhan mereka.

KONSUL TIGA NEGARA

Tetamu yang mulia! Tuan lihat sendiri, begini indah tanah air kami. Adakah Tuan lihat di dunia, alam seindah ini, gunungnya, sawahnya, dan seluruh alamnya? Tanah yang kami cintai ini lepas dari tangan kami 350 Tahun lebih lamanya, padahal kami yang punya. Kami seperti orang dagang di tanah air kami sendiri. Sejak 17 Agustus 1945, kedua pemimpin kami, Bung Karno dan Bung Hatta yang kami cintai ini menyampaikan hasrat kami kepada dunia! Sejak tanggal itu kami telah merdeka! Kami telah merdeka, Tuan yang mulia! Dalam kemerdekaan itu, kami tidak hendak membenci orang lain. Kami bersahabat dengan segala bangsa, dengan bangsa Tuan ketiganya dan bangsa mana sekalipun. Tuan lihat, katanya pula, sambil melengung kepada rakyat yang beribu-ribu itu, yang hening menurutkan bunyi pidatonya. Tuan lihat! Bagaimana damainya wajah kami dan mulianya tetamu di mata kami. Sekarang dengan tiba-tiba kemerdekaan itu dirampas kembali oleh Belanda dengan segenap kekerasan dan kekuatannya, dengan senjatanya yang lengkap. Kami terpaksa mempertahankan hak kami, wahai Paduka Tuan! Meskipun pada kami hanya bambu runcing, kami tidak akan lepaskan lagi tanah air kami yang indah ini. Dalam kemerdekaan yang kami peroleh dengan darah dan air mata ini, kami tidak mengganggu dan mengusik orang asing yang hidup di tanah air kami ini!

Merdeka!

"Merdeka!" gemuruh sambutan rakyat. Sekali itu jelas hal kelihatan Bung Hatta yang pekat hati itu menitik air matanya. Payah dia menelan, tetapi para pemimpin menyaksikan sudah bahwa cinta mereka kepada pemimpinnya telah mendapat balasan dari pemimpin keras itu. Konsul Australia, di atas nama ketiganya menjawab bahwasanya suara yang benar itu akan disampaikannya kepada Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan secepatnya. Wartawan-wartawan luar negeri pun menulis demonstrasi yang bersejarah itu dengan penuh penghargaan.

(Buya HAMKA, KENANG-KENANGAN HIDUP, Hal. 524-536, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Mei 2018).

AGAMA ISLAM DALAM MEMBENTUK RIWAYATNYA

ZAMAN GELAP. Sekarang mari kita pergi ke salah satu masjid di zaman gelap itu. Barangkali di sana kita mendapat kepuasan hati, bukankah masjid pusat kesatuan keluarga Muslimin menurut ajaran Nabi saw. Setelah beliau wafat, khalifah-khalifahnya sendiri membaca khutbah. Di sana terdengar ajaran mingguan mengenai dunia akhirat, politik, sosial, penghidupan, dan budi. Di sana perasaan aman damai, menghadapkan jiwa kepada Allah SWT. Sesudah seminggu berjuang dengan kesulitan hidup.

Apa yang kita dapati di sana, di zaman kejatuhan itu? Halaman kotor, kolamnya penuh air yang telah hijau lumut, campuran segala dahak dan ludah, tampang segala penyakit. Di pekarangannya duduk makhluk sengsara, miskin, dan kehilangan penghidupan telah habis energinya untuk menempuh hidup karena ajaran Jabariyah, menunggu takdir. Ditadahkannya tangan minta sedekah. Jangan diberi karena kalau diberi seorang, yang lain akan datang berkerumun, menghela-hela baju tuan, seorang dan dua orang, sepuluh orang dan seratus orang, malunya tidak ada lagi sama sekali. Anak kematian ayah, perempuan dengan anaknya yang sarat menyusu, laki-laki tua yang tidak berbaju, pemuda yang penuh badannya oleh borok dan kudis. Sebentar lagi raja akan datang dengan pakaian yang indah-indah, hasil keringat si miskin yang terkapar itu.

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 58-59, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).