Senin

BUYA HAMKA TENTANG TANDA-TANDA KIAMAT: TURUNNYA NABI ISA AS, DAJJAL, YA'JUJ DAN MA'JUJ DSB.

PENDAHULUAN

Ilmu dalam Islam adalah yang ada dasar dan dalilnya, terutama dari dalam Al-Qur'an dan dari As-Sunnah, termasuk juga penafsiran ulama-ulama yang telah mendapat kepercayaan dari umat, yang disebut Salafus Shalihin.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 305, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

HUKUMAN PENCURI

"Apakah tidak engkau ketahui bahwasanya Allah, bagi-Nya-lah kerajaan semua langit dan bumi. Dia akan menyiksa barangsiapa yang Dia kehendaki dan akan memberi ampun barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Kuasa." (al-Maa'idah: 40).

Kekuasaan Allah adalah mutlak atas hamba-Nya. Maha Kuasa memberi ampun dan Maha Kuasa menjatuhkan adzab. Rahasia hamba-hamba-Nya itu semuanya ada pada tangan Allah. Hamba-hamba itu sendiri tidak perlu campur tangan menentukan, mengapa si anu diampuni dan mengapa si anu disiksa. Mengapa si pencuri kain jemuran dipotong tangan, sedang si pencuri besar, kaya hidup senang. Sedangkan terhadap rahasia diri kita sendiri, Allah pun lebih tahu daripada kita, kononlah rahasia orang lain. Sebab itu, soal-soal seperti ini lebih baik jangan kita campurkan dengan pembicaraan filsafat, sebagaimana perbincangan kaum Mu'tazilah dan Asy'ariyah di zaman dahulu. Mu'tazilah mengatakan bahwa mustahil Allah akan menyiksa orang yang beramal baik. Lalu kaum Asy'ariyah keberatan dan bertanya, "Mengapa kekuasaan Allah engkau batasi?"

Sebab itu di sini kita kemukakan saja Madzhab Salaf, Madzhab yang paling memuaskan hati yang beriman.

Yaitu bahwa Allah tetap Maha Kuasa yang mutlak dan rahasia hamba-hamba-Nya yang patut diberi ampun atau disiksa, Allah sajalah yang tahu. Dan terlalu sia-sia kalau kita berbicara lebih dari itu, sebab tempo bisa terbuang karena terlalu memikirkan masalah Allah. Lalu tugas amal telantar.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 693-694, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEKALKAH NERAKA ITU?

Ayat ini diperhubungkan pula dengan ayat 107 dan 108 dari surah Huud yang di dalam kedua ayat itu dijelaskan bahwa orang yang celaka akan dimasukkan ke dalam neraka sampai menangis dan menjerit-jerit (ayat 106). Kekal mereka di dalam selama ada langit dan bumi kecuali apa yang dikehendaki oleh Tuhan engkau karena Dia Maha Kuasa akan berbuat apa yang Dia kehendaki. Dan, orang yang berbahagia akan kekal pula dalam surga selama ada langit dan bumi kecuali apa yang dikehendaki oleh Tuhan engkau, yaitu pemberian yang tidak putus-putus.

Maka, ketiga ayat ini, yaitu surah al-An'aam ayat 126 ini dan surah Huud ayat 107-108 menyebabkan timbulnya perbincangan yang ramai sekali di antara ulama-ulama, terutama mengenai karunia dan adzab Allah. Menjadi perbincangan, karena berpuluh ayat menerangkan akan adanya makhluk Allah yang akan kekal (khalidin, khaliduuna) di dalam neraka, tidak akan keluar-keluar lagi dari dalamnya. Sampai menjadi perbincangan pula, apakah manusia-manusia yang akan dikekalkan dalam neraka semata-mata jiwanya itu hanya kejahatan belaka? Tidak ada kebaikan sedikit juga sehingga dia terus menerima adzab, tidak sedikit juga akan ada ampun? Sampai menjadi perbincangan orang tentang orang-orang kafir, tidak menerima kepercayaan pada Islam, tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad saw., dan tidak percaya pada Al-Qur'an, tetapi ada jasanya yang baik ketika hidupnya, yang diakui oleh seluruh manusia, apakah orang semacam itu akan kekal selama-lamanya dalam neraka? Padahal barangkali dia tidak memeluk agama Islam itu karena dia belum mendengar keterangan yang nyata? Sampai dirembet-rembetkan orang pada urusan takdir? Apakah kepentingannya bagi Allah menakdirkan seseorang, dari bermula lahir ke dunia belum menerima keterangan sama sekali tentang keindahan Islam, sebab itu selama hidup dia tidak masuk Islam, tetapi di kala hidupnya itu dia banyak berbuat kebajikan, tetapi oleh karena dia tidak masuk Islam, dia wajib masuk neraka dan kekal selamanya di dalam neraka? Kekal selama-lamanya, tidak berujung sama sekali. Padahal, berkali-kali pula disebut di dalam Al-Qur'an bahwa Allah itu mewajibkan kepada dirinya sendiri memberikan rahmat kepada hamba-Nya, bersifat rahman dan rahim.

Di dalam ketiga ayat ini bertemulah bahan-bahan penting untuk membuka pikiran kita yang terutama sekali ialah bahwa pada ketiga ayat bertemu firman Allah,

"Kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah."

Bahan pemikiran yang kedua ialah ujung ayat 128 yang tengah dibincangkan ini, yaitu bahwa Allah itu mempunyai sifat "Maha Bijaksana dan Mengetahui."

Dan pada ayat 107 surah Huud dikatakan pula bahwa,

"Allah Maha Kuasa berbuat apa yang Dia kehendaki."

Diriwayatkan oleh Abu Nadhrah yang diterimanya dari sahabat Rasulullah saw., Jabir bin Abdullah al-Anshari atau dari Abu Said al-Khudri atau dari salah seorang dari sahabat Rasulullah saw. bahwa ketika membicarakan ayat 107 surah Huud ini, "Kecuali apa yang dikehendaki oleh Tuhan engkau, sesungguhnya Tuhan engkau Maha Kuasa berbuat apa yang Dia kehendaki." Berkata Rasulullah saw., "Ayat ini telah memberikan keputusan atas Al-Qur'an, amat banyak ayat menerangkan kekal dalam neraka itu. Maka dengan ayat 107 surah Huud ini, diberi penjelasanlah apa maksud kekal itu."

Apalagi ada pula riwayat yang disampaikan orang dari Umar bin Khaththab bahwa beliau pernah berkata, "Meskipun telah menetap, penghuni neraka itu bersempit-sempit laksana pasir di dalamnya, pada suatu hari mereka keluar juga dari dalamnya."

Dan lebih tegas lagi perkataan Abu Hurairah, "Akan datang suatu hari, tidak seorang juga lagi yang tinggal dalam neraka itu."

Dan berkata pula Ibnu Mas'ud, "Akan datang zamannya, pintu-pintu neraka itu ternganga lebar," yang dijelaskan maksudnya oleh Ibnu Jarir, "Artinya karena tidak seorang pun di dalamnya lagi, sesudah mereka berdiam di dalamnya bersama-sama (ahqaaban)."

Dan berkata pula asy-Syu'bi (tabi'in), "Jahannam itu sangat cepat penuh dan sangat cepat runtuh."

Lebih jauh, menjadi perbincangan lagi perbandingan di antara ayat 107 dengan ayat 108 itu. Ayat 107 diujungi dengan firman Allah bahwa Dia berkuasa berbuat apa yang Dia Kehendaki. Artinya, Maha Kuasa Allah mencabut orang yang aturannya dihukum kekal di neraka itu, buat memindahkannya ke surga.

Bahkan, Maha Kuasa pula Allah menutup atau menghancurkan neraka itu sendiri sebab tugasnya sudah habis.

Kalimat fa'aalun adalah berarti sifat yang sudah sangat tinggi, tidak siapa pun yang dapat menghalanginya meskipun neraka sekekal langit dan bumi, namun Allah Maha Kuasa berbuat apa yang Dia sukai.

Sedangkan, langit dan bumi itu pun Dia Maha Kuasa meruntuhkannya, apatah lagi menutup neraka dan menghabiskannya selama-lamanya atau memindahkan sekalian orang yang berdosa yang kekal di dalamnya itu ke dalam surga, setelah habis dibersihkan dosa-dosa mereka.

Namun ujung dari ayat 108, yaitu tentang ahli surga, lain pula. Di sana disebutkan, "Pemberian yang tidak putus-putus."

Maka, dari memahami dan membandingkan kedua ayat ini, ahli tafsir yang besar, Ibnu Jarir, mengambil kesimpulan bahwa nikmat kepada penghuni surga tidaklah akan putus-putus, bahkan lebih lama dari masa adanya langit dan bumi. Adapun pada ayat yang sebelumnya, tidaklah kita diberi ketegasan, apakah adzab ahli neraka itu diperpanjang ataupun dikurangi, tetapi keduanya itu adalah jaiz, artinya boleh saja bagi Allah.

Al-Muhaqqiq (penyelidik yang mendalam), Ibnul Qayyim al-Jauziah di dalam kitabnya, Hadil Arwaah menyatakan pendapatnya sesudah mengaji soal ini panjang lebar dan membawakan dalil-dalil dari masing-masing pihak tentang kekal atau tidaknya manusia dalam neraka itu.

Menurut kesimpulan beliau, neraka itu sendiri pun akhirnya akan ditutup.

Orang akan masuk ke dalam neraka menurut kadar dosanya yang akan dibersihkan. Berapa lama masing-masing orang di dalamnya adalah seluruhnya pada ketentuan Allah SWT. Ada orang yang kekal dalam neraka selama neraka itu masih ada. Dan ada yang diam dalam neraka itu beberapa huqub. (surah an-Naba' ayat 23). Satu huqub adalah selama 80 tahun. Maka, ada orang yang akan berdiam di neraka itu beberapa kali 80 tahun dan ada yang lainnya kurang dari itu. Kemudian neraka itu sendiri dihabiskan oleh Allah karena menurut pendapat Ibnul Qayyim sifat yang pokok dari Allah ialah rahmat, kasih, dan sayang.

Jikalau Allah memberikan siksaan, sekali-kali bukanlah dari sikap kebencian atau dendam. Bahkan, kata beliau, Allah Ta'aala itu tidak berkepentingan buat menahan hamba-Nya meringkuk dalam neraka kekal selama-lamanya.

Dan kata beliau pula, tidak ada manusia yang tidak ada kebaikan sama sekali di dalam jiwanya.

Orang hanya dihukum dalam neraka menurut besar atau kecil dosanya. Dosa yang paling besar kekal dalam neraka, selama neraka itu masih ada. Setelah itu neraka ditutup, sebab keperluannya tidak ada lagi karena makhluk sudah dibersihkan dari daki dosanya dan yang selebihnya diberi ampun oleh Allah, sebab Allah itu mempunyai sifat 'afuwun, pemberi maaf.

Sayyid Rasyid Ridha mengarang Tafsir al-Manar, menyalin seluruh pembahasan Ibnul Qayyim dalam kitab Hadil Arwaah ini ke dalam tafsir beliau Juz ke-8 dan menambah keterangan lagi bahwa banyak di antara ahli-ahli tafsir dan ulama-ulama ahli mengarangkan kitab-kitab tentang telah mengisyarakatkan uraian yang penting dari Ibnul Qayyim ini.

Kemudian, kata Sayyid Rasyid Ridha, "Kita salin keterangan beliau ini, meskipun panjang karena di dalamnya tersimpan beberapa kenyataan penting dan karena suatu soal lain yang lebih mustahak pula, yaitu karena kita tahu bahwa dalam segala golongan agama ada suatu kepercayaan bahwa pemeluk agama yang akan selamat hanyalah pemeluk agama mereka saja, dan segala pemeluk agama lain itu akan celaka dan akan disiksa dengan siksaan yang kekal, abadi, tidak berhenti-henti, selama-lamanya, beribu-ribu tahun, ber-ahqab dan huqub yang bertambah lama bertambah hebat adzab siksaan itu. Orang Muslimin sendiri pun mempunyai kepercayaan yang demikian, secara taqlid, padahal mereka pula yang mengatakan bahwa Allah itu arhamurrahimin, lebih pengasih dari sekalian orang yang pengasih. Bahkan, dikatakan pula bahwa kasih ibu pada anaknya, hanyalah sejemput pasir kecil saja dari kasih rahmat Ilahi kepada hamba-Nya. Oleh karena itu, pembahasan ini patut menjadi perhatian bagi menghilangkan syubhat (keraguan jiwa), agar orang kembali pada agama Allah, tunduk pada perintah dan larangan, mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan iqab-Nya yang tidak diketahui betapa kadarnya."

Dan, supaya kita jangan terlalu lama tenggelam ke dalam perselisihan ulama tentang kekal atau tidak kekalnya mereka itu, mari kita kembali ke dalam maksud yang terkandung di dalam ayat, menurut ukuran berpikir tentang kekuasaan mutlak dari Allah.

Artinya, walaupun Tuhan telah memutuskan si anu akan sekian ratus tahun dalam neraka, Tuhan Maha Kuasa buat mengurangi hukuman itu, lalu memindahkan mereka ke dalam surga.

Sebab kasih sayang, atau sifat rahmat adalah sifat yang telah diwajibkan sendiri oleh Allah atas dirinya.

Bahkan neraka itu sendiri merupakan makhluk yang dijadikan Allah. Jikalau Allah Ta'aala Maha Kuasa menciptakannya, niscaya Allah pun Maha Kuasa menutup atau menghabiskannya.

Mungkin orang yang imannya masih kabur tersenyum mendengarkan hal ini lalu lebih lancang berbuat dosa karena akhirnya mereka pun akan dihapuskan juga.

Namun, orang yang Mukmin tidaklah berpikir demikian.

Mereka takut akan kemurkaan Allah, walaupun dia akan disiksa dalam neraka hanya 1 menit saja. Sebab, memegang kawat yang mengalirkan setrum listrik 1 detik, lalu membawa bahaya kematian (tidak sanggup, ed.), betapa lagi siksaan 1 menit yang disetrum oleh siksaan Allah.

Ketiga ayat ini, telah membuka hati kita buat berpikir.

Dan, selalulah kita mengharapkan karunia Ilahi agar hati kita dibukakan, dijauhkan hendaknya kita dari siksa dan janganlah sampai kita terbenam lama dalam neraka.

Usahkan kekal sampai neraka habis, sedangkan tersinggung bara panas di dunia ini saja sudah tak terderitakan lagi sakitnya, betapa lagi kalau masuk neraka, walaupun hanya 1 menit saja.

"Tuhanku, tidak ada tempat berlindung dari murka-Mu melainkan kepada Engkau juga akan kembali."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 279-282, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

UNTUK JADI PENGAJARAN BAGI INSAN

Ada dua hal yang menjadi perbincangan di antara ulama, yang menyangkut kedua ayat ini, ayat 107 dan 108.

Hal yang pertama ialah karena di dalamnya disebutkan "selama ada semua langit dan bumi", yang kedua, di kedua ayat itu ada tersebut "kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah engkau".

Dari yang pertama timbullah soal, Apakah semua langit dan bumi setelah Kiamat itu kelak, langit dan bumi yang sekarang jua? Ataukah akan ada lagi semua langit atau beberapa langit dan bumi yang lain? Apatah lagi tersebut pula di dalam surah az-Zumar ayat 74 bahwa ahli-ahli surga merasa berbahagia karena kepada mereka pun diwariskan Allah bumi dan boleh memilih tempat dalam surga di mana yang dia sukai. Maka timbullah pertanyaan, kalau surga dan neraka akan kekal selama ada semua langit dan bumi, yang dimaksud ialah semua langit dan bumi yang sekarang ini, bukankah itu berlawan dengan berpuluh ayat-ayat lain yang menyatakan bahwa bila Kiamat datang, langit akan digulung, bumi akan diratakan, gunung-gunung akan dilumatkan menjadi abu dan bintang-bintang akan gugur.

Kemusykilan yang pertama ini telah mendapat jawaban yang tegas dalam surah Ibraahiim ayat 48,

"Pada hari diganti bumi dengan bumi lain dan semua langit, dan mereka akan menghadap kepada Allah, Yang Maha Esa, Maha Gagah Perkasa." (Ibraahiim: 48).

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan (penafsiran dari Ibnu Abbas) bahwa tiap-tiap surga itu mempunyai langit dan bumi.

Dengan demikian, hilanglah keraguan; memang semua langit yang sekarang dan bumi yang sekarang akan dihancurkan bila Kiamat datang dan akan diganti dengan beberapa langit dan bumi yang baru.

Bagaimana cara pergantian itu tidak dapatlah akal kita mengorek-ngorek lagi sebab sudah termasuk ke dalam lapangan alam gaib. Melainkan apa yang tersebut dalam Al-Qur'an kita percaya dan kita serahkan kepada Allah.

Terhadap kemusykilan yang kedua, dengan bunyi wahyu "kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah", tidak dapat lain pahamnya ialah bahwa orang-orang yang kekal dalam neraka karena besar dosanya bisa dicabut Allah dan dipindahkan-Nya ke dalam surga (ayat 107) dan orang yang beramal baik yang kekal dalam surga, kalau Allah kehendaki, bisa dipindahkan-Nya ke dalam neraka.

Malahan ada pula hadits-hadits dibawakan orang, yang menyatakan bahwa Jahannam itu akhirnya akan dihapuskan juga.

Ishaq bin Rahawaihi meriwayatkan dari Abu Hurairah, dia berkata, "Sungguh akan datang kepadanya satu zaman terpentang pintu-pintunya."

Terbentang pintu-pintunya sebab isinya sudah tidak ada lagi, sudah kosong.

Dan menurut riwayat Ibnu Jarir, asy-Sya'bi pernah mengatakan, "Neraka Jahannam adalah dari dua negeri yang lekas ramai dan lekas pula binasa."

Terdapat juga riwayat-riwayat dari para sahabat Rasulullah saw. dan alim tabi'in menimbulkan pendapat bahwa neraka itu tidaklah akan kekal.

Imam asy-Syaukani pengarang Tafsir Fathul Qadir, telah menyalinkan tidak kurang dari 11 pendapat ulama tentang ayat "kecuali apa yang dikehendaki Allah engkau" ini.

Yang bukanlah maksud penulis tafsir ini menyalinkannya satu demi satu.

Di antara 11 jalan pemahaman itu ada yang berkesimpulan bahwasanya orang yang beraqidah Tauhid, meskipun berdosa betapapun besarnya, akhirnya akan dikeluarkan juga dari dalam neraka itu, sesudah disepuh di dalamnya beberapa kadar dosa yang dilakukannya. Namun akhirnya akan dimasukkan ke surga juga.

Satu jalan pemahaman lagi ialah yang diriwayatkan az-Zajjaj, yaitu pemahaman ke-8, kecuali apa yang dikehendaki oleh Allah engkau, yaitu menambah nikmat bagi orang yang diberi nikmat dalam surga dan manambah adzab bagi penduduk neraka. Tegasnya, Allah sesuka-Nya menambah nikmat bagi orang yang diberi nikmat dan menambah adzab bagi yang diadzab.

Al-Hakim dan at-Tirmidzi memilih pendapat ini.

Tetapi Ibnu Mardawaihi mengeluarkan dari Jabir (sahabat) bahwa Rasulullah saw. ketika membicarakan ayat ini pernah mengatakan, "Jika Allah menghendaki akan mengeluarkan beberapa manusia yang celaka dari dalam neraka dan memindahkannya ke surga, diperbuat-Nya-lah begitu."

Satu hal rupanya sudah sebagian besar ulama yang sepaham, yaitu bahwa ahli tafsir dan ahlul qiblah, betapapun besar dosanya, namun dia tidak kekal dalam neraka; satu waktu mereka dengan karunia Ilahi dimasukkan ke dalam surga.

Dalam hal ini tidak ada perbantahan lagi.

Sekarang tinggal satu soal, yaitu neraka Jahannam itu sendiri kekalkah atau tidak?

Ulama-ulama ahli fiqih Islam dan ahli tafsir sampai juga memperbincangkan hal ini.

Timbul golongan yang mengatakan bahwa Jahannam itu tidak kekal.

Tegasnya, apabila tugasnya menyepuh setiap orang yang berdosa sudah selesai, Jahannam itu pun ditutup.

Tetapi surga kekal buat selama-lamanya, tidak ada ujung.

Di antara yang berpaham seperti ini ialah Ibnul Qayyim di dalam kitabnya Madarijus Salikin dan tampaknya Sayyid Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Mannar-nya cenderung kepada paham ini.

Almarhum A. Hassan Bandung dalam Pendahuluan Tafsir al-Furqan-nya (hlm. 18, pasal 25) hanya menyatakan keberatan kalau untuk menguatkan pendapat tentang Jahannam tidak kekal lalu dipakai hadits-hadits yang tidak shahih, tetapi ayat-ayat 107 dan 108 ini sendiri (kata beliau) yang mengatakan bahwa Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya adalah pintu yang amat besar dan luas.

Kata Tuan A. Hassan selanjutnya, "Orang kafir yang dapat hukuman kekal di neraka, orang kafir yang berbuat kebaikan di dunia, dan siapa-siapa lagi, kalau Allah mau keluarkan dari neraka atau mau ke surgakah, tidak ada siapa pun yang menghalangi-Nya, bahkan neraka itu, seluruhnya, kalau Allah mau hapuskan, tidak berhak siapa pun bertanya 'mengapa'."

Sekian A. Hassan.

Penulis Tafsir al-Azhar cenderung kepada penafsiran bunyi ayat "apa yang dikehendaki Allah engkau" pada ayat 107 itu, ialah yang layak dengan kebesaran, keadilan, kemurahan, dan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya. Allah Ta'aala leluasa, tidak ada yang akan menghalangi-Nya mencampakkan orang yang berdosa ke dalam neraka dan leluasa pula mengeluarkannya dari sana, yaitu orang-orang yang menurut pertimbangan Allah telah selesai sepuhannya, supaya ia bersih ketika kelak dimasukkan ke dalam surga. Bahkan Maha Kuasa pula Dia, demi cinta kasih-Nya dan rahmat-Nya atas hamba-Nya, mengeluarkan sisa-sisa orang yang masih tinggal di dalam neraka itu. Kemudian setelah neraka itu kosong, sebagaimana riwayat Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud yang telah kita salinkan di atas tadi, dia pun ditutuplah buat selama-lamanya. Maka sesuai jugalah dengan kemurahan Allah jika orang yang kekal dalam neraka itu ialah kekal selama neraka masih ada.

Dan sesuai pulalah agaknya pemahaman ini dengan sabda Rasulullah saw., "Sesungguhnya, Allah tatkala menjadikan seluruh makhluk ini telah menuliskan suatu tulisan di atas Arsy, "Sesungguhnya, kasih sayang-Ku (rahmat-Ku) mengalahkan murka-Ku." (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah).

Dan firman Allah di ayat 108 yang sama dengan dalam ayat 107, "kecuali apa yang dikehendaki Allah engkau", tidaklah meragukan lagi sebab ujung ayat sudah terang, yaitu "anugerah yang tidak berkeputusan", sebagaimana yang telah kita tafsirkan di atas tadi.

Sungguhpun demikian, keadaan yang sebenarnya terpulanglah kepada ilmu Allah Ta'aala jua, sebab sebagaimana tersebut di ujung ayat, "Allah adalah Maha Luas, lagi Maha Mengetahui."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 612-614, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

NASIB DI NERAKA

"Inilah." (Shaad pangkal ayat 55).

Dia adzab siksaan itu. Yang wajar diterima oleh orang yang tidak mau menuruti jalan yang benar. "Maka biarlah mereka rasakan dia." Karena salah mereka sendiri.

"Sesungguhnya bagi orang-orang yang durhaka adalah sejahat-jahat tempat kembali." (Shaad ujung ayat 55).

Karena tidak ada kedurhakaan dan pelanggaran kebenaran yang mengakibatkan baik.

"Jahannam, yang menderita mereka di dalamnya." (Shaad pangkal ayat 56).

Karena segala macam adzab dan siksaan, sengsara dan kehinaan ada di sana, yang tidaklah dapat dibandingkan dengan adzab siksaan dalam dunia ini. Karena penderitaan dunia masih boleh berakhir dengan mati. Berapa banyaknya orang menderita sakit yang sangat memuncak sangat mengharapkan segera mati agar terlepas dari siksaan itu, namun dalam Jahannam jalan keluar misalnya dengan mati tidak ada.

"Seburuk-buruk tempat tinggal." (Shaad ujung ayat 56).

"Cairan sangat panas dan cairan nanah." (Shaad ujung ayat 57).

Dalam ayat ini disebutkan dua macam minuman, yaitu dua macam cairan yang mesti mereka rasakan, mesti mereka minum. Pertama bernama Hamiim, yang berarti cairan yang sangat panas, sehingga apabila diminum akan runtuhlah isi perut karena panasnya. Yang kedua ialah Ghassaaq. Banyaklah ahli tafsir memberi arti ghassaaq ini. Ibnu Abbas memberi arti angin yang sangat dingin. Mujahid dan Muqatil memberi arti, "Salju yang sangat dingin, yang dinginnya itu menjadi siksaan juga sebagaimana siksaan panas dari hamiim." Abdullah bin Amr mengatakan, "Muntah kayak yang sangat busuk, sehingga jika dijatuhkan agak sesendok di sebelah Timur akan sampai busuknya ke sebelah Barat. Dan jika jatuh di sebelah Barat akan sampai busuknya di sebelah Timur." Berkata Muhammad bin Ka'ab, "Yaitu mata. Maka ialah air kuning yang mengalir dari tubuh mayat jika lama baru dia dikuburkan." Dan ada lagi beberapa tafsir yang lain.

Tetapi arti yang asal dari ghassaaq dapat kita cari pada ayat ketiga dari surah al-Falaq,

"Dan dari kejahatan malam apabila dia telah gelap." (al-Falaq: 3).

Maka dapatlah diambil kesimpulan, bahwa kalau ghassaaq itu semacam cairan, niscaya hitam pekatlah keadaannya atau hitam gelap. Atau serupakah dia aspal hitam pekat? Atau serupakah dengan air kotor keluar dari rumah-rumah orang, yang warnanya hitam dan baunya tidak enak, karena campuran dari berbagai kotoran? Serupa itu yang disuruh minum? Wallahu a'lam.

"Dan yang lain yang menyerupai itu berbagai macam." (Shaad: 58).

Ayat ini menyimpulkan segala macam adzab dan siksaan, atau makanan keji dan lata, yang susahlah buat digambarkan betapa hinanya untuk dibandingkan dalam dunia ini karena berbagai-bagai macamnya.

"Ini adalah satu rombongan yang berdesak-desak bersama kamu." (Shaad pangkal ayat 59).

Maksudnya bahwa rombongan yang berdesak-desak ini, ialah rombongan yang biasanya jadi pengikut dari orang-orang jadi pemimpin dan pengajak. Menurut tafsir dari Ibnu Abbas perkataan di pangkal ayat ini adalah ucapan dari malaikat pengawal neraka atas perintah Allah kepada pemuka-pemuka itu ketika di halau masuk neraka. Ketika mereka dimasukkan ke neraka itu, dihalau pula pengikut-pengikut mereka selama di dunia dahulu, yang hanya taqlid menurut saja ke mana dibawa oleh orang-orang yang memimpin dengan tidak mempergunakan akalnya sendiri.

"Dan mereka berkata, 'Mengapa kami tidak melihat orang-orang yang dahulu kami anggap termasuk orang-orang jahat?'" (Shaad: 62).

"Sesungguhnya yang demikian itu memanglah suatu kebenaran, pertengkaran penghuni neraka." (Shaad: 64).

Moga-moga biarlah kita termasuk orang yang dicari-cari itu di neraka, tetapi tidak bertemu sebab ditempatkan di dalam surga. Aamiin.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 577-580, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

IBLIS DIBERI KESEMPATAN

Tentu akan timbul pertanyaan orang yang masih serba lemah jiwanya atau masih goyang imannya,

Mengapalah Allah SWT mengabulkan permintaan si Iblis, padahal Allah SWT mengatakan bahwa Dia adalah Pengasih, Penyayang dan Pelindung bagi hamba-Nya?

Allah SWT kabulkan permohonan si Iblis itu karena Allah Maha Kuat, Maha Perkasa, yang kekuatan Allah itu tidak ada batasnya.

Sedang kekuatan Iblis dan Setan itu terbatas.

Dia tidak akan sanggup melebihkan kekuatannya dari hinggaan yang telah ditentukan Allah.

Dan ini pun pernah disabdakan Allah dengan tegas,

"Sesungguhnya tipu daya Setan itu adalah lemah." (an-Nisaa': 76).

Dalam luasnya permintaan Iblis dan jangka kekuatan yang dapat dijangkaunya sudah dapat kita lihat pada ayat yang melukiskan permintaannya itu. Dia memohon agar diberi kesempatan memperdayakan manusia sampai kepada hari manusia berbangkit, yaitu hari Kiamat, dalam kenyataan hanyalah terbatas sampai manusia mati saja. Sesudah manusia meninggal, taklifnya tidak ada lagi. Ruhnya sudah kembali ke dalam perlindungan Allah SWT dan Iblis tidak dapat menjangkau lagi sampai ke sana.

Dan kebanyakan orang yang diperdayakannya itu banyak pula yang tercecer, karena banyak yang menyesal dan insaf, lalu tobat.

Sedang Allah membukakan pintu tobat bagi barangsiapa yang bertobat.

Dan lebih jelas lagi pada firman Allah yang selanjutnya hanya sehingga mana batas yang diberikan kepada Iblis untuk kesempatan itu.

"Sampai kepada hari waktu yang telah ditentukan." (ayat 81).

Kesempatan ini diberikan terbatas, yaitu sampai kepada waktu dan hari yang telah ditentukan.

Hari itu tidaklah sampai kepada hari berbangkit di Padang Mahsyar kelak.

Permintaan demikian memang terlalu jahat, menunjukkan dengki dan benci sekali jalan.

Dia ingin memengaruhi manusia sampai kepada hari Kiamat.

Allah SWT hanya memberi batas, bahwa kesempatannya memperdayakan dan menipu manusia hanya sampai sehingga,

1) Terhadap tiap-tiap orang hanyalah sekadar di waktu hidupnya saja. Habis hingga itu. Seterusnya kesempatan buat dia telah ditutup.

2) Ialah sampai manusia itu sendiri sadar akan dirinya dan menginsafi kembali hubungannya dengan Allah. Tetapi apabila Allah SWT tidak memberikan peluang kepadanya buat memperdayakan manusia sampai kepada hari Kiamat, hanya sehingga waktu putus nyawa seseorang saja dan akan lebih pendek lagi kesempatan itu kalau orang itu segera sadar akan Allah SWT dan segera kembali kepada jalan yang benar, maka si Iblis meminta lagi dari pintu kesempatan yang lain.

"Dia (Iblis) berkata, 'Demi Kemuliaan Engkau! Sungguh-sungguh akan aku sesatkan mereka semuanya.'" (ayat 82).

Maka bersumpahlah dia, si Iblis.

Dia bersumpah Demi Kebesaran dan Kekuasaan Allah SWT, yang si Iblis pun mengakui juga bahwa dia pun tidaklah sanggup melepaskan diri dari murka Allah SWT itu.

Dia bersumpah bahwa dia akan mempergunakan segala tipu dan dayanya, segala akal liciknya, segala cerdik buruknya, bahkan segala maksud-maksud yang kelihatan pada kulitnya di luar seakan-akan baik, padahal isi atau akibatnya jahat, dimasukkan semuanya itu atau diracunkan ke dalam pikiran semua manusia.

Dia akan melakukan tipu dayanya untuk menyesatkan itu dari segala segi yang mana pun dia dapat masuk.

Dia mengalir dalam pembuluh anak Adam menurut perjalanan darah itu sendiri.

Dia masuk dari segi perasaan, sentimen atau emosi.

Dia akan masuk dari segi hawa nafsu.

Hawa dan nafsu adalah laksana tenggeran tempat si Iblis itu hinggap.

Kebetulan diri manusia sendiri adalah gabungan dari nafsu kebinatangan karena memerhatikan hidup, dorongan dari syahwatnya yang dua, yaitu syahwat perut dan syahwat faraj.

Maka Iblis akan masuk dari segi syahwat perut mencari makan, lalu tumbuh hawa nafsu mengumpulkan kekayaan harta benda sebanyak-banyaknya.

Seorang ulama besar, yaitu al-Hafizh al-Imam Jamaluddin Abul Faraj Abdurrahman Ibnul Jauzi al-Baghdadi (meninggal Tahun 597 Hijriyah) mengarang sebuah buku yang beliau beri nama Talbiis Iblis yang berarti Pengacauan Iblis.

Di dalam 414 halaman ukuran sedang beliau menguraikan bagaimana Iblis berusaha memasukkan pengaruhnya dalam segala bidang.

Baik bidang aqidah, sehingga kaum Muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa firqah dan banyaklah timbul bid'ah dalam aqidah itu.

Pengaruh kesesatan yang dia bawa sehingga orang menyembah kepada sesuatu selain Allah.

Dalam kitab tersebut Ibnul Jauzi pun menerangkan Iblis pun masuk ke dalam kalangan ulama, ke dalam kalangan ahli tasawuf, ke dalam kalangan ahli-ahli fiqih, sehingga ilmu-ilmu agama yang penting itu dapat digunakan orang untuk menuntut dunia.

Diterangkan pula bagaimana Iblis memengaruhi penguasa-penguasa, raja-raja dan amir-amir.

Bahkan Iblis menyebut juga pengaruh yang dibisikkan Iblis kepada orang-orang yang terkemuka, karena ingin terkenal, ingin popular.

Lalu beliau uraikan pula, bahwa Iblis pun berusaha pula memasukkan perdayaannya ke dalam orang beribadah, sampai orang diperdayakannya agar menyamakan saja suara membaca adzan menyeru orang shalat dengan suara orang bernyanyi asik.

Sampai kepada waswas dalam shalat, sehingga ada orang yang berwaswas terus seketika memasangkan niat ke dalam takbir. Waswas yang dimasukkan dalam membaca Faatihah, dalam mengucapkan huruf-huruf.

Yang sangat banyak dan panjang lebar pula beliau uraikan ialah perdayaan Iblis dalam lapangan ahli-ahli suluk dan tasawuf, sampai agak panjang beliau bukakan rahasia pergaulan orang-orang tasawuf yang lebih tua dengan pemuda-pemuda sesama laki-laki, sehingga beliau berani mengatakan bahwa pemuda-pemuda itu sama dengan "Habaail asysyaitan" (tali-tali yang dipasang Setan buat menjerat).

Dan beliau uraikan juga perdayaan Iblis tentang pendakwaan adanya wali-wali keramat.

Bab 12 dan 13 yaitu bab-bab penutup barulah beliau gunakan untuk menjelaskan perdayaan Iblis kepada orang awam.

Tetapi Iblis itu pun bersitinah juga, artinya tidak juga berani melangkah lebih maju meskipun dia telah menyebut dan meminta kesempatan buat memperdayakan semua orang.

Dia berdatang sembah selanjutnya kepada Allah SWT,

"Kecuali hamba-hamba Engkau, dari mereka-mereka yang telah disucikan." (ayat 83).

Si Iblis mengakui terus terang bahwa ada pengecualiannya, atau karena dia merasa tidak berani mendekatinya.

Yaitu hamba-hamba Allah yang telah disucikan.

Karena walaupun dia coba bagaimanapun, dan tentu kadang-kadang dicobanya, tidaklah akan berhasil.

Di dalam ayat ini dijelaskan, bahwa Iblis sendiri yang mengakui bahwa orang yang telah disuci dibersihkan oleh Allah SWT, karena usaha orang itu sendiri yang senantiasa mendekati Allah SWT, tidaklah Iblis berani mendekatinya.

Bahkan di dalam surah al-Israa' sesudah Allah SWT memberi kebebasan kepada Iblis buat memperdayakan dan menyesatkan manusia dengan segala daya upaya, dengan suara merdu ataupun dengan serangan tentara Iblis, baik tentara berkuda (kavaleri) atau tentara berjalan kaki (infantri) dan diberi kebebasan menyerikati mereka dalam harta mereka atau anak keturunan mereka, sebagaimana dijelaskan di ayat 64.

Maka pada ayat 65 Allah SWT mengunci dengan firman-Nya,

"Sesungguhnya yang hamba-hamba-Ku tidaklah kekuasaan engkau atas mereka." (al-Israa': 65).

Adapun tentang siapa orang yang disucikan itu, yang Iblis tidak berani mendekatinya, di dalam ayat-ayat terakhir dari surah al-A'raaf ayat 202, yaitu orang yang selalu rapat hubungannya dan tidak pernah putus dengan Allah, yang disebut takwa,

"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu apabila menyinggung kepada mereka suatu gangguan dari Setan, meraka pun sadar: Maka tiba-tiba pandangan mereka berubah." (al-A'raaf: 202).

Permohonan kedua dari Iblis itu disambut oleh Allah SWT dengan tegas,

"Tuhan berfirman, 'Maka kebenaran, dan kebenaran itulah yang akan Aku katakan.'" (ayat 84).

Mujahid menafsirkannya, "Aku-lah kebenaran, maka kebenaran yang akan aku katakan." Dan riwayat bacaan yang lain, "Kebenaran adalah dariku, dan kebenaran itulah yang aku katakan."

Untuk mengetahui dan meresapkan maksud dari ucapan Allah SWT "Maka kebenaran" itu, ingatlah kembali ayat 67.

Di situ Allah SWT menegaskan ini adalah berita besar. Pertalian kembali pula dengan ayat bangkangan orang kafir yang tidak mau percaya Nabi yang membawa wahyu, dituduhnya tukang sihir pembohong dan ditolaknya mentah-mentah anjuran mengakui Allah Yang Esa.

Maka dengan ayat 84 ini sekali lagi Allah SWT menjelaskan bahwa ini adalah kebenaran, peraturan Ilahi yang tidak akan berubah, dihukum Allah SWT mesti dan pasti berlaku.

Yaitu,

"Sesungguhnya pastilah akan Aku penuhkan neraka Jahannam itu dengan engkau dan dengan orang-orang yang mengikuti engkau di kalangan mereka, semua." (ayat 85).

Dan firman Allah SWT seperti ini tampaklah suatu ketegasan hukum.

Ancaman yang tidak mengenal ampun bagi yang bersalah.

Si Iblis meminta diberi kesempatan, kesempatan itu diberikan.

Si Iblis menegaskan bahwa akan menyesatkan semua orang.

Allah SWT memberi ingat bahwa akibat perbuatanya yang merusak kelak kemudiannya tidak lain ialah api neraka, baik untuk si Iblis sebagai penganjur kejahatan, ataupun terhadap setiap orang yang mengikutinya.

Menghukum yang bersalah adalah kebenaran.

Karena kalau yang bersalah tidak dihukum, kebenaran tidak tegak lagi.

Sebab kebenaran adalah nama yang lain dari keadilan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 589-593, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BULAN TERBELAH DUA

Abu Ja'far Ibnu Jarir meriwayatkan, bahwa dia menerima dari Ya'qub dan Ya'qub ini menerima dari Ibnu Athiyah, dan dia ini pun menerima berita daripada Atha bin as-Saib, dan Abu Abdurrahman as-Sulami. Dia ini berkata, Pada suatu hari kami berhenti di Madaain sejarak satu farsakh. Maka datanglah hari Jum'at. Hadir ayah saya di sana dan saya pun turut. Di waktu itu berkhutbahlah Huzaifah. Kata beliau, "Ketahuilah bahwasanya Allah Ta'aala telah berfirman bahwasanya hari Kiamat telah dekat dan bulan pun telah belah dan bahwasanya dunia ini sudah dekat waktunya kita tinggalkan. Ketahuilah, bahwasanya hari ini kita menentukan tujuan dan besok kita akan berlomba." Lalu saya bertanya kepada ayah saya, "Apakah manusia akan berpacu?" Ayahku menjawab, "Engkau terlalu bodoh, Nak. Maksud perlombaan (berpacuan) ialah berlomba dengan amalan."

Setelah itu datang pulalah hari Jum'at. Kali ini Huzaifah yang berkhutbah, "Ketahuilah bahwa Allah telah berfirman bahwa Kiamat telah dekat dan bulan telah belah. Ketahuilah bahwasanya telah dekat masanya manusia akan ditinggalkan. Ketahuilah bahwa hari ini menentukan arah hidup dan besok kita berlomba. Tujuan yang tidak menentu adalah ke neraka, namun orang yang sejak semula telah menjelaskan tujuan, ke dalam surgalah akhir perjalanannya."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 571, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DONGENG ISRAILIYAT

Di dalam inilah campur-aduk di antara yang masuk akal dan yang karut, di antara dongeng-dongeng dan kenyataan, sehingga berkali-kali kebenaran ayat Al-Qur'an diliputi oleh lumut khurafat yang tak masuk akal. Inilah yang dinamakan Israiliyat, yaitu cerita-cerita yang kerapkali dibawa oleh orang Yahudi yang masuk Islam. Yang sangat terkenal ialah Ka'bul Ahbar dan Wahab bin Munabbih, keduanya orang Yahudi masuk Islam, banyak membawa dongeng Israiliyat itu, didengar oleh sahabat, lalu mereka salin. Apatah lagi oleh tabi'in. Kadang-kadang mereka salin dengan tidak memakai komentar, hanya semata-mata untuk bahan saja bagi kita yang datang di belakang.

Dan, penafsir bersedia dituduh keluar dari Ahlus Sunnah wal Jamaah kalau membatalkan riwayat-riwayat yang tidak masuk akal itu dipandang salah oleh golongan-golongan yang hanya menjadi budak dari tafsir-tafsir yang semacam itu.

Barangkali timbul pertanyaan mengapa sahabat-sahabat Rasulullah saw. atau tabi'in menyalin juga riwayat yang demikian, dengan tidak ada pertimbangan mereka sendiri atas benar dan tidaknya?

Ialah karena Rasulullah saw. pernah memesankan bahwa kalau mereka mendengar kisah dari Ahlul Kitab itu, dengarkan sajalah, jangan diakui kebenarannya dan jangan pula segera didustakan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 28-29, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

APAKAH KITA MURAM (PESIMIS)?

Kita tidak boleh putus asa, lalu lari ke gunung. Sebab orang yang beriman tidaklah suka melepaskan tanggung jawabnya. Dalam tanda-tanda hari akan Kiamat yang banyak itu, satu pintu pengharapan dibukakan oleh Tuhan: 

"Tidaklah berdiri hari kiamat atas seseorang yang masih mengatakan Allah, Allah!"

Artinya selama di dunia masih ada lidah mengucapkan nama "Allah", walau di kiri-kanan sudah mengucapkan nama "Setan" belaka, selama itu pula Kiamat belum akan datang. Atau lebih tegas lagi Kiamat itu tidak dikenal oleh lidah yang masih menyebut nama Allah. Biarpun orang lain telah tenggelam karam, telah hancur lebur, namun orang yang lidahnya masih mengucapkan Allah, tidak akan karam. Malahan Kiamat menjadi tertahan, sebab masih ada alasan bagi Tuhan buat menghidupkan bumi ini. Maka kalau nama Allah sudah hilang dari lidah makhluk-Nya, apa guna dibiarkan juga bumi ini mereka diami?

Tentu saja Anda dapat memikirkan apa maksud hadits ini. Menyebut nama Allah dan menyebut, adalah dua perkara yang berbeda.

Banyak kita mendengar orang duduk tegak menyebut nama Allah, tetapi sebutannya itu hanya sehingga leher ke atas. Ini percuma!

Adakah Anda ingat cerita Da'stur, seorang kafir? Pada suatu hari Nabi Muhammad saw. karena sangat lelah berteduh di bawah pohon kayu dan tertidur. Pedangnya digantungkannya di dahan kayu itu. Maka datanglah Da'stur, musuh besar Nabi. Diambilnya pedang Nabi dan Nabi pun dibangunkannya. Sambil mengucapkan pedang itu dia bertanya, "Siapakah yang dapat melepaskan engkau jika saya bunuh, ya Muhammad?"

Rasulullah menjawab: "ALLAH!"

"Allah!" bergema sejak dari hati sanubari, memenuhi seluruh rongga badan, mengalir di seluruh pipa darah, terloncat dari mulut memenuhi segala angkasa: "Allah!" sehingga lemahlah segala sendi tulang Da'stur mendengarnya dan terlepas pedang itu dari tangannya. Lalu Rasulullah mengambil pedang itu pula dan diacungkannya ke muka Da'stur dan beliau bertanya pula: "Sekarang, siapakah yang dapat melepaskan engkau daripada pedangku ini?" Da'stur menjawab, "Tidak ada!" dan Da'stur tidak dibunuh oleh Nabi, melainkan diajaknya memeluk Islam, supaya kalimat "Allah" pun memenuhi pula akan segenap hidupnya.

Ucapan nama Allah yang semacam itulah yang dimaksud dengan penangkal sehingga Kiamat itu belum berlaku.

Dan walaupun berlaku juga, karena sudah terlalu banyak yang lupa, namun orang yang ingat akan terlepas dari-Nya. Artinya tidak merasa gentar dan takut menghadapi bahaya bagaimanapun besarnya. Sebab dia telah berlatih mendekati Tuhan yang memang kita akan datang kepada-Nya.

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM Jilid 3, Hal. 57-58, Republika Penerbit, Cet.1, April 2018).

"Dia telah mewajibkan atas diri-Nya sendiri akan kasih sayang." (al-An'aam: 12).

Pernah terjadi pertukaran pikiran beberapa tahun yang lalu di antara beberapa ulama di Jakarta, tentang wajibkah atas Allah meneguhi janji-Nya, mustahilkah atas Allah mungkir akan janji itu?

Masukkah pada akal bahwa orang yang telah mengikut perintah Allah dan menghentikan larangan-Nya, lalu orang itu karena takdir, dimasukkan juga ke dalam neraka?

Ada ulama yang berpegang teguh kepada hukum akal, bahwa itu mustahil bagi Allah. Apakah jaiz (masuk akal) jika ada orang baik-baik dimasukkan-Nya ke neraka dan orang jahat diletakkan di surga?

Bertengkar dan berbincang seperti ini sungguh-sungguh merusak agama dan tidak ada faedahnya.

Pertukaran pikiran seperti ini telah membawa-bawa agama ke dalam bidang filsafat.

Padahal dalam ayat yang kita salin ini jelas sekali Allah menerangkan bahwa Dia mewajibkan ke atas Diri-Nya sendiri supaya memberi rahmat.

Berpuluh hadits Nabi menerangkan tentang rahmat. Dua nama dari sifat Allah yang sangkut-bersangkut dengan rahmat, yaitu Rahman dan Rahim.

Apalah lagi penghargaan kita kepada Allah, kalau kita katakan tidak mustahil orang yang telah taat kepada Allah, lalu dimasukkan ke dalam neraka dan orang yang jahat senang-senang masuk surga.

Di dalam ayat 12 dan ayat 54 surah al-An'aam itu jelas-jelas tertulis wahyu Allah sendiri bahwa Dia mewajibkan ke atas Diri-Nya sendiri supaya memberi rahmat. Mewajibkan ke atas Diri-Nya, lebih tinggi lagi daripada janji!

Dan dalam surah al-Baqarah ayat 80, surah Aali 'Imraan, ayat 9, surah ar-Ra'd ayat 31, surah al-Hajj ayat 22, surah ar-Ruum ayat 6, surah az-Zumar ayat 20, tersebut dengan jelas bahwa Allah tidaklah akan memungkiri janji-Nya.

Oleh sebab itu hendaklah dengan cermat kita memahamkan bahwa Allah mengadzabkan siapa yang Dia kehendaki dan memberi rahmat siapa yang Dia kehendaki.

Allah di dalam memilih "siapa yang Dia kehendaki" itu adalah menurut peraturan yang diperbuat oleh Allah sendiri, dan diwajibkannya atas Diri-Nya sendiri menjalankan peraturan itu!

Sunnatullah sekali-kali tidak dapat diubah dan diganti!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 662, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-JINN

PENDAHULUAN

Maka dalam surah al-Jinn bersama ayat-ayat yang terkandung di dalamnya, dengan langsung kita mendapat keterangan dari Al-Qur'an tentang jin sebagai makhluk Allah, dan terbantah dengan sendirinya dongeng-dongeng yang dikarang-karangkan orang bahwa ada jin bersuami manusia, atau manusia bersuami jin, lalu ahli-ahli fiqih sampai memperkatakan bagaimana kawinnya!

Ada pula dongeng yang banyak bertemu dengan buku cerita 1001 Malam menerangkan bahwa jin itu dihukum oleh Nabi Sulaiman, dimasukkan ke dalam guci, lalu dilemparkan ke laut, sampai terbenam di laut besar beratus-ratus tahun, lalu terpukat oleh manusia. Setelah guci itu dibuka sumbatnya, keluarlah asap. Lama-lama asap itu jadi menyerupai manusia, lama-lama bertambah besar dan bertambah besar, dan cerita-cerita lain.

Maka cerita-cerita semacam ini bukan ajaran agama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 343, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

NYAWA BERJANJI DENGAN ALLAH

Ayat 172 yang akan kita uraikan ini adalah suatu ayat yang telah menjadi pembahasan mendalam di antara ahli-ahli ilmu dalam Islam, baik ahli aqidah atau ahli ibadah, apatah lagi ahli-ahli tasawuf. Sehingga Jalaluddin Rumi menyairkan panjang lebar tentang kalimat "alastu" sebagai pokok pangkal tempat bertolak kehidupan kita. Demikian pula, terdapat berpuluh Hadits sebagai penjelas daripada ayat ini, dirawikan dalam sifat yang shahih ataupun dhaif. Namun, banyaknya Hadits menunjukkan pentingnya dia untuk mendapat perhatian kita.

"Dan, (ingatlah) tatkala Tuhan engkau mengambil dari anak cucu Adam dari tulang-tulang punggung mereka dan Dia jadikan mereka saksi atas diri mereka sendiri." (pangkal ayat 172).

Artinya, di dalam tulang punggung tiap-tiap kita anak cucu Adam ini tersimpanlah lembaga dari tiap-tiap diri manusia yang akan melanjutkan hidup. Dahulunya kita yang hidup ini tersimpan lembaganya di dalam tulang punggung ayah kita dan ayah kita tersimpan lembaganya di dalam tulang punggung nenek kita, demikian seterusnya sampai kepada nenek moyang pertama Nabi Adam a.s.

Maka, di dalam ayat ini Allah menyatakan bahwa tiap-tiap kita yang masih dalam tulang punggung itu diambil oleh Allah, dengan qudrat iradah-Nya dikeluarkan dari dalamnya lalu dipanggil dan dijadikan saksi atas diri sendiri karena Allah akan bertanya, "Bukankah Aku Tuhan kamu?"

Kita dikeluarkan dari tulang punggung bapak kita lalu ditanyai dengan pertanyaan demikian, yaitu bukankah Aku inilah Tuhan kamu? Bukankah tidak ada Tuhan lain selain daripada Aku? Semua menjawab, "Memang kami menyaksikan!" Artinya, memanglah hanya Engkau dan kami semuanya menyaksikan dengan diri sendiri bahwa yang Tuhan hanyalah Engkau.

Maksud ayat ialah menerangkan bahwasanya jiwa murni tiap-tiap manusia itu adalah dalam keadaan fitrah, masih bersih, belum ada pengaruh apa-apa. Pada jiwa yang masih murni itu sejak semula telah terdapat pengakuan bahwasanya pastilah ada pencipta dari seluruh alam ini. Tidaklah alam terjadi sendirinya dan tidak pula ada pencipta yang lain. Pencipta itu hanya Satu, Esa, Tunggal. Pada ayat ini dikatakan bahwa lembaga insan dikeluarkan dari tulang punggung tempat dia disimpan, lalu ditanyai langsung oleh Allah, bukankah Aku Tuhanmu? Mereka semua menjawab, "Memang!" Atau, "Benarlah bahwa Engkau Tuhan kami dan kami menyaksikan."

Apakah benar-benar kita keluar dari tulang punggung dan ditanya? Bilakah terjadinya hal itu?

Setengah ahli tafsir menafsirkan bahwasanya kejadian itu ialah semasa ruh insan masih di dalam lembaga Adam. Ruh telah terjadi lebih dahulu daripada badan, waktu itulah pertanyaan datang. Tiap-tiap kita tidak ingat lagi, tetapi dia telah mendasar pada jiwa kita. Sebab itu, apabila manusia telah hidup di dunia ini, jiwa murninya telah menyaksikan bahwa Allah itulah Tuhan kita.

Akan tetapi, ahli-ahli bahasa Arab mengatakan bahwa ayat Allah ini adalah sebagai suatu tamsil yang tinggi menurut balaghah. Allah bercakap-cakap dengan tiap-tiap jiwa itu bukanlah mesti berhadap-hadapan, tetapi iradah dan takwin Ilahi, atau kehendak Allah atau kekuasaan Pencipta, bertanya kepada lembaga akal yang murni yang tidak perlu dipikirkan bahwa itu adalah soal jawab dengan mulut.

Di dalam ayat yang lain terdapat pula yang serupa ini, yaitu di dalam surah 41, Ha-Mim, Sajdah atau Fushilat ayat 11, bahwa Allah berfirman kepada langit dan bumi supaya datang dengan taat atau dengan paksa, lalu langit dan bumi menjawab bahwa kami akan datang dengan taat. Yang menjawab itu bukan lidahnya, melainkan keadaannya.

Maka, manusia itu pun demikian pula, yang menjawab itu bukan lidahnya, melainkan keadaan dan kenyataan.

Berkata Ibnu Katsir di dalam tafsirnya,

Dengan ayat ini Allah mengabarkan bahwa Dia telah mengeluarkan anak cucu Adam dari sulbi mereka untuk menyaksikan atas diri mereka sendiri bahwa Allah-lah Tuhan mereka dan yang menguasai mereka dan tidak ada Tuhan melainkan Dia, sebagai juga Allah telah membuat fitrah mereka demikian, sebagaimana telah difirmankan oleh Allah:

"Dan tegakkanlah wajah engkau kepada agama yang hanif, ialah fitrah Allah yang telah difitrahkan-Nya manusia atasnya, tidaklah ada gantian dari apa yang telah diciptakan Allah." (ar-Ruum: 30).

Dan, pada dua Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a. bersabda Rasulullah saw.,

"Tiap-tiap anak yang dilahirkan adalah dilahirkan di dalam fitrah." (HR. Bukhari dan Muslim).

Dan, di dalam riwayat lain:

"Dalam agama ini, maka ibu bapaknya-lah menjadikannya Yahudi, Nasrani atau menjadikannya Majusi. Sebagai binatang melahirkan suatu binatang, adalah kamu mendapati daripadanya binatang yang rompong hidup?"

Dan, pada Shahih Muslim, dari Iyadh bin Hummar, Rasulullah saw. bersabda,

"Berkata Allah, 'Aku telah menjadikan hamba-hamba-Ku itu dalam keadaan hanif maka datanglah Setan-setan, merekalah yang membelokkan mereka dari agama mereka dan mengharamkan atas mereka apa yang Aku halalkan bagi mereka.'" (HR. Muslim).

Dipertalikan keterangan Ibnu Katsir ini dengan beberapa ahli tafsir yang lain maka dapatlah diambil kesimpulan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa jiwa asli manusia itu adalah bersih. Dia datang ke dunia belum ada cacatnya. Sehingga apabila seorang anak kecil lahir ke dunia dan meninggal sebelum sampai pertimbangan akalnya, dia pun dihitung mati dalam fitrah, yang berarti juga dalam Islam, dan langsung masuk surga.

Maka, kalau kita pertalikan ayat ini dengan ayat 158 di atas tadi, yang menyatakan bahwa Muhammad saw. diutus untuk seluruh manusia, dapatlah ayat yang tengah kita bicarakan ini menjadikan luas dan lapang hati kita menghadapi seluruh manusia. Dia menunjukkan bahwasanya jiwa seluruh manusia itu pada asalnya dan pokoknya adalah satu coraknya, semuanya sama-sama mengaku ada Allah Pencipta alam. Walaupun apa bangsa mereka dan apa pula agama yang sedang mereka peluk, bahkan walaupun orang yang dengan keras menolak kepercayaan kepada Allah, orang mulhid atau ateis, semuanya itu hanyalah gejala yang datang kemudian setelah pengaruh Setan masuk. Adapun di dalam jiwa nuraninya masih ada tersimpan kepercayaan kepada pencipta alam.

Oleh sebab itu, seruan yang dibawa Rasul tidak lain daripada memanggil jiwa fitrah itu. Laksana listrik, ada pertemuan di antara positif dengan negatif, ada yang datang dan yang menyambut, sedang yang datang dengan yang menyambut itu adalah satu. Yang dibuka oleh Rasul ialah isi hati dari manusia itu sendiri. Setelah Rasul datang, diberinyalah fitrah yang telah menggelora dari dalam itu, bimbingan ajaran TAUHID diiringi dengan ibadah dan lain-lain selanjutnya. Sebab itu, boleh dikatakan bahwa adanya agama karena adanya fitrah manusia dan agama itu sendiri tidak akan berkembang, kalau sekiranya akal manusia yang akan menyambutnya tidak ada.

Kemudian, setelah Allah memfirmankan tanya Allah dan jawab ruh insan itu, yang terdapat persesuaian, datanglah lanjutan ayat,

"Supaya jangan kamu berkata di Hari Kiamat: 'Sesungguhnya kami lalai dari ini.'" (ujung ayat 172).

Artinya, bahwasanya janji dan kesaksian diri sendiri itu disebutkan kembali oleh Allah, ialah supaya kalau terjadi tanya jawab di akhirat kelak, karena suatu perintah Allah yang kamu langgar lalu kamu periksa dan tanyai, jangan sampai kamu berkata, "Kami lalai." Artinya, "Kami tidak tahu menahu dalam hal ini, tidak ada suruhan atau larangan sampai kepada kami." Maka penjawaban yang demikian tidaklah dapat kamu kemukakan lagi di Hari Kiamat, sebab agama murni itu ada bersemayam di dalam jiwamu sendiri, di dalam fitrahmu sendiri.

Tegasnya, meskipun misalnya tidak ada agama, tidak ada rasul yang menyampaikan dan tidak ada wahyu yang diturunkan, tetapi jiwa murni-mu sendiri telah bersoal-jawab langsung dengan Allah, bahwa memang Allah itu ada dan tidak ada Tuhan melainkan Allah.

Maka, kedatangan para rasul adalah melengkapi dan menuntun jiwa fitrahmu itu. Dengan demikian, maka di akhirat kamu tidak dapat mencari dalih lagi.

"Atau supaya tidak kamu katakan, 'Yang musyrik itu hanyalah bapak-bapak kami yang dahulu, sedang kami ini hanyalah keturunan sesudah mereka.'" (pangkal ayat 173).

Artinya, jangan sampai kamu katakan pula bahwa apa yang kami kerjakan sekarang ini tidak lain daripada contoh teladan yang ditinggalkan bapak-bapak kami. Kalau perbuatan ini termasuk syirik maka yang bersalah bukan kami. Kami hanya menerima pusaka saja.

"Maka, apakah Engkau akan membinasakan kami lantaran apa yang dikerjakan oleh orang-orang yang berbuat salah?" (ujung ayat 173).

Mengapa kami mesti memikul pula kesalahan mereka yang dahulu itu, yang memelopori syirik, sedang kami ini hanyalah keturunan mereka saja?

Allah menerangkan pada ayat ini sekali lagi, bahwa maksud Allah menyebutkan di ayat yang terdahulu bahwa tiap jiwa telah dikeluarkan dari tulang punggung ayahnya dan ditanyai "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Dia menjawab, "Memang!" Ialah supaya jangan terjadi jawab lain oleh anak cucu karena kesalahan ayah dan nenek moyang. Sebab, anak cucu itu sendiri berfitrah dan berakal pula. Diberi sendiri-sendiri oleh Allah sehingga sangatlah tidak beralasan kalau si anak dan si cucu bahwa dia tidak bersalah kalau dia memperserikatkan Allah karena begitu yang dia pusakai, sebab dia sendiri ada akal, sebab itu dia sendirilah langsung berjanji dan naik saksi di hadapan Allah.

"Dan, demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat itu supaya mereka kembali." (ayat 174).

Artinya, Allah mengemukakan ayat-ayat ini yang di sini berarti keterangan dari dalil, maksudnya ialah supaya orang-orang yang telah tersesat atau salah berpaham itu kembali kepada jalan yang benar. Jangan dikatakan bahwa agama itu tidak ada, sebab di dalam sanubari sendiri sejak lahir ke dunia perasaan tentang adanya Allah itu telah ada. Cuma kadang-kadang tertimbun oleh perdayaan Setan, atau pertentangan yang hebat di antara hawa nafsu dengan jiwa murni.

Dan, jangan pula beragama hanya taklid saja kepada yang dipusakai dari nenek moyang, sebab jiwa murni itu sendiri akan tetap membantah perbuatan yang salah sebab ada mempunyai akal!

Tidak kita abaikan di dalam penafsiran itu beberapa hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan dengan berbagai-bagai thuruq (jalan) mengenai ayat ini,

"Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam kemudian menyapu punggungnya lalu Dia keluarkan daripadanya anak cucunya."

Pada lahirnya saja seakan-akan bertentangan bunyi hadits ini dengan bunyi ayat, padahal hadits ini ialah memperlengkap keterangan yang ada di dalam ayat.

Di dalam ayat yang tersebut hanyalah bahwa Allah mengeluarkan anak cucu keturunan Adam dari dalam tulang punggungnya dan tidak termasuk Adam sendiri. Pikiran kita tentu sampai kepada kesimpulan bahwa kalau dari tiap-tiap anak cucu Adam dikeluarkan keturunannya dari tulang punggungnya, tentu Adam sendiri tidak ketinggalan dikeluarkan pula anak cucunya dari tulang punggungnya.

Maka, datanglah hadits ini menerangkan bahwa memang demikian adanya.

Adam sendiri pun dibegitukan oleh Allah, yaitu disapu Allah punggungnya, dikeluarkan pula anak cucunya dari dalam, lalu ditanyai sebagai pertanyaan yang tadi juga, "Bukankah Aku Tuhan kamu?" Mereka menjawab, "Memang! Kami menyaksikan!" Dengan demikian tidaklah ada manusia yang terlepas dari tanya jawab yang demikian, sejak Adam sampai kepada anak cucu keturunannya, selama manusia masih ada dalam alam ini.

Dan, dapatlah disimpulkan bahwa agama itu telah sedia ada di dalam jiwa tiap-tiap manusia.

Kewajiban Rasul dan kewajiban menyambut waris Rasul ialah membangkitkan kesadaran bertuhan itu dari dalam jiwa manusia.

Untuk menambah bahan pemikiran, bolehlah kita persambungkan renungan tentang soal ini kepada filsafat, yaitu di mana kedudukan manusia di tengah-tengah alam. Tentang empat soal yang selalu menjadi perbincangan manusia sejak mereka pandai berpikir, yaitu soal arti alam (cosmos), arti manusia di tengah alam, arti hidup dan arti siapa pencipta. Dan, boleh juga dilengkapi dengan yang dikenal dengan sebutan "Idealisms Plato", yang mengatakan bahwa di samping hidup yang nyata ini (realisme), manusia mempunyai lagi hidup yang lain, dalam alam cita (idealisme). Sebab, manusia itu selalu menciptakan hidup yang lebih baik, hidup yang lebih sempurna, yang kadang-kadang dinamainya juga "Hidup Ketuhanan". Plato mengakui pasti adanya hidup yang demikian, memang dari sanalah kita datang dahulunya dan ke sana pula kita ingin pulang. Sebab itu, Socrates, guru Plato sekali-kali tidak gentar menghadapi maut, sebab dia yakin bahwa dia akan pulang kepada hidup yang sejati itu.

Ini hanya sebagai bahan saja lalu kita padukan kepada ajaran Muhammad saw., sebab beliau diutus untuk sekalian manusia, menurut ayat 158 tadi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 594-598, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ISRAILIYAT yaitu dongeng-dongeng yang dimasukkan oleh orang-orang Yahudi yang masuk ke dalam Islam, tetapi memasukkan pengaruhnya ke dalamnya.

Ka'ab al-Ahbar, Wahab bin Munabbih adalah 2 orang yang banyak sekali menyelipkan cerita demikian.

As-Suddi pun turut-turutan pula.

Jika tersebut nama Ibnu Abbas atau Ibnu Umar dalam golongan yang membawakan riwayat-riwayat ini, belumlah akan menjadi jaminan dari kebenaran berita ini. Sebab kadang-kadang ahli tafsir seperti Ibnu Abbas telah banyak dicatutkan orang namanya dengan maksud tertentu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 493, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TIGA ORANG UTUSAN ALLAH

Tentang maksud penduduk negeri itu hendak membunuh ketiga rasul itu, lalu lekas dengan tergesa-gesa pemberi ingat itu datang dari ujung negeri memang diterangkan oleh Ibnu Abbas dalam tafsirnya. Tentang siapa nama orang yang datang tergesa-gesa itu, ada pula disebutkan panjang lebar oleh ahli tafsir yang lain. Wahab bin Munabbih dan Ka'bul Ahbar menerangkan bahwa nama orang itu Habib. Pekerjaannya ialah menenun sutra, tetapi dia ditimpa penyakit yang berbahaya, yang kian lama kian mendalam penyakit itu. Yaitu penyakit canggu (kusta). Dia suka bersedekah, suka berderma kepada fakir miskin. Sayangnya dia ditimpa sakit yang menakutkan itu. Riwayat dari Ikrimah mengatakan, bahwa namanya memang si Habib, tetapi bukanlah dia tukang sutra, melainkan tukang kayu (an-Najjaar). As-Suddi mengatakan, bahwa tubuh orang itu pendek. Qatadah mengatakan, bahwa dia adalah seorang Abid atau Begawan yang mengerjakan ibadah dan tafakurnya dalam sebuah gua.

Kita salinkan cerita yang tidak perlu ini bukan karena pentingnya. Karena Al-Qur'an sendiri tidaklah menyebut nama orang itu. Cukup dengan menyebutnya Rajulun, yang berarti seorang laki-laki.

Kita salinkan hanya sekadar untuk membuktikan, bahwa kebanyakan ahli tafsir mementingkan hal yang tidak penting, sehingga kadang-kadang terperosok kepada cerita dongeng Israilliyat yang tidak ada faedahnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 411, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Sebenarnya banyak lagi cerita lain tentang Topan Nabi Nuh ini dicurai-paparkan di dalam kitab-kitab tafsir, yang tidak perlu rasanya kita salinkan semuanya karena tidak kurang di antaranya yang ditambah-tambahkan dan dilebih-lebihi, yang agaknya sudah termasuk di dalam apa yang dinamai Israiliyat, dongeng-dongeng israili.

Selain itu, ada lagi beberapa cerita lucu. Misalnya di dalam bahtera itu muntahlah babi lalu keluarlah tikus. Kerja tikus itu mengganggu saja, merobek dan menembus membuat lubang dalam bahtera sehingga membahayakan. Lalu muntahlah singa maka keluarlah dari muntahnya itu sang kucing. Lalu dikejarnyalah tikus-tikus itu dan dibunuhnya. Kata dongeng itu pula, keledai ketika dibawa masuk, dia enggan hingga payah menariknya. Ternyata iblis menumpang di ekornya. Adapun singa, baru dapat dimasukkan ke dalam setelah dia dibuat demam oleh Allah.

Kita sengaja menyalinkan ini untuk membuktikan bahwa beberapa riwayat dan tafsir itu ada juga yang lucu jenaka.

Dan kalau kita tidak percaya atau kita pandang iseng saja, tidaklah mengapa karena di dalam Al-Qur'an sendiri tidaklah tersebut hal itu dan hadits yang shahih pun tidak pula ada untuk menguatkannya.

Cuma yang kita pujikan disini ialah kesetiaan orang zaman dahulu mengumpulkan fakta dan data, apa yang diterima dan didengar.

Adapun menerima atau menolak, terserah kepada yang datang di belakang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 558-559, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TIADA MANUSIA YANG HIDUP KEKAL

"Sebab itu jika engkau mati, apakah mereka akan kekal?" (ujung ayat 34).

Ayat ini adalah alasan yang sangat kuat untuk menolak kepercayaan setengah orang tentang masih hidupnya Nabi Khidhir sampai kepada zaman Nabi kita Muhammad saw., bahkan sampai kepada zaman kita sekarang ini.

Ayat ini telah menegaskan bahwa tidak ada di kalangan manusia yang hidup sampai zaman Nabi Muhammad ditakdirkan Allah dalam keadaan khuld, kekal, tidak mati-mati. Seorang Nabi Khidhir itu hidup di zaman Nabi Musa, yang jarak kira-kira 15 Abad dengan Nabi Muhammad saw.

Ayat ini mengajar orang berpikir memakai manthiq,

"Kalau engkau mati hai utusan-Ku, apakah mereka akan kekal?"

Di dalam ayat ini dijelaskan bahwa Nabi dan Rasul yang paling mulia mesti mati. Dahulu dari dia tidak ada seorang yang kekal. Tentu tidak mungkin akan ada orang yang kekal, tidak akan mati-mati sesudah Muhammad mati.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 33, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HAJARUL ASWAD (BATU HITAM)

Dan, tersebut pula bahwasanya Hajarul Aswad (Batu Hitam) yang tertempel di dinding Ka'bah sekarang itu asal mulanya daripada batu yaqut yang sangat putih, datang dari dalam surga. Tetapi lama kelamaan menjadi hitam karena dipegang oleh tangan manusia yang berdosa.

Di beberapa kitab tafsir, kita bertemu cerita ini. Tetapi sumbernya payahlah untuk dipertanggungjawabkan. Karena kisah-kisah begini banyak berasal dari Ka'bul Ahbar yang terkenal sebagai sumber dari cerita-cerita Israiliyat (dongeng-dongeng Israel).

Tentang Hajarul Aswad, Batu Hitam, baiklah kita ingat saja perkatan Umar bin Khaththab yang terkenal seketika beliau thawaf, "Aku tahu bahwa engkau ini hanya batu, tidak memberi manfaat dan tidak memberi mudharat. Kalau tidaklah aku melihat Rasulullah menciummu, tidaklah aku akan menciummu."

Ka'bah terang dibangun dari batu-batu granit yang ada di bukit-bukit keliling Ka'bah itu. Pernah rusak, pernah runtuh karena banjir. Di zaman jahiliyyah, Batu Hitam pernah dihancurkan air. Di zaman Qaramithah, Batu Hitam itu pernah dicuri kaum Qaramithah itu lalu mereka larikan ke Bahrain dan mereka simpan di sana 22 Tahun lamanya. Di Tahun 1958 pernah Ka'bah diperbaiki karena retak.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 248, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BERTASBIH

"Dan tidak ada sesuatu pun yang tidak bertasbih memuji-Nya."

Lanjutan firman Allah ini adalah untuk memperjelas pangkalnya tadi bahwa semua bertasbih, langit ketujuh tingkat/petala bertasbih, bumi pun bertasbih.

Niscaya timbul pertanyaan dari orang yang hanya merenung secara dangkal.

Orang itu mengerti kalau manusia bertasbih, tentu mulutnya mengucapkan "Subhanallah".

Tetapi bagaimana langit?

Bagaimana bumi?

Maka dijawablah dengan keterangan selanjutnya,

"Akan tetapi, kamu tidak mengerti cara mereka bertasbih itu."

Beberapa filsuf mengatakan bahwa alam ini pun bernyawa seperti manusia. Ada yang mengatakan bahwa bintang-bintang itupun bernyawa. Itu pun tentu bertali dengan dongeng/kuno Yunani tadi, tuhan-tuhan atau dewa-dewa itu mereka bangsakan kepada bintang-bintang. Maka kita pun dapat menaksir atau mengkhayalkan bagaimana langit ketujuh petala beserta bumi bertasbih kepada Allah, namun ilmunya yang sejati tetap pada Allah jua.

Pengetahuan kita tentang ilmu tumbuh-tumbuhan misalnya, tentang terjadinya pohon yang besar berasal daripada biji yang kecil, berangsur dia hidup sejak dari dua helai daun sampai berdahan, bercabang, beranting, berdaun, dan menghasilkan buah, dapatlah kita paham bahwa itu pun adalah tasbihnya terhadap Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 292-293, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DINDING PEMBATAS

Apakah dinding yang menyebabkan hati yang kufur itu tertutup menerima kebenaran?

Sebabnya yang terutama ialah hawa nafsu. Hawa nafsu menutup pikiran yang jernih. Dan pikiran yang jernih itulah yang menerima iman. Dan apabila kunci hatimu telah terbuka lantaran iman, nyaringlah pendengaran telingamu sehingga engkau dengarlah apa yang tak didengar orang lain. Nyalanglah matamu sehingga dapat engkau lihat apa yang tak tampak oleh orang lain.

Dengan hati yang telah terbuka itu akan kedengaran dan akan kelihatan alam itu bertasbih kepada Allah, ombak di pantai, kayu di hutan, dan burung-burung margasatwa.

Kalau engkau tidak terdinding dengan itu lagi, berartilah engkau hidup, kalau tidak, tidak!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 294-295, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BUKTI KEKUASAAN ALLAH

"Dan Kami jadikan langit menjadi loteng yang terpelihara." (pangkal ayat 32).

Langit menjadi loteng yang terbentang luas di atas kepala manusia. Dia selalu terpelihara, tidak jatuh menimpa. Siang hari indah disinari matahari. Malam indah pula oleh tebaran berjuta-juta bintang, atau cahaya bulan. Orang yang halus perasaannya dan cerdas akal budinya niscaya akan tergetar dan ingat akan kekayaan dan keindahan Allah. Tetapi apalah hendak dikata. Ujung ayat membayangkan kelalaian manusia,

"Namun dari ayat-ayat Kami mereka berpaling jua." (ujung ayat 32).

Begitu indahnya langit namun hatinya tidak tergetar. Dilihatnya keindahan alam, namun perasaannya tidak lanjut kepada yang mencipta alam. Itulah pancaindra yang tiada berkontak dengan jiwa, dengan rasa dan akal. Itulah kemanusiaan yang kurang.

Yang telah dikabarkan Allah pada ayat 179 surah al-A'raaf, bahwa orang-orang semacam itu akan dilemparkan ke dalam neraka Jahannam,

Karena ada hati, tetapi tidak dipergunakan untuk melihat; ada telinga, tetapi tidak dipergunakan untuk mendengar.

Orang-orang semacam ini sama saja dengan binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat.

Mereka-mereka ini adalah orang yang lalai.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 31, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

WAHYU

Arti wahyu pada asal bahasa ialah isyarat.

Di dalam surah Maryam ayat 11 disebutkan bahwa setelah Zakaria tidak dapat bercakap tiga hari tiga malam lamanya, hanya dengan isyarat saja dia menyerukan kepada kaumnya, agar mereka mengucapkan tasbih kepada Allah pagi dan petang. Isyarat Nabi Zakaria itu disebutkan fa auha, Dia wahyukan!

Kadang-kadang dia berarti naluri (insting), sebagaimana tersebut di dalam surah an-Nahl ayat 68, bahwa Allah mewahyukan kepada lebah supaya membuat sarang di bukit dan di bubungan rumah.

Kadang-kadang dia berarti ilham, sebagaimana tersebut di surah al-Qashash ayat 7. Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa, yang sebagian besar ahli tafsir memberinya arti bahwa ibu Musa diberi ilham.

Bahkan pernah juga wahyu itu berarti isyarat buruk, sebagaimana tersebut dalam surah al-An'aam ayat 112, bahwa Setan-setan yang terdiri dari manusia dan jin itu bisik-membisikkan atau hasut-menghasutkan kata-kata kosong yang tidak berarti, dan di sini dipakai juga kalimat wahyu.

Bahkan langit pun mendapat wahyu dari Allah, artinya mendapat perintah dan aturan supaya masing-masing berjalan menurut yang ditentukan Allah dalam edarannya sendiri-sendiri (surah Fushshilat: 2).

Tetapi berbedalah dari semuanya itu kalimat wahyu yang dipakai buat menjelaskan Wahyu Ilahi kepada rasul-rasul dan nabi-nabi.

Yaitu tuntunan yang diberikan Allah dengan perantaraan Malaikat Jibril, langsung terus kepada Rasul itu sendiri.

Sesaat wahyu itu diterimanya, yakinlah Rasul dan Nabi itu bahwa itu adalah dari Allah.

Kadang-kadang dia datang sebagai mimpi yang besar. Kadang-kadang ketika wahyu itu datang, menjadi lemah segala persendiannya dan berat terasa menghimpit badannya, lalu langsunglah ucapan itu masuk jiwanya dan dipahamkannya, lalu diulangnya membaca kembali.

Sebab itu wahyu bukanlah ilham. Sebab ilham adalah suatu perasaan yang timbul sendiri pada manusia, dari dalam jiwanya yang murni setelah mendapat beberapa rangsangan dari luar.

Wahyu yang demikian itulah yang diterima oleh Nabi Muhammad saw. yang telah tersusun menjadi Al-Qur'an.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 556-557, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Menurut ilmu ushul fiqih menjadi syarat mutlak bagi orang-orang yang akan dipikulkan kewajiban-kewajiban dan tugas agama (mukallaf), bahwa terlebih dahulu hendaklah dia aqil (berakal) dan baligh (dewasa).

Dan di dalam ilmu kalam, sebelum membicarakan sifat-sifat Allah SWT, atau tentang ada atau tidak adanya Allah SWT, hendaklah terlebih dahulu diakui adanya akal dan dikaji hukum akal yang 3 perkara, yaitu wajib, mustahil, dan jaiz ataupun mungkin.

Memang ada perkara-perkara yang tidak dapat dijangkau oleh kekuatan akal, misalnya perkara-perkara yang gaib.

Tetapi haruslah diingat, bahwasanya sesudah mempergunakan akal, barulah kita sampai dengan yakin kepada suatu titik perhentian yang ditentukan oleh akal sendiri, bahwa dia tidak dapat dijangkau olehnya.

Sehingga dapatlah disimpulkan, bahwasanya apabila seseorang sudah banyak sekali mengetahui, perkara-perkara yang nyata (syahadah), pastilah dia akan lebih banyak mengetahui dan yakin, bahwa lebih banyak rupanya yang tidak dapat diketahui.

Baik yang gaib karena belum dapat dijangkau oleh akalnya, atau gaib karena tidak dapat dijangkau oleh umurnya.

Maka sampai-sampai yang tak tercapai oleh akal, sehingga perbendaharaan batin masih kosong, menjadi penuhlah dia kembali karena diisi dengan iman.

Inilah perbedaan agama Islam dengan beberapa agama yang lain.

Karena ada agama yang disuruh hentikan terlebih dahulu perjalanan akal barulah orang disuruh percaya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 222, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TANDA KIAMAT TELAH DEKAT

"Katakanlah, "Sukakah kamu, Kami beritahukan kepada kamu yang serugi-rugi amalan?" (ayat 103).

"(Yaitu) orang-orang yang sesat usahanya di kala hidup di dunia, padahal mereka menyangka bahwa mereka telah mengerjakan yang baik." (ayat 104).

Tenaga sudah habis, padahal sejak semula telah sesat memilih jalan. Allah telah menunjukkan dan memimpinkan jalan yang lurus dan bahagia, mereka tidak mau menempuh jalan itu. Mereka membuat jalan sendiri semaunya. Mereka mendahulukan kehendak hati sendiri dan mengabaikan dan tidak mengacuhkan tuntunan Allah. Akhirnya bertemulah sebagai pepatah, "Arang habis besi binasa, tukang mengembus payah saja."

"Seraya tidak akan Kami adakan bagi mereka pertimbangan di hari Kiamat." (ujung ayat 105).

Sudah pasti begitulah jadinya. Yaitu tidak akan ada amalannya yang patut masuk timbangan di hari Kiamat, karena amalan itu hanya besar bungkus tak berisi. Tidak ada yang penting buat dimasukkan ke dalam mizan (timbangan), tidak ada harganya!

Inilah yang tersebut di dalam sebuah hadits yang dirawikan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, Dari Abu Hurairah, Berkata dia, berkata Nabi saw.,

"Sesungguhnya akan datanglah seorang laki-laki besar dan gemuk di hari Kiamat itu kelak namun berat timbangannya di sisi Allah tidaklah sampai seberat sehelai sayap nyamuk." (HR. Bukhari dan Muslim).

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, adalah bagi mereka surga-surga Firdaus kediamannya." (ayat 107).

Maka selalulah kita bertemu dua sejoli hidup Mukmin itu, yaitu beriman dan beramal saleh.

Iman kepercayaan dalam hati, amal saleh adalah bekas yang wajar dari iman.

Dia dapat diumpamakan dengan gabungan dua kata menjadi satu, yaitu kebudayaan.

Yang berasal dari budi yang terletak dalam sikap jiwa dan daya yang terletak pada kegiatan hidup.

Dan sama juga dengan budi pekerti.

Budi di nyawa, pekerti di sikap hidup.

Tidak mungkin iman saja dengan tidak menghasilkan amal.

Tidak mungkin amal saja, padahal tidak bersumber dari niat hati ikhlas.

Dan ikhlas tidak akan ada, kalau tidak dari iman.

Maka tempat yang telah disediakan Allah buat hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh itu ialah Jannatul Firdausi.

Maka terlukislah dalam ayat ini jannaatin dengan memanjangkan pada alif, yang berarti bukan satu surga melainkan banyak surga. Dan disebut pula nama surga itu, yaitu Firdaus. Dan tersebutlah di dalam sebuah hadits yang shahih yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim,

"Apabila kamu hendak memohonkan surga, mohonkanlah surga Firdaus, karena dialah puncak surga dan tengah-tengah surga, dan dari sanalah mengalir sungai-sungai di dalam surga itu." (HR. Bukhari dan Muslim).

Diterima di sana orang-orang beriman dengan penuh penghormatan, jauh dapat dibandingkan dengan penerimaan dan penyambutan seorang tamu agung sebuah negara dengan mengadakan jamuan kenegaraan yang besar. Jauh dari itu!

"Kekal mereka di dalamnya, tidaklah mereka ingin berpindah lagi." (ayat 108).

Surah al-Kahf ditutup dengan keyakinan hidup ini. Mengakui Muhammad sebagai manusia, hamba Allah, dan utusan-Nya, tetapi penunjuk jalan bagi kita, menuju kepada tujuan yang Satu, tujuan yang Tunggal, Yang Maha Esa, Allah!

Dengan aqidah begini barulah kita tahu nilai hidup.

Karena pengaruh semangat dan cahaya dari aqidah ini, 7 pemuda dan 8 dengan anjingnya berani meninggalkan hidup mewah, menyisihkan diri ke dalam sebuah gua di gunung, sampai ditidurkan 309 Tahun lamanya.

Didorongkan oleh semangat ini pula Musa mencari guru yang lebih pintar daripada dia. Dan dia berani mengembara huqubaa, entah berlarat-larat bertahun-tahun tidak akan berhenti, sebelum bertemu dengan yang dicari.

Dan didorongkan oleh keyakinan ini pula Dzulqarnain tidak mabuk karena kemenangan menaklukkan negeri, malahan berjanji akan berlaku adil sehingga terlukislah keadilannya itu dari zaman menempuh zaman.

Dan dengan keyakinan ini pula, Insya Allah, engkau sendiri hai Faqiir, akan menyebut segala percobaan Tuhanmu Yang Esa, sebagai ujian atas kasihmu kepada-Nya.

Selesai pada Hari Sabtu
6 Ramadhan 1384
9 Januari 1965

Dalam Tahanan di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 436-441, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Sebagaimana suatu syair yang terkenal dari Imam Syafi'i,

Tiap-tiap Allah menambah ilmuku.

Bertambah yakinlah aku, bahwa aku ini masih bodoh!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 439, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TUN JANA KHATIB (PASAI MADRASAH ISLAM PERTAMA)

Apabila kisah dari Tun Jana Khathib ini kita perhatikan dengan seksama, dapat kita ambil kesimpulan-kesimpulan beberapa hal.

Pertama, beliau adalah salah seorang korban sebagai seorang penyiar agama Islam ke dalam negeri yang rajanya belum memeluk agama Islam. Beliau mati terbunuh karena kemurkaan raja. Hakim yang memutuskan perkara belum ada pada masa itu. Hukum bunuh bisa saja dijatuhkan jika Sang Raja tidak senang.

Jalan kisah memberi kita keterangan, meskipun Sejarah Melayu tidak menyebut bahwa orang itu salah seorang wali Allah SWT, orang keramat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Raja Ali Haji, namun beliau rupanya memandang aib jika seorang Raja Perempuan menengok orang lalu lintas di jalan raya dari tingkap yang terbuka. Lalu beliau lepaskan murkanya kepada batang pinang dengan menilik keras kepada batang pinang itu sehingga jadi belah dua.

Raja sangat murka. Yang menyebabkan murkanya ialah karena telah ada dalam negerinya orang yang mempunyai kesaktian demikian hebat.

Ia takut kelintasan, ada rakyat yang melebihi dia. Sebab itu disuruhnya bunuh.

Kedua, memandang sesuatu dengan mengonsentrasikan ingatan, yang di dalam bahasa ahli ilmu gaib disebut membulatkan makrifat kepada yang dituju sehingga yang dituju itu binasa, dan jika manusia bisa mati, itulah yang dipercayai oleh orang Arab dengan nama atsarul 'ain. Artinya pengaruh kekuatan mata.

Nabi Muhammad saw. sendiri di dalam beberapa hadits shahih mengatakan,

"Pengaruh kekuatan mata itu memang ada."

Ahli-ahli tafsir sejak dari Ibnu Abbas r.a., Qatadah r.a., as-Suddiy r.a., ar-Razi r.a., dan lain-lain banyak memberikan keterangan tentang Pengaruh Mata.

Ketika mentafsirkan surah Yuusuf ayat 67 yang isinya menyatakan bahwa Nabi Ya'qub a.s. memperingatkan anak-anaknya supaya jangan masuk ke dalam negeri Mesir bersama-sama dari satu pintu, tetapi hendaklah masuk dari pintu-pintu yang berlain. Ketika mentafsirkan itu ahli-ahli tafsir memberi keterangan ialah karena Nabi Ya'qub a.s. takut anak-anaknya itu (sebelas orang laki-laki) akan kena pengaruh mata orang. Karena anak-anaknya itu masih muda-muda, manis-manis, tampan dan bermuka elok dan gagah.

Pengaruh mata itu ada bermacam-macam.

Sekurang-kurangnya mata menaruh dendam dengki dan benci dari orang yang menengok, kadang-kadang membawa pengaruh kepada keseimbangan diri orang yang dilihat.

Begitu juga orang yang melihat lalu kagum dengan keelokannya; itu dapat merusak kepada yang dilihat.

Sebab itu orang Arab yang percaya kepada pengaruh mata ini, tidak senang jika anak-anaknya dipuji-puji dekat dia, takut anak-anaknya akan kena pengaruh mata atau penyakit 'ain.

Apalagi mata yang telah terlatih, dan disengajakan untuk hal itu. Ia bisa membawa celaka.

Tun Jana Khathib, menilik isyarat kisah memang seorang yang telah terkemuka dalam hal agama Islam. Padanya telah cukup perlengkapan tiga ilmu agama yang sangat diperlukan, yaitu:

1. Ilmu Tauhid.
2. Ilmu Fiqih.
3. Ilmu Tasawuf.

Sebab itu matanya pun telah terlatih, baik dengan melakukan wirid-wirid dan sebagainya.

Selain dari alasan-alasan naqli yang kita kemukakan di atas tadi, kita dapat pula melihat bukti aqli.

Anak kecil yang jiwanya belum berisi, bila dilihat oleh orang yang lebih tua dengan mata menantang, pasti anak itu akan takut. Itu dirasakan oleh semua kita di waktu kecil. Mata memang bertambah menjadi kuat, bahkan bertambah menjadi berkuasa apabila seseorang telah besar. Ingatlah kembali apabila kita melihat sinar mata dari Rabindranath Tagore misalnya. Apalagi jika orang banyak telah mengakui pula kebesaran orang itu.

Seorang yang mula bertemu dengan Rasulullah saw., nyaris pingsan karena tidak tahan melihat mata beliau. Sampai beliau saw. berkata,

"Tak usah takut kepada saya. Saya ini hanya manusia biasa, ibu saya pun memakan daging kering (dendeng)."

Bertambah maju ilmu pengetahuan, bertambah diterima orang kemungkinan itu. Bahkan, sekarang orang melatih matanya dengan ilmu yang khusus, yang bernama hipnotisme. Dengan kekuatan mata orang dapat memerintah. Kadang-kadang mulut diam saja, mata saja yang memerintah, tetapi itu ditaati oleh orang yang diperintah.

Sebab itu tidaklah hanya dongeng jika Tun Jana Khathib memandang tenang kepada pohon pinang yang lurus larai itu, lalu dalam batinnya diperintahkannya batang pinang itu supaya belah dua, belah dualah dia.

(Buya HAMKA, DARI PERBENDAHARAAN LAMA: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Hal. 164-166, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Agustus 2017).

PERHATIKANLAH ASAL KEJADIANMU!

"Tiba-tiba dia menjadi penantang yang nyata." (ujung ayat 77).

Di antara orang yang sombong dan lupa dari mana asal kejadiannya itu lalu menantang Allah SWT ialah seorang di antara pemuka kaum musyrikin Quraisy yang bernama Ubay bin Khalaf.

Menurut keterangan dari Mujahid, Ikrimah, Urwah bin Zubair, Qatadah, dan as-Suddi pada suatu hari Ubay itu datang ke muka Nabi saw. membawa sebuah tulang yang telah lapuk berlumuran debu dan tanah, diembusnya debu itu dan digosoknya tanah itu lalu dia bawa ke hadapan Rasulullah seraya katanya,

"Hai Muhammad! Benarkah engkau pernah mengatakan bahwa tulang yang telah lapuk semacam ini akan dihidupkan kembali oleh Allah dan dibangkitkan dari kubur?"

Sebab itu maka Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya pada ayat selanjutnya,

"Katakanlah, "Yang akan menghidupkannya." (pangkal ayat 79).

Yaitu yang ada menghidupkan kembali tulang-tulang yang dipegang oleh tangan Ubay bin Khalaf, yang telah berlumur debu dan tanah,

"Dialah yang menciptakannya pada awal mula."

Yaitu Allah Ta'aala itu sendiri, yang di dalam tangan-Nya terpegang seluruh kekuasaan.

"Dan Dia terhadap sekalian makhluk adalah Maha Tahu." (ujung ayat 79).

Ujung ayat ini amat penting untuk diperhatikan.

Yaitu bahwa Allah adalah Maha Tahu terhadap sekalian makhluk yang telah Dia ciptakan ini. Dia Maha Tahu keadaan pada ruang dan pada waktu, pada zaman (suatu masa) dan makaan (suatu tempat).

Ahli-ahli filsafat Islam zaman dahulu sebagaimana Ibnu Sina dan al-Farabi pernah menyatakan pendapat dari segi filsafat bahwa tidak mungkin benda-benda yang digeligakan menjadi tubuh manusia dahulunya itu juga yang akan dikembalikan hidup dalam alam lain kelak. Meskipun beliau-beliau tidak memungkiri akan pokok iman tentang Hari Kiamat.

Tetapi paham-paham seperti inilah yang ditolak oleh al-Ghazali, bahwa dalam hal kegaiban seperti demikian, tidaklah layaknya dimasukkan dalam pemikiran secara berfilsafat. Banyaklah bagian di dalam yang maujud ini yang tidak dapat difilsafatkan. Karena kekuatan berpikir kita manusia sangatlah terbatas. Kalau ada ahli filsafat yang mengatakan bahwa alam ini abadi, tidak akan habis-habis, mengapa orang tidak menerima bahwa yang dahulu itu juga yang dipasangkan kembali kepada nyawa atau jiwa yang akan dikembalikan kepada tubuh asalnya?

Ahli filsafat Islam pun percaya bahwa manusia akan dibangkitkan kembali kelak, tetapi bukan dengan tubuhnya yang awal, sebab dia telah hancur.

Kaum pemegang Sunnah teguh berkeyakinan bahwa bagi Allah yang "Dia terhadap sekaliannya adalah Maha Tahu", bukanlah perkara sukar buat mempertemukan kembali tubuh yang telah hancur dengan nyawanya walaupun setelah sejuta tahun berpisah. Apa arti hitungan tahun bagi Allah Yang Maha Kuasa mengatur perjalanan benda yang jauh lebih besar dari matahari sehingga lebih lama edarannya dari edaran matahari?

"Yaitu yang telah menjadikan api untuk kamu, dari pohon kayu yang hijau." (pangkal ayat 80).

Selain dari Maha Kuasa mengembalikan hidup tulang yang telah lapuk sekian ribu tahun ada lagi perbuatan Allah yang ganjil. Yaitu menimbulkan api untuk manusia dari pohon kayu yang hijau.

Kayu yang hijau menimbulkan api untuk manusia dapat kita saksikan pada pohon kayu tusam atau pinus. Kayu pinus atau kayu tusam betul-betul pohon yang hijau berdaun rindang lurus, namun dia mengandung minyak yang dapat dinyalakan. Di rimba Takengon yang dahulunya kering telah bertahun-tahun ditanamkan kayu pinus itu. Bilamana dia telah besar, getahnya itu dapat ditakik, sebagaimana menakik pohon karet juga. Dia bisa menyala. Dia dapat berkobar besar. Di Takengon (Aceh Tengah) batangnya yang telah kering dari getah setelah getahnya yang menghidupkan api itu dikeluarkan, bisa dijadikan bahan untuk membuat kertas. Pada rimba-rimba di puncak Pegunungan Burangrang pun mula ditanami pinus itu.

Tetapi selain dari kayu pinus dan beberapa kayu lain yang menimbulkan api ada lagi penyelidikan lain yang lebih dari pohon kayu pinus. Yaitu batubara.

Menurut keterangan ahli-ahlinya, batubara yang tersimpan dalam bumi itu yang sekarang digali orang untuk menghidupkan mesin-mesin adalah lanjutan (proses) alamiah yang telah berlaku jutaan tahun. Kononnya menurut penyelidikan ahli itu batubara tersebut berasal dari pohon-pohon kayu yang besar-besar di zaman purbakala jutaan tahun yang telah lalu, yang telah terbenam ke balik bumi dan tertimbun, lalu dimasak oleh panas matahari sehingga berangsur jadi batu.

"Maka tiba-tiba kamu menyalakan darinya." (ujung ayat 80).

Yaitu menyalakan api dari pohon kayu besar lagi hijau yang telah jadi batu yang hitam membara dalam edaran berjuta tahun. Sebagaimana juga segala bensin, gas, aspal, dan minyak tanah yang digali dari dalam bumi, kononnya adalah berasal dari kerang dan udang-udang yang tertimbun dalam bumi berjuta tahun juga.

Melihat kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan manusia tentang alam akhir-akhir ini, maka banyaklah teori filsafat seribu tahun yang telah lalu itu berubah.

Maka filsafat Ibnu Sina yang menyatakan bahwa kebangkitan hari esok itu tidak mungkin kembali sebagaimana aslinya, bertubuh kembali, tertolak dengan perkembangan ilmu.

Ayat seterusnya menambah keyakinan kita,

"Dan bukankah yang telah menciptakan semua langit dan bumi itu Maha Kuasa Menciptakan yang serupa mereka?" (pangkal ayat 81).

Jika ditilik kebesaran langit dan bumi, maka penciptaan kembali manusia yang telah meninggal, yang tinggal hanya tulang-tulangnya yang telah lapuk, lalu tegak kembali sebagai manusia, adalah hal yang mudah saja bagi Allah.

"Sungguh! Dan Dia adalah Maha Pencipta, Maha Mengetahui." (ujung ayat 81).

Sedangkan yang belum terjadi mudah Dia menjadikan, yang belum pernah tercipta mudah Dia menciptakan, apatah lagi mengadakan kembali barang yang pernah ada, padahal bahan-bahan dari barang yang telah lenyap itu belum habis atau hilang, cuma bertukar bentuk saja. Dan Dia Maha Mengetahui di mana letak barang bahan itu dan Maha Mengetahui cara menyusunnya kembali.

Maka tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad, yang beliau terima dengan sanadnya dari Uqbah bin Amr yang pernah bertanya kepada sahabat Rasulullah saw. kepada Hudzaifah bin al-Yaman tentang suatu hadits dari Rasulullah. Maka Hudzaifah menceritakan tentang satu hadits yang dia dengar dari Rasulullah saw. dengan bunyinya, Berkata Rasulullah saw.,

"Ada seorang laki-laki yang telah dekat meninggal. Tatkala tidak ada harapannya untuk hidup lagi dia berwasiat kepada keluarganya, jika aku meninggal kumpulkanlah kayu api banyak-banyak, kemudian hendaklah bakar mayatku sampai hancur sejak dari daging sampai kepada tulangku sehingga jadi abu. Maka ambillah semua lalu tumbuk sampai halus, onggokkan abuku itu dan lemparkan ke laut! Wasiatnya itu dilakukan orang. Kemudiannya dikumpulkan Allah-lah abu-abu itu ke sisi-Nya, lalu Allah SWT menanyakan apa sebab engkau berbuat demikian? Orang itu menjawab, "Karena takutku kepada Engkau, ya Allah." Lalu diampuni Allah SWT dosanya."

Bukhari dan Muslim pun merawikan hadits yang sama artinya dengan ini, dari hadits Abdulmalik bin Umair. Dalam hadits itu tersebut bahwa sesudah mayat itu dibakar lumat jadi abu, maka dikumpulkan abunya itu lalu dibagi dua. Yang separuh dilemparkan ke darat dan yang separuhnya lagi dilemparkan ke laut di waktu udara sedang angin ribut. Maka datanglah perintah Allah SWT kepada lautan supaya yang telah berserak-serak di laut itu dikumpulkan kembali dan daratan pun diperintahkan pula, sehingga yang di darat berkumpul pula, lalu keduanya digabungkan jadi satu. Lalu Allah SWT berfirman, "Kun." (Jadilah), maka berdirilah dia jadi seorang laki-laki. Maka bertanyalah Allah SWT, "Mengapa engkau berbuat demikian dahulu?" Dia menjawab, "Semata-mata karena takut kepada Engkau ya, Allah. Namun Engkau yang lebih tahu." Lalu dosanya diberi ampun.

"Sesungguhnya urusan-Nya cuma apabila Dia menghendaki sesuatu, bahwa Dia katakan kepadanya, "Jadilah!", maka ia pun terjadi." (ayat 82).

Sebab itu maka bagi Allah hal-hal yang kita anggap sukar itu, baik yang nyata kelihatan tiap baru, seperti telur jadi ayam, atau sebuah biji mangga kelak membuahkan beribu buah mangga, atau yang hanya kita dengar dari wahyu, semuanya adalah mudah.

"Dan kepada-Nya-lah kamu semua akan dikembalikan." (ujung ayat 83).

Kesadaran kita, bahwa kita semuanya akan kembali kepada-Nya itulah yang akan menyadarkan kita dan menyebabkan kita selalu menempuh jalan yang lurus dan tidak menyembah melainkan kepada Dia.

Aamiin.

Selesai Tafsir Surah Yaasiin.

Alhamdulillah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 452-456, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HIDUP DI DUNIA HANYA SEKEJAP

Setelah orang-orang yang berdosa itu ditempatkan dalam neraka Jahannam, datanglah kepada mereka pertanyaan, yaitu dalam rangka siksaan juga, berapa lamanya kamu tinggal di dunia dahulunya?

Dengan penuh keinsafan dan kesadaran mereka telah menjawab, bahwa tidaklah lama mereka di dunia, hanya sehari atau setengah hari saja.

Tetapi orang-orang yang pandai menghitung, yaitu malaikat-malaikat yang telah ditentukan, ataupun manusia yang dianugerahi Allah ilmu pengetahuan, lebih tahu berapa lama mereka hidup. Bukanlah sehari atau setengah hari, melainkan lebih pendek dari itu.

Allah SWT telah menjelaskan, bahwa hidup yang telah mereka lalui itu sebenarnya lebih pendek dari satu hari.

Memang kalau kita pikirkan dan perhitungkan berapa lamanya kita hidup, rasanya hanya sehari atau setengah hari saja.

Dan jika dipikirkan dan diperhitungkan lebih mendalam, dari setengah hari pun kurang.

Mungkin lebih tepat kalau dikatakan hanya sekejap mata sekilas zaman.

Dalam kehidupan kita ini yang dirasakan lama hanyalah menempuh yang akan datang. Adapun yang telah dilalui, hanyalah sebentar saja rasanya.

Kadang-kadang kehidupan orang seorang dapatlah disimpulkan kepada tiga kalimat saja:

"Lahir. Menangis, dan Mati."

Setengah manusia sadarlah ia akan singkatnya umur itu, lalu diisinya dengan amal yang saleh dan jejak yang baik, sehingga umurnya lebih panjang daripada usia jasadnya.

Tetapi setengahnya lagi, walaupun dia tahu, bahwa umur itu sangatlah singkat setan iblis dapat juga memperdayakannya.

Kata iblis,

"Jika hidup hanya sesingkat itu, mengapa engkau lepaskan kesempatan? Minumlah air hidup sepuas-puasmu, umur muda akan lalu dan tidak terulang lagi."

Demi bila diminumnya seteguk, dia merasa tidak puas, mau seteguk lagi. Laksana meminum air laut, tambah diminum tambah haus. Di mana batasnya?

Keinginan tidaklah ada batasnya, tetapi tenaga kita terbatas. Setelah tenaga yang terbatas itu mulai susut atau habis sebelum waktunya, kemampuan buat mereguk lagi air kehidupan itu tak ada lagi, sesal pun tumbuh, berkerut kening kacau pikiran. Tidak ada sesuatu pengobat sesal. Syukur kalau masih ada kesempatan tobat.

Tetapi betapa pula kalau maut lekas datang? Apa yang akan dibawa pulang ke hadhirat Allah SWT dan apa yang akan diingat-ingat oleh orang yang tinggal?

Akan samakah kematian kita dengan matinya seekor kuda beban tua, yang tenaganya tidak diperlukan lagi pada hal dia masih hidup?

Setelah dalam neraka Jahannam orang yang bersalah mulai insaf, dan menyesal. Ketika itu mereka mengaku terus terang, bahwa di kala hidup telah memilih jalan salah, sebab kesempatan memutar balik kebenaran tak ada lagi.

Sebab itu seketika ditanyai kepada mereka berapa lamanya mereka telah hidup? Mereka menjawab terus terang,

"Kami hidup di dunia hanya sebentar saja, hanya sehari atau setengah hari."

Untuk lebih meyakinkan, disuruhlah mereka menanyakan kepada orang yang pandai penghitung, atau Malaikat yang kerjanya istimewa menghitung.

Allah SWT telah mengatakan, bukan sehari atau setengah hari, bahkan lebih pendek.

Hitunglah sendiri sekarang, sebelum perhitungan di neraka kelak,

"Berapa umur dunia sebelum kita lahir?"

Menurut penyelidikan ahli ilmu pengetahuan alam, sejak bumi ini terpecah sebagaimana sumbingan dari matahari sampai sekarang, umur bumi sudah bermiliar-miliar Tahun. 1 Miliar adalah 1.000 Juta. Dan manusia sendiri menurut penyelidikan terakhir, yang dibuktikan oleh fosil-fosil yang telah didapat, terutama di Mojokerto dan di Peking, barulah 500.000 Tahun. (Kecuali kalau didapat pula kelak fosil yang lebih tua dan itu). (5)

(5) Menurut ajaran Islam, atau ketiga agama yang serumpun, (Yahudi, Nasrani, Islam), nenek moyang manusia adalah Nabi Adam dan Hawa. Lantaran itu maka dia termasuk bidang kepercayaan (iman). Adapun penyelidikan antropologi adalah ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan adalah hasil dari berbagai penyelidikan dan teori-teori. Maka perkembangan ilmu pengetahuan itu tidaklah segera kita tolak, malahan kita bersedia menerimanya dan menerima pula perubahan-perubahan dan kelanjutannya. Sebab hasil penyelidikan ilmu pengetahuan tidaklah mutlak. Lantaran itu maka penafsir-penafsir Islam modern menegaskan, bahwa dalam Al-Qur'an dan hadits tidaklah ada keterangan sudah beratus tahunkah sampai sekarang Adam dan Hawa itu. Karena tidak ada keterangannya, "boleh jadi" Adam dan Hawa itu memang sudah 500.000 Tahun yang lalu. Setelah penafsir lagi mengemukakan tafsir berdasarkan kepada suatu hadits riwayat Ibnu Abbas, bahwa Adam yang kita sebutkan sekarang adalah nenek moyang manusia yang terakhir: Sebelum Adam yang sekarang sudah ada beribu-ribu (Alfualfi), tegasnya sejuta Adam. Sebab itu mereka tidaklah sekaligus menolak perkembangan ilmu pengetahuan antropologi itu. Adapun penafsir yang memakai haluan Madzhab Salaf berpendirian sebagai kita lukiskan di atas: "Adam-Hawa sebagai nenek moyang manusia adalah kepercayaan agama. Itu kita pegang teguh. Adapun perkembangan ilmu pengetahuan kita terima dengan kesediaan merombaknya pula. Karena penyelidikan manusia tidaklah pernah terhenti." (Di lain waktu kita jelaskan lagi).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 236-238, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Jadi orang-orang yang meminta penyaksian ilmiah modern atas apa yang disabdakan Allah, sudah boleh tenteram hati menerima wahyu-wahyu Ilahi." (BUYA HAMKA).

BEBERAPA KEMUNGKINAN DUNIA MUSNAH

Di Kayden Planetarium New York pernah diadakan demonstrasi cara bagaimana menurut ilmuwan modern bumi yang kita diami ini akan menemui kehancurannya.

Dipertunjukkan secara realistis adanya 5 kemungkinan.

Pertama, matahari meletus dan bumi musnah dalam lautan api.

Kedua, matahari berbalik menjadi beku sedemikian rupa hingga bola bumi menjadi dataran hitam yang tertutup es.

Ketiga, mungkin juga terjadi bahwa suatu bintang yang besar bertubrukan dengan matahari yang mana akan mengakibatkan kehancuran bumi.

Keempat, didemonstrasikan adanya kemungkinan bintang berekor jatuh ke bumi dengan kedahsyatan begitu rupa hingga bumi hancur luluh karenanya.

Kelima, kemusnahan dengan segala penghuninya karena jarak dengan bulan menjadi begitu dekat sehingga menimbulkan gelombang-gelombang air pasang yang dahsyat disertai letusan-letusan hebat dari gununqgunung berapi. (Antara Spektrum).

Sekian berita itu.

Jadi orang-orang yang meminta penyaksian ilmiah modern atas apa yang disabdakan Allah, sudah boleh tenteram hati menerima wahyu-wahyu Ilahi.

Padahal semestinya bagi orang yang beriman, pengetahuan manusia belum dapat sekaligus diterimanya, kalau belum sesuai dengan firman Allah.

"Di hari itu dia akan menceritakan kabar-kabarnya." (ayat 4).

Artinya bahwa di hari itu bumi itu sendiri akan menceritakan sendiri kabar berita tentang dirinya.

Yaitu meskipun bukan bumi berkata dengan lidah, tetapi keadaan yang telah terjadi itu, yang kian lama kian hebat dahsyat dan menakutkan, telah menjawab sendiri pertanyaan yang timbul di hati manusia.

Yaitu bahwa inilah permulaan hari kiamat.

Dunia lama mulai dihancurkan dan zaman akhirat telah mulai datang.

"Bahwa Tuhan engkau telah memerintahkannya." (ayat 5).

Artinya bahwa segala yang tengah terjadi itu adalah suatu ketentuan pasti dari Allah, qadar yang telah ditentukan, atau ajal yang telah sampai pada waktunya, bilangan dunia sudah sampai!

Al-Qasyani menegaskan,

"Artinya Allah-lah yang memerintahkan bumi itu berguncang dan rusak dan hancur dan runtuh dan mengeluarkan segala isinya yang terpendam," (sebagai disebutkan di ayat 2).

"Di hari itu manusia akan pergi berpisah-pisah." (pangkal ayat 6).

Berpisah-pisah, bersebar-sebar dibawa untung masing-masing, keluar dari kampung halaman atau rumah tangganya, sehingga terpisah-pisahlah di antara satu dengan yang lain, tidak dapat berkelompok lagi.

Hal ini pun diterangkan lebih jelas dalam surah 'Abasa ayat 34 sampai 37, bahwa di hari itu orang lari dari saudaranya, dari ibunya dan ayahnya, dari istrinya dan anak-anaknya, karena masing-masing orang menghadapi urusannya sendiri.

"Untuk diperlihatkan kepada mereka amal-amal mereka." (ujung ayat 6).

Itulah pula yang dinamai Yaumul Hisab, Hari Perhitungan atau Yaumul Mizan, Hari Penimbangan.

Akan diselidiki satu demi satu amal perbuatan, kegiatan dan usaha selama hidup di atas dunia, baiknya dan buruknya. Dan semuanya akan diperlakukan dengan adil dan tidak ada yang tersembunyi.

"Maka siapa yang mengerjakan kebaikan setimbang debu pun, niscaya dia akan melihatnya." (ayat 7).

"Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan setimbang debu pun, niscaya dia pun akan melihatnya." (ayat 8).

Di dalam kedua ayat ini disebut Dzarrah; supaya lebih populer kita artikan saja dengan debu.

Padahal Dzarrah lebih halus dari debu. Di zaman modern ini, setelah orang menyelidiki ilmu-ilmu fisika, maka atom dipakai dalam bahasa seluruh dunia untuk menyebut kata Dzarrah.

Ahli-ahli fisika Arab menyebut juga Dzarrah itu sebagai al-Jauharul Fard, suatu benda sangat halus yang tidak dapat dibagi lagi.

Lantaran itu boleh jugalah kita artikan,

"Dan barangsiapa yang mengerjakan setimbang atom pun dari kebaikan, niscaya dia akan melihatnya."

Hal ini menjadi bukti bahwa tidak ada satu pun yang tersembunyi di sisi Allah dari amalan manusia dan kegiatan hidupnya, supaya dibalas dan diganjari setimpal dengan perbuatannya.

Demikian juga orang yang telah mengaku beriman kepada Allah dan Rasul.

Meskipun dia telah mengaku beriman, namun dosanya, kesalahan, atau kejahatannya kan dipertimbangkan dan diperlihatkan.

Jika dia tidak mempersekutukan Allah dengan yang lain, siksaan yang akan diterimanya tidaklah seremuk sehina orang yang kafir; atau bisa jadi akan diampuni Allah dosa-dosanya seperti disebut dalam hadits shahih.

Maka tersebutlah Hatim ath-Thaa'iy, dermawan Arab beragama Nasrani yang terkenal di zaman jahiliyyah akan diringankan adzabnya di neraka, karena di kala hidupnya sangat dermawan.

Dan Abu Lahab paman Rasulullah saw. yang sangat terkenal benci kepada keponakannya yang menjadi Nabi itu, pun akan diringankan adzabnya; karena dia pernah bersuka cita ketika Rasulullah saw. lahir ke dunia; sampai disediakannya jariahnya bernama Tsuwaibah untuk menyusukan Nabi, sebelum disusukan oleh Halimah as-Sa'diyah.

Dan sudah tentu adzab siksaan yang akan diterima Abu Thalib yang mengasuh Nabi saw. sampai beliau menjadi Rasul dan membelanya sampai akhir hayatnya, tidak disamakan dengan adzab siksaan yang akan diterima oleh Abu Jahal.

Selain dari itu, ayat ini pun menjadi obat yang jadi sitawar-sidingin bagi orang-orang yang beramal dengan ikhlas untuk agama, untuk bangsa dan perikemanusiaan, tetapi mereka dilupakan sejarah, misalnya karena kepentingan politik.

Meskipun di dunia mereka dilupakan orang, namun kebajikan dan jasanya di kala hidupnya tetap tercatat di sisi Allah dan akan dihadapinya kelak di Hari Akhirat.

Tersebut di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Tirmidzi dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah saw. pernah mengatakan bahwa surah Idza Zulzilati ini setimbang dengan separuh Al-Qur'an, Qul Huwallaahu Ahad setimbang dengan sepertiga Al-Qur'an, dan Qul Yaa Aiyuhal Kaafiruun setimbang dengan seperempat Al-Qur'an.

Marilah kita camkan dalam pikiran dan perenungan kita, mengapa Rasulullah menilai ketiga surah ini demikian?

Tentu karena banyak kebaikan di dalamnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 271-273, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KEHANCURAN

Ini adalah peringatan lagi tentang akan datangnya Hari Kiamat.

"Apabila langit telah hancur." (ayat 1).

Susunan seperti yang kita lihat dari bumi sekarang ini tidak akan ada lagi. Bintang-bintang yang sekarang ada di tempatnya akan berkacau. Itulah kehancuran.

"Dan apabila bumi telah dipanjangkan." (ayat 3).

Kalau kita lihat dalam peta atlas yang besar, nyatalah bahwa bumi itu bulat.

Dalam ayat ini dinyatakan bahwa suatu waktu dia akan dijadikan Allah panjang atau meluas.

Menurut keterangan ahli-ahli memang bumi itu selalu berubah meskipun berubah itu berlaku dalam jutaan tahun.

Bukan mustahil dari membulat dia melonjong.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 159, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HARI KEPUTUSAN

"Dan akan dibukakan langit; maka jadilah dia beberapa pintu." (ayat 19).

Dalam keadaan ilmu manusia yang seperti sekarang ini belumlah kita dapat mengetahui bagaimana keadaan langit yang akan terbuka itu.

Sebab yang kita lihat pada langit di malam hari hanyalah bintang-bintang yang berserak-serak bermiliar-miliar banyaknya.

Yang kita tahu langit yang kadang-kadang kita namai ruang angkasa itu amat luas dan tinggi, tidak ada batasnya.

Kononnya, bila manusia berangkat dari titik tempat tegaknya sekarang ini (misalnya di rumah saya di Kebayoran), lalu berangkat secepat cahaya mengedari "kolong" langit ini, 12 juta Tahun baru sampai kembali ke tempat tegak semula tadi.

Apakah ini yang bernama langit pertama?

Dan apakah ini yang akan terbuka, lalu terjadi beberapa pintu?

Ataukah bintang-bintang yang banyak itu gugur dan terkisar dari tempat jalannya semula, sehingga langit ketirisan? Atau bolong? Sehingga hilanglah daya tarik yang menimbulkan keseimbangan dalam perjalanan alam ini? Lalu semua jadi kocar-kacir dan hancur luluh?

Wallahu a'lam!

Yang sudah terang, kalau langit sudah dibuka dan beberapa pintu sudah terjadi, maka perjalanan falak sudah berubah sama sekali dan tentu itulah yang bernama permulaan Kiamat.

"Dan akan dihapuskan gunung-gunung; maka jadilah dia sarab belaka." (ayat 20).

Tadi pada ayat 7 sudah dijelaskan bahwa gunung-gunung itu dijadikan oleh Allah menjadi pasak bumi, atau tiang-tiang peneguh, pemantap, sehingga manusia dapat hidup dengan tenteram.

Kalau gunung-gunung tidak ada, bahaya besarlah yang akan menimpa.

Manusia tidak akan dapat hidup di muka bumi lagi.

Sebab tidak ada lagi yang akan mendinding angin berembus keras.

Ingat sajalah betapa kerasnya angin di laut ketika kita berlayar. Sebab tidak ada yang menghambat angin itu.

Dan gunung-gunung di tanah yang subur dapat menahan erosi, yaitu mengalirnya bunga tanah di bawah hujan sehingga tanah menjadi kering.

Maka diterangkanlah dalam ayat 20 ini, bahwasanya setelah serunai sangkakala itu ditiup, gunung-gunung pun menjadi hapus.

Lantaran itu maka bumi menjadi rata; tak bergunung-gunung lagi.

Sudah pasti manusia tidak dapat hidup lagi dalam bumi yang tidak bergunung.

Yang ada hanyalah padang balantara belaka.

Yang kelihatan oleh mata tidak gunung lagi, melainkan sarab yang kini dikenal sebagai fatamorgana, yaitu bayang-bayang dari panas yang sangat teriknya, menyerupai air yang sedang tergenang dan sangat jernih.

Sehingga apabila kita haus, kita menyangka sesampai kita di tempat itu kita akan bertemu air.

Padahal setelah datang ke sana, setetes air pun tidak akan ditemui.

Itulah sarab.

Dan itulah yang telah diperumpamakan Allah atas orang-orang yang haus akan kebahagiaan jiwa, padahal tidak menuruti tuntunan yang diberikan Allah, seperti berjalan kehausan di padang pasir, sebagaimana tersebut di dalam surah an-Nuur, ayat 39.

Maka pada waktu itu langit tempat bernaung telah tembus dan berlubang-lubang menjadi banyak pintu.

Gunung-gunung tempat berlindung dari dahsyatnya angin telah rata dengan tanah, sehingga pengharapan sudah menjadi fatamorgana belaka; disangka air, rupanya hanya pasir!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 101-102, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

MUNGKINKAH ADA WAHYU ILAHI YANG TIDAK MASUK AKAL?

PERTANYAAN

Bagaimana kedudukan sabda Nabi, "Agama adalah akal; tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal." Kalau hadits ini dihubungkan dengan peristiwa Isra' Mi'raj Nabi Muhammad saw., mungkinkah wahyu Illahi itu ada yang tidak ma'qul?

Dari T. Bahry Muchsin, Pandean, Bogor.

JAWABAN

Peristiwa Isra' Mi'raj bukan tidak masuk di akal, bahkan dapat dilukiskan oleh akal, tidak mustahil terjadi. Hanya mustahil menurut adat kebiasaan.

Di dalam ini, banyak perkara yang belum terterima pada mulanya oleh akal kita, karena belum diketahui rahasianya.

Misalnya pada 150 Tahun yang telah lalu kalau dikatakan manusia bisa terbang cepat dari Jakarta ke Mekah dalam tempo 1 malam saja, orang akan berkata bahwa itu belum dapat dicerna oleh akalnya, meskipun bisa terkhayal dalam pikirannya, dan sekarang tidak ganjil lagi.

Di dalam pengkajian ilmu akal diberilah "Ujud" (yang ada) itu menjadi beberapa bagian.

1. Ujud Khariji.

Ada yang dapat disaksikan oleh pancaindra karena ia ada di diri kita.

2. Ujud Zihri.

Ada yang dapat dikhayalkan oleh pikiran kita, meskipun ia belum terjadi pada kenyataan.

Misalnya orang terbang ke langit atau Gunung Gede menjadi emas, atau runtuh jadi danau.

Hal ini bukanlah mustahil menurut akal, meskipun mustahil menurut adat.

3. Ujud Ilmi.

Ada dalam pengetahuan, meskipun belum ada dalam kenyataan. Misalnya seorang arsitek menggambarkan terlebih dahulu dalam ingatannya berapa besar rumah yang akan didirikan, berapa semen terpakai, berapa paku, besi, kayu dan sebagainya, padahal rumahnya sendiri belum ada.

Sebab itu, alam sebelum terjadi, sudah ada dalam ilmu Allah Ta'aala.

Adapun hal yang mustahil yang tidak masuk akal misalnya mengatakan bahwa alam terjadi sendirinya, Tuhan Yang Menciptakan alam tidak ada.

Atau sebagai kepercayaan bahwa Allah beranak atau Tuhan itu tidaklah satu, tetapi tiga, dan bukan Dia semata-mata tiga, tetapi Dia satu. Itu memang tidak masuk akal, sebab satu tetap satu dan tiga bukan satu.

Orang Kristen yang mempunyai kepercayaan itu sendiri mengakui bahwa kepercayaan "Trinitas" itu tidak masuk akal; tetapi harus mereka percayai juga.

Kepercayaan orang Islam tentang adanya Isra' dan Mi'raj, bukanlah mereka menganut suatu kepercayaan yang tidak masuk di akal, melainkan suatu kepercayaan yang mustahil menurut adat karena belum pemah terjadi sebelumnya, tetapi dapat diterima oleh akal, sebab dapat dikhayalkan (dibayangkan dalam ingatan).

Termasuk dalam lingkungan Ujud.

Dalam rangka ini, maka selain memegang teguh kepercayaan karena disebut dalam Al-Qur‘an -- orang Islam pun percaya penuh bahwa Nabi Isa al-Masih lahir ke dunia dari Maryam, dengan tidak disentuh oleh seorang laki-laki pun karena kelahiran demikian dapat dikhayalkan oleh ingatan (ujud), hanya saja mustahil menurut adat sebab belum pernah terjadi sebelumnya menurut yang diketahui orang.

Namun, orang Islam tidak dapat percaya bahwa Isa itu anak Allah, karena mustahil Allah Yang Maha Kuasa mutlak memerlukan seorang anak untuk teman sejawatnya dan membagi kekuasaan dengan Dia, dan lebih tidak perlu lagi menurut akal, Dia akan beranak, yaitu anak yang menganggur tidak ada kekuasaannya yang mutlak, sebab kuasa mutlak ada pada Allah.

Mengenai Isra' dan Mi'raj itu dalam kalangan ulama-ulama Islam, timbul perbedaan-perbedaan pendapat.

Jumhur ulama yang terbanyak berpendapat Nabi Muhammad itu Isra' dan Mi'raj dengan tubuh dan nyawanya, dan ada pula yang percaya bahwa perjalanan Isra' dan Mi'raj itu adalah seperti mimpi, yaitu nyawa beliau saja.

Tidak ada dalam kalangan Islam yang menuduh kafir golongan yang percaya Nabi Isra' dan Mi'raj dengan nyawa saja itu. Kalau golongan itu akan dituduh kafir, bukan semata-mata karena kepercayaan itu.

Ada pula yang berkepercayaan bahwa Nabi Muhammad Isra' ke Baitul Maqdis adalah dengan nyawa dan badannya, sedang Mi'raj-nya ke langit adalah hanya nyawanya.

Sebagian ulama salaf tidak mau membicarakan soal badan dan nyawa itu; Nabi Muhammad saw. Isra' dan Mi'raj! Habis perkara.

Oleh sebab itu, pertanyaan Saudara,

"Adakah wahyu Ilahi itu yang tidak ma'qul?"

Kita jawab dengan tegas,

"Tidak ada wahyu Ilahi yang tidak ma'qul."

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 26-28, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

"Dalam lingkungan pandangan iman, tidaklah ada suatu bencana alam yang tidak ada hubungannya dengan dosa."

NABI SYU'AIB DI NEGERI MADYAN

"Dan jangan kamu bentindak di bumi dalam keadaan merusak." (ujung ayat 85).

Inilah yang dinamai di zaman sekarang dengan masyarakat yang korup.

Masyarakat yang korup, masyarakat yang ditegakkan di atas kecurangan menimbulkan kekayaan dan mencari keuntungan pribadi karena mementingkan diri sendiri.

Maka orang yang miskin dan teraniaya akan mengeluh dan mendendam.

Segolongan kecil manusia hidup senang dengan mengisap darah golongan yang terbesar.

Itulah yang diisyaratkan di ujung ayat tentang "kerusakan di muka bumi", yang disebut Nabi Syu'aib dalam ukuran masyarakat zaman kuno yang berurat pada pertanian dan peternakan, yang dapat kita kias-kan kepada masyarakat modern sekarang ini.

Menurut sebuah riwayat dari Ibnu Jarir dan Abusy Syaikh serta Ibnu Abbas bahwa Ibnu Abbas menafsirkan bunyi ayat "sesungguhnya, aku lihat keadaan kamu adalah baik", tafsirnya ialah harga barang-barang keperluan sehari-hari murah dan bisa dibeli. Dan bunyi ayat "aku takut (akan menimpa) kepada kamu adzab pada hari yang meliputi", beliau tafsirkan bahwa harga barang-barang keperluan sehari-hari membumbung tinggi.

Maka di dalam ayat yang menceritakan kisah Nabi Syu'aib ini dan menilik tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas itu, tampaklah beliau membayangkan suatu ilmu ekonomi bahwa kenaikan harga sehingga tidak terkendalikan lagi, banyak sangkut pautnya dengan kecurangan sukatan dan timbangan.

Di dalam ilmu ekonomi modern pun kata-kata itu dapat disimpulkan dalam spekulasi dan manipulasi atau menimbun barang keperluan sehari-hari yang vital, sehingga orang banyak menderita.

Ayat selanjutnya melukiskan sambungan perkataan Nabi Syu'aib kepada kaumnya,

"Sisa rezeki dari Allah-lah yang paling baik." (pangkal ayat 86).

"Sisa rezeki dari Allah," yaitu keuntungan kecil, tetapi tetap, yang membuat hati jadi tenteram, menyebabkan jiwa berkembang, hati terbuka, dan hubungan cinta sesama manusia menjadi murni sehingga keuntungan itu pun menimbulkan silaturahim dengan orang lain, lalu beramal yang saleh. Maka tinggallah bekas yang baik dalam dunia dan pahala yang besar di akhirat.

Ibnu Abbas menafsirkan, "Sisa yang baik dari Allah itu ialah rezeki yang halal."

Muhajid menafsirkannya, "Taat kepada Allah berarti rezeki yang halal itu dengan sendirinya menuntut kepada taat akan Allah."

Ar-Rabi menafsirkannya, "Wasiat dan Allah berarti saudagar yang demikian selalu di bawah perlindungan Allah."

Al-Farra menafsirkan, "Selalu mendekati Allah."

Qatadah menafsirkan, "Selalu mendapat kejayaan (success) dari Allah."

Di akhir ayat menyambunglah Nabi Syu'aib.

"Dan aku ini bukanlah sebagai penjaga bagi kamu." (ujung ayat 86).

Artinya, perkataan yang bunyinya agak pahit ini wajib aku sampaikan karena aku ini adalah saudara kamu. Kalau kamu teruskan juga kecurangan ini, bahaya mesti datang.

Kekacauan, huru-hara, hasad-dengki, perebutan pengaruh di antara kaya sama kaya dan dendam si miskin kepada si kaya, dan kutuk Allah terus-menerus.

Dan kalau itu terjadi, tidaklah ada padaku daya upaya dan kekuatan untuk membela kamu, untuk memelihara kamu dan tidaklah ada tenagaku untuk membendung bahaya itu.

Menilik susun kata Nabi Syu'aib dalam ayat ini, yang selalu dimulainya dengan kalimat "wahai kaumku", tampaklah terlontar rasa cinta kasih seorang saudara kepada saudaranya. Kata yang timbul dari perasaan yang halus sehingga Nabi Syu'aib disebut oleh Nabi kita Muhammad saw. "khathibul ambiya" -- ahli pidato di antara nabi-nabi.

Seruan yang timbul dari cinta kasih disambut oleh kaumnya dengan dingin.

Soal-jawab atau dialog Nabi Syu'aib dengan kaumnya ini menjadi pengajaran yang penting bagi setiap orang yang ingin membimbing kaumnya kepada jalan yang diyakini kebenarannya.

Kalau hendak menjaga kepopuleran terus, berdiam dirilah dan jangan dituruti kata hati sanubari, tutup mulut, dan turutkan saja ke mana angin yang keras.

Dengan demikian, kepemimpinan tidak ada lagi.

Wa maa taufiqi illa billah "tidak ada taufik atau kejayaan yang aku harapkan kecuali dari Allah". Itulah pegangan yang ditinggalkan Nabi Syu'aib.

Jangan bertanya kapan Allah akan memberikan kemenangan, melainkan tanyalah diri sendiri, sudahkah perintah Allah dilaksanakan? Yaitu melakukan dakwah?

Dalam kisah Nabi Syu'aib dengan kaumnya orang Madyan ini, kita mendapat ilmu yang jelas dari Al-Qur'an tentang dasar-dasar tempat menegakkan masyarakat ataupun negara.

Keadilan dan kebenaran, itulah tujuan bernegara.

Kemakmuran itulah yang dikehendaki.

Bagaimana pun kekayaan berlimpah-limpah pada satu golongan, terutama golongan yang menguasai negara, kalau semuanya itu dilakukan dengan kecurangan dan penganiayaan, korupsi, manipulasi, dan spekulasi, tanda bahwa ketenteraman hati kita tidak akan didapat.

Segala teori ekonomi boleh saja dikemukakan orang, namun segala teori yang mengingkari pentingnya mental agama bagi menegakkan ekonomi adalah teori yang gagal.

Seorang mantan ekonom yang ternama dari zaman Nazi Hitler, Dr. Schaft, ketika sekitar Tahun 1952 datang ziarah ke Indonesia, setelah mempelajari pertumbuhan ekonomi Indonesia bagi membangun negara yang baru merdeka ini, memberikan laporannya kepada pemerintah Republik Indonesia di waktu itu bahwa faktor kesadaran beragama, tentu saja kesadaran cinta kasih yang menghubungkan di antara pribadi dan Allah, dan antara pribadi dan sesama manusia, dan antara pribadi dan seluruh alam, adalah utama dan pertama dalam pembangunan Indonesia khususnya serta dunia umumnya.

Dr. Schaft ketika itu menganjurkan kerja sama yang erat di antara Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Agama.

Kalau advis ini timbul dari seorang ekonom Islam, tentu akan datang tuduhan sebentar itu juga bahwa ekonom tersebut mempunyai ideologi yang berbahaya, yaitu ideologi Islam atau dongeng-dongeng Al-Qur'an yang tidak laku lagi buat zaman modern.

Maka cita-cita kita sebagai Muslim ialah negara yang adil dan makmur, yang diridhai Allah, diliputi oleh kasih sayang Allah dan cinta dari Allah yang menyelinap ke dalam rongga hati kita.

Bukan kemewahan yang disertai oleh kutuk Ilahi dan kutuk segenap Malaikat serta kutuk dari tiap orang yang beriman.

Kita mengharap sifat Allah yang Rahim yang menghasilkan Rahmat.

Dan sifat Allah Wadud, yang menghasilkan Mawaddah.

"Suatu kebinasaan bagi Madyan, sebagaimana binasanya Tsamud." (ujung ayat 95).

Di sini pun menyertakan dalam pembinaan iman kita satu peringatan tentang kaum-kaum yang binasa lantaran durhaka itu, yang meninggalkan kesan dalam jiwa seorang Mukmin bahwa bencana-bencana alam yang terjadi ialah karena ada dosa-dosa yang sudah sangat memuncak. Maka Allah memperlihatkan kekuasaan-Nya, untuk menanamkan keinsafan bagi manusia supaya segera bertobat kepada Allah.

Dalam lingkungan pandangan iman, tidaklah ada suatu bencana alam yang tidak ada hubungannya dengan dosa.

Suatu bencana alam dalam pandangan iman bukanlah suatu hal yang kebetulan saja. Tidak ada yang dinamai kebetulan di dalam alam yang luas ini.

Bencana-bencana alam menurut pandangan iman, harus ditanggulangi dari dua jurusan.

Jurusan lahir dengan memperbaiki mana yang rusak, mencegah banjir, memelihara hutan jangan terbakar, memperkukuh dan membendung tepi pantai, jangan sampai diruntuhkan ombak.

Yang kedua adalah lebih penting, yaitu mendekati Allah, jangan mempersenda-guraukan tentang soal-soal ketuhanan karena kunci-kunci rahasia alam ini adalah terpegang di dalam tangan-Nya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 594-603, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan (demi) al-Baitil Ma'mur." (ayat 4).

Al-Bait al-Ma'mur.

Al-bait artinya rumah, al-Ma'mur artinya yang ramai.

Jadi rumah yang selalu ramai.

Di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, al-Bait al-Ma'mur atau rumah yang ramai itu adalah terletak di dalam langit yang ketujuh.

Di dalam hadits Isra' dan Mi'raj ada disebutkan bahwa Nabi Muhammad dalam Mi'raj-nya diberi Allah juga kesempatan buat sampai ke sana dan sesampai di sanalah, bertemu beliau Muhammad saw. dengan Nabi Ibrahim sedang bersandar pada tempat yang mulia itu.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan Nabi Ibrahim mendapat kehormatan setinggi itu ialah karena beliau yang mendirikan Ka'bah di dunia.

Kedudukan al-Baitil Ma'mur di langit, sama dengan kedudukan Ka'bah di bumi.

Yaitu tempat ibadah malaikat yang datang dari segenap penjuru langit.

Tidak kurang dari 70.000 malaikat yang datang beribadah dan thawaf tiap hari ke Baitul Ma'mur itu.

Mana yang telah datang satu kali, selesai beribadah lalu pergi dan tidak berulang datang lagi.

Banyak hadits-hadits yang menerangkan tentang al-Baitil Ma'mur itu.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib menyebut namanya yang lain, yaitu adh-Dhurrah.

Kemuliaannya di langit kata Sayyidina Ali sama dengan kesucian Ka'bah di bumi.

Cerita yang beginilah yang bernama sam'iyaat, yaitu cerita-cerita perihal di tempat lain, baik yang ada sekarang atau yang akan kita dapati di alam lain kelak atau sekarang yang kita dengar dari riwayat Rasulullah saw. sendiri, yang kita wajib percaya sepanjang yang kita dengar itu, dengan tidak perlu kita persoalkan lagi bagaimana caranya.

Menerima dengan penuh kepercayaan apa yang kita dengar dari Nabi itu, adalah sebagian dari iman juga.

Sebab sebagai pemeluk dari suatu agama, kita telah mempunyai pokok pendirian bahwa Rasulullah saw. itu mustahil berdusta.

"Dan (demi) atap yang ditinggikan." (ayat 5).

Atap yang ditinggikan ialah langit.

Demikian menurut keterangan ahli-ahli sebagai Sufyan, Mujahid, Qatadah dan as-Suddi.

Hal ini dapat kita rasakan apabila kita ingat penafsiran tentang langit.

Bila ditanya orang apakah langit itu?

Orang menjawab, "Langit adalah apa yang berada di atas kita."

Sebab apa yang tinggi di atas kita itulah langit kita.

Dari tempat yang rendah kita melihat hujan turun. Sebab dia datang dari jurusan yang tinggi dari kita maka kita anggap saja hujan itu turun dari langit.

Tetapi apabila kita naik kapal udara, kita melihat bahwa hujan itu bukan turun dari langit, melainkan dari segumpal awan di bawah dari kapal udara yang kita naiki itu, dan "langit" kita lebih tinggi daripada awan yang menurunkan hujan itu.

Maka bertambah tinggi terbang, bertambah rendahlah jurusan yang tadinya telah kita katakan langit tadi, dan pindahlah apa yang kita katakan langit itu kepada apa yang di atas kita lagi!

Bertambah tinggi dan tinggi lagi terbang kita, bertambah jauh juga langit ke atas kita.

Sebab itu amat tepatlah peringatan Allah, "Dan (demi) atap yang ditinggikan." Bertambah tinggi terbang kita, bertambah lebih tinggi letak langit di atas kita.

"Dan (demi) laut yang berapi." (ayat 6).

Menurut satu tafsir yang di uraikan oleh Sa'id bin al-Musayyad yang beliau terima pula dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya air laut meskipun karena jelas bahwa ia adalah genangan air, namun ia selalu menggelagak. Yaitu gelagak yang pada hakikat manunjukkan bahwa air laut itu mengandung panas. Dan panas itu artinya ialah mengandung api.

Keterangan ini dikuatkan lagi oleh firman Allah, surah at-Takwiir ayat 6,

"Demi apabila lautan telah mendidih." (at-Takwiir: 6).

Kadang-kadang pergolakan zaman menyampaikan kita kepada penafsiran ayat ini.

Kemajuan teknologi manusia menyebabkan sesudah manusia mencari minyak bumi, mereka pun mencari minyak di laut.

Maka dari dalam dasar laut itu dikeluarkan minyak.

Ini adalah salah satu tanda yang nyata bahwa lautan bisa mendidih mengeluarkan api.

Kemudian itu dibuat oranglah kapal-kapal tangki pengangkut minyak beribu-ribu ton dari satu benua ke benua yang lain.

Kita melihat Selat Malaka menjadi jalan laut kapal-kapal tangki berpuluh setiap hari.

Maka terjadilah beberapa kali kecelakaan, yaitu kapal tangki bocor minyak mengalir keluar, ikan-ikan jadi mati karena keracunan minyak, dan tidak jarang terjadi kebakaran di laut!

Api menjalar di atas laut susah memadamkannya, tidak bisa dipadamkan oleh pompa air, karena satu-satu waktu telah sangat berpadu antara minyak dengan air.

Ini semuanya telah kita dapat saksikan.

Baik dilihat mata kepala, atau membaca dari surat-surat kabar, ataupun dapat dilihat di televisi, sehingga di zaman kemajuan teknologi ini manusia pun maju untuk sampai kepada suatu suasana kebingungan melihat bekas kemajuan pikirannya sendiri.

Terkenal pula apa yang dinamai polusi, yaitu keruh dan kotornya udara dari bekas kemajuan pikiran manusia, dengan menjulangnya asap pabrik-pabrik, dengan mengebulnya asap minyak dari berjuta mobil yang dipakai manusia, sehingga bertemu pula apa yang dikatakan di dalam surah ar-Ruum ayat 41.

"Telah timbul kerusakan di darat dan di laut karena usaha tangan manusia." (ar-Ruum: 41).

Maka ayat 6 ini, "demi laut yang berapi", dikuatkan lagi oleh surah at-Takwiir ayat 6, adalah peringatan bagi manusia bahwa bisa saja kalau Kiamat mau datang maka dari lautan yang luasnya 4/5 dari seluruh bumi dari dalam laut itulah menggelojak api.

Di negeri kita sendiri, dari sebuah pulau kecil antara Jawa dan Sumatera terdapat Pulau Krakatau.

Selalu dapat kita lihat pada lautan dekat pulau kecil itu mengepul asap dari dalam laut, yang satu-satunya memberi ingat bahwa dari sana bisa meletus lagi, sebagaimana pada Tahun 1833 telah ditimbulkan Allah letusan besar dari lautan, yang didengar dahsyatnya letusan itu di seluruh dunia.

Oleh sebab itu maka tepatlah firman Allah selanjutnya,

"Sesungguhnya adzab Tuhanmu itu pasti terjadi." (ayat 7).

Dengan 6 peringatan sebagai permulaan, sejak dari Bukit Thursina, yang di sana Musa menerima wahyu dan perintah agar menghadapi Fir'aun dengan serba kezaliman dan aniaya, sampai peringatan menyuruh membaca perubahan-perubahan yang selalu tertulis di alam ini, sampai pula cerita tentang al-Baitil Ma'mur, yang Nabi kita Muhammad saw. telah diberi kesempatan melihat tempat itu waktu Mi'raj, diiringi lagi dengan peringatan tentang langit yang ditinggikan, dan akhirnya sekali diperingatkan bahwa lautan yang luas itu pun menggelegak, menggelora, sebab dia mengandung api.

Dengan mengemukakan keenam peringatan ini, dengan sendirinya manusia akan dituntun oleh pikirannya, oleh logikanya bahwa semuanya itu tidaklah kekal.

Semuanya itu fana, yang baqa hanya Allah.

Dan dengan wajar manusia sampai kepada kesimpulan:

"Tidak sesuatu pun yang dapat bertahan." (ayat 8).

Bukit Thursina telah berdiri beribu tahun; Fir'aun melawan dengan sombongnya.

Akhirnya dia hancur.

Ensiklopedi alam selalu terbuka buat dibaca.

Namun manusia kian lama kian lalai memerhatikan itu.

Akhirnya yang zalim jatuh juga, tidak dapat bertahan.

Langit ditinggikan!

Oleh setengah manusia langit yang tinggi tidak mendekatkan, bahkan menjauhkan dari Allah.

Akhirnya dari langit yang tinggi itu adzablah yang turun, manusia pun tidak dapat bertahan.

Dengan sombong manusia melayari laut, menghubungkan letak yang jauh terpisah.

Allah bukakan laut boleh dilayari, namun akhirnya kemajuan hubungan laut telah mereka jadikan kesempatan yang luas buat menindas yang kuat kepada yang lemah.

Dengan kapal bangsa-bangsa yang kuat menjajah yang lemah.

Akhirnya dari laut akan merebaklah api besar, membakar kezaliman.

Tidak satu kekuatan pun yang bisa bertahan!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 507-509, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

YA'JUZ DAN MA'JUZ SUDAH LAMA TERSEBUT

Sekarang bertambah pengalaman dan pengetahuan manusia bertambah pula penafsiran tentang alam. Orang-orang Islam zaman sekarang mengeluarkan pula tafsiran Ya'juz dan Ma'juz yang diambil asal pokok ambilan bahasa. Kalimat Ya'juz dan Ma'juz. Kata mereka ialah dan pokok kata,

Artinya nyala atau menggejolak. Dipakai buat api.

Zaman kita sekarang ini (kata mereka) benar-benar zaman Ya'juz dan Ma'juz, zaman gerak hidup amat bergantung kepada nyala api pabrik dan mesin-mesin.

Amat bergantung kepada getaran-getaran strum listrik.

Zaman sekarang amat bergantung kepada produksi dari hasil putaran mesin-mesin yang bergerak karena gejala, nyala, dan gejolak api.

Nilai-nilai hidup berubah sama sekali.

Zaman industri!

Zaman kecepatan!

Agama kian lama kian kendur, rumah tangga kian hilang nilainya sebagai pusat pendidikan kemanusiaan.

Mulanya manusia mendirikan mesin-mesin, sekarang hidup manusia telah diatur dan ditentukan oleh mesin-mesin itu.

Bangsa-bangsa berperang, berkelahi memperebutkan kekayaan.

Jurang di antara yang punya (have) dengan yang tidak mempunyai apa (have not) bertambah dalam.

Dan akhirnya orang mendapat bom-bom nuklir pembunuh berjuta-juta manusia sekaligus!

Nyala api Ma'juz terang-terang memancarkan sinar yang radio aktif.

Dengan kepandaian bom nuklir manusia mendapat rahasia yang penting sekali, tentang bagaimana caranya membunuh diri mereka sendiri, dan Kiamat akan dipercepat datangnya oleh tangan manusia sendiri.

Inilah tafsir paling baru tentang Ya'juj.

Yang merusak di bumi itu, yang mengalir menurun dengan cepatnya dan tempat yang tinggi ke tempat kerendahan.

Manusia berpikir dan menafsir sesuai dengan zamannya, dan Al-Qur'an senantiasa terbuka buat dipikirkan dan ditafsirkan oleh yang diberikan kesanggupan oleh Allah!

Asal saja penafsiran itu bukan membelokkan makna yang dimaksud dengan ayat itu kepada tujuan yang lain sebagaimana dilakukan oleh kaum Batiniah.

Dan Ya'juz dan Ma'juz memang ada.

Dua ayat dalam Al-Qur'an.

Pertama, al-Kahf ayat 94 dan kedua, al-Anbiyaa' ayat 96 menyebutkan bahwa segala penafsiran lama dan baru adalah kemungkinan taksiran manusia belaka.

Bagaimana yang sebenarnya Allah-lah Yang Maha Tahu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 433-434, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BINATANG GANJIL TANDA KIAMAT

"Dan apabila perkataan telah jatuh atas mereka." (pangkal ayat 82).

Perkataan, yaitu kata keputusan dari Allah SWT, yang tidak akan berubah selama-lamanya.

Maka pada waktu itu,

"Kami keluarkanlah sejenis binatang melata dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia pernah tidak yakin kepada ayat-ayat Kami." (ujung ayat 82).

Di dalam ayat ini diterangkan bahwa apabila telah datang masanya kelak, akan datanglah kata yang putus dari Allah, sebagai suatu sabda yang berlaku, di kala manusia sudah sangat lupa dan lalai dari agama-Nya, bahwa akan timbullah dari dalam bumi ini semacam binatang.

Dalam ayat ini disebutkan dabbatan; yang kita artikan binatang.

Tetapi kalimat dabbatan itu asal artinya ialah melata atau merangkak, atau beringsut-ingsut.

"Tanda-tanda Hari Kiamat yang mula sekali keluar ialah terbitnya matahari dari sebelah Baratnya, dan keluarnya binatang itu atas manusia di tengah hari. Dan yang mana saja yang terkemudian keluar dari yang lain, namun jaraknya di antara keduanya adalah berdekatan." (HR. Muslim).

Inilah hadits shahih yang dapat dipertanggungjawabkan yang menyebut tentang binatang itu, yang tidak begitu jauh artinya dari yang tersebut dalam Al-Qur'an.

Menyebutkan bahwa satu di antara tanda akan hari Kiamat ialah datangnya binatang itu.

Entah binatang apa tidak dijelaskan.

Entah ular, entah labi-labi, entah penyu besar, entah binatang besar purbakala yang ditaksir orang ada hidup di muka bumi ini jutaan tahun yang lalu, entah manusia sendiri, entah apa, entah apa.

Wallahu a'lam.

Al-Qur’an dan hadits yang shahih tidak ada menerangkan apa macamnya binatang itu.

Al-Qur'an dan hadits shahih tidak ada menyatakan panjangnya 60 hasta, berbulu sebagai domba, bersayap seperti burung, kepalanya kepala banteng, matanya mata babi, telinganya telinga gajah, tanduknya tanduk rusa, dadanya dada singa, dan sebagainya, dan sebagainya; apatah lagi tingginya menyundul awan, di antara dua tanduknya seperjalanan satu farsakh.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 559, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan walaupun Kami turunkan kepada mereka Malaikat dan Kami percakapkan kepada mereka orang mati, dan Kami kumpulkan atas mereka segala sesuatu berhadapan, niscaya tidaklah mereka akan beriman kecuali bahwa Allah menghendaki."

"Tetapi, kebanyakan mereka tidak tahu." (ujung ayat 111).

Ujung ayat inilah yang memperkuat penafsiran kita tadi.

Kebanyakan mereka tidak tahu, bodoh, jahil, tidak memperhatikan sunnatullah.

Yaitu bahwa bukanlah mukjizat itu yang akan dapat mengubah sikap jiwa yang telah dicap Allah karena kesalahan sendiri itu.

Menurut setengah ahli tafsir, ujung ayat ini yaitu sebagai perangsang kepada orang-orang yang beriman, yang kurang memperhatikan adanya sunnatullah.

Orang Mukmin itu menyangka, kalau sudah ada mukjizat, tentu orang-orang kafir itu akan segera beriman.

Padahal, datangnya iman kepada hati yang kafir, bukan karena dibukakan oleh suatu mukjizat, melainkan kalau dalam hati itu sendiri telah tersedia persiapan penampung iman.

Sebelum kaum musyrikin itu beriman, sudah banyak terlebih dahulu sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang beriman bukan karena suatu mukjizat, melainkan karena di dalam jiwa sudah ada persediaan menerima.

Orang yang mempunyai persediaan yang demikian telah memandang bahwa seluruh alam ini adalah mukjizat.

Kejadian langit dan bumi, edaran matahari dan bulan, semuanya itu adalah mukjizat yang membuktikan tentang adanya Khalik penciptanya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 246, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JADIKAN DIRI KITA SENDIRI MENJADI IMAM MAHDI

Salah satu di antara kepercayaan yang membelenggu diri kaum Muslimin ialah kepercayaan bahwa di akhir zaman kelak Imam Mahdi akan datang.

Orang hidup di dunia memang tidak puas atas kekurangan yang ada pada zamannya.

Setengah orang menjadi reaksioner (surut melihat ke belakang), memuaskan diri dengan sejarah yang lalu.

Kalau ada orang mengatakan, "Hai kaum Muslimin, sekarang kamu telah jatuh!"

Si reaksioner akan menjawab, "Tetapi kita dahulu telah pernah mencapai kemuliaan."

Orang kata, "350 Tahun, kamu dijajah Belanda."

Si reaksioner menjawab, "Tetapi umat Islam 700 Tahun pernah memerintah Spanyol."

Dan si reaksioner tidak tergetar hatinya memikirkan bahwa masjid-masjid di Spanyol itu sekarang adalah gereja!

Apa yang mereka harapkan? Mereka mengharap kedatangan Imam Mahdi di akhir zaman.

Dia adalah Ratu Adil atau Karaeng Data. Bagaimana sengsara nasib, mereka masih mengharapkan kedatangan Imam Mahdi. Dengan Imam Mahdi kelak semuanya akan beres.

Orang Yahudi yang ada di seluruh dunia ini, tidak cukup bilangannya 50 juta, yaitu sepersepuluh dari 500 juta kaum Muslimin, payah menunggu-nunggu kedatangan Messias yang tidak juga datang karena Messias itu telah berlalu, tetapi tidak mereka percaya.

Mereka tunggu kedatangan Messias tidak juga kunjung tiba, sehingga membuat gerakan zionis dibantu oleh Amerika dan Inggris, dan juga Rusia, dapatlah mereka mendirikan Kerajaan Israel di tengah-tengah Tanah Air Bangsa Arab.

Kita tidak perlu menunggu Imam Mahdi.

Sebab hadits tentang Imam Mahdi itu pun tidak ada yang sah buat dijadikan dalil.

Lebih baik kita jadikan diri kita sendiri-sendiri menjadi Imam Mahdi, membawa petunjuk Islam sejati untuk menampung kehendak Ilahi bahwa Islam akan mengatasi segala agama dunia ini,

Walaupun orang yang musyrikin tidak suka.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 146-147, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Tentang Hadits-Hadits akan turun Imam Mahdi, menurut penyelidikan ahli-ahli, tidaklah sunyi Hadits-Hadits Mahdi itu dari pengaruh Syiah.

Sebab, baik Syiah Kisaniyah atau Ismailiyah atau Itsna Asyriyah, ketiganya mempunyai kepercayaan bahwa ada Imam yang gaib, yang sekarang tengah bersembunyi di satu tempat, dan kelak akan kembali. Itulah dia Imam Mahdi.

Dan, disebutkan pula bahwa namanya sama dengan nama ayah Nabi (Muhammad bin Abdullah).

Panjang lebar pula ahli sejarah yang besar, Ibnu Khaldun membincang hadits-hadits Mahdi ini di dalam Mukadimahnya, yang berkesimpulan bahwa hadits-hadits Mahdi itu setelah diperbandingkannya satu sama yang lain, menjadi sebab semuanya tidak ada yang dapat dipakai.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 620, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TENTANG HARUT DAN MARUT

Ada pula satu riwayat lain yang lebih dahsyat.

Dalam memberikan riwayat ini dibawa-bawa pula nama sahabat Rasulullah saw. yang salah, yaitu Sayidina Abdullah bin Umar.

Kononnya malaikat-malaikat di langit mengomel-ngomel mengapa terlalu banyak anak Adam yang durhaka kepada Allah.

Lalu Allah menjawab,

"Kalau kamu sekalian bertempat di tempat anak Adam itu kamu pun akan mendurhakai aku."

Malaikat menjawab,

"Bagaimana kami akan durhaka, padahal kami siang dan malam banyak bertasbih memuji Engkau dan menyucikan Engkau."

Allah menjawab,

"Sekarang cobalah pilih dua di antara kamu dan suruhlah mereka keduanya pergi ke dunia! Supaya kamu ketahui betapa sulitnya kedudukan anak Adam itu di dunia."

Oleh karena itu, dipilihlah dua di antara malaikat-malaikat itu, yaitu Harut dan Marut, diutus ke dunia.

Rupanya sesampai di dunia, benar saja mereka kena uji dengan ujian yang hebat.

Mereka bertemu dengan seorang perempuan yang amat cantik.

Mereka pun jatuh hati dan timbul syahwat sehingga mereka pun berbuat zina dengan perempuan itu dan telah mulai pula minum-minuman keras.

Oleh karena itu, murkalah Allah kepada kedua malaikat itu.

Mereka disuruh memilih adzab duniakah yang akan mereka terima atau adzab akhirat.

Mereka pilihlah adzab dunia, biar sampai Kiamat.

Kemudian, diazab kedua malaikat itu, tergantung sekarang ini di antara langit dan bumi.

Adapun perempuan yang menyebabkan mereka jatuh hati namanya adalah Zuhrah, dikutuk Allah berganti menjadi binatang.

Kemudian, terbanglah ia ke langit sebelah Timur, itulah ia bintang Zuhrah yang terbit pagi itu (Bintang Timur).

Sebagian ahli tafsir, seperti as-Sayuthi dalam ad-Daunul Mansur menyalinkan juga riwayat ini dengan tidak ada syarah (komentar) apa apa.

Ibnu Katsir menyalinkan juga sebagiannya.

Namun, penafsir al-Qurthubi membantah keras riwayat ini, ia mengatakan tidak mungkin riwayat ini dari sahabat yang mulia Ibnu Umar.

Setelah diselidiki bertemu lagi sumber berita, yaitu dari Ka'ab al-Abbar lagi, pendeta Yahudi yang masuk Islam itu, yang dalam kehidupannya sehari-hari adalah seorang yang salih. Namun, ia suka sekali mendongeng-dongeng seperti ini. Dialah sumber dan banyak penafsiran yang dinamai "lsrailiyat."

Ibnu Katsir, meskipun menyalinnya, ia dengan tegas menolak ini semua.

Kata beliau, kesimpulannya adalah bahwa semuanya ini kembali kepada cerita-cerita Bani Israil, sebab tidak ada dari hadits yang marfu' dan shahih yang ada rantai hubungannya dengan Nabi kita ash-Shadiq al-Mashduq (yang benar lagi dibenarkan), lagi maksum, yang apabila beliau bercakap tidaklah keluar dari kehendaknya sendiri.

Dalam Al-Qur'an kisah itu nyata, tidak panjang lebar seperti itu.

Kita hanya beriman kepada yang tersebut dalam Al-Qur'an, menurut apa yang dikehendaki Allah.

Demikian Ibnu Katsir.

Orang Islam yang bebas berpikir (yang semata-mata berpegang kepada AI-Qur'an dan hadits yang shahih) tidaklah tertarik mempercayai cerita ini.

Ini adalah cerita yang dikarang-karangkan saja oleh orang Yahudi.

Campur aduk di antara dongeng-dongeng Yunani Kuno yang mengatakan bahwa bintang Seroja atau bintang Tsurayya yang oleh orang Yunani adalah dewa dari kecantikan.

Patung Venus Milo yang telah hilang tangannya, pada zaman sekarang tersimpan dalam museum kota Paris.

Dongeng Harut dan Marut dengan bintang Zuhrah, atau Tsurayya sebagai jelmaan dari perempuan cantik yang dikatakan berbuat jahat dengan kedua malaikat itu ada terdapat dalam Talmud, dalam kitab Madrasa Jadkut Fasal 33.

Inilah yang disalin begitu.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 131-137, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

TENTANG ENAM HARI KEJADIAN LANGIT DAN BUMI

Supaya kita dapat memahami apa arti Allah menjadikan semua langit dan bumi dalam enam hari, hendaklah kita langsung mengambil dari Al-Qur'an sendiri dengan penafsiran alam menurut perkembangan ilmu pengetahuan.

Dan, yang demikian itu telah lebih mudah di zaman modern kita sekarang ini.

Penyelidikan tentang alam ini berangsur-angsur maju di luar dari kepercayaan turun-temurun manusia.

Karena hubungan orang Arab dengan Yahudi berdekatan maka tidak sedikit masuk pengaruh kitab Perjanjian Lama kepada ahli-ahli tafsir Islam pada zaman pengetahuan umum belum maju itu.

Oleh karena itu, tidaklah kita heran jika di dalam beberapa tafsir Al-Qur'an lama, banyak ditafsirkan orang menurut Perjanjian Lama dan dongeng-dongeng orang israili.

Menurut Perjanjian Lama itu, Allah menjadikan langit dan bumi ini dalam enam hari, dimulai hari Ahad, disudahi hari Jum'at dan pada hari Sabtu Allah istirahat, berlepas lelah!

Setelah ayat Al-Qur'an yang menyebutkan enam hari ditilik dari segi bahasa Arab dan dari ayat lain sendiri di dalam Al-Qur'an, sudahlah nyata bahwa yang dimaksud dengan hari pada ayat ini bukanlah hari 24 jam seperti yang kita hitung sekarang.

Kemajuan ilmu pengetahuan tentang alam, yang anak sekolah dasar pun telah tahu, telah menunjukkan bahwa yang kita namai sehari semalam sekarang ini ialah edaran bumi mengedari atau mengelilingi matahari.

Sekarang orang telah tahu, selain bumi ada lagi beberapa buah bintang yang mengelilingi matahari dan mereka ada yang lebih besar daripada bumi dan lebih jauh jarak putarannya dari matahari sehingga edaran dari bintang-bintang itu tidaklah 24 jam sebagai bumi.

Bintang-bintang Mars, Mercurius, Saturnus, Neptunus, dan beberapa buah bintang lagi yang dinamakan satelit matahari.

Atau dalam bahasa populernya, pengiring.

Mereka juga mengelilingi matahari menurut jarak yang lebih jauh dari edaran bumi.

Oleh sebab itu, siang-malam di sana berbeda dari siang-malam di bumi.

Padahal, makhluk Allah yang bernama "semua langit" itu sangatlah banyak.

Keluarga matahari dengan satelitnya dan bintang-bintangnya yang lain yang berjuta-juta banyaknya itu hanyalah satu kekeluargaan saja, dari berpuluh, entah beratus, entah berapa lagi makhluk yang lain.

Dibawa pada makhluk yang maha luas itu, matahari dengan bumi dengan bulan dan bintang-bintang dan satelitnya hanyalah satu kelompok kecil kekeluargaan saja.

Oleh sebab itu, dengan ini saja sudah nyata bahwa enam hari di dalam Al-Qur'an itu bukanlah enam hari 24 jam.

Di dalam Al-Qur'an surah al-Haj ayat 47 dan surah as-Sajdah ayat 5, dijelaskan bahwa ada bilangan hari satu hari di sisi Allah sama dengan 1.000 Tahun hitungan kita manusia.

Sedangkan 1.000 Tahun kita itu ialah 1.000 kali 365 hari kita.

Di dalam surah al-Ma'aarij ayat 4 diterangkan lagi satu macam hari di sisi Allah, yang pada waktu itu malaikat dan ruh naik ke atas, jumlah bilangan hari itu ialah 50.000 Tahun menurut hitungan tahun edaran bumi matahari kita ini; 50.000 kali 356 hari kita.

Itu baru dua contoh Allah menyebutkan hari-Nya kepada kita.

Berapa juta lagikah macam hari Allah yang lain? Hanya Dia saja yang tahu.

Sedangkan hari yang kita pakai hanya satu macam saja, yaitu 24 jam sekali edaran bumi keliling matahari.

Oleh sebab itu, Allah menjadikan semua langit dan bumi dalam enam hari, bukanlah hari menurut hitungan kita, melainkan hari menurut hitungan Allah sendiri.

Di dalam bahasa Arab pun hari itu berarti juga zaman atau masa.

Maka, dapatlah kita simpulkan maksud ayat, berdasar arti yang lain dari hari dalam bahasa Arab dan kemajuan penyelidikan ilmu bahwa kejadian alam semua langit dan bumi adalah melalui enam masa.

Zaman pertama bahwa semuanya masih merupakan uap atau kabut. Dari kabut itulah timbul satu pecahan kecil yang kemudiannya berbentuk jadi bumi.

Zaman kedua, uap telah bersilih menjadi air.

Zaman ketiga, mulai timbul yang kering, yang kelaknya akan berkumpul menjadi bukit-bukit dan gunung-gunung.

Zaman keempat, mulailah kelihatan yang hidup dalam air, yaitu tumbuh-tumbuhan dan binatang.

Zaman kelima, keenam, sampai sebagai yang sekarang ini.

Demikianlah, pada zaman Rasulullah saw. sendiri orang Yahudi menyampaikan paham dalam kalangan Arab jahiliyyah bahwasanya hari Sabtu hendaklah dijadikan hari Sabat, sebab pada hari itu Allah istirahat.

Datang Al-Qur'an membantah, seperti tersebut di dalam surah ar-Rahmaan ayat 29 bahwa setiap waktu, ataupun setiap hari ada saja urusan Allah itu.

Allah bukan makhluk, yang perlu istirahat.

Sungguh pun demikian ada juga dikemukakan orang hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Nabi. saw. memang pernah mengatakan, menurut riwayat Muslim, ahli hadits yang besar itu dan Imam Ahmad menerangkan dalam masnadnya, diterima dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad bersabda,

"Allah menjadikan tanah hari Sabtu, menjadikan gunung-gunung hari Ahad, menjadikan kayu-kayuan hari Isnin (Senin), menjadikan segala yang dibenci hari Selasa, menjadikan cahaya (nur) hari Arba'a (Rabu), menjadikan bintang-bintang hari Khamis (Kamis), dan menjadikan Adam di waktu Ashar hari Jum'at itu sampai malam."

Hadits ini diselidiki orang dengan saksama menurut ilmu hadits, walaupun nama Imam Muslim disebut-sebut sebagai perawinya.

Hadits jenis ini ada macam-macam, tetapi yang satu ini sanadnya agak kuat. Bukan sangat kuat, melainkan agak kuat.

Tiba-tiba bertemulah dalam sanad yang merawikan itu nama Hajjaj bin Muhammad al-A'war, yang menurut penyelidikan, beliau ini pada hari tuanya jadi kacau akalnya hingga hafalannya.

Menurut keterangan Ibnu Katsir di dalam tafsirnya pula bahwa hadits ini telah dibicarakan dengan saksama oleh Imam Bukhari.

Ternyata bahwa hadits ini dari riwayat Abu Hurairah, yang diterimanya daripada Ka'ab al-Ahbar.

Dan, kita sudah mengetahui bahwa Ka'ab al-Ahbar adalah Yahudi yang masuk Islam, banyak sekali membawa dongeng-dongeng israiliyat.

Kerap kali riwayat-riwayat yang diterima dari Ka'ab ini ditulis tanpa komentar, sebab dia sendiri memang orang shalih dan taat.

Sedangkan satu hadits betapa pun bagus matannya, kalau tidak sejalan isinya dengan Al-Qur'an, sudah boleh diletakkan saja, apatah lagi jika sudah terdapat nama-nama yang mencurigakan, seperti Hajjaj bin Muhammad al-A'war tadi, yang pada hari tuanya mulai rusak hafalannya dan bertemu pula keterangan Bukhari bahwa Ka'ab al-Ahbar ada pula campur tangan di dalam memasukkan cerita ini.

Maka, kalau kita tolak, bukan berarti kita menolak keterangan Rasulullah saw., melainkan hanya tidak lekas menerima suatu hadits sebab riwayat silsilah atau rantai perawinya meragukan kita.

Jika kita melepaskan diri dari hadits-hadits semacam itu, yang jalan riwayatnya banyak cacatnya menurut ilmu hadits, lalu kita baca beberapa ayat dari Al-Qur'an dan disesuaikan dengan perkembangan pengetahuan tentang alam maka ayat-ayat itu akan dapat dipahamkan dengan tuntunan ilmu pengetahuan alam itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 433-435, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

RINGKASAN TENTANG TAFSIR TANDA-TANDA KIAMAT

Ketiga-tiganya ini banyak jadi perbincangan orang, sebab memang ada dalam hadits-hadits.

Ada haditsnya yang shahih dan ada pula yang dhaif, lemah dan tidak kurang pula yang maudhu' (palsu).

Tentang hadits-hadits itu telah banyak ulama-ulama ahli hadits menyelidiknya dengan saksama, baik tentang isi di antara satu hadits dengan hadits yang lain, atau sanad dan keadaan orang-orang yang merawikan hadits, apatah lagi setelah kitab-kitab hadits itu lengkap dicetak, sehingga lebih mudah dari dahulu untuk menyelidikinya.

Tentang Nabi Isa akan turun kembali ke dunia ini, oleh karena memang terdapat ayat yang menyatakan bahwa beliau diangkat maka banyak ahli tafsir mengatakan bahwa beliau akan turun pula.

Ketika menafsirkan surah Aali 'Imraan ayat 55 (juz ketiga) telah kita nyatakan bahwa banyak ulama Islam zaman sekarang menyatakan pendapat bahwa yang diangkat bukan badannya, melainkan martabat dan kemuliaannya, sedang beliau adalah mati sebagai manusia biasa.

Sebab itu, soal dia akan turun kembali itu, ada yang berpendapat, kalau hadits-hadits itu shahih, bukanlah berarti bahwa batang tubuh beliau yang akan turun membunuh Babi dan memecahkan Kayu Salib, melainkan ajaran beliau yang sejatilah yang akan turun kembali ke dunia.

Cerita tentang kedatangan Dajjal pun, setelah diselidiki dengan saksama, diteliti satu demi satu, sebagaimana yang ditulis oleh Sayyid Rashyid Ridha di dalam tafsirnya juz ke-9 ternyata serupa juga dengan hadits-hadits Nabi Isa atau Imam Mahdi akan turun itu.

Setengah ulama penyelidik meninggalkan saja hadits Dajjal itu sama sekali karena terlalu banyak perlawanan isi di antara satu dengan yang lain.

Lantaran itu maka ulama-ulama yang sudi menyelidiki, yang tidak hanya turut-turutan, atau tukang-tukang dongeng, yang dengan segera diberi orang gelar ulama atau kiai, ulama-ulama yang memakai pikiran dengan tegas mengatakan bahwa kalau aku tidak percaya kepada hadits-hadits Dajjal yang menentukan siapa orangnya itu, tidaklah rusak imanku kepada Allah.

Namun, setengah orang lagi memandangnya sebagai lambang atau kata qiyas saja, sebab yang berpendapat begini bukan ahli ilmu hadits, melainkan ahli-ahli pikir Islam zaman terakhir.

Pendapat lain tentang Dajjal itu ada pula.

Terlepas daripada dongeng-dongeng yang dimasukkan secara israiliyat, kita tetap mengakui adanya Dajjal-dajjal itu, sebagai dikatakan tadi, haditsnya yang shahih pun ada.

Akan tetapi, Dajjal bukanlah satu orang. Di dalam hadits Bukhari dikatakan:

"Dajjal-dajjal pendusta itu hampir 30 orang banyaknya." (HR. Bukhari).

Kalau sudah menyebut hampir tiga puluh, tandanya bahwa Dajjal itu bukan seorang, bahkan banyak. Mungkin juga lebih dari tiga puluh.

Di dalam hadits itu dikatakan bahwa semuanya mendakwakan dirinya Nabi. Jadi dapatlah disimpulkan bahwa berpuluh-puluh orang nabi-nabi palsu atau pendusta atau penipu akan datang sebagai tanda dari hari akan Kiamat.

Sedang arti dari kata Dajjal itu sendiri ialah: "Pembohong, penipu, pengelabui mata orang."

Oleh Sebab itu, peringatan tentang akan adanya Dajjal tidaklah boleh ditolak sama sekali, meskipun ilmu tentang menilai hadits dapat menyisipkan mana hadits palsu atau israiliyat ataupun hadits yang shahih.

Sedangkan di zaman Rasulullah saw. masih hidup, sudah dikatakan juga bahwa Hari Kiamat sudah dekat dan diberi peringatan akan banyaknya datang dajjal-dajjal, kononlah setelah jauh dari zaman Rasul.

Peringatan tentang bahaya Dajjal, penipu, pembohong, dan pemalsu, adalah menyuruh umat yang beriman supaya berpegang teguh dengan pokok ajaran agama, Al-Qur'an dan as-Sunnah, Tauhid, dan Iman.

Namun, kalau dia telah berupa suatu bangsa atau kaum yang mempunyai kekuatan besar, membanjir, mengalir, menurun dari tempat yang tinggi, tidak tertahan-tahan maka itulah dia Ya'juj dan Ma'juj.

Kalau kedua bahaya ini datang, itulah tanda Kiamat, yaitu kehancuran.

Dajjal bisa timbul dalam satu negeri dan merusak-binasakan negeri itu karena telah rusak sendi kebenarannya oleh kepalsuan.

Dan, negeri itu pun bisa menjadi Ya'juj dan Ma'juj, merusak dan menghancurkan negeri-negeri tetangganya, dengan tidak mempunyai tujuan lain, kecuali penghancuran.

Sebab itu, sampai datang Kiamat yang besar, Dajjal akan berkali-kali datang dan Ya'juj dan Ma'juj pun akan berkali-kali datang.

Adapun saat Kiamat itu sendiri, tidaklah seorang juga makhluk yang diberitahu oleh Allah bilakah akan terjadinya dan tidak juga Nabi sendiri.

Ayat yang tengah kita tafsirkan inilah satu-satunya dalil yang pokok yang tidak bisa diganjak dan diungkit-ungkit lagi.

Kita pun mengakui bahwa ada juga tersebut di dalam setengah kitab tafsir keterangan yang menentukan bahwa umur ini 7000 (tujuh ribu) Tahun. Dan, kita Umat Muhammad ini adalah umat penghabisan, termasuk ribu yang ketujuh.

Akan tetapi, setelah diselidiki orang dengan saksama, keterangan itu tidaklah ada dari Nabi Muhammad saw. sendiri yang shahih dan dapat dijadikan pegangan.

Dan, yang menentukan umur dunia 7000 Tahun ini adalah kepercayaan orang Yahudi, yang tercantum juga di dalam kitab yang mereka namai Taurat itu, terutama Kitab Kejadian.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 620-625, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

HANTU

Maka dengan ayat yang tengah kita tafsirkan ini, Allah tidaklah memungkiri bahwa makhluk yang demikian memang ada.

Namun, semuanya itu adalah Allah sendiri yang menjadikannya dan tidaklah dia bersekutu dengan Allah dalam menguasai alam ini sendiri pun. Maka, kalau makhluk itu telah mulai kita puja, diberi sajian, dihormati, atau dimintai tolong, mulailah dia dipersekutukan dengan Allah. Dan kalau telah mempersekutukan Allah, tentulah musyrik, tidak tulen tauhidnya lagi, artinya kufur.

Kalau kita pahamkan lagi lebih mendalam, tampaklah bahwa adanya makhluk-makhluk gaib itu bukan tidak diakui.

Ada ruh baik dan ada ruh jahat.

Ada malaikat dan ada jin, ada setan dan ada iblis, ada orang si bunian dan ada hantu, ada hantu haru-haru, ada hantu rumah dan ada pontianak dan ada si cindai.

Di antara 1.000 cerita tentang orang bertemu dengan hantu, agak sebuah tentu ada yang betul.

Bahkan gerakan Theosofie sengaja mengadakan latihan untuk bertemu dengan ruh orang yang telah mati.

Pengalaman ahli-ahli tasawuf pun pernah menemui penjelmaan ruh yang mulanya seperti asap, lalu menubuh.

Namun, ajaran tauhid menyebabkan bahwa manusia yang matang tauhidnya tidak terpengaruh dan tidak takut kepada segala ruh-ruh itu sebab mereka itu semuanya bukan Tuhan, bukan bersekutu dengan Allah dan tidak bisa membawa cedera kepada manusia kalau tidak izin Allah.

Lantaran itu maka orang yang bertauhid, sedikitpun tidak merasa gentar menghadapi segala-galanya itu.

Yang kerap kali terganggu oleh ruh-ruh jahat itu, hanyalah orang-orang yang kurang iman dan tauhidnya juga.

Bertambah kuat tauhid dan iman, bertambah terasalah bahwa di kiri-kanan kita ini ada yang halus yang menjaga kita.

Hal itu dijelaskan terang oleh Al-Qur'an, sebagaimana telah banyak kita bicarakan.

Dan bertambah kita menjauh dari Allah, bertambah banyaklah gangguan dari yang halus yang lain kepada kita, baik godaan setan maupun godaan hantu.

Bertambah kecil jiwa seseorang, pengecut, penuh takhyul dan khurafat maka yang tidak hantu pun akan menjelma jadi hantu.

Oleh karena itu, tidak perlu kita belajar suatu "ilmu" buat berteman dengan orang halus.

Akan tetapi, perkuatlah iman dan tauhid kepada Allah, maka Allah berjanji akan memberikan teman. (Lihat Fushshilat ayat 30).

Di sini, dapatlah kita merasakan betapa penting arti tauhid bagi kepentingan pribadi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 227, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Sesungguhnya, Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman." (ujung ayat 27).

Orang yang tidak beriman adalah laksana telanjang. Tempat masuk setan terbuka di mana-mana, di muka, di belakang, di rusuk kanan, di rusuk tidak ada iman artinya tidak ada pegangan sebab kepercayaannya kepada Allah dan hari akhirat tidak ada atau tidak kukuh. Inilah yang mudah jatuh. Orang selalu memerlukan pimpinan. Jika tidak ada pimpinan Allah, pimpinan setanlah yang akan diterimanya.

Oleh karena itu, segala tangkal, mantra, ramuan dukun yang tidak masuk akal, semuanya itu timbul karena tidak adanya iman. Meskipun ada sedikit iman tidak disempurnakan oleh ilmu.

Golongan yang begini sangat takut pada setan dan hantu, tetapi mereka telah mengerjakan pekerjaan untuk memperbanyak hantu, dan memperbesar pengaruh setan.

Oleh sebab itu, iman sebagai pertahanan batin dan takwa sebagai pakaian jiwa, lalu dilengkapi lagi dengan ilmu adalah menimbulkan nur atau cahaya sehingga setan lari terbirit-birit.

Ibnu Abbas di dalam tafsirnya pernah mengatakan bahwa manusia yang kurang iman takut kepada setan, jin dan hantu. Namun, setan dan jin dan hantu itu lebih sangat takut dan lari sejauh-jauhnya apabila bertemu dengan orang Mukmin.

Orang-orang tua mengatakan perkataan qiyas bahwasanya setan dan hantu dan jin itu lari karena tidak tahan melihat kening orang Mukmin. Di kening orang itu tertulis dengan sinar yang terang benderang kalimat "La Ilaha illallah", tiada Tuhan melainkan Allah. Melihat itu mereka tidak tahan, takut dan lari.

Pahamkanlah ini!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 395-396, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Hal ini beliau kisahkan kepada kami kira-kira 40 Tahun yang lalu, sesudah saya menceritakan cerita lucu tentang Kara Eng Yahya itu kepada beliau sekembali saya dari Makassar (Tahun 1933).

Lalu, sebagai anak yang nakal dan termanja saya bertanya,

"Apakah tidak ada bacaan-bacaan Buya pada waktu itu untuk penangkal bahaya?"

Lalu beliau jawab,

Ada! Bacaan yang Buya pegang ialah ayat ini dan sadar akan artinya, yaitu:

"Sesungguhnya pelindungku ialah Allah, yang telah menurunkan kitab dan Dialah yang melindungi orang-orang yang shalih." (ayat 196).

Artinya, bahwa yang beliau baca ialah ayat yang tengah kita tafsirkan ini, sebagai lanjutan dari ayat yang sebelumnya.

Oleh sebab keyakinannya telah bulat kepada Allah maka yang lain sudah dianggap tidak ada lagi. Ruh yang telah dekat kepada Allah, tidaklah ragu memandang ketiadaan yang lain. Sebab itu, lanjutan ayat ialah bahwa tempat aku berlindung hanya Allah. Bukan saja Allah dianggap sebagai tempat berlindung, bahkan Dia pun mengirimkan kitab pula untuk tuntunan hidup. Dan, Dia pun menjamin, memelihara dan melindungi orang-orang yang shalih, orang-orang yang berbuat baik.

Oleh sebab itu, keberanian menentang berhala, bukanlah keberanian membabi buta, bukan pula karena sombong dan takabur; tetapi keberanian karena ada pedoman.

Di ayat ini bertemu tiga perlengkapan ruhani.

Pertama, yakin bahwa tempat berlindung hanya Allah.

Kedua, yakin kepada tuntunan yang diberikan Allah, sebagai yang kita di zaman modern ini biasa menyebutnya "konsepsi" ada di dalam tangan, yaitu Al-Qur'an.

Ketiga, yakin pula bahwa selama kitab yang diturunkan Allah itu diamalkan dengan sebaik-baiknya, tidak satu pun bahaya yang akan menimpa di dalam alam ini, sebab Allah selalu melindungi.

Oleh sebab itu, dapatlah dipahamkan bahwa ayat ini bukanlah diambil akan jadi mantra, meminta khasiat bacaannya.

Yang patut dijadikan pegangan hidup, ialah isi ayat.

Asal kita beramal baik, menjadi orang shalih, berpegang teguh dengan Kitab Allah, Allah pasti melindungi.

Dan, tidak merasa takut akan bahaya, walau mati sekalipun, karena mati dalam pendirian yang demikian, adalah mati syahid.

Itu pulalah sebabnya maksud ayah penulis menyatakan bahwa yang beliau baca ialah ayat tersebut di dalam menghadapi orang-orang yang ditakuti orang karena mereka disebut datu atau dukun itu.

Barulah benda, berhala, monyet, beringin, batu besar, keris, dukun atau datu memberi bahaya; kalau sekiranya jiwa orang yang menghadapinya bimbang atau memang tauhid tidak mendalam.

Seumpama orang yang takut berjalan di dekat kuburan, dia menampak seakan-akan ada hantu yang mengejarnya dari kuburan itu.

Rasa takut adalah salah satu naluri manusia yang berpokok dari keinginan memelihara hidup. Oleh sebab itu dia telah termasuk naluri, tidaklah dia dapat dihapuskan dari dalam diri.

Akan tetapi, dengan ajaran tauhid rasa takut itu disalurkan kepada Yang Satu, yaitu Allah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 639-640, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KAMI MENDENGAR AL-QUR'AN YANG MENAKJUBKAN

Suatu riwayat dari Ibnu Abbas mengatakan bahwa jin yang Islam, jika berjumpa dengan manusia yang Muslim, jin itulah yang segan dan lari. Kalau shalat, jin-lah yang jadi makmum di belakang, bukan manusia. Dan dijelaskan pula bahwa jin itu sangatlah segan kepada manusia, baik jin yang kafir atau jin yang Islam.

Mujahid menafsirkan sebagaimana terjemahan kita, yaitu karena manusia pergi memperlindungkan diri kepada jin, maka si jin itu menjadi sombong.

Tetapi Qatadah, Abul Aliyah, Rabi dan Ibnu Zaid menafsirkan, "Oleh karena manusia telah pergi memperlindungkan dirinya kepada jin, dia pun diperbodoh oleh jin itu, sehingga kian lama pikirannya kian kacau, dan kian lama pikirannya kian takut kepada jin." Padahal Allah menentukan tempat takut hanya Allah.

Said bin Jubair menafsirkan, bahwa lantaran si manusia itu memperlindungkan diri kepada jin, maka bertambah lama bertambah condonglah si manusia tadi kepada kafir.

Al-Qurthubi menegaskan, "Tidak tersembunyi lagi bahwa pergi memperlindungkan diri kepada jin, bukan kepada Allah adalah syirik dan kufur."

Ada orang-orang berdukun yang katanya memelihara jin Islam. Jin itu katanya bisa disuruh-suruh. Malahan bisa disuruh mengambil mutiara ke dasar laut. Kalau dicari benar-benar fakta atau kenyataan dari berita ini, tidaklah bertemu pangkalnya yang benar dapat dipertanggungjawabkan.

Tidak juga mustahil bahwa ada Jin itu disuruh Allah berkhidmat kepada manusia, tetapi itu hanya kemungkinan saja. Yang terang beralasan, baik dari Al-Qur'an atau dan hadits-hadits Nabi ialah bahwa malaikat bisa disuruh Allah mengawal manusia, karena teguh imannya. (Lihat surah Fushshilat ayat 30). Dari Abu Hurairah Nabi saw. bersabda,

"Daripada Abu Hurairah r.a. daripada Nabi saw. berkata dia, Berkata Nabi saw., 'Apabila Imam telah mengatakan "Sami' allahu liman hamidah" (Allah mendengar barangsiapa yang memuji-Nya), hendaklah dia menyambut dengan ucapan, "Allahumma Rabbana lakal hamdu" (Ya Tuhanku! Untuk Engkaulah, sekalian puji). Maka barangsiapa yang bersamaan kata-katanya itu dengan kata-kata malaikat, niscaya akan diampuni mana yang telah terdahulu dari dosanya." (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadits-hadits semacam ini banyak. Hadits malaikat bersama orang yang mengejar shaf pertama, malaikat bersama orang yang menyusun shaf baik-baik. Hadits bahwa malaikat menyampaikan kepada Nabi tiap-tiap shalawat dan salam yang diucapkan umatnya kepada Nabi saw. dan lain-lain sebagainya.

Mengapa kita ragu akan kebenaran Al-Qur'an lalu kita masuk berkhayal?

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 350-351, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KENANG-KENANGAN BAGI ANAK CUCUKU

Wahai, anak cucuku!

Tafsir ini ayah tulis dalam tahanan pada bulan Februari 1965, di akhir Ramadhan dan permulaan Syawal 1384, dan ayah perbaiki dan sisipi kembali pada permulaan bulan April 1971 atau permulaan bulan Shafar 1391 dalam usia 63 Tahun atau 65 Tahun Hijriyah.

Ayah peringatkan di sini, demikian juga kepada cucu-cucuku dan murid-muridku tentang bagaimana pentingnya didikan ayah terhadap anak di waktu anak masih kecil.

Ayahku adalah seorang ulama besar, alim lagi zuhud akan dunia, lagi saleh dan 'abid.

Dalam kesalehannya itu dia pun adalah seorang pejuang penegak agama Islam dan tidak takut hentakan dan celaan siapa pun di dalam menegakkan yang hak.

Di waktu ayah masih kecil, di bawah usia 10 Tahun, ayah saksikan sendiri kesalehan beliau dan kekerasan beliau mendidik kami anak-anaknya, terutama yang ayah rasakan sendiri.

Disadari atau tidak, sampai usia 65 Tahun sekarang ini masih ayah rasakan bekas pendidikan itu.

Anak-anakku yang kucintai!

Di bawah umur 10 Tahun, entah karena bekas didikan itu, ayah sudah bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., sampai ayah menangis bangun tidur, mengatakan hal itu kepada andung dan ibuku, dan ayahku pun sangat gembira mendengar aku bermimpi bertemu dengan Nabi saw.

Hal ini telah terjadi lebih dari 50 Tahun yang lalu, tetapi kalau aku ingat sampai sekarang, air mataku titik tidak disadar.

Pada Tahun 1924, di dalam usia masuk 17 Tahun, ayah berangkat sendiri ke Tanah Jawa, dengan alasan hendak menuruti kakakku, Fathimah dengan suaminya, Ahmad Rasyid Sutan Mansur.

Ketika itu usiaku sedang mulai remaja, zaman pancaroba, badan tubuh sedang berkembang dan sudah mulai bersyahwat dan sudah mulai bermimpi-mimpi setubuh.

Padahal orang-orang perempuan muda banyak yang tergiur melihat aku yang masih bujang dan aku selalu berangan-angan.

Selalu hampir-hampir saja terjerembab jatuh.

Tiba-tiba pada suatu malam di Ngupasan Yogyakarta, di rumah Engku Marah Intan (kemudian bergelar Datuk Nan Bareno) aku bermimpi, aku mulai akan bersetubuh dengan seorang perempuan. Tiba-tiba aku lihat dalam mimpi bahwa farajnya (kemaluannya) itu bergigi!

Yang kalau aku masukkan alat kelaminku ke dalam, aku merasa tentu kemaluanku akan putus digigitnya.

Aku pun tersentak bangun.

Maka tahu sajalah aku akan tafsir mimpi itu, yaitu kalau aku berzina, niscaya kemaluanku akan terpotong oleh giginya penyakit sipilis.

Mimpi bertemu dengan Rasulullah saw. di waktu masih kecil, belum baligh, mengesan jauh sekali sampai sekarang ini ke dalam jiwaku.

Sampai sekarang ini sudah lebih 50 Tahun berlalu, masih saja terang dalam ingatanku pakaian yang beliau pakai, jubah warna biru serupa dengan warna jubah ayahku, sehingga setelah aku kembali dari Mekah pada Tahun 1928, aku minta dihadiahi oleh ayahku jubah beliau sendiri yang berwarna sebagaimana warna yang dipakai Nabi saw. itu dan aku simpan sampai sekarang ini walaupun jubah itu sekarang telah nyunyur sebab sudah lebih tua daripada umurku.

Demikian juga mimpi kemaluanku nyaris digigit oleh faraj perempuan yang bergigi tajam-tajam itu masih teringat, sehingga dapatlah aku bersyukur karena aku tidak pernah terperosok ke lembah dosa besar itu selama hidupku; moga-moga begitu hendaknya seterusnya.

Di waktu aku masih kecil terkenallah aku ini nakal dan lasak, cacau tangan.

Ketika aku berusia 8 Tahun dimasukkan ke sekolah desa di Bancah Lawas Padang Panjang.

Karena nakalku aku naik ke atas saluran air yang melintasi jalan kereta api di dekat jalan Bancah Lawas itu. Dan karena lasak tanganku, hendak aku pegang kawat telepon yang bisa dipegang dengan tangan dari atas saluran air itu.

Tetapi heran, ketika tanganku mulai akan memegang kawat itu, aku merasakan dengan nyata sekali ada tangan lain yang menarik tanganku, padahal orangnya tidak kelihatan.

Dan aku pun segera meninggalkan tempat yang berbahaya itu.

Dari segala pengalaman ini dan banyak lagi pengalaman-pengalaman yang lain, bertambah teguhlah kepercayaanku, tidak bisa didanjakkan lagi bahwa saya dipelihara Allah.

Pasti, saya dipelihara Allah Ta'aala dari bahaya.

Dan pengalaman ini menambah pula iman dan kepercayaanku.

Sedang kita hanya orang biasa, yang bukan nabi bukan rasul, hanya manusia biasa saja lagi dalam pemeliharaan Allah. Tidak akan celaka kalau tidak dengan izin-Nya dan diberi-Nya penjagaan, kadang-kadang ditarik oleh tangan halus dan kadang-kadang dengan mimpi sebagaimana mimpi ayah waktu itu.

Apatah lagi nabi Allah, Rasulullah yang kelak akan diberi tugas berat menyampaikan wahyu Ilahi kepada manusia.

Sekarang, kita teruskan tafsir ayat selanjutnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 671-672, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Dan berfirman Kami, "Wahai, Adam! Tinggallah engkau dan istri engkau di taman ini, dan makanlah berdua daripadanya dengan senang sesuka-sukamu berdua, dan janganlah kedua kamu mendekat ke pohon ini, karena (kalau mendekat) akan jadilah kamu berdua dari orang yang aniaya." (ayat 35).

Penafsir tidak hendak menyalinkan buah pohon apakah yang dilarang mereka memakan itu? Ada orang yang mengatakan buah khuldi atau buah kekal.

Penafsiran ini niscaya salah.

Sebab yang menamainya syajaratul-khuldi, pohon kekal siapa yang memakannya tidak mati-mati, bukanlah Tuhan, tetapi setan sendiri seketika merayu Adam (lihat surah Thaahaa: 120).

Padahal kita bertemu firman Tuhan yang lain untuk mendekatkan kita memahamkan syajarah atau pohon apakah yang dilarang Adam dan Hawa memakannya itu. Di dalam surah Ibraahiim: 24-26), Tuhan mengambil perumpamaan tentang dua pohon; pohon yang baik dan yang buruk.

Pohon yang baik ialah kalimat yang baik. Kalimat yang baik ialah "la Ilaha illallah".

Adapun pohon yang jahat ialah perumpamaan dari kalimat yang buruk. Kalimat yang buruk adalah segala macam kedurhakaan kepada Allah. Dan yang paling buruk ialah "syirik", mempersekutukan Tuhan dengan yang lain.

Maka, pelanggaran pada larangan saja, sudahlah namanya mulai memakan buah pohon yang buruk.

Adam dan Hawa dilarang mendekati pohon yang terlarang itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 142, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BULAN TERBELAH DUA

"Telah dekat Sa'at dan telah belah bulan." (ayat 1).

Kita telah maklum, bahwasanya arti Sa'at di dalam Al-Qur'an ialah Kiamat.

Sa'at itu mesti datang dan telah dekat.

Orang boleh memutar pikiran, apa sebab bulan jadi belah, namun dia sudah nyata jadi belah.

Mustahil akan sepakat beratus orang yang melihat bahwa mereka akan berdusta. Dan janganlah orang heran bilamana orang mengetahui beberapa hal yang dilihat manusia di muka bumi ini, namun mereka merasa heran mengapa jadi begitu.

Pernah orang melihat di langit ada 2 matahari berendeng!

Dan hal ini disiarkan orang di surat-surat kabar. Kelihatan 2 matahari di langit kira-kira 30 tahun yang lalu, dan banyak pula orang yang menyaksikan.

Maka bagi orang yang telah mendalam imannya, terjadi gerhana atau tidak terjadi, kelihatan bulan terbelah, ataupun kelihatan matahari 2 buah bergandengan di angkasa, atau tidak terjadi, manusia yang telah beriman dan berilmu melihat pada setiap hari tanda-tanda dari kebesaran Allah.

Orang yang beriman akan tertegun dan tertekun membawa ayat Allah pada surah al-Mulk ayat 3 dan 4,

"Dia yang menciptakan tujuh langit bertingkat. Tidak akan ada engkau lihat pada apa yang diciptakan oleh Tuhan Yang Rahman itu sesuatu yang bertelingkah. Ulangilah memandang, adakah engkau lihat yang kecewa? Kemudian itu ulangilah memandang yang kedua kali, niscaya akan kembalilah pandanganmu itu dalam keadaan lesu dan terharu." (al-Mulk: 3-4).

Kita akan lesu dan kita akan terpesona melihat alam di sekeliling kita. Bertambah kita mengetahuinya, bertambah kita lesu dan bertambah kita terpesona, terharu, mengeluh, memikirkan kebesaran dan keagungan Allah dan kekecilan, kekerdilan diri kita sendiri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 570, 575, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-FIIL (GAJAH)

Burung-burung itu berduyun datang dari laut.

Ahli-ahli tafsir bicara macam-macam tentang keadaan burung itu.

Namun jenis burung apa tidak penting kita kaji.

Sembarang burung pun dapat dipergunakan oleh Allah untuk melakukan kehendak-Nya.

Sedangkan tikus bisa merusakkan sebuah negeri dengan menyuruh tikus itu memakan padi yang sedang mulai masak di sawah, sedang belalang berduyun-duyun beratus ribu dapat membuat satu negeri jadi lapar; apatah lagi ratusan ribu burung berduyun-duyun (ababil).

"Yang melempari mereka dengan batu siksaan?" (ayat 4).

Batu yang mengandung adzab, batu yang mengandung penyakit.

Ada tafsir mengatakan bahwa batu itu telah direndang terlebih dahulu dengan api neraka.

Syaikh Muhammad Abduh mencoba menakwilkan bahwa batu itu membawa bibit penyakit cacar.

Menurut keterangan Ikrimah sejak waktu itulah menyebar penyakit cacar di Tanah Arab.

Ibnu Abbas mengatakan juga, bahwa sejak waktu itu ada penyakit cacar di Tanah Arab.

Dapat saja kita menerima penafsiran ini jika kita ingat bahwa membawa burung atau binatang dari satu daerah ke daerah yang lain, walaupun 1 ekor, hendaklah terlebih dahulu diperiksakan kepada dokter, kalau-kalau burung itu membawa bibit penyakit menular.

Demikian juga dengan tumbuh-tumbuhan.

Demikian seekor burung, bagaimana kalau beribu burung?

"Lalu Dia jadikan mereka seperti daun kayu yang dimakan ulat." (ayat 5).

Laksana daun kayu dimakan ulat, memang adalah satu perumpamaan yang tepat buat orang yang diserang penyakit cacar (ketumbuhan); seluruh badan akan ditumbuhi oleh bisul yang panas, malahan sampai ada yang tumbuh di mata. Telapak kaki yang begitu tebal pun tidak terlepas, dan muka pun akan coreng-moreng dari bekasnya. Seperti yang telah penulis alami (1923).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Juz 'Amma Hal. 298, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan engkau lihat gunung-gunung itu, engkau sangka dianya membeku di tempatnya, padahal dia berjalan sebagaimana jalannya awan." (pangkal ayat 88).

Maka datanglah ayat ini memberi peringatan bahwa gunung-gunung menjulang langit itu, dan bukit-bukit yang di bawahnya, meskipun membeku terpaku di situ, namun dia sebenarnya adalah berjalan laksana awan juga.

Cuma tidak terlihat dia berjalan, karena kita sedang "menumpang" di dalam bahtera bumi yang gunung-gunung dan bukit-bukit itu terpancang dan terpasak di atas permukaan bumi itu.

Bahkan di kereta api pun demikian.

Di dalam kapal udara DC10 yang terbang dari Lapangan Terbang Halim Perdanakusuma menuju Pelabuhan Jeddah dalam masa hanya 8 jam, para penumpang banyak yang tidur nyenyak.

Seakan-akan mereka tidak sedang berjalan, padahal mereka sedang diterbangkan oleh DC10 itu dalam kecepatan 1.000 kilometer per jam.

Kita kemukakan beberapa perumpamaan yang nyata ini untuk cepat menerima bahwa gunung-gunung yang kelihatan duduk sudah beribu-ribu, bahkan berjuta tahun dengan tenangnya di daerah tempat dia terpancang, sebenarnya bukanlah dia berdiam, tetapi berjalan jua, namun kita yang melihatnya tidak menyadari, karena kita pun turut "dilarikan" oleh putaran bumi.

Itulah,

"Perbuatan Allah, yang amat teliti atas tiap-tiap sesuatu."

Terang sekali bilamana telah dipelajari secara ilmiah bahwa perputaran bumi mengelilingi matahari itu adalah diatur oleh Maha Pengaturnya, yakni Ilahi Rabbi dengan sangat teliti.

Dan semua edaran alam ini pun diatur dengan sangat teliti, sampai kepada ukuran jamnya, menitnya, dan detik second-nya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 566-567, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

APA ARTI TAKWA?

Kalimat takwa diambil dari rumpun kata wiqayah artinya memelihara. Memelihara hubungan yang baik dengan Allah. Memelihara diri jangan sampai terperosok pada suatu perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah. Memelihara segala perintah-Nya supaya dapat dijalankan.

Memelihara kaki agar jangan terperosok ke tempat yang lumpur atau berduri.

Sebab, pernah ditanyakan orang kepada sahabat Rasulullah, Abu Hurairah (ridha Allah untuk beliau), apa arti takwa? Beliau berkata,

"Pernahkah engkau bertemu jalan yang banyak duri dan bagaimana tindakanmu waktu itu?"

Orang itu menjawab,

"Apabila aku melihat duri, aku mengelak ke tempat yang tidak ada durinya atau aku langkahi, atau aku mundur."

Abu Hurairah menjawab,

"Itulah ia takwa!"

(HR. Ibnu Abid Dunya).

Ketika pada akhir Desember 1962, kami mengadakan Konferensi Kebudayaan Islam di Jakarta, dengan beberapa teman telah kami bicarakan pokok isi dari Kebudayaan Islam.

Akhirnya, kami mengambil kesimpulan bahwa kebudayaan Islam ialah kebudayaan takwa.

Dan, kami pun sepakat mengambil langsung kalimat takwa itu karena tidak ada kata lain yang pantas menjadi artinya.

Jangan selalu diartikan takut, sebagai yang diartikan oleh orang dahulu-dahulu.

Sebab, takut hanyalah sebagian kecil dari takwa.

Dalam takwa, terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridha, sabar, dan sebagainya.

Takwa adalah pelaksanaan dari iman dan amal saleh.

Meskipun di satu waktu ada juga diartikan dengan takut, tetapi terjadi yang demikian ialah pada susunan ayat yang cenderung pada arti yang terbatas itu saja.

Padahal, arti takwa lebih mengumpul akan banyak hal.

Bahkan, dalam takwa terdapat juga berani!

Memelihara hubungan dengan Allah, bukan saja karena takut, melainkan lebih lagi karena ada kesadaran diri sebagai hamba.

Ia menjadi petunjuk buat orang yang suka bertakwa, apatah lagi bagi orang yang telah bertakwa. Sama irama ayat ini dengan ayat di dalam surah al-Waqi'ah: 79,

"Tidaklah akan menyentuh kepadanya, melainkan makhluk yang telah dibersihkan."

Sehingga, kalau hati belum bersih, tidaklah Al-Qur'an akan dapat menjadi petunjuk.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 98-99, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TSAMUD

Di dalam surah an-Naml ayat 48 sampai 50 diterangkan pula maksud jahat mereka yang lain, yaitu hendak membunuh Nabi Shalih secara khianat mengintipnya di tempat sepi.

Sembilan orang pemuka dari mereka yang bermaksud jahat itu telah mengatur siasat hendak melakukan makar terhadap beliau. Tetapi sebelum mereka bertindak, Allah-lah yang bertindak lebih dahulu membinasakan mereka.

Dalam masa tiga hari mereka ditimpa terlebih dahulu oleh sakit panas dan di hari yang keempat mereka dihancurkan semua bersama kaum mereka yang menuruti langkah mereka.

Pada hari yang keempat itu kedengaranlah suara pekik atau teriakan yang sangat keras dan mengerikan bunyinya, (Huud ayat 67); semua mereka jatuh jadi bangkai dan tinggallah rumah-rumah mereka jadi kosong, padahal selama ini mereka membanggakan karena ketinggian seni bangunan mereka.

"Mereka bawa batu-batu besar dari gunung ke lembah untuk membangun." (al-Fajr ayat 9).

"Di lembah yang rendah itu mereka mendirikan gedung-gedung yang megah dan gunung-gunung mereka pahat untuk dijadikan rumah tempat tinggal." (al-Ahzaab ayat 23).

Sehingga boleh dikatakan bahwa pada zaman Tsamud itu orang sudah pandai membuat rumah gedung di kota tempat tinggal dan di gunung tempat istirahat, sebagaimana kebiasaan di kota-kota besar di Jawa sekarang!

Ketika Rasulullah saw. berangkat menuju Peperangan Tabuk, di tengah jalan angkatan perang beliau bertemu bekas runtuhan negeri Tsamud yang telah berlalu masanya sekitar 1.000 Tahun. Masih didapati air tergenang di sana. Rasulullah melarang sahabat-sahabat itu meminum bahkan menyinggung air itu. Dan beliau suruh mereka tafakur sejenak mengenangkan nasib kaum yang punah karena durhaka itu.

"Dan telah Kami selamatkan orang-orang yang beriman." (pangkal ayat 18).

Sebab orang-orang yang beriman itu dengan bimbingan Nabi Shalih sendiri telah berangkat lebih dahulu meninggalkan tempat itu sebelum adzab Allah datang. Apatah lagi mereka tidak turut bersekongkol membunuh unta, tidak pula turut memakan daging unta itu.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 152-153, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

NASKAH DARI GUA QAMRAN

Bagi dunia ilmu pengetahuan, sangatlah besar arti naskah-naskah Gua Qamran ini. Sampai kini dan akan terus lagi buat beberapa masa penyelidikan akan diteruskan oleh ahli-ahli.

Dari naskah-naskah yang telah berusia 19 Abad itu mulailah terbuka bahwasanya Nabi Isa bukanlah mati disalib. Guru Kebenaran itu telah pergi ke tempat lain. Dan di dalam kitab-kitab naskah itu terdapat pula "Itu Nabi" yang ditunggu-tunggu. Dan nabi itu telah datang dan telah wafat pula, yaitu Nabi Muhammad saw. yang pengikutnya telah berkembang biak menjadi suatu umat yang besar pula di dalam dunia ini, yaitu umat Muslimin. Beberapa orang sarjana Barat sendiri telah pernah ada yang mengatakan bahwa jika naskah-naskah ini telah terbuka kuncinya semuanya, mungkin akan meruntuhkan atau akan menimbulkan peninjauan kembali atas imam Kristen yang telah dipertahankan berabad-abad lamanya.

Tetapi kita masih juga meragukan, apakah dunia Kristen akan sudi menyesuaikan kembali dogma yang telah mereka pertahankan sekian ribu tahun karena menerima naskah-naskah Qumran itu?

Tidak mungkin agaknya!

Malahan kalau sekiranya penemuan naskah-naskah itu agak 5 atau 6 Abad yang telah lalu, mungkin akan segera dibakar atau dihilangkan sampai tidak berkesan lagi, sebagaimana telah hilang dibakar atau dimusnahkan beberapa dokumen daripada kitab-kitab Injil yang menerangkan hal yang sesungguhnya, yaitu bahwa bukan Nabi Isa yang mati disalib itu, melainkan orang lain.

Dogma ini tentu akan dipertahankan terus dengan berbagai daya upaya, kalau perlu dengan memaksakan politik ke dalam dunia ilmu pengetahuan. Tetapi sungguh pun demikian, pengaruh naskah-naskah ini akan menyebar juga dalam kalangan orang-orang yang mencintai kebenaran walaupun lantaran itu mereka akan dikucilkan. Sebab bukanlah bertambah sedikit jumlah orang Barat yang ingin menganut suatu kepercayaan yang sesuai dengan akal, yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan fakta kebenaran.

Memanglah Maha Kaya Allah itu!

Sudah 20 Abad lamanya naskah-naskah itu tersimpan. Telah berkali-kali kekuasaan silih berganti di daerah Mesopotamia, melalui pelebaran Islam, melalui Perang Salib pertama 9 Abad yang lalu, melalui masuknya bangsa Mongol dan Tartar menaklukkan memporak-porandakan kekuasaan Islam, sampai kepada masuknya penjajahan modern Barat, Perang Salib kedua di zaman modern ini, barulah di dalam Abad Ke-20, di zaman berkongsi bersekongkol bangsa-bangsa pemeluk Kristen dengan kaum Yahudi menjarahi pusat-pusat keislaman itu, Allah membukakan rahasia gua-gua di Qamran, untuk dihadapkan ke muka dunia, untuk di selidiki secara ilmiah oleh ahli-ahlinya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 551, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERINGATAN PENTING!

Di dalam Kitab Perjanjian Lama, catatan bahasa Melayu huruf Arab yang diterbitkan pada Tahun 1912 oleh British Foreign Bible Society, Singapore, masih tertulis:

Disalin

"Dan segala kampung kedudukan orang Kedar hendaklah segala orang isi Sala saling bernyanyi."

Di dalam al-Kitab yang dikeluarkan oleh Lembaga al-Kitab Indonesia (Jl. Teuku Umar 34, Jakarta, 1960), ditulis dalam bahasa Indonesia:

"Demikian pun segala dusun yang dikeduduki orang Kedar, hendaklah segala orang yang duduk di bukit batu itu, bertempik-sorak dan berseru-seru dari atas ke puncak gunung."

Dalam tulisan ini tidak disebut sala'. Memang arti sala' itu ialah bukit batu, atau bukit yang sudah tak bertumbuh-tumbuhan. Akan tetapi, di luar Kota Madinah al-Munawwarah ada sebuah bukit bernama Bukit Shala'.

Oleh sebab itu, timbullah pertanyaan, mengapa di setengah salinan ditulis menurut aslinya, Bukit Sala'; dan di setengahnya lagi disalin menjadi bukit batu? Sungguh pun telah disalin sebagai demikian, tetapi bukit batu itu pun lebih cocok untuk Bukit Arafah. Memang bukitnya shala' (tandus tidak bertumbuh-tumbuhan) dan di sekitar bukit itulah pengikut Muhammad saw. berkumpul wukuf setiap tanggal 9 Dzulhijjah setiap tahun.

Di ayat 12 disebutkan,

"Hendaklah diberinya hormat Tuhan dan dimasyhurkannya kepujiannya pada segala pulau."

Di sini, kedapatanlah kesulitan menyalin dari bahasa ke bahasa. Dalam Al-Kitab bahasa Arab ditulis: "Al-jaza-ir", yaitu kalimat jama' (banyak) dari mufrad Aljazirah. (Aljazirah artinya satu aljuzur). Bisa diartikan untuk tiga pulau atau sekian pulau atau segala pulau.

Maka, kalau kita tilik isi wahyu yang disampaikan kepada Yeyasa ini, bolehlah agaknya umat Islam Indonesia merasa bahagia, bahwa di antara negara-negara kepulauan di dunia ini, kepulauan Indonesialah yang paling luas daerahnya dan paling banyak terdapat pulaunya, 10.000 besar dan kecil. Dan, pulau Kalimantan sebagai pulau yang paling besar di dunia, termasuk dalam lingkungan kepulauan ini.

Wahyu Yeyasa sekian ribu tahun yang lalu rupanya telah memberikan basyarat bahwa seruan Muhammad saw.. Dan, menyeru nama Allah dan menghormatinya dengan Allahu Akbar, telah sampai ke kepulauan ini.

Dan, jumlah pemeluk agama Islam yang terbesar di seluruh dunia ialah dalam kepulauan ini.

Alhamdulillah!

Di ayat 13 Tuhan bersabda bahwa dia akan keluar sebagai orang perkasa, sebagai pahlawan di medan perang. Tempik sorak peperangan akan hebat bunyinya dan seterunya akan dikalahkan.

Cobalah timbang dan banding secara objektif.

Nabi Isa al-Masih tidak pernah berperang dan tidak pernah menjadi pahlawan di medan perang.

Nabi Muhammad saw.-lah yang hanya memimpin peperangan dengan gagah perkasa.

Dan, bahkan kaum Orientalis telah menyokong lagi secara ilmiah bahwa Islam dimajukan dengan pedang!

Entah kalau yang dimaksud dengan perang itu ialah perang-perang salib yang dilakukan oleh orang Kristen 1099 Tahun sesudah Nabi Isa al-Masih wafat dan berturut-turut tidak berhenti-henti sampai sekarang ini; sampai Masjid Al-Aqsha pun dirampas dan penjajahan beratus tahun di belakang memakai nama "peradaban Kristen".

Akan tetapi, kalau maksud wahyu Yeyasa itu hendak dibawa ke sana, Alhamdulillah tidaklah terdapat sebagai dalam ayat 17, bahwa pada masa itu undurlah dengan kemalu-maluan segala orang-orang yang harap akan patung pahat dan yang berkata kepada patung tuangan: kamulah dewata kami! Tidaklah bertemu yang demikian karena sejak patung-patung pahatan dan tuangan itu sudah habis disapu bersih; bahkan beberapa sekte Kristenlah yang telah menghidupkan patung pahatan dan tuangan kembali untuk disembah dijadikan dewa.

Memang benar sebagai yang tersebut dalam ayat 16, bahwa Tuhan telah memimpin orang-orang yang buta pada jalan yang belum pernah diketahuinya, artinya orang-orang Arab yang tadinya masih buta huruf, buta ilmu pengetahuan, telah masuk ke dalam daerah yang dahulu belum pernah mereka kenal.

Ke Timur masuk daerah Persia dan Iran, Sind, dan Hind bahkan ada riwayat bahwa di Abad-abad ke-7 Hijriyah, telah ada di antara mereka yang telah sampai ke kepulauan Indonesia.

Ke Barat, mereka telah sampai membawa peradaban ke semenanjung Iberia.

Kegelapan telah dijadikan terang oleh Allah untuk mereka. Lorong-lorong yang berlekuk-lekuk telah dijadikan rata. Sehingga sudah hampir 800 Tahun sampai sekarang, bangsa-bangsa yang membencinya hendak mencoba menghapuskannya, tetapi dia masih saja hidup, masih saja bertambah cahayanya.

Benarlah apa yang tersebut dengan jelasnya pada ayat 21:

"Bahwa karena kebenarannya, berkenanlah Tuhan akan dia, diberikannya hukum Yang besar dan mulia."

Tidak kena basyarat ini untuk Isa al-Masih karena negara-negara Kristen belum pernah memakai hukum Kristen untuk menjalankan pemerintahan; melainkan hukum Romawi, berdasar kepada sabda Isa al-Masih sendiri, "Berikan kepada Allah hak Allah dan berikan hak Kaisar kepada Kaisar."

Dan, Islam adalah agama yang juga mengandung dan menyertai hukum.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 563-564, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).